Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 28


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



"It-To-Kiam, jangan bunuh dia, sayang kepandaiannya!"

   Seru Bhewakala dengan suara keras untuk mencegah, namun dia tidak berdaya untuk menolong karena dia pun sedang mengerahkan tenaga untuk melibat tubuh Kun Hong dengan cambuknya itu.

   "Sruuuuuttttt! Cringggg... krakkk!"

   Apa yang terjadi sedetik ini benar-benar hebat dan sekaligus membuktikan bahwa Si Pendekar Buta benar-benar telah memiliki kesaktian yang jarang bandingannya.

   Dalam keadaan yang serba sulit itu dia masih dapat menyelamatkan diri, malah kelihatan It-To-Kiam Gui Hwa sudah roboh tak berkutik karena dadanya tertembus, oleh tongkat Kun Hong, sedangkan cambuk hitam yang tadi melibat-libat tubuh Kun Hong itu kini berantakan dan putus-putus! Kiranya dengan tenaga saktinya, ketika menghadapi bahaya maut tadi, Kun Hong masih sempat menggerakkan kaki melakukan langkah ajaib sehingga dia terhindar daripada tusukan maut It-To-Kiam, kemudian sekali mengerahkan tenaga terdengar suara keras dan cambuk hitam itu hancur berantakan, kemudian sinar merah berkelebat dan tahu-tahu tubuh It-To-Kiam telah roboh binasa. Saking cepatnya tongkat bergerak, sampai tidak kelihatan bagaimana senjata ini tadi menembus tubuh It-To-Kiam!

   Bhewakala terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya berdiri. Selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan hal seperti ini. Mana mungkin tubuh seorang manusia dapat membikin cambuk hitamnya yang terbuat daripada bulu binatang sakti di Pegunungan Himalaya itu hancur berantakan? Dia cepat menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dalamnya yang amat kuat. Akan tetapi kali ini Kun Hong sudah siap, tubuhnya tiba-tiba bergerak miring, pukulan itu luput dan tahu-tahu Bhewakala roboh karena kaki Kun Hong sudah menyerampangnya dan menyentuh jalan darah dekat lutut. Bhewakala makin kaget dan maklum bahwa sekali tongkat yang ampuh itu bergerak, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi aneh, tongkat itu tidak bergerak, malah Kun Hong hanya berdiri tegak sambil berkata,

   "Bhewakala, tadi kau menyayangkan nyawaku, aku pun tidak tega membunuhmu. Memang di antara kita tidak ada permusuhan. Pergilah, atau... biarkanlah aku pergi dengan aman."

   Bhewakala bangkit, memandang dengan matanya yang agak kebiruan itu, kemudian mengangguk-angguk.

   "Kau hebat. Tidak perlu lagi aku di sini, aku harus pulang dan belajar sepuluh tahun lagi."

   Setelah berkata demikian, dengan langkah panjang dia lari pergi dari tempat itu.

   "Kun Hong, tolong...!"

   Jeritan Hui Kauw ini seperti menyendal semangat Kun Hong. Kaget dan khawatir sekali hatinya. Seperti kilat cepatnya tubuhnya melompat ke arah suara dan ternyata di sebelah kanan pondok itu telah berdiri Ang-Hwa-Sam-ci- moi dengan pedang di tangan. Kui Siauw, orang termuda dari Ang-Hwa-Sam Ci-moi memegang lengan Hui Kauw yang tidak berdaya lagi karena sudah ditotok jalan darahnya.

   "Hui Kauw, kau di mana? Apa yang terjadi...??"

   Kun Hong berteriak dan berdiri bingung.

   "Kun Hong, aku... tertawan Ang-Hwa-Sam Ci-moi..."

   Kata Hui Kauw lemah. Kun Hong menggerakkan tongkatnya mengancam,

   "Lepaskan dia!"

   Suaranya mengguntur. Kui Ciauw dan Kui Biauw tertawa mengejek, kemudian Kui Ciauw berkata,

   "Pemberontak buta. Lebih baik kau menyerahkan diri saja sebelum kekasihmu ini kami bunuh!"

   Kun Hong ragu-ragu. Dia maklum bahwa kalau dia bergerak, biarpun akhirnya dia akan menang, Hui Kauw tentu akan terbunuh lebih dulu.

   "Kun Hong, serang mereka. Jangan perdulikan aku!"

   Ucapan Hui Kauw ini membangkitkan semangat Kun Hong, akan tetapi cepat Kui Ciauw berseru,

   "Kau benar-benar ingin dia mampus?"

   "Lepaskan dia!!"

   Kun Hong melompat dan tongkatnya menerjang Kui Siauw karena dari suara Hui Kauw dia tahu siapa yang harus dia serang lebih dulu untuk menolong kekasihnya.

   "Plak-plak-plak!"

   Kun Hong terhuyung mundur. Tongkatnya sampai tiga kali bertemu dengan senjata lunak namun kuat bukan main, disertai tenaga sakti yang mampu melawan tenaga dan tongkatnya.

   "Ha-ha-ha, Kwa Kun Hong. Lebih baik kau menyerah kalau kau menghendaki nona itu dan kau sendiri selamat."

   "Bhok Hwesio!!"

   Kun Hong berteriak marah.

   "Kalau kalian memusuhi aku, itu sudah sepatutnya karena kau dan teman-temanmu adalah anjing-anjing penjaga Istana yang menganggap aku telah memberontak. Akan tetapi apa salahnya Hui Kauw? Kau lepaskan dia dan mari kita bertanding serIbu jurus sebagai laki-laki!"

   "Hemm, bocah buta yang sombong. Apa kau kira Pinceng takut kepadamu? Soal nona itu, tidak usah dibicarakan lagi, tentang kepandaian, kalau memang kau merasa jagoan, majulah biar Pinceng layani."

   Kun Hong sudah marah sekali, tongkat di tangannya tergetar. Akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, terdengar suara halus di belakangnya.

   "Omitohud, semoga Tuhan mengampuni kesalahan hambaNya..."

   Suara itu sedemikian halusnya, namun pengaruhnya membuat Kun Hong seketika lemas dan lenyap kemarahannya.

   Dia terheran-heran dan menanti dengan telinga dibuka lebar-lebar untuk mengetahui siapakah gerangan orang yang memiliki suara demikian berpengaruh. Adapun Hui Kauw yang berada dalam tawanan Kui Siauw juga memandang penuh perhatian. Tadinya ia terbelalak penuh kekhawatiran terhadap diri Kun Hong ketika di situ tiba-tiba muncul Bhok Hwesio. Tadinya ia menonton perlawanan Kun Hong terhadap Bhewakala dan It-To-Kiam Gui Hwa dari samping pondok. Tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat tiga bayangan yang cepat sekali gerakannya. Hui Kauw hendak melawan, namun ia kalah jauh oleh Ang-Hwa-Sam Ci-moi sehingga dalam beberapa jurus saja ia telah tertotok dan tertawan. Ia tidak takut mati, juga tidak takut melihat Kun Hong menghadapi Ang-Hwa-Sam Ci-moi karena ia memang sudah nekat untuk mati bersama.

   Akan tetapi tidak tega juga hatinya melihat kekasihnya yang buta itu akan dikeroyok oleh orang-orang sakti, maka munculnya Bhok Hwesio yang amat sakti itu menggelisahkan hatinya. Kini ia terbelalak memandang tiga orang yang datang dengan langkah lambat dan ringan. Mereka ini adalah tiga orang Hwesio tua yang jalan berjajar. Yang kanan dan kiri serupa benar bentuk badan dan muka, seperti Hwesio tua yang kembar, bertubuh kurus pendek. Yang berada di tengah adalah seorang Hwesio tinggi kurus berusia sedikitnya delapan puluh tahun dan Hwesio inilah tadi yang mengeluarkan kata-kata. Besar keheranan hati Hui Kauw ketika melihat betapa Bhok Hwesio menjadi berubah mukanya, malah dengan sikap menghormat Bhok Hwesio kini melangkah maju dan menjura sampai badannya yang tinggi besar itu hampir berlipat menjadi dua, mulutnya berkata,

   "Thian Ki Suheng, Ji-Suheng dan Sam-Suheng, Siauwte menghaturkan hormat."

   Kedua Hwesio kembar itu hanya mengangguk, dan Hwesio di tengah yang disebut Thian Ki Suheng oleh Bhok Hwesio itu, memandang sejenak, kemudian mulutnya bergerak mengeluarkan ucapan yang halus tapi penuh teguran,

   "Bhok-Sute, sejak kapankah murid Siauw-Lim-Pai mencampuri urusan Kerajaan? Sejak kapan murid Siauw-Lim-Pai tamak akan harta benda atau kemuliaan duniawi?"

   Suaranya penuh wibawa dan sampai lama Bhok Hwesio tidak dapat menjawab. Adapun Kun Hong dan Hui Kauw yang pernah mendengar nama Thian Ki Losu Pendeta Siauw-Lim-Pai yang amat terkenal kesaktiannya itu, menjadi terkejut. Thian Ki Losu terkenal sebagai seorang di antara para tokoh tua Siauw-Lim-Pai yang tidak pernah muncul, akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa. Oleh karena itu, Kun Hong diam saja, hanya mendengarkan penuh perhatian dan menanti perkembangannya lebih jauh sambil bersiap siaga. Akan tetapi, Ang-Hwa-Sam Ci-moi yang sejak mudanya merantau ke dunia Barat, tidak mengenal nama Thian Ki Losu, maka mereka tidak perduli sama sekali. Apalagi ketika Kui Siauw melihat betapa sinar mata dan muka Hui Kauw berseri-seri seakan-akan mengharapkan bantuan, ia menjadi marah dan berkata,

   "Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas berlutut dan menyerah, sekarang juga aku membunuh kekasihmu!"

   Hui Kauw benar-benar tidak berdaya. Kui Siauw yang galak itu sudah mencengkeram batang lehernya dan sekali menggerakkan tangan, tentu jalan darah yang menuju ke otak akan dihancurkan dan ia akan tewas dalam sekejap mata. Kun Hong sudah menggigil kedua kakinya, siap melompati penawan Hui Kauw itu dan kalau perlu mengadu nyawa.

   "Omitohud, sesama manusia mana berhak saling bunuh? Ada Pinceng di sini, tidak boleh orang berlaku keji!"

   Inilah suara Thian Ki Losu dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang seperti kapas tertiup angin ke arah Kui Siauw. Orang termuda dari Ang-Hwa-Sam Ci-moi ini marah dan membentak,

   "Hwesio tua, kau mau apa?"

   Berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga sedangkan tangan kirinya tetap mencengkeram tengkuk Hui Kauw.

   "Omitohud, keji sekali..."

   Thian Ki Losu berseru, lengan bajunya dikebutkan berkibar-kibar menerima pukulan sedangkan lengan baju yang lain juga bergerak ke arah Hui Kauw.

   Entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Kui Siauw seperti dilemparkan tenaga raksasa, melayang sampai lima meter lebih jauhnya dan cengkeramannya pada tengkuk Hui Kauw tadi seketika terlepas. Lebih hebat lagi, tanpa kelihatan kapan bergeraknya, tubuh Hui Kauw sudah terbebas daripada totokan dan gadis itu cepat berlari ke arah Kun Hong, berdiri di samping Kun Hong, sedangkan Thian Ki Losu sudah kembali berdiri di antara kedua orang adik seperguruannya seperti tidak pernah terjadi sesuatu! Kui Ciauw dan Kui Biauw mencabut pedang masing-masing namun tidak berani sembarangan bergerak, apalagi melihat bahwa Sumoi mereka tidak terluka. Juga Kui Siauw sudah mencabut pedangnya, akan tetapi tidak berani sembarangan bergerak karena maklum bahwa Hwesio tua renta itu benar-benar seorang sakti yang tidak boleh dibuat sembrono. Bhok Hwesio melihat kejadian itu, mengerutkan keningnya dan berkata menegur,

   "Suheng berat sebelah. Bocah buta itu adalah seorang pemberontak, juga gadis itu. Mereka harus ditawan."

   "Bhok-Sute,"

   Suara Thian Ki Losu tetap tenang dan sabar.

   "hal itu bukan urusan kita. Sebelum berlarut-larut kau terbelit oleh urusan Kerajaan, mari kau ikut Pinceng kembali, semoga Buddha mengampunimu."

   "Tidak, Suheng. Siauwte sudah berjanji akan membantu menghancurkan pemberontak. Suheng pulanglah dulu, kelak Siauwte akan pulang dan mohon ampun kepada Suheng bahwa hari ini Siauwte berani membantah perintah Suheng."

   "Bhok-Sute, kau tahu apa hukumannya murid yang murtad? Sekali lagi, mari pulang bersama kami, kalau tidak, terpaksa Pinceng akan melaksanakan hukuman di sini juga."

   "Thian Ki Suheng, kau terlalu! Di depan banyak orang merendahkan aku seperti ini, kalau aku tidak mau ikut pulang, kau mau apa?"

   "Omitohud, terpaksa Pinceng melakukan hal yang berlawanan dengan hati!"

   Hwesio tua itu berseru dan tiba-tiba dia menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan. Terdengar suara berciutan dan seketika tubuh Bhok Hwesio bergoyang-goyang. Bhok Hwesio tentu saja mengenal kelihaian kakak seperguruannya ini, maka diapun bergerak dan mendorong. Kakak beradik seperguruan ini berdiri dalam jarak antara dua meter, karena mereka masing-masing mengulurkan lengan, maka telapak tangan mereka saling mendekati, hanya terpisah satu meter.

   Namun, biar telapak tangan mereka tidak saling sentuh namun jangan kira bahwa mereka itu tidak saling serang. Hawa sakti yang keluar dari telapak tangan masing-masing saling dorong dan dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara. Mereka berdiri tidak bergerak, dan hanya satu menit Bhok Hwesio kuat bertahan. Mukanya tiba-tiba pucat dan dia mengeluh perlahan, tubuhnya terjengkang. Thian Ki Losu melangkah tiga tindak dan kembali dia menggerakkan tangannya cepat sekali ke arah pundak. Di lain saat Bhok Hwesio sudah menjadi pingsan dan digotong oleh dua orang Hwesio kembar, seorang memegangi pundak dan seorang memegangi betis. Thian Ti Losu memandang sekeliling, dan pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk tidak jauh dari situ, lalu tampak api mengebul dibarengi sorak-sorai dan suara tambur perang. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Omitohud, perang... perang... sekali lagi perang. Manusia saling bunuh, buta karena kemuliaan dunia. Bilakah semua ini berakhir?"

   Lama dia memandang kepada Kun Hong, menggeleng-geleng kepala dan berkata lagi.

   "Sayang... sayang..."

   Kemudian kakek ini mengajak dua orang Sutenya pergi dari tempat itu, membawa tubuh Bhok Hwesio yang sudah pingsan. Ang-Hwa-Sam Ci-moi tadi tidak berani bergerak. Setelah, Hwesio-Hwesio itu pergi, mereka serentak mengurung Kun Hong yang juga sudah siap. Suara gaduh makin menghebat dan sambil bersiaga Kun Hong bertanya,

   "Hui Kauw, suara apakah itu? Apakah... mereka sudah datang...?"

   "Agaknya perang sudah dimulai!"

   Jawab Hui Kauw penuh semangat. Kun Hong girang. Tahulah dia sekarang bahwa saat itu orang-orang Pek-Lian-Pai dan Hwa I Kai-pang, mungkin dengan pasukan dari Utara, sudah menyerbu dan bertanding melawan pasukan pengawal dan para anggauta Ngo-Lian-Kauw. Benar saja dugaannya, datang berlarian dua orang wanita yang terengah-engah melapor dari jauh.

   "Kauwsu (Ketua)... musuh menyerbu... semua dibakar...!"

   Mendengar ini, Ang-Hwa-Sam Ci-moi makin marah dan serentak mereka menerjang Kun Hong.

   "Hui Kauw, mundur...!"

   Kun Hong cepat menggerakkan tongkatnya menangkis dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tiga orang lawannya ini hebat sekali ilmu pedangnya.

   Menangkis yang satu datang yang ke dua menyambar, disusul yang ke tiga. Terus-menerus mereka itu mendesak dengan penyerangan bertubi-tubi, amat teratur seakan-akan barisan yang sudah diatur terlebih dahulu. Juga tenaga mereka itu rata-rata amat kuat. Kun Hong mengeluh. Benar-benar hari ini dia harus menghadapi banyak orang pandai. Namun Hui Kauw tidak mundur, malah cepat ia mengambil pedang It-To-Kiam Gui Hwa tadi dan serta merta ia menyerbu dan membantu Kun Hong. Karena maklum bahwa tiga orang wanita itu sakti, Hui Kauw segera mainkan ilmu pedang simpanannya yang ia dapatkan dari kitab rahasia. Setelah ia menyerbu, terpaksa Kui Siauw melayaninya sehingga lumayan juga bagi Kun Hong yang hanya menghadapi dua orang lawan. Pada saat itu terdengar suara orang yang parau,

   "Ang-Hwa-Sam Ci-moi, celaka sekali! Kita terjebak dan terkepung musuh. Lekas bereskan si buta itu!"

   Dan muncullah Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu, sedangkan di belakangnya tampak berlari-lari mendatangi Lui-Kong Thian Te Cu yang juga berteriak-teriak.

   "Bereskan jahanam buta itu dan lekas lari! Tentara dari Utara yang datang menyerbu. Jumlah mereka amat banyak!"

   Tiga orang itu, Souw Bu Lai, Ka Chong Hoatsu dan Lui-Kong Thian Te Cu serta merta menggunakan senjata menerjang Kun Hong yang sekarang dikepung lima orang! Repot juga Kun Hong, apalagi dia merasa gelisah karena Hui Kauw makin terdesak hebat oleh Kui Siauw yang jauh lebih lihai.

   Untuk membantu kekasihnya tidak mungkin karena dia sendiripun sedang dihujani serangan maut oleh lima orang itu. Kun Hong timbul marahnya, dengan bentakan yang melengking nyaring dia menggunakan jurus mematikan, tongkatnya menyambar ke depan dibarengi sambaran tangan kirinya. Namun lima orang lawannya sudah cepat mundur sambil menangkis, lalu mengepung lagi dengan rapat. Selagi Kun Hong dan Hui Kauw terdesak hebat di tengah-tengah medan pertempuran yang sekarang makin gaduh karena perang antara pasukan Utara dan para pengawal itu agaknya makin mendekat, berkelebatlah bayangan dua orang yang laksana garuda-garuda menyambar. Mereka ini bukan lain adalah Si Raja Pedang Tan Beng San dan isterinya Cia Li Cu!

   "Kun Hong, jangan takut, aku dan Bibimu datang membantumu!"

   Mendengar suara ini, bukan main lega dan gembiranya hati Kun Hong.

   "Paman Beng San! Bibi Li Cu! Lekas, inilah musuh-musuh Thai-San-Pai! Ka Chong Hoatsu dan Ang-Hwa-Sam Ci-moi mempunyai peran besar dalam penyerbuan itu!"

   Bukan main marahnya Beng San dan isterinya ini. Beng San segera menerjang Ka Chong Hoatsu yang kelihatan paling lihai di antara pengeroyok-pengeroyok Kun Hong.

   Kakek ini menangkis dengan tongkatnya dan di lain saat dua orang tokoh sakti ini sudah saling gempur mati-matian dengan amat hebatnya. Adapun Cia Li Cu sambil membentak nyaring segera menerjang Lui-Kong Thian Te Cu yang juga kelihatan amat kuat dengan senjatanya yang aneh, yaitu tanduk rusa. Seperti suaminya, nyonya yang berilmu tinggi ini segera lenyap terbungkus sinar pedangnya ketika ia menandingi tokoh, Go-Bi-San ini. Kun Hong mendapat hati setelah dua orang di antara pengeroyoknya yang paling kuat disambut oleh Paman dan Bibinya. Dia memekik keras dan robohlah Souw Bu Lai dengan kepala retak-retak terkena pukulan tangan kiri Kun Hong. Kui Ciauw dan Kui Biauw terkejut sekali Sehingga permainan pedang mereka kacau. Namun Kun Hong tidak memperdulikan mereka, langsung dia melesat ke arah Hui Kauw.

   "Hui Kauw, mundurlah!"

   Serunya. Telinganya yang tajam dapat membedakan suara pedang dan segera tongkatnya menyambar ke arah Kui Siauw. Wanita ini mendesar suara berdesing dan sinar merah menyilaukan matanya.

   Ia cepat menangkis dan inilah kesalahannya, karena kehebatan serangan Kun Hong hanya sebagian saja terletak pada sambaran pedang dalam tongkat itu, sedangkan sebagian lagi terletak pada tangan kirinya yang sudah mengirim pukulan maut. Tubuh Kui Siauw terjengkang ke belakang, pedangnya terpental dan ia tewas tanpa dapat bersambat karena seperti juga dengan nasib Souw Bu Lai, kepalanya retak-retak tersambar hawa pukulan Pek-In Hoat-Sut! Kini Kui Ciauw dan Kui Biauw tidak dapat menahan kemarahaanya lagi. Mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, mengeroyok Kun Hong dengan serangan-serangan nekat. Kun Hong yang sudah lega hatinya karena Hui Kauw terlepas dari bahaya, melayani mereka dengan tenang, namun dia selalu mencari kesempatan untuk merobohkan kedua orang ini.

   Adapun pertandingan antara Ka Chong Hoatsu dan Tan Beng San, amatlah dahsyat. Kakek dari Mongol ini tidak mengira bahwa dia akan bertemu dengan Tan Beng San Ketua Thai-San-Pai di situ. Di waktu mereka menyerbu Thai-San-Pai dahulu, dialah yang menyamar sebagai Song-Bun-Kwi, dia pula yang membunuh Tan Hok dan beberapa orang anak murid Thai-San-Pai. Karena maklum bahwa Ketua Thai-San-Pai ini tentu tidak akan mau mengampuninya, maka dia mengerahkan kepandaiannya, memutar tongkat Pendeta dengan tenaga bergelombang dengan penuh keyakinan akan dapat mengalahkan Ketua Thai-San-Pai itu. Akan tetapi dia tidak mengenal Tan Beng San, Si Raja Pedang. Hanya tampaknya saja Beng San terdesak oleh tongkat yang mengamuk itu, akan tetapi memang makin tua permainan pedang Tan Beng San makin matang dan amat tenang.

   "Kau menyerbu Thai-San-Pai, membakar tempat kami? Hemmm, ada permusuhan apakah antara kita, kakek jahat?"

   Di antara berkelebatnya tongkat dan pedang, Beng San masih sempat bertanya. Ka Chong Hoatsu kaget. Dia mengira telah mendesak lawan, siapa kira lawan masih enak-enak mengajak dia mengobrol. Orang yang terdesak mana bisa mengobrol? Dia tidak menjawab, melainkan mendesak makin hebat. Kun Hong mendengar ucapan itu dan dialah yang menjawab dengan tenang pula, seakan-akan dia melayani dua orang wanita itu dengan seenaknya.

   "Paman, dia itu tokoh Mongol, dia ikut menyerbu Thai-San membantu mendiang Ching Toa-Nio bekas isteri Giam Kin. Adapun Ang-Hwa-Sam Ci-moi ini adalah Sumoi-Sumoi dari Hek Hwa Kui-bo. Itu yang melawan Bibi adalah Lui-Kong Thian Ti Cu tokoh Go-Bi, penjilat Istana."

   Seperti juga Ka Chong Hoatsu, dua orang saudara Ang-hwa itu kaget dan heran bagaimana si buta yang mereka hujani bacokan itu masih enak-enak mengobrol, tanda bahwa si buta ini masih banyak mengalah. Mereka memperhebat gerakan pedang untuk menekan lawan. Sementara itu, Hui Kauw gembira dan kagum bukan main menyaksikan sepak terjang Ketua Thai-San-Pai dengan isterinya. Terutama ia kagum sekali melihat permainan pedang Cia Li Cu yang amat indah. Wanita yang sudah setangah tua itu nampak cantik jelita dan gagah, seperti seorang Bidadari tengah menari-nari menandingi Thian Te Cu yang lihai. Karena ia dapat melihat betapa nyonya gagah itu agaknya sukar untuk mengalahkan lawan, tanpa banyak ragu lagi ia meloncat dan membantu.

   "Bibi, maaf, perkenankanlah saya membantu?"

   Li Cu melirik dan heran ia melihat gadis yang suaranya merdu dan halus, sikapnya sopan santun, dan ilmu pedangnya lihai, tetapi mukanya hitam menutupi kecantikannya, maju membantunya.

   "Anak, kau siapakah?"

   Tanyanya sambil menangkis senjata Thian Te Cu yang kini tiba-tiba menyambar ke arah Hui Kauw.

   "Bibi, dia itu Kwee Hui Kauw, dia... eh, dia... eh..."

   Sukarlah Kun Hong menjawab. Mana mungkin dia mengakui Hui Kauw begitu saja sebagai isterinya di depan Ibu Cui Bi?

   "Kun Hong, lawan Bibimu itu kuat juga, mari kita cepat bereskan mereka ini!"

   Kata Beng San yang juga melirik ke arah isterinya.

   "Baik, Paman."

   Terdengar bunyi nyaring beradunya senjata dan sukar dikatakan siapa yang lebih dulu berhasil karena tahu-tahu tubuh Ka Chong Hoatsu roboh mandi darah, juga tubuh Kui Biauw roboh dengan dada tertembus tongkat sedangkan Kui Ciauw biarpun sempat mengelak namun sebuah tendangan membuat ia terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan. Kun Hong tidak menyerang lagi, membiarkan Kui Ciauw merayap bangun dan menangislah wanita ini sambil menyambar tubuh kedua orang adiknya dan memeluki tubuh itu. Kun Hong menarik napas panjang.

   "Penyesalan selalu akhirnya! Ah, kenapa orang baru menyesal kalau sudah terlambat?"

   Kui Ciauw menghentikan tangisnya dan matanya memandang sedih ke arah Lui-Kong Thian Te Cu yang juga roboh setelah Beng San melompat dan menyerang tiga empat jurus membantu isterinya. Semua temannya sudah tewas atau melarikan diri. Matanya beringas memandang ke arah Kun Hong, Hui Kauw, Li Cu, dan Beng San yang berdiri dengan sikap mengancam. Kemudian ia berkata,

   "Kun Hong, kalau kau memberi kesempatan kepadaku untuk mengubur jenazah kedua adikku, tunggulah beberapa tahun lagi, aku Ngo Kui Ciauw bersumpah akan mencarimu dan menagih hutang!"

   Kun Hong menggeleng-geleng kepala.

   "Nasibku! Terikat karma, bunuh-membunuh. Sesukamulah, aku hanyalah merobohkan orang yang menyerangku, kalau sekarang kau tidak menyerangku, akupun tidak akan mengganggumu."

   Kui Ciauw lalu memanggul jenazah kedua orang adiknya dan sambil menangis ia lari dari tempat itu. Rambutnya terurai panjang dan darah dari tubuh dua orang adiknya itu mengalir membasahi muka dan pakaiannya, menyeramkan sekali. Beng San menghela napas.

   "Kun Hong, yang seorang itu karena hari ini kau ampuni, kelak akan mendatangkan banyak persoalan kepadamu."

   Kun Hong hanya menunduk dan Beng San lalu menghampiri dan merangkulnya.

   "Kun Hong, kau sudah tahu akan malapetaka yang menimpa kami?"

   "Kun Hong, tahukah kau bahwa Cui Sian..."

   Kata pula Cia Li Cu dengan suara mengandung isak.

   "Tenanglah, Bibi, Paman, saya sudah tahu semuanya, malah adik Cui Sian juga sudah berada dalam keadaan selamat."

   Li Cu menjerit dan menangis sambil merangkul Kun Hong. Girangnya bukan main dan ia tertawa-tawa sambil menangis, menciumi Kun Hong dengan kata-kata,

   "Anak baik... kau anak baik."

   Adapun Beng San mengusap dua butit air mata dengan kepalan tangan sambil tersenyum mengerling ke arah isterinya.

   "Hampir saja... aku kehilangan segala-galanya..."

   Dia teringat akan ancaman isterinya yang tidak akan sudi melihatnya tanpa Cui Sian!

   Dengan singkat Kun Hong menceriterakan keadaan Cui Sian yang tertolong oleh Sin-Eng-Cu Lui Bok dan kini berada di tempat yang aman. Kedua suami isteri itu berterima kasih sekali kepada kakek yang aneh itu dan menyatakan hendak datang sendiri menjemput puteri mereka setelah bertemu kembali dengan Sin Lee dan Kong Bu. Kiranya Sin Lee dan Kong Bu bersama isteri mereka juga berada di situ, sedang membantu para pejuang yang menggempur barisan pengawal dan para anggauta Ngo-Lian-Kauw. Karena adanya bantuan mereka inilah maka sebentar saja pertempuran itu selesai. Ngo-Lian-Kauw dibasmi habis, para pengawal banyak yang tewas dah sebagian pula melarikan diri.

   Kiranya Sin Lee dan isterinya yang membawa surat rahasia dan menuju ke Utara, di tengah perjalanan bertemu dengan pasukan dari Utara yang dipimpin oleh orang kepercayaan Raja Muda Yung Lo. Ketika mendengar tentang surat rahasia, panglima itu memperlihatkan surat kuasa dan mengusulkan untuk mengirim surat rahasia itu melalui sepasukan perajurit pilihan agar dapat cepat surat itu dibawa kepada Raja Muda Yung Lo. Sin Lee dan isterinya tidak keberatan, malah begitu mendengar tentang niat pasukan itu yang hendak menggempur Ngo-Lian-Kauw dan mendengar pula bahwa banyak jagoan Istana berada di sana, mereka segera ikut. Di tengah perjalanan pasukan yang terdiri dari dua ratus orang perajurit ini bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng. Bukan main girang hati empat orang itu dan Kong Bu bersama isterinya juga serta merta ikut pula dalam barisan.

   Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi karena fihak Utara lebih besar jumlahnya, apalagi dibantu oleh empat orang gagah itu, dengan mudah fihak pengawal Istana dan Ngo-Lian-Kauw dapat dihancurkan. Kebetulan sekali pada saat pertempuran terjadi, Beng San yang mencari keterangan dari orang-orang Pek-Lian-Pai tentang musuh-musuhnya, sampai juga di situ. Adapun Cia Li Cu bukan kebetulan berada di situ, karena sesungguhnya nyonya perkasa ini sudah lebih maju dalam penyelidikannya daripada suaminya. Ia sudah dapat tahu bahwa penyerbu Thai-San-Pai adalah orang-orang Ching-Coa-To, malah ia sudah sampai di Ching-Coa-To. Dari para pelayan pulau yang kosong itu ia mendapat keterangan bahwa semua orang gagah pergi ke Ngo-Lian-Kauw, maka ia segera menyusul musuh-musuhnya.

   Tak perlu diceriterakan lagi betapa gembira dan girangnya hati para orang gagah ini yang saling berjumpa di tempat yang tidak disangka-sangka, apalagi mendengar tentang selamatnya Cui Sian. Hanya saja, kegembiraan mereka terganggu oleh berita tentang kematian Song-Bun-Kwi. Karena memang sejak dahulu keturunan orang-orang gagah, Beng San mengajak putera-puteranya untuk membantu Raja Muda Yung Lo yang dia anggap benar berdasarkan surat wasiat peninggalan Kaisar tua. Berkat bantuan orang-orang gagah seperti mereka inilah maka perjuangan Yung Lo berhasil merebut kekuasaan hanya dengan perang selama empat tahun saja. Dia naik tahta pada tahun 1403, menggantikan Kaisar Hui Ti yang hanya berkuasa dari tahun 1399 sampai 1403.

   Biarpun Kun Hong tidak dapat ikut membantu peperangan, namun dia menunda pernikahannya dengan Hui Kauw sampai perang selesai, barulah pernikahan dirayakan dengan meriah sekali di Hoa-San-Pai. Semua orang gagah dari semua penjuru memerlukan datang, karena pada waktu itu, nama Pendekar Buta sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Terharu sekali hati orang tua Kun Hong, yaitu Ketua Hoa-San-Pai dan semua orang gagah yang hadir menyaksikan pasangan pengantin itu. Yang pria buta, yang wanita bermuka hitam. Lebih-lebih terharu hati para orang tua mengingat akan ucapan Hui Kauw ketika di depan para orang tua, Kun Hong berkata,

   "Sebetulnya, mukanya itu terkena racun dan aku sanggup mengobati sampai sembuh dan lenyap warna hitamnya."

   Bagaimana jawaban Hui Kauw? Dengan suara halus gadis ini berkata,

   "Tidak perlu. Memang sebaiknya begini, agar kami berdua masing-masing mempunyai cacat, lagi pula, mukaku boleh hitam atau putih, apa bedanya baginya? Aku tidak ingin kelihatan cantik oleh mata orang lain, kecuali hanya cantik untuk suamiku."

   Akan tetapi ketika sepasang mempelai dipertemukan dan mereka berdua berkesempatan bicara berdua di dalam kamar pengantin, Hui Kauw terpaksa tidak dapat mempertahankan terus pendapatnya itu. Dengan suara berbisik mereka bercakap-cakap begini,

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hui Kauw, kau harus membiarkan aku mengobati mukamu."

   "Aku tidak ingin mukaku putih. Aku tidak ingin memamerkan kecantikan pada orang lain kecuali kepadamu."

   "Hushh, bukan untuk pamer, tetapi kau ingat, Ibunya bermuka hitam, anaknya pun akan bermuka hitam. Apa kau suka melihat anakmu kelak mukanya menjadi hitam seperti pantat kuali?"

   "Ihhhhh, ceriwis kau, tak tahu malu...!"

   Akan tetapi akhirnya ia tidak berani mencegah suaminya mengobati mukanya sehingga pulih menjadi putih bersih dan membuat ia tampak cantik seperti Bidadari, karena tentu saja ia takut kalau-kalau betul seperti kata suaminya bahwa kelak muka anaknya akan menjadi hitam!

   Kun Hong dengan isterinya tiga bulan kemudian pergi ke Liong-Thouw-San di mana mereka tinggal dan di situ pula Yo Wan atau A Wan putera janda Yo, dididik sebagai murid. Sin-Eng-Cu Lui Bok bersama Rajawali Emas sudah pergi lagi melakukan perantauannya yang tiada tujuan tertentu. Bagaimana dengan Tan Loan Ki? Gadis lincah jenaka yang kehilangan orang tuanya tetapi sebagai penggantinya mendapatkan jodohnya, Nagai Ici jagoan samurai Jepang itu, ikut dengan suaminya ke Jepang. Tempat tinggal warisan Ayahnya masih ia pertahankan dan kadang kala ia bersama suaminya menyeberangi lautan untuk tinggal selama beberapa bulan atau tahun di tempat lama. Seperti juga Kun Hong, Loan Ki dan suaminya hidup bahagia.

   Bun Wan putera Kun-Lun-Pai yang ternyata seorang kepercayaan Raja Muda Yung Lo, mendapat penghargaan dan diberi kedudukan sebagai panglima muda. Orang gagah yang mengorbankan sebelah matanya ini juga mengawini Hui Siang dan hidup mulia dan megah di Kota Raja Utara. Tan Beng San Ketua Thai-San-Pai, setelah menjemput puterinya di Liong-Thouw-San sambil menghaturkan terima kasih kepada Sin-Eng-Cu Lui Bok, lalu kembali ke Thai-San-Pai yang sudah dirusak oleh orang-orang jahat. Suami isteri ini amat bahagia karena Kun Hong mendapat seorang jodoh yang baik sebagai pengganti puteri mereka dan mereka amat berterima kasih karena biarpun sudah buta, ternyata Kun Hong selalu membela mereka.

   Demikianlah, ceritera ini berakhir sampai di sini dengan catatan dari pengarang bahwa keadilan Tuhan selalu akan mendatangkan rahmat dan keselamatan jiwa raga bagi orang-orang yang menjunjung tinggi dan melaksanakan kebenaran dalam hidup, dan selalu mendatangkan hukum dan kehancuran bagi mereka yang menyeleweng daripada kebenaran serta mengabdi kepada nafsu dan kesenangan pribadi, menindas menyengsarakan orang lain demi kepentingan diri sendiri.

   T A M A T

   


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini