Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 7


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Nona, maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku dan menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti Nona. Tamparanmu kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah keji itu jauh lebih menyakitkan hatimu daripada rasa nyeri pada mukaku. Kemarahanmu tidak berlebihan, malah andaikata betul fitnah keji tadi, aku rela dan patut dihukum mati."

   Kun Hong lalu tersenyum dan menyambung.

   "Tentu Nona tahu akan pendapat para arif bijaksana jaman dahulu bahwa khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang dekat. Aku sama sekali tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"

   Agaknya ucapan ini mempunyai pengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan kelancangannya menjatuhkan marah kepada seorang asing tanpa menyelidik lebih dahulu. Ia segera berkata kepada nona galak tadi, suaranya mengandung sesalan besar.

   "Adik Hui Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana mungkin dia mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"

   "Enci Hui Kauw, kau malah membela dia? Uh, benar-benar aneh kalau kau malah membenarkan dia menyalahkan aku. Itu buktinya dia membawa saputanganmu, dari mana dia dapatkan itu?"

   Kata-kata ini mengandung sindiran tajam, seakan-akan gadis cilik yang galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan tuduhan yang bukan-bukan. Wajah Hui Kauw merah, akan tetapi dengan tenang ia menjawab,

   "Tadi aku berlatih seorang diri di sini dan saputangan itu kugunakan untuk menghapus keringat, kemudian aku pergi dan saputangan itu tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu datang dan menemukan Saputanganku di atas meja, apanya yang aneh dalam hal ini?"

   "Tentu saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku melihat dia menciumi saputanganmu sambil menangis? Hi-hik, bukankah aneh kelakuannya itu, Enci yang baik? Dia mengaku pacarmu, dan melihat saputangan itu... diciuminya... hemmm, hampir tadi aku percaya akan pengakuannya."

   "Bohong! Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada encimu sendiri. Kiranya kau perlu dihajar oleh orang tuamu!"

   Kun Hong berteriak marah.

   "Jembel buta, berani kau kurang ajar kepadaku?"

   Hui Siang menyerbu dan memukul kepala Kun Hong. Akan tetapi hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu mengenai angin. Beberapa kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.

   "Hui Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dulu. Aku sudah lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!"

   Hui Kauw yang melihat penuh kekagetan betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar biasa sekali. Diam-diam iapun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja mengenai pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari Bibir orang buta itu. Akan tetapi sekarang Hui Siang yang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pukulan yang akan dapat menewaskan orang itu, dengan amat mudahnya dielakkan oleh si buta! Hui Siang membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol.

   "Lagi-lagi kau membelanya, enci Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada Ibu, biar Ibu datang mengadili perkara ini dan membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang ajar ini. A Man, hayo semua ikut aku melapor kepada Ibu, kalian berlima menjadi saksi!"

   Maka pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis ini amat penurut dan takut, bahkan menjilat-jilat sikap mereka. Kun Hong mendengar langkah mereka cepat-cepat meninggalkan tempat itu, dan dia hanya menundukkan kepala, gelisah memikirkan nona Bidadari yang masih berdiri di depannya tanpa bergerak seperti patung. Hening sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula Kun Hong. Terdengar oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas panjang,

   Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu betapa nona itu menatap wajahnya dan memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik dari kepala sampai ke pakaiannya yang kotor berlumpur serta sepatunya yang sudah bolong-bolong. Helaan napas panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini berduka dan kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi. Mengapa dia tadi begitu bodoh sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang, gadis galak itu? Mengapa dia begitu lemah, menurutkan getaran hati sehingga dia berlaku seperti orang gila, menangis dan menciumi saputangan seorang nona yang asing baginya? Dengan hati berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan saputangan Sutera yang harum itu melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan saputangan itu kepada pemiliknya sambil berkata lirih,

   "ini, saputanganmu, Nona... maafkan aku... telah menimbulkan hal tidak enak bagimu..."

   Hui Kauw menerima saputangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali ia menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata, lirih dan seperti bicara kepada diri sendiri,

   "Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup memang derita, banyak duka daripada suka, sepanjang hidup pahit dan hampa, manis suka hanya sekejap mata"

   Kun Hong tetap tunduk, kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat dia nampak lebih tua. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat merasakan derita batin yang ditanggung nona muda ini. Semuda itu, sedemikian nelangsanya. Ingin dia menghIbur, ingin dia menyanjung, namun tak kuasa membuka mulut. Untuk menghalau tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong mengeluarkan suara keluhan dibarengi helaan napas berat dan panjang. Agaknya suara ini menyadarkan Hui Kauw.

   "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat terlarang bagi orang luar untuk masuk tanpa seijin Ibu. Kenapa kau masuk ke sini dan membuat kerIbutan? Apa kehendakmu sebetulnya?"

   Kun Hong dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dah penyesalan karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan baginya sendiri. Nona yang bersuara dan berwatak Bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa perbuatannya itu akan menjerumuskan si nona dalam kesulitan. Kembali dia menarik napas dan menjadi makin kagum.

   "Sesungguhnya, tiada seujung rambutpun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku dan nona Loan Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada, penghuni Pulau Ching-Coa-To ini atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki yang telah merampas makanan dan minurnan. Siapa kira perbuatan ini akan berakibat panjang..."

   Dengan singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan

   (lanjut ke Jilid 07)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   Loan Ki mencuri makanan, kemudian penyerangan koki dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya dan tentu saja dia tidak menceritakan maksud hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu ditenggelamkan ke dalam air dan si jagal dipukuli kepalanya! Mendengar penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas.

   "Alangkah senangnya dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu! Alangkah gembiranya sekali waktu dapat menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh oleh petualangan, dapat meliar dan melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah nona Loan Ki itu?"

   "Bukan apa-apa, hanya bertemu di jalan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan ia seorang gadis berjiwa pendekar."

   "Ah, baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan makanan biarpun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal, akan tetapi berdasarkan prIbudi yang mengandung welas asih. Ia tentu bukan orang jahat."

   Kembali Kun Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara Bidadari, ucapan-ucapannya bijaksana seperti seorang ahli filsafat. Kekagumannya membuat dia lancang berkata,

   "Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona. Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti bumi dan langit..."

   Hui Kauw tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tak dapat melihat betapa senyum itu adalah senyum yang pahit.

   "Tentu saja jauh bedanya seperti bumi dan langit. Adikku Hui Siang adalah seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, sedangkan aku... aku seorang buruk rupa..."

   "Nona, biarpun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabuhi aku. Kau serIbu kali lebih cantik jelita daripada adikmu..."

   Kembali ucapan ini terlontar keluar dari mulutnya tanpa pengendalian, namun Kun Hong setelah sadar tidak menyesal karena memang ingin dia memuji nona ini.

   "Pandangan seorang buta... ah, andaikata kedua matamu dapat melihat, mungkin berbeda ucapanmu... ah, alangkah besar inginku melihat kau tidak buta untuk sebentar saja sehingga aku dapat mendengarkan pendapatmu lagi..."

   Nona itu menarik napas panjang lagi dan kali ini Kun Hong mendengarkan penyesalan dan kekecewaan yang besar.

   "Sahabat buta, siapakah namamu?"

   "Aku Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."

   "Hemm, kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri belum tentu dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa buta... dan adikku tadi bilang bahwa ia melihat kau... eh, menangis dan menciumi saputanganku. Betulkah itu?"

   Jantung Kun Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak akan berkeberatan untuk berbohong kalau saja itu tidak akan merugikan siapapun juga. Akan tetapi kalau kali ini dia membohong, berarti dia seperti melontarkan fitnah kepada Hui Siang gadis galak itu. Dengan muka berubah merah dia mengangguk tanpa menjawab. Hening lagi sejenak.

   "Kalau begitu... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa... bahwa kau mengatakan aku ini pacarmu?"

   "Tidak...! Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri... dengar baik-baik Nona. Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan Ibumu, aku mendengarnya semua. Aku mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan mendengar kau bersajak. Aku kagum sekali, aku kasihan kepadamu. Kemudian kau pergi... dan seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan saputangan itu di atas meja... dan aku... ah, mungkin aku sudah gila... aku teringat akan seorang yang telah tiada di dunia ini, aku terharu... dan mungkin aku menangis sambil menciumi saputangan itu. Kau maafkan aku, Nona, dan semoga Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud tidak senonoh terhadap dirimu, maafkan aku."

   Hening lagi sejenak.

   "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya... asmara yang menyeretmu. Kau seorang terpelajar pandai dan berilmu tinggi, sampai menjadi begini tentu akibat penderitaan batin. Hemm, saudara Kwa, silahkan duduk."

   "Terima kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku mohon pertolonganmu agar supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas daripada bahaya. Aku masih belum tahu bagaimana keadaan dan nasibnya."

   Pada saat itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu. Kun Hong miringkan kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali ini bukanlah para pelayan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga heran karena suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya,

   "Heii, Hong-Ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"

   Terdengar suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki ini. Agaknya yang membuat orang tertawa adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang yang tidak bermata! Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau memperdulikan ini karena hatinya diliputi keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang bersama-sama orang-orang itu dan siapa adanya mereka? Tentu saja dia sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua tangannya ditelikung ke belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.

   Pembaca tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan menjadi tawanan? Baiklah kita ikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih baik kita berkenalan lebih dulu dengan penghuni Pulau Ching-Coa-To dan para tamunya yang sekarang menggiring Loan Ki memasuki taman. Pemilik Ching-Coa-To adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan Ching Toa-Nio. Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk disesuaikan dengan nama pulaunya dan memang nyonya ini selalu berpakaian hijau (Ching). Biarpun usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya Ching Toa-Nio adalah seorang wanita yang cantik manis.

   Memang demikianlah, dahulu ketika ia masih bernama Liu Bwee Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik dan ilmu silatnya juga tinggi. Sayang bahwa anak yang cantik dan cerdik ini semenjak kecilnya tidak mendapat pendidikan yang baik karena memang ia hidup di lingkungan keluarga penjahat. Ayah bundanya merupakan perampok yang terkenal dan semenjak kecil telah tertanam Bibit kejahatan dalam batin Liu Bwee Lan. Dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi seorang nona dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan berdikari dan menjadi perampok tunggal. Pada suatu hari ia melakukan perampokan di Kota Raja, suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang penjahat yang berkepandaian tinggi karena amatlah berbahaya melakukan perampokan di Kota Raja di mana banyak terdapat jagoan-jagoan pandai.

   Liu Bwee Lan ini dengan nekat dapat merampok rumah gedung keluarga Hartawan, malah karena amat tertarik melihat seorang anak kecil berusia setahun kurang lebih, ia membawa atau menculik bayi ini pula! Akan tetapi hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang berilmu tinggi mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh kang-ouw yang namanya amat terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan dan berwatak seperti iblis, yaitu bukan lain adalah Siauw-Coa-Ong Giam Kin (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas). Karena dasar kedua orang muda ini memang sama, keduanya adalah golongan hitam, pertemuan yang didahului dengan pertolongan Giam Kin yang menyelamatkannya, disambung dengan jalinan cinta kasih dan terjadilah hubungan gelap antara kedua orang ini.

   Giam Kin amat mencinta Liu Bwee Lan dan sebaliknya, biarpun Liu Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan tokoh itu, namun ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya daripada hubungannya dengan Giam Kin. Ia minta diberi pelajaran silat dan mengeduk semua kepandaian suami tak sah ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara dan menguasai ular-ular berbisa. Dalam kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila kepadanya, Liu Bwee Lan malah berhasil dengan permintaannya yang gila-gilaan, yaitu minta dibuatkan tempat tinggal dengan memiliki sebuah pulau yang penuh rahasia dan penuh pula dengan ular-ular hijau berbisa!

   Demikianlah, sampai Giam Kin menjadi seorang bercacat (baca Rajawali Emas) kemudian tewas di puncak Thai-San, Liu Bwee Lan menjadi pemilik Pula Ching-Coa-To dan berganti nama Ching Toa-Nio. Hubungannya dengan Giam Kin itu menghasilkan seorang anak perempuan. Dengan demikian ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama adalah anak yang ia culik dari rumah keluarga Hartawan di Kota Raja dan yang ia beri nama Hui Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang. Untuk nama keturunan, ia memakai she Giam untuk kedua anaknya itu. Sudah tentu saja orang berwatak seperti Ching Toa-Nio ini, kasih sayangnya yang sesungguhnya hanya terjatuh pada anak kandungnya, Hui Siang.

   Adapun kasih sayangnya kepada Hui Kauw hanya pulasan atau palsu belaka dan seberapa dapat ia akan mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri sendiri. Malah ketika Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu dikejar-kejar dan diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak pungut yang amat cantik jelita ini menjadi korban keganasannya. Baiknya ada Ching Toa-Nio yang karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini. Malah kemudian karena dorongan iri hati terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi anak sendiri, atau mungkin juga karena cemburu melihat suami tidak sah itu tergila-gila, Ching Toa-Nio melakukan perbuatan yang amat keji, yaitu malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw yang telah dipulaskan dengan obat tidur.

   Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik itu ketika pada keesokan harinya di waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit, gatal-gatal dan perih dan kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih kemerahan dan halus sepprti Sutera itu telah berubah menjadi hitam seperti pantat kuali! Dalam hal ilmu silat, Ching Toa-Nio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak perempuan itu tanpa perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi pandai pula agar dapat dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh kalau Hui Kauw menjadi lebih maju dalam segala macam kepandaian dibandingkan dengan Hui Siang karena otaknya memang lebih cerdik.

   Karena tekunnya Ching Toa-Nio mengajar, kepandaian dua orang gadis itu tidak banyak selisihnya dengan si Ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di luar dugaan Hui Siang dan Ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw telah mempelajari ilmu silat sakti yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang ia temukan di antara kitab-kitab hasil rampasan Ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas. Ibunya sendiri tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesuSasteraan sampai mendalam. Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah di waktu kecil ia merengek-rengek minta kepada Ibunya untuk mendatangkan guru Sastera yang pandai dan hal ini pun dipenuhi oleh Ibunya yang memaksa datang seorang guru Sastera terkenal untuk melatih Sastera kepada Hui Kauw.

   Inilah keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini pun merasa betapa ia dibedakan, diam-diam ia merahasiakan ilmu silat sakti yang ia pelajari secara diam-diam dari kitab kuno itu. Demikianlah sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni Ching-Coa-To, yaitu Ching Toa-Nio dan dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan ini, di situ terdapat banyak pembantu dan pelayan, karena Ching Toa-Nio memiliki harta benda yang amat banyak, simpanan dari hasil rampokan dahulu ditambah pemberian Giam Kin ketika masih tergila-gila kepadanya, Sekarang kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, gadis lincah ini terjerumus ke dalam jurang ketika ia sedang mencari jalan menuruni lembah curam dan pinggir jurang yang diinjaknya longsor. Padahal tanah longsor ini bukan merupakan hal kebetulan.

   Memang semua tempat di dalam pulau itu telah dipasangi alat-alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan tempat yang sukar dan berbahaya bagi orang-orang luar yang akan mengganggu. Tempat ini merupakan hasil daripada pemikiran orang-orang luar biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching Toa-Nio dan dibantu oleh orang-orang pandai seperti guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-Ong-Kwi, Pak-Thian Lo-Cu dan lain-lain. Loan Ki menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan tubuhnya melayang cepat ke bawah. Ia berusaha mempergunakan Ginkangnya untuk mengatur tubuh dan tangannya meraih ke sana ke mari, namun percuma. Batu atau tanaman yang dapat dicengkeramnya terlepas dari dinding karang dan ia terus melayang ke bawah dengan amat cepatnya!

   "Byurrr!"

   Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru saking dalamnya. Untuk sedetik Loan Ki gelagapan, kepalanya masih pening karena kejatuhannya dari tempat sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak mengira bahwa di bawahnya adalah air. Andaikata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam air, kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan tempat ia berkecimpung semenjak kecil.

   Ayahnya tinggal di pantai dan laut merupakan tempat ia bermain, ombak merupakan kawan ia bermain-main. Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh dan ia menutup mulut dan hidungnya, kesadaran kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat tangan kakinya bergerak secara otomatis dan tubuhnya yang ramping itu meluncur naik seperti seekor ikan hiu. Akan tetapi begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat enam orang laki-laki di tepi air, dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki yang kemarin menyerangnya! Nenek itu tadinya memandang dengan mata terbelalak, agaknya kaget dan heran sekali betapa ada seorang manusia jatuh dari angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika mengenal muka Loan Ki. Ia menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang yang berada di situ,

   "Nah, itu dia iblis betina yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti ikan untuk Siocia, kini mendapat ganti begini besarnya. Heh-heh, lucu... lucu... tangkap ia dan sebelum diseret ke depan Toa-Nio, biar ia merasakan beberapa pukulan tanganku di tubuh belakangnya biar kapok anak setan ini!"

   Loan Ki melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar mata mereka kurang ajar, agaknya perintah itu amat menyenangkan hati mereka dan setelah tiba di air, mereka berenang cepat-cepat ke arahnya sambil tertawa-tawa. Tadi Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai berenang, malah sekarang ia sengaja seperti orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.

   "Heiii, tunggu, aku akan tolong padamu, Nona manis!"

   Teriak seorang laki-laki yang berenang cepat.

   "Sam-Ko, biarkan aku yang pondong ia!"

   Orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.

   "Hayo, kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dulu dialah yang berhak mendapat upah, memondongnya ke tepi!"

   Kata orang ke tiga dan ramailah mereka berlomba dan mulai menyelam.

   Akan tetapi sama sekali tak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini mereka benar-benar akan menghadapi seorang "iblis air". Begitu mereka menyelam dan meluncur ke sana ke mari untuk menangkap gadis yang "Tenggelam"

   Tadi, di depan mata mereka meluncur bayangan seperti ikan hiu, demikian cepatnya bayangan ini meluncur lewat. Kagetlah mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang amat berbahaya. Mereka mulai hendak timbul kembali ke permukaan air menjauhi bahaya ketika "ikan besar"

   Itu menyerang mereka. Kalau saja kejadian itu berada di darat, tentu akan terdengar rIbut-rIbut mereka mengaduh-aduh. Akan tetapi karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki itu saja yang melihat betapa permukaan air bergelombang seakan-akan di bawahnya terjadi pergumulan hebat.

   Dan tak lama kemudian, tampaklah enam orang pembantunya tersembul ke luar kepala mereka, lalu berenang ke pinggir secepat mungkin sambil berteriak-teriak kesakitan. Nenek itu sIbuk membantu mereka, menyeret mereka yang datang lebih dulu ke darat karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik sendiri. Bukan main keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu patah tulang lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka. Ada yang digigit udang besar telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting besar yang masih bergantungan, ada yang pahanya ditusuk ikan cucut, malah seorang di antara mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang macamnya menakutkan!

   "Eh-eh-eh, kalian ini kenapakah? Kenapa begini...?"

   "Celaka... anak iblis itu... agaknya ia anak siluman telaga... ikan-ikan mengeroyok kami... waduh, celaka...!"

   Seorang di antara mereka menyumpah-nyumpah sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu dibanting sampai hancur berkeping-keping. Nenek itu marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka goblok, tolol, penakut dan lain-lain, lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di pinggir tepi muncul kepala Loan Ki dan tangan gadis itu bergerak cepat sekali.

   Sebuah benda melayang dan tepat sekali menghantam muka nenek itu. Merasa ada sesuatu memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut menggunakan gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar benda yang lunak-lunak alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu? Kiranya seekor haisom (lintah laut) yang masih hidup, sebesar lengan tangan, menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu mengeluarkan keluhan panjang dan terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya! Sudah tentu saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini telah mendarat agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, akan tetapi ia selamat, tidak terluka dan buntalan pakaian berikut Mahkota kuno itu masih berada padanya.

   Sambil memeras pakaian dan rambutnya, ia mengenangkan semua kejadian tadi dan tertawa-tawa seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada Kun Hong sahabat baru buta yang anti pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh semua orang itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan enam orang laki-laki di dalam air tadi, ia teringat kepada Kun Hong dan tak berani melakukan pembunuhan, takut kalau kelak ditegur oleh pemuda buta itu! Hatinya girang bukan main karena sekarang ia telah sampai di tepi teiaga. Kalau ada perahu, ia akan dapat menyeberang ke darat. Akan tetapi bagaimana ia dapat meninggalkan Kun Hong begitu saja? Orang buta itu datang ke pulau ini karena desakannya dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong.

   Aku harus mencari dia dan mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya! Ia mendongak memandang tebing yang tinggi, akan tetapi tidak melihat bayangan pemuda buta itu. Di depannya adalah sebuah hutan yang penuh pohon-pohon buah. Girang hatinya melihat beberapa pohon penuh dcngan buah yang sudah matang. Segera ia meloncat memetik buah lalu makan sekenyangnya sambil duduk di atas cabang pohon yang tinggi, tiba-tiba telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia menengok dan dilihatnya dua orang laki-laki berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka ini berjalan di belakang seorang wanita berpakaian pelayan yang agaknya menjadi petunjuk jalan. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar berpakaian Pendeta berwarna kuning dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat Hwesio yang berat.

   Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh kekar tinggi besar bermuka kehitaman bermata lebar, pakaiannya mewah sekali dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dengan sarung pedang terukir indah. Gerak-gerik dua orang ini jelas membayangkan kekuatan besar dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi Loan Ki tidak gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa pulau ini mengandung banyak rahasia, sukar baginya untuk dapat mencari Kun Hong. Akan tetapi dengan adanya tiga orang di depan itu, ia akan dapat mengikuti mereka memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak dalam perangkap. Cepat ia merosot turun, hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa dua orang laki-laki itu tak boleh dipandang ringan, kemudian menyelinap di antara pepohonan mengikuti tiga orang itu dengan hati-hati.

   Karena ia tidak berani mengikuti sampai dekat, ia tak dapat mendengar jelas apa isi percakapan dua orang itu. Dengan melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tak mungkin akan dapat ditemukan sendiri oleh Loan Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil yang bentuknya mungil dan bercat merah seluruhnya. Pelayan yang menjadi petunjuk jalan itu dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini memasuki bangunan itu dan mereka bertiga menghilang di balik pintu. Loan Ki menanti sampai beberapa lama. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ sunyi dan tidak ada orang yang keluar dari rumah itu, tidak ada pula tampak penjaga, ia lalu berindap-indap mendekati bangunan, mengambil jalan memutar dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik jendela dan dapat mengintai dan mendengarkan percakapan di dalam.

   Kiranya bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan yang berbentuk bundar, ruangan yang bersih dihias kembang-kembang yang hidup yang sengaja ditanam di situ. Sedikitnya ada lima belas kursi yang terukir indah dipasang mengitari sebuah meja yang besar dan berukir dan pula, disulami Sutera tebal berwarna kuning emas. Pada dinding ruangan itu terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan indah serta tulisan-tulisan bermacam gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan tempat kediaman orang kaya. Akan tetapi semua kemewahan itu tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal Ayahnya tidak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya adalah orang-orang yang duduk di situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki yang baru datang ini, di situ sudah duduk empat orang.

   Seorang di antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan, tubuhnya kecil kurus seperti cecak kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Bangsa Mancu. Yang tiga orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba merah berkembang perawakannya ramping menarik, kulitnya kehitaman namun manis, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Dari senyum dan lirikan mata mereka menyambut kedatangan dua orang ini, dapat diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang "Besar"

   Dalam arti kata berpengaruh di dunia kangouw sehingga sikap mereka tidak malu-malu, malah membayangkan sifat sombong. Berbeda dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di tempatnya ini, si kurus berkumis tikus cepat bangkit berdiri dan membungkuk menyambut kedatangan Hwesio tua dan pemuda tinggi besar tadi.

   "Selamat datang... selamat datang. Tai-Hoatsu (Guru Besar) dan Pangeran Souw Bu Lai!"

   Ia menjura dengan sikap menghormat.

   "Oho, kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!"

   Hwesio itu tertawa bergelak dan dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya. Laki-laki tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si Ma sambil berkata, suaranya tenang sikapnya dingin,

   "Saudara Bouw Si Ma, aku adalah Souw Bu Lai, harap kau orang tua tidak berkelakar tentang pangeran segala."

   Bouw Si Ma tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata,

   "Orang sendiri... orang sendiri... di antara orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan? Mari kuperkenalkan..."

   Akan tetapi Hwesio tua segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan ketidaksabaran hatinya.

   "Bouw-Sicu, Pinceng (Aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-Coa-To. Mengapa sekarang Ching Toa-Nio tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan orang-orang lain untuk menyambut Pinceng? Apa artinya penghormatan seperti ini?"

   Jelas bahwa biarpun dia seorang Pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak memandang sebelah mata kepada orang lain, terang kepada Bouw Si Ma tidak juga terhadap tiga orang wanita baju merah berkembang itu pun tidak.

   Agaknya dia merasa kecewa sekali sebagai seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching Toa-Nio untuk membicarakan urusan rahasia yang amat besar, tahu-tahu kini di tempat itu dia bertemu dengan orang-orang asing. Kalau Ching Toa-Nio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia mengetahui orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak-Thian Lo-Cu ini. Akan tetapi tiga orang wanita ini, yang sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa mereka itu orang-orang undangan atau tamu, benar-benar membuat Hwesio itu merasa tak senang hatinya. Tiga orang wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua, berkata,

   "Tai-Su tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti tadi telah diberitahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-Enghiong. Jiwi adalah orang-orang besar dan ternama, mana bisa disamakan dengan kami ketiga enci adik yang tidak ada kepandaian, juga tidak ada kedudukan? Akan tetapi, betapa rendah pun, kami adalah undangan dari Ching Toa-Nio, maka berhak berada di sini. Kurasa yang tidak berhak hadir adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu, Tai-Su? Hemm, dia itulah yang tak diundang, maka wajib disingkirkan."

   Loan Ki kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam ruangan itu.

   Ia tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan "Tamu tak diundang"

   Oleh wanita itu tentulah ia dan ia sudah siap menghadapi serangan. Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh wanita itu benar-benar membuat hatinya berdebar dan matanya terbelalak heran. Ia tidak tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu bergerak ke depan dengan telunjuk menuding, lalu terdengar angin kecil kuat menyambar ke depan, mengeluarkan bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan dia yang diserang, melainkan seekor cecak yang tadinya merayap di atas jendela, Ketika ia memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada di tempat semula, akan tetapi sudah tak bergerak lagi dan dua titik darah menetes dari perutnya!

   "Omitohud...! Bukankah itu yang disebut Hui-Seng Kiam-Sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang)?"

   Kemudian Hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang menjadi muridnya sambil berkata.

   "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang Hoan-Ceng (Pendeta Asing) di Thian-Tiok (India). Ilmu pedang yang dicampur dengan Hoat-Sut (Ilmu Sihir), amat berbahaya dan kalau sudah tinggi tingkatnya, hawa pukulannya sudah dapat dipakai untuk merobohkan lawan tanpa menggunakan pedang sekalipun. Melihat Toa-Nio ini dapat menggunakan hawa pukulan tanpa pedang, benar-benar mengagumkan dan sudah sepantasnya kalau mereka bertiga diundang oleh Ching Toa-Nio, Aha, siapa kira orang-orang muda sekarang mendapat kemajuan begini hebat? Pinceng orang tua benar-benar sudah pikun, tak sadar bahwa dunia ini makin lama tentu akan dikuasai oleh yang muda-muda... ha-ha-ha-ha!"

   Melihat perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil tersenyum,

   "Benar pendapat Tai-Su. Sam-wi Lihiap ini bukan lain adalah Ang Hwa Sam-Cimoi (Tiga Enci Adik Bunga Merah)."

   "Benarkah? Oho, Pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-Cimoi adalah Sumoi (adik seperguruan) dari Hek-Hwa Kui-Bo yang Pinceng kenal baik. Sayang Hek-Hwa Kui-Bo telah terbang terlampau tinggi sehingga tersandung puncak Thai-San dan roboh."

   Orang tertua dari Ang Hwa Sam-Cimoi mengerutkan keningnya.

   "Sekali waktu kami bertiga yang bodoh hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-San yang telah merobohkan mendiang Hek-hwa Suci (kakak seperguruan)."

   Ka Chong Hoatsu Hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil tempat duduk. Di luar jendela, Loan Ki memandang dan mendengar semua ini dengan hati berdebar. Setelah mereka duduk, dia memandang penuh perhatian kepada enam orang itu yang mulai minum-minum dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik dan berpakaian Sutera seragam berwarna indah. Dia tahu bahwa didalam ruangan itu terdapat orang-orang lihai dan makin berkhawatirlah ia karena sekarang makin sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda buta itu meninggalkan pulau berbahaya ini. Kekhawatiran Loan Ki memang beralasan. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh besar yang amat tinggi ilmu kepandaiannya.

   Bouw Si Ma orang Mancu itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah murid dari tokoh nomor satu di Utara, yaitu Pak-Thian Lo-Cu yang juga menemui kematiannya di puncak Thai-San (baca Rajawali Emas). Seperti juga Ang Hwa Sam-Cimoi yang mendendam atas kematian Suci mereka juga Bouw Si Ma ini menaruh dendam kepada Thai-San-Pai atas kematian gurunya. Sebagai murid Pak-Thian Lo-Cu, tentu saja dia mengenal Giam Kin yang menjadi murid Siauw-Ong-Kwi karena Siauw-Ong-Kwi adalah Sute (adik seperguruan) Pak-Thian Lo-Cu sehingga antara Bouw Si Ma dan Giam Kin terhitung saudara seperguruan pula. Bouw Si Ma sebagai saudara tingkat tua dalarn perguruan, tentu saja mengenal pula Ching Toa-Nio dan seringkali mengunjungi pulau ini, apalagi sejak Giam Kin tewas di puncak Thai-San.

   Dalam banyak hal terdapat persesuaian faham antara Bouw Si Ma dan Ching Toa-Nio. Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap Thai-San-Pai, dan keduanya adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang tinggi maka seringkali mereka mengincar kedudukan di Kota Raja semenjak terjadinya kerusuhan dan perebutan kekuasaan setelah Kaisar pertama dari Ahala Beng meninggal dunia. Tiga orang wanita itu, Ang Hwa Sam-Cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan hitam dan selama belasan tahun mereka merantau ke See-Thian (Dunia Barat) sehingga mereka tidak tahu akan nasib Suci mereka yaitu Hek Hwa Kui-bo yang tewas pula di Thai-San. Kini tiga orang enci adik ini pulang dari See-Thian dengan kulit agak kehitaman akan tetapi selain ilmu kepandaian yang hebat mereka pelajari,

   Juga seperti halnya Hek Hwa Kui-bo, tiga orang wanita yang usianya sudah mendekati lima puluhan tahun ini masih nampak cantik manis dan muda-muda tidak lebih dari tiga puluh tahun! Setelah merantau ke See-Thian dan menjumpai guru mereka, seorang Pendeta di Thian-Tiok yang bertapa di Pegunungan Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa Sam-Cimoi meningkat hebat sehingga melampaui tingkat kepandaian Hek Hwa Kui-bo sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui Ciau, Kui Biau, dan Kui Sian. Dengan amat cerdiknya Bouw Si Ma yang dalam hal mencari oraug pandai untuk sekutu mewakili Ching Twa-Nio, segera menggandeng tiga orang enci adik ini, apalagi mengingat bahwa mereka juga mempunyai dendam yang sama di Thai-San atas kematian kakak seperguruan mereka.

   Tentang kelihaian tiga orang wanita ini, tadi baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan yang amat hebat, merupakan inti daripada Ilmu Pedang Hwa-Seng Kiam-Sut, yang sudah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dengan kekuatan Hoat-Sut, hawa pukulan saja sudah sama bahayanya dengan sambaran pedang. Orang berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih keturunan Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang Pangeran Mongol bernama Souw Kian Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan kekuasaan dan kepandaian melakukan pelbagai kejahatan. Pangeran Mongol yang kini berada di ruangan itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu ini, bernama Souw Bu Lai dalam Bahasa Mongol dan dalam dunia kangouw dia menggunakan nama Han dan disebut Souw Bu Lai.

   Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau dibandingkan dengan orang-orang Mongol kebanyakan, karena gurunya adalah tokoh Mongol nomor satu. Sebagai seorang yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya atas daratan Tiongkok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga dia sekarang menjadi seorang yang luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai mainkan delapan belas macam senjata, pandai pula menunggang kuda melepaskan anak Panah dan senjata-senjata rahasia, sedangkan tenaganya pun besar. Pendeta tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, seorang Pendeta Buddha yang pernah merantau ke Thian-Tiok dan malah di Tibet pernah menerima hadiah tongkat kePendetaannya.

   Sayang serIbu kali sayang bahwa Ka Chong Hoatsu yang puluhan tahun mempelajari ilmu dan agama, ternyata mengandung cita-cita duniawi yang membikin kotor semua usaha. Dahulu dia bercita-cita menjadi orang tertinggi kedudukannya di samping Kaisar melalui keagamaan, sekarang melihat betapa Kerajaan Mongol sudah jatuh, dia bercita-cita membangunnya kembali bersama Pangeran Souw Bu Lai yang menjadi muridnya. Seringkali dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya menjadi Kaisar. Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai kekuasaan yang malah melebihi Kaisar sendiri! Pendeta ini mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya tidak akan kalah tinggi daripada tingkat si empat besar yang dahulu ditonjolkan di dunia kangouw yaitu Song-Bun-Kwi Kwee Lun si tokoh Barat, Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang si tokoh Timur, Siauw-Ong-Kwi si tokoh Utara, dan Hek Hwa Kui-bo si tokoh Selatan.

   Tongkat Pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan kepalang, sukar ditandingi karena selain terbuat daripada baja pilihan di Himalaya, Juga amat berat dan kalau dia yang mainkan seakan-akan bulu ringannya, maka dapat bergerak cepat sekali! Pokoknya enam orang yang berkumpul di pulau Ching-Coa-To itu telah mempunyai kepentingan bersama, termasuk Ching Toa-Nio sendiri, yaitu usaha membalas dendam kepada Thai-San-Pai dan usaha membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah runtuh. Setelah beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menanti datangnya Ching Toa-Nio yang sudah diberitahu oleh seorang pelayan, muncullah Ching Toa-Nio dari pintu depan. Begitu masuk wanita berpakaian hijau ini cepat menjura dengan hormat sekali sambil berkata,

   "Harap Cuwi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut Cuwi. Ada sedikit gangguan di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya telah mencuri masuk dan membikin kacau anak buahku. Mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalau-kalau mereka itu merupakan mata-mata fihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."

   Mendengar ucapan nyonya rumah ini, otomatis enam orang itu mengerling ke sana ke mari dengan pandang mata penuh selidik.

   "He-he-he, gadis cilik berpakaian basah?"

   Tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.

   "Iblis betina berambut kusut?"

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek. Sebelum yang lain tahu apa yang mereka maksudkan, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu mendorongkan tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang mencelat ke arah jendela pula.

   "Brakkkkk!"

   Angin dorongan tangan Hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di lain saat Ngo Kui Biau telah meloncat masuk kembali sambil melemparkan tubuh seorang gadis yang pakaiannya basah dan rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan Ki! Gadis ini berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di atas lantai, lalu berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguhpun kedua matanya masih terbalalak lebar saking heran dan kagetnya.

   Tadi ia mendengar pula ucapan dua orang itu dan tiba-tiba ada angin besar menyambar ke arah jendela. Cepat ia merendahkan diri untuk mengelak akan tetapi angin pukulan itu membuat daun jendela pecah dan tiba-tiba berkelebat bayangan merah menyambarnya. Loan Ki berusaha mengelak namun gerakan bayangan itu bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu tengkuknya telah ditangkap dan ia merasa tubuhnya melayang ke dalam ruangan! Dari dua kejadian itu saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan itu. Loan Ki maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini, akan tetapi tidak memperlihatkan muka takut, malah ia tersenyum-senyum kecil dengan mata bermain, menatap wajah mereka seorang demi seorang dengan nakal.

   "Bocah liar, siapa suruh kau memata-matai pulau kami?"

   Ching Toa-Nio menghardik, suaranya penuh ancaman. Loan Ki mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum.

   "Aku bukan mata-mata. Aku sengaja datang ke Ching-Coa-To untuk bertemu dengan pemiliknya, tidak punya maksud buruk. Yang mana di antara kalian pemilik pulau ini?"

   Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh kagum. Bukan main bocah ini, pikir Pendeta itu, masuk ke sarang harimau gua naga masih saja begitu tenang dan berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini puteri seorang tokoh besar atau setidaknya murid orang pandai.

   "Akulah pemilik pulau ini. Kau mau apa!"

   Ching Toa-Nio membentak.

   "Wah, tentu kau yang disebut Toa-Nio. Kau cantik, Toa-Nio, tetapi galak. Pantas saja orang-orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toa-Nio. Aku datang bersama seorang temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu. Adapun aku sendiri ingin sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!"

   Tiga orang laki-laki yang berada di situ tersenyum, malah Ka Chong Hoatsu tertawa bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-Cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan cantik ini menyuramkan "Sinar"

   Mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching Toa-Nio marah sekali.

   "Budak! Kau berani kurang ajar di depan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?"

   Teriak Ching Toa-Nio dan bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram muka dan memukul ulu hati. Serangan ini hebat bukan main, mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki.

   Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri kalau ia tidak cepat-cepat mempergunakan gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sukar dari ilmu silat keturunannya Sian-Li Kun-Hoat. Tubuhnya mencelat bagaikan dilemparkan ke atas, lalu menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya. Gerakan yang cepat ini menyelamatkannya, namun angin pukulan yang dilontarkan nyonya itu tetap saja menyerempet buntalan pakaian yang berada di punggungnya. Terdengar suara "Brett!"

   Dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah, terbuka dan tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah Mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.

   "Oho, bukankah itu Mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?"

   Terdengar suara parau dari Souw Bu Lai. Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah melihat Mahkota ini di gudang Pusaka Kerajaan, maka sekali lihat dia telah mengenalnya, apalagi karena hilangnya Mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kangouw. Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran melihat cara Loan Ki bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching Toa-Nio tadi, maka ketika dia melihat Ching Toa-Nio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, Pendeta ini berseru,

   "Toa-Nio, tahan dulu!"

   Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut. Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki,

   "Nona cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-Li Kun-Hoat (Ilmu Silat Bidadari)?"

   "Hemmm, bagus kau mengenal jurusku yang lihai, Hwesio tua! Maka lebih baik kau menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-Li Kiam-Sut dan kemudian menyesal pun sudah terlambat!"

   Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapapun juga ia takkan mampu melawan, baru nyonya galak itu saja sudah begitu hebat, apalagi yang lain-lain dan terutama Hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya. Daripada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja ini.

   "Aha, bagus!"

   Ka Chong Hoatsu berseru.

   "Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"

   Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada mengedikkan kepala dan meraba gagang pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-akan berkata.

   "Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?"

   Akan tetapi mulutnya berkata bangga.

   "Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal, biarlah nona kecilmu mengampunimu satu kali ini."

   Souw Bu Lai tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang berwatak mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh berahi. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Loan Ki ketika ia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan mata, membuatnya berkejap beberapa kali. Ketika ia membuka mata, kiranya Ching Toa-Nio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-Cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di depannya dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.

   "Budak liar! Hayo katakan kau ini apanya Ketua Thai-San-Pai?"

   Bentak Ching Toa-Nio, suaranya mengandung ancaman maut. Biarpun lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik dan otaknya tajam. Ia seringkali mendengar dari Ayahnya tentang pamannya Tan Beng San yang menjadi Ketua Thai-San-Pai itu, tahu bahwa Ketua Thai-San-Pai itu banyak dimusuhi orang-orang kangouw, apalagi dari golongan hitam. Setelah berpikir beberapa detik lamanya, ia lalu tertawa dengan nada sombong sekali.

   "Hi-hi-hik, biarpun nama Raja Pedang Tan Beng San Ketua Thai-San-Pai membuat kalian ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya untuk menakut-nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus serangan dengan pedangku. Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia mengadu nyawa di ujung pedang. Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada seorang muda sepertiku? Apakah kalian hendak mengeroyokku? Cih, tidak tahu malu!"

   Kembali Ka Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum, makin tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini.

   "He, bocah nakal! Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui?"

   Tanya Ka Chong Hoatsu.

   "Hemm, Hwesio tua. Kaulah seorang di antara mereka ini yang paling cerdik. Majikan yang menjadi raja di pantai Po-Hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui adalah Ayahku, dan nonamu ini Tan Loan Ki adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa berani menentang Ayahku?"

   "Ha-ha-ha-ha, Ching Toa-Nio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya nona cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!"

   Kata Hwesio tua itu dan semua orang yang berada di situ memang sudah mengenal Tan Beng Kui.

   Mereka menarik napas lega dan menyimpan senjata masing-masing sambil mundur. Ching Toa-Nio mengerutkan alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan tetapi ia juga tidak mau memusuhi puteri Sin-Kiam-Eng Tan Beng Kui. Tentu saja ia tidak mau bukan karena takut, melainkan karena pada waktu itu ia membutuhkan orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh dibilang Tan Beng Kui mempunyai kepentingan serupa dengan dia. Pertama, ia tahu bahwa Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik kandungnya sendiri, Tan Beng San yang juga menjadi musuh besarnya. Ke dua, dalam urusan usaha merebut kekuasaan, kiranya Tan Beng Kui boleh diakui bersekutu. Sebagai seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki dan berkata,

   "Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah orang bilang bahwa tidak bertempur dulu takkan saling mengenal? Ayahmu dengan kami adalah segolongan, maka tidak bisa kami memusuhimu. Soal makanan dan minuman boleh dihabiskan sampai di sini saja. Nona Tan, bagaimana kau bisa mendapatkan Mahkota kuno itu?"

   Loan Ki tidak goblog untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Iapun tersenyum ramah dan berkata,

   "Wah, Ayah tentu girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya sudah berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kangouw. Bagus, karena Cuwi (tuan sekalian) adalah orang-orang sendiri, biarlah aku mengaku terus terang. Mahkota ini dirampas oleh Hui-Houw-Pang dari tangan si pembesar yang mencurinya dari Istana, kemudian aku merampasnya dari Hui-Houw-Pang untuk kuberikan kepada Ayah yang suka mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini. Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku dan mengejar, tapi mana mereka mampu merampas kembali dari tanganku? Hemm, biar ditambah sepuluh kali jumlah mereka takkan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di daerah sini dan karena kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-Coa-To."

   Seperti lagak anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang tak pernah terjadi tentang pengeroyokan. Padahal kalau tidak ada Kun Hong, mana ia bisa mendapatkan Mahkota itu?

   

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini