Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 26


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Itulah sebabnya mengapa Hek Lojin tadi meninggalkan Song-Bun-Kwi, sama sekali bukan karena merasa menang, melainkan karena jerih! Setelah lawannya pergi, barulah terasa oleh Song-Bun-Kwi akan kehebatan bekas pukulan lawan dan sekarang dia terkulai tidak berdaya, Dia maklum bahwa dia telah menerima pukulan-pukulan maut yang meremukkan isi dadanya, dan tahu bahwa dia tidak akan tertolong lagi. Melihat Kong Bu dan Li Eng berlutut di dekatnya, timbul rasa kecewanya terhadap dua orang ini. Sampai mau mati pun dia masih kecewa karena belum mempunyai cucu buyut. Dasar kakek ini seorang yang amat aneh wataknya. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mendorong pergi dua orang itu sambil berkata,

   "Pergi... pergi... biar aku tidak punya cucu juga tidak apa...!"

   Suaranya bernada penuh penyesalan, penuh kekecewaan karena kakek ini merasa tertikam perasaannya ketika teringat bahwa dalam menghadapi saat terakhir dalam hidupnya ini, dia masih dikecewakan oleh Kong Bu yang dia kasihi, dikecewakan karena cucunya ini tidak mempunyai keturunan!

   "Kong-kong (kakek)...!"

   Kong Bu mendekati kakeknya lagi, suaranya penuh keharuan. Li Eng juga mendekat lagi, air matanya mengalir.

   "Sudahlah, biar sampai mati pun aku tetap kecewa padamu...!"

   Kata pula Song-Bun-Kwi ketus sambil bangkit berdiri dengan susah payah dan kakek ini sudah siap melangkah maju meninggalkan mereka. Tiba-tiba Li Eng memegang lengannya dan dengan suara terisak-isak ia berkata,

   "Kong-kong... aku... aku... ah, kau sudah akan mempunyai cucu buyut..."

   "Haaaaa?? Apa kau bilamg...??"

   Mata dan mulut kakek itu terbuka selebar-lebarnya ketika dia menatap wajah Li Eng yang sudah basah air mata karena ia sudah mulai menangis tersedu-sedu, sambil merangkul dan mengganduli pundak kakek itu. Melihat Li Eng tidak mungkin dapat menjawab karena menangis itu, Kong Bu yang menjawab dengan muka berseri dan mata bersinar,

   "Betul, Kong-kong, Li Eng sudah mengandung. Cucu buyutmu pasti bakal terlahir!"

   "Wah-wah! Betulkan ini? Li Eng, betulkan ini?"

   Kakek ini berteriak-teriak sambi memegang kedua pundak Li Eng dan mendorongnya untuk dapat melihat wajahnya. Li Eng tersenyum dalam tangisnya, menahan air mata dengan meramkan mata, dan hanya dapat mengangguk dengan gerakan meyakinkan.

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Song-Bun-Kwi, kau, tua bangka goblok, kau manusia tolol! Ha-ha-ha-ha, Li Eng, kau anak baik!"

   Serentak tubuh Li Eng yang dia pegang pada kedua pundaknya itu dia lontarkan ke atas. Tubuh itu melayang ke atas kurang lebih tiga meter tingginya, diterima dengan penuh kasih sayang lalu dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia memeluk Li Eng dan menciumi rambutnya, membiarkan Li Eng terisak-isak bahagia di dadanya.

   "Li Eng, mana dia? Mana cucu buyutku? Tidak bisakah kau lahirkan dia sekarang saja? Aku sudah ingin memondongnya, menimangnya, ha-ha-ha!"

   "Iihhh, Kakek ini...!"

   Li Eng menundukkan mukanya, jengah.

   "Ha-ha-ha, Song-Bun-Kwi tolol, siapa bilang cucuku tidak becus dan goblok? Ha-ha-ha, Kong Bu, kau hebat...!"

   Dia sudah melepaskan Li Eng, menghampiri Kong Bu dan menepuk-nepuk pundak cucunya itu. Kalau saja bukan Kong Bu yang ditepuknya, tentu pundak itu akan remuk.

   "Ha-ha-ha-ha, aku punya cucu buyut..."

   Kakek itu tertawa terus terbahak-bahak, makin lama makin aneh suara ketawanya.

   "Kong-kong...!"

   Li Eng dan Kong Bu menjerit berbareng sambil menubruk maju.

   Akan tetapi Song-Bun-Kwi sudah terguling roboh, terlentang dengan mata melek dan mulut terbuka, wajahnya masih tertawa-tawa akan tetapi napasnya berhenti. Kakek itu sudah mati dalam keadaan tertawa bahagia. Kiranya dalam kegirangannya yang melewati batas tadi, dia telah banyak mengerahkan tenaga dan hal ini memperhebat luka-lukanya yang memang sudah parah dan akhirnya merenggut nyawanya sebelum dia sempat menghabiskan ketawanya! Li Eng dan Kong Bu memeluki tubuh kakek itu sambil menangis. Angin yang tadi bertiup dan bermain-main di antara daun-daun pohon, sekarang berhenti. Sunyi senyap di dalam hutan itu, seakan-akan hutan, angin dan penghuni hutan ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian kakek sakti yang hidupnya sering kali menggemparkan dunia kang-ouw itu.

   "Kim-Tiauw-Ko, aku ingin sekali pergi ke Ching-Coa-To. Ah, alangkah akan mudahnya kalau dapat menerbangkan aku ke pulau itu, kita tidak akan bingung menghadapi jalan-jalan rahasia. Ah, sayang. Tiauw-Ko, kau tidak tahu di mana adanya pulau itu..."

   Kata Kun Hong sambil mengelus-elus leher Burung itu.

   Betapapun cerdik pandainya, seekor Burung hanyalah seekor binatang biasa saja, tentu saja tidak memiliki akal dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Si Pendekar Buta. Dia hanya mengeluarkan suara mencicit bingung melihat sahabatnya ini bersikap kecewa dan menyesal. Mereka masih berada di dalam sebuah hutan dan sudah beberapa hari mereka melakukan perjalanan keluar hutan. Kun Hong bingung karena tidak bertemu manusia yang dapat dia tanyai jalan. Sebetulnya sudah banyak hal yang menghilangkan kegelisahannya. Cui Sian sudah berada di tangan orang yang boleh dipercaya dan anak itu selamat. Surat Wasiat juga sudah diantarkan ke Utara, dan dia merasa yakin bahwa Sin Lee dan Hui Cu pasti akan dapat melaksanakan tugas itu dengan baik.

   A Wan juga berada bersama Paman gurunya, aman dan selamat. Tinggal dua lagi tugas yang harus dia selesaikan, pertama mencari orang-orang Ching-Coa-To memberi hajaran atas kejahatan mereka terhadap Thai-San-Pai. Ke dua... ya, yang ke dua inilah yang membingungkan hatinya. Tentang Hui Kauw! Bagaimana baiknya dengan nona itu? Harus dia akui bahwa dia betul-betul mencinta Hui Kauw. Cinta kasihnya terhadap Cui Bi sekarang agaknya telah berpindah kepada Hui Kauw seluruhnya. Dia merasa kesepian, rindu, dan merasa seakan-akan hidupnya tidak lengkap, kehilangan semangat dan kegembiraan hidup, berpisah dari nona bersuara Bidadari itu. Dia tahu bahwa hidupnya selanjutnya akan merana, akan kosong hampa dan tidak ada artinya tanpa Hui Kauw.

   "Uhhh, urusan besar belum selesai, memikirkan yang bukan-bukan..."

   Dia menepuk kepala sendiri dan Rajawali Emas itu menggereng perlahan.

   "Kim-Tiauw, alangkah tidak enaknya menjadi manusia!"

   Kembali Kun Hong mengeluh sambil duduk di atas batu besar dekat Burung itu.

   "Tiada hentinya manusia terganggu dalam hidupnya yang terbelit-belit dan terikat oleh segala macam kewajiban, terkacau oleh segala macam perasaan. Kau inilah mahluk bahagia, Kim-Tiauw, karena selama hidupmu kau tidak pernah memusingkan sesuatu."

   Burung itu mengeluarkan suara panjang seakan-akan membantah pendapat ini dan sama sekali tidak menyetujuinya. Kun Hong merenung. Betulkah seperti yang dia katakan tadi? Apakah tidak sebaliknya daripada itu? Bukanlah segala ikatan dalam hidup itulah yang membuat hidup ini berisi dan pantas diderita? Bukankah kehidupan Burung dan segala macam mahluk selain manusia di dunia ini yang amat menjemukan? Bayangkan saja.

   Hidup tanpa adanya susah, senang, puas, kecewa, dan lain-lain perasaan yang saling bertentangan, apakah tidak akan merupakan siksaan karena tiada perubahan, sunyi sepi dan seakan-akan sudah mati saja? Bagaikan samudera, apa artinya tanpa gelombang membadai yang membuat samudera nampak hidup? Apa artinya dunia ini tanpa angin, lelap lengang sunyi mati. Demikian pula hidup ini, akan sunyi membosankan kalau tidak ada ikatan-ikatan yang mengakibatkan manusia merasakan susah senang, jatuh bangun dan sebagainya. Teringat dia akan filsafat-filsafat kuno dan dia tersenyum seorang diri. Memang hebat para budiman dan bijaksana jaman dahulu, telah dapat meneropong isi daripada hidup. Dia menepuk-nepuk leher Kim-Tiauw, kini wajahnya berseri dan hatinya tenang,

   "Kim-Tiauw, alangkah bodohku, sampai lupa akan kenyataan yang tidak terbantah lagi itu. Siapa mencari senang, dia sekali-kali tentu bertemu susah. Siapa mencari untung sekali-kali akan bertemu rugi. Siapa mencari puas, sekali-kali akan ketemu kecewa. Memang sudah semestinya begitu. Kalau tidak ada atas, mana bisa ada bawah? Kalau tidak ada senang, mana bisa bilang ada susah? Manusialah mahluk yang paling bahagia, Kim-Tiauw, karena mengenal keduanya itu, mengenal dan merasakan akibat daripada kekuatan Im dan Yang (Positive dan Negative). Ha-ha-ha, kaulah yang patut dikasihani, Kim-Tiauw."

   Kini Kim-Tiauw itu bersuara girang, sekan-akan dia ikut bergembira mendengar sahabatnya sudah bisa tertawa-tawa. Tiba-tiba mereka berdua serentak diam memperhatikan. Terdengar suara kaki orang banyak menuju ke arah tempat itu. Rajawali Emas sudah siap, bulu tengkuk Burung itu sudah mulai berdiri, tanda bahwa dia telah siap menyerang lawan.

   "Sssttt, jangan sembrono Kim-Tiauw-Ko, kita lihat dulu mereka itu kawan ataukah lawan."

   Betapapun juga, Kun Hong sudah siap pula berdiri di dekat Burung itu, menanti dengan penuh kewaspadaan. Dia taksir sedikitnya ada tujuh orang yang bergerak makin dekat itu. Maklum akan watak Burung Rajawali yang mudah curiga itu. Kun Hong sengaja merangkul lehernya untuk mencegah Burung itu menerjang orang secara sembrono sebelum dia dapat mengetahui siapa mereka itu.

   "Pangcu (Ketua)... kami para anggauta Hwa I Kaipang datang menghadap..."

   Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru dari jauh. Kun Hong bernapas lega,

   "Kim-Tiauw-Ko, agaknya teman-teman sendiri mereka itu, jangan kau ganggu."

   Tak lama kemudian muncullah delapan orang yang serta merta berlutut di depan Kun Hong. Pendekar muda ini teringat akan tipuan yang dilakukan The Sun yang mendatangkan beberapa orang anggauta Hwa I Kaipang yang palsu, Orang-orang ini pun juga tidak dia kenal, mana dia tahu kalau mereka betul-betul anggauta perkumpulan pengemis itu?

   "Apakah di antara kalian ada yang mengenal Coa-Lokai?"

   Dia memancing. Terdengar jawaban dua orang yang berada di sebelah kanan,

   "Siauwte adalah murid Suhu Coa-Lokai."

   Tiba-tiba Kun Hong bergerak dan tahu-tahu dia telah mengirim dua serangan kepada dua orang itu. Dua orang itu otomatis, sebagai ahli-ahli silat menggerakkan tangan menangkis, akan tetapi akibatnya, keduanya terjungkal dan terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya. Kagetlah semua orang itu, juga Rajawali Emas sudah siap membantu sahabatnya dalam pertempuran. Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong tertawa bergelak, membuat orang-orang itu, terutama yang tadi dibikin terguling-guling, makin keheranan.

   "Ha-ha-ha, maafkan aku, Twa-Ko. Aku pernah dihadapkan kepada orang-orang Hwa I Kaipang yang palsu, terpaksa aku menguji. Kiranya benar Ji-wi adalah murid-murid Coa-Lokai sehingga aku tidak perlu ragu-ragu lagi. Maaf."

   Semua anggauta perkumpulan penggemis itu saling pandang dan makin kagumlah mereka. Tadinya mereka ragu-ragu melihat betapa orang yang amat dipuji-puji oleh para pimpinan Hwa I Kaipang hanya seorang pemuda yang buta lagi. Akan tetapi, melihat gerakan Kun Hong tadi yang sekali bergerak tidak saja mampu menjungkalkan dua orang, akan tetapi dari gerakan menangkis dua orang itu dia telah mengenal ilmu silat dari Coa-Lokai. Hebat! Kembali mereka berlutut.

   "Pangcu, kami datang untuk melapor bahwa Lo-Pangcu kami telah tewas dalam pertempuran di Kota Raja."

   Kun Hong mengangguk. Dia sudah mendengar akan hal ini dari Hui Kauw,

   "Aku sudah tahu dan aku menyesal sekali mengapa Hwa I Lokai sampai mengorbankan banyak nyawa saudara-saudara Hwa I Kaipang untuk membantuku."

   "Bukan begitu, Pangcu. Persoalannya bukanlah semata urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan. Hwa I Kaipang dalam hal ini bekerja sama dengan Pek-Lian-Pai, langsung menerima tugas-tugas dari Utara."

   "Hemmm, begitukah? Dan sekarang siapa yang menggantikan Hwa I Lokai, dan apa maksud kalian datang menemuiku di sini?"

   Orang yang mengaku murid Coa-Lokai tadi menjawab,

   "Sementara ini yang memimpin kami adalah Suhu sendiri. Juga Suhu yang menyuruh kami mencari Pangcu dan memberi tahu bahwa nona Kwee Hui Kauw sekarang berada dalam bahaya."

   Terkejut hati Kun Hong.

   "Eh, siapakah namamu dan bagaimana kalian tahu bahwa nona Hui Kauw dalam bahaya? Apa pula sebabnya hal itu kalian ceritakan kepadaku?"

   "Maaf, Pangcu. Siauwte Lauw Kin murid kepala Suhu Coa-Lokai. Siauwte dan semua saudara memang bertugas bergerak di dalam Kota Raja sehingga semua urusan kami ketahui belaka. Juga kami tahu bahwa nona itu adalah sahabat baik Pangcu, karena itulah kami datang menyampaikan warta ini."

   "Bagaimana urusannya? Hayo ceriterakan yang jelas!"

   Kun Hong tidak sabar lagi setelah dia mengerti duduknya perkara dan menaruh kepercayaan kepada orang yang tadi sudah dia rasakan bahwa gerakannya menangkis memang betul-betul ilmu silat Coa-Lokai. Dahulu pernah dia menghadapi penyerangan Coa-Lokai, maka dia mengenal gerakan muridnya ini.

   "Kami sendiri tidak tahu sebabnya, akan tetapi kami melihat nona itu ditawan oleh The Sun dan Bhok Hwesio. Malah hebatnya, Ayahnya sendiri, pembesar Kwee itu, agaknya juga berfihak kepada The Sun dan sama sekali tidak menolong puterinya."

   Kun Hong merasa khawatir sekali, akan tetapi dia menahan tekanan batinnya, dan bertanya tenang,

   "Di mana nona itu ditahan? Memang aku harus menolongnya, apakah kalian melihat cara untuk membebaskannya?"

   "Harap Kwa-Pangcu jangan khawatir. Kami sudah menyelidiki dengan teliti sekali dan kami yakin bahwa sementara ini mereka tidak akan mengganggu nona Hui Kauw. Ada jalan untuk menolongnya, akan tetapi hal ini membutuhkan tenaga ahli yang berilmu tinggi. Agaknya, kecuali Pangcu sendiri tidak mungkin ada yang akan mampu menolongnya."

   "Hemmm, lekas ceriterakan dengan jelas, apa yang kau maksudkan?"

   "Begini, Kwa-Pangcu. Kami mendengar bahwa fihak The Sun telah mengadakan hubungan dengan Ching Toa-Nio dan kawan-kawannya. Karena nona Hui Kauw ditangkap dengan tuduhan membantu pemberontak, yaitu memberikan Mahkota kepada puteri Sin-Kiam-Eng untuk dibawa ke Utara, maka sudah semestinya dia dihukum mati. Baiknya mereka itu masih mengingat kepada Ching Toa-Nio yang sudah mengadakan lebih dulu, mereka merasa sungkan terhadap Ching Toa-Nio karena nona Hui Kauw adalah puteri angkatnya. Inilah yang menyelamatkan nona Hui Kauw. Pelaksanaan hukuman tertunda dan malah dia akan dibawa dalam pertemuan yang diadakan antara jagoan-jagoan Istana dan fihak Ching-Coa-To. Mungkin dalam pertemuan itulah nona Hui Kauw akan diberi hukuman."

   Kun Hong terkejut sekali. Sama sekali tidak ada baiknya kalau Hui Kauw dihadapkan dengan Ching Toa-Nio, karena dia tahu betapa nyonya itu benci kepada Hui Kauw. Pertemuan itu tidak akan memperingan hukuman Hui Kauw, malah mungkin nona pujaan hatinya itu akan mengalami siksaan yang lebih hebat.

   "Di manakah pertemuan itu diadakan dan kapan?"

   Tanyanya cepat, hatinya kini tidak dapat menahan lagi kegelisahannya.

   "Tiga hari lagi, Kwa-Pangcu. Fihak Ching-Coa-To masih belum percaya kepada para jagoan Istana sehingga mereka tidak mau mengadakan pertemuan di Kota Raja, khawatir akan perangkap. Oleh karena itu telah diputuskan oleh kedua fihak untuk mengadakan pertemuan di luar Kota Raja, di lembah Sungai Huai, tempat yang mereka pilih adalah..."

   "Pusat perkumpulan Ngo-Lian-Kauw?"

   Kun Hong memotong, teringat ketika disebut lembah Sungai Huai.

   "Eh, kiranya Kwa-Pangcu juga sudah tahu...!"

   Lauw Kin, murid Coa-Lokai itu berseru terkejut.

   "Aku hanya menduga saja. Lanjutkan ceritamu dan apa maksud pertemuan itu."

   "Memang, mereka memilih tempat Ngo-Lian-Kauw, karena biarpun fihak Ngo-Lian-Kauw selama ini tidak ikut-ikut, namun mereka agaknya mempunyai hubungan dengan perkumpulan sesat itu dan mempercayainya. Adapun menurut hasil penyelidikan kami yang bekerja sama dengan Pek-Lian-Pai, maksud pertemuan itu adalah untuk merundingkan kerja sama menghadapi serbuan dari Raja Muda Yung Lo. Dalam hal ini, fihak Ching-Coa-To minta jaminan dan janji-janji kedudukan yang akan diputuskan dan ditandatangani sendiri oleh Kaisar."

   "Hemmm, untuk menghadapi Paman sendiri, menarik bantuan tenaga orang-orang Mongol dan Mancu."

   Kun Hong memotong.

   "Kalau begitu, kedua fihak tentu akan datang dengan kekuatan besar, belum lagi para anggauta Ngo-Lian-Kauw yang tentu menjaga keamanan di sana sebagai tuan rumah."

   "Memang betul, Kwa-Pangcu. Akan tetapi kami dan pihak Pek-Lian-Pai sudah mengadakan persiapan, malah kami sebelumnya telah menghubungi pasukan-pasukan Raja Muda Yung Lo dan mengerahkan para saudara kita. Raja Muda Yung Lo sudah berjanji akan mengirim pasukan dan akan menyerbu, karena orang-orang yang akan berkumpul itu merupakan inti kekuatan pertahanan di Kota Raja. Dalam kerIbutan inilah maka Pangcu dapat menolong nona Hui Kauw yang sudah pasti akan dibawa serta ke tempat itu."

   Kun Hong berpikir keras. Kekuatan fihak Istana dan Ching-Coa-To kalau digabung menjadi satu, merupakan kekuatan hebat yang sukar dilawan. Apalagi mengingat bahwa di sana ada orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu, ketiga Ang Hwa Sam Ci-moi, Ching Toa-Nio sendiri, Souw Bu Lai, dan Bouw Si Ma ditambah fihak Istana yang amat kuat dibantu oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Bhok Hwesio, Lui-Kong Thian Te Cu, dan Hek Lojin. Berat sekali lawan-lawan itu, akan tetapi demi keselamatan Hui Kauw, dia harus datang menolong. Di luar Istana, memang lebih leluasa dan mudah menolong nona itu, daripada di dalam Istana yang dikurung pagar tembok dan di mana terdapat puluhan rIbu orang tentara yang menjaga. Di samping menolong Hui Kauw, juga hitung-hitung dia membantu perjuangan mendiang pamannya Tan Hok yang membantu Raja Muda Yung Lo.

   "Kalau begitu, mari kita berangkat dan biarlah siasat selanjutnya kita atur di sana,"

   Kata Kun Hong. Dia menepuk-nepuk leher Kim-Tiauw dan berkata

   "Kim-Tiauw-Ko, kau tidak boleh turut karena kehadiranmu akan membuka rahasia pengepungan. Kau sekarang pergilah menyusul Susiok, kelak kau boleh cari lagi padaku.

   "Pergilah!"

   Dia mendorong tubuh Burung itu yang mengeluarkan seruan panjang tanda kecewa, akan

   (lanjut ke Jilid 25)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25

   tetapi agaknya dia tidak berani membangkang, buktinya dia lalu melengking keras dan terbang ke angkasa raya, sebentar saja lenyap dari situ, Para anak buah Hwa I Kaipang kagum bukan main melihat Burung sakti itu. Apa yang diceriterakan oleh Lauw Kin anggauta Hwa I Kaipang itu, memanglah benar. Pada waktu itu, memang para anggauta Hwa I Kaipang ini bersama para anggauta Pek-Lian-Pai, secara lihai sekali berhasil menyelundup ke Kota Raja dan memasang banyak mata-mata untuk mengetahui gerak-gerik pemerintahan Kaisar baru. Pemasangan mata-mata ini sampai menembus dinding Istana yang tebal sehingga segala macam peristiwa diketahui belaka oleh mereka.

   Kaisar muda itu melalui para penyelidik, telah dapat mengetahui akan adanya persekutuan yang hendak menjatuhkannya. Tahu pula bahwa persekutuan itu mengadakan kontak dengan Raja Muda Yung Lo, pamannya. Betapapun juga, dia hendak mempertahankan kekuasaannya dan sengaja ketika penobatannya menjadi Kaisar baru dilaksanakan, dia tidak mengundang pamannya itu. Sekarang, setelah jelas olehnya bahwa diam-diam mendiang kakeknya (Kaisar lama) menaruh harapan kepada Raja Muda Yung Lo, dia bertekad untuk menumpas pamannya itu. Dengan bantuan The Sun, Kaisar mengundang orang-orang pandai dan mengulurkan tangan kepada orang-orang kang-ouw yang suka membantunya. Oleh karena itulah, ketika dia mendengar bahwa para tokoh dari Ching-Coa-To bersama orang-orang sakti menawarkan bantuan mereka, dia menjadi girang sekali.

   Akan tetapi di samping kegirangan ini juga terdapat kecurigaan di fihak Kaisar dan para jagoan Istana. Semenjak dahulu tidak pernah Ching-Coa-To membantu Kaisar dalam urusan negara, sungguhpun harus diakui pula bahwa fihak ini sama sekali tidak ada hubungan dengan para pemberontak seperti Pek-Lian-Pai dan Hwa I Kaipang. Lebih-lebih lagi The Sun dan jagoan-jagoan lain merasa curiga dan berhati-hati menghadapi Ching-Coa-To, karena mendengar bahwa rombongan itu mempunyai anggauta tokoh-tokoh Mongol, malah yang seorang bekas pangeran Mongol pula. Jangan-jangan pangeran itu mempunyai niat buruk hendak mengembalikan kekuasaan bangsanya yang telah terusir oleh perjuangan Kaisar pertama dari Kerajaan Beng! Juga adanya orang Mancu dalam rombongan itu, menambahkan kecurigaan.

   "Sukar diduga apa yang tersembunyi daiam maksud bantuan mereka itu,"

   Kata The Sun ketika para jagoan diundang oleh Kaisar untuk membicarakan soal ini.

   "Akan tetapi, mereka terdiri dari orang-orang sakti yang amat kita butuhkan bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh kita."

   "Hemmm,"

   Kata Kaisar.

   "Dengan mengundang mereka ke Kota Raja, apakah tidak berbahaya? Jangan-jangan itu berarti kita memasukan serigala-serigala ke dalam rumah."

   "Harap Paduka tidak khawatir,"

   The Sun menghibur.

   "jika mereka itu mempunyai niat buruk, para pengawal dipimpin oleh para Lo-Cianpwe yang berada di sini pasti akan dapat menghancurkan mereka. Selain itu, jika Suhu telah berhasil mengejar dan menangkap pemberontak Kwa Kun Hong, tentu akan datang lagi dan keadaan kita akan menjadi lebih kuat."

   Bhok Hwesio mengerutkan keningnya. Hwesio ini suka kepada The Sun yang pandai mengambil hati dan bersikap halus, akan tetapi dia tidak suka kepada guru pemuda itu yang dianggapnya sombong.

   "Tanpa adanya Hek Lojin sekalipun Pinceng masih sanggup mengusir perusuh-perusuh dari dalam Kota Raja. Akan tetapi sungguh amat tidak baik kalau sampai memanggil orang-orang yang masih mencurigakan ke dalam Kota Raja, sama dengan memancing datangnya kekacauan yang akan melemahkan pertahanan. Lebih baik kalau kita mengadakan pertemuan dengan mereka di luar Kota Raja, barulah kita melihat sikap mereka dan mendengarkan kesanggupan mereka."

   Setelah ditimbang-timbang oleh Kaisar, usul Bhok Hwesio ini diterima dan diambillah keputusan untuk mengundang orang-orang Ching-Coa-To itu mengadakan pertemuan. Adapun tempat yang mereka pilih adalah lembah Sungai Huai yang menjadi sarang dari perkumpulan Ngo-Lian-Kauw. Tentu saja peristiwa penting ini tertangkap oleh telinga para mata-mata Pek-Lian-Pai dan Hwa I Kaipang yang segera mengadakan persiapan dan mengirim surat kepada Raja Muda Yung Lo, malah ada yang mencari Kun Hong dan mengabarkan hal ini. Dalam pertemuan puncak itulah para penyelidik ini mendengar tentang nasib Hui Kauw yang akan dijadikan tawanan dan dibawa ke pertemuan, dengan orang-orang Ching-Coa-To untuk dimintakan keputusan hukumannya.

   Rahasia Hui Kauw terbongkar ketika gadis ini merampas Mahkota dan menyerahkannya kepada Loan Ki dan Nagai Ici tanpa ia sadari bahwa peristiwa itu terlihat oleh seorang mata-mata Istana yang kebetulan berada di tempat itu dan bersembunyi. Ia segera ditangkap dan dengan gagah berani nona ini mengaku bahwa ia sama sekali tidak perduli akan urusan negara, tidak perduli siapa yang akan menjadi Kaisar, akan tetapi bahwa ia melakukan itu semata-mata untuk membantu Kwa Kun Hong, suaminya! Ayahnya, bangsawan Kwee, marah-marah dan tidak mengakuinya sebagai puteri lagi. Ia dijebloskan ke dalam penjara menanti keputusan hukuman, dan akhirnya ia hendak dipergunakan oleh The Sun untuk mengambil hati Ibu angkatnya, Ching Toa-Nio. The Sun memang cerdik. Dia cukup mengerti bahwa Hui Kauw bukanlah pemberontak, melainkan seorang yang mencinta Si Pendekar Buta dan perbuatannya itu hanya terdorong oleh cinta dan kesetiaan.

   Kalau Hui Kauw dibunuh, bukan saja tidak ada artinya, malah mungkin sekali hal itu akan mematahkan hubungan baik dengan Ching-Coa-To. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Ching Toa-Nio sebetulnya membenci Hui Kauw pula. Maka dia hendak "Mengambil hati"

   Orang-orang Ching-Coa-To dan menyerahkan Hui Kauw kepada mereka, sebagai umpan! Pada waktu itu, telah terjadi perubahan besar pada perkumpulan Ngo-Lian-Kauw. Dahulu, lima tahun yang lalu, perkumpulan ini dipimpin oleh Kim-Thouw Thian-Li (Bidadari Kepala Emas) murid Hek Hwa Kui-bo. Di bawah pimpinan Kim-Thouw Thian-Li yang direstui pula oleh iblis wanita Hek Hwa Kui-bo, perkumpulan itu maju pesat. Ngo-Lian-Kauw atau perkumpulan Agama Lima Teratai, adalah semacam agama sesat atau agama klenik yang memuja kekuasaan iblis dan mempelajari ilmu-ilmu hitam.

   Tidaklah mengherankan apabila pada waktu itu Ketuanya terkenal sebagai seorang ahli racun kembang dan jahatnya malahan melebihi gurunya. Setelah guru dan murid yang jahat itu tewas (baca Rajawali Emas), perkumpulan Ngo-Lian-Kauw menjadi morat-marit. Terjadilah perebutan-perebutan kekuasaan, karena Ketua Ngo-Lian-Kauw itu meninggalkan banyak harta benda di samping kedudukan dan pengaruh. Para anggauta Ngo-Lian-Kauw yang terdiri dari para Pendeta-Pendeta Ngo-Lian-Kauw dan wanita-wanita, terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok untuk memilih Ketua masing-masing dan terjadilah pertempuran-pertempuran. Akan tetapi kemudian muncullah tiga orang wanita sakti dari Barat, yaitu Ang Hwa Samci-moi, tiga orang kakak beradik Ngo Kui Ciau, Ngo Kui Biauw dan Ngo Kui Siauw yang selalu berpakaian serba merah.

   Tiga orang wanita yang usianya baru tiga empat puluh tahun ini adalah adik-adik seperguruan Hek Kwa Kui-bo, jadi masih terhitung Bibi-bibi guru daripada mendiang Kim-Thouw Thian-Li bekas Ketua Ngo-Lian-Kauw. Tentu saja dengan kepandaian mereka, dengan mudah Ang Hwa Sam Ci-moi ini menundukkan semua anggauta Ngo-Lian-Kauw dan semenjak itu, kurang lebih empat tahun sesudah Ketua Ngo-Lian-Kauw tewas, perkumpulan ini mengakui Ang-Hwa-Sam Ci-moi sebagai Ketua mereka. Setelah Sam Ci-moi (tiga kakak beradik) ini menjadi Ketua Ngo-Lian-Kauw, terjadilah perubahan hebat. Tiga orang wanita ini tidak suka akan ilmu klenik, tidak suka akan ilmu sihir dan penggunaan racun. Mereka tetah mewarisi ilmu silat dan ilmu pedang yang amat lihai, kepandaian mereka semenjak mereka merantau ke Barat telah mengalami kemajuan yang amat hebat sehingga mereka tidak suka mengandalkan diri kepada segala macam ilmu hitam.

   Juga, melihat para Pendeta laki-laki yang sudah tua-tua mereka tidak suka melihatnya dan membubarkan para anggauta pria dari Ngo-Lian-Kauw, tidak mengakui mereka sebagai anggauta lagi. Sebaliknya, mereka menerima anggauta-anggauta baru yang terdiri daripada wanita-wanita muda dan cantik. Dan semenjak dipimpin oleh Ang-Hwa-Sam Ci-moi inilah perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan wanita cabul! Kalau ada laki-laki terlihat di situ, sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki ini seorang pemuda tampan yang telah diculik dan orang itu selama hidupnya tidak akan dapat melihat dunia ramai lagi karena begitu dia sudah diapkir (tidak dibutuhkan lagi) dia akan dibunuh! Ang-Hwa-Sam Ci-moi memilih anggauta-anggauta yang berbakat dan mereka ini tidaklah banyak jumlahnya.

   Kalau dulu anggauta Ngo-Lian-Kauw ada ratusan orang, sekarang hanya tinggal kurang lebih lima puluh orang lagi, semua wanita akan tetapi mereka ini rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, malah tiga orang Ketua baru ini telah memperhebat barisan Ngo-Lian-Tin (Barisan Lima Teratai) yang dahulu diciptakan oleh Kim-Thouw Thian-Li. Semua anggauta-anggauta itu adalah ahli-ahli barisan Ngo-Lian-Tin sehingga biarpun kini anggautanya hanya lima puluh orang saja dan tidak sebanyak dulu, dan wanita semua, namun apabila dibandingkan dengan dahulu, perkumpulan ini malah lebih kuat! Seperti telah kita ketahui, Ang-Hwa-Sam Ci-moi juga merupakan orang-orang yang mempunyai ambisi untuk mendapatkan kemuliaan di Kota Raja di samping usaha mereka mencari teman-teman yang pandai untuk membalas dendam mereka atas kematian Hek Hwa Kui-bo di Thai-San.

   Oleh karena itu tiga orang saudara ini menjadi tamu-tamu terhormat dari Ching Toa-Nio di Ching-Coa-To. Seperti telah dapat kita duga, adalah tiga orang wanita sakti inilah yang banyak membantu Ching Toa-Nio dan teman-temannya sehingga siasat mereka di Thai-San berhasil dan mengakibatkan hancurnya perkumpulan Thai-San-Pai yang mereka benci itu. Dan tidaklah aneh pula kalau fihak Ching-Coa-To mengajukan sarang Ngo-Lian-Kauw sebagai tempat pertemuan dan perundingan antara fihak mereka dan fihak jagoan-jagoan Istana, karena seperti juga fihak Istana, mereka sendiri masih ragu-ragu dan sangsi apakah jagoan-jagoan Istana itu benar-benar mau menerima uluran tangan mereka dan mau memberi janji kedudukan.

   Demikianlah, pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Ngo-Lian-Kauw telah siap sedia. Sebagai nyonya rumah, Ang-Hwa-Sam Ci-moi telah mengatur tempat mereka sebaik-baiknya untuk menghormati para jagoan Istana yang akan menjadi tamu-tamu agung. Semua anggauta Ngo-Lian-Kauw diberi tugas, ada yang mengatur penjagaan di sekeliling tempat itu untuk menjaga keamanan, ada yang bertugas melayani para tamu. Akan tetapi pada hari itu mereka semua, yang sebagian besar terdiri daripada wanita-wanita muda yang cantik, berdandan dengan mewah, memakai pakaian baru dan muka mereka memakai bedak dan yanci (pemerah) lebih tebal daripada biasanya. Namun setiap orang anggauta menggantungkan pedang pada punggung masing-masing, sehingga mereka ini kelihatan cantik manis, centil genit, akan tetapi juga gagah.

   Untuk menyenangkan hati jagoan-jagoan dari Istana yang akan mewakili Kaisar dalam pertemuan dan perundingan ini, bangunan besar yang biasanya menjadi tempat tinggal Ketua Ngo-Lian-Kauw, kini dikosongkan dan dihias menjadi tempat perundingan yang cukup luas dan menyenangkan. Para pemasak sudah sejak pagi hari sIbuk di dapur dan banyaklah itik dan ayam dipotong lehernya, di samping dua ekor babi disembelih. Untuk keperluan ini malah didatangkan dua orang tukang masak pria dari Kota Raja, dua orang laki-laki gemuk bermuka buruk akan tetapi yang sepasang tangannya pandai sekali menyulap masakan-masakan lezat. Arak wangi tidak ketinggalan, dipilihnya arak tua yang baik. Pendeknya, fihak Ching-Coa-To melalui Ngo-Lian-Kauw telah mempersiapkan penyambutan hebat dan besar-besaran.

   Semenjak kemarin, fihak Ching-Coa-To dan teman-temannya telah hadir di situ. Mereka ini terdiri dari belasan orang terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi yang penting disebut adalah Ching Toa-Nio, Souw Bu Lai si jago Mongol dan gurunya, si Pendeta Ka Chong Hoatsu pentolan Mongol yang terkenal sakti. Tampak pula Bouw Si Ma, jagoan Mancu murid tunggal Pak Thian Locu. Bouw Si Ma ini terkenal dengan julukannya Si Tangan Maut dan tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh Souw Bu Lai maupun Ching Toa-Nio sendiri! Tentu saja patut disebut Ang-Hwa-Sam Ci-moi, karena tiga orang wanita ini benar-benar sakti dan kepandaian mereka masing-masing jauh melampaui tingkat Ching Toa-Nio dan teman-temannya, kecuali Ka Chong Hoatsu. Tiga orang Sumoi (adik seperguruan) Hek Hwa Kui-bo ini memang masing-masing tidak setinggi Ka Chong Hoatsu kesaktiannya, akan tetapi kalau mereka itu maju bertiga, kiranya Ka Chong Hoatsu sendiri akan sukar menandingi mereka!

   Sesungguhnya mereka ini tidaklah sejujurnya hendak membantu pemerintah Beng-Tiauw. Seperti telah kita ketahui, mereka ini terdiri dari orang-orang yang berambisi (berpamrih), terutama sekali Souw Bu Lai atau Pangeran Souw Bu Lai yang mengaku masih keturunan dari Jenghis Khan. Kalau kali ini mereka mengulurkan tangan hendak membantu Kaisar Beng-Tiauw dengan dalih mencari kedudukan dan kemuliaan, sebetulnya adalah karena mereka sekarang belum merasa cukup kuat untuk merampas Kerajaan. Mereka hendak membaiki pemerintah dan menguasai kedudukan-kedudukan penting sehingga kelak lebih mudah lagi mereka untuk menggulingkan Kerajaan Beng-Tiauw dan membangun kembali Kerajaan Mongol. Ini termasuk cita-cita Souw Bu Lai yang didukung oleh gurunya, yaitu Ka Chong Hoatsu, dan juga Ang-Hwa-Sam Ci-moi.

   Akan tetapi cita-cita Bouw Si Ma si tokoh Mancu lain lagi. Tokoh ini bercita-cita untuk mempergunakan kekuatan bangsanya untuk mencoba menguasai Kerajaan besar itu, karena sesungguhnya sudah amat lama Bangsa Mancu mengincar untuk berkuasa apabila kesempatan baik tiba. Dan cita-cita itu disetujui dan didukung oleh Ching Toa-Nio yang diam-diam telah lama mengadakan hubungan rahasia dengan Bouw Si Ma. Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali rombongan dari Kota Raja sudah memasuki lembah Sungai Huai. Lima puluh orang perajurit pilihan termasuk pasukan pengawal Kerajaan, berbaris memanjang dipimpin oleh dua orang pengawal Istana, yaitu Ang Mo-Ko dan Bhong-Lokai, mengiringkan para tokoh Istana yang dikepalai oleh The Sun. Para tokoh Istana itu adalah Lui-Tong Thian Te Cu yang berpakaian kuning,

   Bhok Hwesio dengan pakaiannya tetap sederhana dengan bagian dada setengah terbuka, Bhewakala si jagoan dari Nepal yang berkulit hitam dengan anting-antingnya yang besar bergantungan di kedua telinganya, It-To-Kiam Gui Hwa yang pendiam dan bersifat galak, dan The Sun sendiri. Di tengah rombongan berkuda ini juga naik kuda diapit oleh The Sun dan Lui-Tong Thian Te Cu, kelihatan Hui Kauw si gadis muka hitam! Gadis ini menunggang kuda dengan muka tunduk. Ia menjadi seorang tawanan yang biarpun ia tidak dibelenggu dan naik kuda sendiri secara bebas, namun ia maklum bahwa di tengah orang-orang sakti ini ia sama sekali tidak berdaya. Melawan tidak ada artinya. Ia memang tidak mengharapkan diampuni, tidak mengharapkan diberi hidup oleh mereka ini atau oleh Ibu angkatnya, akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut,

   Tidak sudi pula minta ampun, dan hatinya malah berdebar penuh kebahagiaan kalau ia ingat bahwa semua penderitaan ini ia pikul demi membantu usaha Kun Hong, suaminya. Mati baginya bukanlah apa-apa asalkan Kun Hong selamat dan tugas yang dipikulnya terlaksana. Gadis ini ketika ditangkap dan diperiksa, dengan terus terang mengaku bahwa ia sengaja memberikan Mahkota kepada Loan Ki untuk membantu tugas "Suaminya"

   Kwa Kun Hong, untuk menyampaikan Mahkota itu kepada Raja Muda Yung Lo di Utara. Memang sesungguhnya The Sun dan kawan-kawannya tentu saja tidak membutuhkan pengawalan karena mereka terdiri dari orang-orang sakti, akan tetapi pengawalan itu dilakukan bukan sekali-kali untuk menjaga keselamatan mereka melainkan untuk menambah keangkeran mereka sebagai utusan-utusan Kaisar.

   Mereka semua datang berkuda dan sebetulnya malam tadi mereka sudah harus sampai di lembah Sungai Huai, akan tetapi oleh karena musim hujan sudah tiba dan malam tadi hujan turun amat lebat, mereka terpaksa menunda perjalanan dalam sebuah hutan dan baru pada pagi hari itu mereka dapat melanjutkan perjalanan ke lembah Sungai Huai. Setelah hujan semalam, pagi hari itu hawanya amat nyaman dan sejuk, pemandangan segar menyenangkan, akan tetapi sayang, tanah yang mereka lalui becek dan berlumpur. Pakaian seragam indah barisan itu banyak yang terkena lumpur yang memercik-mercik dari kaki kuda. Kedatangan rombongan ini disambut penuh hormat dan manis budi oleh Ching Toa-Nio sebagai wakil rombongannya dan oleh Ang-Hwa-Sam Ci-moi sebagai nyonya-nyonya rumah.

   Juga para tokoh undangan Ching Toa-Nio yang sudah berkumpul keluar untuk menyambut. Tokoh berhadapan dengan tokoh, jago dengan jago sehingga pertemuan itu amat menggembirakan, dipenuhi kata-kata saling memuji dan saling merendahkan diri. Rombongan itu lalu dipersilakan masuk ke dalam bangunan yang sudah disediakan. Adapun para anggauta pasukan diperbolehkan beristirahat. Mereka ini pun tidak melewatkan kesempatan baik dan bergembiralah mereka melihat betapa para penyambut mereka adalah wanita-wanita cantik, yaitu para anggauta Ngo-Lian-Kauw. Suasana menjadi amat meriah, baik di dalam bangunan di mana para tamu terhormat disambut, maupun di luar bangunan dan di tempat-tempat sekelilingnya di mana para anggauta pasukan telah dapat mencari dan memilih pasangan masing-masing.

   Karena para anggauta pasukan dari Istana itu bersama para anggauta Ngo-Lian-Kauw bersenang-senang dalam kesempatan yang amat baik ini, maka mereka menjadi lalai dan penjagaan yang seharusnya dilakukan menjadi kurang ketat. Keadaan inilah yang menguntungkan Kun Hong dan tiga orang pengantarnya, yaitu Lauw Kin dan dua orang anggauta Hwa I Kaipang lain lagi. Mereka ini adalah murid-murid Hwa I Kaipang yang penuh semangat, gagah dan berani. Karena mereka tahu bahwa tanpa diantar, sukarlah bagi seorang buta seperti Kun Hong untuk dapat menyelundup masuk ke dalam sarang Ngo-Lian-Kauw, maka tiga orang ini dengan nekat lalu menyediakan diri untuk menjadi pengantar.

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lemahnya penjagaan memudahkan mereka untuk dapat menerobos masuk dan dengan kepandaian mereka, empat orang ini dengan mudah membekuk empat orang anggauta pasukan, merampas pakaian mereka dan di lain saat Kun Hong dan tiga orang pengantarnya telah menyamar sebagai empat orang anggauta pasukan Istana! Dalam pakaian ini, mereka lebih leluasa sehingga akhirnya mereka berempat dapat menyelinap kedalam bangunan, mencari tempat untuk mengintai dan mendengarkan percakapan. Di dalam ruangan yang luas itu, kedua fihak telah lengkap untuk mengelilingi meja yang diatur berjajar berbentuk bundar. Hui Kauw berdiri di tengah-tengah, seakan-akan dijadikan barang tontonan. Gadis itu sekarang tidak tunduk lagi seperti ketika naik kuda tadi. Ia berdiri tegak dengan pandang mata berapi-api menyapu para tokoh yang duduk di sekelilingnya. Dengan sikap gagah dan lantang ia berkata,

   "Tidak perlu lagi banyak bicara. Kalian adalah orang-orang terkenal di dunia kang-ouw dan kalau terjatuh ke dalam tangan kalian, sampai mati pun aku tidak penasaran. Ibu angkatku atau penculikku membenciku, Ayah sendiri membenci, Ibu kandung tidak berdaya. Apalagi artinya hidup? Mau hukum boleh hukum, mau bunuh, siapa takut mati? Mau menganggap aku pengkhianat atau pemberontak, terserah, pokoknya bagiku sama saja, aku telah melakukan hal yang kuanggap membantu tugas suamiku, Kwa Kun Hong. Habislah, aku tidak mau bicara lagi dan apa yang kalian hendak lakukan atas diriku, terserah!"

   Bukan main terharunya hati Kun Hong mendengar suara ini. Suara Bidadari yang biasanya halus merdu penuh getaran jiwa kini lantang dan nyaring penuh wibawa sehingga keadaan di ruangan itu seketika hening.

   Agaknya semua orang yang berada di dalam ruangan itu terpengaruh oleh sikap yang amat berani dari gadis itu. Kun Hong sedang memutar otak, menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan untuk dapat menolong Hui Kauw. Dia cukup maklum bahwa keadaan amatlah berbahaya, bahwa di dalam ruangan itu terdapat tokoh-tokoh sakti yang sukar dilawan dan bahwa dia seorang diri tidak mungkin dapat menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi dia pun tidak dapat membiarkan Hui Kauw terancam bahaya maut, dan untuk menolong nona ini dia siap mempertaruhkan nyawanya sendiri. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ketawa terkekeh-kekeh. Semua Orang di dalam ruangan itu menengok dan tahu-tahu berkelebat bayangan orang yang setelah tiba di situ berubah menjadi seorang kakek berkulit hitam Hek Lojin.

   "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, The Sun, percuma saja kau membawa puluhan orang pengawal, Mereka itu manusia-manusia tidak becus, datang ke sini bukan melakukan penjagaan melainkan bermain gila dengan perempuan-perempuan tidak tahu malu Ngo-Lian-Kauw, malah ada yang mengintai ke sini seperti mata-mata. Benar-benar tiada guna, ha-ha-ha, heh-heh-heh!"

   Sambil berkata demikian, tiba-tiba tubuhnya berkelebat mendekati tempat persembunyian Kun Hong berempat, tongkat hitamnya menyambar empat kali, terdengar suara keras tembok jebol disusul menjeritnya Lauw Kin dan dua orang saudara seperguruannya yang roboh dengan kepala pecah berhamburan! Kun Hong tadi pun terkejut karena merasa betapa ujung tongkat menembus tembok menghantam kepalanya, maka cepat dia miringkan kepala sehingga tongkat itu tidak mengenai sasaran.

   "Iiihhh, kenapa yang seorang tidak roboh?"

   Hek Lojin berseru kaget dan heran sambil melompat mundur.

   Kun Hong maklum bahwa tempat sembunyinya tidak dapat dirahasiakan lagi. Dia menyesal bukan main betapa tadi karena tidak menyangka-nyangka, dia tidak sempat menolong tiga orang anggauta Hwa I Kaipang itu sehingga mereka tewas oleh tongkat Hek Lojin yang lihai dan ganas. Dengan cepat dia lalu merenggut lepas pakaian pengawal yang tadi dirampas dan dipakai di luar bajunya sendiri, kemudian sekali dorong dia telah mendobrak pintu dan melangkah masuk dengan sikap tenang. Semua mata di dalam ruangan itu kini ditujukan kepadanya. Beberapa orang di antara mereka yang telah merasai kelihaian Si Pendekar Buta ini berdebar hatinya karena gentar. Apalagi sikap Kun Hong yang amat tenang dengan langkah-langkah lambat itu benar-benar amat mengecutkan hati, seakan-akan membawa ancaman maut yang hebat.

   "Kun Hong...!"

   Hui Kauw berseru kaget dan heran bercampur khawatir ketika ia melihat munculnya orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu. Tentu saja di tempat dan pada saat lain ia akan merasa bahagia dan gembira sekali berjumpa dengan orang yang dikasihi ini, akan tetapi saat itu dan tempat itu sama sekali tidak tepat untuk mereka saling bertemu.

   "Kun Hong, kenapa kau ke sini...??"

   Hui Kauw merangkul dan bertanya dengan suara penuh kegelisahan, sama sekali tidak merahasiakan perasaannya lagi. Betapa jauh bedanya sikap gadis ini tadi dengan sekarang. Tadi, biarpun ia maklum bahwa ia menghadapi bahaya maut, ia tetap tenang dan tabah, malah sikapnya menantang. Sekarang, begitu Kun Hong muncul, segera ia menjadi ketakutan, suaranya menggetar penuh kegelisahan. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari telinga Kun Hong yang tajam dan dia merasa tenggorokannya seperti tersumbat. Alangkah besarnya cinta kasih gadis ini terhadapnya! Dia melepaskan rangkulan Hui Kauw dan menggandeng tangan gadis itu sambil berkata lirih,

   "Hui Kauw, biarlah kita mati bersama..."

   Butiran-butiran air mata bening menetes turun dari kedua mata gadis itu, akan tetapi Bibirnya yang manis tersenyum, dan jari-jari tangannya saling remas dengan jari-jari tangan Kun Hong. Dalam saat menghadapi ancaman maut itu, dua orang muda ini benar-benar merasa betapa teguhnya jalinan cinta kasih murni mengikat hati masing-masing. Mereka rela berkorban, rela mati bersama.

   "Kun Hong, kita melawan. Melawan mati-matian. Mari kita mati bersama, akan tetapi mati sebagai sepasang harimau, bukan sebagai sepasang kelinci..."

   Bisik Hui Kauw. Ucapun ini seketika menggugah semangat Kun Hong, tongkat di tangannya mulai menggigil.

   "jangan khawatir... aku akan melindungimu, Hui Kauw. Mereka itu tidak akan mampu mengganggu selembar rambutmu tanpa melalui mayatku."

   Hek Lojin tertawa nyaring.

   "Ha-ha-ha-heh-heh-heh! Betapa romantisnya! Ha-ha-ha, pasangan yang cocok. He, orang buta, namamu Kwa Kun Hong? Ha-ha-ha, inikah yang membikin kecut hati para jagoan? Alangkah lucunya, benar-benar memalukan sekali. He, orang buta, hayo kau berlutut lagi dan mengangguk-angguk tujuh kali di depan kakiku seperti dalam hutan itu. Baru aku mau ampuni kau!"

   Panas rasanya telinga Kun Hong. Dengan tangan kirinya dia menarik Hui Kauw di belakangnya untuk melindunginya, kemudian dia berdiri tegak dengan tongkat di tangan kanan, siap menghadapi kakek lihai ini.

   "Hek Lojin, kau amat sombong, tidak tahu orang mengalah karena mengingat usiamu yang sudah lanjut. Kiranya kau hanya seorang kakek yang sudah pikun dan yang tidak patut dihormati oleh orang muda. Tanpa alasan tidak sudi aku berlutut dan minta ampun kepadamu atau kepada siapa pun juga."

   "Hua-ha-ha-heh-heh-heh! Benar-benar tabah anak ini. Pantas bikin heboh! The Sun, apakah di antara jagoan-jagoanrnu tidak ada yang berani menangkap dia?"

   The Sun dan teman-temannya tidak menjawab, Bhok Hwesio marah sekali, akan tetapi dia tidak begitu bodoh untuk dapat diadu oleh kakek yang tidak disukainya itu, maka dia pun diam saja. Akhirnya The Sun berkata,

   "Suhu, lebih baik kita segera turun tangan membunuhnya sebelum dia membikin kacau pertemuan ini."

   "Wah-wah-wah, jadi tidak ada yang berani? Nah, bagaimana dengan tokoh-tokoh yang katanya hendak membantu pemerintah? tentu ada yang berani menawan bocah buta ini. Ataukah juga tidak ada yang berani?"

   Pandang matanya menyapu Ching Toa-Nio dan teman-temannya, Ka Chong Hoatsu dan Ang-Hwa-Sam Ci-moi maklum akan kelihaian Kun Hong, akan tetapi mereka tidak takut karena memang belum pernah mengukur tenaga secara sungguh-sungguh. Mendengar semua itu, otak Kun Hong yang cerdik segera mendapatkan akal. Terang bahwa kakek yang bernama Hek Lojin ini biarpun sombong dan aneh, ternyata mempunyai sikap yang cukup gagah, yaitu agaknya enggan untuk mengeroyok lawan. Oleh karena itu, cepat dia berkata,

   "Hek Lojin, untuk apa banyak pidato? Terang bahwa semua temanmu tidak ada yang berani maju satu lawan satu. Daripada capek mulutmu, lebih baik kalian semua maju mengeroyokku. Ha-ha-ha, tokoh-tokoh dunia kang-ouw sekarang memang hanya namanya saja yang besar, menghadapi seorang muda buta saja beraninya hanya main keroyokan!"

   "Tentu saja, Kun Hong. Siapa di antara mereka ini berani menghadapimu satu lawan satu? Aku berani bertaruh potong kepalaku kalau di antara mereka ada yang dapat menangkan kau!"

   Hui Kauw menambahi "Api"

   Yang dinyalakan Kun Hong.

   Akal ini berhasil membikin panas hati para tokoh itu, terutama sekali The Sun, Lui-Kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio, Ka Chong Hoatsu dan Ang-Hwa-Sam Ci-moi. Yang lain-lain biarpun panas namun diam-diam mengaku bahwa mereka tidak akan dapat menangkan Kun Hong kalau seorang lawan seorang. Hek Lojin paling panas perutnya "Heh, memalukan sekali! Kita adalah orang-orang yang mengaku gagah. Masa keroyokan? Apa sih kepandaian bocah buta ini? Kita harus bersikap gagah dan tegas. Tadipun tiga orang pengawal, biar mereka itu anak buah muridku, sekali turun tangan kubunuh karena mereka mengintai. Yang tidak dapat berlaku tegas dan gagah, percuma saja mengaku orang gagah hendak membantu Kaisar."

   "Ha-ha-ha, Hek Lojin, percuma saja kau mendongkol dan uring-uringan seperti ini! Orang-orang dari Ching-Coa-To mana ada yang patut disebut orang gagah? Mereka itu adalah pengecut-pengecut tidak tahu malu, apalagi Ching Toa-Nio yang diam-diam mengajak kawan-kawannya menyerbu Thai-San-Pai. Tanpa keroyokan, mana mereka berani berkelahi? Ha-ha, marilah Hui Kauw, kita keluar saja dari ruangan ini. Terlalu banyak kutu busuk di sini, baunya tidak tertahan, Hek Lojin, aku menanti di luar, di tempat lega kita boleh bertempur sampai mati!"

   Sambil menggandeng tangan Hui Kauw, Kun Hong mengajak nona itu keluar dari ruangan. Hui Kauw maklum bahwa Pendekar Buta ini menghendaki tempat yang lega sehingga leluasa bergerak kalau terjadi pertempuran yang tidak dapat disangsikan lagi tentulah menjadi pengeroyokan. Hati nona ini menjadi besar. Kalau tadi ia tidak takut mati, sekarang ia malah bergembira karena berada di samping orang yang dikasihinya.

   Mati atau hidup, bersama Kun Hong ia rela. Maka dialah yang kini menarik tangan Kun Hong diajak ke luar melalui pintu. Biarpun ia tidak memegang senjata, Hui Kauw siap untuk bertempur dengan tangan kosong, melawan mati-matian. Ching Toa-Nio marah bukan main mendengar ucapan Kun Hong yang amat menghinanya tadi. Apalagi melihat Hui Kauw menuntun Kun Hong ke luar dengan sikap begitu mesra, hatinya seperti dibakar. Ingin sekali bacok ia membikin mampus dua orang yang amat dibencinya itu. Betapapun juga, ia adalah majikan Pulau Ching-Coa-To yang sudah terkenal. Ilmu silatnya tinggi dan ia adalah bekas kekasih Siauw-Coa-Ong Giam Kim! Mana ia sudi dihina begitu saja? Ia berkedip memberi isyarat kepada Bouw Si Ma sambil melompat ke luar dan berseru,

   "Iblis buta, jangan sombong! Hui Kauw perempuan hina, tanganku sendiri yang akan merenggut nyawamu!"

   Sambil tertawa-tawa Hek Lojin juga melangkah ke luar menyeret tongkat hitamnya, dikuti semua yang hadir dalam ruangan itu. Ternyata Kun Hong sudah berdiri di luar bangunan, di tempat yang lega. Akan tetapi pagi hari itu matahari tidak muncul karena tertutup mendung-mendung tebal yang agaknya memberi tanda bahwa pada hari itu akan terjadi pertempuran hebat dan mandi darah manusia. Para anggauta Ngo-Lian-Kauw dan para anggauta pasukan Istana tertarik oleh keadaan kacau ini dan berdatangan. Kun Hong dan Hui Kauw tetap tenang walaupun maklum bahwa mereka telah terkurung banyak orang lawan.

   "Siapa berani maju?"

   Kun Hong bertanya, suaranya tetap ramah tetapi mengandung ejekan.

   "Satu-satu ataukah keroyokan? Terserah kepada kalian! Asal kalian ingat bahwa aku Kwa Kun Hong tidak pernah mencari permusuhan dengan kalian, melainkan kalianlah yang memusuhi aku dan Hui Kauw. Kalau kalian tidak mengganggu kami, kami pun akan pergi baik-baik tanpa mengganggu kalian. Akan tetapi kalau kalian menyerang, sudah barang tentu kami akan membela diri."

   "Kun Hong, enak saja kau bicara. Sudah jelas kau pengkhianat, kau pemberontak hendak melawan pemerintah yang sah dan perempuan ini adalah pembantumu, kau masih pandai pura-pura suci!"

   The Sun berkata lantang. Kening Kun Hong berkerut mendengar suara The Sun. Dia benci orang ini dan biarpun dia bukan seorang yang suka membunuh, rasanya dia akan suka membunuh pemuda ini mengingat akan perbuatannya yang biadab terhadap mendiang janda Yo. Akan tetapi dia menahan kemarahannya. Urusan pribadi tidak akan dicampur adukkan dengan urusan sekarang ini.

   "The Sun, kau ular belang! Kau tahu dengan baik bahwa aku bukanlah seorang yang mencampuri urusan negara. Memang aku mempertahankan Mahkota kuno dan rahasianya karena aku hendak membantu usaha mendiang Paman Tan Hok, menyelesaikan tugasnya menyampaikan Mahkota kuno dan rahasianya kepada yang berhak. Sayang, Paman Tan Hok yang gagah perkasa itu pun tewas oleh kecurangan orang-orangnya Ching Toa-Nio. Memang pengecut dan curang sekali nenek Pulau Ching-Coa-To itu!"

   Ching Toa-Nio menjerit marah. Dalam kemarahannya mengingat sikap wanita itu kepada Hui Kauw, Kun Hong telah menggunakan makian yang benar-benar menusuk perasaan dan keangkuhan Ching Toa-Nio. Andaikata ia dimaki iblis wanita sekalipun, kiranya Ching Toa-Nio tidak akan semarah kalau dimaki nenek! Ia memang sudah tua, namun hatinya melebihi gadis remaja mudanya!

   "Kwa Kun Hong pengemis buta. Kau berani menghina nyonya besarmu?"

   Sambil berteriak demikian Ching Toa-Nio sudah melompat maju dengan pedang terhunus. Gerakannya ini diikuti oleh Bouw Si Ma yang juga sudah mencabut pedang yang hitam dan ampuh.

   "Kwa Kun Hong, aku pun harus menagih hutang nyawa guruku, Pak-Thian Locu, kepadamu!"

   Kata tokoh Mancu ini dengan suara berat.

   Kun Hong terkejut. Kiranya Bouw Si Ma si orang Mancu yang pandai memainkan pedang dan memiliki tenaga Lweekang yang lihai ini adalah murid Pak-Thian Locu. Agaknya baru sekarang dia ini tahu bahwa gurunya dahulu tewas dalam pertandingan menghadapinya. Namun dia tidak menjadi gentar karena pernah dia mengukur kepandaian orang Mancu ini, juga pernah dahulu bergebrak dengan Ching Toa-Nio. Tadi Hui Kauw sudah membisikinya bahwa dia harus berhati-hati menghadapi beberapa orang yang berada di situ, terutama sekali Bhok Hwesio, Ka Chong Hoatsu, dan ketiga Ang-Hwa-Sam Ci-moi. Lima orang itulah yang merupakan lawan berat, sekarang ditambah lagi dengan Hek Lojin yang kiranya tidak kalah lihainya, dibandingkan dengan yang lima orang itu.

   "Kalian maju berdua hendak mengeroyokku? Silakan!"

   Tantang Kun Hong yang mendengar gerakan Ching Toa-Nio dan Bouw Si Ma. Tiba-tiba Hui Kauw berseru,

   "Ching-Toanio, mengingat bahwa kau pernah menjadi Ibu angkatku, lebih baik kau jangan melawan Kun Hong dan pulanglah saja ke Ching-Coa-To dengan aman. Kau tidak akan menang dan aku tidak ingin melihat kau tewas di tangan Kun Hong."

   Ucapan Hui Kauw ini keluar dari hati sejujurnya. Biarpun Ibu angkat ini kerap kali bersikap sewenang-wenang dan tidak baik kepadanya, namun ia masih ingat bahwa ketika kecil ia dirawat dan dididik nyonya galak ini. Akan tetapi dasar watak Ching Toa-Nio memang sombong dan galak, ucapan ini diterimanya salah dan ia malah menjadi marah sekali.

   "Hui Kauw perempuan rendah! Tidak usah banyak cerewet, lihat pedangku akan menembus jantungmu!"

   Ucapan ini ia tutup dengan sambaran sepasang pedangnya ke arah Hui Kauw dalam penyerangan maut karena sekaligus sepasang pedang itu menabas leher dan menusuk dada. Tentu saja Hui Kauw yang sudah mengenal watak Ibu angkatnya ini sejak tadi sudah bersiaga, maka melihat berkelebatnya sepasang pedang itu, cepat ia mengelak dan melompat ke belakang. Sebelum Ching Toa-Nio sempat menyerang lagi, Kun Hong sudah menghadangnya sambil tersenyum.

   "Siapapun juga tidak boleh mengganggu Hui Kauw. Akulah lawanmu!"

   "Bangsat buta, apamukah dia itu?"

   Bentak Ching Toa-Nio, suaranya menggetar penuh kemarahan.

   "Dia... isteriku! Hemmm, kau sendiri yang mengawinkan kami, Ching Toa-Nio. Lupakah kau?"

   

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini