Raja Pedang 11
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Komandan itu berseru dengan wajah pucat. Barisan itu menjadi kacau.
Takut kalau-kalau mendapat serangan gelap di jalan yang sempit itu, mereka saling tabrakan lari jatuh bangun untuk kembali melalui jalan sempit. Akan tetapi tiba-tiba di depan tampak asap bergulung-gulung ke atas dan... rumpun-rumpun bambu di kanan kiri jurang ternyata telah dibakar orang! Api menjilat-jilat tinggi sampai di jalan sempit sehingga tak mungkin lagi orang dapat melaluinya. Barisan itu sudah terkurung, di depan dihalangi batu-batu besar, di belakang dihalang-halangi api. Selagi mereka kebingungan, tiba-tiba menyambar paku-paku Pek-Lian-Ting, juga batu-batu besar menggelundung dari atas karang. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar, serdadu-serdadu itu mulai roboh dan keadaan menjadi makin panik. Komandan mencoba untuk memberi perintah supaya semua bersikap tenang dan menghujani anak panah ke arah lawan.
Akan tetapi karena lawan tidak kelihatan sedangkan mereka berada di tempat terbuka tanpa perlindungan sama sekali, serdadu-serdadu itu menjadi bingung. Lebih lagi ketika hujan api menyerang mereka, yaitu kayu-kayu terbakar yang dilemparkan ke arah mereka. Serumpun bambu yang terbakar dilemparkan dari atas, tepat mengenai tubuh komandan pasukan itu. la berteriak-teriak dan meloncat-loncat ke sana kemari, bajunya terbakar, demikian pula rambut dan jenggotnya. Akhirnya dia menggelundung ke dalam jurang disambut api yang berkobar! Beng San yang mengintai dari atas batu karang merasa kagum bukan main. Benar-benar hebat. Hanya sembilan orang saja mampu membasmi puluhan musuh. Akan tetapi di samping kekagumannya, juga dia merasa ngeri dan bergidik. Bagaimana sesama manusia dapat melakukan pembunuhan besar-besaran seperti ini?
Beng San cukup tahu bahwa serdadu-serdadu Mongol itu mempunyai kebiasaan yang jahat terhadap rakyat, seperti yang pernah dilihatnya baru-baru ini. Akan tetapi menghadapi perang bunuh-bunuhan seperti itu, melihat manusia terpanggang anak panah, orang terbakar hidup-hidup, dan melihat orang ketakutan setengah mati, dia tak kuasa melihat lebih lama lagi dan Beng San membuang muka. Hanya sebentar saja perang ini. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para anggauta Pek-Lian-Pai benar hebat dan tak seorang pun di antara serdadu Mongol dapat meloloskan diri dari maut. Di pihak Pek-Lian-Pai, hanya tujuh orang termasuk Tan Hok dan Beng San yang masih hidup. Yang lain tewas terkena anak panah, bahkan ada yang ikut terbakar ketika dia sibuk membakari bambu untuk menjebak musuh. Tan Hok dan teman-temannya lalu berpencaran meninggalkan tempat itu.
"Kau hendak ke mana, Beng San?"
Tanya Tan Hok ketika melihat anak ini agak pucat dan nampak berduka.
"Aku hendak pergi ke Hoa-San,"
Jawab Beng San singkat.
"Mari kau ikut saja denganku. Kau akan kumasukkan sebagai anggauta Pek-Lian-Pai..."
"Tidak...! Tidak Aku tidak sudi menjadi pembunuh!"
Tan Hok memandang heran, akan tetapi hanya sebentar saja. la maklum bahwa anak ini tadi merasa ngeri menyaksikan pembunuhan terhadap musuh-musuh itu. la menggandeng tangan Beng San.
"Baiklah, kalau kau belum kuat perasaanmu untuk maju berperang. Mari kuantar kau ke Hoa-San. Setelah apa yang terjadi di sini, amat berbahaya melakukan perjalanan seorang diri di daerah ini. Kalau kau berjumpa dengan serdadu, kau akan ditangkap, dipukuL dan dipaksa mengaku di mana adanya orang-orang Pek-Lian-Pai. Mari kau ikut aku, mengambil jalan rahasia untuk menuju ke Hoa-San."
Beng San menurut saja dan wajahnya yang cemberut dan muram dapat dimengerti oleh Tan Hok. Maka pemuda raksasa itu di sepanjang jalan lalu menceritakan keadaan dirinya, menceritakan keadaan Pek-Lian-Pai.
"Semenjak kecil oleh Guruku, aku telah ikut berkecimpung dalam perjuangan melawan Pemerintah penjajah Mongol. Guruku yang sudah tidak ada lagi bernama Tan Sam adalah seorang tokoh terkenal di Pek-Lian-Pai. Kau tahu, Beng San, Pek-Lian-Pai merupakan perkumpulan kaum Patriot yang anggautanya tersebar di seluruh negeri."
Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan sepak terjang Pek-Lian-Pai dan kegagahan para anggautanya yang pantang mundur dan rela berkorban nyawa untuk membela Bangsa. Beng San yang sudah banyak membaca Kitab kuno, banyak pula mendengar tentang riwayat para pahlawan, maka dia merasa kagum juga dan simpatinya terhadap Pek-Lian-Pai menjadi besar.
"Betapapun juga, perang bunuh-membunuh itu menyakitkan hatiku,"
Katanya sebagai komentar.
"Membunuh seorang dua orang penjahat masih dapat kuterima. Akan tetapi puluhan orang itu, biarpun mereka semua orang-orang Mongol atau kaki tangan Pemerintah Mongol, apakah mungkin orang sebegitu banyaknya itu jahat-jahat semua?"
Tan Hok tertawa lebar.
"Di dalam perang, tidak ada istilah jahat ataukah tidak jahat. Tidak ada permusuhan pribadi. Tentu saja aku sendiri tidak membenci seorang pun serdadu Mongol atas dasar perasaan pribadi karena mengapa aku membenci seorang yang sama sekali tidak kukenal? Tentu saja andaikata mereka tadi itu bukan serdadu-serdadu Mongol, aku tak akan sudi mengganggu mereka. Akan tetapi di dalam perang, mereka itu adalah musuh-musuh kita. Musuh rakyat yang harus dibasmi habis. Kalau tidak kita membunuh mereka, tentulah mereka yang akan membunuh kita."
Seorang anak sekecil Beng San yang belum pernah mendengar tentang politik kenegaraan, dah kebangsaan, mana bisa mengerti akan hal ini? Apa yang pernah dia pelajari hanyalah tentang prikemanusiaan dan tentang filsafat hidup yang pada umumnya mencela kekerasan dan tidak membenarkan tentang bunuh-membunuh. Betapapun juga, semangat Tan Hok dalam ceritanya membangkitkan rasa suka yang besar dalam hati Beng San, apalagi setelah raksasa muda itu menjelaskan tentang penjajahan dan kesengsaraan rakyat karena diperas oleh kaum penjajah yaitu Bangsa Mongol.
"Sungguh menggemaskan kalau diingat,"
Demikian antara lain Tan Hok menceritakan, Bangsa kita adalah Bangsa yang besar, yang mempunyai rakyat banyak sekali. Sebaliknya Bangsa Mongol adalah Bangsa perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tertentu, juga rakyatnya hanya sedikit. Akan tetapi bagaimana Bangsa, kita malah dijajah dan diperbudak oleh Bangsa Mongol? Padahal kalau rakyat kita semua bangkit melakukan perlawanan, setiap orang Mongol sedikitnya akan berhadapan dengan tiga puluh orang kita!"
"Kenapa tidak semua rakyat mau bangkit melakukan perlawanan"
Tanya Beng San, mulai terbuka matanya dan dia pun merasa heran akan kenyataan ini. Tan Hok menarik napas panjang.
"Sayang diantara kita banyak yang mudah dipermainkan, masih banyak yang mabuk akan kesenangan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat jelata yang sengsara. Orang-orang kita yang pandai malah banyak yang menjadi kaki tangan Mongol, malah banyak pengkhianat-pekhianat seperti ini sengaja memusuhi Pek-Lian-Pai untuk membantu Pemerintah penjajah. Perbuatan keji dan tak tahu malu ini dilakukan hanya karena mengejar kesenangan duniawi untuk diri pribadi belaka. Tidak malu menjual Bangsa sendiri kepada penjajah. Benar-benar memuakkan."
Tan Hok latu menceritakan kepada Beng San tentang orang-orang dan golongan-golongan yang sengaja dipergunakan oieh pemenntah Mongol untuk menentang kaum pemberontak.
"Di antara mereka ini, yang paling menjemukan adalah kaum Ngo-Lian-Kauw. Ketuanya adalah Kim-Thouw Thian-Li. Dia itulah yang sudah membunuh Guruku dan aku bersumpah demi tanah air dan keadilan, pada suatu hari aku pasti akan dapat membunuh Siluman betina yang cabul itu!"
Teringat akan perbuatan Kim-Thouw Thian-Li dahulu yaitu setelah membunuh Gurunya, lalu hendak membunuhnya pula, dia menjadi merah mukanya dan kebenciannya mendalam.
"Aku sudah mengumpulkan keterangan tentang Ngo-Lian-Kauw juga tentang semua perbuatan Kim-Thouw Thian-Li yang tak tahu malu. Perempuan cabul itu sengaja dipergunakan oleh Pemerintah Mongol untuk melawan Pek-Lian-Pai. Dia benar-benar lihai dan jahat sekali, licin bagai belut dan banyak siasatnya."
"Mendengar namanya, Kim-Thouw Thian-Li (Bidadari Kepala Emas), tentulah dia seorang wanita yang baik. Sebutannya Thian-Li (Bidadari), bagaimana bisa jahat? Pula, seorang wanita saja, apa dayanya terhadap Pek-Lian-Pai yang begitu banyak mempunyai anggauta terdiri dari orang-orang gagah perkasa?"
Tan Hok tersenyum pahit.
"Sebetulnya itu hanyalah nama yang dipilihnya sendiri, bagiku dia lebih patut disebut iblis betina daripada bidadari. Tidak bisa dibantah bahwa dia memang cantik jelita. Kim-Thouw Thian-Li adalah murid tunggal dari Hek-Hwa Kui-Bo yang terkenal jahat dan kejam..."
"Ahhh...!"
"Kau sudah mendengar namanya?"
"Sudah... sudah..."
Jawab Beng San yang tentu saja sudah mengenal baik nenek itu.
"Jangan kau kira bahwa Kim-Thouw Thian-Li biarpun wanita tak berdaya terhadap Pek-Lian-Pai. Dia licik dan selain banyak pula anggauta Ngo-Lian-Kauw, juga di setiap tempat dia dibantu oleh para pembesar karena ia memiliki tanda kekuasaan dari Kaisar sendiri. Sepak terjangnya amat licin dan curang. Baru-baru ini dia berusaha keras untuk merusak nama baik Pek-Lian-Pai dengan perbuatan-perbuatan jahat yang sengaja ia lakukan sambil meninggalkan tanda-tanda Pek-Lian-Pai. Tentu saja maksud perbuatannya ini adalah untuk merusak nama Pek-Lian-Pai, untuk menjauhkan Pek-Lian-Pai dari rakyat dan malah ia sengaja hendak mengadu domba Pek-Lian-Pai dengan Partai-Partai besar lain. Pendeknya, segala usaha tak tahu malu ia jalankan untuk melemahkan perjuangan menentang Pemerintah Mongol. Malah aku sudah mendapat keterangan dari para penyelidik Pek-Lian-Pai bahwa dia sudah berhasil dalam usahanya mengacau perhubungan baik antara Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai."
Beng San kaget. la sudah mendengar,
"Tentang Partai-Partai besar di dunia persilatan dari Lo-Tong Souw Lee, malah sekarang pun dia membawa surat Lo-Tong Souw Lee untuk Ketua Hoa-San-Pai.
"Kenapa pula dia mengganggu Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai?"
"Sekarang ini di seluruh negeri, para orang gagah bangkit semangatnya untuk melawan penjajah dan banyak yang menggabungkan diri dengan Pek-Lian-Pai. Untuk mencegah inilah maka Kim-Thouw Thian-Li merusak hubungan antara Partai-Partai besar agar bertengkar sendiri, terutama sekali agar mereka memusuhi Pek-Lian-Pai. Sayang sekali, seorang Pendekar muda dari Kun-Lun-Pai telah kena dipikat olehnya, dijatuhkan oleh kecantikannya."
Tan Hok yang sudah mendengar dari para penyelidik Pek-Lian-Pai, bahkan sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa penolongnya, yaitu Kwee Sin, terpikat oleh kecantikan Kim-Thouw Thian-Li, lalu menceritakan apa yang dia ketahui. Betapa Kim-Thouw Thian-Li dengan bantuan orang-orangnya menyamar sebagai orang-orang Pek-Lian-Pai dan melakukan pelbagai kejahatan, di antaranya membunuh Liem Ta Ayah Liem Sian Hwa tunangan Kwee Sin.
"Tentu saja maksudnya untuk mengadu domba antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai,"
Ia menutup ceritanya.
"Malah bukan itu saja maksudnya. Ia hendak mengadu dombakan kedua Partai besar itu dengan Pek-Lian-Pai, dan pernah dia melakukan penyerangan kepada dua saudara Bun, murid-murid Kun-Lun-Pai dengan menyamar sebagai orang-orang Pek-Lian-Pai."
Beng San tertarik sekali.
"Alangkah kejam dan jahatnya wanita itu."
"Karena itulah aku dan teman-teman selalu memasang mata mencarinya. Awas dia kalau terjatuh ke dalam tangan Pek-Lian-Pai!"
Karena berjalan sambil bercakap-cakap, tak terasa lagi mereka sudah sampai di lereng Hoa-San. Tan Hok lalu menyuruh anak itu melanjutkan perjalanannya.
"Kau terus mengikuti jalan kecil ini dan di dekat puncak sana itulah bangunan dari Hoa-San-Pai. Mulai dari sini tidak akan ada yang berani mengganggumu lagi. Aku harus kembali kepada teman-temanku. Adik Beng San, selamat berpisah dan mudah-mudahan kelak kita akan bertemu kembali."
Beng San memberi hormat.
"Tan-twa-ko, siapa tahu kelak aku pun akan dapat membantumu."
Mereka berpisah dan dengan cerita-cerita Tan Hok masih terbayang dalam benaknya, Beng San mendaki puncak Hoa-San. Akan tetapi segera bayangan ini lenyap ketika dia melihat pemandangan alam yang amat indah dari puncak Hoa-San itu. Hawa udara pun amat segarnya. la menghirup hawa sebanyaknya dan merasa bahwa dia akan betah tinggal di daerah ini.
Sudah amat lama kita meninggalkan Kwa Hong, gadis cilik putera tunggal Kwa Tin Siong, bocah mungil yang lincah gembira itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwa Hong diantar oleh Koai Atong menuju ke Hoa-San-Pai menyusul Ayahnya. Koai Atong biarpun usianya sudah sebaya dengan Kwa Tin Siong, kurang lebih empat puluh tahun, namun orang ini memang tidak normal jiwanya dan wataknya kadang-kadang atau sering kali seperti seorang kanak-kanak sebaya Kwa Hong. Oleh karena wataknya inilah maka Kwa Hong merasa senang sekali melakukan perjalanan bersama seorang teman yang cocok dan baik lagi lucu. Di samping ini, juga kelihaian Koai Atong merupakan jaminan bagi keselamatannya.
Seperti juga di Partai-Partai persilatan besar seperti Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai, Siauw-Lim-Pai dan lain-lain, juga di puncak Hoa-San ini Hoa-San-Pai merupakan pusat yang ditempati oleh banyak anak murid Hoa-San-Pai. Mereka ini adalah Tosu-Tosu yang selain mempelajari ilmu silat sekedarnya, terutama sekali mempelajari ilmu kebatinan yang diturunkan oleh Nabi Locu. Di bawah bimbingan Lian Bu Tojin Ketua Hoa-San-Pai, para Tosu ini rata-rata memiliki kesabaran besar dan dapat menjaga nama baik Hoa-San-Pai sebagai orang-orang beribadat. Kedatangan Kwa Hong menggirangkan para Tosu yang menjaga di luar. Mereka ini tentu saja mengenal baik puteri tunggal Kwa Tin Siong yang seringkali mengajak anaknya mengunjungi Hoa-San. Akan tetapi para Tosu ini pun terheran-heran melihat orang yang datang bersama Kwa Hong, seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh tahun akan tetapi cengar-cengir dan ikut berlari-larian di samping Kwa Hong seorang anak kecil!
"Supek (Uwa Guru) sekalian! Aku datang menyusul Ayah. Di mana Ayah dan Bibi Guru?"
Datang-datang Kwa Hong berteriak-teriak kepada para Tosu itu. Tiga orang tua menghampiri Kwa Hong sambil tersenyum,
"Ayahmu dan Bibi Gurumu tidak berada di sini, belum kembali. Kau baik segera pergi menghadap Kakek Gurumu, Hong Hong."
Para Tosu itu biasa memanggil Kwa Hong dengan sebutan Hong Hong dan mereka amat menyayang bocah yang mungil dan selalu gembira ini. Memang, di antara para cucu murid Lian Bu Tojin, hanya Kwa Hong yang paling sering berdiam di puncak itu karena ia amat dimanja Ayahnya dan sering kali ikut pergi mengembara dengan Ayahnya. Sambil berlari dan tertawa-tawa Kwa Hong hendak memasuki bangunan besar yang berbentuk Kelenteng untuk menghadap Sukongnya (Kakek Gurunya).
"Enci Hong, jangan tinggalkan aku! Aku ikut!"
Koai Atong juga lari mengejar.
"Hong Hong, kenapa kau bawa-bawa orang tolol ini? Eh, orang gila, jangan kurang ajar kau. Tidak boleh masuk!"
Tiga orang Tosu itu tentu saja hendak melarang Koai Atong yang seenaknya saja hendak memasuki Kelenteng itu. Mereka melangkah maju menghadang dan membentangkan kedua lengan menghalanginya.
"Aku mau ikut Enci Hong... melihat-lihat Kelenteng!"
Koai Atong membantah dan lari terus. Tiga orang Tosu itu menggerakkan tangan untuk memegangnya. Koai Atong bergerak aneh dan... tahu-tahu dia telah dapat menyelinap masuk, lolos dari tangkapan tiga orang Tosu itu. Tentu saja tiga orang Tosu ini saling pandang dengan mulut melongo. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan Koai Atong, tidak tahu bagaimana orang itu dapat meluputkan diri dari cengkeraman tiga orang dan tahu-tahu sudah menyelonong masuk. Dari heran mereka menjadi malu dan marah.
"Otak miring, perlahan jalan. Kau tidak boleh masuk!"
Bentak mereka sambil lari mengejar. Sekarang mereka mengambil keputusan untuk tidak bersikap lemah lagi, kalau perlu orang gila itu harus dipukul. Akan tetapi ketika mereka maju untuk mencengkeram dan memukul, tanpa menoleh Koai Atong menggerakan kedua lengannya ke belakang. Sekaligus dia menangkis tangan tiga orang Tosu itu dan... tiga orang Tosu itu terjengkang dan roboh! Hal ini terlihat oleh beberapa orang Tosu lain. Mereka menjadi marah dan bersama tiga orang Tosu pertama yang sudah bangun lagi, sekarang ada tujuh orang Tosu mengejar Koai Atong dengan marah-marah. Tosu-Tosu ini serentak berhenti mengejar ketika mendengar suara halus dari dalam Kelenteng,
"Jangan ganggu dia. Biarkan Koai Atong masuk ke dalam!"
Itulah suara Lian Bu Tojin Ketua Hoa-San-Pai. Tentu saja para Tosu itu tak berani membantah, apalagi setelah mendengar bahwa orang tua yang seperti berotak miring itu adalah Koai Atong seorang kang-ouw yang sudah pernah mereka dengar namanya sebagai seorang yang berilmu tinggi akan tetapi yang berwatak seperti bocah! Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas ketika Koai Atong yang mendengar suara Lian Bu Tojin itu kini menoleh kepada mereka, menyeringai dan meleletkan lidah seperti seorang anak nakal mengejek anak-anak lain! Satu-satunya orang yang agak ditakuti oleh Kwa Hong adalah Lian Bu Tojin.
Kakek Gurunya ini orangnya sabar sekali, bicaranya halus dan tidak pernah bersikap galak. Akan tetapi bagi Kwa Hong, pandang mata Kakek Gurunya itu amat tajam dan langsung menjenguk isi hati orang,
(Lanjut ke Jilid 11)
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
kadang-kadang berkilat dan membuat hatinya mengkeret. Maka sekarang ia berlutut dengan hormat di depan Kakek Gurunya yang duduk bersila di atas lantai bertilam kasur tipis. Koai Atong yang memasuki ruangan itu sambil celingukan dan pringas-pringis, setelah melihat Kakek yang berjenggot panjang itu, segera pula menjatuhkan diri berlutut di sebelah Kwa Hong. Lian Bu Tojin mengelus-elus jenggotnya yang panjang, tubuhnya yang tinggi kurus itu duduk bersila tegak, tongkat bambunya yang membuat namanya amat terkenal itu terletak di sebelah kirinya. Bibirnya tersenyum dan dia mengangguk-angguk senang.
"Bagus, Hong Hong, kau Sudah datang. Eh, Koai Atong, terima kasih atas jerih payahmu mengantar dia ke sini. Bagaimana dengan Gurumu?"
Koai Atong mengangkat muka memandang.
"Suhu... entah di mana sekarang. Teecu mohon Totiang suka mintakan maaf kepada Suhu kalau kelak Suhu marah dan menghajar Teecu. Tidak mestinya Teecu sampai ke Hoa-San."
Dengan sabar Lian Bu Tojin mengangguk-angguk.
"Tentu saja, jangan kau khawatir. Gurumu Giam Kong Hwesio tak akan marah apabila dia tahu bahwa kau mengantar cucu muridku ke sini, Kalau kau kembali dan bertemu padanya, sampaikan salamku kepadanya."
Koai Atong hanya mengangguk-angguk. Kwa Hong ingin sekali bertanya tentang Ayahnya kepada Kakek Gurunya itu, akan tetapi di depan Kakek itu, entah mengapa, mulutnya sukar dibuka. Kakek yang sudah kenyang makan asam garam penghidupan itu, sekali pandang saja dapat menduga apa yang dipikirkan Kwa Hong.
"Hong Hong, Ayahmu bersama kedua Susiok dan sukouwmu pergi turun gunung. Kurasa tak lama lagi, dalam beberapa hari ini akan datang. Di belakang sana ada saudara-saudaramu, anak-anak dari kedua Susiokmu. Kau ke sanalah bermain dengan mereka."
Wajah Kwa Hong tiba-tiba berseri gembira.
"Enci Bwee di situ?"
Ketika Kakek itu mengangguk, Kwa Hong lalu bangkit dan lari ke belakang nnelalui pintu samping. Koai Atong yang masih berlutut, memandang ke arah larinya Kwa Hong, kemudian ia berkata.
"Totiang, perkenankan Teecu bermain-main di sini selama beberapa hari dengan Enci Hong."
Lian Bu Tojin tersenyum akan tetapi suaranya tegas ketika berkata.
"Atong, kau boleh bermain-main dengan anak-anak itu di sini selama tiga hari. Tak boleh lebih dari tiga hari. Suhumu tentu akan menanti-nanti kembalimu."
Sambil mengangguk-angguk Koai Atong lalu berlari gembira mengejar Kwa Hong yang pergi menuju ke taman Bunga di belakang Kelenteng. Setibanya di taman, Bunga yang luas dan indah itu, Koai Atong melihat Kwa Hong sedang bercakap-cakap gembira dengan tiga orang anak lain, yaitu dua orang anak laki-laki yang tampan dan seorang anak perempuan yang cantik seperti Kwa Hong. Biarpun Kwa Hong tampak yang paling muda di antara mereka, namun jelas bahwa tiga orang anak-anak lain itu mengagumi dan menghormatnya, terlihat dari cara mereka itu mendengarkan kata-kata Kwa Hong yang sedang menyombongkan semua pengalamannya yang hebat-hebat,
Tentu saja dengan tambahan di sana-sini, agar lebih serem dan menarik. Seperti kita telah ketahui, tiga orang anak itu bukan lain adalah Thio Ki dan Thio Bwee, putera-puteri Thio Wan It, dan yang seorang lagi adalah Kui Lok putera tunggal Kui Teng. Tiga orang anak itu masih berada di Hoa-San menanti orang tua mereka sambil memperdalam ilmu silat di bawah asuhan Lian Bu Tojin sendiri. Oleh karena Kwa Hong adalah puteri dari orang pertama dari Hoa-San Sie-Eng, apalagi karena memang Kwa Hong lebih sering dan lebih banyak merantau daripada mereka, ditambah lagi sifat yang lincah gembira, membuat tiga orang anak itu amat mengagumi Kwa Hong. Tiba-tiba Kui Lok menudingkan telunjuknya ke arah seorang yang berlari-lari memasuki taman.
"Eh, dari mana datangnya orang gila?"
Semua anak menoleh dan melihat seorang laki-laki tinggi besar berlari datang sambil tertawa-tawa. Pakaian dan sepatu laki-laki tinggi besar ini berkembang-kembang seperti yang biasa dipakai wanita. Tentu saja dia ini adalah Koai Atong yang amat gembira mellhat taman Bunga begitu indah dan di situ terdapat banyak teman bermain pula. Kwa Hong tertawa.
"Dia bukan orang gila. Dia itulah Koai Atong yang baru saja kuceritakan tadi. Dia lihai bukan main, orangnya lucu dan pandai bermain-main. He, Koai Atong, ke sinilah. Banyak teman di sini!"
Sambil berloncat-loncatan Koai Atong mempercepat larinya, congklang seperti seekor kuda besar.
"Wah, Enci Hong. Aku senang di sini, banyak Bunga indah. Tosu tua itu sudah memberi ijin kepadaku tinggal di sini selama tiga hari. Hore, kita bisa bermain-main sepuasnya!"
Thio Ki dan Kui Lok memandang dengan kening berkerut, sedangkan Thio Bwee memandang dengan perasaan agak ngeri dan jijik. Bagaimana mereka bisa bermain-main dengan seorang gila seperti ini? Tanpa mempedulikan sikap tiga orang anak yang lain itu, Kwa Hong berkata gembira kepada Koai Atong,
"Eh, Atong, kau berkenalan dulu dengan teman-teman ini yang semua adalah orang-orang sendiri."
Dia menyebut nama tiga orang anak itu seorang demi seorang. Dengan sepasang matanya yang berputaran, Koai Atong memandang tiga orang anak itu seorang demi seorang. Thio Bwee sampai melangkah mundur setindak saking ngerinya.
"Masa orang tua bermain-main dengan anak-anak?"
Thio Ki mencela sambil memandang tajam kepada Koai Atong. la tidak percaya kepada orang tinggi besar ini yang menurut pandangannya tentu bukan orang baik-baik.
"Benar, Ki-Ko (Kakak Ki). Aku pun tidak sudi bermain-main dengan dia. Iiihhh, Kakek-Kakek mau bermain dengan anak kecil!"
Thio Bwee memperkuat pendapat Kakaknya. Akan tetapi Kui Lok tiba-tiba berkata Sambil memandang Kwa Hong,
"Kalau Adik Hong sudah menjadi temannya, mengapa kita tidak? Koai Atong, aku suka bermain-main denganmu."
Thio Bwee menoleh kepada Kui Lok. Sepasang matanya berapi. Biasanya anak ini pendiam, akan tetapi entah mengapa, ia agaknya marah sekali kepada Kui Lok.
"Kau memang selalu lain daripada orang lain. Tidak hanya tangan, juga pikiranmu!"
Wajah Kui Lok menjadi merah mendengar sindiran ini. la maklum bahwa Thio Bwee menyindir tangannya yang kidal. Kwa Hong tertawa, sama sekali tidak marah karena temannya dicela.
"Dulu pun aku tidak suka, akan tetapi setelah melihat betapa lihainya Koai Atong, dan betapa dia baik hati dan penurut, aku menjadi suka padanya. Hemmm, kalian ini bertiga menghadapi tangan kirinya saja tak akan mampu mengalahkannya. Dia lihai sekali, mungkin tidak kalah oleh Ayah kalian."
"Bohong...,...!"
Seru Thio Bwee marah,
"Aku tidak percaya...!"
Kata Thio Ki penasaran. Kui Lok juga terpukul oleh ucapan Kwa Hong itu. la ragu-ragu, mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala.
"Ah, agaknya tak mungkin..."
Akhirnya dia berkata.
"Kalian tidak percaya? Kurasa, dua orang Ayah kalian maju bersama masih tidak mampu melawan Koai Atong. Kalian tahu? Dia pernah menolong Ayah dan Bibi Guru. Hebat sekali. Penjahat-penjahat lihai dia kalahkan hanya dengan memutar-mutar tangan kiri seperti ini..."
Dengan lincah dan lucu Kwa Hong lalu memutar-mutar tangan kiri beberapa lama sambil menggigit bibir, kemudian sambil berseru.
"Mati...!"
Tangan kirinya itu mendorong ke depan ke arah batang pohon besar yang tumbuh di situ. Beberapa helai daun pohon gugur dari tangkainya.
"Ah, Enci Hong, kurang tenaga... kurang tenaga...! Gerakanmu sudah cukup indah, tapi pukulan itu belum mengandung tenaga. Lihat begini Iho!"
Koai Atong lalu memutar-mutar tangan kirinya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, menggerakkan tangan itu perlahan kedepan, ke arah pohon yang tadi. Hebat sekali akibatnya. Pohon yang jaraknya antara dua meter dari tempat dia berdiri, tidak kelihatan goyang akan tetapi tiba-tiba semua daunnya rontok dari atas seperti hujan. Ketika semua anak memandang, ternyata bahwa pohon itu tiba-tiba menjadi gundul tak berdaun lagi! Kwa Hong tersenyum girang dan bangga ketika melihat betapa Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok memandang dengan muka pucat. Bahkan Kui Lok meleletkan lidahnya saking heran dan kagumnya!
"Nah, bukankah dia hebat dan lucu?, Kalau kalian berbaik kepadanya, kalian juga bisa mempelajari ilmunya, seperti aku. Kelak kita akan menjadi orang-orang yang lebih lihai daripada Ayah. Bukankah hebat?"
Kata pula Kwa Hong.
"Heee, siapa bikin rontok semua daun pohon itu? Celaka, pohon itu akan mati!"
Seruan ini dibarengi munculnya tiga orang Tosu dari pintu taman. Ketika tiga orang Tosu itu melihat Koai Atong, mereka makin marah. Mereka ini bukan lain adalah Tosu-Tosu yang tadi telah dirobohkan Koai Atong. Seorang diantara mereka, yang matanya juling, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya ke arah Koai Atong sambil membentak.
"Orang gila ini berada di sini? Hong Hong, jangan biarkan dia di sini. Tentu dia yang merusak pohon itu. Ah, celaka, Hoa-San-Pai kedatangan iblis gila!"
Kwa Hong melihat Koai Atong cengar-cengir dan mengejek ke arah tiga orang Tosu itu dengan mulut dan mata dimain-mainkan, matanya melotot plerak-plerok dan mulutnya kadang-kadang dipencas-penceskan atau lidahnya dikeluarkan dan diulur ke arah tiga orang Tosu itu. Sambil menahan ketawanya melihat "Kenakalan"
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Koai Atong, Kwa Hong cepat berkata,
"Sam-wi Supek (Uwa guru Bertiga) harap jangan marah. Koai Atong sudah mendapat perkenan Sukong (Kakek Guru) untuk bermain-main di sini selama tiga hari."
Tiga orang Tosu itu cemberut dan. bersungut-sungut,
"Orang gila diperbolehkan mengacau taman, merusak Bunga dan merusak watak anak-anak. Celaka...! Biarlah, Pinto (aku) akan berdoa selama tiga hari kepada para dewa agar supaya dia dikutuk...!"
Kata Tosu bermata juling sambil mengajak teman-temannya. pergi. Setelah menyaksikan kelihaian Koai Atong, di dalam hati tiga orang anak itu timbul keinginan hendak mempelajari ilmu pukulan tadi.
"Koai Atong, kau memang lihai. Ajarkan ilmu pukulan tadi kepadaku!"
Kata Kui Lok mendekati.
"Kami pun ingin mempelajarinya,"
Kata Thio Ki dengan sikapnya yang masih angkuh. Thio Bwee diam saja akan tetapi diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau semua orang mempelajari, iapun tak akan ketinggalan. Melihat betapa anak-anak itu semua sekarang suka kepadanya, Koai Atong menjadi gembira sekali. Memang dia sudah tua, namun jiwanya memang tidak normal, sifatnya seperti kanak-kahak yang tentu saja merasa bangga dan suka apabila anak-anak lain kagum kepadanya, Ia tertawa-tawa dan berkata.
"Mau belajar? Boleh, boleh, akan tetapi tidak mudah. Biarlah kita pergunakan pohon-pohon di taman ini sebagai lawan dalam latihan. Lihatlah baik-baik bagaimana gerakan tangan kiri, di mana letaknya tangan kanan dan bagaimana kedudukannya kedua kaki. Begini."
Koai Atong lalu memberi petunjuk yang diturut oleh tiga orang anak itu. Mula-mula Thio Bwee masih malu-malu, akan tetapi kemudian melihat betapa Kwa Hong juga memberi petunjuk-petunjuk, ia menjadi tertarik dan ikut-ikut juga.
"Sudah bagus, sudah baik. Kalian cucu-cucu murid Hoa-San-Pai memang berbakat,"
Kata Koai Atong senang.
"Sekarang mari coba memukul pohon-pohon itu. Kalian lihat baik-baik."
Koai Atong menghampiri sebatang pohon besar dan dengan sepenuh tenaga dia mendorong dengan gerakan pukulan Jing-Tok-Ciang. Akan tetapi pada saat itu, dari belakang pohon berkelebat bayangan orang dan di situ telah berdiri Lian Bu Tojin, tangan kiri memegang tongkat bambunya sedangkan tangan kanannya diluruskan untuk menyambut dorongan tangan kiri Koai Atong.
"Atong, jangan merusak pohon..."
Kata Tosu tua itu. Koai Atong yang berwatak akanak-kanak itu pada dasarnya bukanlah dari kalangan baik-baik, maka setiap kali dia dilawan, dia tentu akan mempergunakan kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Maka begitu dia merasa betapa pukulannya Jing-Tok-Ciang disambut oleh tangan Kakek itu, dia mengerahkan tenaga dan melanjutkan pukulan itu dengan dorongan maut yang penuh hawa Jing-Tok-Ciang (Racun Hijau). Kedua tangan itu bertemu dan lengket. Tangan kiri Koai Atong berubah kehijauan.
Akan tetapi Lian Bu Tojin hanya berdiri tersenyum sambil memandang tajam. la maklum akan watak seorang seperti Koai Atong yang tentu tidak jauh dengan watak guru anak tua ini, teman baiknya, Ban-Tok-Sim Giam Kong. Dari julukannya saja, Ban-tok-sim berarti Hati Selaksa Racun. Dapat dibayangkan bagaimana watak guru Koai Atong. Kwa Hong dan teman-temannya adalah anak-anak dari para ahli silat Hoa-San-Pai. Sebagai anak-anak yang semenjak kecil kenal akan seluk-beluk persilatan tingkat tinggi, tentu saja mereka tahu apa yang sedang terjadi antara Koai Atong dan Sukong (Kakek Guru) mereka, yakni adu kepandaian atau lebih tepat adu tenaga dalam. Mereka memandang dengan muka berubah dan mata bersinar-sinar. Ada dua menit Koai Atong dan Ketua Hoa-San-Pai itu berdiri tegak sambil meluruskan tangan. Akhirnya Lian Bu Tojin berkata perlahan.
"Koai Atong, kau sudah maju banyak."
Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuh Koai Atong terdorong ke belakang sampai lima langkah tanpa dapat dicegahnya Jagi. Mukanya menjadi merah sekali dan tiba-tiba Koai Atong mengeluarkan anak panahnya yang berwarna hijau. Inilah senjatanya yang ampuh dan hebat. Lian Bu Tojin melihat ini lalu tertawa. Tentu saja dia tidak bisa menganggap murid temannya ini sebagai musuh atau lawan yang seimbang.
"Aha, Atong, kau hendak memperlihatkan ilmu Silat anak panah? Silahkan, silahkan, biar kau nanti dapat melapor kepada Gurumu bahwa Ketua Hoa-San-Pai biarpun sudah tua belum lemah benar..."
Ucapan ini merupakan perkenan bagi Koai Atong yang tadinya masih ragu-ragu untuk menyerang Kakek itu. Tiba-tiba dia berseru keras dan tubuhnya berkelebat ke depan.
Sekaligus anak panah di tangannya sudah melakukan serangan susul-menyusul sampai delapan kali banyaknya. Anak panah itu berubah menjadi segulung sinar hijau menyambar-nyambar ke arah diri Kakek itu. Kwa Hong dan teman-temannya memandang penuh kekhawatiran. Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan tenang menggerakkan tongkat bambunya. Terdengar bunyi keras delaparn kali ketika anak panah itu selalu terbentur tongkat bambu ke manapun juga digerakkan. Memang ilmu pedang Hoa-San-Pai amat hebat. Jelas kelihatan oleh Kwa Hong dan teman-temannya bahwa Kakek Gurunya itu hanya mainkan jurus Tian-Mo Po-In (Payung Kilat Sapu Awan) dari Ilmu Pedang Hoa-San Kiam-Hoat. Akan tetapi cara pergerakannya sedemikian sempurnanya sehingga delapan macam serangan dari Koai Atong dapat digagalkan! Kemudian terdengar seruan perlahan dari Kakek itu.
"Koai Atong, jagalah Jurus dari Hoa-San ini."
Tongkat bambu bergerak perlahan dan... anak panah terlepas dari tangan Koai Atong, terlempar keatas. Namun Koai Atong memperlihatkan kelihaiannya. la dapat menggulingkan tubuh melepaskan diri daripada lingkaran tongkat bambu, kemudian tubuhnya melesat ke atas dan tahu-tahu anak panah sudah dipegangnya lagi. la mengeluarkan suara seperti orang menangis kemudian... dia lari tunggang-langgang meninggalkan taman seperti seorang anak kecil nakal melarikan diri karena takut mendapat hukuman. Lian Bu Tojin tertawa dan mengerahkan Khikang berkata ke arah larinya Koai Atong,
"Atong, sampaikan salamku kepada Gurumu Giam Kong!"
Setelah Koai Atong pergi, Kakek ini berubah mukanya. Kini keren dan sungguh-sungguh. la menghadapi Kwa Hong dan teman-temannya, lalu terdengar Kakek ini berkata, suaranya menahan kemarahan.
"Kwa Hong, bagaimana bunyi larangan ke tiga dari Hoa-San-Pai?"
Berubah wajah Kwa Hong, agak pucat. Kalau Kakek Gurunya sudah memanggil namanya dengan penuh, tidak Hong Hong seperti biasanya, itu dapat diartikan bahwa Kakek Gurunya benar-benar marah. Setelah menjura ia berkata sambil menundukkan muka,
"Larangan ke tiga berbunyi : Setiap orang murid Hoa-San-Pai tidak boleh mempelajari ilmu silat dari luar Hoa-San-Pai tanpa seijin Gurunya.
"Hemmm, baik kau masih ingat. Tapi, kenapa kau tadi mempelajari Jing-Tok-Ciang yang amat keji itu dari Koai Atong?"
Suara Tosu tua itu makin marah kedengarannya membuat Kwa Hong kaget dan takut sekali. la memang paling takut kepada Kakek Gurunya ini. Akan tetapi ia pun merasa heran mengapa orang tua ini marah-marah, padahal biasanya amat sabar.
"Saya... saya mengaku salah, Sukong. Siap menerima hukuman!"
Anak perempuan ini menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek Gurunya. Tiga orang anak yang lain melihat ini menjadi ketakutan dan mereka pun serta-merta menjatuhkan diri berlutut dlan berkata hampir berbareng.
"Teecu juga mengaku salah dan siap menerima hukuman."
Melihat cucu-cucu muridnya berlutut menerima hukuman dan sikap anak-ketaatan akan peraturan Hoa-San-Pai, sikap yang memang sudah terkenal dari murid-murid Hoa-San-Pai.
"Kalian tahu,"
Katanya, suaranya masih keren.
"Apa hukuman bagi murid yang melanggar larangan ke tiga itu?"
Empat orang anak itu mengangguk.
"Si pelanggar harus membuang ilmu yang dipelajarinya di luar Hoa-San-Pai, kalau perlu badannya dirusak agar ilmu itu tak dapat dipergunakan. Baiknya kalian belum pandai mempergunakan Jing-Tok-Ciang, kalau sudah pandai, Pinto (Aku) tak akan segan-segan mematahkan tangan kiri kalian!"
Jelas tampak betapa empat orang anak itu pucat dan gemetar mendengar ini.
"Hong Hong, kelancanganmu belajar dari Koai Atong masih belum berbahaya kalau dibandingkan dengan perbuatanmu membujuk saudara-saudara seperguruan untuk mempelajarinya pula. Perbuatan itu buruk sekali."
Biarpun ia dimarahi, namun Kwa Hong yang cerdik menjadi lega mendengar cara Kakek itu menyebut namanya. Itu berarti bahwa Kakek Gurunya tidak marah lagi kepadanya.
"Teecu tidak membujuk, Sukong. Mereka memang suka mempelajari setelah melihat Koai Atong memukul pohon."
"Betul, Sukong. Teecu yang bersalah, ingin belajar, sama sekali tidak dibujuk oleh Adik Hong,"
Kata Kui Lok cepat-cepat.
"Teecu juga tidak dibujuk,"
Sambung Thio Ki. Thio Bwee diam saja, hanya melirik ke arah Kui Lok.
"Sudahlah,"
Kata Kakek itu.
"Kalian anak-anak harus ingat baik-baik. Sebetulnya bagi aku sendiri yang menjadi Ketua Hoa-San-Pai, mempelajari ilmu silat dari lain golongan bukanlah hal yang amat buruk. Akan tetapi mengapa diadakan peraturan dan larangan di Hoa-San-Pai? Bukan lain untuk menjaga dan mencegah anak-anak murid Hoa-San-Pai menyeleweng mempelajari ilmu yang sesat. Kalau sampai terjadi demikian, kalau sampai ada anak murid Hoa-San-Pai mempelajari ilmu yang sesat kemudian menyeleweng dan melakukan perbuatan jahat, bukankah hal itu akan merusak nama baik Hoa-San-Pai?"
"Sukong,"
Kata Kwa Hong yang sekarang sudah timbul keberaniannya.
"Apakah ilmu silat dari Koai Atong termasuk ilmu sesat?"
Kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya.
"Sesungguhnya, kalau mau berkata secara jujur, di dunia ini tidak ada ilmu yang sesat. Semua ilmu itu baik tergantung kepada si pemakai ilmu. Ilmu dapat menjadi baik kalau dipergunakan untuk kebajikan. Sebaliknya, biarpun ilmu yang amat bersih, apabila dipergunakan untuk kejahatan, dapat menjadi ilmu yang kotor dan buruk."
Empat orang anak itu saling pandang tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Sukong mereka. Kakek inipun maklum agaknya, maka sambil tersenyum dia berkata lagi,
"Biarlah kujelaskan. Misalnya ilmu Bun (Kesusastraan), siapa bilang bahwa ilmu membaca dan menulis ini bersifat buruk? Akan tetapi tetap saja baik buruknya tergantung daripada pemakai ilmu. Ilmu ini baik apabila pergunakan untuk membuat sajak-sajak indah, menuliskan ilmu-iimu yang tinggi dan sebagainya. Akan tetapi bukankah menjadi ilmu yang amat buruk dan jahat apabila dipergunakan orang untuk membuat surat-surat fitnah, membuat laporan-laporan palsu, dan lain-lain seperti yang sekarang ini sering kali dilakukan orang?"
Barulah Kwa Hong dan teman-temannya mengerti. Memang pada waktu itu, sebagian besar rakyat tidak pandai membaca menulis. Sepucuk surat fitnah saja cukup untuk mencabut nyawa seorang yang buta huruf. Apalagi di kota-kota besar dan terutama di Kota Raja, kepandaian menulis menjadi senjata yang lebih ampuh daripada selaksa pedang dan lebih jahat dan keji daripada Ular-Ular berbisa.
"Nah, jelaskah sekarang? Baru ilmu menulis saja sudah begitu jahat, apalagi ilmu silat. Aku tidak mau bilang bahwa ilmu yang diajarkan oleh Koai Atong itu jahat, akan tetapi sifat daripada Jing-Tok-Ciang amatlah berbahaya. Ilmu pukulan itu tidak ada ampunnya, sekali dipergunakan, kalau yang menerima kurang kuat, bisa merenggut nyawa. Kalau tadi aku tidak kuat menahan pukulannya, apakah sekarang aku tidak sudah menggeletak mampus? Ha-ha-ha!"
Kwa Hong dan teman-temannya bergidik dan baru terbuka mata mereka akan perbedaan ilmu silat Hoa-San-Pai dan Ilmu Jing-Tok-Ciang. Dari kata-kata Kakek Gurunya itu mereka tahu bahwa sebetulnya ilmu silat Hoa-San-Pai tidak usah kalah oleh Jing-Tok-Ciang, sungguhpun Jing-Tok-Ciang kelihatan luar biasa dan mujijat.
"Kalian yang tekun belajar ilmu silat kita sendiri, yang rajin berlatih. Kalau ilmu silat kalian sudah mencapai tingkat setaraf dengan tingkat Koai Atong, kalian tak akan kalah olehnya."
Kakek ini menarik napas panjang dan berkata lagi, perlahan seperti pada diri sendiri.
"Sayangnya... sampai sekarang tidak ada tulang cukup baik untuk menjadi ahli waris Hoa-San-Pai... yang sebaik Koai Atong saja tidak ada..."
Setelah berkata demikian, dengan muka sedih Kakek ini meninggalkan taman. Terbangkit semangat Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok mendengar wejangan-wejangan Lian Bu Tojin tadi. Mereka lalu berlatih dengan giat, setiap saat mereka berempat dapat terlihat berlatih silat di dalam taman atau di Lian-Bu-Thia (ruang berlatih silat) di bawah petunjuk Lian Bu Tojin sendiri. Tentu saja di dalam beberapa bulan mereka mendapatkan kemajuan yang luar biasa. Dengan adanya teman-teman berlatih, mereka seakan-akan berlomba untuk melebihi temannya dan hal ini pula yang mempercepat kemajuan mereka.
Akan tetapi, terjadi keganjilan yang menyolok. Hal ini hanya dapat diketahui oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Anak-anak perempuan tentu saja lebih halus perasaannya dan tahu membedakan sikap anak laki-laki. Baik Kwa Hong maupun Thio Bwee dapat melihat bahwa selain berlumba dalam latihan, agaknya antara Thio Ki dan Kui Lok juga ada lain perlombaan lagi, yaitu berlomba menyenangkan atau merebut perhatian Kwa Hong, si gadis cilik yang lincah gembira, bermata bintang dan agak galak itu! Kwa Hong menghadapi kenyataan ini dengan bangga dan sikapnya menjadi makin manja, tinggi hati, dan agaknya mempermainkan dua orang anak laki-laki itu. Sebaliknya, Thio Bwee yang pendiam, hanya sering nampak murung kalau melihat Kui Lok bermain-main dengan sikap bermuka-muka di depan Kwa Hong, mencarikan Bunga, mernbuat mainan dari rumput dan lain-lain.
Waktu berlalu cepat. Anak-anak itu ditinggal orang tua mereka di puncak Hoa-San-Pai sudah ada empat bulan lebih. Ketika Hoa-San Sie-Eng datang ke puncak Hoa-San, anak-anak itu merasa gembira, akan tetapi ternyata bahwa orang tua mereka itu masih belum mau meninggalkan Hoa-San. Kwa Tin Siong dan tiga orang adik seperguruannya menceritakan kepada Lian Bu Tojin tentang pertemukan mereka dengan dua orang saudara Bun, malah memberitahukan pula bahwa Kun-Lun Sam-Hengte akan datang ke Hoa-San dalam waktu lima bulan lagi. Lian Bu Tojin rnengelus jenggot dan menggeleng kepala.
"Tidak disangka sama sekali akan terjadi hal yang begini tak menyenangkan,"
Katanya.
"Selama puluhan tahun, hubunganku dengan Pek Gan Siansu Ketua Kun-Lun-Pai adalah hubungan saudara. Malah kami ingin mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kami. Siapa tahu malah malapetaka timbul karena ini."
Dengan air mata berlinang Sian Hwa berkata,
"Ampunkan Teecu Suhu. Teecu telah menimbulkan kedukaan di hati Suhu, akan tetapi... apakah daya Teecu? Ayah Teecu dibunuh oleh... oleh... keparat itu..."
Lian Bu Tojin mengangkat tangannya.
"Kau tidak salah Sian Hwa, kau tidak salah. Malah Pinto yang sebetulnya merasa berdosa. Pinto yang menjodohkan kau dengan murid Kun-Lun-Pai, siapa tahu..."
Kakek itu berulang kali menarik napas panjang.
"Persoalan ini tentu akan segera dibikin terang setelah Kun-Lun Sam-Hengte tiba di sini lima bulan lagi, Suhu. Kwa Tin Siong menghibur.
"Biarlah lima bulan lagi Teecu bersama datang lagi dan berkumpul di sini untuk menghadapi murid-murid Kun-Lun-Pai."
"Kalian pulanglah, akan tetapi anak-anak itu biarkan di sini saja. Bukankah lima bulan lagi kalian datang? Aku ingin melihat sendiri kemajuan mereka, terutama membimbing watak mereka. Tin Siong dan kau, Wan It dan Kui Keng, tentu rela meninggalkan anak-anak kalian di sini untuk lima bulan lagi, bukan?"
"Tentu saja, Suhu. Malah Teecu menghanturkan banyak terima kasih bahwa Suhu sendiri berkenan membimbing mereka,"
Jawab tiga orang murid itu serempak.
"Suheng sekalian, jangan khawatir, aku berada di sini menemani mereka,"
Kata Sian Hwa. Makin gembira hati mereka, juga Lian Bu Tojin girang sekali mendengar bahwa Sian Hwa yang sudah tidak ada keluarga lagi itu hendak ikut menanti di Hoa-San selama lima bulan. Demikianlah, Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng turun dari Hoa-San untuk pulang ke rumah masing-masing sedangkan Sian Hwa tinggal di Hoa-San bersama murid-murid keponakannya. Gadis yang sedang menderita tekanan batin ini menghibur hatinya dengan melatih silat kepada keponakan-keponakannya. Agak terhiburlah hatinya melihat anak-anak yang gembira dan lincah itu. Apalagi terhadap Kwa Hong, Sian Hwa amat menyayangnya.
Pada waktu terjadi perang kecil antara serombongan orang Pek-Lian-Pai yang dipirnpin oleh Tan Hok melawan pasukan Mongol yang mengakibatkan musnahnya pasukan Mongol di kaki Gunung Hoa-San, beberapa orang Tosu Hoa-San-Pai melaporkan hal itu kepada Sian Hwa. Memang gadis ini dianggap orang yang paling pandai di antara para Tosu. Lian Bu Tojin sendiri sedang bersamadhi dan sama sekali tidak boleh diganggu, maka kepada Sian Hwa mereka itu menuturkan tentang perang di kaki gunung. Mendengar ini, dengan dikawani lima orang Tosu kepala yang sudah tinggi kepandaiannya, Sian Hwa lalu berlari turun dari puncak. Kepada anak-anak keponakannya ia berpesan agar supaya jangan meninggalkan taman dan bermain-main di dalam taman saja.
Kedatangan Sian Hwa dan lima orang Tosu di tempat pertempuran sudah terlambat. Tan Hok dan teman-temannya, termasuk Beng San, sudah lama meninggalkan tempat itu dikejar pasukan Mongol lain yang lebih besar jumlahnya dan yang seperti kita telah ketahui, dipancing untuk mengalami kehancuran di Pek-Tiok-Kok. Liem Sian Hwa hanya mendapatkan tanah yang baru digali, yaitu tempat dimana mayat-mayat serdadu Mongol dikubur oleh Beng San dan yang kemudian dibantu oleh Tan Hok dan teman-temannya. Melihat adanya sebuah bendera Pek-Lian-Pai di pohon, timbul kemarahan di hati Sian Hwa. Betapapun juga, Pek-Lian-Pai sekarang sudah menjadi musuh besarnya. Bukankah, Ayahnya terbunuh oleh orang Pek-Lian-Pai dan Kwee Sin? Saking marahnya, ia merenggutkan bendera itu dari pohon dan merobek-robeknya, Seorang Tosu mendekati dan berkata.
"Sumoi, kenapa kau merobek-robek bendera Pek-Lian-Pai itu? Bukankah itu bendera orang-orang yang melawan pasukan Mongol?"
"Pek-Lian-Pai perkumpulan orang-orang jahat! Kalau aku melihat mereka tadi di sini, akan kulawan dan kubasmi semua!"
Seru Sian Hwa dengan suara marah.
"Suheng sekalian apakah tidak ingat bahwa Ayahku terbunuh oleh paku Pek-Lian-Ting. milik Pek-Lian-Pai? Bagaimana aku tidak akan memusuhinya?"
"Bagus, bagus! Memang Pek-Lian-Pai jahat sekali, patut dibasmi! tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika Sian Hwa menengok, ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki muda yang tampan, selalu tersenyum dan pakaiannya indah sekali. Muka gadis itu seketika menjadi merah karena sinar mata pemuda ini amat tajam, bersinar-sinar tidak menyembunyikan kekagumannya ketika menatap kepadanya. Orang muda itu lalu memberi hormat, menjura sambil mengangkat kedua tangan dengan sikap yang halus sekali sehingga tiada kesempatan bagi Sian Hwa untuk marah.
"Maafkan saya, Nona. Saya Souw Kian Bi dan saya merasa sangat cocok dengan pendapat Nona tadi. Memang Pek-Lian-Pai adalah perkumpulan orang-orang jahat."
Liem Sian Hwa tak mungkin dapat marah terhadap orang yang bersikap manis dan hormat sungguhpun hatinya tidak senang melihat kelancangan orang ini. Terpaksa oleh sopan santun ia balas menjura dan berkata singkat.
"Saya tidak ada urusan dengan Tuan, ini juga tidak mengenal Tuan. Maafkan bahwa saya tidak sempat bercakap-cakap lebih lama lagi."
Nona ini membalikkan tubuh hendak pergi. Souw Kian Bi melangkah maju.
"Perlahan dulu, Nona. Apa salahnya kalau kita sekarang berkenalan? Apakah Nona anak murid Hoa-San-Pai?"
Lima orang Tosu yang mengawani Sian Hwa merasa tidak senang melihat ada seorang muda berani menegur Sumoi mereka. Dianggapnya pemuda itu kurang ajar. Seorang di antara para Tosu itu mencela.
"Sumoi tidak ada urusan denganmu, orang muda. Harap jangan mengganggu lebih jauh."
Sambil berkata demikian, Tosu itu menggerakkan tangan bajunya untuk mendorong orang muda itu minggir karena orang itu menghalangi jalan. Tentu saja dia mengerahkan tenaga untuk memperlihatkan kepandaian dan untuk menakut-nakuti orang muda itu. Orang muda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi ketika lengan baju itu mengenai dadanya, bukan pemuda itu yang terdorong, melainkan Tosu tadilah yang terpelanting. Tosu itu berseru kaget dan menjadi marah.
"Eh, kau mau main-main?"
Bentaknya sambil mencengkeram ke arah pundak.
"Suheng, jangan...!"
Sian Hwa memperingatkan Tosu itu karena gadis ini melihat bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, terbukti dari gerakan kakinya ketika terdorong tadi. Namun terlambat, tangan Tosu itu terpelanting. Hanya kali ini terpelanting keras sampai terbentur batu dan mengeluarkan darah. Empat orang Tosu yang lain menjadi marah sekali.
"Keparat, berani kau merobohkan saudara kami?"
Serentak empat orang Tosu ini menerjang pemuda tadi dengan pukulan-pukulan tangan.
Souw Kian Bi, pemuda aneh itu, hanya tersenyum saja tanpa menangkis, hanya rnenundukkan kepala untuk menghindarkan pukulan yang mengancam mukanya. Terjadi hal yang aneh sekali. Kepalan tangan empat orang Tosu itu dengan jelas kelihatan mengenai tubuh pemuda itu sampai terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi Tosu-Tosu itu berteriak kesakitan sambil memegangi tangan mereka yang sudah menjadi bengkak-bengkak. Mereka merasa seperti memukul baja, bukan badan orang! Sian Hwa tak dapat menahan kesabarannya lagi, karena di samping merasa heran sekali. Biarpun kepandaian empat orang Suhengnya belum tinggi benar, namun menerima pukulan dengan badan dari empat orang sekaligus seperti pemuda itu dan membuat si pemukul sendiri bengkak-bengkak tangannya, benar membuktikan bahwa pemuda itu berilmu tinggi. Tanpa ragu-ragu ia. lalu mencabut pedangnya, meloncat dekat dan membentak.
"Manusia sombong, berani kau bermain gila di depanku?"
La melintangkan pedang di dada lalu menantang.
"Hayo keluarkan senjatamu, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!"
Orang muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi itu tersenyum dan pandang matanya makin membayangkan kekaguman?
"Kau hebat, Nona, hebat sekali. Patut menjadi sahabat baikku. Cantik dan gagah perkasa, hemmm..."
Tentu saja muka Sian Hwa menjadi makin merah. Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak senang dipuji seorang laki-laki, terutama sekali dipuji akan kecantikannya. Demikian pula Sian Hwa. Akan tetapi di samping rasa senangnya ini, terdapat pula perasaan marah karena dianggapnya laki-laki itu kurang ajar.
"Siapa sudi menjadi sahabatmu? Hayo keluarkan senjatamu, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau habis kesabaranku..."
Souw Kian Bi tertawa, tampak barisan giginya yang putih dan rapi.
"Kau hendak main-main dengan pedang? O-ho, bagus sekali. Memang kurang mesra perkenalan kita kalau tidak melalui ujung senjata. Nah, aku sudah siap, kau perlihatkanlah ilmu pedangmu, Nona Manis."
Pemuda itu sekarang sudah memegang sebuah pedang yang amat indah karena gagang pedang itu dihias dengan batu-batu kumala.
Selain indah bentuknya pedang itu pun nampak amat tajam sampai berkilauan tertimpa cahaya matahari. Melihat lawannya sudah bersenjata, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi Sian Hwa segera menerjang maju dengan gerakannya yang amat lincah dan cepat. Sepasang pedang di kedua tangannya mengeluarkan suara mengaung ketika ia menghujani Souw Kian Bi dengah serangan-serangan maut. Sepasang pedang itu lenyap berubah menjadi dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, amat luar biasa dipandang. Souw Kian Bi mengeluarkan seruan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis itu. Cepat-cepat dia memutar senjatanya melindungi diri sehingga berkali-kali terdengar suara pedang bertemu pedang. Lima menit sudah Souw Kian Bi hanya menangkis dan melindungi diri saja, kemudian tiba-tiba dia meloncat ke belakang sambil berseru.
"Jadi Nona ini Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa, orang termuda dari Hoa-San Sie-Eng? Pantas begini lihai dan cantik!"
La tersenyum-senyum lagi, senyum memikat dengan sinar mata kagum. Kembali wajah Sian Hwa menjadi merah.
"Tak usah banyak cakap, kau sudah merobohkan lima orang Suhengku. Kau boleh coba merobohkan aku, baru patut menyombongkan diri!"
Kembali gadis ini menubruk maju sambil mainkan sepasang pedangnya. Souw Kian Bu cepat menangkis lagi sambil tertawa.
"Alangkah akan senangnya andaikata aku dapat merobohkanmu, Nona, merobohkan hatimu terutama sekali. Alangkah senangnya..."
"Keparat kurang ajar!"
Sian Hwa memperhebat serangannya dan kali ini Souw Kian Bi terpaksa mengeluarkan kepandaiannya untuk melindungi dirinya dari ancaman maut. Gadis itu merasa heran sekali ketika mendapat kenyataan bahwa orang muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi ini ternyata memiliki ilmu pedang yang amat aneh gerakannya, akan tetapi juga amat lihai. Semua serangannya dapat ditangkis dengan mudah, malah setiap kali pedangnya beradu dengan pedang lawannya, ia merasa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga dalam pemuda itu juga tidak kalah olehnya.
Diam-diam ia mengeluh dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. la akan rnerasa malu sekali kalau sampai kalah oleh pemuda ceriwis ini. Di lain pihak, Souw Kian Bi juga amat kagum menyaksikan ilrnu pedang gadis lawannya. Tidak percuma gadis ini dijuluki Kiam-Eng-Cu (Bayangan Pedang) dan menjadi orang termuda dari Hoa-San Sie-Eng yang ternama. Kesayangannya terhadap gadis ini yang tadinya timbul karena kecantikan Sian Hwa, menjadi bertambah-tambah. Kesayangan inilah yang membuat Souw Kian Bi tidak mau mempergunakan kepandaiannya untuk merobohkan Sian Hwa. Dia sengaja hendak membuat gadis ini roboh sendiri karena lelah dan di samping ini dia pun hendak memamerkan kepandaiannya agar betul-betul dapat merebut hati gadis cantik dan gagah ini.
Sementara itu, para Tosu yang telah roboh oleh Souw Kian Bi, menjadi makin khawatir menyaksikan betapa Sumoi mereka yang terkenal gagah itu pun belum berhasil merobohkan lawan itu dengan sepasang pedangnya. Diam-diam mereka lalu berunding, kemudian seorang di antara lima Tosu itu lari naik ke puncak untuk melaporkan hal itu kepada Lian Bu Tojin. Dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya Ketua Hoa-San-Pai itu, belum pernah ada anak murid Hoa-San-Pai yang berani mengganggunya di waktu dia sedang bersamadhi. Kali ini Tosu itu memaksa dia sadar dari Samadhinya dan menceritakan tentang serbuan seorang laki-laki muda yang kurang ajar dan lihai ilmu silatnya. Biarpun sedang marah, Tosu tua itu mengelus jenggotnya dan menahan napas untuk menekan kemarahan sehingga dia tenang dan sabar kembali.
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo