Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 13


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



Suara Hwesio itu makin keras. Tiba-tiba terdengar suara dari luar kemah,

   "Tai-Lek-Sin, tak perlu kau berteriak-teriak, Pinto (aku) sudah datang!"

   Suara ini lirih dan halus, akan tetapi terdengar dari dalam seolah-olah yang bicara berada di dalam ruangan itu.

   "Nah, itu dia Hoa-San-Pai Ciang-Bunjin (Ketua),"

   Bisik Souw Kian Bi, kini benar-benar dia ketakutan karena orang sudah bisa berada di luar kemah tanpa diketahui para penjaga, itu saja sudah membuktikan betapa lihainya orang yang datang ini. Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang menggerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pintu tenda. Angin pukulan menyambar dan pintu itu terbuka dengan sendirinya. la berkata sambil tertawa.

   "Ketua Hoa-San-Paikah yang datang? Harap masuk, pintu terbuka lebar-lebar!"

   Semua orang memandang ke pintu yang terbuka. Cuaca di luar remang-remang karena malam hanya diterangi bintang-bintang. Dengan tenang berjalanlah Kakek Ketua Hoa-San-Pai, Lian Bu Tojin, masuk sambil bersandar pada tongkatnya. Di belakangnya bukan hanya Liem Sian Hwa yang mengikutinya, melainkan lengkap dengan Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng. Ternyata? Hoa-San Sie-Eng sudah lengkap datang ke situ di belakang guru mereka! Bagaimana tiga orang murid Hoa-San-Pai itu dapat muncul di saat itu?

   Hal ini adalah suatu kebetulan belaka. Ketika Liem Sian Hwa dan kemudian Lian Bu Tojin melakukan pengejaran terhadap penculik Kwa Hong dan Thio Bwee, berlari turun dari puncak, di tengah jalan Sian Hwa dapat disusul Gurunya dan pada saat itulah munculnya Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng yang sedang menuju ke puncak. Tiga orang ini memang bersama datang untuk memenuhi-janji dengan pihak Kun-Lun-Pai yang akan datang di Hoa-San. Dengan singkat mereka mendengar dari Sian Hwa bahwa Kwa Hong dan Thio Bwee diculik orang, maka cepat-cepat mereka lalu beramai melakukan pengejaran. Demikianlah, sekarang Hoa-San Sie-Eng lengkap empat orang mengiringkan guru mereka memasuki perkemahan barisan Mongol yang bermarkas di tempat itu. Melihat Sian Hwa, putera pangeran itu memandang penuh kasih sayang dan tersenyum sambil berkata,

   "Nona Sian Hwa, alangkah gembira hatiku bahwa kau sudah sudi datang menjenguk tempat kediamanku..."

   Sian Hwa sudah gatal-gatal mulut hendak memaki, akan tetapi oleh karena Gurunya berada di situ, ia tidak berani membuka mulut mendahului Suhunya, melainkan memandang dengan mata melotot penuh kemarahan. Adapun Lian Bu Tojin ketika menyaksikan bahwa Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang berada di situ, segera berkata.

   "Siancai (seruan pendeta), kiranya Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang yang menjadi agul-agul di sini. Tidak heran jika manusia she Souw ini berani bersikap kurang ajar dan tidak memandang mata kepada Hoa-San-Pai..."

   Setelah berkata demikian dia mendekat ke arah Hwesio tinggi besar itu dan melanjutkan kata-katanya dengan suara berubah keren.

   "Tai-Lek-Sin, kalau kau dan teman-temanmu hendak memusuhi-Hoa-San-Pai, akulah orangnya yang bertanggung jawab. Kenapa manusia she Souw itu kau biarkan mengganggu dua orang cucu muridku?"

   Tai-Lek-Sin tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Lian Bu Tojin Tosu tua bangka. Pernahkah kau mendengar Tai-Lek-Sin manusia tiada guna seperti aku ini mengotorkan tangan mencampuri dunia? Hanya karena penjahat-penjahat meraja-lela, pemberontak-pemberontak macam Pek-Lian-Pai mengotori suasana dan mengganggu rakyat dan Pemerintah, terpaksa pinceng turun tangan. Hoa-San-Pai selamanya memiliki nama bersih, sayang sekali sekarang bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai, terpaksa pinceng tidak dapat menyalahkan Souw-Kongcu mengganggu cucu murid Hoa-San-Pai!"

   Lian Bu Tojin merasa dadanya panas sekali, akan tetapi Kakek ini masih dapat menyabarkan hati, suaranya tetap lemah lembut ketika dia berkata.

   "Bagus sekali sikapmu, Hwesio! Sudah terang-terangan bahwa kau menjadi begundal Pemerintah, hal itu bukanlah urusan pinto. Terserah siapa saja yang akan menjadi penjilat. Akan tetapi tuduhanmu bahwa Hoa-San-Pai bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai, sungguh tak berdasar samat sekali. Selamanya Hoa-San-Pai tak pernah sudi bersekongkol dengan siapa saja, apalagi dengan Pek-Lian-Pai..."

   "Fitnah bohong!"

   Tiba-tiba Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya.

   "Pek-Lian-Pai bahkan memusuhiku, membunuh Ayahku..."

   "Sian Hwa, diamlah kau."

   Lian Bu Tojin mencela muridnya yang segera diam dengan muka merah.

   "Pinceng tidak tahu urusannya, akan tetapi kalau hendak jelas biarlah Souw-Kongcu yang menerangkan."

   Hwesio itu kembali menghadapi hidangan di atas meja, makan minum tanpa pedulikan lagi orang-orang lain yang berada di situ. Para tamu itu kini menghadapi Souw Kian Bi yang berdiri sambil tersenyum tenang.

   "Totiang, aku hanya membawa dua orang anak cucu muridmu main-main di tempat kami yang indah ini dan kalian pihak Hoa-San-Pai sudah menyerbu datang dan mengatakan aku jahat. Sebaliknya, Hoa-San-Pai bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai para pemberontak itu, membunuh puluhan bahkan ratusan orang tentara Pemerintah yang bertugas menjaga keamanan. Manakah yang lebih jahat dan keji?"

   "Orang she Souw, tutup mulutmu yang busuk sebelum aku paksa kau menutupnya!"

   Tiba-tiba Thio Wan It yang terkenall berangasan membentak.

   "Kami dari Hoa-San-Pai tak pernah bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai!"

   Souw Kian Bi memandang sambil tersenyum mengejek,

   "Hemmm, kiranya tidak akan semudah kau membuka mulut untuk dapat menutup mulutku, Sobat. Sekarang dengarlah dulu. Banyak pasukan tentara Pemerintah terjebak dan tewas di kaki Gunung Hoa-San, di sekitar daerah yang dikuasai Hoa-San-Pai. Kalau bukan kalian orang-orang Hoa-San-Pai bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai, mana dapat terjadi hal itu?"

   "Kau boleh mengoceh dan berkata apa saja, pokoknya kami tak pernah berhubungan dengan Pek-Lian-Pai. Pendeknya lekas kau bebaskan puteriku, kalau tidak..."

   Kata Thio Wan It yang merasa khawatir sekali atas nasib anaknya, Thio Bwee.

   "Betul, bebaskan anak-anak kami jangan bersikap pengecut. Urusan boleh diurus, kalau perlu di ujung pedang, tapi jangan mengganggu anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa!"

   Baru kali ini Kwa Tin Siong berkata, suaranya tenang mantap dan matanya penuh ancaman. Akan tetapi Lian Bu Tojin berpikir lain. Sekarang Kakek ini mengerti bahwa orang she Souw itu ternyata adalah seorang yang penting dalam Pemerintah Mongol, maka amatlah tidak baik kalau Hoa-San-Pai tersangkut dalam urusan pemberontakan Pek-Lian-Pai. Andaikata Pek-Lian-Pai benar-benar merupakan perkumpulan Patriotik yang bersih, tentu saja. Hoa-San-Pai akan senang sekali menggabungkan diri.

   Akan tetapi pada waktu itu dia sendiri masih sangsi terhadap Pek-Lian-Pai yang seolah-olah sedang memusuhi Hoa-San-Pai, maka kurang baik kalau Hoa-San-Pai dianggap bersekongkol dengan Perkumpulan Teratai Putih itu. la lalu melangkah maju, menghalangi kedua pihak yang sudah panas. Kalau terjadi pertempuran, agaknya fihaknya akan mengalami kerugian, pikir Ketua Hoa-San-Pai ini. Dia sendiri mendapat lawan berat, yaitu Tai-Lek-Sin yang dia tahu tentu memiliki ilmu yang tak boleh dipandang ringan. Empat orang muridnya sungguhpun boleh diandalkan, akan tetapi bagaimana kalau mereka itu dikurung dan dikeroyok oleh ratusan orang tentara Mongol? Apalagi selain Souw Kian Bi, empat orang komandan dan yang duduk di situ pun agaknya bukan orang-orang lemah.

   "Tai-Lek-Sin, mengapa kau diam saja? Apakah sengaja kami dipancing datang hendak diajak bertanding? Ataukah berdamai? Apa maksud kalian memancing kami datang?"

   "Aku tidak tahu apa-apa. Bicaralah dengan Souw-Kongcu,"

   Jawab Hwesio itu sambil tertawa-tawa. Biarpun sungkan bicara dengan orang muda pesolek itu terpaksa Ketua Hoa-San-Pai menghadapinya.

   "Saudara Souw, katakanlah terang-terangan apa yang tersembunyi di balik segala perbuatanmu ini. Sudah jelas bahwa. kau menculik dua orang cucu muridku dengan maksud memancing kami datang. Nah, setelah kami datang, apa yang kau kehendaki?"

   Souw Kian Bi tetap tersenyum-senyum.

   "Senang sekali bercakap-cakap dengan Totiang yang lebih sabar dan luas pandangan,"

   Katanya melirik ke arah Hoa-San Sie-Eng yang marah-marah.

   "Ucapan seorang Ketua Hoa-San-Pai tentu saja kami dapat percaya penuh. Sesungguhnya bagaimanakah, Totiang, apakah tidak ada persekongkolan jahat antara Hoa-San-Pai dan Pek-Lian-Pai?"

   "Tidak ada sama sekali,"

   Jawab Kakek itu mendongkol.

   "Bagus, kalau begitu dugaan kami keliru dan kedua orang anak itu tentu saja harus dibebaskan sekarang juga. Akan tetapi, kami tetap akan ragu-ragu kalau Totiang tidak menyatakan janji lebih dulu. Totiang berjanji dan kami melepaskan dua orang anak kecil itu dan... beres?"

   Lian Bu Tojin mengerutkan alisnya. Bukan main licinnya orang muda ini, pikirnya. Licin berbahaya penuh tipu muslihat.

   "Janji apa yang kau kehendaki dari pinto?"

   "Janji bahwa Hoa-San-Pai tidak akan bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai untuk memusuhi-Pemerintah."

   LianBu Tojin tersenyum.

   "Baik. Pinto berjanji bahwa Hoa-San-Pai tak akan bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai untuk memusuhi-Pemerintah."

   Souw Kian Bi mengerutkan kening. Mengapa begini mudah Ketua ini berjanji? la memutar otak dan tiba-tiba dia berkata lagi,

   "Dan berjanji bahwa Hoa-San-Pai tak akan memusuhi-Pemerintah."

   "Orang she Souw, kenapa kau begini cerewet? Hoa-San-Pai sudah berjanji menuruti permintaanmu, berjanji tak akan bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai untuk memusuhi Pemerintah. Hanya sekian dan habis. Kalau kau terlalu mendesak, Pinto tak sudi berjanji lagi."

   

   "He, Souw-Kongcu. Tosu tua ini sudah berjanji tak akan bersekongkol dengan Pek lian-pai, bukankah itu sudah cukup? Hayo lekas keluarkan dua orang bocah perempuan itu,"

   Kata Tai-Lek-Sin dengan suara keras. Memang sesungguhnya inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan Mongol. Mereka amat khawatir kalau-kalau para Partai persilatan besar mengadakan kerja sama dengan Pek-Lian-Pai. Mereka berusaha sekuatnya untuk memisahkah Partai-Partai ini dari Pek-Lian-Pai agar kedudukan Pek-Lian-Pai kurang kuat, malah kalau mungkin memecah-mecah para Partai itu agar saling serang sendiri.

   Kalau sekarang Ketua Hoa-San-Pai berjanji tak akan bersekongkol dengan Pek-Lian-Pai, hal ini sudah merupakan sebuah kemenangan bagi Pemerintah. Souw Kian Bi bukan seorang bodoh, Bukan maksud Pemerintah untuk memusuhi setiap Partai persilatan, apalagi Partai sebesar Hoa-San-Pai yang kuat. Seorang musuh saja, Pek-Lian-Pai sudah cukup memusingkan, jangan sampai ditambah musuh ke dua. la harus mengorbankan perasaannya sendiri, biarpun dia ingin sekali kalau bisa menukar kedua orang tawanannya itu dengan nona Sian Hwa yang menggetarkan hatinya, atau setidaknya dia pun akan suka mendapatkan dua orang nona cilik itu untuk menghibur hatinya, namun kepentingan tugasnya harus dia dahulukan. Apalagi, kiranya bodoh sekali kalau main-main dengan Hoa-San-Pai! Sambil tertawa dia memberi perintah kepada seorang di antara para komandan pasukan.

   "Bawalah dua orang nona cilik itu ke sini."

   Komandan itu pergi dengan cepat, masuk ke perkemahan belakang. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan muka pucat dan suaranya gugup.

   "Celaka, Kongcu. Dua ekor Burung itu sudah terbang!"

   Souw Kian Bi membanting-banting kaki.

   "Apa kau bilang?"

   Cepat tubuhnya berkelebat dan lari memburu ke tempat ditahannya dua orang anak itu. Yang lain, termasuk orang-orang Hoa-San-Pai, ikut pula mengejar ke belakang.

   Ke manakah perginya Kwa Hong dan Thio Bwee? Betulkah dua orang anak perempuan yang sudah ditotok tak berdaya dan dikurung dalam kamar tahanan itu dapat melarikan diri? Memang kenyataannya betul demikian. Akan tetapi tentu saja ada orang menolongnya. Penolong ini bukan lain adalah Beng San yang diam-diam terus mengikuti larinya Souw Kian Bi sampai memasuki perkemahan pasukan Mongol. Menggunakan, kecepatan dan keringanan tubuhnya, dilindungi pula oleh gelapnya malam, Beng San berhasil membobol pagar yang mengelilingi perkemahan tanpa dilihat oleh para penjaga. la berhasil pula mendengarkan pesan Souw Kian Bi kepada para penjaga. Mendengar bahwa bagian belakang perkemahan itu tidak terjaga kuat,

   Dia mendapat pikiran untuk menolong dua orang nona kecil itu melarikan diri melalui belakang perkemahan. Dapat dibayangkan betapa herannya hati Kwa Hong dan Thio Bwee ketika mereka berada di dalam kamar tanpa dapat bergerak itu, tiba-tiba mereka melihat munculnya Beng San! Anak ini memberi tanda agar supaya Kwa Hong dan Thio Bwee jangan mengeluarkan suara. Alangkah lucunya. Tak usah dilarang sekalipun memang dua orang nona cilik itu tak dapat bersuara lagi. Lalu Beng San memberi isyarat supaya mereka ikut, akan tetapi bagaimana mereka bisa ikut kalau mereka tidak mampu bergerak? Melihat keadaan mereka, Beng San curiga. la sudah mempelajari secara teliti tentang perjalanan darah ini, dahulu diajar oleh Lo-Tong Souw Lee.

   Karena keadaan mendesak, tanpa ragu-ragu, dia mendekati Kwa Hong dan meraba lehernya. Benar saja dugaannya, Kwa Hong telah terkena totokan yang luar biasa. Beng San mengeluh. Biarpun dia sudah mempelajari tentang jalan darah, namun dia sendiri belum bisa menotok, apalagi membebaskan. Di luar kemah terdengar suara serdadu-serdadu tertawa. Beng San gugup dan tanpa berpikir panjang lagi dia lalu menangkap dua orang nona cilik itu dan memanggul tubuh mereka di afas pundaknya, satu di kanan dan satu di kiri! Dengan beban ini dia menyelinap keluar melalui jalan belakang. Tanpa ia sadari sendiri, Beng San telah memiliki tenaga yang luar biasa sehingga memanggul dua orang anak perempuan itu seperti tidak terasa sama sekali olehnya, begitu ringan!

   Benar sekali seperti yang diperintahkan oleh Souw Kian Bi tadi, jalan belakang ini sama sekali tidak terjaga. Mula-mula Beng San merasa girang sekali dan juga heran mengapa serdadu-serdadu itu begitu bodoh. Akan tetapi baru saja dia lari sejauh satu li, dia kaget sekali karena di depannya terbentang rawa yang amat luas la mencari jalan agar jangan melalui rawa, akan tetapi setelah berlari ke sana ke nnari, dia tidak dapat menemukan jalan yang lebih baik. Selain melalui rawa, dia terhadang oleh jurang yang tak mungkin dapat dilewati saking lebarnya, juga menghadapi dinding karang yang menjulang tinggi. Tanpa membawa beban belum tentu dia akan dapat mendaki dinding karang ini dengan selamat, apalagi memanggul dua orang anak itu. Sungguh berbahaya.

   "Celaka..."

   Pikir Beng San. la menjadi serba salah. Kembali tak mungkin. terus juga bagaimana? Akhirnya dia menjadi nekat. Hati-hati dia memasuki rawa yang gelap dan mengerikan itu, dengan airnya yang diam bercampur tanah dan rumput. Hanya suara katak yang memenuhi rawa itu terdengar amat menyeramkan. Ia menjadi lega ketika kakinya menginjak tempat dangkal, hanya selutut dalamnya. Ia melangkah maju, hati-hati sekali karena dasar rawa itu penuh batu licin. Sampai sepuluh langkah lebih dia selamat karena tempat itu dangkal. Tiba-tiba dia tergelincir batu yang licin.

   Beng San mengerahkan tenaga dan mengatur keseimbangan tubuh. Ia selamat tidak sampai roboh, akan tetapi dua orang anak perempuan yang dia panggul menjadi basah dan kotor oleh lumpur. la berjalan terus, maju bermaksud menyeberangi rawa. Akan tetapi segera dia mendapat kenyataan mengapa para serdadu sengaja tidak menjaga tempat itu. Memang bukan main sukar dan berbahayanya jalan ini. Segera dia tiba di bagian air yang berlumpur dan tempat pun tidak sedangkal tadi, sudah mencapai pinggangnya. Sukar sekali untuk maju melalui lumpur yang ditumbuhi-rumput ini, apalagi di bawah amat licinnya. Yang paling mengerikan adalah kalau memikirkan apa isi rawa-rawa itu, binatang mengerikan apa yang berada di bawah rumput dan di dalam lumpur itu. Akan tetapi Beng San tidak ingat akan ini semua, melainkan melangkah terus maju dengan tabah.

   "Lepaskan aku! Aku bisa berjalan sendiri!"

   Tiba-tiba Kwa Hong yang dipanggul di pundak kanannya bergerak dan berseru. Juga Thio Bwee di atas pundak kirinya mulai bergerak-gerak.

   "Syukur kalian sudah bisa bergerak lagi,"

   Kata Beng San sambil menurunkan Kwa Hong dari pundaknya. Akan tetapi karena tak dapat bergerak, tubuh Kwa Hong masih lemas dan ketika ia diturunkan berdiri di dalam air berjumpur, hampir saja ia terguling roboh kalau tidak cepat-cepat disambar pinggangnya oleh Beng San. Thio Bwee juga minta turun dan diturunkan dengan hati-hati.

   "Beng San, kau hendak membawa kami ke mana?"

   Kwa Hong bertanya, suaranya agak marah karena tadi ia dengan jengkel dan mendongkol sekali melihat tanpa berdaya betapa tubuhnya dirangkul dan dipanggul oleh bocah ini. Tentu saja ia sudah marah dan memaki-makinya kalau saja tidak sedang berada dalam keadaan seperti ini. Malah diam-diam ia merasa bersyukur bahwa Beng San datang untuk menolongnya. Mengapa bukan Bibi Gurunya atau Kakek Gurunya, atau setidaknya mengapa bukan Kui Lok dan Thio Ki?

   "Ke mana? Tentu saja pulang ke puncak Hoa-San. Kalau saja kita bisa melewati rawa-rawa yang berbahaya ini. Heee... hati-hati, Nona Bwee.,...!."

   Thio Bwee tergelincir dan lenyap dari permukaan air. Ternyata ia telah menginjak bagian yang amat dalam sehingga tak dapat dicegah lagi ia tenggelam ke dalam air berlumpur itu!

   "Celaka!"

   Beng San cepat menubruk maju dan dia pun kena injak tempat yang dalam itu sehingga dia pun lenyap dari permukaan air.

   Kwa Hong menggigil ketakutan dan ingin dia menjerit-jerit kalau saja tidak teringat bahwa dia sedang melarikan diri dari musuh. la tidak berani sembarangan bergerak, takut mengalami nasib seperti Beng San dan Thio Bwee, akan tetapi hatinya takut bukan main, gelisah melihat hilangnya dua orang teman itu tanpa dapat me-nolongnya sama sekali. Keadaan amat gelap dan Kwa Hong sudah mulai me nangis. Tiba-tiba air di depannya bergerak dan muncullah kepala Beng San. Anak ini berenang ke tempat dangkal di dekat Kwa Hong sambil menyeret Thio Bwee yang sudah pingsan. Cepat-cepa Kwa Hong menyusuti muka Thio Bwee ywg penuh lumpur itu. Setelah dipijat-pijat pundaknya dan digoyang-goyang akhirnya Thio Bwee siuman kembal Anak ini menangis dan berkata ketakutan.

   "Bawa aku ke darat..., bawa aku pulang..."

   La menangis ketakutan. Selama hidupnya, baru kali ini ia mengalami kejadian yang begini menakutkan. Siapa orangnya yang tidak takut kalau melihat sekeliiingnya hanya air lumpur ditumbuhi-rumput, gelap pekat dan di sekeliling situ, tak diketahui dengan pasti di mana terdapat lubang-lubang jebakan yang amat dalam?

   "Lebih baik kalian kupanggul seperti tadi. Biarlah aku yang mencari jalan keluar dari rawa ini..."

   Kata Beng San setelah berhasil membersihkan lumpur dan mulut, hidung dan matanya. Saking takutnya dan mengharapkan pertolongan, Thio Bwee tanpa ragu-ragu lagi laju merangkul Beng San sambil berkata,

   "Tolonglah, Beng San... tolong keluarkan aku dari tempat neraka ini...,"

   La menurut saja ketika dipanggul oleh Beng San, tidak seperti tadi, sekarang disuruh duduk di atas pundak kirinya. Thio Bwee agak besar hatinya setelah duduk di pundak itu, duduk sambil merangkul kepala Beng San, masih menggigil ketakutan.

   "Jangan khawatir, Nona Bwee. Memang aku datang untuk menolong kalian,"

   Katanya, suaranya dibikin setenang mungkin, akan tetapi sebetulnya dia sendiri masih sangsi apakah dia akan berhasil menyeberangi rawa-rawa yang amat ber-bahaya ini.

   "Nona Hong, kau pun sebaiknya duduklah di pundakku yang sebelah ini."

   La pikir, lebih baik dua nona muda itu duduk di pundaknya agar jangan sampai tergelincir dan masuk ke dalam lubang dalam seperti yang dialami Thio Bwee tadi. Kalau terjadi demikian, amat berbahaya. Tadi secara kebetulan saja di dalam air keruh itu dia dapat menangkap tubuh Thio Bwee, kalau tidak, bukankah nyawa nona Thio itu akan terancam bahaya maut?

   "Apa...?? Tidak sudi aku!"

   Bentak Kwa Hong yang sudah kumat lagi kegalakannya. Akan tetapi agaknya ia segera teringat bahwa Beng San berusaha menolongnya, maka segera disambungnya dengan suara yang tidak galak lagi.

   "Aku bisa jalan sendiri dan pula... memanggul Enci Bwee saja sudah berat, aku tidak mau memberatkan engkau lagi..."

   Di dalam gelap Beng San tersenyum. la tidak marah karena memang dia sudah mulai mengenal watak Kwa Hong, malah watak semua yang berada di puncak Hoa-San. Biarpun Kwa Hong tidak mau dipanggul, malah tidak mau digandeng tangannya, namun dia selalu siap menjaga dan melindungi gadis galak ini.

   "Baiklah sesukamu, Nona Hong. Mari kita maju lagi. Hati-hatilah..."

   Katanya sambil melangkah perlahan, meraba-raba dengan ujung kakinya sebelum menginjak agar tidak terjeblos ke dalam lubang dalam. Thio Bwee masih menangis kecil di atas pundaknya sambil memeluk lehernya, amat ketakutan dan kedingilnan karena ia tadi basah kuyup dari kaki sampai kepala. Langit bersih dari awan. Bintang-bintang penuh bertaburan di langit biru, mendatangkan cahaya yang lumayan sehingga keadaan tidak segelap tadi. Tiga orang anak itu dapat melihat ke depan, sungguhpun tidak amat jauh, namun cukuplah untuk mengurangi keseraman. Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh.

   "Aduh kakiku... apa ini gatal-gatal?"

   La mengangkat kaki kirinya ke atas sampai melewati permukaan air dan... dalam cuaca yang remang-remang itu terlihatan seekor lintah menempel pada betis kakinya,

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   mengisap darahnya melalui kain celana yang tipis. Lintah itu gemuk bulat, agaknya sudah banyak juga darah Kwa Hong diisapnya.

   "Hiii... apa itu...? Hiiiii!"

   Kwa Hong menggigil saking jijiknya dan ia menubruk Beng San, merangkul lehernya dengan ketakutan. Beng San tahu apa adanya binatang itu.

   "Tenanglah, Nona Hong. Itu adalah lintah, binatang penghisap darah. Dia sudah penuh darah, kalau sudah kenyang akan terlepas sendiri..."

   Hampir pingsan Kwa Hong oleh kengerian dan kejijikan.

   "Buanglah... lepaskan dari betisku... huiii..."

   "Kalau diambil secara paksa, kulit betismu akan terluka, Nona. Biarkan sebentar."

   Tanpa ragu-ragu Beng San memegang kaki Kwa Hong yang diangkat itu, melihat lintah dari dekat. Betul saja dugaannya, lintah itu segera melepaskan kaki Kwa Hong karena sudah kekenyangan, jatuh ke dalam air dan lenyap. Kwa Hong meremang bulu tengkuknya, ia ketakutan sekali dan tanpa diminta lagi ia segera meloncat ke pundak Beng San, duduk di atas pundak kanan, tangannya memegangi leher.

   "Binatang celaka, binatang menjijikkan, terkutuk..."

   Ia memaki-maki, tapi ia masih menggigil ketakutan. Beng San merangkul kaki dua orang nona itu agar tidak jatuh dari atas pundaknya, kemudian dia melangkah maju lagi. Setelah dua orang nona itu duduk di atas pundaknya, dia lebih lancar bergerak maju, tidak usah menjaga orang lain di sisinya seperti tadi.

   Air sekarang sudah mencapai dadanya. Celaka, pikir Beng San. Kalau air itu makin dalam, bagaimana? Tentu saja dia dapat berenang, akan tetapi bagaimana dengan dua orang nona ini? Dengan berenang sukar kiranya membawa mereka itu. la memutar-mutar otak mencari akal untuk menghadapi kemungkinan ini. Begini saja, pikirnya, untuk sementara kutinggalkan dulu mereka di tempat yang tidak dalam, kemudian aku berenang melalui tempat dalam mencari tempat berpijak lain yang dangkal. Kemudian kubawa mereka seorang demi seorang menyeberangi ke tempat itu. Lalu pergi mencari lagi. Kukira dengan demikian akhirnya kita akan sampai juga ke seberang. la berbesar hati dan melanjutkan langkahnya, hati-hati agar jangan sampai tergelincir ke dalam lubang dalam.

   "Hong-jiiiii...!"

   "Bwe-jiiiii...!"

   Suara panggilan ini terdengar keras, bergema sampai ke tengah rawa.

   "Ayah memanggilku!"

   Seru Kwa Hong gembira.

   "Itu suara Ayahku!"

   Thio Bwee juga berseru.

   "Hong-ji! Bwee-ji! Kembalilah kesini, Ayah kalian menanti di sini!"

   Terdengar suara Sian Hwa yang tinggi nyaring.

   "Ah, semua orang sudah menyusul di sana Beng San, hayo kita kembali saja. Ayah dan Bibi sudah di sana, kita sudah aman sekarang,"

   Kwa Hong mendesak.

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Betul, hayo antar aku ke sana, Beng San. Ayah menanti di sana,"

   Kata pula Thio Bwee dengan gembira. Hilanglah kekhawatiran dan ketakutan dua orang anak perempuan itu setelah mereka mendengar suara Ayah mereka. Beng San ragu-ragu.

   "Tapi... apakah tldak lebih baik terus saja mendahului dan menanti di rumah? Jalan kembali lebih jauh..."

   "Eh, kau berani membantah? Kalau tidak mau antar, biar aku jalan sendiri!"

   Kwa Hong merosot turun dari atas pundak Beng San, juga Thio Bwee. Dua orang anak ini mendadak timbul keberaniannya. Beng San menarik napas panjang. Sebetulnya dia keberatan untuk kembali karena takut kalau-kalau dia akan mendapat marah. Akan tetapi, tidak tega pula kalau harus membiarkan dua orang nona ini kembali berdua saja. Bagaimana nanti kaiau Thio Bwee tergelincir seperti tadi? Bagaimana kalau kaki Kwa Hong digigit lintah seperti tadi? Kalau sampai sebrang diantara dua orang nona ini terkena celaka, bukankah tanggung jawabnya akan lebih besar pula dan lebih berat?

   "Baiklah,"

   Akhirnya dia berkata.

   "Mari kita kembali."

   La lalu menggandeng tangan dua orang nona cilik itu yang tidak menolak. Sambil bergandengan tangan Beng San ditengah-tengah, tiga orang anak itu menyeberang dan kembali ke tempat tadi.

   "Ayah...! Tunggulah, kami kembali ke sana...!"

   Kwa Hong berteriak keras-keras ke arah tepi rawa. Mendadak mereka melihat lampu penerangan dipasang di tepi rawa itu sehingga makin mudahlah bagi mereka karena sekarang tempat yang dituju kelihatan nyata. Setelah dekat tepi rawa, dengan heran mereka melihat Hoa-San Sie-Eng lengkap bersama Lian Bu Tojin dan tokoh-tokoh Hoa-San ini bersama Souw Kian Bi si penculik, seorang Hwesio tinggi besar dan beberapa orang panglima Mongol?

   Bagaimana mereka bisa rukun seperti itu setelah Souw Kian Bi menculik mereka? Kwa Hong dan Thio Bwee terheran, akan tetapi juga girang sekali. Setelah tiba di tempat dangkal, mereka berlari meninggalkan Beng San, untuk menjumpai Ayah masing-masing. Pakaian mereka, bahkan muka mereka kotor berlumpur. Apalagi Beng San! Ketika anak ini tiba di tempat dangkal, baru dia melihat bahwa lebih dari tujuh ekor lintah menempel di tubuhnya, di kaki kanan kiri dan di paha dan perut! la marah sekali dan andaikata mukanya tidak berlumpur, tentu muka itu akan kelihatan merah. la mengerahkan hawa di tubuhnya dan seketika itu lintah-lintah itu bergelimpangan, terlepas dari tubuhnya dalam keadaan mati! Tak seorang puh memperhatikan hal ini karenai lintah-lintah yang penuh lumpur itu pun tidak kentara.

   "Keparat, berani kau mengganggu nona-nona tawananku?"

   Tiba-tiba Souw Kian Bi meloncat dan sebelum lain orang dapat mencegahnya, putera pangeran ini sudah menyambak rambut Beng San dan diseretnya ke tepi rawa sambil dipukulinya sekehendak hatinya. Beng San marah sekali, akan tetapi ketika merasa betapa pukulan orang itu mengandung hawa panas, dia cepat mengerahkan tenaga dalamnya dan menggunakan tenaga Im untuk melawannya. Pada saat itu, Kwa Hong dan Thio Bwee sudah meloncat dan menerjang Souw Kian Bi sambil berteriak-teriak.

   "Jangan pukul Beng San!"

   Bentak Kwa Hong.

   "Kau yang jahat menculik kami, dia penolong kami!"

   Bentak Thio Bwee. Menghadapi serbuan dua orang nona cilik yang hendak membalas dendam ini, Souw Kian Bi tentu saja tidak takut. Akan tetapi dia merasa tidak enak sendiri untuk melayani anak-anak kecil, nnaka sekali lagi dia memukulkan tangannya ke arah dada Beng San kemudian meloncat mundur.

   "Bleeek!"

   Pukulan itu keras sekali, Beng San sampai terpental ke belakang, akan tetapi dia tidak terluka.

   "Dia adalah kacung Hoa-San-Pai, tak boleh diganggu orang luar!"

   Tiba-tiba Lian Bu Tojin berkata dengan suaranya yang berpengaruh.

   Tadinya Kakek ini marah sekali kepada Beng San yang dianggapnya lancang sekali. Pertama, lancang karena berani meninggalkan puncak Hoa-San, ke dua, lancang karena berani mencoba-coba menolong dua orang cucu muridnya sehingga hal ini mendatangkan malu kepadanya. Masa cucu muridnya harus ditolong oleh seorang kacungnya? Padahal di situ ada Hoa-San Sie-Eng lengkap dan ada dia pula. Maka ketika tadi melihat Beng San dipukuli, Kakek ini diam saja dengan keputusan hati akan diobati kelak kalau terluka. Akan tetapi ketika melihat betapa dua orang cucu muridnya menyerbu, Kakek ini baru ingat bahwa betapapun juga, Beng San sudah berjasa dan memperlihatkan pribudi yang baik dalam usahanya menolong tanpa memperhitungkan bahaya untuk diri sendiri yang tiada kepandaian.

   Maka dia lalu mengeluarkan kata-kata itu untuk mencegah pihak Mongol menyerang Beng San. Kemudian dia memberi tanda kepada murid-muridnya untuk meninggalkan tempat itu. juga Beng San berjalan di sebelah belakang sambil menundukkan mukanya. Apalagi Hoa-San Sie-Eng atau dua orang gadis cilik itu, bahkan Lian Bu Tojin sendiri tidak tahu betapa sepergi mereka, Souw Kian Bi terguling roboh dan muntah-muntah darah, mukanya berubah kehijauan seperti orang keracunan. Tentu saja di situ menjadi geger. Swi Lek Hosiang cepat memeriksa dan Hwesio tua ini kaget setengah mati. Ternyata bahwa putera pangeran itu telah menderita luka dalam yang hebat juga. Cepat dia memberi pengobatan dan tak habis heran bagaimana Souw Kian Bi bisa menderita luka seperti ini. Setelah putera pangeran itu sembuh tiga hari kemudian, Swi Lek Hosiang minta penjelasan.

   "Siapakah yang melukaimu?"

   Souw Kian Bi sendiri juga tidak mengerti.

   "Aku tidak bertempur dengan siapa juga. Hanya kupukul dada anak kotor itu... ah, benar dia! Aku sudah merasa aneh sekali mengapa ketika aku memukul dadanya, aku merasa seakan-akan memukul benda yang lunak sekali dan terasa sakit pada dadaku!"

   Tai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang menggeleng-gelengkan kepala.

   "Tak mungkin. Anak itu kelihatan tidak tahu apa-apa, lagi pula hanya kacung di Hoa-San-Pai, masa memiliki kepandaian yang tinggi seperti itu? Aneh sekali!"

   "Betul, Losuhu. Aku ingat sekarang. Anak itu tentu mempunyai sesuatu yang luar biasa. Siapa tahu kalau-kalau dia itu menerima warisan kepandaian dari Lian Bu Tojin. Dia kacungnya, bukan? Siapa tahu diam-diam Kakek Tosu bau itu menurunkan ilmunya..."

   "Mungkin, akan tetapi tetap saja aneh."

   Hwesio itu merenung karena dia teringat akan murid angkatnya yang ditinggalkan di Kelenteng. Muridnya itu biarpun hanya seorang anak perempuan, namun juga memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Apakah anak laki-laki kotor itu sedemikian baik bakatnya sehingga sekecil itu sudah menyimpan tenaga dalam yang dapat menangkis pukulan Souw Kian Bi bahkan melukainya? Agaknya tak mungkin!

   Lima bulan telah lewat semenjak Kun-Lun Sam-Hengte berjanji hendak mengunjungi Hoa-San Sie-Eng di puncak Hoa-San. Hoa-San Sie-Eng sudah berkumpul di puncak Gunung Hoa-San, setiap hari menanti kedatangan tiga orang murid Kun-Lun-Pai, terutama Kwee Sin, dengan hati tak sabar lagi. Kwa Tin Siong setelah melihat Beng San segera mengenalnya sebagai bocah aneh yang pernah dia jumpai dahulu di tengah hutan. la segera memberitahukan hal ini kepada adik-adik seperguruannya, juga kepada Suhunya dan menyatakan kecurigaannya.

   "Sekarang ini jamannya sedang kacau-balau, banyak terjadi fitnah dan musuh rahasia mengelilingi kita. Siapa tahu kalau-kalau anak ini seorang mata-mata yang sengaja dilepas lawan untuk menyelidiki keadaan kita."

   Demikian kata-katanya dan adik-adik seperguruannya membenarkan wawasan ini. Hanya Lian Bu Tojin yang tidak setuju di dalam hatinya karena dengan adanya surat pengenal dari Lo-Tong Souw Lee.

   Tiba-tiba berpikir sampai di sini, ketika teringat kepada Lo-Tong Souw Lee, sekaligus Kakek ini teringat pula kepada Souw Kian Bi. Dua orang she Souw itu. apakah tidak ada hubungan apa-apa? Souw Kian Bi dihormati panglima-panglima Mongol, sedangkan dia tahu benar bahwa Lo-Tong Souw Lee berasal dari keluarga Bangsawan Mongol pula Ah jangan-jangan benar kecurigaan muridnya yang tertua, siapa tahu kalau-kalau antara Beng San dan Souw Kian Bi memang ada permainan sandiwara! Kakek ini mengerutkan keningnya. Besar sekali kemungkinannya. Beng San tidak mengerti ilmu silat, mengapa ketika dipukul oleh Souw Kian Bi tidak terluka? Bukankah itu menandakan bahwa Souw Kian Bi hanya pura-pura memukul saja? Ataukah Beng San yang tahu akan ilmu silat akan tetapi sengaja berpura-pura tidak tahu?

   "Ucapanmu berdasar juga, Tin Siong. Akan tetapi tanpa bukti tak mungkin kita menuduh Beng San yang bukan-bukan. Dia hanya seorang anak kecil, kita lihat-lihat sajalah. Kaiau betul dia kaki tangan orang jahat, dia bisa berbuat apa terhadap kita,"

   Demikian Kakek Ketua Hoa-San-Pai ini berkata. Selanjutnya Kakek ini lalu memanggil Beng San dan memesan kepada anak itu agar supaya jangan mencampuri lagi urusan luar dan selalu berada di dalam Kelenteng dan melakukan tugas pekerjaannya baik-baik.

   Hari yang dinanti-nantikan dengan hati berdebar tiba juga. Pada suatu hari matahari belum naik tinggi benar, seorang Tosu berlari-lari melaporkan bahwa Kun-Lun Sam-Hengte telah datang mendaki puncak Hoa-San! Karena urusan yang dihadapi adalah urusan besar dan karena tidak ingin meiihat murid-muridnya berlaku lancang, Lian Bu Tojin sendiri berkenan menerima kedatangan tiga orang jago dari Kun-Lun-Pai itu. Liang Bu Tojin dengan diikuti empat orang muridnya melakukan penyambutan di luar tempat kediamannya, di halaman yang bersih dan luas, halaman yang dikelilingi pohon-pohon besar, amat sejuk dan enak untuk dijadikan tempat, perundingan soal yang amat pelik dan penting itu.

   Kun-Lun Sam-Hengte datang berjalan dengan langkah tegap. Kwee Sin tampan dan mukanya putih sekali seperti pucat tampaknya, pedangnya tergantung di pinggang kiri. la berjalan di tengah-tengah diapit oleh Bun Si Teng dan Bun Si Liong. Bun Si Teng yang tinggi besar dan gagah itu benar-benar menarik perhatian, pedangnya di pinggang dan busurnya terselip di sebelah kanan. Bun Si Liong yang bermuka hitam itu berjalan dengan langkap tegap, mukanya berseri dan matanya yang bersinar-sinar seperti orang sedang gembira, mukanya lebih menunjukkan kegembiraan seorang yang sedang pelesir daripada kesungguhan seorang menghadapi urusan besar. Sepasang senjatanya, golok dan pedang, tergantung di kanan kiri.

   Dari jauh tiga orang gagah itu sudah mengangkat tangan memberi hormat. Mereka agak tercengang, akan tetapi juga bangga melihat bahwa Ketua Hoa-San-Pai sendiri menyambut kedatangan mereka. Kwee Sin ketika bertemu pandang dengan tunangannya dan melihat sepasang mata tunangannya itu berapi-api tapi berlinangan air mata, merasa hatinya seperti tertusuk. la sudah mendengar dari para Suhengnya bahwa Ayah tunangannya itu terbunuh orang dan si nona menyangka bahwa dialah yang membunuhnya. Kepanasan hatinya ketika menyaksikan tunangannya menangis di dada Kwa Tin Siong dahulu itu menjadi dingin karena sekarang dia dapat menduga bahwa nona itu sedang berduka hatinya dan dihibur oleh Kwa Tin Siong. la merasa menyesal sekali telah terburu nafsu. juga dia diam-diam merasa malu sekali kalau teringat akan hubungannya dengan Coa Kim Li si cantik jelita.

   "Kami bertiga saudara jauh-jauh sengaja datang memenuhi-janji kami terhadap Hoa-San Sie-Eng. Tidak nyana bahwa Hoa-San Ciang-Bunjin (Ketua) juga ikut menyambut. Sungguh membikin lelah kepada orang tua yang terhormat,"

   Kata Bun Si Teng mewakili rombongannya.

   "Kun-Lun Sam-Hengte datang, itulah bagus. Memang murid Pek Gan Siansu terkenal gagah dan tak akan mungkir janji, juga adil dan jujur. Pinto orang tua hanya menjadi saksi saja dalam urusan ini, harap kalian bertiga berurusan dengan murid-murid Pinto secara langsung."

   Kakek ini lalu melangkah ke pinggir, membiarkan tiga orang jago Kun-Lun itu menghadapi empat orang muridnya. Kwa Tin Siong mewakili rombongannya melangkah maju dan mengangkat tangan memberi hormat.

   "Kami merasa lega sekali bahwa ternyata Kun-Lun Sam-Hengte memenuhi-janji dan penjahat Kwee Sin sudah diajak pula datang ke sini untuk menebus dosa."

   Bun Si Teng tersenyum sedangkan Kwee Sin menjadi makin pucat mukanya.

   "Harap Hoa-San It-Kiam suka bersabar dan jangan datang-datang Suteku dijatuhi-fitnah yang bukan-bukan. Sebelumnya aku sendiri sudah memeriksa Sute dan ternyata bahwa semua yang dituduhkan kepada Kwee-Sute hanyalah fitnah kosong belaka. Kwee-Sute tak pernah melakukan pembunuhan terhadap Ayah Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa seperti telah kalian katakan,"

   Kata Bun Si Teng, senyumnya mengeras. Kwee Sin mengangguk-angguk membenarkan ucapan Suhengnya.

   "Lidah memang tak bertulang!"

   Tiba-tiba Sian Hwa membentak, tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Tidak ada pencuri yang mengaku, menyangkal adalah pekerjaan yang paling mudah. Akan tetapi, aku tidak sudi menjatuhkan fitnah kepada siapapun juga. Bukti-buktinya jelas bahwa Ayahku telah dibunuh secara pengecut oleh pukulan Pek-Lek-Jiu dan paku Pek-Lian-Ting, di samping ini masih ada saksi utama, yaitu almarhum Ayahku sendiri!"

   Kwee Sin makin pucat mendengar kata-kata dan melihat sikap tunangannya itu.

   "Biarlah aku bersumpah disaksikan langit dan bumi, apabila aku membunuh Ayahmu, Thian semoga menghukumku dengan kematian yang mengerikan!"

   Seru Kwee Sin dengan muka pucat dan suara lemah. Kwa Tin Siong tertawa mengejek.

   "Urusan pembunuhan keji sebesar ini mana bisa diselesaikan dengan segala macam sumpah? Sumoi, agar persoalannya dapat dibicarakan dari awalnya, harap kau ulangi lagi ceritamu tentang kematian Ayahmu."

   Dengan lantang Sian Hwa mengisahkan kembali semua yang dialami Ayahnya dan dia sendiri, matanya tajam menantang Kwee Sin yang tunduk dan muka pemuda ini sebentar merah sebentar pucat. Akan tetapi ketika ia menceritakan bagian Ayahnya yang terluka dan meninggalkan kesaksian terakhir bahwa yang membunuhnya adalah Kwee Sin dan perempuan Pek-Lian-Pai, Sian Hwa tak dapat menahan air matanya mengucur deras. Setelah selesai menuturkan semua ini, ia menggerakkan tangannya dan,

   "Sraaattt!"

   Pedangnya yang sepasang itu sudah tercabut di kedua tangan.

   "Ayah terbunuh secara keji. Kalau penasaran ini tidak dibalas, aku Liem Sian Hwa tidak mau hidup lagi di muka bumi!"

   Kwee Sin hanya mengangkat muka dan memandang sedih, tapi sama sekali dia tidak mengeluarkan pedangnya. Bun Si Teng melangkah maju dan berkata, suaranya mengandung ejekan.

   "Bagus! Apa Hoa-San-Pai hendak menghukum orang tanpa memberi kesempatan membela diri dan tanpa bukti-bukti yang sah dan saksi-saksi yang masih hidup?"

   "Sudah terang jahanam Kwee Sin ini pembunuh Ayahku, aku harus membalas dendam!"

   Bentak Sian Hwa.

   "Enak saja orang bicara! Andaikata Kwee-Sute segan melawan, apakah kami akan mendiamkan saja orang membunuh Sute kami tanpa dosa?"

   Bun Si Teng meraba gagang pedangnya, siap melawan. Juga Bun Si Liong meraba gagang golok dan pedangnya. Pendeknya, Kakak beradik she Bun ini tjdak nanti akan membiarkan Sute mereka dibunuh orang begitu saja. Mereka datang untuk membuktikan kebersihan diri Kwee Sin, bukan untuk mengantar Sute mereka dihukum bunuh!

   "Manusia Kun-Lun sombong! Sudah terang jahanam she Kwee main gila dengan perempuan jalang dan bersekongkol membunuh Ayah Sumoi, masih hendak dibela? Kalau begitu, kewajiban orang-orang gagah untuk membasmi gerombolan orang jahat!"

   Thio Wan It sudah mengeluarkan pedangnya dan meloncat maju.

   "Keparat, siapa takut kepada Bu-Eng-Kiam?"

   Bentak Bun Si Liong. Dengan kemarahan meluap-luap, Sian Hwa sudah berhadapan dengan Bun Si Teng, sedang-kan Thio Wan It sudah saling melotot dengan Bun Si Liong. Pertempuran agaknya tak akan dapat dicegah lagi.

   "Twa-Suheng, Ji-Suheng... jangan... ah, Siauwte yang menjadi gara-gara semua ini..., Ji-wi Suheng, simpanlah pedangmu..."

   Kwee Sin bicara dengan suara mengandung isak tertahan. Kwa Tin Siong juga maju nnenahan dua orang adik seperguruannya yang hendak turun tangan itu.

   "Ji-Sute, Sumoi, tahan senjata kalian! Tidak semestinya kalau urusan ini diakhiri dengan pertempuran tanpa sebab-sebab yang jelas. Kita berpegang kepada keadilan dan kebenaran! maka seharusnya kita memberi kesempatan kepada Kwee Sin untuk membela diri dan memberi keterangan-keterangan."

   Biarpun sedang marah sekali, Thio Wan It dan Liem Sian Hwa terpaksa mundur juga ketika ditahan oleh Twa-Suheng mereka ini."

   "Kwee Sin!"

   Kata Kwa Tin Siong dengan suara keras dan tegas.

   "Sudah kau dengar baik semua keterangan Sumoiku yang menuduhmu sebagai pembunuh Ayahnya dan mengadakan persekongkolan dengan perempuan jahat dari Pek-Lian-Pai. Bagaimana jawabmu? Kalau memang kau melakukan hal itu, bagaimana tanggung jawabmu dan apabila kau tidak melakukan, bagaimana keterangan pembelaanmu? Ingat, sudah jelas bahwa sebelum meninggal dunia, Ayah Sumoi terang-terangan menyatakan bahwa kau dan seorang perempuan yang menyerang dan melukainya."

   Muka Kwee pucat sekali, kedua matanya agak basah dan merah menahan mengucurkan air mata. la maklum bahwa dirinya kena fitnah. Tentu saja dia percaya bahwa Hoa-San Sie-Eng tak akan mau memfitnahnya kalau tidak ada dasarnya. Ia tahu bahwa dia telah difitnah oleh orang-orang yang memusuhinya, entah siapa orang-orang itu. Bagaimana dia harus menjawab?

   "Hoa-San Sie-Eng,"

   Katanya, tidak berani langsung kepada Sian Hwa.

   "Apa yang harus kukatakan lagi? Aku sudah bersumpah bahwa aku sama sekali tidak merasa melakukan pembunuhan terhadap Ayah Nona Liem Sian Hwa. Sebagai orang termuda dari Kun-Lun Sam-Hengte, aku selamanya tidak pernah membohong. Aku tidak melakukan pembunuhan itu dan kalian percaya atau tidak, terserah. Aku hanya mengharapkan kebijaksanaan dan keadilan Hoa-San-Ciang-Bunjin."

   La menjura ke arah Lian Bu Tojin yang semenjak tadi berdiri di pinggiran sambil menundukkan mukanya. Hoa-San It-Kiam Kwa Tin Siong tertawa lirih.

   "Ha-ha-ha, lagi-lagi Kwee Sin yang dijuluki orang Pek-Lek-Jiu, orang termuda dari Kun-Lun Sam-Hengte terkenal gagah perkasa, lari sembunyi di balik sumpah-sumpahnya. Orang she Kwee, tak perlu bersumpah keras-keras. Sebaliknya kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku agar jelas."

   Kwee Sin sebetulnya mendongkol sekali menyaksikan sikap Hoa-San Sie-Eng yang amat menghinanya. Akan tetapi dia tidak ingin melihat persoalan ini menjadi makin panas, maka dia menjawab tenang.

   "Tanyalah, Hoa-San It-Kiam, aku akan menjawab."

   "Mula-mula terjadi urusan ini, Ayah Sumoi, Liem-Lopek, melihat kau bersama seorang perempuan muda cantik berpelesir di Telaga Pok-Yang, sehingga menimbulkan marahnya. Betulkah pada waktu itu kau berpelesir bersama seorang perempuan cantik dari Pek-Lian-Pai di Telaga Pok-Yang?"

   Wajah Kwee Sin menjadi merah sekali, lalu pucat dan merah lagi. la menundukkan muka menggigit-gigit bibir dan sampai lama tak dapat menjawab!

   Semua mata memandang kepadanya, bahkan Lian Bu Tojin yang semenjak tadi tunduk saja, sekarang juga mengerling ke arahnya. Apalagi Sian Hwa, gadis ini memandang dengan sepasang mata berapi-api. Kwee Sin benar-benar merasa bingung. Bagaimana dia harus menjawab? Tak dapat disangkal lagi bahwa dahulu dia telah berpelesir di Telaga Pok-Yang bersama Coa Kim Li! Dan tentu pada saat itu, celaka sekali baginya, Ayah Liem Sian Hwa melihat dia bersama Coa Kim Li dan pulang sambil marah-marah. Bagaimana dia harus menjawab? Untuk berterus terang mengaku bahwa dia berpelesir bersama seorang wanita muda cantik, tentu saja dia amat malu. Akan tetapi juga bukan wataknya untuk membohong. Oleh karena berada dalam keadaan yang terjepit inilah Kwee Sin tak dapat menjawab, hanya menunduk dengan bingung dan malu.

   "Kwee Sin, bagaimana jawabmu? Kenapa kau diam saja?"

   Kwa Tin Siong bertanya dengan nada mengejek.

   "Kwee-Sute jawablah, jangan diam saja!"

   Bun Si Teng juga menegur Sutenya mendongkol melihat sikap Kwa Tin Siong. Setelah berulang kali menarik napas panjang, baru Kwee Sin bisa menjawab tanpa mengangkat mukanya,

   "Memang betul aku berada di Telaga Pok-Yang pada beberapa bulan yang lalu..."

   "Berpelesir bersama seorang perempuan muda cantik anggauta Pek-Lian-Pai"

   Desak Kwa Tin Siong.

   "Bersama seorang teman perempuan..."

   "Siapa dia? Hayo katakan terus terang, bukankah dia yang kau ajak membunuh Ayah Sumoi?"

   Kwa Tin Siong mendesak lagi, penuh amarah. Kwee Sin diam saja.

   "Kwee-Sute, kenapa kau diam saja. Siapakah perempuan itu?"

   Bun Si Teng bertanya, suaranya mengandung kekecewaan.

   "Aku tidak bisa bilang dia itu siapa, sudah kukatakan temanku, cukuplah. Akan tetapi, dia dan aku tidak bersekongkol membunuh siapa pun juga."

   "Hah!"

   Kwa Tin Siong sekarang marah sekali, merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah pembunuh Ayah Sian Hwa.

   "Kau berpelesir dengan seorang perempuan rendah dari Pek-Lian-Pai, terlihat oleh calon mertua yang menjadi marah-marah melihat kelakuan calon mantunya yang hina. Kau merasa khawatir kalau-kalau namamu akan dinodai oleh perbuatan itu, khawatir kalau-kalau Ayah Sumoi mengabarkan kelakukanmu yang tak patut lalu menyusul bersama perempuan rendah itu dan... dan membunuhnya..."

   "Tidak"!"

   Kwee Sin berteriak keras.

   "Tidak sama sekali"

   "Kalau tidak, katakan siapa perempuan jalang itu!!"

   Sian Hwa juga berteriak marah, pedangnya sudah dicabut lagi. Kwee Sin melangkah mundur tiga langkah, wajahnya pucat sekali. Bun Si Teng dan Bun Si Liong saling pandang, lalu mereka menghampiri adik seperguruannya.

   "Sute, urusan ini bukan urusan remeh. Betapapun juga kau harus berani mendatangkan wanita itu untuk menjadi saksi bahwa kau tidak melakukan pembunuhan dan..."

   "Apakah Suheng tidak percaya kepadaku?"

   "Akulah yang akan melawan orang yang mendakwa kau berbuat jahat, Kwee Sute. Aku percaya penuh kepadamu, akan tetapi kalau tidak diberi saksi hidup, tentu Hoa-San Sie-Eng masih penasaran..."

   "Ha-ha-ha, Kun-Lun Sam-Hengte benar-benar bagus!"

   Thio Wan It menyindir.

   "Seorang keedanan perempuan dan melakukan pembunuhan keji, Kakak-Kakaknya hendak membela. Wah, kaya gagah sendiri saja. Kalau perlu, Hoa-San Sie-Eng sanggup membasmi sampai ke akar-akarnya!."

   "Bagus sekali Kami Kun-Lun Sam-Hengte, biarpun hanya bertiga, tak akan mundur setapak biarpun dikeroyok disini!"

   Bun Si Liong juga mengeluarkan kata-kata mengejek. Kedua fihak lagi lagi sudah panas dan apabila mendapat dorongan sedikit saja pasti akan saling gempur.

   "Bagaimana, Kwee Sin? Kalau kau hendak menyangkal, kau harus bisa sebutkan nama perempuan yang menjadi kekasihmu itu, yang terlihat oleh Ayah Sumoi. Kalau kau menyembunyikan namanya, berarti dia itu betul seorang Pek-Lian-Pai dan kau bersama dia membunuh Ayah Sumoi."

   Kwa Tin Siong mendesak.

   Muka Kwee Sin pucat sekali. Tak mau dia menodai nama Coa Kim Li, seorang gadis yang cantik lagi gagah, apalagi yang telah menjatuhkan hatinya. Di lain sudut hatinya juga amat kasihan kepada bekas tunangannya yang kematian Ayah, terbunuh orang-orang yang agaknya sengaja hendak memfitnahnya. Dan semua ini kesalahannya sendiri. Andaikata dia tidak tergila-gila kepada Coa Kim Li, kiranya tak akan terjadi hal ini. Sekarang dia tidak saja membikin hancur penghidupan Liem Sian Hwa, juga dia merupakan ancaman bagi nama baik Coa Kim Li. Lebih daripada ini malah, sekarang dia menjadi biang keladi pertumpahan darah, biang keladi permusuhan antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai. Hal terakhir inilah yang lebih hebat dan menghancurkan hatinya.

   "Hoa-San Sie-Eng!"

   Akhirnya dia berkata dengan suara keras.

   "Sekali lagi kutekankah bahwa aku tidak membunuh Ayah Nona Liem! Tapi kalian tidak percaya dan mendesakku membawa-bawa nama orang yang tidak berdosa. Suheng sekalian! Kun-Lun-Pai jangan sampai bermusuhan dengan Hoa-San-Pai, dan semua bahaya permusuhan ini adalah gara-gara Siauwte yang bodoh. Oleh karena itu, biarlah Siauwte menebus dosa. Heee, Hoa-San Sie-Eng, kalau kalian tidak percaya kepadaku dan ingin melihat Kwee Sin mampus, biarlah kalian puas saat ini dan jangan merembet-rembetkan Kun-Lun-Pai dalam urusan ini!"

   Secepat kilat Kwee Sin menggerakkan pedangnya, dibabatkan ke lehernya sendiri!

   "Trang!!"

   Pedang itu terlempar, tubuh Kwee Sin lenyap dan sebagai gantinya di situ menggelundung sebuah kepala orang.

   Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siluman betina, jangan lari!"

   Tiba-tiba Lian Bu Tojin berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap pula. Kwa Tin Siong dan tiga orang adik seperguruannya kaget memandang kearah kepala yang menggelundung tadi, dan alangkah marahnya hati mereka ketika melihat bahwa kepala itu adalah kepala seorang Tosu Hoa-San-Pai yang entah bagaimana telah dipenggal dan dilemparkan ke tempat itu.

   "Keparat jahanam orang-orang Kun-Lun!"

   Bentak Kwa Tin Siong.

   "Orang she Bun berdua, sekarang kalian mau bilang apa? Kwee Sin si keparat ternyata bersekongkol dengan orang jahat, buktinya dia ditolong dan malah murid Hoa-San-Pai dibunuh. Kalian tentu bukan manusia baik-baik dan ikut sekongkol pula!"

   Dengan kemarahan meluap-luap Kwa Tin Siong lalu menerjang dua orang saudara Bun itu, dibantu oleh Thio Wan It, Kui Keng, dan Liem Sian Hwa. Empat orang saudara Hoa-San Sie-Eng ini mengamuk dan mengeroyok Bun Si Teng dan Bun Si Liong. Kasihan sekali dua orang saudara Bun ini. Mereka sesungguhnya tidak tahu apa-apa dan tadi pun ketika Kwee Sin hendak membunuh diri, mereka sudah tak berdaya. Tahu-tahu Kwee Sin lenyap. Cara lenyapnya demikian ajaib sampai tidak terlihat oleh mereka. Sudah jelas bahwa Kwee Sin ditolong orang pandai. Akan tetapi siapa penolongnya dan mengapa melemparkan kepala seorang Tosu Hoa-San-Pai? Mereka tak dapat membersihkan diri pula.

   Tentu saja orang Hoa-San-Pai akan menganggap mereka ikut bersekongkol. Terpaksa Bun Si Teng dan Bun Si Liong mencabut senjata dan membela diri. Akan tetapi oleh karena dikeroyok empat orang dan fihak tawan lebih kuat, di samping itu karena memang mereka tidak dapat berkelahi-dengan penuh semangat karena merasa pihak Sutenya bersalah, maka akhirnya Bun Si Teng dan Bun Si Liong terdesak, dan menderita luka-luka. Namun orang gagah dari Kun-Lun-Pai ini dengan ilmu silat mereka yang tinggi masih terus melakukan perlawanan, atau lebih tepat disebut melakukan pembelaan diri yang gigih dan kuat. Pada saat itu, Kwa Hong berlari-lari ke tempat Beng San bekerja. Dengan napas terengah-engah Kwa Hong menarik tangan Beng San yang sedang menyapu lantai.

   "Beng San, mari lihat. Ayah dan semua sedang bertengkar dengan orang-orang Kun-Lun-Pai. Tentu akan bertempur!"

   Kaget sekali hati Beng San. Anak ini sudah mendengar dari Tan Hok tentang usaha jahat Ngo-Lian-Kauwcu yang berjuluk Kim-Thouw Thian-Li untuk memecah belah antara Pek-Lian-Pai, Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai.

   "Kenapa mereka bertengkar. Apa sebabnya bertempur?"

   Tanyanya, masih kurang mengacuhkan karena dipikirnya bahwa hal itu bukanlah urusannya, apalagi kalau diingat bahwa apa yang dia dapat lakukan terhadap urusan itu?

   "Kabarnya seorang Kun-Lun-Pai, tunangan Bibi Sian, membunuh Ayah Bibi Sian Hwa. Sekarang dia datang bersama dua orang lagi dan cekcok dengan Ayah dan semua Paman Guru. Juga Sukong berada di sana. Hayo kita lihat!"

   "Nona Hong, Kau lihatlah sendiri. Aku dilarang oleh Sukongmu keluar dari sini, kalau aku berani keluar tentu mendapat marah pula."

   Beng San melanjutkan, kerjaannya, tidak peduli lagi.

   "Beng San, mereka sedang ribut-ribut mana memperhatikan kau? Marilah, kau temani aku keluar menonton."

   Beng San menggeleng kepala dan memandang kepada Kwa Hong, mengagumi sinar mata yang demikian tajam namun halus dan indah.

   "Nona Hong, kenapa kau selalu datang mengajak aku bercakap-cakap dan bermain-main? Sudah berapa kali kau dimarahi Ayahmu? Lebih baik. kau seperti anak-anak yang lain, menjauhi aku karena aku hanyalah kacung dan kau dilarang mendekati aku."

   "Apa salahnya? Kalau aku suka bermain-main dan bicara denganmu, siapa melarang? Biar Ayah marah, biar Sukong mengamuk, aku tidak takut!"

   Gadis cilik ini membusung dada dan kepalanya tegak, matanya bersinar-sinar. Beng San memegang tangan Kwa Hong, terharu sekali.

   "Nona Hong, mengapa demikian? Tak baik kalau kau dimarahi Ayahmu dan Sukongmu... mengapa kau begini baik terhadapku seorang kacung, seorang jembel busuk, mengapa sikapmu tidak seperti yang lain yang selalu menghinaku?"

   Untuk beberapa saat sepasang mata dara cilik itu menatap wajah Beng San, lalu berkata lirih,

   "Entahlah... aku merasa amat berkasihan kepadamu, Beng San..."

   Keduanya hanya berpegang tangan dan saling pandang tanpa mengerti apa yang mereka rasakan. Kemudian timbul kenakalan Kwa Hong yang memecahkan hikmat kesunyian itu sambil tertawa.

   "Agaknya karena kau seperti Bunglon itulah yang membuat aku suka bermain denganmu, hi-hi-hi..."

   "Kuntilanak!"

   Beng San balas memaki. la mendongkol kalau dimaki Bunglon. Kwa Hong tertawa sambil melepaskan tangannya. Pada saat itu tampak Kui lok, Thio Ki, dan Thio Bwee berlari-lari. Muka mereka agak pucat.

   "Mereka sudah bertempur!"

   Kata Thio Ki terengah-engah.

   "Bekas tunangan Bibi Sian Hwa itu lenyap secara aneh, seorang Supek yang menjadi Tosu dibunuh orang, kepalanya dilempar ke depan Sukong. Sukong mengejar orang jahat. Hebat..."

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini