Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 4


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Aduh... a... a... aduhh... lepaskan..."

   Dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan dapat ditundukkan. Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan. Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.

   "Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!"

   Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan kepada tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh saja dan ketika Kun Hong mengangkat kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!

   "Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!"

   Kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.

   "In-Kong, jangan... kasihan dia..."

   Janda itu berseru penuh kengerian. Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung.

   "Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tak malukah engkau? Manusia keji, ah, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!"

   "M... M... ampun... ampun..."

   Dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan Lao Tiu meratap. Kun Hong menengok ke kanan kiri, ia tahu bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ, menonton.

   "Dengarlah kalian, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut dijadikan orang-orang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri Hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-Twa-So yang tertindas ini, malah ikut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-Wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar lain kali kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"

   Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan.

   "Hayo antar aku ke rumah majikanmu!"

   Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata.

   "Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biar mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu saja di sini jangan ikut aku ke rumah Song-Wangwe. Aku hanya titip Yo-Twa-So dan anaknya!"

   Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan lalu mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang amat megah dan besar. Di depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-Wangwe karena urusan yang sangat penting. Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk menyampaikan kepada Song-Wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan "Si janda Yo"!

   Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, Hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat. Sambil mengomel panjang pendek mengapa si Lao Tiu itu begitu kurang ajar membangunkannya sepagi itu, dia keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan. Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lain. Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur maka Hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!

   "Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Eh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan? Heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali."

   Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi "Eh-eh, ah-ah, oh-oh"

   Saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya. Kun Hong menyeret Song-Wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya. Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki,

   "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila? Lepaskan Song-Wangwe!"

   Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.

   "Mundur semua!"

   Kun Hong membentak.

   "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!"

   Setelah mengancam demikian, Kun Hong mendorong terus dua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui. Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.

   "Jangan serang... uh-uhh... jangan serang... goblok...!"

   Song-Wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan leher itu.

   Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman ketika mereka melihat si buta itu datang lagi, kini menyeret Lao Tiu dan Song-Wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga tanpa berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta! Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga diapun tidak sanggup bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, Bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.

   "Song-Wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?"

   Tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa. Hartawan itu diam saja. Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak,

   "Hayo jawab!"

   (lanjut ke Jilid 04)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   "Tidak... ti... tidak tahu..."

   Suaranya gemetar tubuhnya menggigil.

   "Hayo kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan tentang kehendakmu yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk, tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu saja... hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"

   Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya.

   Kata-katanya yang terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan suara, hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci bersih namanya di depan umum. Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua sudah tahu macam apa adanya tuan tanah itu dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi baru kali ini mereka mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah sendiri. Benar-benar hal yang amat luar biasa! Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap,

   "Ampunkan saya, Taihiap (Pendekar Besar), ampunkan saya... saya berjanji... tidak berani lagi..."

   Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, namun mereka tak berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itupun sekarang masih merintih-rintih tak dapat bangun. Pula, kalau mereka hendak mengeroyok, tentu tuan tanah itu akan terbunuh lebih dulu.

   "Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah mati karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?"

   Kun Hong membentak.

   "Ampun... ampun..."

   "Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat! Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."

   Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, ada yang iri hati kepada nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu kaget menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini. Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak! Semua penduduk memandang dengan melongo. Belum pernah mereka melihat uang perak sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum pernah!

   "Twa-So, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari pamanmu ke Cin-An dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.

   "Ah... terlalu... terlalu banyak untuk apa...?"

   Janda itu berkata gagap. Kun Hong tersenyum.

   "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"

   Janda itu memandang ke kanan kiri, melihat betapa para penduduk memandangnya dengan mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus dan pakaian mereka yang tambal-tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya lari ke arah gerobak, melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun yang sudah tua.

   "Chi-Lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua saudara penduduk dusun kita,"

   Hampir saja semua orang tak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah janda itu mengulangi perkataannya, terdengar mereka bersorak sorai dan memuji-muji nyonya Yo.

   Malah beberapa orang wanita lari menghampiri, memeluknya, menciuminya sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri timbul harapan baru dengan adanya tambahan bantuan uang yang tidak sedikit itu. Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah menolong seorang yang memiliki pribadi setinggi nyonya janda itu. Biarpun seorang dusun, ternyata wanita ini benar-benar seorang Bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi di depan mukanya. Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan tanah, dengan jari tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu berteriak dan roboh, dari mulutnya keluar darah.

   "Kau tidak akan mati,"

   Kata Kun Hong "Akan tetapi ingat, sekali lagi kau melakukan gangguan kepada orang-orang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!"

   Tuan tanah itu merangkak bangun, segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya, Dia tidak tahu bahwa, semenjak saat itu dia takkan mampu lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang laki-laki lemah. Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan tetapi mereka inipun mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga selanjutnya mereka takkan dapat menjadi tukang pukul lagi!

   "Karena kau masih saudara misan Yo-Twa-So, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus mengantar Yo-Twa-So ke Cin-An sampai bertemu dengan pamannya. Awas, jangan kau main-main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu takkan tertolong lagi,"

   Kata Kun Hong kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan darah di dadanya. Lao Tiu merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat lehernya.

   "Kau terancam maut oleh luka di dadamu,"

   Kata Kun Hong.

   "Dan obatnya hanya akan dimengerti oleh Yo-Twa-So. Kalau kau sudah mengantarkan ia dengan selamat sampai di Cin-An dan bertemu dengan pamannya, baru dia akan memberi tahu kepadamu cara pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum nyawamu melayang."

   Kun Hong sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang dia lakukan itu hanyalah totokan biasa saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk seperti Lao Tiu.

   "Yo-Twa-So, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku akan menukar pakaianku."

   Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo sambil menggandeng tangan A Wan berlari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia. Sambil terisak menangis ia menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.

   "In-Kong... ah, In-Kong... kau telah menyelamatkan hidupku... menyelamatkan nama baikku... In-Kong, budimu setinggi gunung... dan... kau seorang buta...! Ah, betapa inginku membalas budimu... In-Kong, andaikata dapat, aku rela memberikan kedua mataku untukmu!"

   Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu karena perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta itu!

   "Twa-So, jangan...!"

   Suara Kun Hong tersedak karena dia menahan perasaannya dan kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh. Sejenak wanita itu menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah belahan pelupuk membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, Bibirnya bergerak-gerak gemetar.

   "In-Kong...!"

   Wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong dan menciumi sepatu yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya dengan rambut.

   "In-Kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-Kong... apa artinya menempuh hidup baru di Cin-An kalau aku takkan dapat bertemu dengan orang sepertimu lagi? In-Kong, biarlah aku membalas budimu dengan menghambakan diri... biarlah aku menjadi bujangmu. A Wan juga... biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu..."

   "Yo-Twa-So, diam...!"

   Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan sekali tarik dia membuat wanita itu berdiri.

   "Kau wanita baik-baik, kau seorang Suci dan mulia hatimu. Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga. Mana pakaianku?"

   Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih,

   "Tidak akan kukembalikan, In-Kong. kalau tak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan. Kuganti dengan pakaian suamiku pula... pergi meninggalkan kami berdua..."

   Ia terisak lagi. Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu dia tidak mau banyak rIbut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar dari pintu, diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari semua tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di depan, orang ini sekarang taat benar.

   "Aku akan mengantar sampai keluar dusun,"

   Kata Kun Hong dan berangkatlah mereka. Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung, di belakang gerobak, Kun Hong berjalan sambil memegang tongkat, Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan Ibunya. Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan tiba di jalan simpang empat, Kun Hong berkata,

   "Lao Tiu, berhenti dulu."

   Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo.

   "Yo-Twa-So, nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, jaga Ibumu baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."

   "Nanti dulu...!"

   Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lari menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya.

   "Sekali lagi, In-Kong... bolehkan aku dan A Wan menghambakan diri padamu? Biar kami ikut ke mana kau pergi..."

   Suaranya penuh permohonan.

   "Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis..."

   "Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku... aku sanggup bekerja untukmu... andaikata mengemis sekalipun... aku yang akan mengemis, In-Kong..."

   "Cukup semua ini! Twa-So, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari kau dan A Wan di Cin-An."

   "Betulkah?"

   Terdengar suara mengandung harapan.

   "In-Kong, sampai kini belum kuketahui namamu yang mulia,"

   Kun Hong tersenyum pahit,

   "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai sIbuta... dan eh, jangan lupa..."

   Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun berdiri.

   "Si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!"

   Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu dan... melontarkannya ke depan. Janda itu menjerit lirih, tubuhnya melayang dan... jatuh dalam keadaan duduk di atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat Ibunya "Terbang"

   Tadi. Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi, namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi dia benar-benar gelisah ketika menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.

   "Berbahaya...!"

   Pikirnya, dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir perasaan ini dan melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi.

   "Wahai kasih, aku di sini...! Menyongsong sinarmu yang hangat..."

   Kata-kata dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan perasaannya di saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "Wahai kasih, aku di sini...!"

   Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyiannya, pikirannya selalu melayang dan terkenang kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau Burung, desir angin, dendang air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu adalah pengganti diri Ciu Bi baginya! Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali, akan tetapi setelah berjalan setengah hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan lapar dan bernyanyi-nyanyi.

   "Wahai kasih aku di sini...! Dalam perjalanan nan sunyi..."

   Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas. Plok! Benda itu jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya sebutir buah apel masak yang menyambarnya tadi, dari atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga memperhatikan ke atas pohon.

   "Perutku memang amat lapar dan bau buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku,"

   Akhirnya dia berkata sambil mendongak ke atas.

   "Hik, hik!"

   Terdengar suara wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini. Lalu tubuh orang itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa mengeluarkan banyak suara gaduh. Ternyata Ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga. Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan kedua tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak dan harum baunya berada di tangannya. Dia tersenyum girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu. Dengan mulut penuh daging buah dia berkata.

   "Terima kasih... terima kasih..."

   Sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.

   "Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, si genit puteri Hui-Hou Pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"

   Kun Hong tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi Yan Cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui!

   "Eh, kiranya kau... Bi Yan Cu, Nona? Ah, sambitanmu tadi membikin kaget orang saja..."

   Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba menjadi marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata, suaranya penuh kejengkelan.

   "Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"

   Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tidak menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya. Kediaman kembali membangkitkan amarah gadis itu, terbukti dengan suaranya yang nyaring merdu penuh kejengkelan,

   "Ih, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"

   "Aku sudah bilang terima kasih tadi,"

   Jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir buah itu ke dalam mulut.

   "Siapa butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."

   "Jawaban apa?"

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa yang kau rindukan sepanjang jalan, si genit puteri Hui-Hou Pangcu ataukah si janda muda?"

   "Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"

   "Cih, kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula tidak melihat adegan sandiwara mesra di perempatan jalan tadi pagi? Hi-hik, semua ditinggalkan, lalu di jalan nyanyi-nyanyi seorang diri penuh rindu. Lucu benar kau!"

   Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun Hong menjadi merah. Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-benar sukar untuk dapat menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.

   "Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak mereka berdua."

   "Habis, siapa itu kasih?"

   Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong bernyanyi tadi.

   "Wahai kasih, aku di sini...!"

   Kun Hong hanya tersenyum.

   "Kau benar-benar hebat, tahu segalanya. Masih begini muda, pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, kenapa kau semenjak kemarin terus mengikuti aku?"

   "Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik, padahal aku jauh lebih tua daripadamu."

   "Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"

   "Ih, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku sudah dua kali umurmu, tahu?"

   Kun Hong tertawa. Biarpun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkannya. Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat, buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia dikeroyok.

   "Kau bocah nakal! Biarpun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang nakal, cantik jelita, dan manja!"

   "Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata keranjang kau... eh, tak bermata? mana bisa mata keranjang? Kau... kau hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita lalu memuji dan main gila seperti yang kau lakukan dengan puteri Hui-Hou Pangcu dan janda muda."

   "Bohong! Fitnah belaka itu!"

   "Bohong apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-Pangcu yang genit itu minta kau memijatinya waktu malam? Hi-hik, biar matamu buta, apakah jari-jari tanganmu juga buta? Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau... sudahlah, kau menjemukan!"

   Kun Hong makin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tapi malah mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.

   "Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal apa?"

   "Kau bilang aku mengikutimu sejak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin menontonmu? Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih menariknya untuk ditonton? Paling-paling hanya menimbulkan kasihan dihati..."

   "Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas belas kasihanmu itu dan..."

   "Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil Bibi tua, setan...!"

   Mendengar gadis itu mencak-mencak disebut Bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha-ha-ha!"

   "Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barangkali."

   "Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau dua kali lebih tua daripadaku, bukankah sepatutnya kalau aku menyebutmu Bibi tua? Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"

   "Gila lagi. Aku mana berjenggot?"

   Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini.

   "Betul juga kau, aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku Bibi tua lagi, bisa menangis aku!"

   "Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biarpun sesungguhnya aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu tentang janda dan segala yang kualami itu?"

   "Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini."

   Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah... Mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-Jiu Souw Ki. Biarpun Kun Hong tak dapat melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang mengeluarkan sesuatu dari buntalan, dia dapat menduga benda apa itu. Kun Hong terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.

   "Hah, kau sudah merampasnya kembali?"

   "Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku mengejar mereka dan apa artinya mereka bagiku?"

   Suaranya bernada sombong.

   "Kemarin aku kalah karena mereka mengeroyokku, puluhan, malah ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itupun aku tidak akan kalah kalau saja..."

   "Kalau apa?"

   Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya. Gadis ini benar-benar lincah dan lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan gembira, menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!

   "Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"

   "Bau keringat? Ho-ho, kok aneh amat!"

   "Aneh apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka, membuat aku sesak bernapas. Mau muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik!"

   Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak tidak tahu bahwa gadis itu memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya tiba-tiba ketawanya terhenti, keningnya berkerut ketika dia bertanya,

   "Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"

   "Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya dapat merampas Mahkota, merobohkan Tosu bau dan anjing Kaisar dengan melukai mereka. Sayang lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm... mereka semua akan menjadi setan tanpa kepala!"

   "Kau ganas sekali."

   Suara Kun Hong dingin.

   "Apa, ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas? Kalau kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"

   Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini?

   "Sudahlah, sekarang katakan, setelah kau berhasil merampas Mahkota, kau lalu mengikuti aku dan bahkan menyusul, apa kehendakmu?"

   "Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau telah menghinaku tiga kali dan kau hutang penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."

   "Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau maksudkan semua itu."

   "Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga, kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang tertawan dengan dirimu sendiri, kiranya kau hanya main-main tidak sungguh-sungguh berkorban lalu melepaskan diri dengan mudah!"

   Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu benar. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia menghina orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!

   "Wah-wah, berat! Lalu hutang penyelesaian itu bagaimana?"

   "Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku, Ke dua kalinya, apa maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia itu!"

   Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,

   "Kujawab satu demi satu. Tiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila pada siapapun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-Pangcu biarpun ia secara tak tahu malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa ia seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang menggantikan kau karena tak ingin melihat kau celaka di tangan mereka. Nah, sekarang tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andaikata bukan kau yang terancam bahaya, akupun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang diri Tan Beng San Taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau puteri Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau adalah... guruku. Nah puas?"

   "Tidak puas... tidak puas... omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?"

   Gadis itu diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan "Sratt"

   Pedangnya sudah dicabutnya.

   "Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!"

   Katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali. Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.

   "Kau tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"

   "Aku tidak puas karena kata-katamu tak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau tidak bohong? Tapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang mencoba muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"

   Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan Bibirnya dia berkata,

   "Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang aku? Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa seorang buta ditantang bertempur?"

   "Kau benar buta, apa bedanya? Biarpun buta, kau lebih pandai daripada yang tidak buta, siapa tidak tahu hal ini? Sebaliknya, akupun terluka di tangan kananku, gerakanku menjadi kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah seimbang, tak boleh kau bilang aku menggunakan kebutaanmu untuk mencari kemenangan. Hayo, siap!"

   Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini yang begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Hoat, bahkan dahulu pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu? Teringat akan kekasihnya ini makin besar keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Hoat. Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.

   "Aku sudah siap."

   Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, melainkan berkata dulu dengan nada suara angkuh.

   "Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata yang ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat. Nah, awas pedangku!"

   Kun Hong tersenyum. Betapapun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur dan ada sifat "Satria"

   Dalam hatinya. Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat menggerakkan tongkat menangkis, sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-Hong-Kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis, meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga. Dalam gebrakan pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaiannya kepada kegesitannya.

   Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya kalah setingkat kalau dibandingkan dengah Cui Bi, mendiang kekasihnya. Akan tetapi tenaga Lweekangnya ternyata masih jauh daripada cukup. Dia melayani semua serangan gadis itu dengan tenang mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Gembira hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian-Li Kiam-Hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu pedang yang tulen. Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas, keindahannya dapat dia rasakan dari desiran anginnya, dan di dalam khayalnya Kun Hong seakan-akan melihat kekasihnya sendiri bergerak menari pedang. Hatinya terharu bukan main dan dalam kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji gadis itu.

   Dia selalu mengimbangi gadis itu, dan dia tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melukai tubuhnya, juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya. Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah kagetnya ketika mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah terisak menangis! Dia pun cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang Cui Bi mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada dara lincah ini.

   "Nona, kau... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah..."

   "Tidak kalah...! Memang tidak kalah... hu-hu... tapi juga tidak menang... u-hu-huu...!"

   Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia mengulur tangan hendak menghIbur, tapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa copot dan seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama, suara sedu-sedannya juga senada.

   "Jangan... jangan menangis, Nona... biarlah aku mengaku kalah kalau kau menghendaki begitu."

   "Siapa sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!"

   Tiba-tiba tangisnya menghilang dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis aneh ia sehingga Kun Hong mendengarkan sambil terlongong.

   "Akan tetapi, siapa tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya lengan kananku yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksa tadi, akan tetapi tetap saja aku tidak mampu mengalahkan kau seorang buta! Baru kau muridnya yang buta saja begini hebat, apalagi gurunya yang tidak buta. Ah, aku berdebat dengan Ayah, aku tidak menerima kata-kata Ayah bahwa aku takkan mungkin dapat mengalahkan dia. Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...!"

   Dia menangis lagi tersedu-sedu seperti anak kecil minta permen ditolak.

   "Tan Beng San Taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau seharusnya bangga karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga dia memiliki hati emas, prIbudinya luhur dan dia seorang satria sejati."

   Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi.

   "Kalau hatiku berbulu, ya? PrIbudiku rendah dan aku bukan bandingnya sama sekali. Hatinya emas tapi hatiku tembaga. Begitukah? Pantas saja kau tidak perduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku karena... lengan terkutuk ini... aduh."

   Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat mainkan pedangnya sebegitu lama, tentu lukanya tidak hebat. Kini dari suara gadis ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.

   "Berikan lenganmu, biar kuperiksa!"

   Katanya. Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya. Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali, melepaskan tangan itu dan berseru.

   "Celaka...! Mana mungkin? Ahh..."

   Dan dia duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.

   "Bagaimana? Ada apa?"

   Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang penuh kegelisahan.

   "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."

   "Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan..."

   "Sukar bagaimana? Hayo katakan!"

   Gadis itu tak sabar lagi.

   "Harus memperbaiki jalan darah Yan-Goat-Hiat, mana mungkin...?"

   Jalan darah itu letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?

   "Kenapa tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah Yan-Goat-Hiat? Bukankah ini di sini?"

   Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah bawah pangkal lengannya, tapi ia segera menjerit perlahan.

   "Aduuuhhh...!"

   "Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat hawa murni dan Lweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas Mahkota, benar-benar hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah matang dan dapat menimbulkan keracunan."

   "Wah, perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi Tabib, tidak mau belajar mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."

   "Bagaimana mungkin...?"

   "Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini? Mengapa pakai bagaimana mungkin segala? Pendeknya, kau becus tidak mengobatinya?"

   "Tentu saja bisa..."

   "Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!"

   Suara nona itu kehabisan sabar.

   "Ya tapi... tapi... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan totokan biasa, Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar terbawa mengalir dan..."

   "Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"

   "Tapi... kau tahu sendiri Yan-Goat-Hiat terdapat di... ketiak..."

   "Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tak pernah kau gosok kalau mandi!"

   Nona itu suaranya marah sekali. Kun Hong menarik napas panjang, tak disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.

   "Eh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! He, orang buta, apakah kau memang tidak sudi menolongku?"

   "Bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi..."

   "Tapi apalagi?"

   "Eh, maaf... bagian yang diobati itu harus... harus... tidak tertutup..."

   Hening sejenak. Biarpun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak tanpa ditutup baju, membuat gadis itu menjadi merah sekali mukanya dan bingung. Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik. Apakah dia sengaja hendak mempermain-kan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang buta.

   "He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"

   Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.

   "Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"

   "Sama sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"

   Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab,

   "Bagiku, siang dan malam sama gelapnya..."

   Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi terharu malah segera berkata,

   "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"

   Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus mengakui bahwa gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan sifatnya, gadis kasar, jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih daripada hal yang bukan-bukan. Oleh karena itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti Sutera.

   "Aduh...!"

   Jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.

   "Hemmm... lebih hebat daripada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga Lweekang agar kumpulan darah itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar."

   Kun Hong lalu membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di ketiak kanan gadis itu. Dia mengerahkan tenaga sakti dari tubuhnya, disalurkan melalui tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Tiba-tiba ia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.

   "Wah... gila..."

   Bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu berubah panas kembali.

   "Apa yang gila? Siapa?"

   Tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi. Akan tetapi ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan Lweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa.

   Tentu saja ia tak pernah menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri. Ketika dia menyalurkan tenaga Lweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga saktinya sehingga akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri, mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga. Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba ia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat. Kun Hong terheran dan bertanya,

   "Kenapa, Nona...?"

   "Aiiihhh... hi-hik, geli amat... jari-jarimu menggelitik..."

   Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya.

   "Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona."

   Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disedarinya timbullah rasa sayang kepada nona ini. Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang,

   "Bagus! Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh takluk betul sekarang. Kau hebat!"

   Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,

   "Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal. Perut masih lapar kau suruh aku putar-putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"

   "Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah pohon, nah di sini..."

   Katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon, menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah.

   "Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti."

   Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya. Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi tertawa-tawa girang dan kedua lengahnya penuh barang-barang. Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan Ang-Sio-Hi, semangkok besar pula Cah-Udang dan semangkok lagi Panggang Daging Ayam. Semua masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mangkok terisi masakan ini ia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam sebuah guci arak, mangkok kosong dan supit!

   "Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah, lenganku panas semua, itu sih, Ang-Sio-Hinya miring mangkoknya ketika kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!"

   RIbut-rIbut gadis itu bicara dan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.

   "Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah, araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh, supitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau memperoleh semua ini?"

   Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.

   "Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara. Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang! Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!"

   Dengan cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan.

   Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya. Gembira sekali mereka, apalagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan pulen, araknya tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah disikat habis oleh keduanya! Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya bebas lepas, sikapnya terbuka dan Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya bertambah. Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya.

   Sayangnya, agaknya anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya "ingin menang sendiri". Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah amat jujur dan cukup memiliki pertimbangan yang adil. Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak berdaya.

   "Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Kenapa matamu sendiri sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?"

   Kali ini gadis itu bicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-sungguh. Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab,

   "Karena salahku sendiri..."

   "Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan mencarinya dan membalas membutakan matanya!"

   Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang kebutaannya, akan tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.

   "Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."

   Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali.

   "Aku tidak percaya! Masa ada orang membutakan matanya sendiri, kecuali orang gila!"

   "Memang aku gila, gila pada waktu itu."

   Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut.

   "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"

   Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring gembira.

   "Kakak buta, sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

   Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis ini benar-benar menggembirakan dan mudah menular, Terhadap seorang gadis seperti ini tak perlu dia menyembunyikan diri.

   "Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Adapun tempat tinggalku, heemm... untuk saat ini yah di sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi Yan Cu saja?"

   "Kwa Kun Hong... nama yang bagus. Eh, Kwa-Twa-Ko (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa mengenal nama Ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa Ayahku adalah kakak Tan Beng San Ketua Thai-San-Pai?"

   "Tentu saja aku tahu. Aku mempunyai hubungan baik dengan keluarga Thai-San-Pai, malah pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San Taihiap, aku tahu bahwa Ayahmu selain kakaknya, juga menjadi Suheng dari isteri beliau. Bukankah Ayahmu itu murid pertama dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"

   "Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twa-Ko. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada pembukaan Thai-San-Pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-San, apakah kau hadir juga?"

   Berdebar jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu, tentang Cui Bi apalagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal itu? Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian terpenting (baca Rajawali Emas).

   "Aku tahu... aku hadir di sana..."

   Dia cepat menambah untuk menghilangkan.

   "Aku bersama Ayah Ibuku..."

   Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut Ayah bundanya.

   "Twa-Ko, siapa Ayahmu? Tentu tokoh hebat..."

   Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tak dapat mundur lagi.

   "Ayahku adalah Kwa Tin Siong, Ketua Hoa-San-Pai."

   Gadis itu segera meloncat lagi ke atas.

   "Walah! Kiranya putera Hoa-San Ciang-Bunjin (Ketua Hoa-San-Pai)! Maaf... maaf, ya, Twa-Ko? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan, putera seorang Ketua Hoa-San-Pai yang terkenal!"

   "Hush, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta, jangan kau menyebut-nyebut nama keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-Twa-Ko lagi."

   

Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini