Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 3


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang ditusukkan telah menancap dinding jurang yang merupakan tanah keras. Dia bergantung di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di punggungnya, lalu tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan menancapkan pedangnya di sebelah atas. Demikianlah, biarpun lambat akhirnya dia berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari jurang yang merupakan mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu menyelamatkan Bi Yan Cu dari bahaya maut di tangan para penjahat. Lauw Teng dan kawan-kawannya melihat munculnya si buta ini menjadi kaget dan khawatir sekali. Akan tetapi Tiat-Jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik segera berkata,

   "Tawan dulu gadis liar ini!"

   Dia mendahului menubruk ke arah Bi Yan Cu, disusul kawan-kawannya. Gadis itu tadinya merasa heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong, sekarang dengan cepat ia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja ia melawan dan dapatlah ia diringkus dan diikat kaki tangannya.

   "Sinshe buta, jangan bergerak atau... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!"

   Teriak Tiat-Jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan Ruyungnya pada kepala Bi Yan Cu.

   Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya hanya dapat dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar baginya, apalagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu. Tadi dia masih dapat menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata mengandalkan pendengarannya terhadap angin pukulan senjata itu, sekarang tak mungkin dia secara mengawur dapat mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak diganggu. Maka sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat menolong puteri dari Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui.

   "Sudahlah,"

   Akhirnya dia berkata dengan suara rendah.

   "Kalian menghendaki Mahkota butut ini? Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."

   Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling pandang. Lalu Tiat-Jiu Souw Ki mewakili mereka semua bersuara,

   "Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi tawanan kami dan menyerahkan Mahkota itu."

   Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah dan menjadi tawanan orang-orang kejam ini. Besar kemungkinan dia akan dibunuh mati. Sebaliknya, kalau tidak menyerah dan mengamuk, sungguhpun dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itupun terancam keselamatan nyawanya. Gadis yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau harus mati, apalagi ia puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apalagi kemenakan Tan Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa maupun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!

   "Baiklah, aku menyerah. Kalian bebaskan gadis itu!"

   Katanya sambil menarik napas panjang.

   "Ha-ha, pengemis buta! Jangan kira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk dibelenggu kedua tanganmu!"

   Bhe Ham Ko tertawa mengejek. Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu mengulurkan kedua lengan disejajarkan ke depan.

   "Boleh, kalian belenggulah."

   Seorang anak buah Kiang-Liong-Pang yang diberi isyarat oleh Ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau yang kuat sekali.

   "Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!"

   Tiba-tiba Bi Yan Cu berseru nyaring. Kun Hong menggelengkan kepala.

   "Lebih baik aku yang dibunuh, apa sih artinya orang seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"

   "Kau harus dibelanggu lebih dulu!"

   Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.

   "Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya kepada kalian?"

   "Jangan mau diperdayai!"

   Kembali gadis itu mencela nyaring.

   "Kalau mereka berani menggangguku, Ayah akan datang menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun akan diampuni!"

   Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu, Juga Mahkota itu diambil dari buntalannya dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.

   "Lepaskan gadis liar itu,"

   Kata Souw Ki.

   "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita tidak memegang janji. Nona, katakan kepada Ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal Kaisar dan karena benda ini adalah milik Istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali."

   Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit Bibir.

   Ingin ia mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas Mahkota dan menolong si buta, akan tetapi ia tidak begitu bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andaikata belum terluka lengan kanannya tentu ia takkan menyerah mentah-mentah. Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali Kun Hong tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan rampok. Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak dapat berjalan dengan baik, tidak melihat adanya batu-batu yang menghalang kedua kakinya, apalagi diseret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi tidak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.

   "Kenapa... kenapa kau lakukan ini...?"

   Gadis itu berteriak, menahan isak. Kun Hong mendengar ini, biarpun teriakan itu sebetulnya hanya nyaring di dalam hati gadis itu, yang keluar dari Bibirnya keluhan perlahan. Dia menengok dan tersenyum, berkata,

   "Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San Taihiap, aku rela melakukan ini..."

   Sementara itu, kesIbukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.

   "Souw-Ciangkun, dalam merampas kembali Mahkota dari tangan bekas pembesar Tan, kami pun mempunyai jasa, jangan lupakan ini!"

   Terdengar Lauw Teng berkata. Tiat-Jiu Souw Ki tertawa.

   "Jangan khawatir, Lauw-Pangcu. Aku akan membawa kembali Mahkota ini ke Kota Raja dan di depan sri baginda Kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa Hui-Houw-Pang dan Kiang-Liong-Pang. Tunggu saja, tak lama kalian semua akan memperoleh anugerah dari Kaisar."

   Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari Hui-Houw-Pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-Liong-Pang untuk mengawalnya ke Kota Raja. Malah Ban Kwan

   (lanjut ke Jilid 03)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   Tojin yang hendak berpesiar ke Kota Raja pun menyertai rombongan ini. Hui-Houw-Pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda yang kuat-kuat untuk rombongan itu. Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang berkuda paling belakang memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong tersentak ke depan dan terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan.

   Dia terhuyung-huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli. Bi Yan Cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas kedua pipinya. Tiat-Jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke Kota Raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapapun pandainya seorang buta tentu mudah ditipu.

   Biarpun kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, namun keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu sehingga dia terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda. Baiknya pemuda ini memang memiliki Ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang membuat kulitnya kebal sehingga biarpun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya, namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali. Tadi memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia sengaja menurut saja diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu pergi menjauhkan diri.

   Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan cara "Membonceng"

   Seperti ini daripada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja ketika rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung. Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan. Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah dusun. Merampas makanan tanpa bayar, memaksa penduduk membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya.

   Maka ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-Jiu Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya. Rombongan itu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk kecil terbuat daripada bambu, rumah orang-orang miskin. Juga rumah-rumah ini biarpun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu yang cukup berharga untuk dicuri orang? Tiat-Jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang lelah setelah tadi mengalami pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian tempat itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.

   "Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!"

   Ban Kwan Tojin menjawab.

   "Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera mengusahakan adanya penjabat-penjabat kecil di setiap dusun sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."

   Tiat-Jiu melirik ke arah Tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati Tosu ini yang seperti juga orang-orang lain ternyata mempunyai ambisi untuk menjadi orang berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana ada losmen? Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak perduli tempat tinggal siapapun, untuk dia mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang. Anak ini keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang berkumpul di depan rumahnya. Sepasang matanya yang bening itu berseri gembira dan mulutnya segera berseru,

   "Kuda bagus... kuda bagus...!"

   "A Wan... A Wan..."

   Tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.

   Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong. Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu di bagian punggung robek-robek semua, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu, membuat muka itu kotor dan hitam. Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat "Membonceng"

   Rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan dapat bertemu dengan dusun atau orang.

   "Kasihan Paman buta... lepaskan... lepas...!"

   Anak itu berteriak-teriak sambil mendekati Kun Hong.

   "Anak baik...!"

   Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.

   "Anak haram, minggat!"

   Seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan "Tar! tar!"

   Cambuknya menyambar ke tubuh anak itu. Anak itu menjerit dan lari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.

   "Ampun, Taiya... ampunkan kami..."

   Wanita itu memohon sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah, wajahnya pucat dan ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu dan pakaiannya rompang-ramping mukanya kotor penuh debu, ia menjadi makin ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil! Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu menahan cambuknya, lalu terdengar orang-orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk berkata perlahan,

   "Aiihh, cantik..."

   Lalu terdengar suara Tiat-Jiu Souw Ki,

   "Suruh dia melayaniku nanti!"

   Si pemegang cambuk mengajukan kudanya mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.

   "He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-Ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."

   "Tidak..."

   Perempuan itu menangis.

   "Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?"

   "Ampun, Taiyin... hamba... hamba tidak bisa..."

   "Tar! Tar!"

   Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu.

   "Anakmu berbuat kurang ajar, Ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum arak, tapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting mampus baru menurut!"

   Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.

   Berbareng dengan jerit mengerikan dari Ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat, sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lain si pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada dalam pondongan Kun Hong! Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa Ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanan memegang tongkat erat-erat Kun Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.

   "Tiat-Jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!"

   Kun Hong memaki, berdiri dengan tegak dan gagah.

   "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar merupakan tujuh pengawai yang jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan anak buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik. Hemm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!"

   Sambil berkata demikian Kun Hong membuat gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi. Souw Ki kaget dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani sekali menyebut-nyebut nama Kaisar baru begitu saja.

   "Kau... kau siapakah? Siapa namamu...?"

   "Namaku Kun Hong. Kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi Kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, malah dia pernah makan minum semeja dengan aku!"

   Bukan main kaget dan herannya Tiat-Jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguhpun tak dapat disangkal memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya. Di dalam cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang dan dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-San-Pai ini dan hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh Song-Bun-Kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu sihirnya (baca cerita Rajawali Emas).

   "Kau... kau anak Hoa-San-Pai... putera Ketua Hoa-San-Pai...?"

   Dia bertanya gagap. Kun Hong tersenyum, menarik napas panjang.

   "Cukup kau ketahui namaku, siapa menyebut-nyebut Hoa-San-Pai segala? Hayo pergi!"

   Tiat-Jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi ketika dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya, apalagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang Mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Adapun tentang wanita itu, ah, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.

   "Pergi...!"

   Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya. Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera membalapkan kuda pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol hatinya dan masih memandang rendah kepada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,

   "Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh? Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"

   Kun Hong menggerakkan tangannya dan sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya dan masih menempel di pergelangan tangan menyambar ke arah muka penjahat itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan,

   "Aduhh... aduh... mulutku... gigiku rontok semua... aduh...!"

   Dan dia membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh.

   Kun Hong masih berdiri tak bergerak, kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih memegang tongkat melintang di depan dada, sama sekali tak bergerak seperti patung sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya. Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa panas dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali dan timbul pulalah senyum yang jarang meninggalkan Bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan agak berkerut kulit di antara kedua matanya.

   "In-Kong (tuan penolong)... terima kasih atas budi In-Kong yang telah menyelamatkan nyawa kami Ibu dan anak..."

   Dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu. Kun Hong kaget mendengar suara ini dan cepat-cepat dia menarik kakinya lalu melangkah mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang Ibu, seorang Ibu muda.

   "Jangan berlutut... jangan berlebihan, yang menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Bangkitlah, Twa-So (kakak), aku tidak berani menerima penghormatan seperti ini."

   Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.

   "Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?"

   Anak kecil itu bertanya, timbul pula keberaniannya setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.

   "Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel, Ibu sudah melarang tadi kau nekat saja. Untung ada Paman ini yang menolong kita..."

   "Ibu, Paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!"

   Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya.

   "Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"

   Kun Hong tersenyum, membungkuk dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang.

   "Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"

   "Tidak!"

   Jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong.

   "Aku kelak ingin menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi... Paman buta..."

   "Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!"

   Bentak Ibunya.

   "In-Kong, mari silakan singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."

   "Tak usahlah, Twa-So, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku."

   Kun Hong mencegah, dia dapat menduga bahwa Ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.

   "Jangan, In-Kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai sestel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan... dan... kau harus makan dulu..."

   Suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan.

   "In-Kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami, kau telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku... aku tak mampu membalasnya. Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu dan memberi hidangan sekedarnya... untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu saja... ah, In-Kong, selama hidupku aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"

   Anak itu dengan suara merdu berkata,

   "Paman buta, mari kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi merah..."

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"A Wan..."

   Dengan suara perih Ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka. Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa,

   "Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati Ibumu. Kalian manusia-manusia baik..."

   "Paman buta, mari kutuntun kau masuk."

   Anak itu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong. Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya ia sudah merasa bingung apakah ia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan ia berjalan lebih dulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya. Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai tanah. Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya.

   "Mari silakan duduk, In-Kong. Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng..."

   Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.

   "Sini, Paman, sini duduklah..."

   Anak itu pun mempersilakannya. Kun Hong maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di alas tanah! Dia lalu duduk bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.

   "Silakan duduk dulu, In-Kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."

   Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas.

   "Tidak usah, Twa-So, tidak usah. Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini... aku... aku tidak perlu berganti pakaian."

   Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil.

   "Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."

   "Itu pakaian Ayah, Paman. Kau boleh pakai!"

   Anak itu berkata.

   Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu hanya satu-satunya yang menjadi simpanan Ayah anak ini, bagaimana dia boleh pakai? Ah, dia mendapat akal. Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tak boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan dia mencuci dan menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh memakai pakaiannya sendiri lagi dan mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, ia dapat memuaskan hati nyonya rumah. Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi.

   "Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-Kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini, sebentar kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"

   "Tapi... tapi..."

   Kun Hong berusaha membantah.

   "Harap In-Kong jangan menolak, biarpun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-Kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam..."

   Suara itu mengandung permohonan yang mutlak tak dapat dia bantah lagi.

   "Tapi badanku kotor semua... aku harus membersihkan badan dulu... begini kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"

   Mendengar ini, Ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itupun tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu. Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak lucu, lucu dan mengharukan hati. Mendengar Ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tidak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.

   "A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!"

   Kata wanita itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.

   "Hayo, Paman buta!"

   Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.

   "Siapa mereka, A Wan?"

   Tanyanya.

   "Paman-paman dan Bibi-bibi tetangga, penduduk dusun ini, Paman,"

   Jawab anak itu dengan singkat.

   Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang kepada penduduk dusun dan anehnya, tak seorang pun di antara mereka menegur anak ini! Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat daripada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya Ayah anak ini sama perawakannya dengan dia. Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Amat aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap tiba-tiba menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat. Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan,

   "Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara."

   Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara Ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.

   "Perduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kuberikan kepada siapa pun juga baju suamiku, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau... kau selalu mengganggu... saudara misan yang durhaka!"

   "Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih mau memperdulikan. Semua ini karena aku ingat bahwa di antara kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Kalau tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, kulaporkan kepada Song-Wangwe (Hartawan Song)!"

   Terdengar suara laki-laki memaki.

   "Pergi...! Pergi...! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi...!"

   Wanita itu berseru marah.

   "Ibu...! Apakah Paman Tiu mengganggumu lagi?"

   A Wan tak dapat menahan suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.

   "A Wan, kau sudah pulang?"

   Ibunya menegur dan Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan cepat meninggalkan tempat itu lalu dia mendengar tindakan kaki Ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya. Langkah kaki Ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikitpun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang lagi tangannya. Memang Ibu A Wan kaget dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang amat dikenalnya, tentu ia pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang Kongcu (Tuan muda)! Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan,

   "Aiihh, In-Kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi biar bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-Kong."

   "Terima kasih... terima kasih... aku menyusahkan saja,"

   Kata Kun Hong dan tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya. Kun Hong memuji bahwa Ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja dia dengar tadi, dan mengambil keputusan bahwa dia akan segera pergi meninggalkan tempat itu. setelah pakaiannya sendiri kering. Tak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat daripada tanah lempung dan sepasang supit dari bambu, alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.

   "Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun Paman Lui."

   "A Wan!!"

   Ibunya menegurnya.

   "Paman, Ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tapi Paman Lui ubinya begitu banyak dan aku... aku dan Ibu sudah lama tak makan ubi merah."

   Hampir Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya.

   "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi..."

   "Minta? Uhh, pernah aku minta, bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan mencuri lagi, Ibu marah-marah,"

   Kata anak itu dengan suara manja. Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun membuktikan betapa miskinnya keluarga itu. Setelah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan. Senja telah lewat dan Ibu anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang di sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.

   "Dia sudah tidur, Twa-So. Di mana tempat tidurnya?"

   Tanya Kun Hong perlahan. Sampai lama baru terjawab lirih.

   "Di sini juga..."

   Kun Hong menarik napas panjang, tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.

   "In-Kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah... tempat kami duduk, makan dan tidur..."

   "Maaf, Twa-So, sejak tadi aku belum mendengar Twa-Ko (kakak) pulang. Ke manakah dia?"

   Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan,

   "Dia sudah... sudah tidak ada..."

   "Tidak ada? Ke mana??"

   Kun Hong tidak menduga buruk.

   "Sudah meninggal dunia...tiga bulan yang lalu..."

   "Ahhh...!"

   Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam. Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya Ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin. Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata akan mengincarnya, penuh cemburu, setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria memandangnya lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan. Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya. Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan.

   "Twa-So, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?"

   Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.

   "Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."

   Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.

   "Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu,"

   Katanya pula.

   "Baru dua puluh tiga umurku."

   Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata,

   "Twa-So, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."

   "Kenapa...? In-Kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya..."

   Kun Hong menggeleng kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri.

   "Aku harus pergi. Twa-So, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun..."

   Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

   "In-Kong... engkau juga begitu...?? Ah, kalau begitu... kau pukulkan tongkatmu itu kepadaku... kau bunuh saja aku, In-Kong... apa artinya hidup kalau semua orang... juga kau yang kumuliakan... memandang serendah itu kepadaku...? Kau bunuhlah aku... kau bunuhlah."

   Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat Ibunya menangis sambil merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri seperti patung serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul Ibunya.

   "Ibu... Ibu."

   "In-Kong... kau bunuhlah kami... biar terbebas kami daripada penderitaan ini..."

   Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar Ibu dan anak itu menangis dan memeluki kedua kakinya.

   "Kau salah sangka... kau salah mengerti..."

   Katanya sambil duduk kembali.

   "Aku sama sekali tidak memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twa-So..."

   "In-Kong..."

   Wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong. Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghIbur dan mengusap-usap rambut A Wan yang menangis di atas pangkuannya.

   "Tenanglah, duduklah Twa-So, dan mari kita bicara baik-baik."

   Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya.

   "Ohhh... maafkan aku, In-Kong..."

   Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas pangkuan Ibunya sekarang.

   "Twa-So, agaknya kau tadi salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang dengan kehadiranku di sini semalam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan daripada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twa-So!"

   "Tidak ada bedanya, In-Kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Apa perduli dengan omongan orang asalkan kita benar-benar bersih? Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-Kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak perduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."

   Kun Hong menarik napas panjang, makin kagum. Wanita ini biarpun miskin dan janda yang tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.

   "Twa-So, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir... akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau kau... menikah lagi."

   "In-Kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi... mereka hanya ingin mempermainkan, In-Kong. Aku tidak sudi... apalagi Song-Wangwe, aku tidak sudi, biar dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."

   Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang seperti itu wataknya. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik karena cantiknya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu saja tidak semua laki-laki demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi sebagian besar laki-laki seperti itulah sifat dan wataknya.

   "Susah kalau begitu. Twa-So, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"

   "Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-An, akan tetapi aku tidak tahu betul di mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu yang keparat membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak Hartawan Song!"

   Suara wanita itu memperdengarkan kemarahan ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.

   "Orang yang datang tadi? Hemm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twa-So?"

   Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita. Tadinya ia hidup bahagia dengan suaminya, seorang petani muda she Yo. Biarpun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan, namun dengan milik mereka sebidang sawah, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan. Mereka sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir, mereka adalah korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah. Namun, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan Yo Kui, petani muda itu.

   Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan selalu terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal di dusun-dusun sekitarnya. Tuan tanah Hartawan ini adalah Song-Wangwe (Hartawan she Song). Seorang laki-laki setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan. Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli Bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf,

   Maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang "Berbudi"

   Itu membuat surat perjanjian jual beli lalu menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol. Dengan ditandainya surat perjanjian yang tak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti telah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan Bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya "Menyerahkan"

   Isteri yang cantik manis itu menjadi "PenghIbur"

   Tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali Hartawan itu membutuhkannya. Tentu saja Yo Kui menjadi marah sekali dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.

   Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa? Kalau si Hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan Bibit, boleh diambil kembali kerbaunya dan Bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi kerIbutan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah. Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan Hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga. Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok di masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, apalagi kepentingan rakyat kecil.

   Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, agaknya orang malah lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang pada waktu itu merubah diri di dalam tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar! Oleh karena inilah maka tidak mengherankan apabila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan melakukan tindakan, periksa sana periksa sini, lalu keluarlah keputusan "Pengadilan", bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-Wangwe dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!

   Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia telah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan, isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian untuk pembeli obat dan makan. Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan setelah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia... mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!

   "Demikianlah, In-Kong..."

   Janda muda itu mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya yang bercucuran.

   "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja... setelah suamiku meninggal, bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujukku menjadi... isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, dia setiap hari membujuk-bujukku untuk menyerah kepada Hartawan Song..."

   Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya mendengar penuturan janda muda ini.

   "Tapi aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan..."

   Janda itu melanjutkan, masih terisak.

   "Bagiku, lebih baik aku mati daripada menuruti kehendak mesum mereka, In-Kong... kalau saja aku tidak melihat A Wan... ah... agaknya sudah lama aku menyusul suamiku..."

   Ia menangis lagi, kini lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.

   "Besarkan hatimu, Twa-So, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil Selalu akan menolong manusia yang sengsaja. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-An itu, andaikata kau dan anakmu datang padanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"

   "Dia orang baik, In-Kong, dia adik mendiang Ibuku, agaknya dia tentu mau menerima kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa..."

   Percakapan terhenti dan janda muda itu biarpun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke arah tuan penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung.

   "In-Kong... kau tidurlah..."

   Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Biarlah, Twa-So, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam sekarang."

   "Aku hendak menyelesaikan ini dulu..."

   Jawab janda muda itu. Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh ketrenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang berkerut di antara kedua matanya itu. Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini.

   Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang...! Memang aneh, janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda buta dengan hati penuh belas kasihan. Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Ia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.

   "In-Kong...?"

   Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur. Ingin ia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan dan merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin. Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersamadhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja tidak menjawab. Baru lega hatinya ketika janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersamadhi dengan bebas.

   Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan Ibu dan anak yang tidur di depannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasai perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini. Duka maupun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapapun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya Ibu dan anak di saat itu, tentu sama sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya,

   Lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur diranjang berkasur atau di atas tikar rombeng? Kun Hong merasa segar badannya. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan dan membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong Ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu. Mendadak Kun Hong miringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu, malah dari suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa itu dapat diduga bahwa orang-orangnya sedang marah!

   "Perempuan tak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!"

   Terdengar bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.

   "Dung! Dung-dung!"

   Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar. Janda muda itu dan anaknya terkejut dan bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itupun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.

   "Celaka, In-Kong..., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah..."

   Benar-benar seorang berprIbudi, pikir Kun Hong. Jelas orang-orang itu beralamat tidak baik bagi sijanda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!

   "Tenanglah, Twa-So... tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani mengganggu kau atau A Wan."

   "Dung-dung-brakk!"

   Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.

   "Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu... kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!"

   Teriakan Lao Tiu terdengar pula.

   "Dipelihara Song-Wangwe tidak mau malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"

   "Kreeeeettttt...!"

   Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam. Semua mata mereka yang merubung depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang mulutnya tersenyum tapi kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan mukanya pucat.

   "Wah, tak tahu malu... tak tahu malu... berjina dengan jembel buta... kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-Wangwe!"

   Sementara itu tanpa memperdulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu. Janda itu berbisik menjawab,

   "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-Wangwe..."

   Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apalagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang kawannya untuk turun tangan dan lima orang itu bergerak menyerbu.

   Kun Hong tak dapat menahan sabar lagi. Enam orang itu, Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan di atas tanah seperti cacing terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang nyeri. Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain seperti orang dikeroyok rIbuan ekor semut. Adapun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang amat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.

   

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini