Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 8


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Ho-ho, memang tidak mudah, tapi Pinceng bolehkah melihat sebentar?"

   Tongkat Hwesio itu menyelonong ke depan, Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan tubuhnya. Celaka, tahu-tahu tangan kiri Hwesio itu diulur maju dan di lain detik buntalan pakaian sudah berpindah tangan!

   "Ha-ha-ha, tenang, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan apakah benar-benar ini Mahkota yang aseli."

   Dengan enak Hwesio itu mengambil Mahkota, melihat-lihat dan bergantian dengan orang-orang yang berada di situ, mengagumi keindahan Mahkota kuno ini. Loan Ki hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-api penuh kemendongkolan hati. Akan tetapi diam-diam ia pun kaget sekali karena ternyata Hwesio tua itu sepuluh kali lipat lebih lihai daripadanya. Setelah semua orang melihat, buntalan dan Mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh Hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya dengan muka cemberut.

   "Orang tua mengakali anak muda, awas kau Hwesio, lain kali aku balas!"

   Ka Chong Hoatsu hanya tertawa bergelak dan Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati Loan Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan gadis ini bulat-bulat. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau kelaparan itu.

   "Kau mau apa?"

   Tanya Loan Ki dengan alis berkerut. Souw Bu Lai tersenyum, giginya yang putih! berkilat di balik kumis panjang, kumis model Mongol,

   "Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah lama kudengar nama besar Ayahmu. Perkenalkan aku..."

   "Kau Souw Bu Lai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya? Tapi aku masih belum mau percaya!"

   Tukas Loan Ki galak. Souw Bu Lai tertawa.

   "Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama? Memamg, aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran dari Mongol. Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau, Nona."

   "Wah, sudahlah, aku tidak ingin mendengar pidatomu. Toa-Nio, aku pamit hendak pergi dari sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah perahumu untuk mengantar kami berdua menyeberang, kembali ke darat."

   "Kau datang tak diundang, pulang pun tak usah minta diantar,"

   Jawab Ching Toa-Nio cemberut.

   "Hi-hik, kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tidak boleh pinjam, curi pun masih bisa."

   Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan tangan ke arah orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok itu. Hampir saja ia bertumbukan dengan seorang yang berlari-lari dari luar dan yang amat cepat gerakannya. Loan Ki meliukkan tubuhnya ke kiri sedangkan orang yang lari itu pun tiba-tiba berhenti, begitu tiba-tiba dan cepat berhentinya sehingga Loan Ki memandang heran dan kagum karena cara berhenti seperti itu hanya mampu dilakukan oleh orang pandai. Keduanya berpandangan dan tak terasa lagi mulut Loan Ki berseru memuji,

   "Aduh cantiknya..."

   Orang itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis cantik jelita yang usianya sebaya dengan Loan Ki, yaitu antara tujuh belas dan delapan belas tahun. Memang Hui Siang luar biasa cantik jelitanya, ditambah orangnya pesolek lagi,

   Wajahnya terawat baik dengan bantuan pelayan-pelayan ahli, pakaiannya selalu mentereng sehingga biarpun ia puteri seorang pemilik pulau, namun sekali melihat orang akan menyangka bahwa ia tentulah seorang puteri keluarga Kaisar di Istana! Maka tidaklah heran apabila Loan Ki segera memujinya, sungguhpun ia sendiri adalah seorang gadis lincah yang cantik manis pula. Mungkin Loan Ki sendiri takkan kalah baik bentuk wajah maupun bentuk tubuhnya jika dibandingkan dengan Hui Siang, akan tetapi karena Loan Ki adalah seorang dara pendekar yang suka merantau dan kurang memperhatikan perawatan badannya, tentu saja kulitnya kalah putih, kalah halus, dan pakaiannya juga kalah baik. Hui Siang adalah seorang dara manja dan wataknya amat galak dan sombong. Karena hampir saja bertumbukan dengan Loan Ki, ia amat marah dan segera memaki,

   "Budak hina! Apakah matamu buta? Eh, kau pelayan barukah? Belum pernah aku melihatmu. Minggir kau, aku ada urusan penting!"

   Loan Ki mendongkol sekali, ia meloncat ke pinggir akan tetapi mulutnya sudah siap untuk balas memaki. Pada saat itu Hui Siang sudah lari ke depan dan berkata,

   "Ibu, celaka sekali, Ibu. Enci Hui Kauw telah membikin malu kita, kali ini kalau Ibu tidak turun tangan, bisa-bisa nama keluarga kita diseret ke dalam lumpur!"

   Gadis ini mengerling ke kanan kiri seakan-akan tidak memperdulikan orang-orang yang berada di situ. Sepasang mata Souw Bu Lai berkilat-kilat sekali lagi ketika ia melihat Hui Siang.

   "Hui Siang, kau bicara apa? Apa yang telah terjadi?"

   Ching Toa-Nio berkata, kemarahannya terhadap Hui Kauw yang tadi belum padam sekarang bangkit dan bernyala kembali.

   "Ibu ingat tentang dua orang asing yang memasuki pulau ini? Nah, yang seorang kudapati berada di taman, dia seorang laki-laki jembel buta, akan tetapi celakanya... dia berpacaran dengan enci Hui Kauw!"

   "Hui Siang! Jangan sembarangan bicara! Bohong kau!"

   Ibunya membentak marah. Biarpun di dalam hatinya ia tidak suka kepada anak pungutnya itu, akan tetapi ia cukup mengenal tabiat Hui Kauw dan ia rasa tak mungkin Hui Kauw berpacaran dengan seorang jembel buta. Hui Siang cemberut dan mendengus, agaknya ngambek karena dikata-katai kasar oleh Ibunya yang biasanya memanjakan.

   "Ibu, apakah anakmu ini biasa membohong? Biar aku mampus kalau aku bohong. Enci Hui Kauw memberikan saputangan Suteranya kepada si jembel buta itu, dan kulihat dengan kedua mataku sendiri si jembel menciumi saputangan itu. Aku marah dan menyerangnya, eh... kiranya dia pandai dan dapat menghindarkan seranganku. Lalu muncul enci Hui Kauw dan... enci Hui Kauw malah membela jembel buta itu. Coba, apakah ini bukan merupakan bukti-bukti yang cukup jelas...?"

   "Waaaaahhhhh, mata keranjang! Tidak punya mata tapi bisa mata keranjang, apa yang lebih aneh daripada ini? Dasar laki-laki!"

   Yang berkata demikian adalah Loan Ki yang cepat melompat keluar hendak mencari Kun Hong. Hatinya mendongkol sekali mendengar penuturan nona cantik tadi dan ia sendiri pun tidak mengerti mengapa ia merasa iri, gemas, dan marah sekali mendengar betapa Kun Hong berpacaran dengan seorang gadis di dalam taman. Menciumi saputangan Sutera? Terbayanglah di depan mata Loan Ki semua pengalamannya dengan Kun Hong di dalam sumur, teringat betapa dalam keadaan bahaya maut dan setengah pingsan ia dipeluk oleh pemuda buta itu, dihIbur, dielus-elus rambutnya, diciumi rambutnya...

   "Dasar tukang cium...!"

   Terloncat kata-kata ini keluar langsung dari hatinya yang mengkal. Tiba-tiba ada angin berkesiur di sebelahnya dan tahu-tahu di depannya sudah menghadang tubuh laki-laki tinggi besar. Kiranya Souw Bu Lai Pangeran Mongol itu yang memandangnya sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang putih dan besar.

   "Nona, kau tidak boleh pergi. Kau harus bersama kami untuk membicarakan hal yang amat penting,"

   Katanya sambil mendekat. Loan Ki yang sedang jengkel terhadap Kun Hong itu sudah mau menyerangnya, akan tetapi ketika ia melirik, ia melihat betapa semua orang tadi kini sudah keluar dan berada di belakangnya.

   "Aku tidak sudi!"

   Katanya setengah membentak.

   "Biarkan aku jalan sendiri!"

   "Tidak bisa, Nona. Kami sudah mengambil keputusan untuk menahanmu karena kau yang akan menghubungkan kami dengan Ayahmu,"

   Kata pula Souw Bu Lai. Sebelum Loan Ki menjawab, tiba-tiba ia mendengar sambaran angin dari belakangnya, cepat ia miringkan tubuh membalik. Kiranya tongkat Ka Chong Hoatsu yang menyambar dan menyerangnya. Ia kaget sekali, menggerakkan kaki meloncat, akan tetapi tiba-tiba saja kedua lengannya sudah ditangkap orang dan ditelikung ke belakang lalu dibelenggu! Gerakan Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu yang melakukan menangkapan ini benar-benar cepat dan hebat, membuat seorang gadis berkepandaian hebat seperti Loan Ki sekali pun sama sekali tidak berdaya, seperti anak kecil di tangan seorang dewasa.

   "Monyet-monyet tua muda, kalian mau apa membelenggu dan menangkap aku? Kalian curang, pengecut, tak tahu malu! Kalau berani, hayo bertempur sampai serIbu jurus!"

   Ia memaki-maki.

   "Cih, budak hina macam ini kenapa tidak dilempar ke dalam sumur untuk makan ular-ular kita, Ibu?"

   Hui Siang berkata sambil memandang Loan Ki dengan mata mendelik. Bergidik juga Loan Ki mendengar ini. Ia memang tidak takut mati, akan tetapi kalau harus dijadikan umpan atau kurban di dalam sumur dikeroyok ratusan ular, ia benar-benar merasa ngeri dan kali ini ia tidak berani banyak bicara lagi, takut-takut kalau ia benar-benar dilempar ke dalam sumur penuh ular yang amat menjijikkan!

   "Ha-ha-ha, dia puteri Sin-Kiam-Eng, mana boleh dibunuh?"

   Ka Chong Hoatsu berkata.

   "Pinceng curiga terhadap sahabat yang buta itu, maka sementara ini Pinceng membelenggunya agar nanti dia tidak menimbulkan kerewelan. Ching Toa-Nio, mari kita ke taman menemui orang buta itu."

   Beramai mereka lari ke taman bunga mengambil jalan rahasia yang berliku-liku. Loan Ki tadinya membandel tidak mau turut, akan tetapi ketika ujung tali pengikat kedua tangannya diseret oleh Souw Bu Lai, terpaksa ia ikut lari juga sambil mengomel dan menyumpah-nyumpah Pangeran Mongol itu yang hanya tertawa saja. Diam-diam gadis ini harus mengagumi jalan rahasia di pulau ini, akan tetapi karena hatinya lagi jengkel sekali, ia hanya ikut lari tanpa memperhatikan kanan kiri. Kejengkelan bertumpuk di hati Loan Ki. Pertama karena mendengar berita bahwa Kun Hong berpacaran dan menciumi saputangan seorang gadis bernama Hui Kauw, ke dua kalinya karena ia merasa kecil tak berdaya menghadapi orang-orang di dalam pulau ini, dan ke tiga kalinya sekarang ia menjadi seorang tawanan, dibelenggu seperti seekor domba!

   "Awas kalian, demikian ia menyumpah-nyumpah, sekali Ayahku kuberitahu tentang penghinaan ini, pulau ini akan diobrak-abrik, dihancurkan, dan dibasmi oleh Ayah! Kalian semua berikut ular-ular laknat akan dibasmi habis, pulau ini dibumi hanguskan, tak seorang pun manusia atau seekor pun mahluk diberi hidup!"

   Akan tetapi, di balik ancamannya ini, ia sendiri ragu-ragu apakah Ayahnya akan mampu menang melawan musuh-musuh yang begini tangguh, terutama sekali Hwesio tua itu. Akhirnya mereka tiba di taman bunga itu dan begitu melihat Kun Hong berdiri berhadapan dengan seorang gadis bermuka hitam, Loan Ki tak dapat menahan mulutnya lagi berteriak-teriak! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Loan Ki berseru menegur Kun Hong,

   "Haaiii, Hong-Ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang akan tetapi kali ini kau salah pilih, Hong-Ko!"

   Tentu saja Kun Hong menjadi girang dan lega bukan main hatinya mendengar suara Loan Ki ini. Ia tidak perdulikan ocehan dara nakal itu tentang mata keranjang, melainkan segera melangkah maju dan berkata dengan wajah berseri-seri,

   "Ki-moi! Kau selamat? Syukurlah!"

   "Hong-Ko, kau benar-benar tak punya liangsim (prIbudi)! Aku terjerumus ke dalam jurang, hampir mampus, menerima hinaan orang, tapi kau... kau malah berpacaran dan enak-enak senang-senang di sini. Wah, sahabat macam apa kau ini?"

   Muka Kun Hong merah sekali sampai ke telinganya.

   "Ki-moi, jangah kau percaya akan fitnah orang. Tidak ada yang berpacaran di sini! Dan kau, siapakah orangnya yang berani menghinamu?"

   Sebelum Loan Ki dan Kun Hong dapat melanjutkan percakapan mereka terdengar bentakan marah dari Ching Toa-Nio yang mengagetkan mereka dan memaksa mereka mengalihkan perhatian. Ching Toa-Nio ternyata telah memaki-maki Hui Kauw dengan suara penuh kemarahan,

   "Bocah keparat! Semenjak kecil aku bersusah-payah memeliharamu, beginikah sekarang balasanmu? Berjina dengan seorang jembel buta, mengotorkan taman dan mencemarkan nama baik keluargaku? Keparat, perempuan hina!"

   Terdengar oleh Kun Hong suara "Plak-plak-plak!"

   Tiga kali, diikuti keluhan perlahan. Biarpun tak dapat melihat, dia dapat menduga bahwa dara bersuara Bidadari itu telah

   (lanjut ke Jilid 08)

   Pendekar Buta (Seri ke 03 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   ditampar tiga kali mukanya oleh si Ibu yang galak.

   "Ibu... maafkan. Aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu dan... dan aku sama sekali tidak melakukan perbuatan tidak sopan. Hanya kebetulan saja saudara yang buta ini memasuki taman menemukan saputanganku yang tertinggal di sini. Harap Ibu jangan mempercayai segala fitnah keji..."

   "Setan, kau malah balik menuduh Hui Siang membohong? Perempuan tak bermalu kau! Adik sendiri bertempur dengan si buta ini, kenapa kau malah membela si buta memusuhi adikmu? Hui Kauw, aku tidak terima! Hari ini kau akan membayar lunas hutang-hutangmu kepadaku, hutang budi yang hanya dapat kau bayar dengan nyawamu!"

   "Srrrrrttt! Singgggg!"

   Bunyi pedang berdesing memecah angin, menyambar ganas menimbulkan cahaya berkilauan. Tak seorang pun di antara para tamu berani mencampuri urusan antara Ibu dan anak. Loan Ki membelalakkan matanya yang lebar, ngeri betapa pedang ditangan nyonya yang galak dan lihai itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah leher si nona muka hitam yang hanya menundukkan muka, sedikit pun tidak bergerak seakan-akan sudah rela menerima hukuman itu dan menanti datangnya pedang yang akan memenggal lehernya dan maut yang akan merenggut nyawanya. Pada detik berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Kauw itu, tiba-tiba sinar kemerahan berkelebat.

   "Criinggggg"

   Pedang di tangan Ching Toa-Nio tahu-tahu sudah buntung, ujungnya melayang ke atas entah ke mana sedangkan sisanya masih terpegang Ching Toa-Nio, menggetar dan mengeluarkan bunyi! Ching Toa-Nio berdiri seperti patung, terbelalak kaget, juga orang-orang yang berada di situ, kecuali Loan Ki yang memandang marah, mengeluarkan seruan heran dan terkejut.

   "Wah, kau betul-betul membelanya, Hong-Ko! Celaka, kau telah tergila-gila oleh seorang gadis muka hitam!"

   Loan Ki berteriak-teriak penuh kegemasan. Akan tetapi Kun Hong yang sudah mendekati Hui Kauw, tidak memperdulikan teriakan Loan Ki ini, melainkan dia berkata halus kepada gadis yang masih berdiri menundukkan mukanya itu.

   "Nona, kenapa kau diam saja membiarkan orang sewenang-wenang hendak membunuhmu?"

   Ucapan ini selain mengandung perasaan kasihan, juga merupakan teguran. Memang jantung Kun Hong masih berdebar kalau teringat betapa gadis bersuara Bidadari ini hampir saja tewas. Ngeri dia memikirkan ini. Baiknya tadi dia bertindak cepat.

   "Saudara Kwa, ia... ia Ibuku..."

   Jawab nona itu dengan suara lemah mengandung isak tertahan. Kagum hati Kun Hong. Nona ini sekuat tenaga menahan tangisnya. Nona berbudi mulia, berhati baja. Tapi dia penasaran mengapa Ibunya seperti itu?

   "Dia bukan Ibumu!"

   Suaranya ketus dan tiba-tiba karena meluapnya perasaan hatinya.

   "Heeeee? Saudara Kwa... bagaimana kau bisa tahu akan hal ini...?"

   "Dia tidak mungkin Ibumu! Seekor harimau atau binatang yang paling liar sekali pun takkan mungkin membunuh anaknya, apalagi seorang Ibu. Akan tetapi ia tadi benar-benar hampir membunuhmu. Ia bukan Ibumu!"

   Suara Kun Hong lantang. Sementara itu, cara Kun Hong menangkis dan sekaligus mematahkan pedang di tangan Ching Toa-Nio dengan tongkatnya, benar-benar membuat semua orang melongo. Bahkan Ka Chong Hoatsu sendiri terheran-heran. Kakek ini maklum sampai di mana kelihaian ilmu pedang Ching Toa-Nio yang sudah jarang dapat di tandingi oleh kebanyakan ahli silat ternama. Akan tetapi orang muda itu yang buta matanya lagi, dengan sekali tangkis dapat mematahkan pedang Ching Toa-Nio, benar-benar membuat Hwesio tua ini tidak mengerti.

   Padahal yang dipakai untuk menangkis hanya sebatang tongkat, dan gerakannya ketika menangkis tadi pun hanya cepat saja, tidak luar biasa. Akan tetapi kekagetan mereka hanya sebentar. Ching Toa-Nio sudah dapat menguasai kekagetannya dan mukanya berubah merah saking malu dan marahnya. DIbuntungkannya pedang di tangannya dengan sekali tangkis oleh orang muda buta itu, benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi nyonya jagoan ini. Masa ia kalah oleh seorang muda yang buta? Benar-benar tak masuk di akal. Ia tidak tahu bagaimana caranya pedangnya sampai patah tadi, akan tetapi ia tidak perduli dan mengira hal itu hanya kebetulan saja, atau mungkin sekali memang pedangnya yang sudah bercacat di luar pengetahuannya. Dengan mata mendelik ia membentak dan melangkah maju,

   "Jembel buta, kau siapakah berani mencampuri urusanku?"

   Kun Hong menarik napas panjang. Dia maklum bahwa wanita ini adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi, malah kalau tidak keliru, menurut pendengarannya, orang-orang yang ikut datang bersama nyonya ini juga orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dengan hormat dia menjura ke depan, lalu berkata halus,

   "Harap Toa-Nio dan Cuwi sekaiian sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak berani mencampuri urusan orang lain, hanya saja, sebagai seorang manusia biasa, mana bisa aku membiarkan seorang Ibu membunuh anaknya sendiri? Toa-Nio harap insyaf sebelum bertindak gegabah. Sesungguhnya nona Hui Kauw ini sama sekali tidak melakukan perbuatan seperti yang difitnahkan tadi."

   "Ching-moi (adik Ching), kenapa banyak memberi hati kepada seorang buta macam ini? Biar kuwakili kau membereskannya!"

   Bentak Bouw Si Ma yang juga ikut marah sekali karena wanita bekas kekasih Sutenya ini tadi mengalami penghinaan. Dia adalah seorang Mancu yang berangasan, dan dia pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi lebih tinggi daripada Ching Toa-Nio, murid dari Pak-Thian Lo-Cu, tentu saja dia memandang rendah kepada Kun Hong seorang muda buta.

   "Bocah buta, kau benar-benar tak tahu diri, lancang memasuki tempat tinggal orang berani bertingkah dan menjual lagak. Hayo kau mengaku siapa kau dan siapa pula Ayah atau gurumu sebelum aku Bouw Si Ma Si Tangan Maut mengambil nyawamu!"

   Kun Hong cepat menjura. Gerakan orang ini mengandung tenaga berat dan dia maklum bahwa orang ini tentu lebih lihai daripada Ching Toa-Nio, maka dia berhati-hati.

   "Bouw-Enghiong harap suka bersabar. Siauwte (aku yang muda) bernama Kwa Kun Hong, tentang orang tua dan guru tak usah dibawa-bawa dalam urusan ini. Aku mengakui bahwa aku telah lancang memasuki Ching-Coa-To, akan tetapi aku menyangkal kalau dianggap bertingkah atau menjual lagak. Sesungguhnya, aku tidak mempunyai niat yang tidak baik dan kalau kalian sudi memaafkan, biarlah sekarang juga aku pergi dan tidak akan mencampuri urusan orang lain."

   Ucapan ini amat merendah, dan oleh Bouw Si Ma dianggap bahwa orang buta itu menjadi jerih dan ketakutan mendengar namanya dengan julukan Si Tangan Maut. Dia tertawa menyeringai dan membentak lagi,

   "Kau memperlihatkan kepandaian tadi, apa kau kira di sini tidak ada orang yang mampu memberi hajaran kepadamu? Nah, kau rasakan pukulan Si Tangan Maut merenggut nyawamu!"

   Serta merta Bouw Si Ma menerjang, pukulannya lambat dan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan menderu menyerang ke arah dada Kun Hong. Orang muda ini sudah siap, maklum akan kehebatan pukulan itu. Hal ini tidak membuat dia jerih atau bingung.

   Yang membuat dia bingung adalah bahwa dia kini telah terlibat dalam urusan besar, mendatangkan permusuhan pada orang-orang lihai penghuni Ching-Coa-To. Inilah yang membingungkannya, karena sesungguhnya tiada niat di hatinya meski sedikit juga untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Sekarang karena menuruti Loan Ki, memasuki pulau ini dia bertemu dengan Hui Kauw yang menarik hatinya dan karena dia ingin melindungi nona Bidadari itu, dia terseret dalam pertempuran. Dengan hati sedih dia menggunakan langkah-langkah rahasia dari Kim-Tiauw-Kun sehingga lima kali pukulan bertubi dari Bouw Si Ma hanya mengenai angin belaka. Bouw Si Ma berhenti sebentar sambil melongo. Pukulan-pukulannya tadi bertingkat, makin lama makin berat dan hebat. Namun, orang yang diserangnya bergerak aneh dan dia merasa seakan-akan menyerang bayangan sendiri saja, sudah tentu tidak berhasil.

   "Bouw Lo-Enghiong, aku tidak ingin berkelahi..."

   Terpaksa Kun Hong mengelak lagi karena belum juga dia habis bicara, lawannya sudah mengirim lagi penyerangan sebanyak tujuh jurus menggunakan pukulan-pukulan tangan dan tendangan-tendangan kaki yang lebih gencar dan berat lagi. Setiap pukulan atau tendangan ini mengandung tenaga Lweekang tersembunyi cukup kuat untuk mengirim nyawa lawannya ke akhirat. Kun Hong mengerutkan keningnya. Kejam sekali orang ini. Untuk urusan kecil saja sudah menurunkan tangan maut, menghendaki nyawa orang. Untuk memberi peringatan, pada jurus ke tujuh selagi kepalan tangan Bouw Si Ma berkelebat ke dekat lehernya, Kun Hong menyentil dengan telunjuk kanannya ke arah belakang atau punggung kepalan kiri orang Mancu itu.

   "Aduh... keparat...!"

   Orang-orang yang berada di situ, kecuali Ka Chong Hoatsu, terheran-heran karena tidak ada yang dapat melihat perbuatan Kun Hong ini. Mereka hanya melihat pemuda buta itu terhuyung ke sana ke mari dengan kedua tangannya bergerak-gerak seperti mengimbangi badan agar tidak jatuh. Kenapa Bouw Si Ma yang penuh semangat menyerang membabi buta itu malah mengaduh-aduh sendiri dan tubuhnya mendadak menggigil seperti orang terserang demam malaria? Akan tetapi karena Bouw Si Ma memang seorang ahli silat tingkat tinggi, hanya sebentar saja dia menggigil dan segera dia dapat menguasai dirinya kembali dengan jalan menyalurkan Lweekang untuk melawan getaran hebat dari sentilan si buta yang tepat menyinggung jalan darahnya itu.

   "Bocah buta she Kwa, kau sudah bosan hidup!"

   Teriaknya sambil mencabut pedangnya yang berwarna hitam, terus saja menyerang hebat.

   Kun Hong kaget sekali. Desing pedang ketika dicabut dan desir angin serangan senjata itu membuat dia maklum bahwa ternyata dalam hal ilmu pedang, orang Mancu ini jauh lebih lihai daripada ilmu silat tangan kosongnya. Pedang yang digunakannya pun sebatang pedang yang ampuh, sedangkan tenaga Lweekang yang terkandung dalam gerakan pedang amat kuat dan matang. Kiranya orang Mancu ini seorang ahli pedang, pikirnya. Dia tidak berani gegabah, tidak mau memandang rendah dan cepat sambil miringkan tubuh dan menekuk lutut ke belakang, tongkatnya dia gerakkan untuk menghalau serangan lawan. Benar saja dugaannya, ketika tongkatnya terbentur dengan pedang lawan, pedang itu tergetar dan dari getaran ini langsung menyeleweng menjadi serangan lanjutan yang lebih ganas!

   Kun Hong berlaku hati-hati sekali. Gerakan lawan ini selain cepat dan bertenaga, juga amat aneh, belum dikenalnya karena merupakan ilmu pedang dari Utara yang beraneka ragam. Dengan Kim-Tiauw Kiam-Hoat, yaitu Ilmu Pedang Rajawali Emas yang gerakannya gesit dan kelihatan aneh pula, dia selalu berhasil menghindarkan diri menggunakan langkah-langkah rahasia sambil menggerakkan tongkat untuk membentur pedang lawan. Orang-orang di situ menjadi makin terheran-heran. Pemuda buta ini terhuyung ke sana ke mari seperti orang mabuk, cara dia menghadapi serangan-serangan Bouw Si Ma amat aneh dan kacau, tidak seperti ilmu silat, akan tetapi mengapa semua serangan Bouw Si Ma selalu mengenai tempat kosong belaka? Lebih heran lagi adalah Ka Chong Hoatsu, karena Hwesio tua ini melongo menyaksikan Kim-Tiauw-Kun, lalu terdengar dia berbisik,

   "Apa setan tua Bu Beng Cu menurunkan ilmunya kepada bocah buta ini?"

   Pikirannya melayang-layang kepada masa lampau,

   Ketika dia masih muda pernah bertempur melawan kakek Bu Beng Cu sampai rIbuan jurus dan akhirnya dia harus menerima kekalahan dengan tulang pundak patah ketika Bu Beng Cu mempergunakan ilmu silat seperti gerakan Burung yang amat aneh. Semenjak itu dia tak pernah bertemu pula dengan kakek Bu Beng Cu, malah selama berpuluh tahun merantau, belum pernah dia melihat ilmu silat aneh itu dimainkan orang. Kenapa sekarang tiba-tiba bocah buta ini bisa mainkan ilmu membela diri yang tampaknya sama benar dengan gerakan-gerakan Bu Beng Cu dahulu? Sementara itu, ketika melihat betapa Bouw Si Ma belum juga mampu menjatuhkan si buta, Souw Bu Lai si Pangeran Mongol mengeluarkan gerengan keras dan menerjang maju sambil membentak,

   "Setan buta, kau benar-benar hendak menjual lagak di sini!"

   Sekaligus Pengeran Mongol ini menggerakkan senjatanya yang paling dia andalkan, yaitu sehelai sabuk baja digandeng-gandeng saling mengait dan setiap mata kaitan mengandung duri meruncing. Inilah senjata semacam joan-pian baja yang amat berbahaya karena lawan yang terkena ujungnya saja tentu akan terluka hebat! Sambaran senjata mengerikan itu lewat di atas kepala Kun Hong ketika pemuda buta itu mengelak sambil merendahkan tubuh. Dari suara desir anginnya Kun Hong tahu bahwa penyerangnya yang baru ini memiliki tenaga gajah sehingga sekali lagi hatinya mengeluh. Dia harus menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh dan siapa tahu kalau pertempuran ini tidak akan menjadi makin hebat jika yang lain-lain maju pula.

   "Aku tidak ingin berkelahi... ah, kenapa kalian berdua mendesakku?"

   "Souw Bu Lai, gunakan Liok-Coa-Kun!"

   Tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata kepada muridnya. Souw Bu Lai menyanggupi dan segera Ruyung lemas di tangannya bergerak cepat sekali, menyambar-nyambar seperti enam ekor ular yang mengeroyok seekor katak.

   Liok-Coa-Kun atau Ilmu Silat Enam Ekor Ular adalah ciptaan Ka Chong Hoatsu sendiri yang berdasarkan penyerangan dan mempertahankan dari enam penjuru, yaitu dari kanan kiri muka belakang dan atas bawah. Gerakan-gerakannya meniru gaya gerakan ular yang sukar sekali diduga oleh lawan, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini. Ka Chong Hoatsu yang merasa curiga menyaksikan gerakan permainan silat Kun Hong sengaja menyuruh muridnya menggunakan ilmu simpanan itu karena dia hendak memaksa Kun Hong mengeluarkan kepandaiannya sehingga dia dapat mengenal betul dari aliran manakah bocah buta yang amat lihai dan masih muda sudah memiliki ilmu kesaktian ini. Tingkat kepandaian Pangeran Souw Bu Lai sebetulnya tidak lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bouw Si Ma. Malah boleh dibilang orang Mancu murid Pak-Thian Lo-Cu ini lebih matang dan lebih banyak pengalamannya karena memang lebih tua.

   Akan tetapi karena senjata yang dipergunakan oleh pangeran itu lebih jahat dan ganas, maka bantuannya ini memiliki daya penyerangan yang tidak kalah hebatnya sehingga Kun Hong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya. Lebih banyak lagi jurus-jurus Kim-Tiauw-Kun harus dia keluarkan untuk menyelamatkan dirinya, karena dua orang ini benar-benar mengarah nyawanya. Tongkatnya berkelebatan, kadang-kadang tampak cahaya kemerahan dari pedangnya Ang-Hong-Kiam yang tersembunyi di dalam tongkat. Sementara itu, Ching Toa-Nio menjadi makin marah melihat betapa dua orang tamu yang amat diandalkan itu tetap juga belum dapat merobohkan si buta yang telah mendatangkan kekacauan di pulau. Ia menoleh ke arah Hui Kauw dan makin panas hatinya melihat anak pungutnya ini memandang kagum dan penuh kekhawatiran kepada Kun Hong yang dikeroyok. Malah ia mendengar suara gadis itu perlahan.

   "Curang... curang... matanya sudah buta masih dikeroyok..."

   Ching Toa-Nio meloncat ke depan Hui Kauw, matanya menyinarkan cahaya bengis.

   "Hui Kauw, betul-betulkah kau tidak main gila dan berjina dengan bocah buta itu?"

   "Tidak, Ibu."

   "Kalau begitu, hayo kau bantu Pangeran Souw dan pamanmu Bouw untuk merobohkan dan membikin mampus setan buta itu!"

   Hening sejenak, kecuali suara beradunya senjata-senjata mereka yang sedang bertempur. Lalu lirih terdengar

   "Tapi... kedua orang yang begitu lihai masih tak mampu mengalahkannya, apalagi aku, Ibu? Kepandaianku amat rendah, mana bisa menangkan dia..."

   "Perduli dengan kepandaianmu! Aku hanya ingin melihat apakah kau ini benar-benar pacarnya atau bukan. Kalau kau berani mengeroyoknya dan kemudian membunuhnya dengan pedangmu, aku baru mau percaya bahwa kau bukan pacar si buta itu!"

   Dapat dibayangkan betapa hancur hati Hui Kauw mendengar ini. Sebetulnya, di luar tahu Ibunya, ia telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi yang ia pelajari secara rahasia. Ia dapat mengira-ngira bahwa kalau dibandingkan dengan Ibunya sendiri bahkan dengan Pangeran Souw Bu Lai atau malah dengan Bouw Si Ma kiranya ia takkan kalah! Dan melihat ilmu silat aneh dari Kun Hong, biarpun amat lihai akan tetapi kalau ia maju lagi mengeroyok, orang buta itu takkan mampu menahan lagi. Akan tetapi, orang buta itu tidak mempunyai dosa. Malah ialah orangnya yang berdosa, karena si buta ini menghadapi bahaya maut karena ia!

   "Tidak, Ibu,"

   Jawabnya dengan suara tetap.

   "Dia tidak bersalah apa-apa, aku tidak mau mengeroyoknya. Malah kuharap Ibu suka membebaskan saja dia dan gadis temannya itu agar keluar dari pulau dengan aman. Mereka berdua itu tidak mempunyai kesalahan apa-apa."

   
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Anak setan kau! Kau malah memihak musuh?"

   "Mereka bukan musuh..."

   "Kalau begitu kau ingin mampus!"

   "Budi yang dilimpahkan Ibu semenjak aku kecil terlalu besar, kalau Ibu kehendaki, nyawaku boleh untuk membalas budi itu..."

   "Keparat...!"

   Terdengar oleh Kun Hong yang sejak tadi mendengarkan suara Bidadari itu, suara yang amat mengejutkan hatinya. Suara pukulan-pukulan yang dilakukan bertubi-tubi kepada tubuh Hui Kauw yang agaknya tidak mau membalas atau mengelak, hanya mengeluh lirih menahan nyeri.

   Meluap amarah di hati Kun Hong dan serentak berubah gerakan tongkatnya. Segulung sinar merah berkelebat disusul teriakan kaget Pangeran Souw Bu Lai dan Bouw Si Ma yang terhuyung mundur sambil memegangi lengan kanan yang luka-luka berdarah. Saat itu dipergunakan oleh Kun Hong untuk mencelat ke arah Hui Kauw, kakinya menendang dan... tubuh Ching Toa-Nio terlempar sampai lima meter jauhnya! Kun Hong meraba-raba dengan tangannya, membungkuk lalu memondong tubuh Hui Kauw yang sudah lemas dan pingsan. Kaget sekali hati Kun Hong ketika rabaan tangannya mendapat kenyataan betapa nona itu terluka hebat, tubuhnya terserang pukulan beracun dan beberapa tulang rusuknya patah! Saking marahnya Kun Hong merasa betapa mukanya menjadi panas sekali.

   "Ching Toa-Nio...!"

   Dia berteriak dengan suara agak gemetar.

   "Alangkah kejamnya hatimu! Kau mengaku bahwa nona ini adalah puterimu, akan tetapi perbuatanmu kepadanya sama sekali bukan sikap seorang Ibu sejati. Perbuatanmu biadab dan tak patut dilakukan oleh seorang wanita terhadap anaknya. Karena itu, jelaslah bahwa nona ini bukan anakmu! Seekor harimau betina yang bagaimana liar dan ganas sekalipun takkan makan anaknya sendiri, betapa seorang manusia bisa membunuh anaknya?"

   "Jembel buta setan alas!"

   Ching Toa-Nio memekik dan memaki-maki. Malunya bukan main bahwa ia seorang tokoh dunia kangouw, majikan dari Ching-Coa-To yang tersohor, kini sekali tendang saja sudah dibikin terlempar oleh seorang pengemis muda dan buta lagi!

   "Keparat tak bermalu, urusan antara Ibu dan anak, kau orang luar berani mencampuri?"

   Kun Hong tersenyum pahit, lalu terdengar suaranya dingin,

   "Alasan seorang iblis dalam tubuh seorang Ibu. Biarpun mataku buta, hatiku tidak sebuta hatimu. Aku masih dapat membedakan siapa yang berhak ditolong dan siapa pula yang wajib diberantas! Nona ini terang tidak berdosa, kalian menjatuhkan fitnah hanya untuk dalih agar dapat menyiksanya, dapat membunuhnya! Tapi, selama Kwa Kun Hong masih hidup dan berada di sini, jangan harap kau akan dapat mengganggu selembar rambutnya!"

   Dengan tangan kirinya mengempit tubuh Hui Kauw yang pingsan, Kun Hong berdiri melintangkan tongkatnya, siap menanti serbuan orang-orang itu. Dia bertekad untuk melindungi nona itu.

   "Hong-Ko, kenapa engkau mencampuri urusan orang lain?"

   Tiba-tiba suara Loan Ki mencelanya dan gadis ini sudah meloncat ke depannya.

   "Hong-Ko, kau telah membikin rIbut dan kacau di sini, membikin urusan menjadi makin besar saja. Kau lepaskan si muka hitam itu dan mari kita ke luar dari pulau ini."

   "Ki-moi, mana bisa aku membiarkan saja orang membunuh ia yang sama sekali tidak bersalah atas dasar fitnah yang begitu keji?"

   "Hong-Ko, kau mati-matian membelanya... apakah... apakah kau sudah jatuh cinta kepadanya...?"

   "Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, aku... aku..."

   Tiba-tiba tubuh Kun Hong menjadi lemas dan dia roboh. Kiranya Loan Ki yang tadinya memegang-megang tangannya itu secara tiba-tiba menotok jalan darah di punggungnya yang membuat Kun Hong menjadi lemas kehilangan tenaga. Dia masih berusaha memulihkan kekuatan, akan tetapi yang dapat dia lakukan hanya mencengkeram tongkatnya saja, malah tubuh Hui Kauw dalam kempitannya juga terlepas dan jatuh bergulingan, saling tindih dengan tubuhnya sendiri. Bagaimana Loan Ki yang tadinya dibelenggu bisa mendekati Kun Hong dan melakukan pengkhianatan ini? Gadis ini tadi memang dibelenggu, akan tetapi ia dilepaskan oleh Souw Bu Lai ketika pangeran ini maju menyerang Kun Hong. Karena ujung tali itu tidak dipegangi orang, dengan mudah Loan Ki dapat sedikit demi sedikit meloloskan kedua tangannya sehingga ia menjadi bebas.

   Tidak ada orang yang memperhatikannya, apalagi ia merupakan tawanan yang tidak penting karena tadi orang mengikatnya hanya untuk menjaga kalau-kalau sahabatnya yang buta itu benar-benar amat lihai dan mengamuk, maka ia dibelenggu untuk dijadikan jaminan. Siapa kira si buta itu benar-benar mengamuk, akan tetapi bukan karena tertawannya Loan Ki, melainkan karena soal lain, yaitu soal nona Hui Kauw. Adapun Loan Ki sendiri hatinya sudah sejak tadi panas dan iri menyaksikan betapa Kun Hong membela Hui Kauw secara mati-matian. Gadis ini masih terlalu muda untuk dapat menafsirkan tentang cinta kasih. Ia tidak ingat bahwa untuk dirinya sendiri pun Kun Hong membela mati-matian. Sekarang, melihat Kun Hong membela seorang gadis lain, ia menjadi iri hati, bukan cemburu karena pada saat itu ia tidak tahu apakah ia mencinta si buta ini ataukah tidak.

   Pendeknya, hatinya tidak senang melihat Kun Hong membela Hui Kauw, apalagi melihat betapa si buta itu memondong tubuh nona yang sudah pingsan itu. Maka ia lalu mendekati, menegur dan menotok roboh Kun Hong dengan maksud menghentikan usaha Kun Hong membela Hui Kauw. Tentu saja Kun Hong terkejut bukan main. Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa Loan Ki akan berbuat seperti itu dan inilah sebabnya pula dia mudah dirobohkan. Dia sama sekali tidak pernah menduga dan karena itu tidak berjaga diri terhadap Loan Ki. Kini setelah roboh dan tak berhasil memulihkan tenaga, dia terkejut dan terheran-heran, namun tidak khawatir karena maklum bahwa tidak akan ada hal yang lebih hebat daripada kematian, sedangkan kematian itu baginya bukan apa-apa, seperti air sungai mengalir kembali ke laut di mana dia akan bersatu dengan Cui Bi!

   Ternyata Ching Toa-Nio yang ditendang sampai mencelat lima meter oleh Kun Hong tadi tidak terluka berat, hanya mendapat luka ringan berupa benjol-benjol dan barut-barut saja. Hal ini adalah karena Kun Hong memang sengaja tidak mengarah nyawa orang, hanya melakukan tendangan tanpa disertai tenaga dalam yang dapat mengakibatkan luka hebat. Malah kedua orang pengeroyoknya tadi, Souw Bu Lai dan Bouw Si Ma, hanya terluka di lengan kanannya dengan goresan-goresan yang tidak dalam, hanya mengeluarkan darah akan tetapi ternyata merupakan luka kulit belaka. Kini melihat betapa Kun Hong sudah roboh, Ching Toa-Nio masih tak mampu mempertahankan kemarahannya, segera mencabut pedang dan melompat maju untuk membacok putus leher pemuda buta yang sudah banyak membikin malu kepadanya itu.

   "Tranggg!"

   Bunga api berpijar saking kerasnya bentrokan pedang ini.

   "Ching Toa-Nio, tidak boleh kau membunuh Hong-Ko!"

   Teriak Loan Ki yang menangkis pedang Ching Toa-Nio dengan pedangnya sendiri.

   "Kau boleh bunuh mampus anakmu si muka hitam, tapi Hong-Ko tidak bersalah, kau tidak boleh membunuhnya."

   Ching Toa-Nio memandang dengan mata mendelik.

   "Dia berani mencemarkan nama, tampan dan berkepandaian tinggi, tidak buta dan melakukan perbuatan jina, masih kau bilang dia tidak berdosa?"

   "Ihh, kau keliru besar Toa-Nio. Hong-Ko adalah seorang buta, mana dia bisa melihat tentang cantik tidaknya wanita? Mana bisa dia mampu menarik hati wanita? Tentulah anakmu yang tak tahu malu itu yang sengaja menarik hati dan memikatnya dengan kata-kata halus. Hong-Ko memang seorang muda yang tampan dan berkepandaian tinggi, tidak heran anakmu itu jatuh cinta. Hong-Ko sendiri karena buta mudah saja dipikat, coba dia dapat melihat, apa dia sudi melayani seorang gadis yang mukanya seperti pantat kuali?"

   "Keduanya harus mampus!"

   Ching Toa-Nio kembali menggerakkan pedangnya, akan tetapi kembali Loan Ki menangkis, biarpun dua kali tangkisan itu sudah membuat telapak tangannya lecet-lecet.

   "Ching Toa-Nio, apa kau sebagai golongan lebih tua tidak malu? Kau berani turun tangan karena Hong-Ko sudah kurobohkan. Hemm, andaikata aku tidak merobohkannya dengan totokan tanpa dia menduga, apa kau kira kau akan mampu bersikap segalak ini terhadapnya? Hi-hik, benar-benar orang di Ching-Coa-To tidak punya sopan santun persilatan!"

   Bukan main tajamnya ucapan ini, melebihi tajamnya ujung serIbu pedang.

   Ching Toa-Nio menjadi pucat mukanya dan menahan pedangnya, matanya mendelik dan muka yang pucat itu berubah merah, ia adalah seorang kangouw yang sudah memiliki nama besar, tentu saja sekarang mendengar ucapan ini, ia tidak ada muka untuk nekat menyerang Kun Hong yang sudah tak berdaya itu. Semua orang di situ tahu belaka bahwa robohnya Kun Hong si buta itu adalah karena serangan gelap yang dilakukan Loan Ki, sama sekali bukan roboh oleh Ching Toa-Nio atau yang lain. Kemarahannya meluap-luap akan tetapi tertahan sehingga kini kemarahannya ini ditumpahkan kepada Hui Kauw seorang! Hanya gadis inilah yang dapat menjadi bulan-bulan kemarahannya tanpa ada seekor setan pun yang berani menghalanginya. Tadipun hanya si buta itu yang membelanya sekarang setelah si buta roboh, siapa lagi akan membela anak angkat yang menimbulkan kemarahan dan kebencian ini?

   "Anak keparat, kaulah gara-garanya!"

   Ia menggerakkan pedangnya sambil melompat ke dekat Hui Kauw yang ternyata sudah sadar dari pingsannya, akan tetapi karena tubuhnya terluka hebat oleh pukulan-pukulan Ibu angkatnya tadi, ia masih belum dapat bangun.

   Kini melihat betapa Kun Hong tak berdaya, rebah dalam keadaan tertotok, hatinya terkejut bukan main. Timbul kekhawatirannya untuk keselamatan si buta ini, dan sekaligus timbul ingatannya untuk menolong Kun Hong. Maka begitu melihat sambaran pedang di tangan Ibunya ke arah leher, Hui Kauw menggulingkan tubuhnya. Pedang itu meluncur menghantam tanah dan gadis itu dengan pengerahan tenaga yang luar biasa telah dapat bangun dan duduk. Pedang itu, yang dikendalikan tangan Ching Toa-Nio yang marah mengejar dan menyerang lagi, namun kini dalam keadaan duduk Hui Kauw lebih mudah mengelak. Semua orang terheran-heran terutama sekali Ching Toa-Nio dan Hui Siang. Bagaimana mendadak Hui Kauw yang sudah terluka hebat itu memiliki gerakan-gerakan aneh sehingga dalam keadaan seperti itu dapat menghindarkan serangan pedang?

   Dengan penuh keheranan yang berubah menjadi penasaran dan malu, Ching Toa-Nio memperhebat penyerangannya, bertubi-tubi mengirim tusukan dan bacokan ke arah tubuh anak angkatnya. Akan tetapi, benar-benar terjadi keanehan bagi nyonya galak ini. Hanya dengan menggerak-gerakkan tubuhnya secara aneh, kadang-kadang rebah dan ada kalanya meloncat ke atas dan duduk kembali, Hui Kauw dapat menyelamatkan diri dari semua serangan itu, sungguhpun makin lama gerakannya makin lemah dan lambat karena memang luka-luka di tubuhnya sudah parah. Kalau saja tidak sedemikian parah luka-luka di tubuhnya, tentu dengan kepandaiannya yang dirahasiakan itu ia dapat menyelamatkan diri dengan mudah.

   Sementara itu, tadinya Kun Hong terkejut dan heran, juga maklum bahwa dia telah dikhianati Loan Ki dan tinggal menanti datangnya maut ketika dia roboh tertotok oleh Loan Ki tanpa dia dapat mencegahnya karena sebelumnya dia tidak berjaga lebih dulu dan tidak pernah menduga akan mendapat penyerangan gelap dari gadis ini. Akan tetapi dasar memang di tubuhnya sudah terisi hawa murni yang amat kuat, sedangkan tenaga dalamnya adalah tenaga dalam yang dilatih menurut ilmu silat tinggi yang bersih, maka pengaruh totokan Loan Ki yang bagi orang lain tentu akan dapat melumpuhkan sampai berjam-jam itu, ternyata bagi Kun Hong hanya melumpuhkannya beberapa menit saja! Dengan pengerahan tenaga berulang-ulang, akhirnya dengan girang Kun Hong dapat membobolkan kemacetan jalan darahnya dan tenaganya pulih kembali seperti sebelum tertotok.

   Kun Hong tidak marah kepada Loan Ki, hanya heran karena dia masih belum mengerti mengapa gadis lincah itu merobohkannya. Makin besar keheranannya ketika dia mendengar betapa secara mati-matian Loan Ki menolongnya daripada serangan-serangan Ching Toa-Nio, malah membelanya dengan omongan-omongan pedas. Tentu saja keheranan ke dua ini disertai kegirangan hati bahwa terbukti Loan Ki tidak memusuhinya, malah melindunginya. Akan tetapi kenapa tadi menotoknya roboh? Dan bagaimana pula setelah menotok roboh dengan serangan gelap, sekarang membela dan melindunginya mati-matian pula? Benar-benar aneh sekali gadis lincah ini, dan Kun Hong merasa seperti menghadapi sebuah teka-teki yang amat kuat.

   Dia sengaja berpura-pura tak berdaya dan membiarkan saja Loan Ki bersitegang dengan Ching Toa-Nio, akan tetapi ketika mendengar betapa Ching Toa-Nio menyerang Hui Kauw secara hebat dan membabi buta, Kun Hong tak dapat mengendalikan dirinya lagi dan tiba-tiba dia meloncat bangun, sekali menggejot tubuh dia telah menyambar ke arah Ching Toa-Nio. Ching Toa-Nio mendengar seruan kaget dari semua orang yang tiba-tiba melihat gerakan Kun Hong yang tadinya lumpuh itu, ketika ia melihat betapa si buta itu menerjang ke arahnya, ia menjadi marah sekali dan pedangnya memapaki dengan sebuah tusukan kilat ke arah ulu hati. Dalam penyerangan ini, Ching Toa-Nio menggunakan semua tenaganya karena ia memang marah sekali dan ingin menebus kekalahan dan penghinaan-penghinaan yang ia alami tadi.

   Sinar pedang di tangan Ching Toa-Nio itu berkelebat menusuk, Kun Hong miringkan tubuhnya dan... pedang itu ambles di bagian dada sampai menembus punggung si buta itu. Terdengar jeritan-jeritan keluar dari mulut Hui Kauw dan Loan Ki sekaligus. Akan tetapi dua orang nona ini yang merasa ngeri dan kaget sekali, tidak berusaha untuk maju menolong karena mereka kini, seperti yang lain-lain, berdiri bengong penuh keheranan. Biasanya kalau orang terkena tusukan pedang, apalagi sampai menembus punggung, tentu akan mengeluh, atau roboh, setidak-tidaknya darah tentu akan mengalir ke luar. Akan tetapi si buta ini lain lagi reaksinya. Dia berdiri tegak dengan pedang lawan masih menancap di bagian pinggir dada, mulutnya tersenyum, sikapnya tenang dan tidak ada setetes pun darah mengalir ke luar.

   Ching Toa-Nio mengerahkan tenaganya menarik ke luar pedangnya dan... tiba-tiba ia terhuyung ke belakang dan mukanya menjadi pucat. Pedang itu tinggal gagangnya saja, selebihnya masih "Menancap"

   Di dada Kun Hong. Ketika pemuda buta itu menggerakkan lengan kanan, terdengar suara "Krekk!"

   Dan jatuhlah sebatang pedang tanpa gagang, sudah patah menjadi tiga potong! Kiranya pemuda itu bukan tertusuk pedang, melainkan senjata itu ketika tadi menusuk ulu hatinya dia miringkan tubuh dan secara cepat dan lihai sekali sampai dapat mengelabui mata banyak orang-orang pandai, dia berhasil menjepit pedang itu di bawah ketiaknya! Kun Hong tidak perdulikan lagi Ching Toa-Nio yang masih bengong keheranan, dia menghampiri Hui Kauw, membungkuk dan sekali bergerak gadis itu telah dipondongnya lagi.

   "Saudara Kwa... jangan... kau lepaskanlah aku..."

   Hui Kauw berkata lemah, hatinya tidak karuan rasanya dan ia merasa amat malu dipondong oleh seorang laki-laki muda, biarpun buta, di depan banyak orang itu.

   "Sshhh, diamlah, Nona. Kau tidak boleh banyak bergerak, kau tidak boleh mengeluarkan suara dan tenaga... lukamu hebat... kurasa sedikitnya sebuah tulang rusukmu patah, jantungmu tergoncang, hawa beracun telah memasuki darah, aku harus mengobatimu, jangan kau banyak bergerak, kau menurutlah saja..."

   Pada saat itu ada angin menyambar dari depan dan suara yang hampir tak dapat ditangkap pendengaran Kun Hong menunjukkan betapa orang yang meloncat dan turun di depan Kun Hong benar-benar memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Kun Hong maklum akan hal ini, dia bersiap-siap sambil memondong Hui Kauw, keningnya berkerut karena dia benar-benar merasa serba susah bagaimana harus melindungi gadis ini dari ancaman sekian banyaknya orang pandai.

   Pada saat itu terdengar suara Hui Kauw mengeluh panjang dan tubuh gadis itu menjadi lemas, kiranya gadis ini kembali jatuh pingsan setelah tadi mengeluarkan banyak tenaga dalam menghadapi Ibu angkatnya untuk mengelak dari bahaya maut. Kun Hong merasa lega. Dengan pingsannya gadis ini, akan lebih leluasa baginya untuk bergerak, dapat dia mengempit tubuh itu tanpa sungkan-sungkan dan tidak akan mendatangkan rasa malu kepada gadis itu. Dia cepat mengubah caranya memondong tubuh Hui Kauw, kini dia menggunakan lengan kirinya memeluk pinggang gadis yang pingsan itu dan mengempitnya. Tangan kanannya yang memegang tongkat siap menghadapi serbuan lawan. Terdengar oleh Kun Hong suara yang tenang dan berat, suara yang mengandung tenaga dalam yang hebat,

   "Omitohud, Pinceng sebetulnya harus malu menghadapi seorang pemuda yang tak dapat melihat lagi. Orang muda, kau benar-benar hebat sekali. Kelihaianmu telah mengalahkan banyak orang pandai membuat Pinceng mengesampingkan rasa malu dan ingin Pinceng mencoba kehebatan kepandaianmu yang aneh. Akan tetapi sebelumnya Pinceng ingin sekali tahu, siapakah gurumu yang mewariskan ilmu-ilmu aneh ini kepadamu?"

   Kun Hong kaget dan maklum bahwa yang berada di depannya adalah seorang Hwesio yang berilmu tinggi. Cepat dia menjura dan menjawab,

   "Syukurlah bahwa di sini terdapat Lo-Suhu yang saya percaya memiliki pertimbangan adil dan pemandangan yang luas. Lo-Suhu, tentang riwayat saya bukanlah hal penting malah tidak berharga untuk didengar oleh orang lain. Lo-Suhu, kedatangan saya ini sesungguhnya sama sekali bukan ingin bermusuhan atau berkelahi, maka harap Lo-Suhu sudi melimpahkan kemurahan hati dan dapat menghentikan perkelahian-perkelahian yang tidak saya kehendaki ini. Terhadap seorang suci seperti Lo-Suhu, mana berani saya yang muda dan bodoh berlaku kurang ajar?"

   Pendeta itu tertawa bergelak dan Kun Hong tentu saja tidak tahu betapa Hwesio ini dengan kedipan matanya memberi isyarat kepada orang-orang yang berada di situ. Kemudian bertanya,

   "Orang muda, biarpun matamu buta tapi hatimu melek. Tentu saja Pinceng tidak mau memaksa kalau kau tidak menghendaki perkelahian. Akan tetapi kau datang di sini menimbulkan kerIbutan, apa sih yang kau inginkan sekarang?"

   "Maaf, Lo-Suhu. Sama sekali saya tidak bermaksud mengadakan kerIbutan. Semua yang dilontarkan kepada saya dan nona Hui Kauw ini adalah fitnah belaka. Tidak ada yang saya kehendaki kecuali agar orang tidak membunuh nona Hui Kauw, membiarkan saya mengobatinya sampai sembuh kemudian memberi kebebasan kepada saya dan nona Loan Ki untuk meninggalkan pulau ini dengan aman."

   Kembali Ka Chong Hoatsu mengedipkan matanya kepada Ching Toa-Nio dan yang lain-lain, kemudian dia tertawa lagi.

   "Omitohud, kiranya sahabat muda yang lihai pandai pula ilmu pengobatan. Nona itu kulihat amat berat luka-luka akibat pukulan, sanggupkah kau menyembuhkannya?"

   "Jika Thian menghendaki, tentu dapat. Saya yang buta sedikit banyak tahu akan ilmu pengobatan."

   "Hwesio tua, jangan kau pandang rendah kepadanya. Orang sakit apa pun juga asal belum mampus tentu dapat dia menyembuhkan. Dia adalah murid Toat-Beng Yok-Mo, masa tidak bisa mengobati?"

   Ucapan Loan Ki ini membuat Kun Hong mengerutkan kening dan dia tidak tahu bahwa gadis nakal itu tentu pernah mendengar dia menyebut nama Toat-Beng Yok-Mo, kalau tidak salah ketika dia mengobati orang-orang Hui-Houw-Pang di mana gadis itu diam-diam sudah lama bersembunyi dan mengintai. Tidak hanya Kun Hong yang mengerutkan kening, bahkan semua orang di situ, terutama sekali Ka Chong Hoatsu, menjadi heran dan kaget sekali. Tentu saja semua orang pernah mendengar nama Toat-Beng Yok-Mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), siapa orangnya belum pernah mendengar nama Tabib iblis yang amat pandai mengobati, akan tetapi selalu membunuh orang yang telah diobatinya sampai sembuh itu (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas)? Seketika pandangan mereka terhadap Kun Hong berubah, karena boleh dibilang Toat-Beng Yok-Mo adalah orang "Segolongan"

   Dengan mereka.

   "Omitohud! Betulkah kau murid Yok-Mo, orang muda?"

   Ka Chong Hoatsu akhirnya bertanya. Kun Hong adalah seorang yang jujur dan tak suka membohong, maka dengan suara biasa dia menjawab,

   "Diangkat murid sih tidak, akan tetapi mendiang Yok-Mo pernah memberi ijin kepadaku untuk membaca kitab-kitabnya tentang pengobatan, entah hal ini boleh dianggap saya sebagai muridnya ataukah tidak terserah."

   "Oho!"

   Ka Chong Hoatsu kembali memberi isyarat kepada yang lain, maju ke depan dan menyentuh pundak Kun Hong.

   "Kiranya kau masih orang sendiri! Kwa-Sicu, kalau begitu tidak ada urusan lagi di antara kita dan soal pertempuran tadi kita anggap saja sebagai kunci perkenalan. Ching Toa-Nio, Pinceng harap kau sudi menghabiskan urusan dan biarlah diberi tempat untuk Kwa-Sicu mengobati puterimu."

   Kun Hong menjadi melengak ketika urusan berbalik secara demikian. Semua orang, termasuk Hui Siang gadis yang galak itu, mengucapkan maaf kepadanya, juga Bouw Si Ma, Pangeran Souw Bu Lai, dan Ching Toa-Nio. Malah terdengar suara Ngo Kui Ciau, orang pertama dari Ang Hwa Sam-Cimoi yang bersuara kecil melengking,

   "Pantas saja lihai, kiranya murid si tua bangka Yok-Mo. Hi-hik, tak perlu rIbut-rIbut, biar buta amat tampan dan gagah, lagi lihai dan murid Yok-Mo. Twa-Nio, kurasa pantas dia menjadi mantumu, hi-hik!"

   Mendongkol sekali Kun Hong, akan tetapi juga wajahnya berubah merah tanpa dapat dia cegah, karena mendengar ucapan seperti itu, entah mengapa, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tidak banyak bicara dan menurut saja ketika dia diajak ke dalam bangunan itu yang untuk sementara diserahkan kepadanya sebagai tempat mengobati Hui Kauw.

   "Tidak lama... tidak lama..."

   Katanya gugup.

   "Sebentar saja kupulihkan kedudukan urat-uratnya, kusambung tulangnya dan kubersihkan hawa beracun yang menyerangnya. Besok ia sudah pulih kembali, hanya tinggal memperkuat pertumbuhan tulang yang disambung. Aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini dan akan segera keluar dari pulau bersama nona Loan Ki."

   Dia merasa heran sekali mengapa Loan Ki diam saja, tidak ada suaranya sama sekali.

   Dia tidak melihat betapa nona ini biarpun berada pula di situ, mukanya murung dan cemberut terus. Pangeran Souw Bu Lai yang beberapa kali berusaha memikatnya dengan omongan-omongan manis, tidak diacuhkan sama sekali. Akhirnya pangeran itu bosan sendiri dan nampak mendekati Hui Siang, bercakap-cakap gembira dan disambut manis oleh nona cantik jelita yang galak itu. Orang-orang menjadi kagum menyaksikan cara Kun Hong mengobati Hui Kauw. Dengan tusukan-tusukan jarum perak dia dapat memulihkan kesehatan nona ini, mengusir ke luar hawa beracun akibat pukulan-pukulan Ching Toa-Nio yang ampuh. Kemudian dia minta semua orang laki-laki keluar dari kamar karena dia hendak mulai menyambung tulang, dan untuk keperluan ini terpaksa baju nona Hui Kauw harus dibuka.

   Hanya Ching Toa-Nio, Loan Ki, Ang Hwa Sam-Cimoi, Hui Siang dan tiga orang pelayan wanita yang masih berada di kamar. Biarpun maklum di situ terdapat banyak orang pula yang menyaksikan, tangan Kun Hong sedikit gemetar juga ketika dia meraba kulit dada dan punggung yang halus pada waktu dia menyambung tulang iga yang patah! Setengah hari dia bekerja keras dan akhirnya dia selesai, lalu duduk bersila dan menempelkan kedua tangannya ke pundak Hui Kauw dekat leher untuk menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh nona itu dan membantunya sekuat tenaga. Sejam dia melakukan ini dan mulailah pernapasan nona itu normal kembali dan mukanya menjadi merah sehat. Pada saat itu Ching Toa-Nio memberi isyarat kepada semua orang untuk meninggalkan kamar itu. Loan Ki tadinya hendak tinggal di situ, akan tetapi Ching Toa-Nio berkata lirih,

   "Nona Tan, setelah sekarang kita menjadi sahabat, perlu kita bicara tentang urusan yang juga menyangkut Ayahmu. Marilah, biar Kwa-Sicu mengaso, kulihat Hui Kauw sudah sembuh kembali."

   Tak enak juga hati Loan Ki untuk membandel. Ia mengerling dengan mata ragu ke arah Kun Hong yang masih duduk bersila, lalu sinar matanya menyambar seperti kilat ke arah muka Hui Kauw yang hitam, setelah itu ia mendengus marah dan ikut keluar pula. Kamar itu sunyi. Suara orang-orang di luar bercakap-cakap tidak dapat terdengar jelas karena daun pintu kamar itu ditutup dari luar. Kun Hong melepaskan kedua telapak tangannya dari pundak nona itu, lalu dengan perlahan dia mengurut jalan darah di punggung dan belakang leher. Terdengar nona ini mengerang perlahan. Kun Hong cepat menarik kembali tangannya dan melompat turun dari pembaringan, berdiri menanti.

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini