Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 14


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Tanpa menanti sampai cerita ini berakhir, Kwa Hong sudah berlari-lari keluar hendak menonton, diikuti oleh tiga orang anak itu, para Tosu Hoa-San-Pai juga kelihatan berlari-lari sambil membawa senjata tajam. Keadaan Hoa-San-Pai kacau-balau. Setelah ditinggal seorang diri Beng San termenung. la mendengar suara beradunya senjata tajam, dan telinganya yang sudah meniiliki pendengaran luar biasa itu mendengar angin sambaran senjata yang amat mengerikan itu. la tahu persoalannya.

   Mereka sedang berhantam, saling bunuh tanpa mereka sadari bahwa mereka itu diadu domba oleh Pemerintah Mongol yang menggunakan Ngo-Lian-Kauw sebagai kaki tangannya. Ah, perlukah orang saling rnembunuh hanya menurutkan nafsu amarah belaka? Saling bunuh karena fitnah, padahal mereka itu adalah saudara-saudara sebangsa sendiri? Tak mungkin aku mendiamkan saja, menonton orang sebangsa saling bunuh, padahal kedua pihak adalah orang-orang gagah yang sudah memiliki nama besar sebagai Pendekar-Pendekar! Beng San melempar sapunya dan berlari cepat ke tempat pertempuran. la melihat betapa dua orang laki-laki yang melakukan perlawanan dengan gagah berani telah mandi darah dan terdesak hebat oleh pengeroyokan Kwa Tin Siong, Thio Wan It, Kui Keng, dan Liem Sian Hwa.

   Di atas tanah terletak kepala seorang Tosu Hoa-San-Pai. Keadaan benar-benar amat mengerikan. Mudah Beng San menduga siapa adanya dua orang gagah itu tentulah orang-orang Kun-Lun-Pai seperti yang tadi diceritakan oleh Kwa Hong. la melihat Kwa Hong berdiri agak jauh dengan Thio Bwee, agak pucat dan hanya menonton saja. Akan tetapi Kui Lok dan Thio Ki bertepuk-tepuk dan bersorak kalau dua orang itu terkena sambaran senjata seorang di antara Hoa-San Sie-Eng. Di dalam hati Beng San timbul rasa penasaran. Kenapa main keroyok? la dapat menilai tingkat enam orang yangbertempur itu. Apabila pertempuran dilakukan satu lawan satu, barulah akan seimbang dan ramai. la melihat pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa amat berbahaya, dan sudah di beberapa tempat ditubuh kedua orang Kun-Lun-Pai itu luka-luka.

   "Hoa-San Sie-Eng... jangan lanjutkan pertempuran. Orang-orang Kun-Lun tidak bersalah!"

   Tiba-tiba Beng San tak dapat menahan dirinya lagi, berteriak-teriak dan melompat ke dekat pertempuran. Semua orang kaget sekali melihat ini, akan tetapi yang bertempur terus saja bertempur. Kui Lok dan Thio Ki marah sekali melihat sikap Beng San. Mereka berdua ini memang sudah merasa amat iri hati kepada Beng San ketika men-dengar pujian Kwa Hong dan Thio Bwee betapa Beng San dengan "Gagah berani"

   Telah menyusul dan menolong dua orang dara cilik itu ketika diculik orang. Se-karang mereka melihat Beng San berteriak-teriak, mereka mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahan mereka. Dua orang jago cilik ini lalu menerjang maju ke arah Beng San.

   "Kacung busuk! Mau apa kau berteriak-teriak? Hayo kembali ke tempat kerjamu"

   Dua orang jago cilik ini lalu memukuli Beng San, diturut oleh beberapa orang Tosu yang juga tidak suka kepada Beng San. Terjadi keanehan ketika dua orang anak dan beberapa orang Tosu ini memukul Beng San. Kui Lok dan Thio Ki menjerit kesakitan dan tangan kanan mereka patah tulangnya ketika memukul tubuh Beng San. Para Tosu yang memukulnya kurang keras, juga berjingkrak kesakitan karena tangan mereka telah menjadi merah seperti terbakar, dan bengkak-bengkak! Tanpa mempedulikan mereka ini, Beng San langsung berjalan menuju ke gelanggang pertempuran. Dua orang saudara Bun itu sudah roboh mandi darah dan Beng San menubruk mereka sambil berseru.

   "Mereka tidak bersalah... ah, pertumpahan darah terjadi hanya karena fitnah! Alangkah bodohnya, bermata seperti buta"

   Dengan sedih Beng San mengusapi darah yang mengucur keluar dari dada Bun Si Teng dan Bun Si Liong.

   "Dua orang Pendekar gagah harus melepaskan nyawa hanya karena menurutkan nafsu belaka, hanya karena fitnah..."

   Bun Si Teng dan Bun Si Liong belum tewas, akan tetapi mereka sudah terluka parah dan hanya jiwa mereka yang gagah perkasa saja yang membuat mereka roboh tanpa mengeluarkan keluhan sakit sedikit pun juga! Melihat sikap dan kata-kata Beng San, Kwa Tin Siong kaget dan heran sekali. Apalagi ketika melihat betapa cucu-cucu murid Hoa-San, yaitu Kui Lok dan Thio Ki menderita patah tulang tangan sedangkan beberapa orang Tosu lagi bengkak-bengkak tangannya. la makin curiga akan dugaannya bahwa Beng San bukanlah anak sembarangan dan mungkin sekali dari fihak musuh. Sekarang terbukti betapa Beng San menyedihkan jatuhnya dua orang Kun-Lun-Pai dan kata-katanya yang tidak karuan.

   "Beng San, apa maksud kata-katamu ini?"

   Kwa Tin Siong membentak sambil menghampiri dengan pedang di tangan. Beng San yang melihat bahwa dua orang Kun-Lun-Pai itu tak mungkin dapat tertolong lagi, segera bangkit berdiri dengan tegak. Matanya bersinar tajam menakutkan dan mukanya menjadi merah kehitaman. la membanting kaki ke atas tanah dan berkata.

   "Hoa-San Sie-Eng, apakah kalian tidak melihat bahwa kalian telah membunuh orang-orang tidak berdosa? Kalian telah kena fitnah. Kwee Sin bukan orang yang berdosa, dia tidak membunuh Ayah Nona Liem Sian Hwa. Semua ini memang diatur oleh Pemerintah Mongol dengan bantuan Ngo-Lian-Kauw! Kwee Sin hanya mempunyai kesalahan kecil yaitu dia roboh oleh kecantikan Ketua Ngo-Lian-Kauw. Yang membunuh Ayah Nona Liem adalah kaki tangan Ngo-Lian-Kauwcu yang menyamar sebagai Kwee Sin dan sebagai orang-orang Pek-Lian-Pai. Ah, sayang orang-orang gagah sampai mudah tertipu!"

   "Bohong! Kau anak kecil tahu apa? Kau berfihak kepada Pek-Lian-Pai dan Kun-Lun!"

   Kwa Tin Siong membentak marah. Tiba-tiba Bun Si Teng dah Bun Si Liong bergerak, Bun Si Liong tertawa terbahak-bahak lalu... berhenti bernapas, mukanya masih tersenyum. Bun Si Teng dengan terengah-engah mengulurkan tangan, merangkul Beng San.

   "Aku puas... kau benar anak... kau benar. Siapa namamu...?

   "Aku Beng San,"

   Kata Beng San yang sudah berlutut di dekat Bun Si Teng.

   "Kau telah membersihkan nama Kwee-Sute dan Kun-Lun-Pai. Terima kasih. Alangkah bodohku... Ha-ha-ha, bukan hanya Kun-Lun Sam-Hengte yang bodoh... malah Hoa-San Sie-Eng goblok, hanya menurutkan nafsu belaka... Beng San, anak baik, kau anak luar biasa... kau berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku... Bun Lim... Kwi..."

   Orang gagah itu menjadi lemas dan rohnya menyusul roh adiknya. Hoa-San Sie-Eng berdirl terlongong. Mereka masih terpukul oleh keterangan Beng San, merasa ragu-ragu. Pada saat itu tampak bayangan orang berkelebat dan Lian Bu Tojin sudah berdiri di situ.

   "Ah, dia hebat... tak terkejar olehku..."

   Tiba-tiba Kakek ini mengeluarkan seruan kaget melihat tubuh Bun Si Teng dan Bun Si Liong rebah mandi darah dalam keadaan tak bernyawa pula.

   "Apa... apa yang telah terjadi...?"

   Tanyanya, memandang kepada empat orang muridnya. Hoa-San Sie-Eng tak dapat menjawab, masih bingung dan amat khawatir, kalau-kalau keterangan Beng San itu benar. Berarti mereka membunuh orang-orang yang tidak berdosa!

   "Beng San, kau lagi di sini? Apa yang kau lakukan di sini?"

   Lian Bu Tojin membentak lagi ketika melihat Beng San berlutut di depan mayat kedua orang saudara Bun itu.

   "Locianpwe, dua orang gagah dari Kun-Lun-Pai yang tidak berdosa ini telah dikeroyok dan dibunuh oleh murid-muridmu yang gagah!"

   Kata Beng San dengan suara keras. Kemudian dia mengulangi lagi penuturannya yang tadi di depan Ketua Hoa-San-Pai. Kakek ini berubah air mukanya mendengar keterangan itu, akan tetapi dengan bengis dia lalu bertanya.

   "Bocah, dari mana kau tahu semua itu?"

   "Saya bertemu dengan orang-orang Pek-Lian-Pai dan merekalah yang menceritakan semua itu kepadaku."

   "Bohong kalau begitu. Orang-orang Pek-Lian-Pai itu jahat dan bohong!"

   Seru Kwa Tin Siong penuh harap. Tentu saja dia tidak mengharapkan kebenaran keterangan Beng San, karena kalau benar terjadi hal demikian, berarti pihak Hoa-San-Pai telah melakukan perbuatan yang kurang patut terhadap Kun-Lun-Pai. Lian Bu Tojin meraba-raba jenggotnya yang panjang.

   "Urusan ini amat berbelit- belit dan amat penuh rahasia. Keterangan bocah ini mungkin sekali benar, akan tetapi juga bukan mustahil dia dipergunakan oleh Pek-Lian-Pai untuk mengacau kita. Betapapun juga, kalian sudah terburu nafsu membunuh dua orang Kun-Lun-Pai ini. Keadaan sudah terlanjur begini, sungguh tidak menyenangkan sekali. Pinto sendiri masih ragu-ragu siapakah yang benar siapa yang salah. Kwee Sin ditolong dan dibawa pergi oleh seorang iblis wanita jahat, Hek-Hwa Kui-Bo. Terang bahwa ada pihak yang bersekongkol dengan Kwee Sin, tapi..."

   Tiba-tiba Kakek itu berseru,

   "He, bocah, kau hendak lari ke mana?"

   Tubuhnya berkelebat ke depan dan di lain saat Kakek ini sudah memegang lengan tangan Beng San yang hendak lari.

   "Aku mau pergi saja. Selain Hoa-San-Pai tidak baik membunuh orang tak berdosa, Hek-Hwa Kui-Bo sudah datang, aku bisa celaka..."

   Bantah Beng San.

   "Kau dicari Hek-Hwa Kui-Bo?"

   Lian Bu Tojin bertanya heran.

   "Semua orang jahat mencariku"

   "Kenapa?"

   Ketua Hoa-San-Pai ini sudah menduga bahwa pasti ada rahasia aneh pada diri anak yang mencurigakan ini, maka dia tak akan melepaskannya sebelum dapat mengetahui rahasianya. Tentu saja Beng San tidak mau menceritakan tentang dirinya, apalagi tentang Im-Yang-Sin Kiam-sut. Tapi dia anak yang cerdik, dapat menghubung-hubungkan persoalan, maka dengan suara berbisik dia berkata.

   "Tosu tua, apa kau lupa akan Lo-Tong Souw Lee? Siapa yang tak akan mencari tempat persembunyiannya? Hek-Hwa Kui-Bo tentu akan senang mendengar bahwa aku dan Totiang mengetahui tempat tinggal Kakek tua she Souw itu!"

   Lian Bu Tojin cepat melepaskan tangan yang dicekatnya.

   "Hush, gila kau Siapa tahu tempat sembunyi orang itu?"

   Orang tua ini celingukan ke kanan kiri, nampaknya berkhawatir sekali. Siapa tidak khawatir kalau dikatakan mengetahui tempat sembunyi Lo-Tong Souw Lee? Semua orang jahat di dunia mencari-cari tempat sembunyi pencuri pedang Liong-Cu Siang-Kiam itu, dan kalau dia disangka mengetahui tempat sembunyinya, bukan mustahil kalau dimusuhi semua tokoh kang-ouw! Beng San tersenyum.

   "Totiang, aku hanya membawakan suratnya kepada Totiang, kiranya tidak aneh kalau orang yang sudah bersurat-suratan saling mengetahui tempat tinggalnya, bukan?"

   "Hush, jangan main gila kau! Pinto tidak tahu tempat sembunyinya!"

   "Kalau begitu biarkanlah aku pergi mencarinya, Totiang. Aku sudah tidak suka tinggal di Hoa-San."

   "Pergilah, pergilah cepat!"

   Kakek itu kini malah mendesak agar supaya anak itu pergi, karena kalau dibiarkan saja di situ bicara tentang Lo-Tong Souw Lee, jangan-jangan dia bisa terbawa-bawa dalam urusan perebutan Liong-Cu Siang-Kiam. Beng San menoleh ke arah anak-anak yang melihat semua itu dari jauh, kemudian dia melambaikan tangan dan berkata,

   "Nona Hong, Nona Bwee, selamat tinggal!"

   La lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak Hoa-San-Pai. Semua orang memandang bayangan anak aneh ini sampai lenyap di balik batu-batu besar. Lian Bu Tojin menghela napas panjang.

   "Ah, sungguh celaka terjadi hal seperti ini. Lekas kalian kubur baik-baik jenazah dua orang murid Kun-Lun-Pai ini. Pinto harus berani mempertanggungjawabkannya terhadap pertanyaan Pek Gan Siansu..."

   la menarik napas panjang berkali-kali sambil menggeleng kepala, penasaran sekali bahwa dalam usia setua itu harus menghadapi urusan pertumpahan darah yang terjadi antara murid-muridnya dan murid-murid Kun-Lun-Pai. Kemudian dia meninggalkan murid-muridnya, memasuki pondoknya untuk bersamadhi. Begitu memasuki pondok, dia mendapatkan kekecewaan lain dengan tidak adanya Beng San. Bocah itu begitu rajin dan amat cerdik dalam mempelajari filsafat-filsafat To. Bocah yang aneh, dan sepak terjang bocah tadi diam-diam membangkitkan keheranan dan kekagumannya. Seorang anak kecil yang bekerja sebagai kacung, dahulu sudah berani mempertaruhkan nyawa untuk menolong Kwa Hong dan Thio Bwee. Tadi sudah berani mencela Hoa-San-Pai dan mengeluarkan kata-kata yang gagah. Kalau kelak anak itu menjadi seorang yang pandai, dia tak akan merasa heran.

   Beng San berjalan cepat siang malam. Hanya kalau sudah hampir tak kuat lagi saking lelahnya maka dia mengaso. la bermaksud pergi ke Shan-Si, untuk bersembunyi di Kelenteng Hok-Thian-Tong dimana dahulu dia pernah bekerja sebagai kacung. la harus dapat menyembunyikan dirinya untuk beberapa tahun lamanya, demikian kata pesan Lo-Tong Souw Lee. Setelah tubuhnya kuat betul dan ilmu-ilmu silat itu sudah dia latih sebaiknya, baru dia boleh memperliharkan dirinya. Dan ucapan pesanan Kakek buta itu benar-benar tepat. Buktinya setiap kali dia memperlihatkan diri, pasti timbul hal-hal yang hebat. Lebih baik dia kembali ke daerah Sungai Huang-Ho dan bersembunyi di Kelenteng Hok-Thian-Tong. Terbayang olehnya para Hwesio Kelenteng itu yang rata-rata amat sabar dan baik. Kurang lebih sebulan kemudian sampailah dia di tepi Sungai Huang-Ho.

   Dari tepi sungai itu ke Utara, kurang lebih tiga puluh li lagi adalah Shan-Si di mana terdapat Kelenteng yang ditujunya. la sudah lelah sekali dan hari sudah menjelang senja. Beng San mencari tempat yang enak di tepi sungai, di bawah sebatang pohon. la mengumpulkan daun-daun dan ranting-ranting kering untuk membuat api unggun malam nanti apabila hawa udara dingin dan apabila banyak nyamuk akan mengganggunya. Sebagian daripada daun-daun kering dia jadikan tilam tempat dia tidur. Perutnya lapar tidak dipedulikannya. Beng San sudah terlentang di bawah pohon, mengenangkan pengalaman-pengalamannya selama dalam perjalanan ini. Ada hal yang amat berkesan di hatinya, yaitu ke mana saja dia berjalan, dia selalu melihat para petani bersikap penuh semangat menentang Pemerintah Mongol yang sudah banyak membikin sengsara rakyat.

   la mulai mendengar nama besar pemimpin-pemimpin rakyat disebut-sebut orang. Yang paling terkenal dan sering kali dia dengar adalah nama besar Ciu Goan Ciang yang menurut para petani itu mempunyai kepandaian seperti dewa, malah memiliki ilmu kesaktian yang ajaib-ajaib. Diam-diam Beng San mengenang semua itu dan mengingat-ingat kembali apa yang dia dengar dari Tan Hok, menghubung-hubungkan semua peristiwa antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai berhubung dengan suasana pemberontakan terhadap Pemerintah Mongol ini. Beng San adalah seorang anak kecil yang semenjak dahulu hanya mempelajari ilmu filsafat dan kebatinan, malah akhir-akhir ini mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tentang politik dia sama sekali tidak mengerti.

   "Aku tak akan pusing-pusing dengan segala urusan itu kalau aku sudah berada di dalam bangunan Kelenteng Hok-Thian-Tong yang luas,"

   Pikirnya dan dia mengenang kembali masa dia kecil bekerja sebagai kacung di Kelenteng itu. Suasana di dalam Kelenteng hanya tenteram, aman dan damai. Apabila melihat orang luar, tentu hanya orang-orang yang datang hendak bersembahyang,

   Yaitu orang-orang yang datang dengan maksud baik, dengan hati bersih dan maksud-maksud memohon belas kasihan Yang Maha Kuasa melalui para dewa yang dipuja masing-masing pendatang. Alangkah senangnya, pikirnya hidupnya. akan tenteram dan dia dapat meneruskan latihan-latihannya dengan aman. Saking lelah dan laparnya, beegitu matahari terbenam Beng San sudah tertidur. Enak sekali dia tidur, tidak tahu bahwa dia telah tidur setengah malam, bahwa bulan hampir purnama sudah naik tinggi dan bahwa dia lupa membuat api unggun. Tidak tahu dia betapa bahayanya dia tertidur tanpa api unggun di tempat terbuka seperti itu, di dekat Sungai Huang-Ho lagi yang daerahnya masih liar dekat dengan hutan-hutan besar. la bangun sambil menepuk pahanya. Di bagian celana yang robek, nyamuk menggigit pahanya dan mengisap darah sepuasnya.

   "Nyamuk keparat!"

   Beng San bangun duduk ketika mendengar suara nyamuk berngiung-ngiung di sekeliling kepalanya. Teringat dia bahwa dia belum membuat api unggun.

   la menoleh ke arah tumpukan kayu dan daun yang kelihatan jelas di bawah sinar bulan purnama yang menerobos di antara celah-celah daun pohon. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selain tumpukan kayu ini dia melihat barang lain lagi yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Sepasang barang berkilauan seperti lampu. Sepasang mata... dan segera terlihat olehnya bahwa mata yang mencorong itu adalah mata seekor binatang yang sebesar lembu rnuda, berkulit loreng-loreng! Harimau yang besar sekali! Beng San menggigil. Biarpun anak ini sudah memiliki kepandaian yang tinggi dalam tubuhnya, namun dia masih belum menyadari betul akan hal ini. Tentu saja dengan kepandaiannya, dia tak akan sukar melawan Harimau ini atau setidaknya, akan mudah dia menyelamatkan diri dengan meloncat ke atas pohon.

   Kepandaiannya memungkinkan dia melakukan hal-hal ini. Akan tetapi dia sudah lumpuh, ketenangannya lenyap. Tak boleh terlalu disalahkan dia, siapa orangnya tak akan menggigil kebingungan dan ketakutan kalau begitu bangun dari tidur sudah menghadapi seekor Harimau sebesar ini yang berdiri hanya dalam jarak tiga meter di depannya! Harimau itu memang sejak tadi sudah mengintainya. Kini melihat bocah itu bergerak, dia segera mengaum dan meloncat, menerkam ke arah Beng San. Beng San terkesima dan tak dapat bergerak, terpukau seperti kena sihir. Hanya matanya yang lebar itu terbuka melotot memandang, merasa ngeri karena seakan-akan sudah tampak olehnya gigi bertaring yang runcing serta kuku yang melengkung mengerikan.

   Akan tetapi tiba-tiba tubuh Harimau itu terhenti di tengah udara, malah terjengkang ke belakang, berkelojotan dan mandi darah. Tepat di dadanya tertancap sebatang kayu hampir tembus ke punggungnya. Siapakah yang "Menyate"

   Harimau ini? Beng San menengok ke kanan kiri, ke belakang dan alangkah herannya ketika dia melihat munculnya bayangan merah. Dara cilik berpakaian merah, si gagu bernama Bi Goat itu telah berada di depannya. Beng San sampai bengong terlongong, akan tetapi dia segera tersenyum ramah. Tak mungkin dia tidak akan gembira kalau bertemu dengan bocah ini, dara cilik cantik manis yang gagu, yang menimbulkan rasa sayang, rasa kasihan dan terharu, yang membuat dia timbul rasa hendak melindungi, hendak membelanya.

   "Kau...?"

   Tegurnya sambil berdiri. Akan tetapi kalau dulu Bi Goat tersenyum-senyum gembira dan mengajak dia bermain-main, kini sikapnya jauh berbeda. Gadis cilik ini nampak penuh ketakutan dan kekhawatiran, wajahnya yang biasanya hampir selalu kemerahan itu kini agak pucat. la menudingkan telunjuk kiri ke arah bangkai Harimau, telunjuk kanan ke arah belakangnya agak ke atas, kemudian dia menuding ke dada Beng San. Lalu dia meloncat dan menendangi bangkai Harimau yang sudah tewas itu. Beng San memandang bingung, juga kagum betapa setiap kaki kecil itu menendang Harimau, bangkai Harimau yang besar itu pasti tersepak ke depan. Sungguh dahsyat tenaga kaki kecil ini pikirnya.

   "Adik Bi Goat, kau hendak bilang apakah? Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Kau telah membunuh Harimau itu, hebat sekali kepandaianmu!"

   Akan tetapi Bi Goat nampak tidak sabar karena Beng San tidak mengerti maksud gerak tangannya tadi. la membanting-banting kakinya, memegang dengan tangan Beng San dan ditarik, diajak pergi.

   "Eh, eh, malam-malam kau hendak mengajakku ke manakah?"

   Beng San terheran dan menolak. Kembali Bi Goat menuding-nuding ke belakangnya dan pada saat itu terdengar suara melengking tinggi seperti orang menangis dari jauh. Seketika pucat muka Beng San. Celaka, kiranya Song-Bun-Kwi berada dekat situ. Kiranya Bi Goat ini tadi memberi isyarat bahwa Song-Bun-Kwi berada dekat dan menyuruh dia pergi bersembunyi. Tentu gadis cilik ini tadi hendak menyatakan bahwa karena auman Harimau tadi, Song-Bun-Kwi akan menyusul ke situ dan Beng San akan celaka. Sebelum Beng San meyakinkan dugaannya, Bi Goat sudah menarik tangannya diajak lari cepat sekali ke arah Utara.

   "Betul, ke Utara. Tiga puluh li dari sini ada Kelenteng besar, kita bisa sembunyi di sana,"

   Katanya sambil ikut berlari cepat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Goat menyeretnya meloncat ke dalam... sungai. Gadis cilik itu tentu saja sudah hafal akan gerak-gerik Ayahnya yang luar biasa, ia gagu tapi cerdik sekali. Setelah kedua orang anak itu terjun ke dalam Sungai Huang-Ho, baru Beng San tahu akan maksud hati Bi Goat. Gadis ini mengajaknya bersembunyi di bawah alang-alang yang tumbuh di pinggir sungai itu. Untung sekali Bi Goat tidak terlambat dalam tindakannya ini karena baru saja mereka bersembunyi di balik alang-alang dan merendam diri ke dalam air sungai, di situ sudah berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Song-Bun-Kwi sudah berdiri seperti patung memandangi bangkai Harimau dan bekas tempat tidur Beng San. Kakek sakti ini terdengar menggerutu seorang diri.

   "Hemmm, membunuh Harimau dengan? timpukan Sia-San (Panah Gunung). Bagus Bi Goat. Tapi kenapa lari pergi? Hemmm, ada orang lain di sini, siapa...?"

   Dengan langkah lebar Kakek itu lalu berjalan mengejar ke Utara, langkahnya lebar jalannya kelihatan perlahan saja akan tetapi sebentar saja lenyap dari situ. Beng San hendak keluar dari belakang rumput alang-alang, akan tetapi tiba-tiba leher bajunya ada yang mencengkeram dan dia ditarik kembali ke balik alang-alang. Ternyata yang mencengkeramnya adalah Bi Goat yang sebelum dia memprotes, telapak tangan yang kecil dari tangan kanan gadis itu sudah membungkam mulutnya. Beng San terheran-heran, juga merasa geli. la merasa seperti anak kecil dihadapan gadis ini. Akan tetapi, segera dia mendapat kenyataan betapa cerdik gadis ini dan betapa gegabah dan bodohnya dia sendiri.

   Seperti seorang iblis, tahu-tahu Song-Bun-Kwi telah datang lagi di tempat tadi, berdiri seperti patung memandangi Harimau. la bergidik dan merasa bulu tengkuknya meremang! Seandainya dia mengeluarkan suara dan mulutnya tidak dibungkam oleh tangan gadis gagu itu, ah, tentu Si Iblis Berkabung itu sudah akan mendapatkannya. la menoleh untuk memandang Bi Goat dengan terima kasih, akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia sudah kehilangan gadis cilik itu. Entah ke mana perginya Bi Goat yang tadi berada di sebelahnya! Selagi dia kebingungan, mendadak sekali pundaknya ditarik orang ke bawah sampai kepalanya terbenam ke dalam air. la gelagapan, akan tetapi kembali ada tangan kecil yang menyusupkan setangkai alang-alang yang berlubang ke mulutnya. Baiknya Beng San juga tergolong anak cerdik, maka seketika dia dapat menangkap maksud perbuatan aneh dari Bi Goat ini.

   Tentu dia disuruh bersembunyi dengan seluruh tubuhnya di dalam air dan tangkai alang-alang itu dapat dipergunakan untuk bernapas. Maka dia pun mengisap hawa dari tangkai itu yang menyembul ke atas bersembunyi di antara rumpun alang-alang. Dengan girang dan berterima kasih dia memegang tangan kiri Bi Goat. Dua orang anak itu sambil berendam ke dalam air saling berpegang tangan, hati mereka berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran. Di dalam air Beng San tidak tahu apa yang terjadi di

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   atas, andaikata tahu dia pasti akan bergidik kengerian karena beberapa detik setelah kepalanya terbenam air, Si Iblis Berkabung itu menggunakan tangannya mencengkeram remuk sebuah batu, kemudian menyambitkan pecahan batu ini ke se kelilingnya, juga ke permukaan air dan ke dalam alang-alang!

   Andaikata kepala dua orang anak tadi masih bersembunyi di dalam alang-alang, tentu akan terkena sambitan pecahan batu yang cukup ampuh untuk menembus kulit kepala! Setelah berendam kurang lebih satu jam, barulah Bi Goat berani muncul kembali ke permukaan air. la lalu memberl isyarat kepada Beng San untuk meloncat keluar dari air. Segera mereka berdiri di tepi sungai, basah kuyup dan saling berpandangan. Tiba-tiba gadis cilik itu tersenyum lega. Bukan main manisnya setelah tersenyum. Hati Beng San serasa diremas-remas. Ingin dia memeluk Bi Goat, ingin dia memondongnya, menggendongnya seperti anak kecil. Gadis cilik gagu yang sudah menolong nyawanya, yang biarpun gagu tapi luar biasa cerdiknya dan sekarang tersenyum-senyum begitu manisnya. Tiba-tiba dia melihat Bi Goat menggigil kedinginan.

   "Kasihan kau, Bi Goat. Kau dingin? Biar kubuatkan api unggun."

   Bi Goat segera memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya. Alisnya berkerut dan kepalanya digeleng-gelengkan. Beng San teringat dan dia merasa malu sendiri. Ah, bagaimana dia sampai kalah oleh anak perempuan yang jauh lebih muda ini dan gagu pula lagi? Kenapa dia begini kurang hati-hati? Kalau dia membuat api unggun, sama saja seperti memberitahukan tempatnya kepada Song-Bun-Kwi. Biarpun Kakek itu sudah jauh, ada tanda sedikit saja pasti cukup untuk memanggil kembali Kakek yang lihai sekali itu.

   "Bagaimana baiknya? Kau kedinginan, Bi Goat."

   Gadis cilik itu hanya menggeleng kepala, lalu memberi isyarat kepada Beng San untuk melanjutkan perjalanan ke Utara.

   "Kau tentu ikut denganku, bukan? Bi Goat, kau ikut bersamaku, ya?"

   Bi Goat mengangguk, meloncat ke dekat sungai yang ada pasirnya, ialu ujung sepatunya bergerak-gerak seperti menari. Beng San memandang dan alangkah herannya ketika dia melihat huruf-huruf besar yang indah dibuat oleh gerakan ujung sepatu itu. Huruf-huruf itu ber-bunyi: Harus sampai di Kelenteng sebelum matahari terbit. Beng San memegang kedua pundak Bi Goat, dipandangnya wajah itu penuh kekaguman.

   "Kau hebat! Biar gagu, kau pandai menulis dengan kaki malah! He-bat, Bi Goat, kau hebat...!"

   Gadis cilik itu hanya tersenyum, lalu menggandeng tangan Beng San diajak lari cepat. Di waktu dua orang anak ini berlari, Beng San merasa betapa dinginnya telapak tangan Bi Goat dan anak itu nampak kedinginan betul. Tidak heran karena pakaian basah kuyup ditambah berlari-larian di dalam udara yang begitu dinginnya lewat tengah malam itu. Beng San mendapat akal. Dia sendiri tidak bisa menderita dingin karena dengan hawa ditubuhnya dia bisa menyalurkan hawa panas membuat tubuhnya hangat. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya, melalui telapak tangan Bi Goat dia menyalurkan hawa panas ke tubuh Bi Goat untuk mengusir hawa dingin. Mendadak Bi Goat mengeluarkan suara,

   "Uhhh!"

   Dan melepaskan pegangannya, malah meloncat mundur dengan muka kaget. Melihat gerak kaki tangannya, gadis cilik ini sudah siap menghadapi pertempuran, matanya yang bening menatap wajah Beng San penuh kecurigaan. Beng San maklum bahwa gadis cilik ini salah sangka. Diam-diam dia kagum sekali. Ternyata penyaluran hawa panas tadi terasa pula oleh Bi Goat. Ternyata bocah ini sudah mahir tentang hawa di dalam tubuh, dapat merasai serangan tenaga dalam!

   "Bi Goat, aku tidak apa-apa, hanya ingin membantumu menghangatkan tubuh,"

   Beng San berkata. Bi Goat memandang terus, mengangguk-angguk dan nampaknya kagum sekali. Agaknya baru sekarang gadis cilik ini mendapat kenyataan bahwa Beng San memiliki ilmu kepandaian. la lalu menggandeng tangan Beng San lagi dan sama sekali tidak melawan ketika pemuda itu sambil berjalan menyalurkan hawa panas yang diterimanya dengan gembira karena tak lama kemudian gadis cilik itu merasa hangat tubuhnya, tidak menderita kedinginan lagi. Hari telah menjadi terang ketika dua orang anak ini sambil bergandengan tangan tiba di perbatasan Shan-Si. Kelenteng Hok-Thian-Tong berdiri di luar sebuah dusun, hanya dua li jauhnya dari Sungai Huang-Ho.

   Dengan gembira dan penuh harapan Beng San mengajak Bi Goat lari menuju ke tempat itu. Betapa kagetnya ketika akhirnya sampai di tempat yang dituju, ia melihat bahwa apa yang dulunya merupakan bangunan-bangunan Kelenteng yang besar, tua dan kuat, sekarang hanya tinggal tumpukan puing-puing belaka. Bangunan-bangunan itu ternyata telah menjadi abu, telah habis dimakan api! Sekelilingnya sunyi, tak kelihatan seorang pun manusia. Melihat keadaan tempat itu, agaknya baru beberapa pekan saja Kelenteng Hok-Thian-Tong kebakaran. Beng San berdiri bengong. Bi Goat yang semenjak tadi sudah nampak gelisah karena belum juga mereka mendapatkan tempat berlindung, kini memandang kepada Beng San yang kelihatan sedih. la segera menarik-narik tangan Beng San dan menunjuk ke arah puing, seolah-olah bertanya.

   "Celaka sekali, Bi Goat,"

   Kata Beng San perlahan.

   "Agaknya terjadi sesuatu yang hebat dengan Kelenteng Hok-Thian-Tong. Ah, bagaimana nasibnya para Hwesio dan ke mana perginya mereka itu?"

   Dasar Beng San memang seorang yang memiliki hati penuh pribudi, sebentar saja dia sudah lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan ancaman yang mengelilingi dirinya dan menaruh kasihan serta memperhatikan nasib lain orang. Dengan suara ah-ah-uh-uh-uh, Bi Goat menudingkan telunjuknya ke arah dada Beng San dan dada sendiri, lalu menuding ke arah belakang. Jelas ia kelihatan memperingatkan Beng San akan bahaya yang mengancam mereka. Barulah dia sadar akan ancaman bahaya hebat berupa Song-Bun-Kwi yang setelah malam terganti pagi tentu akan lebih memudahkan Kakek itu mencari mereka.

   la ingat bahwa tak jauh dari Kelenteng itu terdapat sebuah dusun dan dia sudah kenal dengan beberapa orang tua di dusun itu yaitu ketika dia dahulu menjadi kacung Kelenteng Hok-Thian-Tong. Tentu mereka itu akan suka memberi tempat kepadanya untuk bersembunyi. Setelah berpikir demikian Beng San lalu menarik tangati Bi Goat, diajak berlari menuju ke dusun itu. Hari masih pagi dan dusun itu sunyi sekali. Hal ini mengherankan hati Beng San karena dahulu para petani di dusun itu sudah pada bangun, malah sudah berangkat ke sawah sebelum matahari terbit. Sekarang kenapa sebuah rumah pun belum membuka pintunya? Sambil menggandeng tangan Bi Goat, Beng San berlari-lari di sepanjang jalan kampung yang sunyi itu. Jangankan mianusia, seekor anjing pun tak tampak di situ.

   Keadaan sunyi menyeramkan. Beng San seperti mendapat firasat bahwa tentu terjadi hal-hal yang mengerikan di dusun ini, seperti yang telah menimpa Kelenteng Hok-Thian-Tong. la segera menuju ke rumah Kakek Sam, pemilik warung kecil di sudut kampung yang sudah dikenalnya. Kakek Sam seorang duda tua, amat peramah dan baik kepadanya. la dapat mempercayai penuh Kakek itu dan kiranya tidak ada tempat persembunyian yang lebih baik dan aman kecuali rumah Kakek Sam itu. Diketuknya pintu rumah yang masih tertutup itu. Biasanya pagi-pagi sekali Kakek Sam sudah membuka warungnya, sekarang pintu rumahnya pun masih tertutup. Beng San tak sabar lagi, ingin dia segera bertemu dengan Kakek Sam untuk minta keterangan tentang keadaan kampung yang sunyi ini, dan tentang kebakaran Kelenteng Hok-Thian-Tong.

   "Tok-tok-tok!"

   Untuk ke empat kalinya dia mengetuk, kini agak keras. Belum juga ada jawaban dari dalam dan tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari jauh, Beng San menjadi pucat mukanya, Bi Goat memegang tangannya dan cepat dia mendorong pergi Beng San sehingga anak ini terhuyung. Bi Goat dengan muka gelisah menuding-nudingkan telunjuknya seperti mengusir pergi Beng San dan pada saat itu pintu rumah terbuka dan... Beng San meloncat mundur dengan mata terbelalak. Ratusan ekor Ular menyerbu keluar dari pintu rumah yang baru terbuka itu!

   "Celaka! Bi Goat, mundur..."

   Teriaknya sambil meloncat lagi menjauhkan diri.

   Pengalaman dengan Ular-Ular ini pernah dia alami bersama Tan Hok dahulu dan dia masih bergidik kalau mengenangkannya. Sekarang kembali dia berhadapan dengan ratusan ekor Ular yang menjijikkan. Bi Goat membalikkan tubuh, sama sekali tidak kelihatan takut kepada barisan Ular itu. la mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh-ah dan menudingkan telunjuknya kepada Beng San, lalu ke arah belakangnya dari mana masih terdengar lengking tangis sayup sampai. Celaka betul, pikir Beng San. Dari belakang mengejar Song-Bun-Kwi, dan depan menghadang barisan Ular ini. Bagaimana dia bisa lari lagi pergi meninggalkan Bi Goat? Mungkin Bi Goat tak akan diganggu Song-Bun-Kwi, akan tetapi Ular-Ular ini? Sekali lagi Bi Goat memberi isyarat supaya dia bersembunyi dan gadis ini mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya.

   Dengan benda yang diambilnya itu di tangan, Bi Goat melangkah maju dan... dengan enaknya ia berjalan diantara barisan Ular itu yang begitu gadis ini mendekat lalu diam tak bergerak, malah yang di depan cepat-cepat menyingkir, agaknya merasa takut sekali. Beng San terheran-heran dan dia hanya melihat sebuah benda mengkilap di tangan Bi Goat. Agaknya benda itulah yang membikin takut barisan Ular itu. Suara lengking tinggi makin jelas terdengar dan kini Beng San tak perlu mengkhawatirkan diri Bi Goat lagi. Selain gadis cilik itu memiliki benda yang melindunginya dari Ular-Ular itu, juga Bi Goat memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tak usah khawatir akan dicelakai orang. Apalagi Song-Bun-Kwi sudah datang dekat, siapa berani mengganggunya? Berpikir demikian, Beng San lalu berkata.

   "Bi Goat, selamat tinggal!"

   Dan dia lalu lari terus ke Utara menjauhkan diri dari tempat itu. Setelah keluar dari dusun itu, dia melihat beberapa orang serdadu Mongol di belakang rumah yang paling pinggir. Anehnya, serdadu itu segera menyelinap dan menyembunyikan diri ketika melihat Beng San lari lewat. Beng San tidak peduli dan lari terus Sampai ke pinggir Sungai Huang-Ho, kemudian lari di sepanjang tepi sungai menuju ke Barat. Setelah dia berlari belasan li jauhnya dan mulai mengendorkan larinya karena mengira bahwa dia sudah selamat terhindar daripada ancaman Song-Bun-Kwi, tiba-tiba dia mendengar lengking itu sudah dekat di belakangnya! Beng San menjadi kaget setengah mati dan dia mempercepat lagi larinya. Napasnya sampai hampir putus dan dia terengah-engah ketika di sebuah tikungan dia melihat iringan-iringan gerobak.

   Ada tujuh buah gerobak banyaknya. gerobak mengangkut karung-karung gandum. Iring-iringan gerobak gandum ini adalah gandum-gandum yang merupakan "Pajak"

   Dari para petani, dipungut oleh pembesar setempat untuk dikirimkan ke kota, disetorkan kepada pembesar atasan. Para petani bisanya menangis apabila melihat pawai gerobak ini karena di situlah adanya hasil jerih payah mereka selama setengah tahun, hasil cucuran keringat mereka setiap hari. Boleh dibilang mereka tidak ke bagian apa-apa lagi kecuali sedikit yang mereka makan untuk menyambung hidup. Beng San melihat belasan orang tentara Mongol mengawal tujuh gerobak gandum ini dan disetiap gerobak terdapat seorang kusirnya. Karena lengking tangis d! belakangnya sudah makin keras tanda bahwa Song bun-kwi makin dekat Beng San tidak berpikir panjang lagi.

   Diam diam dia menyelinap di antara gerobak-gerobak itu dan tanpa diketahui para pengawal, dia meloncat ke dalam gerobak bersembunyi di antara karung-karung gandum yang hampir sebesar dia, penuh dengan gandum yang baik dan basih. Ia mengintai dari dalam gerobak dan melihat bahwa gerobak itu dikusiri seorang bocah seumur dengannya, yang memakai caping (topi tani) lebar menutupi mukanya. Bocah ini nampak melenggut saking ngantuknya. Memang mudah untuk mengusiri gerobaknya karena gerobak yang dikusirinya ini adalah gerobak ke tiga sehingga kuda yang menarik gerobak itu tak usah dikendalikan lagi, hanya tinggal mengikuti yang depan. Tiba-tiba setelah iring-iringan ini berjalan dua tiga li jauhnya, terdengar bentakan-bentakan di luar dan gerobak-gerobak itu berhenti. Terdengar suara Song-Bun-Kwi yang galak berpengaruh.

   "Aku mencari seorang anak laki-laki bermuka hitam, kadang-kadang putih, kadang-kadang hijau, Apakah dia turut dengan kalian?"

   Terdengar suara makian kotor sebagai jawaban dan seorang diantara para pengawal membentak,

   "Tua bangka gila, hayo pergi jangan ganggu kami"

   Akan tetapi ucapan ini disusul pekik mengerikan, disusul pekik ke dua dan ke tiga. Kemudian terdengar orang-orang minta ampun disusul suara ketawa Kakek Song-Bun-Kwi, ketawa yang seperti orang menangis.

   "Anjing-anjing Mongol berani kurang ajar terhadapku? Mau tahu siapa aku? Song-Bun-Kwi inilah aku!"

   Kembali terdengar seruan-seruan ketakutan dan minta ampun.

   "Ampun, Locianpwe, ampunkan kami... di sini tidak ada anak laki-laki yang Locianpwe maksudkan tadi..."

   "Hah, siapa percaya mulut anjlng Mongol? Biar kuperiksa sendiri!"

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Song-Bun-Kwi menyingkap tenda gerobak satu demi satu, tapi tidak melihat adanya Beng San. Tujuh buah gerobak itu hanya berisi gandum belaka berkarung-karung banyaknya, bertumpuk-tumpuk memenuhi-gerobak-gerobak itu. Dengan marah dan kecewa Song-Bun-Kwi pergi dari situ sambil mengeluarkan bunyi lengkingnya yang meninggi seperti orang menangis. Buru-buru para pengawal gerobak-gerobak gandum ini menolong tiga orang teman mereka yang mati oleh pukulan Song-Bun-Kwi, dimasukkan ke dalam gerobak dan iring-iringan itu segera melanjutkan perjalanannya. Kemanakah perginya Beng San? Bagaimana Song-Bun-Kwi tidak bisa menemukannya? Kalau saja Song-Bun-Kwi tidak begitu tergesa-gesa,

   Kiranya di gerobak ke tiga dia akan melihat sebuah karung gandum yang agak lain daripada yang lain karena di dalam karung ini bukan berisi gandum, melainkan berisi seorang manusia, Beng San! Anak yang amat cerdik ini telah lebih dulu bersembunyi. Ia mendapatkan karung kosong di situ, maka segera dimasukinya dan ditutup dari dalam. Di antara puluhan karung gandum itu sepintas lalu memang tak akan dapat terlihat perbedaannya. la bernapas lega ketika Song-Bun-Kwi sudah pergi dan gerobak-gerobak itu sudah berjalan kembali. Akan tetapi dia tidak berani segera meninggalkan rombongan ini, maklum bahwa, watak Song-Bun-Kwi tak akan putus asa begitu saja. la segera mencari akal dan keluar dari karung gandum. Benar saja dugaan Beng San. Belum tiga li gerobak-gerobak itu berjalan, mendadak terdengar lagi lengking tangis, dan tak lama kemudian rombongan ini berhenti.

   "Apakah yang dapat kami lakukan untuk Locianpwe? Ada keperluan apa gerangan Locianpwe kembali?"

   Terdengar kepala penjaga bertanya dengan suara gemetar.

   "Buka semua tenda gerobak, hendak kuperiksa lagi!"

   Para pengawal sibuk membukai tenda gerobak. Song-Bun-Kwi meneliti dengan penuh perhatian. Di gerobak ke tiga dia berhenti dan tiba-tiba dia menyambar sebuah karung gandum. Begitu dia mengangkat karung gandum ini, jelas kelihatan bahwa di dalam karung bukanlah gandum, melainkan seorang manusia yang bergerak-gerak!

   "Ha-ha-ha, hi-hi! Beng San bocah setan, kau hendak lari ke mana?"

   Sambil tertawa-tawa gembira Song-Bun-Kwi menggendong karung berisi manusia itu dan berlari cepat sekali seperti terbang meninggalkan rombongan itu. Para pengawal saling pandang dengan heran. Bagaimana di antara gandum berkarung-karung itu terdapat manusianya? Tergesa-gesa mereka melanjutkan perjalanan dan sebentar-sebentar para pengawal menengok ke belakang dengan perasaan ngeri dan takut. Nama besar Song-Bun-Kwi memang membikin takut semua orang dari golongan manapun juga. Tiba-tiba gerobak ke tiga menyeleweng dari iring-iringan. Kudanya membelok ke kiri dan melintang di tengah jalan.

   "Keparat, kusirnya tertidur agaknya!"

   Bentak kepala pengawal sambil berlari menghampiri dan menahan kuda yang hendak binal ini. Ketika dia memandang, dia kaget sekali melihat bahwa gerobak ke tiga ini memang tidak ada kusirnya! Ke mana perginya kusir yang masih muda itu? Tadi masih nampak melenggut, melindungi mukanya dari sinar matahari. Semua pengawal menjadi bingung dan bertanya-tanya, kemudian mereka menjadi pucat ketika kepala pengawal berseru,

   "Celaka, jangan-jangan yang dibawa pergi Song-Bun-Kwi adalah dia!"

   Kekhawatiran mereka terbukti. Pada saat itu terdengar lengking panjang. Sebelum mereka sempat berunding apa yang harus mereka lakukan, Song-Bun-Kwi sudah datang membawa karung, yang tadi, dilemparkannya karung yang sekarang berisi mayat manusia itu ke arah para pengawal, kemudian tubuh Song-Bun-Kwi berkelebatan ke sana ke mari. Beberapa belas menit kemudian ketika Kakek ini pergi, di situ sudah tidak ada lagi manusia hidup.

   Semua pengawal dan kusir, bahkan semua kuda yang menarik gerobak, rebah tak bernyawa lagi. Beginilah kejamnya hati Song-Bun-Kwi si Iblis Berkabung! Apakah yang terjadi? Ke mana perginya Beng San? Kalau saja Beng San tahu apalagi melihat apa yang menjadi akibat, daripada perbuatannya, kiranya dia tak akan suka melakukan akalnya itu. Tadi setelah selamat tidak dapat ditemukan Song-Bun-Kwi ketika dia bersembunyi di dalam karung gandum, dia merasa pasti bahwa Kakek iblis itu akan kembali. Maka cepat dia mengambil keputusan menggunakan siasat. Dari dalam gerobak dia merayap ke depan dan sekali terkam dia dapat menangkap kusir gerobak yang masih muda itu, menyumpal mulutnya dan mengikat kaki tangannya. Kemudian dia memasukkan kusir ini ke dalam karung dan dia sendiri duduk di tempat kusir, memakai topi caping lebar menutupi mukanya.

   Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San menyaksikan sendiri dari balik topinya ketika Song-Bun-Kwi datang lagi dan membawa pergi karung gandum berisi kusir tadi. la merasa beruntung sekali bahwa Kakek iblis itu tidak membuka karung di tempat itu. Setelah Kakek itu pergi, cepat Beng San mencari kesempatan dan diam-diam menyelinap turun dari gerobak, lalu lari memasuki sebuah hutan yang lebat dan liar di tepi Sungai Huang-Ho. Karena takut kalau-kalau dapat dikejar dan ditangkap Song-Bun-Kwi, Beng San berlari terus menyusup-nyusup hutan liar itu. Setelah hari menjadi sore, barulah dia berhenti. la lelah sekali, lelah dan lapar. Agaknya malapetaka masih banyak mengelilingi dirinya. Baru saja dia terlelap hendak tidur, dia mendengar suara berisik dan ketika dia membuka matanya, dia telah dikurung oleh belasan orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan bengis dan jahat. Semua orang itu memegang golok yang besar dan tajam berkilau!

   "Eh, eh... ada apa... mau apa...?"! Beng San berseru gagap dan merayap hendak bangun.

   "Heh-heh-heh!"

   Seorang di antara mereka, yang bermulut lebar dan berkumis lebat, tertawa bergelak, dari mulutnya menitik keluar air liur, menjijikkan sekali.

   "Kawan-kawan, daging bocah kurus ini kiranya lumayan juga untuk teman gandum dan arak. Heh-heh-heh!"

   "Apa...??"

   Beng San meloncat ke belakang, mukanya pucat.

   "Kalian ini manusia hendak makan daging manusia? Apakah kalian ini iblis?"

   "Sekarang ini jamannya orang makan orang, heh-heh-heh, apa anehnya kalau kami hendak makan engkau, bocah? setiap hari di kota, di dusun, kau melihat, orang makan orang. Ha-ha-ha, orang digerogoti habis dagingnya oleh orang lain. Heh-heh-heh!"

   Para pengurung itu yang wajahnya liar dan bengis-bengis merapat maju. Beng San menengok ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya sudah terkurung betul-betul, tidak ada jalan keluar atau lari lagi. la menjadi bingung dan akhirnya timbul amarahnya. Masa dia harus menyerah mentah-mentah saja untuk dijadikan mangsa orang-orang liar ini? Tidak, dia harus melawan! Latihannya ilmu silat telah banyak maju, setiap saat terluang tak pernah dia lupa melatih diri. Kiranya sekarang inilah ujian baginya apakah dia selama ini melatih diri cukup keras atau tidak. Mendadak terdengar bentakan-bentakan keras. Sinar putih berkelebatan dari kanan kiri. Di antara orang-orang liar itu ada beberapa orang terjungkal dan beberapa batang senjata rahasia menancap pada batang pohon.

   "Ah, Pek-Lian-Pai yang datang...! Kawan-kawan, lari...!"

   Seru kepala gerombolan liar itu, Mereka lari cerai-berai sambil menyeret mereka yang tadi terjungkal roboh. Sebentar saja di situ tidak kelihatan lagi seorang pun orang jahat, hanya di sana-sini kelihatan paku-paku yang kepalanya berbentuk Bunga Teratai Putih. Itulah Pek-Lian-Ting (Paku Teratai Putih), senjata rahasia dan tanda anggauta perkumpulan Pek-Lian-Pai. Beng San girang sekali. Tentu Tan Hok dan teman-temannya yang datang menolongnya. la celingukan ke kanan kiri, lalu memanggil.

   "Tan-Twako..., aku Beng San disini...!"

   Dari dalam hutan yang sudah mulai gelap itu bermunculan belasan orang. Ada laki-laki, ada pula wanita dan pakaian mereka serba ringkas. Yang laki-laki kelihatan gagah, ada juga yang menakutkan. Tiga orang wanita di antara mereka cantik dan gagah, sudah setengoh tua akan tetapi masih cantik dan gesit gerak-geriknya. Mereka ini segera mendekati Beng San, seorang di antaranya bertanya ramah.

   "Kau tadi memanggil Tan-Twako, siapakah yang kau maksudkan?"

   Beng San melihat bahwa penanyanya seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, gagah dan keren.

   "Kumaksudkan pemimpin rombongan Pek-Lian-Pai yang bernama Tan Hok, dia adalah sahabat baikku."

   Terdengar seruan-seruan heran dan kaget di antara belasan orang Pek-Lian-Pai itu. Si pemimpin sendiri segera mengeluarkan seruan girang.

   "Aha, kiranya kau yang bernama Beng San? Tentu saja kami mengenal baik Tan Hok yang memimpin rombongan Pek-Lian-Pai dari Selatan itu. Sudah kuduga bahwa kau tentu Beng San seperti pernah diceritakan oleh saudara Tan Hok, maka tadi kami tidak ragu-ragu untuk mengusir Perampok-Perampok pemakan manusia itu."

   Beng San segera mernberi hormat dan berkata,

   "Banyak terima kasih kuucapkan kepada Kakak-Kakak yang gagah perkasa. Makin yakinlah hatiku sekarang bahwa Pek-Lian-Pai memang perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi, Twako, kenapa kalian yang belum mengenalku telah menolongku dan begini baik kepadaku?"

   Beng San merasa sungkan sekali karena beberapa orang Pek-Lian-Pai itu sudah mengeluarkan Roti dan air minum untuknya.

   "Kau makanlah dulu, nanti akan kami ceritakan sejelasnya. Bukan hanya karena kau kenalan saudara Tan Hok saja mengapa kami menolongmu, akan tetapi ada hal yang lebih penting lagi. Makanlah dulu, Adik Beng San."

   Karena perutnya memang lapar sekali, Beng San tanpa malu-malu lagi lalu makan hidangan itu dengan lahapnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka ini, orang-orang gagah Pek-Lian-Pai, dia merasa aman dan tidak takut akan ancaman Song-Bun-Kwi. Akan tetapi setelah mengambil paku-paku Pek-Lian-Pai dari tempat itu, para anggauta Pek-Lian-Pai itu seorang demi seorang pergi dari tempat itu seperti setan-setan saja. Gerakan mereka cepat dan tidak mengeluarkan suara sehingga rombongan seperti ini dalam pertempuran dapat melayani musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kini hanya tinggal pemimpin pasukan yang tadi bicara dengan Beng San, yang masih duduk menghadapi anak itu.

   "Ke mana perginya teman-teman tadi?"

   Beng San bertanya sehabis makan, karena kesunyian tempat itu betul-betul menyeramkan, apalagi setelah keadaan menjadi makin gelap.

   "Ah, sudah menjadi kebiasaan klta tidak berkelompok, selalu siap untuk menggempur musuh, pasukan-pasukan Mongol yang lewat dekat daerah mi,"

   Pemimpin Pek-Lian-Pai itu berkata. Beng San mengangguk-angguk dan mengangsurkan kembali tempat air dan tempat Roti yang sudah kosong.

   "Sekali lagi terima kasih, Twako... eh, siapakah nama Twako?"

   "Namaku Ciu Tek,"

   Jawab orang itu, singkat.

   "She Ciu...? kalau begitu Twako ini masih terhitung keluarga dengan pemimpin yang terkenal Ciu Goan Ciang?"

   Orang itu nampak gugup, tapi karena keadaan gelap, sukar bagi Beng San untuk memperhatikan mukanya.

   "Aaahhh... orang seperti aku ini, mana bisa disejajarkan dengan Ciu Goan Ciang? Eh, Adik Beng San, kau sudah tahu akan Ciu Goan Ciang, apakah kau pernah bertemu dengannya dan di mana dia sekarang?"

   "Semua orang, dari pedagang sampai petani, memuji-muji nama besar Ciu Goan Ciang. Tentu saja aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang. Akan tetapi belum pernah aku bertemu muka dengannya dan tentu saja aku tidak tahu di mana tempatnya. Ciu-Twako, kau tadi bilang bahwa ada hal yang amat penting yang menjadi alasan kau dan teman-teman tadi menolongku. Hal apakah yang amat penting itu?"

   "Amat penting bagimu, Adik Beng San. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku ingin mendapat kepastian lebih dulu agar jangan mengecewakan dua orang sakti itu. Adikku yang baik, coba kau buka baju atasmu, ingin aku membantu"

   Beng San melepas bajunya yang sudah rombeng itu, yang dilakukannya karena dia ingin segera mendengar apa yang akan dlceritakan oleh pemimpin Pek-Lian-Pai itu. Dengan sebatang obor yang dinyalakannya Ciu Tek menerangi dada dan pundak Beng San. Tiba-tiba dia nampak gembira, tertawa-tawa dan menudingkan telunjuknya ke arah pundak Beng San.

   "Bagus, kaulah anak mereka! Ha-ha-ha, tak salah lagi sekarang. Tanda tahi-lalat di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isteri yang sakti itu!"

   Beng San menjadi bengong, lalu memakai kembali bajunya.

   "Ciu-Twako, apa kau bilang? Aku anak siapa? Harap kau jelaskan, jangan main-main."

   Suara Beng San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia adalah anak mereka! Mereka siapa?

   "Adik Beng San, jawab dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir Sungai Huang-Ho dan tidak tahu lagi siapa Ayah Bundamu?"

   Beng San mengangguk, membasahi, bibirnya dengan lidah.

   "Aku... aku sudah lupa segala... aku terdampar ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di Kelenteng... aku tidak ingat lagi siapa Ayah Bundaku. Ciu-Twako yang baik, lekas kau beri penjelasan, apa artinya semua ini?"

   Ciu Tek memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira,

   "Adik Beng San, Kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan Ayah Bundamu kembali. Mereka sudah lama mencari-carirnu ke mana-mana. Tak nyana aku yang menemukan kau disini. Ah, girang sekali hatiku!"

   Beng San hampir pingsan saking kagetnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu dengan Ayah Bundanya kembali? Bagaimanakah wajah Ayah Bundanya itu? la sudah lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk. Bahkan shenya sendiri saja dia sampai lupa.

   "Ciu-Twako... di mana... dimana... mereka itu...?"

   Dengan sukar sekali Beng San mengajukan pertaryaan ini, dengan suara terputus-putus dan mata berlinangan air mata.

   "Sabarlah, Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan Ayah Bundamu itu."

   Ciu Tek memberi isyarat dengan siutan. Muncullah seorang temannya, seorang anggauta Pek-Lian-Pai wanita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa pedang.

   "Kui-moi, kau antarkan suratku kepada Ouw-Taihiap suami isteri, malam ini juga,"

   Kata Cin Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada wanita itu. Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.

   "Ciu-Twako, jadi aku she... she Ouw? Ciu-Twako, ceritakanlah tentang Ayah Bundaku, aku sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-Ho? Ah, Twako yang baik, ceritakanlah, aku tak sabar menanti."

   Seperti anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan memandang terharu.

   "Adikku yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang Pendekar yang sukar dicari bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya Hui-Sin-Liong (Naga Sakti Terbang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk Bi-Sin-Kiam (Pedang Sakti Cantik)."

   Beng San mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah Pendekar-Pendekar gagah, terkenal di kalangan Pek-Lian-Pai pula. Alangkah akan kaget dan herannya kalau kelak Tan-Twako mendengar akan hal ini, pikirnya. Hemmm, orang tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua anak-anak Hoa-San-Pai itu. Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadap Thio Ki, Kui Lok, dan dua orang gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!

   "Ciu-Twako,"

   Katanya dengan Suara gemetar.

   "Kalau Ayah Bundaku begitu terkenal dan lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?"

   "Ketika itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-Ho, Ayah Bundamu sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan kau yang masih kecil bermain-main di dekat sungai lalu terseret banjir dan lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah lenyap..."

   Beng San termenung. Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama sekali akan hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-Thian-Tong. Baginya, hidup ini dimulai dari lantai Hok-Thian-Tong yang dia pel (cuci) setiap hari. Ingatannya hanya bisa dia putar kembali sampai saat itu, saat ia menjadi kacung di Kelenteng, diperlakukan dengan amat baik oleh para Hwesio di Kelenteng itu. Ia tidak dapat mengingat lagi waktu sebelum itu. Dan sekarang Kelenteng itu sudah habis di makan api, tak seorang pun Hwesio dapat dia temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak di-sangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan Ayah Bundanya! Tak tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.

   

Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini