Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 25


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Saudara Kun Hong, kiranya kau seorang pendekar besar yang patut kusembah dan kujunjung tinggi. Ah, selama ini aku benar-benar telah buta. Kedua mataku tidak ada gunanya sama sekali, tidak dapat melihat siapa adanya engkau ini. Apalagi kalau aku ingat bahwa kebutaan kedua matamu adalah karena aku... ah, dan kau sudah menolong keselamatan nyawaku dan nyawa Hui Siang... dan kau sudah menyelamatkan surat wasiat... benar-benar aku menyesal. Tidak patut aku menjadi keturunan Kun-Lun-Pai!"

   Suara terakhir ini mengandung isak tertahan.

   "Hussshhhhh, jangan bicara seperti itu, Saudara Bun Wan. Tidak perlu kau membongkar-bongkar peristiwa lama. Kebutaanku adalah sudah dikehendaki Thian Yang Maha Kuasa, tidak perlu siapa pun menyesalkan. Kau seorang pendekar, seorang keturunan pahlawan, kau patut menjadi tokoh Kun-Lun-pai."

   "Ah, ucapanmu ini menunjukkan kebersihan hatimu, bahwa kau tidak pernah mendendam, dan aku selama ini... ah, Saudara Kun Hong, selama hidupku aku akan terus menyesal dan penyesalanku tidak akan pernah berakhir tanpa pengorbanan!"

   "Saudara Bun Wan, jangan...!"

   Kun Hong hanya dapat menduga dengan perasaannya yang halus saja bahwa pemuda Kun-Lun yang berhati keras itu akan melakukan sesuatu yang "gila", akan tetapi karena matanya buta, tidaklah dia dapat melihat apa yang akan dilakukannya itu, maka dia hanya dapat mencegah dengan mulut. Terdengar gerakan cepat disusui pekik Hui Siang,

   "Wan-Koko...! Ah, Wan-Koko... kenapa kau lakukan ini...??"

   Gadis itu menangis. Kun Hong hanya berdiri pucat, tidak tahu bahwa dengan nekat untuk menyatakan penyesalan hatinya, Bun Wan telah menggunakan jari tangannya mencokel keluar sebuah biji matanya sebelah kanan! Darah keluar dari lubang mata kanannya itu, akan tetapi pemuda itu dengan tegak masih berdiri, ditangisi oleh Hui Siang yang menjadi kebingungan tidak karuan.

   "Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Puaslah hatiku sekarang. Untuk membutakan kedua mataku seperti yang telah kau lakukan, aku tidak sanggup karena ilmu kepandaianku tidak mungkin setinggi tingkatmu. Aku masih membutuhkan mataku yang sebelah lagi demi... demi... Hui Siang..."

   "Ahhh...!"

   Pucat wajah Kun Hong dan sekali berkelebat dia sudah berada di depan Bun Wan, tangannya meraba muka pemuda Kun-Lun-Pai itu dan tahulah dia kini bahwa pemuda itu benar-benar telah melakukan perbuatan gila, telah membutakan mata kanannya sendiri! "Kau gila...! Bun Wan, mengapa kau lakukan ini???"

   Dengan suara gemetar Bun Wan berkata.

   "Kaupun telah membutakan kedua matamu, karena aku! Dan kau berani membutakan mata biarpun kau seorang yang tidak bersalah dan kau masih dapat menjalani hidup ini dengan gagah perkasa, malah masih dapat menolong kami yang bermata! Kalau kau berani sehebat itu, apa artinya aku yang hanya berani membutakan sebelah mata karena penyesalanku dan karena dosa-dosaku...?"

   "Gila...! Bocah gila...!"

   Kun Hong cepat menotok jalan darah di tengkuk Bun Wan, kemudian dia menggunakan tongkatnya untuk mencoret beberapa huruf di dekat kakinya sambil menahan keharuan hatinya. Dengan suara serak dia berkata.

   "Kau carilah obat yang kutulis ini, kau pakai mengobati matamu... ah, tidak kusangka akan begini... Bun Wan, Hui Siang, selamat tinggal..."

   Cepat-cepat Kun Hong membalikkan tubuh dan pergi dari situ agar tidak tampak oleh dua orang itu betapa dua titik air mata menetes turun dari pelupuk matanya yang sudah kosong. Burung Rajawali Emas mengeluarkan suara merintih panjang, terbang di atasnya dan mengikutinya pergi dari situ, dipandang oleh Bun Wan yang masih berdiri tegak dan yang ditangisi Hui Siang yang memeluknya. Di bawah, depan kaki pemuda Kun-Lun-Pai itu, di atas batu yang keras, terdapat huruf-huruf coretan dalam, tadi dibuat oleh tongkat Kun Hong, menggores dalam seperti dipahat saja!

   Sudah sebulan lebih Kong Bu dan isterinya Li Eng, meninggalkan puncak Min-San. Sebulan yang lalu, secara tiba-tiba seperti juga ketika perginya, kakek Song-Bun-Kwi muncul di Min-San. Tadinya Kong Bu dan Li Eng menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hati mereka ketika dengan muka cemberut kakek itu berkata pendek,

   "Kalian dengar baik-baik. Thai-San-Pai telah diserbu orang, dirusak binasakan, banyak muridnya yang tewas. Adikmu Cui Sian diculik orang, Sekarang Ayahmu Tan Beng San dan isterinya meninggalkan Thai-San untuk mencari jejak musuh dan Cui Sian. Kau, Kong Bu, sebagai putera tertua Thai-San-Pai, kalau tidak dapat turun gunung membalas sakit hati Ayahmu ini, kau akan menjadi dua kali Puthauw (durhaka), selain goblok tidak mempunyai keturunan juga durhaka tidak tahu budi orang tua."

   Hanya demikian saja kakek itu bicara, lalu membalikkan tubuh lari pula turun gunung. Kong Bu dan isterinya saling pandang dengan muka pucat. Mereka tahu bahwa kakek itu masih saja penasaran dan marah karena mereka tidak mempunyai turunan. Sakit hati mereka dikata-katai seperti itu oleh kakek mereka dan Li Eng yang biasanya tabah dan keras hati itu sudah menangis.

   "Eng-moi,"

   Kong Bu menghIbur sambil memeluk isterinya.

   "Sabarlah, sudah tidak aneh lagi kalau kakek bersikap seperti itu. Memang beliau seorang yang berwatak keras dan aneh."

   Li Eng menggeleng kepala.

   "Bukan itu... bukan itu..."

   Katanya menahan isak.

   "Aku bersumpah, sebelum dapat melihat adik Cui Sian kembali kepada orang tuanya dan sebelum mampu membalas musuh-musuh Thai-San-Pai, aku tidak akan mau pulang ke Min-San."

   Kong Bu mengangguk.

   "Baiklah, mari kita turun gunung dan membantu Ayah mencari adik Cui Sian dan membalas musuh-musuh itu."

   Demikianlah, sepasang suami isteri ini lalu turun gunung, meninggalkan puncak Min-San dan mulai melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw Baru kali ini semenjak mereka menikah empat tahun lalu, mereka melakukan perjalanan berdua, turun gunung. Dengan heran mereka mendapatkan kenyataan betapa menyenangkan perjalanan ini, betapa menggembirakan! Perjalanan ini mengingatkan mereka akan pertemuan pertama mereka dahulu, pertemuan yang aneh, lucu dan mesra.

   Pada pertemuan pertama itu keduanya juga masing-masing sedang merantau seperti sekarang ini, begitu bertemu saling bermusuh mengadu ilmu kepandaian sampai berjam-jam lamanya karena ilmu silat mereka memang setingkat. Akhirnya Li Eng dapat dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Kong Bu, ke mana-mana dipondong di luar kemauan Li Eng. Kemudian, dengan penggunaan akal, Li Eng dapat merobohkan Kong Bu dan bertukar peranan. Li Eng yang sekarang menawan Kong Bu dan karena tidak sudi memondong tawanannya, ia lalu menyeretnya di sepanjang jalan (baca Rajawali Emas). Semua peristiwa ini terbayang oleh sepasang suami isteri itu, menimbulkan kegembiraan besar dan kini mereka saling pandang dengan amat mesra, dengan kasih sayang baru. Kenangan masa lalu itu membangkitkan kembali kasih mesra di antara mereka. Memang sesungguhnyalah, amatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan hal-hal seperti ini.

   Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai alat-alat mati, segalanya Sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa perubahan, setiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan. Tanpa disadari akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka menjadi hamba daripada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri, memaksa mereka menjadi sebagian daripada bangunan mesin rumah tangga yang mereka bentuk sendiri. Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang baru mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh ini pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan mencari sesuatu yang baru.

   Demikian pula dengan suami isteri, karena mereka hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya mereka pun membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan memperbaru atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri (dalam bahasa Jawa disebut ambangun trisno). Suami isteri harus pandai memilih saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri daripada keseragaman tiap hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri daripada suasana sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan. Demikianlah, tanpa disengaja, Kong Bu dan Li Eng telah menciptakan suasana baru dengan kepergian mereka turun gunung.

   Tidak mengherankan apabila mereka merasakan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa dalam perjalanan ini, seakan-akan mereka memasuki hidup baru yang jauh berbeda daripada kehidupan sehari-hari yang begitu-begitu saja di puncak Min-San. Biasanya setiap hari mereka hanya mengenal hal seperti ini, yaitu bangun pagi-pagi, melatih para murid, bekerja di ladang, melatih murid-murid lagi, malamnya berlatih sendiri, mengaso, tidur. Demikianlah acara tunggal tiap hari. Pemandangan alam yang dilihat pun itu-itu juga. Kini, begitu turun gunung, mereka memasuki suasana baru. Hawa baru, pemandangan baru, pendengaran baru dan kesemuanya ini menyiram bunga kebahagiaan yang tadinya agak melayu oleh kebosanan. Bersinar-sinar mata mereka, tersenyum-senyum Bibir mereka, kemerahan pipi Li Eng kalau memandang suaminya, amat mesra pandang mata Kong Bu kalau menatap wajah isterinya, dan keduanya mendapatkan kebahagiaan baru dalam perjalanan ini.

   Seperti juga yang telah dilakukan oteh kakek mereka, juga oleh suami isteri Thai-San-Pai dan oleh Sin Lee dan isterinya, suami isteri Min-San ini pun melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Banyak sudah tokoh kang-ouw yang mereka datangi untuk dimintai keterangan, kalau-kalau ada di antara mereka yang mendengar siapa-siapa yang telah menyerbu Thai-San. Akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui akan peristiwa itu dan karenanya juga tidak dapat menduga siapa yang memusuhi Thai-San. Malah berita ini mengejutkan dan menggegerkan dunia kang-ouw, karena peristiwa itu sudah pasti akan berekor panjang. Siapakah mereka yang begitu berani mati mengganggu Thai-San-Pai? Dengan hati berdebar dan tegang, para tokoh kang-ouw menanti-nanti datangnya ledakan dahsyat akibat kejadian ini, karena tidak boleh tidak tentu fihak Thai-San-Pai akan melakukan pembalasan!

   "Tidak ada lain jalan, isteriku,"

   Kata Kong Bu ketika mereka berdua sedang mengaso pada tengah hari yang terik di bawah pohon besar.

   "Kita harus mendatangi tempat tinggal para musuh Ayah. Penyerbuan di Thai-San itu agaknya dilakukan penuh rahasia sehingga tidak ada yang tahu. Menurut pendapatku, mereka yang menyerbu Thai-San-Pai tentulah keluarga atau handai-taulan daripada musuh-musuh Ayah, tanpa dasar dendam sakit hati siapakah orangnya berani dan mau menyerbu Thai-San-Pai sedangkan Ayah terkenal sebagai seorang pendekar besar?"

   Li Eng sedang duduk melonjorkan kedua kakinya dan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu, kedua matanya dimeramkan. Agaknya ia nampak lelah sekali dan mengantuk. Mendengar ucapan suaminya, ia menjawab,

   "Memang agaknya begitu, akan tetapi yang lebih jelas lagi adalah bahwa mereka yang menyerbu itu tentu orang-orang yang memiliki ilrnu kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mampu mereka mengganggu Thai-San-Pai?"

   Kong Bu setuju dengan pendapat isterinya ini. Ayahnya adalah Raja Pedang yang sukar dicari bandingannya di dunia kang-ouw, Ibu tirinya juga seorang pendekar pedang wanita yang berilmu tinggi. Kalau bukan orang-orang yang sakti, takkan mungkin berani mengganggu kesana, apa lagi sampai berhasil merusak binasakan dan menculik Cui Sian. Ia mengingat-ingat mereka yang dahulu memusuhi Ayahnya Siauw-Ong-Kwi tokoh utama dan muridnya, Siauw-Coa-Ong Giam Kin, keduanya sudah tewas dalam pertemuan di Thai-San.

   Toat-Beng Yok-Mo juga sudah tewas, begitupun Pak Thian Locu dan Hek Hwa Kui-bo. Tokoh-tokoh utama dunia persilatan sudah banyak yang tewas dan di antara empat besar yaitu Song-Bun-Kwi dari Barat, Swi Lek Hosiang dari Timur, Siauw-Ong-Kwi dari Utara dan Hek Hwa Kui-bo dari Selatan, kini yang masih hidup hanya kakeknya, Song-Bun-Kwi dan Swi Lek Hosiang. Akan tetapi Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang bukanlah orang yang termasuk menjadi musuh Ayahnya. Adapun kakeknya, biarpun dahulu memusuhi Ayahnya, akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, malah membantu. siapakah pula orang sakti yang dapat menyerbu ke Thai-San? Terbayang wajah Hek Hwa Kui-bo yang jahat dan dia mengingat-ingat siapa sanak keluarga nenek iblis ini. Tiba-tiba dia meloncat bangun dan menepuk-nepuk pahanya.

   "Wah, kalau bukan mereka siapa lagi?"

   Mendengar suara suaminya ini, Li Eng membuka kedua matanya yang mengantuk, terheran-heran melihat sikap suaminya yang seperti keranjingan itu.

   "Eh, kau teringat siapakah?"

   Tanyanya, terganggu karena tadi ia hampir pulas saking nikmatnya mengaso di bawah pohon yang teduh dan dikipasi angin semilir.

   "Ketemu sekarang, Eng-moi! Tentu mereka, wah, siapa lagi kalau bukan mereka?"

   Li Eng kini melemparkan punggungnya, duduk tidak bersandar lagi, matanya sudah terbuka lebar menatap wajah suaminya.

   "Duduklah yang baik bicara yang benar! Siapa yang kau maksudkan? Kau seperti sedang teringat kepada kekasihmu yang dulu saja."

   "Eh, eh, tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja kau cemburu?"

   Kong Bu segera duduk di dekat isterinya dan merangkul lehernya.

   "Sejak dahulu kekasihku hanya kau, ada siapa lagi? Aku bukan sedang teringat akan kekasih, melainkan teringat akan murid mendiang Hek Hwa Kui-bo, yaitu Ketua Ngo-Lian-Kauw yang berjuluk Kim-Thouw Thian-Li. Kau tentu masih ingat akan dia, bukan? Nah, dia sudah tewas tetapi Ngo-Lian-Kauw masih berdiri, kabarnya malah makin kuat. Orang-orang Ngo-Lian-Kauw lihai, juga licin dan curang sekali. Mereka patut dicurigai. Kurasa, setidak-tidaknya mereka tentu bercampur tangan dalam penyerbuan Thai-San-Pai."

   Li Eng mengerutkan keningnya yang hitam panjang, lalu mengangguk-angguk.

   "Betul juga katamu, kalau mengingat mereka, aku pun curiga. Perkumpulan iblis itu dapat melakukan kejahatan yang bagaimanapun juga."

   "Aku tahu sarangnya!"

   Kong Bu berkata cepat.

   "Ngo-Lian-Kauw (Perkumpulan Agama Lima Teratai) berpusat di lembah Sungai Huai, di sebelah Barat Kota Raja dan sebelah Utara kota Ho-Pei. Li Eng, hayo kita berangkat sekarang juga."

   Kong Bu melompat berdiri lagi, akan tetapi dia memandang heran kepada isterinya yang masih saja duduk bermalas-malasan, malah sambil menguap dan mengulet isterinya kembali bersandar kepada batang pohon. Kong Bu memegang tangan Li Eng, menarik-nariknya mengajak bangun,

   (lanjut ke Jilid 24)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   "Hayo, bangunlah...!"

   Tetapi dia menjadi keheranan. ketika melihat Li Eng sama sekali tidak mau bangun berdiri, malah merenggut tangannya.

   "Ihhh, kau kenapakah?"

   Kong Bu cepat berlutut lagi dekat isterinya.

   "Kenapa malas benar? Atau... tidak enakkah badanmu?"

   "Entah, aku malas... ngantuk. Kita mengaso dulu, biarlah aku tidur, hari masih amat panas, aku ogah melakukan perjalanan. Di sini enak sekali, sejuk dan nyaman. Nanti saja kalau sudah teduh kita melanjutkan perjalanan, mengapa sih buru-buru amat?"

   Kong Bu memandang terheran-heran. Ini bukan watak Li Eng sehari-hari, pikirnya. Biasanya, isterinya adalah seorang wanita yang lincah, yang selalu bergerak seperti Burung Walet, tidak mau diam apalagi bermalas-malasan seperti ini. Apakah yang terjadi? Mengapa isterinya mengalami prerubahan watak begini aneh?

   "Eng-moi, sakitkah kau...?"

   Dengan penuh kasih sayang Kong Bu meraba jidat isterinya. Akan tetapi Li Eng mengipatkan tangan itu dan berkata, suaranya agak kaku,

   "Jangan ganggu aku! Aku mau tidur, aku tidak sakit apa-apa!"

   Dan ia tidak mau perdulikan lagi pada suaminya karena matanya sudah meram dan ia benar-benar berusaha untuk tidur. Kong Bu tercengang, lalu duduk termenung menatapi wajah isterinya. Benar-benar luar biasa. Kenapa Li Eng jadi berangasan seperti ini? Tampaknya hendak marah-marah, akan tetapi anehnya, sebentar saja isterinya itu telah pulas, dari pernapasannya yang panjang Kong Bu terpaksa menahan sabar, menunda keberangkatannya ke sarang Ngo-Lian-Kauw untuk menyelidiki perkumpulan itu yang dia duga tentu mempunyai saham besar dalam peristiwa penyerbuan Thai-San-Pai.

   Memang panas hawa pada tengah hari amat teriknya, biarpun sinarnya ditangkis oleh dahan-dahan pohon, namun sinar yang menerobos dari celah-celah daun menyilaukan mata. Nyaman berlindung di bawah pohon itu dan Kong Bu perlahan-lahan mengantuk juga setelah lama memandang wajah isterinya yang sudah tidur pulas dengan aman tenteramnya. Akan tetapi selagi dia layap-layap hendak pulas, dia bangun lagi. Cepat dia duduk dan memperhatikan. Tidak salah, ada orang bernyanyi-nyanyi di tengah hutan. Suara orang itu makin lama makin jelas, tanda bahwa orang yang bernyanyi itu sedang berjalan menuju ke mari. Suaranya parau dan keras, akan tetapi kata-kata lagu yang dinyanyikan itu menarik perhatian Kong Bu. Dia memperhatikan dan diam-diam mendengar suara nyaring itu dia dapat menduga bahwa orang yang lewat di hutan dan bernyanyi ini tentulah seorang berkepandaian.

   "Kemenangan melahirkan kesombongan menimbulkan benci permusuhan hidup tak tenteram lagi. Kekalahan melahirkan? penasaran menimbulkan dendam memupuk pembalasan hidup tak tenteram lagi. Yang melempar jauh-jauh kemenangan maupun kekalahan dialah orang bahagia. Yang dikagumi dan dikehendaki para bijak budiman adalah kemenangan batin!"

   Suara orang yang bernyanyi itu kini tidak makin dekat, tanda bahwa orang itu agaknya juga berhenti, tetapi terus bernyanyi. Sehabis bernyanyi dengan suara parau seperti kaleng diseret, terdengar dia terbahak-bahak dan, terkekeh-kekeh tertawa,

   "Ha-ha-ha-he-he-he, Pendeta-Pendeta palsu, Hwesio-Hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya, bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih Suci di antara segala ayat daripada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayat tetap suci, pelaku-pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat Suci tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!"

   Diam-diam Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya ditujukan untuk mengejek para Hwesio yang biasa melakukan sembahyang dan berdoa dengan lagu seperti itu. Akan tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apalagi pada saat itu dia bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk di hari hujan,

   "Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana mengenal diri sendiri barulah waspada. Mengalahkan orang lain memang kuat badannya mengalahkan diri sendiri barulah kuat batinnya."

   "Heh-heh-heh, segala Tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-Tik-Keng. Tetapi hanya mulut... mulut...! Lidah tidak bertulang, orang tampak manis pada mulutnya, gigi tampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor... kotor... palsu! Ha-ha-ha-heh-heh-heh, Hwesio-Hwesio dan Tosu-Tosu sama saja, setali tiga uang. Mulut dan hati seperti bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti terang dengan gelap!"

   Terdengar suara orang itu mendekat lagi.

   Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tidak boleh main-main. Lebih baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya. Dia sudah banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiri pun seorang yang dijuluki iblis. Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para Pendeta, baik Pendeta Hwesio (Buddha) maupun Pendeta Tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat Suci mereka. Orang yang sudah membenci semua Pendeta, biarpun mengejek kepalsuan mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang ini amatlah berbahaya. Celakanya agaknya orang itu melangkahkan kaki menuju ke tempat dia dan isterinya mengaso. Kong Bu bukanlah seorang penakut, jauh daripada itu. Dia seorang pendekar gagah perkasa yang tidak pernah mengenal arti takut. Dia seorang asuhan kakek iblis Song-Bun-Kwi.

   Akan tetapi pada saat itu dia lalu membaringkan diri di dekat isterinya dan pura-pura tidur pulas ketika orang yang bernyanyi-nyanyi itu sudah makin dekat. Dia sengaja berbaring miring, matanya mengintai dari balik bulu mata. Orang ini berhenti dekat tempat suami isteri itu tidur. Dengan kaget Kong Bu melihat seorang kakek tua yang berpakaian serba kuning, seorang kakek yang kepalanya gundul dan kulitnya hitam seluruhnya! Sambil menyeret sebatang tongkat panjang berwarna hitam pula, kakek itu tadi melangkah datang dengan langkah lebar dengan kakinya yang telanjang dan hitam sampai ke telapak-telapaknya, sejenak kakek itu berdiri termangu, memandang suami isteri yang masih tidur pulas. Lama dia menatap wajah Li Eng yang cantik jelita dan tampak manis dalam tidurnya. Kemudian dia tertawa berkakakan.

   "Ha-ha-ha-he-he-heh! Wah, aku benar-benar sudah tua bangka, sudah hampir mati nafsu-nafsu badan yang reyot ini. Kalau dulu, dua puluh tahun yang lalu, tentu takkan kulewatkan saja mereka ini. Yang jantan kubikin mampus, yang betina kuambil. Ha-ha-ha!"

   Dia mengamat-amati lagi sambil tertawa ha-ha-he-he, amat menyeramkan.

   "Wah-wah, bawa-bawa pedang segala. Jangan-jangan anggauta pemberontak? Hee, bocah, enak saja tidur bermesra-mesraan, mabuk yang-yangan (bercintaan), hayo bangun!"

   Ujung kakinya bergerak mencongkel tanah dan bukan main kagetnya hati Kong Bu ketika segumpal tanah melayang dengan kekuatan dahsyat ke arah kepalanya! Tentu saja dia tidak mau dilukai, tidak sudi dihina seperti itu. Tubuhnya bergerak melenjit dan tahu-tahu dia sudah berdiri dengan tegak dan gagah, gumpalan tanah itu sama sekali tidak menyentuhnya.

   "Ha-ha-he-heh, benar juga! Kiranya memiliki sedikit kepandaian yang jantan ini. Entah bagaimana yang betina!"

   Kembali Ibu jari kaki kanannya mencokel tanah dan segumpal tanah melayang ke arah muka Li Eng. Kong Bu marah sekali, tubuhnya terayun dan dia hendak menyambar tanah yang mengancam muka isterinya itu. Akan tetapi tiba-tiba Li Eng sudah pula mengulur tangan, tanpa membuka matanya ia telah dapat menangkap gumpalan tanah itu dengan tangan kanannya, kemudian seperti tidak sengaja tangannya bergerak dan... gumpalan tanah itu melayang cepat ke arah muka kakek itu, senjata makan tuan!

   "Ah, lihai...!"

   Kakek itu berseru, kaget juga menyaksikan demonstrasi kepandaian wanita muda itu dan cepat dia menundukkan muka untuk membiarkan tanah itu lewat di atas kepalanya.

   Tentu saja kakek ini kaget dan heran karena dia tidak tahu bahwa Kui Li Eng adalah puteri tunggal Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang tokoh Hoa-San-Pai yang sudah mewarisi ilmu kepandaian aseli dari Hoa-San termasuk ilmu mempergunakan senjata rahasia! Li Eng memang sudah sadar ketika mendengar suara kakek itu tadi, akan tetapi ia pura-pura masih tidur. Sekarang ia melompat bangun dan berdiri di samping suaminya, matanya yang jeli dan tajam menatap kakek itu, menaksir-naksir dan mengingat-ingat. Akan tetapi, seperti juga suaminya, belum pernah ia bertemu atau mendengar akan adanya seorang tokoh kang-ouw seperti kakek ini. Ia juga tidak berani memandang rendah karena tenaga cokelan Ibu jari kaki kakek itu saja tadi telah menggetarkan tangannya yang menerima tanah, tanda bahwa kakek ini memiliki Lweekang yang tinggi tingkatnya.

   "Lo-Cianpwe ini siapakah dan mengapa mengganggu kami berdua suami isteri yang sedang beristirahat?"

   Kata Kong Bu sambil menjura. Sikapnya cukup sopan akan tetapi tidak terlalu merendah. Kakek itu tidak menjawab, malah matanya tidak berkedip memandang kepada Li Eng bukan memandang wajahnya, melainkan memandang ke arah... perutnya! Tentu saja Li Eng merasa mendongkol bukan main berbareng juga ngeri. Mata dengan manik mata kelihatan terlalu putih di balik wajah hitam itu seakan-akan menelanjanginya dengan pandangannya itu.

   "He, Kakek! Kau melihat apa?"

   Bentaknya marah.

   "Heh-heh-heh, melihat perutmu. Ha-ha-ha, suami isteri yang aneh! Isteri mengandung malah diajak berkeliaran di hutan liar, apakah mengidam binatang hutan?"

   "Kakek tua bangka, sudah tua makin kurang ajar! Tutup mulutmu yang kotor itu!"

   Li Eng makin marah, memaki-maki.

   "Heh-heh-heh, memang begitulah. Kalau belum sebulan, hawanya ingin marah saja, tanda anak perempuan! Ha-ha-ha!"

   Li Eng sudah bergerak hendak menyerang kakek ini, akan tetapi Kong Bu memegang lengannya. Diam-diam ada perasaan aneh menyelinap di hati Kong Bu. Memang sikap Li Eng aneh, aneh bukan main. Tadi pun ia sudah terheran-heran menyaksikan perubahan pada sikap isterinya. Jadi inilah rahasianya? Benar-benarkah isterinya mengidam, mulai mengandung? Wah, kalau betul begitu, jangankan harus memarahi kakek itu, malah mau rasanya dia merangkul dan mencium muka tua yang hitam itu! Perasaan girang luar biasa menyelubungi hati Kong Bu, tanpa terasa lagi dia telah melingkarkan lengan kirinya pada pinggang isterinya dengan mesra, kemudian bertanya

   "Lo-Cianpwe, siapakah nama Lo-Cianpwe yang mulia? Dan ada keperluan apakah Lo-Cianpwe dengan kami suami isteri?"

   "Kau beruntung, orang muda. Isterimu Cantik jelita, kepandaiannya lumayan, lincah gembira dan sekarang sudah dapat diharapkan akan menghadiahimu seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha, kau mau tahu siapa aku? Tua bangka, ini orang tidak terkenal, disebut Hek Lojin dari Go-Bi,"

   Kong Bu belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi dia cepat menjura dengan hormat lalu memperkenalkan diri.

   "Saya bernama Tan Kong Bu dan ini isteri saya. Tidak tahu ada keperluan apakah Lo-Cianpwe menemui kami?"

   "Tidak ada apa-apa... kebetulan saja... ah, barangkali kau tadi melihat adanya seorang pemberontak muda yang matanya buta. Aku sedang mencari-cari dia itu. Apakah kalian melihatnya?"

   Diam-diam Kong Bu dan juga Li Eng terkejut. Tidak salah lagi, tentu Kun Hong yang dimaksudkan. Tetapi mengapa pemberontak? Ah, jangan-jangan orang lain, di dunia ini banyak orang muda yang buta. Dengan menekan debaran jantungnya, Kong Bu bertanya,

   "Kami tidak melihatnya. Siapakah dia itu, Lo-Cianpwe? Mana ada orang muda buta bisa jadi pemberontak?"

   Kakek itu terkekeh-kekeh,

   "Ha-ha-ha, memang lucu. Ini tanda bahwa mereka di Kota Raja tidak becus apa-apa. Katanya pemberontak buta itu mengacau Kota Raja, hampir tertawan lalu dapat lolos ditolong seekor Burung Rajawali Emas. Dasar goblok semua yang di Kota Raja. Termasuk Hwesio gundul Siauw-Lim itu hanya lagaknya saja besar. Buktinya dengan mengeroyok pun tidak dapat menangkap seorang muda buta. Padahal... heh-heh-heh, ketika bertemu dengan aku, pemuda buta dan Burungnya itu... ha-ha-heh-he-heh, dia berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali di depanku, malah kulangkahi kepalanya dengan sebelah kakiku. Hah, sayang sekali, kalau aku tahu dia itu seorang pemberontak, sudah tentu tidak akan dapat kulepas dan kuampuni begitu saja!"

   Sekarang yakinlah hati Kong Bu dan Li Eng bahwa yang dimaksudkan oleh kakek aneh ini tentulah Kun Hong. Di dunia ini siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang biarpun matanya buta dapat mengacau Kota Raja? Siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang ditolong oleh Rajawali Emas? Hati Li Eng sudah panas bukan main, namun ia masih menekan suaranya ketika berkata,

   "Kau mencari dia mau apakah, Kakek?"

   Tidak bisa ia harus mencontoh suaminya yang menyebut Lo-Cianpwe kepada kakek hitam yang dianggapnya kurang ajar ini.

   "Ha-ha-ha-heh-heh, mau apa tanyamu? Matanya sudah buta, tinggal telinganya yang harus dibikin tuli, hidungnya kuhancurkan, mulutnya kurobek, benci aku kepada pemberontak, benci..."

   "Keparat jahanam!"

   Li Eng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan sekali bergerak, pedangnya sudah berada di tangan.

   "Enak saja mulutmu yang busuk itu mengoceh. Bukankah kau maksudkan orang itu bernama Kwa Kun Hong?"

   "Heh, benar... kau tahu...?"

   "Tentu saja kakek jahanam! Dia adalah pamanku dan tidak usah kau mencari dia, pedang di tanganku sudah sanggup mengirim kau pulang ke neraka jahanam!"

   Li Eng tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia menerjang dengan pedangnya. Sinar putih bergulung-gulung melayang ke arah kakek itu.

   "Ayaaaaaaa, kiranya kalian juga pemberontak-pemberontak, ha-ha-ha-heh-heh-heh!"

   Kakek itu cepat mengelak dan diam-diam dia terkesiap juga menyaksikan kilatan sinar pedang yang demikian hebatnya.

   "Benar, isteriku, kakek iblis ini harus dibasmi!"

   Bentak pula Kong Bu dan kembali sinar pedang yang panjang menyambar. Kakek ini makin kaget dan tahulah dia bahwa dua orang ini biarpun masih muda-muda, namun ternyata telah memiliki ilmu pedang yang jempolan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kakek ini memang Hek Lojin adanya, orang tua lihai dari Go-Bi, guru The-Kongcu atau The Sun.

   Sudah kita ketahui bahwa kakek ini pernah bertemu dengan Kun Hong dan Rajawali Emas, dan hampir terjadi peristiwa kalau saja Kun Hong tidak bersabar dan mengalah. Ketika Hek Lojin ini memasuki Kota Raja, dia disambut dengan segala kehormatan oleh The Sun. Akan tetapi ketika kakek aneh ini mendengar tentang Kun Hong dan Rajawali Emas, dia mengejek dan menceritakan pengalamannya menghina pemuda buta itu kepada The Sun dan para jagoan Istana yang ikut menyambutnya.

   "Heh-heh-heh, A Sun, muridku, kenapa kalian begitu goblok? Menangkap pemberontak buta seperti dia saja tidak becus, padahal di Kota Raja ini terdapat banyak orang? Heh-heh, percuma saja kalau begitu. Habis, Thian Te Cu ini apa saja kerjanya?"

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia menuding adik seperguruannya yang hadir pula di situ, dan mengerling kepada semua yang hadir.

   "Suheng, biarpun dia masih muda, si buta itu benar-benar lihai sekali,"

   Bantah Thian Te Cu dengan muka merah karena ditegur dan diketawai Suhengnya di depan banyak orang.

   "Uuaaah, lihai apanya? Kalau dia lihai kenapa mau berlutut dan mengangguk tujuh kali di depan kakiku, kepalanya kulangkahi kaki dia tidak berani apa-apa. Dasar kalian yang tiada gunanya. Uhh!"

   Kakek hitam ini memang sudah terlalu lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di dalam hutan di atas gunung sehingga wataknya sudah berubah seperti orang hutan saja. Dia tidak perduli lagi akan sopan santun dunia ramai, bicara asal membuka mulut saja, tidak perduli apakah kata-katanya menyinggung orang ataukah tidak. Karena terlalu tua, agaknya dia sudah pikun atau sudah lupa akan tata susila atau tata cara pergaulan. Bhok Hwesio sebaliknya adalah seorang Hwesio yang menjaga keras peraturan, seperti biasanya Hwesio-Hwesio dari Siauw-Lim-Pai. Sejak tadi dia sudah mendelik-mendelik memandang kepada kakek hitam itu.

   Akan tetapi karena dia tersinggung tidak secara langsung dan kakek hitam itu hanya menegur Sutenya sendiri, dia pun menahan kesabaran dengan muka merah. Sekarang, mendengar betapa kakek hitam itu berkali-kali menyebut "Kalian"

   Goblok, tiada gunanya dan lain-lain, dia menjadi marah sekali. Terdengar dia mendengus satu kali dan tiba-tiba meja di depannya amblas ke bawah sampai dua puluh senti lebih. Empat kaki meja itu amblas menembus lantai yang keras dari ruangan itu, amblas tanpa mengeluarkan bunyi seakan-akan empat kaki meja itu menembus agar-agar saja. Dalam kemarahannya, Hwesio Siauw-Lim ini ternyata telah menggunakan Lweekangnya yang memang amat mengagumkan dan sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Semua orang kaget dan diam-diam merasa tidak enak, maklum bahwa Hwesio ini marah kepada kakek hitam itu.

   "Hemmm, sudah pernah Pinceng mendengar nama besar Hek Lojin dari Go-Bi yang tinggi menyundul langit. Dengan adanya Hek Lojin di sini orang-orang macam Pinceng ini apa gunanya lagi? Lebih baik pergi dan membaca doa di kelenteng! Tapi, biasanya kalau geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat."

   Hek Lojin pelototkan matanya. Tentu saja dia maklum apa artinya ucapan "geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat"

   Itu yang boleh diartikan, bicara besar, belum tentu kepandaiannya tinggi. Melihat Hwesio Siauw-Lim itu sudah bangkit dari tempat duduknya, dia pun berdiri dan berkata,

   "He-heh-heh, Hwesio tukang berdoa. Boleh kita coba-coba!"

   "Omitohud, Pinceng ingin sekali menerima petunjuk!"

   The Sun menjadi sibuk. Cepat-cepat dia bangkit dan berdiri di antara kedua jago tua yang sudah hendak saling terjang ini.

   "Suhu... Lo-Suhu... harap Ji-wi sudi duduk kembali. Harap suka melihat muka Teecu... yang dalam hal ini mewakili Kaisar. Ji-wi dipersilahkan datang untuk menghadapi para pemberontak, bukan untuk saling bermusuhan. Harap suka ingat bahwa para pemberontak belum tertumpas."

   Bhok Hwesio menarik napas panjang dan duduk kembali.

   "Maaf, Pinceng sampai lupa diri, Omitohud..."

   Hek Lojin nampak uring-uringan.

   "Apa sih hebatnya si pemberontak buta? Kalian semua lihat saja, aku akan pergi menangkapnya dan menyeretnya ke hadapan kalian!"

   Setelah berkata demikian, kakek hitam ini melesat lenyap dari situ tanpa dapat dicegah lagi. Demikianlah, dengan hati marah Hek Lojin keluar dari Kota Raja untuk mengejar Kun Hong. Dia hendak membuktikan kesanggupannya, hendak membuktikan omongannya. Dia yakin bahwa dengan mudah dia akan dapat membunuh Burung Rajawali dan lebih mudah lagi menawan pemberontak buta yang sudah amat takut terhadapnya itu. Karena mendongkol kepada Sutenya yang menjadi Tosu, mendongkol pula kepada Bhok Hwesio, maka di sepanjang jalan dia menyanyikan sajak-sajak Agama To dan Buddha sambil mengejek dan kebetulan sekali dia bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng.

   Suami isteri muda itu menjadi marah sekali setelah mendengar bahwa kakek ini memusuhi Kun Hong. Setelah mereka berdua serentak maju menyerang menggunakan pedang mereka, barulah Hek Lojin menjadi kaget. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang kedua orang muda ini begitu hebat, menyambar-nyambar seperti sepasang Burung garuda sakti. Gaya permainan kedua suami isteri itu jauh berbeda dan inilah yang membuat dia terheran dan kagum. Jelas bahwa suami isteri ini memiliki ilmu pedang dari dua macam sumber yang sama tingginya. Kalau tadinya Hek Lojin bersikap main-main dan bermaksud melayani kedua orang itu dengan memandang rendah, kini dia bersungguh-sungguh. Cepat dia pun menggerakkan tongkat hitam yang panjang itu, sekaligus menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya.

   Sekali bertemu senjata, baik Li Eng maupun Kong Bu terkejut karena tenaga kakek hitam ini benar-benar dahsyat bukan main. Hampir saja pedang mereka terlempar ketika beradu dengan tongkat hitam panjang. Mereka berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa apabila pertempuran diandalkan tenaga, mereka akan kalah jauh. Di lain fihak, kakek itu pun kagum ketika pada pertemuan pertama antara senjata mereka tadi, dia masih belum mampu memukul jatuh pedang-pedang lawan. Ini saja menjadi bukti bahwa kedua orang lawannya yang masih amat muda-muda itu benar-benar murid-murid orang sakti. Kiranya dalam hal kepandaian, suami isteri ini setingkat dengan muridnya, The Sun. Padahal, tadinya dia mengira bahwa di dunia ini belum tentu dapat dicari keduanya seorang muda dengan kepandaian setingkat muridnya itu. Pertempuran itu berjalan cepat sekali.

   Dua puluh jurus telah lewat dan masih saja mereka bertempur mempergunakan kecepataan, suami isteri itu memang sengaja mengerahkan Ginkang dan hendak mencari kemenangan mempergunakan kelincahan. Siapa kira, kakek hitam itu pun ternyata seorang ahli Ginkang yang hebat sehingga ketika kakek ini menandingi mereka, maka bayangan tiga orang itu lenyap terbungkus sinar senjata. Tiba-tiba Hek Lojin tertawa. Setelah dua puluh jurus, barulah dia mengenal ilmu pedang Li Eng. Kiranya ilmu pedang wanita muda ini adalah Ilmu Pedang Hoa-San Kiam-hoat. Akan tetapi baru sekarang dia menghadapi ilmu pedang Hoa-San-Pai yang sehebat ilmu pedang yang dulu dimainkan oleh mendiang Lian Bu Tojin tokoh Hoa-San-Pai yang mengasingkan diri. Ia tidak tahu bahwa memang orang tua Li Eng adalah murid Lian Ti Tojin yang telah mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.

   "Wah, kau masih apanya Lian Ti Tojin dari Hoa-San-Pai?"

   Kakek itu sempat menegur dengan gembira.

   "Dan kau ini bocah, dari mana kau memperoleh ilmu pedang aneh ini!"

   Tegurnya kepada Kong Bu. Li Eng kaget juga mendengar disebutnya kakek gurunya yang memang menjadi pewaris ilmu pedangnya. Adapun Kong Bu yang ingin menggertak segera menjawab.

   "Kakekku Song-Bun-Kwi yang mengajar kepadaku!"

   "Wuuuuuttttt...tranggggg...!"

   Tidak dapat dihindarkan lagi, pedang Kong Bu bertemu dengan tongkat, sedangkan Li Eng dapat cepat mengelak. Kong Bu merasa betapa telapak tangannya seperti dibakar, maka cepat-cepat dia mengerahkan Lweekang untuk melawan hawa itu. Kakek itu sudah berdiri tertawa dan tongkatnya berdiri pula di depannya.

   "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, kiranya kau cucu setan bangkotan itu? Ha-ha-ha, ketika kakekmu masih muda, pernah dia bertekuk lutut di depan kakiku, tahukah kau? Ha-ha-ha, Song-Bun-Kwi, dahulu kau kalah, sekarang kau mewakilkan kepada cucumu untuk menderita kekalahan kedua kalinya. Dan Lian Ti Tojin, dulu belum sanggup mengalahkan aku, apalagi sekarang bocah perempuan yang mengandung ini, heh-heh-heh!"

   "Sombong!!"

   Li Eng dan Kong Bu berteriak hampir berbareng. Mereka berdua marah sekali mendengar ejekan-ejekan dan hinaan ini.

   Betapapun juga, tadi mereka belum kalah, malah belum terdesak hanya baru kalah tenaga saja. Mereka tidak takut dan setelah berteriak demikian, keduanya menyerbu lagi mengirimi serangan-serangan maut. Akan tetapi sekarang kakek itu mengubah gerakannya. Tongkatnya yang panjang itu terputar seperti kitiran angin, cepat dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Cara kakek itu menyerang bukan seperti ilmu silat lagi, melainkan seperti sebuah kitiran angin besar yang tiada hentinya berputar dan menerjang mereka dengan kekuatan yang dahsyat! Kong Bu dan Li Eng adalah keturunan orang-orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka ini ketinggalan jauh kalau dibanding dengan kakek ini dalam hal pengalaman bertempur. Menghadapi cara bertempur kakek ini, mereka menjadi repot dan bingung.

   Berusaha menangkis dengan pedang, akan tetapi setiap kali bertemu tongkat, pedang mereka terpental dan mereka terpaksa meloncat ke sana ke mari agar jangan terkena sambaran tongkat yang luar biasa itu. Sama sekali mereka tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang! Tiba-tiba, seperti juga mulainya, kakek itu menghentikan pemutaran tongkatnya dan bersilat lagi, malah seperti sengaja memberi lowongan-lowongan kepada dua orang lawannya. Girang hati Kong Bu dan Li Eng melihat ini, mengira bahwa kakek itu tentu lelah memutar tongkat seperti itu dan kini hendak beristirahat dan bersilat biasa. Kesempatan baik ini mereka pergunakan dan cepat mereka menyerbu, membalas dengan serangan-serangan maut yang amat berbahaya. Mendadak kakek itu berseru keras dan tongkatnya kembali diputar secara tiba-tiba dan tidak terduga. Terdengar suara,

   "Trang-trang!"

   Keras sekali dan tidak dapat dicegah lagi pedang Kong Bu dan Li Eng terpental, terlepas dari pegangan. Pedang Kong Bu melesat ke kanan dan pedang Li Eng melesat ke kiri, menancap sampai amblas sebatas gagang pada tanah beberapa meter jauhnya!

   "Ha-ha-ha-he-he-he, baru kenal kelihaianku, ya?"

   Kakek itu mengejek dan kembali tongkatnya berputaran menerjang suami isteri yang sudah tidak bersenjata lagi itu! Namun dua orang muda itu bukanlah orang-orang lemah, biarpun mereka sudah tidak bersenjata lagi, tidaklah mudah merobohkan mereka. Biarpun tongkat itu berputar seperti kitiran, namun tubuh mereka melesat dan menyelinap di antara bayangan tongkat, Ginkang mereka amat hebatnya sehingga tubuh mereka seakan-akan bayang-bayang yang sukar dipukul tongkat.

   "Bagus, bagus...! Orang-orang muda cukup mengagumkan... ha-ha, tetapi harus roboh oleh Hek Lojin!"

   Kakek itu menerjang terus, kini dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh. Memang hebat ilmu tongkat kakek ini. Tongkat yang diputar oleh kedua tangannya itu, kadang-kadang-kadang bisa dioper dengan tangan kanan saja,

   Malah ada kalanya tongkat berputar cepat mendesing ke atas, dilepas oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan ke depan dan tongkat itu tanpa dipegang lagi terus berputaran di atas kepala, dan disambut lagi dengan enaknya. Payah juga Kong Bu dan Li Eng menghadapi penyerangan kakek kosen. Mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri karena tidak sanggup melawan lagi, akan tetapi tiba-tiba kakek itu membentak keras, tongkatnya melayang dan menyerang kedua orang muda itu tanpa dia pegang, sedangkan tubuhnya mengikuti tongkatnya, kedua tangannya melakukan tamparan-tamparan disertai tenaga Lweekang. Melihat Li Eng terpeleset ketika mengelak tongkat dan terdorong angin pukulan lawan, Kong Bu kaget, cepat dia menghadang desakan kakek itu. Dengan mengerahkan tenaga dia menangkis dengan tangan kiri.

   "Krakkk"

   Lengannya patah ketika bertemu dengan tangan si kakek, dan sebuah tendangan membuat Li Eng terjungkal!

   Kong Bu marah bukan main, dengan nekat dia, menggunakan tangan kanannya menerjang, tetapi dia pun harus terjungkal ketika kakek itu mendorong dengan kedua tangannya dari samping. Kepalanya pening sekali, namun Kong Bu masih dapat melompat ke tempat di mana isterinya roboh. Dengan tubuhnya dia melindungi Li Eng, siap mengadu nyawa dengan kakek sakti itu. Hek Lojin meringis, terkekeh-kekeh dan menghampiri dua orang itu sambil menyeret tongkatnya. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, suara seperti orang menangis terdengar dari jauh. Mendengar ini, Kong Bu kaget dan juga girang, lalu dia mengerahkan khikang dan mengeluarkan teriakan panjang pula yang bergema di seluruh hutan. Kakek itu berhenti, menengadah lalu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, itu si tua bangka Song-Bun-Kwi agaknya! Ha-ha-ha, biar dia datang sekalian kubereskan!"

   Bayangan putih berkelebat dan benar saja, di situ telah berdiri Song-Bun-Kwi Kwee Lun dengan sikapnya yang garang! Melihat betapa kedua suami isteri itu rebah di bawah pohon, kemarahannya memuncak. Dengan sepasang mata seperti berapi-api dia memandang kakek hitam itu lalu memaki,

   "Keparat jahanam si tua bangka Hek Lojin! Jadi kau belum mampus? Berpuluh tahun kucari, kau mengumpet, bersembunyi. Sekarang sudah tua bangka mau mampus berani muncul mengantarkan nyawa! Mengapa kau tidak langsung mencariku, tua sama tua, melainkan mengganggu anak-anak muda? Tidak tahu malu!"

   "Heh-heh-heh, Song-Bun-Kwi, bagus sekali kau sendiri datang, kau mbahnya (kakeknya) pemberontak! Kau mengajar anak-anak menjadi pemberontak, ya? Dasar iblis! Bagus kau sudah datang, dulu kau pernah kalah tetapi belum mampus, biar sekarang kutamatkan riwayatmu!"

   Dua orang kakek itu sudah mulai bertempur sebelum ucapan ini habis. Song-Bun-Kwi sudah mengeluarkan suling dan pedangnya, menerjang dengan ilmu pedangnya yang paling dia andalkan yaitu Yang-sin Kiam-Sut, sedangkan sulingnya juga mainkan ilmu silatnya sendiri yang luar biasa.

   Hek Lojin maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maklum pula bahwa semenjak kekalahannya puluhan tahun yang lalu, tentu Song-Bun-Kwi telah mempersiapkan diri dan telah mendapatkan ilmu-ilmu baru. Begitu merasai hawa panas dari pedang kakek Song-Bun-Kwi, dia terkejut dan cepat dia memutar tongkatnya. Sebaliknya Song-Bun-Kwi juga cukup mengenal Hek Lojin. Empat puluh tahun yang lalu memang dia pernah bertemu dengan kakek hitam itu dan dalam pertandingan yang hebat, dia telah dilukai dan terpaksa dia mengaku kalah. Semenjak itu, tidak pernah lagi dia bertemu dengan Hek Lojin yang memang mengasingkan diri karena terlalu banyak musuh. Sekarang, tidak disangka-sangka dia bertemu dengan musuh lamanya, tentu saja dia lalu ngepia (berusaha sungguh-sungguh) untuk membalas kekalahannya puluhan tahun yang lalu.

   Sesungguhnya Hek Lojin masih belasan tahun lebih tua daripada Song-Bun-Kwi, termasuk tokoh lama yang sudah tua sekali. Akan tetapi karena kakek ini memang luar biasa dan hidup di alam terbuka jauh daripada dunia ramai, agaknya dia memiliki kekuatan yang lebih daripada manusia biasa. Selain tenaganya tidak normal, juga kepandaiannya aneh dan bersifat liar dan ganas. Memang dia mempunyai banyak ilmu silat yang dikenal di dunia kang-ouw sebagai ilmu-ilmu silat kelas tinggi, seperti yang dia turunkan kepada The Sun. Akan tetapi di samping ini, dia masih memiliki ilmu berkelahi yang hanya dia miliki sendiri dan yang jarang dia pergunakan di dalam pertempuran dan tidak pernah dia turunkan kepada siapa pun juga.

   Ilmu ini adalah ilmu berkelahi yang menyimpang daripada ilmu silat yang timbul dari perasaan dan naluri, seperti ilmu berkelahi yang dimiliki para binatang buas di dalam hutan. Oleh karena itu, tadi ketika dia memutar-mutar tongkatnya secara liar, Kong Bu dan Li Eng yang tidak biasa menghadapi ilmu berkelahi seperti ini menjadi kebingungan dan mudah dikalahkan. Sekarang, menghadapi Song-Bun-Kwi, kakek hitam ini berlaku amat hati-hati dan karenanya dia malah tidak mau ngawur seperti tadi, melainkan menggunakan jurus-jurus ilmu silatnya yang beraneka ragam dan rata-rata dari tingkat tinggi itu. Hebat pertandingan ini. Tenaga Lweekang Hek Lojin sudah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Akan tetapi kali ini dia menemukan tandingan, karena Song-Bun-Kwi adalah seorang kakek yang dijuluki iblis dan nama julukan Song-Bun-Kwi saja artinya Setan Berkabung!

   Biarpun Song-Bun-Kwi diam-diam harus mengakui bahwa dia masih belum dapat menandingi tenaga kakek tenaga dalam kakek hitam itu, namun setidaknya tingkatnya tidak kalah jauh seperti ketika tadi kakek itu menghadapi Kong Bu dan Li Eng. Sebetulnya Hek Lojin adalah seorang ahli agama, oleh karena itulah maka tadi Kong Bu dan Li Eng mendengar nyanyian-nyanyian agama yang merupakan ayat-ayat Suci daripada Agama Buddha dan Agama To. Akan tetapi, agama-agama pada waktu itu banyak disalahgunakan orang. Banyaklah kaum persilatan yang mempelajari agama bukan karena pelajaran hidupnya yang baik, bukan karena untuk mencari jalan pendekatan dengan Tuhan, melainkan mereka ini bermaksud untuk mengambil bagian-bagian mistik dan gaib daripada agama itu.

   Oleh karena inilah maka timbul banyak aliran yang mempergunakan agama itu untuk mempelajari segala macam ilmu gaib yang mereka gabungkan dengan ilmu silat sehingga terkenallah ilmu-ilmu silat yang disebut ilmu silat hitam. Demikian pula, tenaga mujijat yang dimiliki kakek hitam itu bukan semata-mata tenaga Sinkang murni dari dalam tubuh yang memang dimiliki oleh semua orang, akan tetapi juga diperkuat oleh tenaga dari ilmu hitam yang dia dapatkan dengan cara bermacam-macam dan amat mengerikan. Kong Bu dan Li Eng melihat pertempuran ini dengan hati khawatir. Apalagi setelah pertandingan itu berlangsung seratus jurus lebih, mereka merasa gelisah sekali karena tampak oleh mereka betapa keadaan Song-Bun-Kwi mulai terdesak.

   Kong Bu ingin membantu kakeknya namun tidak mungkin dia dapat bertempur dengan tangan kiri patah tulangnya dan dadanya masih sesak oleh tenaga dorongan kakek itu. Juga Li Eng sudah terluka, pahanya terkena tendangan dan terasa sakit sekali. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya senjata-senjata kedua kakek itu. Kiranya mereka telah menggunakan seluruh tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, suling remuk pedang patah, akan tetapi tongkat hitam itu pun terlempar jatuh sampai beberapa meter jauhnya! Kedua orang kakek itu tertawa saling mengejek, lalu pertandingan dilanjutkan dengan dua pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua fihak membuktikan bahwa pertandingan tangan kosong ini tidak kalah, hebatnya daripada pertandingan dengan senjata tadi.

   Setiap pukulan yang dilancarkan adalah pukulan maut yang mengandung hawa pukulan dahsyat. Angin pukulan bersiutan, membuat daun-daun pohon di sekelilingnya rontok dan debu berhamburan dari kedua kaki mereka. Dalam pertempuran ini, lebih-lebih lagi Song-Bun-Kwi terdesak. Dengan penggunaan senjata, dia masih dapat mengimbangi lawannya, akan tetapi pertandingan dengan tangan kosong semata-mata mengandalkan kecepatan gerak dan besarnya tenaga dalam. Dalam kecepatan, Song-Bun-Kwi sebanding dengan lawannya, namun dalam hal tenaga, karena lawannya mempunyai tenaga mujijat, dia terpaksa harus mengakui bahwa tiap kali tangannya bertemu dengan tangan lawan, jantungnya terasa sakit seperti ditusuk! Namun, kakek ini tidak akan mendapat julukan iblis Song-Bun-Kwi kalau dia mau mengaku kalah.

   Dengan semangat menyala-nyala, Song-Bun-Kwi nekat terus menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga dan gerakan-gerakannya makin cepat saja. Kakek hitam tertawa-tawa melayani dan dalam sekejap mata kedua kakek itu lenyap terbungkus debu yang mengebul dari bawah. Hebat bukan main pertarungan ini, seperti pergumulan dua ekor naga, atau perkelahian dua ekor harimau buas, pantang menyerah, pantang undur. Kong Bu dan Li Eng makin khawatir, akan tetapi keduanya tidak berdaya karena sebagai ahli-ahli silat tinggi, maklumlah mereka bahwa sekali mereka maju belum tentu mereka dapat menguntungkan Song-Bun-Kwi akan tetapi yang pasti mereka akan celaka. Hawa pukulan dengan tenaga dahsyat yang menyambar di sekeliling dua orang kakek itu tidak terlawan oleh mereka.

   Tiba-tiba kedua orang kakek itu berhenti bersilat dan tubuh mereka mencelat ke belakang, masing-masing dua meter lebih, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan. Hek Lojin tidak tertawa lagi, mukanya yang hitam itu berkilat-kilat penuh peluh, mulutnya menyeringai, matanya berseri-seri. Song-Bun-Kwi juga penuh keringat mukanya, agak pucat dia, matanya berapi-api penuh kemarahan. Kemudian keduanya melompat ke depan, saling terjang dan terdengar suara berdebugan dua tiga kali dan akibatnya, tubuh mereka terlempar ke belakang lagi. Kembali mereka saling terjang dan terdengar pukulan-pukulan yang mengakibatkan mereka terlempar lagi. Adegan seperti ini terulang sampai empat lima kali, muka Song-Bun-Kwi makin pucat, muka Hek Lojin makin penuh keringat. Tiba-tiba kakek hitam itu bergelak.

   "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, Song-Bun-Kwi tua bangka iblis! Kau benar-benar berkepala batu, sudah kalah tidak mau mengakui kekalahan. Ha-ha-ha, sudah puas hatiku dengan perkelahian hari ini, aku sudah lelah. Kalau kau masih dapat hidup, lain hari kita lanjutkan, kalau kau mampus karena perkelahian ini, mampuslah dan rasakan hukuman neraka. Ha-ha-ha!"

   Kakek hitam itu melangkah mundur ke tempat tongkatnya, mengambil senjata itu dan menyeretnya pergi dari situ. Masih terdengar suara ketawanya yang bergema dari jauh. Song-Bun-Kwi masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang seperti tadi, napasnya tersengal-sengal, mukanya pucat dan hidungnya, kembang-kempis. Tiba-tiba dia menekan ulu hatinya dan kakek kosen ini muntah-muntah. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

   "Kakek...!!"

   Kong Bu melompat menghampiri, Li Eng juga terpincang-pincang lari menghampiri. Seakan-akan kehabisan tenaga, Song-Bun-Kwi sudah jatuh terduduk. Dia berusaha menghapus Bibirnya dengan ujung lengan baju dan terdengar dia bergumam perlahan,

   "hebat sekali... Hek Lojin iblis..."

   Kong Bu sudah berlutut di depannya, juga Li Eng. Kagetlah dua orang ini ketika melihat bahwa leher, pundak, dada dan lambung kakek itu terluka oleh pukulan yang meninggalkan bekas membiru Sedangkan baju pada bagian terpukul itu pun berlubang besar seperti bekas terbakar. Kiranya dalam gebrakan-gebrakan terakhir tadi, kedua kakek sakti itu telah melakukan jurus-jurus mematikan, jurus-jurus nekat yang berdasarkan mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya pukulan! Empat kali Song-Bun-Kwi telah menerima pukulan maut Hek Lojin, sebaliknya Hek Lojin juga menerima empat kali pukulan Song-Bun-Kwi yang datangnya hampir pada saat yang sama itu. Pukulan Song-Bun-Kwi dapat diterima oleh Hek Lojin, menimbulkan luka ringan yang tidak membahayakan nyawanya.

   Sebaliknya pukulan-pukulan Hek Lojin demikian hebatnya sehingga membuat Song-Bun-Kwi sekarang muntah-muntah darah dan menderita luka yang amat parah. Akan tetapi daya tahan Song-Bun-Kwi dan semangatnya memang luar biasa sekali. Kalau orang lain yang menderita seperti dia, tentu tadi sudah roboh, di bawah kaki lawannya. Namun Song-Bun-Kwi dapat menahan diri, menahan rasa nyeri dan dengan semangat pantang mundur dia menukar pukulan sampai empat kali. Hek Lojin menjadi terkejut sekali tadi dan diam-diam merasa jerih. Dia sendiri, biarpun ringan, telah merasa terluka oleh pukulan-pukulan Song-Bun-Kwi, akan tetapi mengapa Song-Bun-Kwi agaknya tidak merasai pukulannya yang empat kali itu? Padahal pukulan-pukulannya tadi adalah pukulan maut yang mengandung tenaga mujijat!

   

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini