Raja Pedang 15
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Tidurlah, Adik Beng San. Tidurlah nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan Ayah Bundamu."
Akan tetapi mana Beng San mau tidur? la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Malah sekarang pun berkali-kali dia mencubit kulit lengan sendiri untuk menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur.
Kadang-kadang dia hampir tak dapat percaya. la akan bertemu dengan Ayah Bundanya? Ah, terlalu baik, terlampau luar biasa baik nasibnya, sampai-sampai sukar untuk mempercayanya. Tak sabar lagi dia menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa artinya menunggu. Malam itu terasa amat panjang olehnya. Akhirnya fajar menyingsing. Suara-suara dalam hutan sudah berubah, bukan lagi suara Burung malam, jengkerik diseling meraungnya binatang-binatang buas, suara yang seram menambah kegelisahan hati Beng San yang tak sabar, melainkan sudah berubah menjadl suara Burung-burung pagi berkicau ramai indah, menambah kegembiraan hati Beng San yang melihat bahwa apa yang dinanti-nantikan akhirnya menjelang tiba. Ciu Tek mengeluarkan sisa daging rusa yang masih disimpannya, lalu dipanggang dan memberi sebagian kepada Beng San.
Akan tetapi dengan halus Beng San menolaknya, menyatakan bahwa dia tidak lapar. Memang, dia hanya lapar bertemu orang tuanya, yang lain-lain tidak peduli lagi. Akhirnya, setelah matahari mulai menerobos cahayanya di antara daun-daun pohon, dari jauh terdengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah dua orang. Seorang laki-laki tinggi tegap berusia empat puluh tahun yang bermuka pucat, bermata sipit dan dengan kumis melintang meloncat turun dari kudanya, diturut oleh seorang wanita cantik berpakaian indah, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Dua orang ini sambil tersenyum-senyum menghampiri Beng San dan Ciu Tek. Beng San segera bangkit berdiri, memandang kepada dua orang itu, ganti-berganti. Lehernya terkancing, seakan-akan ada hawa menyesak dari dada memenuhi-kerongkongannya.
"Adik Beng San, itulah mereka, Ayah dan ibumu. Sambutlah,"
Kata Ciu Tek sambil tersenyum.
"Baik-baiklah kau dengan Ayah ibumu, aku harus pergi."
Ciu Tek segera meninggalkan tempat itu tanpa mendapat jawaban Beng San yang seakan-akan tidak mendengarnya, karena anak ini seperti terpukau berdiri memandang dua orang yang baru datang itu.
"Beng San, ahhh... kau sudah begini besar... ah, sampai pangling aku... hampir delapan tahun kau lenyap... ah, biarkan aku melihat tanda di pundakmu, Beng San. Betulkah kau Beng San anakku? Betulkah ada tahi-lalat di pundakmu?"
Wanita itu berkata dengan suara terputus-putus dan Saputangannya digosok-gosokkan matanya yang bercucuran air mata. Laki-laki itu pun melangkah maju, suaranya besar parau.
"Tak salah lagi, inilah anak kita. Biar kita buktikan tandanya. Beng San, coba kau lepas bajumu..."
Gemetar seluruh tubuh Beng San. Entah apa yang dirasanya di saat itu, dia sendiri tidak tahu. Seperti dalam mimpi tangannya membuka kancing bajunya sehingga baju itu terbuka dan tampak dada dan pundaknya. Sebuah andeng-andeng (tahi-lalat) kecil menghias pundak kirinya. Melihat ini wanita itu lalu menubruk dan merangkulnya.
"Ah, kau betul Beng San anakku..."
Diciuminya pipi dan leher Beng San. Anak ini merasa jengah dan malu. Seharusnya dia tidak usah merasa malu bisik hati nuraninya, kan dia ibuku? Tapi entah, tanpa dia sengaja dia menjauhkan mukanya dan dia memandang muka cantik yang berbedak tebal dan berbau harum minyak wangi itu, memandang sepasang mata yang bergerak liar dan genit, mulut yang dilapisi cat merah, indah bentuknya dan selalu tersenyum akan tetapi agak terlampau lebar itu, giginya yang kecil-kecil meruncing tampak ketika tersenyum.
"Beng San, anakku...mari sini, Nak... biarkan ibumu memelukmu..."
Beng San bergidik, akan tetapi dia memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat menjatuhi-pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula dia pun menangis terisak-isak.
"Ayah... Ibu...??! Kenapa... kenapa..."
Bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan Ayahnya yang sudah mendekat pula.
"Kenapa? Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San...?"
Ibunya bertanya. Sebetulnya hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa Ayahnya tidak segagah Ayah Kwa Hong dan kenapa ibunya begini... pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung seperti yang dia gambar-gambarkan semalam. Akan tetapi mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya berbisik.
"Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai sembilan tahun?"
"Membiarkan terlunta-lunta? Ah, kau tidak tahu, Beng San. Kami telah mencari-carimu setengah mati, malah mengerahkan semua kawan Pek-Lian-Pai untuk mencarimu,"
Kata ibunya yang bernama Bhe Kit Nio.
"Ah, pakaianmu begini kotor, sudah rombeng pula. Aku tadi membawa pakaian untukmu, anakku. Mari kugantikan kau dengan pakaian baru."
La berlari ke arah kudanya dan mengambil satu stel pakaian dari Sutera indah berwarna biru muda untuk Beng San. Tanpa disengaja Beng San tersipu-sipu malu.
"Biarlah, Ibu, biar kupakai sendiri."
La menerima pakaian itu dan lari sembunyi ke belakang sebatang pohon besar, cepat-cepat dia memakai pakaian itu, akan tetapi tidak membuang pakaian lamanya. la hanya merangkapkan pakaian baru di luar pakaiannya yang lama. Setelah dia muncul kembali, ibunya berkata.
"Ah, coba lihat. Alangkah tampannya anak kita..."
Sambil tertawa ibu muda ini berlari dan memeluk lagi leher Beng San. Beng San mendapat kenyataan betapa Ayahnya semenjak tadi hanya diam saja. Agaknya Ayahnya memang pendiam dan tidak bisa banyak bicara. la merasa tidak enak kalau didiamkannya saja. Sejak tadi hanya ibunya yang bicara terus. Temyata ibunya memang pandai bicara. la teringat akan Kwa Hong. Memang, kalau dibandingkan, Kwa Hong jauh lebih pandai bicara daripada Kui Lok atau Thio Ki Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga lebih pandai bicara. Apakah memang wanita sudah semestinya lebih pandai bicara daripada laki-laki?
"Ayah, aku pernah bertemu dengan Tan-Twako, pemimpin Pek-Lian-Pai. Kenapa dia tidak tahu bahwa aku anak Ayah Ibu?"
Ayahnya nampak bingung.
"Tan-twa-ko...? Siapa itu... ah, ingat aku. Kau maksudkan Tan Hok?"
"Ketahuilah, Beng San,"
Ibunya menyambung cepat.
"Tan Hok itu adalah pemimpin Pek-Lian-Pai cabang Selatan, jadi berpisahan dengan kami. Ayahmu dan aku mempunyai hubungan dengan Pek-Lian-Pai cabang Utara. Memang belum lama ini kami bertemu dengan Tan Hok dan dari dialah kami mengetahui tentang kau dan timbul dugaan bahwa kau adalah putera kami. Dan ternyata betul, terima kasih kepada para Sianli (Dewi) di kahyangan"
Hemmm, isinya menyatakan terima kasih kepada dewi. Agaknya ibunya ini penyembah Kwan Im Pouwsat, pikir Beng San. la masih belum biasa dengan keadaan ini, keadaan berayah ibu, maka dia merasa canggung dan masih saja dia terasa dirinya asing.
"Sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu semenjak kau terbawa hanyut. oleh Sungai Huang-Ho, anakku,"
Ibunya berkata sambil duduk di sebelahnya, memegangi tangannya dengan sikap yang penuh kasih sayang. Terharu juga Beng San melihat sikap Ayahnya diam saja, hanya membuat api unggun dan memanggang daging yang agaknya tadi sengaja dibawa. Hal yang amat kecil ini saja tidak terluput dari perhatian Beng San. Kenapa Ayahnya yang memanggang daging? Bukankah seharusnya ibunya yang melakukannya? Kenapa ibunya agaknya tidak mengacuhkan dan kenapa Ayahnya kelihatan takut-takut kepada ibunya?
"Beng San, kenapa melamun? Aku minta kau ceritakan pengalamanmu."
Ketika hendak mulai bercerita, Beng San tiba-tiba teringat bahwa keadaan dirinya amat berbahaya. la teringat akan pesan Lo-Tong Souw Lee. Karena dia mengerti tentang Im-Yang-Sin Kiam-sut dan tahu di mana adanya Lo-Tong Souw Lee, dirinya menjadi terancam, dicari oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Kalau sekarang dia menceritakan semua itu kepada Ayah Bundanya, bukankah itu sama saja dengan menimpakan semua bahaya ini ke pundak orang tuanya juga?
"Aku tidak tahu bagaimana asal mulanya, tak ingat lagi,"
Ia mulai menuturkan pengalamannya.
"Tahu-tahu aku sudah berada di Kelenteng Hok-Thian-Tong menjadi kacung melayani para Hwesio di sana."
La menarik napas panjang karena teringat lagi kepada Kelenteng yang terbakar itu.
"Aku tidak ingat apa-apa lagi, yang kuingat hanya bahwa aku hanyut oleh air bah Sungai Huang-Ho dan bahwa namaku Beng San."
"Kasihan kau, anakku..."
Bhe Kit Nio memeluknya dan kembali air matanya bercucuran. Beng San merasa heran betapa mudahnya air mata mengucur dari sepasang mata ibunya.
"Lalu bagaimana lanjutannya, Nak?"
Sementara itu, Ouw Kiu sudah pula duduk di situ, mendengarkan cerita Beng San sambil memegang ujung ranting yang dipergunakan untuk menusuk dan memanggang daging. Matanya yang bersinar suram itu lebih banyak menatap daging di dalam api, jarang sekali menatap wajah Beng San, bahkan agaknya menghindari pandang mata Beng San yang tajam luar biasa itu. Beng San lalu menuturkan dengan suara perlahan semua pengalamannya, bahkan menuturkan dengan bangga bahwa dia telah diangkat sebagai murid dan ahli waris oleh mendiang Phoa Ti dan The Bok Nam yang tewas di dalam jurang. Ketika dia bercerita sampai di sini, Ayahnya nampak tenang saja, akan tetapi ibunya berseru kaget.
"Apa??"
Kau diambil murid Thian-Te Siang-Hiap? Kalau begitu kau menjadi ahli warisnya dan mewarisi Im-Yang-Sin Kiam-sut?"
Sepasang mata ibunya terbelalak memandangnya, alisnya diangkat dan mulutnya terbuka. Kembali Beng San merasa bahwa ibunya ini dalam segala gerak-geriknya terlalu dibuat-buat. Ia lebih bangga akan sikap Ayahnya yang pendiam dan seakan-akan tidak peduli, patut menjadi sikap seorang gagah perkasa, sungguhpun corak Ayahnya lebih menakutkan daripada gagah. Betapapun juga, dia merasa bangga bahwa ibunya juga mengenal nama Thian-Te Siang-Hiap dan tahu akan Im-Yang-Sin Kiam-sut.
"Ah, aku hanya baru mempelajari teorinya, Ibu, prakteknya sih masih jauh dari pada sempurna. Aku masih sedang melatihnya, baru pada tingkat permulaan."
"Bagus, anakku. Ah, kau anakku yang beruntung, anakku yang bernasib baik!"
Ibunya memeluknya dan mencium keningnya. Kembali Beng San merasa pipinya merah dan panas, hatinya malu dan jengah.
"Teruskanlah, Nak, teruskan penuturanmu."
"Ah, Ibu, kau bilang aku beruntung dan bernasib baik. Sebaliknya daripada itu, setelah menerima warisan ilmu itu, hidupku seperti terkutuk. Aku dipakai rebutan antara orang-orang jahat, rnalah hampir saja beberapa kali aku dibunuh karena warisan ini, Beng San berkata menyesal.
"Ehhh...?? Siapa berani mengganggumu, siapa sih berani mau membunuhmu? Keparat, kuhancurkan kepalanya nanti!"
Nyonya muda itu mengepal tinjunya yang kiri sedangkan tangan kanannya meraba gagang pedangnya. Sikapnya mengancam dan gagah sekali. Untuk sejenak hati Beng San terhibur. Bangga dia melihat sikap orang yang menjadi ibunya ini, yang demikian ganas hendak membelanya.
"Ah, Ibu... itulah celakanya... selama ini yang mengejar-ngejarku dan, mengancam keselamatanku adalah orang-orang yang layak disebut iblis, tokoh besar yang amat sakti dan tinggi kepandaiannya, sukar sekali dilawan..."
"Hemmm, siapa mereka? Katakan!"
Tiba-tiba Ouw Kiu yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suaranya yang parau. Kembali Beng San merasa bangga karena Ayahnya ini pun agaknya marah mendengar bahwa dia hendak diganggu orang. Baru sekarang dia merasa betapa enak dan senangnya berayah ibu, ada orang melindungi dan membelanya!
"Pertama adalah Song-Bun-Kwi, ke dua Hek-Hwa Kiri-bo, dan masih banyak lagi, mungkin semua orang di dunia kang-ouw hendak menangkapku karena mereka hendak merebutkan Im-Yang-Sin Kiam-sut."
Beng San memandang tajam Ayah Bundanya, dia tak akan heran kalau melihat mereka kaget dan khawatir. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat Ayahnya mengangguk-angguk dan ibunya malah tertawa nyaring!
"Ha-ha-ha, Beng San. Cuma orang-orang macam Song-Bun-Kwi dan Hek-Hwa Kui-Bo saja kau anggap hebat? Ah, kukira tadi ibJis neraka yang mengganggumu. Kalau hanya mereka itu, andaikata ibumu ini tidak kuat melawannya, pasti mereka diganyang mentah-mentah oleh Ayahmu! Jangan khawatir, anakku. Kau belum tahu bahwa Ayah ibumu juga bukan orang lemah, apalagi Ayahmu. Hemmm, kiranya pasangan kami tak kalah terkenalnya. Kebetulan sekali kau segera dapat kami temukan, kalau tidak, ahhh... amat berbahaya. Kau harus lekas beritahukan Im-Yang-Sin Kiam-sut kepada kami. Di bawah pimpinan Ayahmu, kau akan dapat kemajuan pesat dan akan kuat membantu kami menghadapi musuh-musuhmu itu."
Tapi Beng San masih ragu-ragu. Betulkah Ayah Bundanya akan mampu menghadapi Hek-Hwa Kui-Bo atau Song-Bun-Kwi? la tidak mau menyeret Ayahnya atau ibunya sehingga jiwa mereka terancam pula. la menggeleng kepala dan berkata,
"Biarlah, Ibu. Biar aku sendiri saja yang mengerti ilmu sial itu, agar Ayah jangan ikut terancam keselamatannya."
"Hemmmm, agaknya kau belum percaya akan kepandaian Ayahmu. Biarlah lain waktu kau akan melihat sendiri buktinya. Sekarang, kau lanjutkan ceritamu."
Beng San lalu menceritakan pengalamannya ketika dia ditolong Lo-Tong Souw Lee dan kemudian menerima latihan-latihan dari Kakek buta itu dan mendapat penjelasan-penjelasan bagaimana dia selanjutnya harus melatih diri untuk mempelajari Im-yang Sln-kiam-sut yang sudah dihafalnya di luar kepala itu.
"Ahhh... kau malah bertemu dengan dia? Apakah Liong-Cu Siang-Kiam masih ada padanya?"
Tanya ibunya, nampak kaget dan terheran-heran.
"Masih ada. Bagaimana Ibu bisa tahu tentang Liong-Cu Siang-Kiam dan apakah Ibu mengenal Lo-Tong Souw Lee?"
"Hi-hi-hi, bocah bodoh. Siapa tidak tahu tentang Liong-Cu Siang-Kiam yang dicuri Kakek itu dan menghebohkan orang seluruh negara? Dan tentang Lo-Tong Souw Lee sendiri... ah, dia itu adalah sahabat baik Ayahmu!"
"Sahabat baik Ayah?"
Beng San menengok kepada Ayahnya yang sudah memandang panggang dagingnya dengan muka muram lagi.
"Akan tetapi dia sudah amat tua, dan malah sudah buta, sedangkan Ayah... Ayah masih muda..."
"Dalam persahabatan orang tidak melihat perbedaan usia,"
Bantah ibunya.
"Ayahmu sahabat baik Lo-Tong Souw Lee. Kalau bukan sahabat baik, apakah Ayahmu tidak sudah pergi mencarinya untuk merampas kembali Liong-Cu Siang-Kiam seperti tokoh-tokoh lain? Karena sahabat baik, Ayahmu segan melakukan itu. Sekarang kebetulan sekali, Beng San. Kalau Lo-Tong Souw Lee sudah berlaku amat baik kepadamu, kepada anak kami, sudah selayaknya kalau kami membelanya dari ancaman orang-orang kang-ouw. Kuusulkan supaya kita bertiga pergi mengunjunginya, di sana kau boleh memperdalam Ilmu Im-Yang-Sin Kiam-sut di bawah asuhan Ayahmu sementara kita bersama menjaga keselamatan orang tua yang sudah buta itu."
Ibunya laki meraba pundak Ayahnya dan bertanya.
"Eh, bagaimana pendapatmu?"
Ouw Kiu menoleh dan tersenyum masam kepada isterinya.
"Boleh... boleh..."
"Beng San, kau katakan di mana tempat sembunyinya Kakek tua buta itu? Kita segera pergi mengunjunginya sekarang juga."
Beng San ragu-ragu. Benarkah kedua orang tuanya akan dapat melindungi Lo-Tong Souw Lee? Kalau tidak betul, berarti mengunjunginya sama dengan memancing datangnya bahaya untuk Kakek yang sudah buta itu. la harus melihat gelagat, jangan sampai membahayakan keselamatan Lo-Tong Souw Lee juga keselamatan Ayah Bundanya. Tiba-tiba Beng San terkejut sekali. Telinganya mendengar sesuatu, perasaannya tersentuh dan tahulah dia bahwa ada orang pandai di dekat situ. Sebelun. dia dapat bicara, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Sin-Siang-Hiap (Sepasang Pendekar Sakti) Serahkan anakmu kepadaku!"
Dan tiba-tiba di situ sudah muncul! Hek-Hwa Kui-Bo dengan sikap mengancam sekali. Beng San memandang dengan mata terbelalak kaget dan penuh kekhawatiran. Ibunya segera melompat mendekatinya dan memeluknya.
"Jangan takut, lihat saja Ayahmu menggempurnya,"
Bisiknya. Ouw Kiu, Ayah Beng San, berdiri dengan malas-malasan memandang kepada Hek-Hwa Kui-Bo dan berkata.
"Hek-Hwa Toanio, harap kau jangan mengganggu anakku."
Sambil berkata demikian Ouw Kiu merangkapkan kedua tangan memberi hormat. Hek-Hwa Kui-Bo mengeiuarkan suara menyindir dan tiba-tiba tubuhnya melayang dan kedua tangannya sudah melakukan pukulan, mendorong ke arah dada Ouw Kiu. Ouw Kiu dengan tenang membuka kedua lengannya dan sepasang telapak tangannya menyambut serangan nenek itu.
Terdengar suara keras dan... tubuh nenek itu mencelat ke belakang lalu terhuyung-huyung, mukanya berubah pucat. Sedangkan Ouw Kiu masih berdiri tegak sambil tersenyum tenang, seperti tak pernah terjadl sesuatu. Sambil mengeluarkan pekik mengerikan, tubuh Hek-Hwa Kui-Bo berkelebat dan lenyap dari situ. Keadaan kembali sunyi dan Beng San memandang kepada Ayahnya penuh kekaguman, matanya melotot dan mulutnya melongo. Demikian mudah Ayahnya mengalahkan Hek-Hwa Kui-Bo. Padahal nenek itu ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian Ayahnya. Saking girang, kagum dan bangganya, dia lari menghampiri Ayahnya, memeluk pinggang Ayahnya sambil terisak-isak. Baru kali ini dia berpelukan dengan Ayahnya yang hanya mengelus-elus rambut kepalanya.
Kini Beng San tidak ragu-ragu lagi untuk mengajak kedua orang tuanya mengunjungi Lo-Tong Souw Lee. Bertiga melakukan perjalanan cepat melalui sepanjang Sungai Huang-Ho sambil melihat-lihat keindahan pemandangan. Memang, lembah Sungai Huang-Ho menjadi tamasya alam yang amat indahnya di waktu airnya tidak mengamuk. Akan tetapi kalau musim hujan tiba dan sungai itu mengamuk, semua pemandangan indah akan lenyap dan berubah menjadi keadaan yang mengerikan. Dengan gembira Ayah ibu dan anak ini melakukan perjalanan. Hati Beng San tenang dan tentram. Ayahnya demikian lihai, tentu ibunya juga. la takut apa? Bahkan ketika mereka bertiga pada suatu hari, beberapa pekan kemudian, tiba-tiba berhadapan muka dengan Song-Bun-Kwi, Beng San masih enak-enak dan malah tersenyum mengejek.
"Eh, Song-Bun-Kwi, kalau sekarang kau masih berani menggangguku, barulah kau boleh membanggakan diri sebagai seorang jagoan. Hayo, kau lawan ini Ayah dan Ibuku. Sin-Siang-Hiap!"
Ayah dan ibunya dijuluki Sin-Siang-Hiap atau Sepasang Pendekar Sakti, karena bukankah keduanya memakai julukan yang ada huruf saktinya? Ayahnya berjuluk Naga Sakti Terbang, ibunya berjuluk Pedang Sakti Cantik, jadi keduanya mendapat julukan Sepasang Pendekar Sakti! Song-Bun-Kwi berdiri bengong, seperti terheran-heran melihat anak yang selama ini dicari-carinya tak tersangka-sangka dapat bertemu dengannya di tepi Sungai Huang-Ho dan begini enak-enak dan tenang saja, tidak lari seperti dulu. Sementara itu, Beng San menoleh kepada orang tuanya dan bukan main herannya ketika dia melihat orang tuanya itu nampak pucat sekali berhadapan dengan Song-Bun-Kwi. Lebih-lebih lagi herannya ketika dia melihat tubuh Ayahnya menjadi gemetar, kedua kakinya menggigil. Ibunya juga pucat dan hanya meraba gagang pedang tanpa mencabutnya.
"Sin-Siang-Hiap? Ha ha Ha, Sin-Siang-Hiap?"
Song-Bun-Kwi mengeluarkan suara mengejek dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus dia telah mengirim dua serangan ke arah Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio. Dua orang suami isteri ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja mereka keserempet angin pukulan Song-Bun-Kwi sampai terlempar beberapa meter dan bergulingan jauh. Kiranya mereka memang sengaja menggunakan Ilmu Trenggiling Turun Gunung itu, untuk menggelindingkan tubuhnya sampai jauh, kemudian sama-sama meloncat bangun dan... melarikan diri! Beng San heran dan marah. Akan tetapi kemarahannya lebih besar lagi. Ia menerjang maju sambil memaki,
"Iblis tua, berani kau memukul Ayah Bundaku!"
Song-Bun-Kwi mengelak dan hendak menangkap tangan Beng San, akan tetapi alangkah kagetnya ketika tangan itu menyelinap ke bawah dan tahu-tahu pahanya kena dipukul oleh Beng San! Ia merasa seakan-akan tulang pahanya hendak patah dan terasa dingin seperti kemasukan es. la kaget sekali, maklum bahwa dia kena pukulan Im-Sin-Kiam dari bocah itu. Bukan main keder hatinya. Andaikata anak itu sudah lebih matang latihannya, sangat boleh jadi pahanya akan patah! Hebat sekali, anak ini tak boleh dibuat main-main, pikirnya. la lalu mengamuk dengan pukulan-pukulan aneh kalang-kabut. Kasihan sekali Beng San.
Betul bahwa dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sekali, akan tetapi justru karena terlalu tinggi ilmu itu, sebelum dia melatihnya dengan sempurna, kepandaian silatnya amat terbatas. Menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-Bun-Kwi, mana dia bisa menandinginya? Dalam beberapa belas jurus saja dia sudah roboh tertotok jalan darahnya, tak mampu bergerak lagi karena lumpuh kaki tangannya! Sambil tertawa-tawa Song-Bun-Kwi mengempit tubuh Beng San dan membawanya lari pergi dari tempat itu, terus berlari di sepanjang tepi Sungai Huang-Ho sampai dia tiba di daerah tepi sungai yang bertebing tinggi dan curam. Beng San masih tak dapat bergerak sedikit pun juga, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan berusaha membebaskan diri daripada totokan.
"Heh, bocah setan!"
Song-Bun-Kwi berkata sambil tertawa-tawa.
"Akhirnya kau terjatuh juga di tanganku. Hayo sekarang kau berikan Im-Yang-Sin Kiam-sut kepadaku dan beri tahu di mana tempat sembunyinya si maling Lo-tong Souw Le itu."
Beng San lumpuh hanya kaki tangannya, tapi dia mempergunakan panca inderanya, dapat pula bicara. Akan tetapi terhadap Song-Bun-Kwi dia tidak sudi membuka mulut, maka dia hanya memandang lalu menggeleng kepala.
"Bocah bandel, apakah kau lebih sayang Im-Yang-Sin Kiam-sut dan lebih sayang Kakek buta mau mampus itu daripada nyawamu? Lihat ke bawah itu, air Sungai Huang-Ho amat dalam dan deras di bawah itu. Kalau kau tetap membandel aku akan melempar engkau ke sana!"
la memegang tubuh Beng San sedemikian rupa di atas tebing sehingga muka anak itu menghadap ke bawah, melihat air yang mengalir deras dan berombak-ombak mengerikan. Dari atas, air itu kelihatan seperti air yang mendidih. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya perasaan ini, Beng San merasa ketakutan hebat melihat air itu. Baru kali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan yang amat sangat menyesakkan dadanya. Semua bulu di tubuhnya meremang dan mukanya menjadi pucat kehijauan. la melihat air yang bergolak itu seperti ribuan muka iblis yang amat menakutkan, yang akan menerkamnya, akan menghanyutkannya. Saking takutnya dia sampai tidak men-dengar ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Song-Bun-Kwi sehingga dia sama sekali tidak menjawab, hanya terbelalak memandang ke arah air di bawah itu.
"Iblis cilik, kalau begitu kau harus mampus. Agar rohmu tidak menjadi setan penasaran yang menggangguku, dengar apa sebabnya aku membunuhmu. Hal Pertama karena kau tidak mau membuka rahasia Im-Yang-Sin Kiam-sut dan tempat sembunyi Lo-Tong Souw Lee, kedua karena kau mengetahui rahasia Yang-Sin-Kiam yang kumiliki. Nah, jadilah setan Sungai Huang-Ho!"
Song-Bun-Kwi lalu melempar tubuh Beng San ke bawah!.
Beng San mengeluarkan pekik mengerikan saking takutnya. Dan pada saat itu terdengar pekik lain, pekik yang melengking tinggi dari bayangan merah yang berkelebat cepat ke tempat itu. Di lain saat, bayangan merah yang ternyata adalah Bi Goat si bocah gagu itu telah melemparkan segulung tambang ke bawah. Dengan gerakan istimewa, tambang yang meluncur seperti Ular ini berhasil menggulung tubuh Beng San pada ujungnya sehingga tubuh Beng San tergantung di udara, tidak terbanting ke air dan batu-batu karang. Bukan hal kebetulan saja Bi Goat membawa tambang, karena memang Song-Bun-Kwi mengajaknya berkeliaran di tepi sungai, di tebing-tebing tinggi itu untuk mencari sarang Burung dan mereka memerlukan tambang yang panjang untuk mencari sarang ini di tempat-tempat yang sukar.
"Bi Goat, kurang ajar kau!"
Song-Bun-Kwi berteriak dan sekali renggut dia telah merampas ujung tambang itu dan sekali dorong tubuh Bi Goat sudah terjengkang. Song-Bun-Kwi lalu mengulur tambang itu sehingga tubuh Beng San sekarang terapung di air yang mengamuk. Beng San masih menjerit-jerit ketakutan, apalagi sekarang setelah dia dipermainkan air yang berombak-ombak itu. la meronta-ronta, tanpa dia sadari dia telah bebas daripada totokan dan sekarang dia mencoba untuk berenang sambil menjerit-jerit. Akan tetapi tentu saja usahanya ini sia-sia karena tambang itu masih mengikat pinggangnya dengan erat. Ketika dia melihat ke atas sambil terengah-engah, dia melihat Bi Goat berlutut sambil bergerak-gerak seperti menangis di depan Song-Bun-Kwi, telunjuknya menuding-nuding ke arah bawah, ke air di mana Beng San dipermainkan maut.
"Bi Goat... tolong..."
Beng San menjerit sekerasnya dan suaranya nyaring sekali. Bi Goat kini melompat berdiri, menjambak-jambak rambut dan membanting-banting kaki di depan Song-Bun-Kwi yang hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian Song-Bun-Kwi menjenguk ke bawah dan berteriak, suaranya dikerahkan dengan kekuatan Khikang mengatasi suara air dan dapat terdengar oleh Beng San.
"He, Beng San iblis cilik! Bagaimana apakah kau menyerah? Kalau kau mau memenuhi permintaanku tadi, kau akan kunaikkan dan tidak jadi mampus ditelan air!"
Beng San memang takut, takut bukan main, malah takut yang tidak sewajarnya, mungkin karena dulu di waktu kecil dia pernah mengalami pula ketakutan sehebat ini ketika dia hanyut oleh air bah Sungai Huang-Ho. Akan tetapi jiwa satria masih bersemayam di tubuhnya. la tidak suka melanggar janjinya, janji terhadap Phoa Ti dan The Bok Nam yang sudah mati, bahwa dia akan memegang teguh rahasia Im-Yang-Sin Kiam-sut, juga janjinya terhadap Lo-Tong Souw Lee tak akan menceritakan tempat sembunyi Kakek itu. Lebih baik mati daripada melanggar janji sendiri. Demikianlah pendirian seorang satria, seorang Pendekar. Beng San tidak takut mati, akan tetapi sekarang dia benar-benar takut. Setiap pucuk ombak air merupakan cakar iblis yang hendak mencekik dan mencengkeramnya.
"Song-Bun-Kwi, kau boleh minta apa saja, tapi yang dua itu tidak mungkin!"
Jawabnya di antara suara air. Song-Bun-Kwi marah, mengangkat tambang dan melepaskannya kembali sampai tubuh Beng San tenggelam ke dalam air, mengangkat lagi, melepaskan lagi. Berkali-kali tubuh Beng San timbul tenggelam di antara deru suara air yang mengalir deras. la takut setengah niati, takut dan juga gelagapan sukar bernapas. Entah bagaimana, sekarang baginya tidak ada Song-Bun-Kwi lagi, tidak ada siapa-siapa, yang teringat olehnya hanyalah air, air, air! la merasa dihanyutkan air yang luar biasa kerasnya, merasa takut dan tiba-tiba dia teringat akan Ayahnya, akan ibunya, akan Kakaknya!
(Lanjut ke Jilid 15)
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
"Ayahhh...!"
La berteriak-teriak membayangkan wajah Ayahnya.
"Ibuuu...!"
Kembali dia berteriak-teriak ketika mendapat kesempatan, yaitu ketika Song-Bun-Kwi menarik tambang ke atas.
"Kakak..., Kakak Kui..."
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menjerit lagi. Pada saat itu, Bi Goat juga berteriak-tenak menangis, berusaha mencegah Song-Bun-Kwi menyiksa Beng San. Akan tetapi Song-Bun-Kwi malah memaki dan menendangnya. Bi Goat berkali-kali menengok ke bawah dan ketika dia melihat betapa Beng San menjerit-jerit dengan muka ketakutan setiap kali tubuhnya timbul di permukaan air, dia mengeluarkan teriakan melengking tinggi lalu... Bi Goat melompat ke bawah. Air sungai muncrat tinggi ketika tubuh Bi Goat menimpanya dan tertelan air yang mendidih itu.
Biarpun tadinya memaki-maki dan menendang Bi Goat, namun begitu melihat anak itu dengan nekat terjun ke bawah, Song-Bun-Kwi menjadi bingung dan kaget sekali. Keselamatan anaknya berbahaya sekali, terancam maut yang mengerikan. Cepat dia menggerakkan tambang yang dipegangnya dan ujung yang melibat tubuh Beng San segera terlepas. Kemudian dengan gerakan yang aneh tambang itu meluncur ke arah jatuhnya Bi Goat. Tepat setelah tubuh anak baju merah ini timbul di permukaan air, melibat pinggangnya dan sekali sendal saja tubuh Bi Goat melayang kembali ke darat! Akah tetapi ketika Song-Bun-Kwi menjenguk ke bawah, tubuh Beng San sudah lenyap. Tentu anak itu setelah tidak terikat oleh tambang lagi, sudah terbawa hanyut oleh air yang amat derasnya. Bi Goat menangis, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, pakaiannya basah kuyup.
"Sudah, diamlah. Dia anak jahat, kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi kelak hanya akan menimbulkan geger saja. Sakitkah badanmu? Apakah tidak terluka?"
Song-Bun-Kwi yang tiba-tiba merasa kasihan kepada anaknya, mendekati Bi Goat lalu memondongnya, merangkulnya. Bi Goat hanya menangis di pundak Ayahnya yang aneh itu. Perlahan-lahan Song-Bun-Kwi yang memondong anaknya pergi dari situ, seperti orang melamun. Ia merasa lega karena mengira bahwa Beng San, anak yang menjadi orang ke dua setelah dia yang mengerti akan Ilmu Silat Yang-Sin Kiam-sut, sekarang tentu telah mati tenggelam di dasar Sungai Huang-Ho.
Betulkah Beng San sudah mati seperti yang diharapkan dan diduga oleh Song-Bun-Kwi? Agaknya Kakek yang sakti ini lupa bahwa mati hidup seseorang tergantung sepenuhnya kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Apabila Tuhan belum menghendaki matinya seseorang, jangankan baru dia terancam bahaya maut seperti Beng San, biarpun orang itu diancam bahaya maut dengan hujan api sekalipun, dia akan selamat dan terluput daripada bahaya maut yang mengancamnya itu. Sebaliknya, apabila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, biarpun dia akan berlari ke ujung dunia atau berlindung ke dalam gedung baja, maut tetap akan mencabut nyawanya tanpa dapat ditawar-tawar atau diperpanjang sedikit pun lagi.
Kelihatannya memang Beng San sudah tak berdaya, dan memang anak ini sudah kehabisan akal. Bagaikan seorang yang sudah berubah ingatannya, Beng San terbawa hanyut oleh air dan setiap kali kepalanya tersembul di permukaan air, jauh dari tempat dia hanyut tadi, dia memekik-mekik memanggil Ayahnya, ibunya, dan seorang yang dia panggil Kui-Ko (Kakak Kui). Akhirnya saking lelah dan banyak minum air sungai, Beng San tak ingat diri lagi dan tahu-tahu ketika dia siuman kembali, dia mendapatkan dirinya sudah menggeletak di dalam sebuah perahu kecil. Tubuhnya sudah terbaring di situ, telanjang bulat dan terbungkus selimut hangat. Ketika dia melirik, dia mendapatkan pakaian bututnya sedang dijemur di pinggir perahu dan di kepala perahu kecil itu duduk berjongkok seorang laki-laki tua bertopi lebar, mukanya kurus penuh gurat-gurat hidup tanda banyak menderita.
Laki-laki itu duduk tak bergerak, matanya sayu melamun ke permukaan air, melihat tali pancingnya yang bergerak-gerak perlahan, terbawa aliran air yang tenang di bagian itu. Di dekatnya kelihatan tiga ekor ikan sebesar betis yang sudah mati, tapi masih segar. Beng San diam saja, mengingat-ingat. Mula-mula dia teringat akan air besar yang menghanyutkan, yang mengerikan dan sekaligus dia membayangkan kembali wajah seorang laki-laki tua yang berpakaian sebagai petani, yang bermata tajam dan bermulut selalu tersenyum, wajah yang amat disayangnya, wajah Ayahnya. Lalu menyusul wajah yang menimbulkan rasa mesra di hatinya, wajah seorang wanita yang agung, berkulit hitam manis, berambut hitam panjang digelung di belakang leher,
Wajah yang bermata sayu dan lembut, yang selalu bicara halus penuh kasih sayang kepadanya, wajah ibunya! Dan terbayang olehnya wajah seorang anak laki-laki yang nakal, yang sering kali menggodanya akan tetapi yang menjadi temannya bermain semenjak kecil, wajah Kakaknya yang bernama Tan Beng Kui. Dan dia sendiri bernama Tan Beng San! Kini dia teringat semua, malah dusunnya dia ingat pula bentuk dan macamnya, ada Telaga kecil di dekat sungai, Telaga yang banyak ikannya, sering kali dia dan Kakaknya diajak mancing ikan di Telaga itu oleh Ayahnya. Hanya nama Ayah ibunya dan nama dusun itu dia tidak tahu. Berdebar hati Beng San teringat akan ini semua. la tidak tahu bahwa dia kehilangan ingatan oleh air Sungai Huang-Ho dan sekarang dia mendapatkan kembali ingatannya, oleh air Sungai Huang-Ho pula.
Yang membuat Beng San berdebar-debur adalah karena sekarang dia teringat akan Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio yang mengaku menjadi Ayah Bundanya! Bagaimana bisa terjadi demikian? Betulkah mereka itu kedua orang tuanya? Ataukah bayangan laki-laki petani dan wanita berwajah agung itu orang tuanya yang sesungguhnya? Dan Tan Beng Kui? Beng San masih bingung, lalu kepalnya membayangkan Bi Goat. Gadis cilik yang gagu itu, yang rnenangis dan berusaha menolongnya, malah yang kemudian secara nekat meloncat ke air untuk menolongnya, tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Teringat akan ini, membayangkan wajah Bi Goat menangis untuk dirinya, berganti-ganti dengan wajah Ayahnya, wajah ibunya, dan wajah Kakaknya, tak terasa lagi Beng San mengeluh dan dua titik air mata yang panas mengalir keluar membasahi pipinya.
"He, kau sudah bangun?"
Tukang pancing itu mendengar keluhannya, berdiri lalu menghampiri. Perahu kecil itu goyang-goyang ketika si tukang pancing berjalan. Ternyata dia seorang Kakek yang berusia lima puluh tahunan, bertubuh kurus, wajahnya kering terbakar matahari dan penuh guratan, matanya sayu tapi kadang-kadang lincah berseri, mulutnya yang ompong membayangkan ketenangan batin seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia. Beng San segera bangkit dari tidurnya, mengusap air matanya dan menjatuhkan diri berlutut,
"Kakek yang baik, agaknya kau yang telah menolongku dari dalam air."
Kakek itu memegang pundak Beng San.
"Kukira tadi, kau ikan besar, tersangkut di pancingku. Aku sudah girang sekali, mengira mendapat ikan yang besar sekali, ketika kutarik..."
"Kau kecewa karena hanya aku..."
Sambung Beng San tak dapat menahan kata-katanya ini karena melihat sikap tukang pancing itu lucu dan jenaka.
"Ha-ha-ha, tidak demikian. Aku malah lebih gembira, pertama karena tanpa kusengaja aku dapat menolong seseorang dari kematian, ke dua, aku bakal mendapatkan kawan baik untuk bekerja sama mencari ikan. Eh, anak nakal, siapa namamu dan kenapa kau hendak menyaingi ikan-ikan di air, berkeliaran di dalam air Sungai Huang-Ho?"
Melihat sikap Kakek itu dan mendengar kata-katanya yang jenaka, sebuah plkiran baik menyelinap ke dalam otak Beng San. Mengapa tidak? Akan aman dia kalau berada di dekat Kakek ini, menyamar sebagai tukang ikan, setiap hari di perahu mencari ikan. la bisa menyembunyikan diri dari Song-Bun-Kwi dan yang lain-lain. Tentu mereka itu tidak ada yang mengira bahwa Beng San, anak yang mewarisi Im-Yang Sin-Kiam dan yang mengetahui tempat sembunyi Lo-Tong Souw Lee telah menjadi nelayan
"Kakek yang baik hati, namaku Siauw-Kui (Setan Kecil), sebatangkara di dunia ini. Kalau kau mau mengambil aku sebagai pembantumu, ah, Kakek yang baik, setiap malam aku akan bersembahyang kepada dewa-dewa sungai agar kau diberi umur panjang dan banyak rejeki."
Kakek itu tertawa bergelak, terlihat mulutnya yang tak bergigi.
"Ha-ha-ha, siapa butuh umur panjang? Tentang rejeki, asal kau mau benar-benar membantuku, tentu banyak ikan dapat diangkat ke perahu."
Kakek itu adalah seorang nelayah tua bernama Gan Kai, seorang duda tua yang juga hidup sebatangkara, malah tidak mempunyai rumah tinggal, rumahnya ya perahu kecil itulah! Maka sungguh tepat sekali bagi Beng San untuk tinggal bersama Kakek Gan ini, karena selain terjamin hidupnya, dia pun dapat bersembunyi dan setiap saat dapat berlatih ilmu silat dengan amat tekunnya, la mengambil keputusan untuk melatih dengan giat, setelah sempurna kepandaiannya, dia akan mengunjungi Lo-Tong Souw Lee, kemudian dia akan mencari Ayah Bundanya, dan juga Kakaknya. la tidak tahu lagi nama orang tuanya, juga dia tidak tahu lagi nama dusunnya, akan tetapi asal dia menjelajahi dusun-dusun tepi sungai di sekitar Kelenteng Hok-Thian-Tong, masa tidak akan dapat dia temukan? Setiap orang yang mengingat-ingat masa lampau, mengenang kembali masa lampau beberapa tahun yang lalu, akan mendapat kesan betapa cepatnya jalannya sang waktu.
Penulis sendiri setiap kali mengenangkan masa kanak-kanaknya yang sudah puluhan tahun yang lalu, selalu merasa seakan-akan masa itu baru terjadi kemarin-kemarin ini, serasa masih membayang di pelupuk mata ketika dia bermain-main dengan anak-anak lain, mencari ikan-ikan kecil di sungai, atau bertiduran di punggung kerbau, atau bermain-main di bawah air hujan! Memang waktu berlalu amat cepatnya, sampai-sampai tidak terasa oleh manusia di dunia. Demikian pula dengan jalannya cerita ini. Baru saja kita mengikuti pengalaman-pengalaman Beng San. sebentar kita tinggalkan, eh, tahu-tahu delapan tahun sudah lewat dengan amat pesatnya! Selama itu, Tiongkok mengalami kekacauan terus-menerus. Bahkan kekacauan ini mempengaruhi-keadaan penghidupan di dalam istana. Pangeran-pangeran yang berkuasa saling memperebutkan kekuasaan, saling berkomplot dengan pembesar-pembesar Bu (militer),
Saling jatuh-menjatuhkan sehingga dalam jangka waktu kurang lebih dua puluh lima tahun (1307-1332) saja Pemerintah Goan (Mongol) ini sudah berganti Raja sebanyak delapan kali! Ketika cerita ini terjadi, Raja terakhir yang menduduki tahta adalah Kaisar Sun Ti. Di bawah tekanan Kaisar Sun Ti inilah penghidupan rakyat pribumi (Han) amat tertindas dan tak tertahankan lagi. Dan mulailah timbul pemberontakan di sana-sini. Yang terbesar dan terkenal adalah Partai Teratai Putih (Pek-Lian-Pai) yang pada mulanya hanyalah merupakan pemberontakan dari para petani di Utara yang sudah tidak kuat lagi menderita penindasan para Hartawan dan Bangsawan setempat. Lama kelamaan Partai ini menjadi makin kuat bahkan diikuti atau dimasuki oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga merupakan kesatuan yang amat ditakuti oleh Bangsawan-Bangsawan Mongol.
Pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini pecah, satu dihancurkan timbul dua, dan semenjak Kaisar Sun Ti naik tahta, Kaisar ini tak pernah mengenal apa yang disebut aman dan damai di Tiongkok. Banyak Pendekar-Pendekar dan pahlawah-pahlawan tercatat namanya dengan tinta emas di lembaran sejarah, misalnya Liu Hok Tung, Kok Ci Seng, Thio Se Cheng, Tan Yu Liang, dan masih banyak lagi orang-orang gagah yang memimpin rakyat untuk menghalau penjajah Mongol dari tanah air mereka. Tiga puluh tahun lebih pemberontakan-pemberontakan ini berjalan, makin hari makin hebat sehingga akhirnya, seperti tercatat dalam sejarah pemberontakan pemberontakan inilah yang akhirnya menumbangkan kekuasaan Mongol yang menjarah daratan Tiongkok hampir seratus tahun lamanya.
Seperti telah disebut di atas, waktu delapan tahun berjalan dengan amat cepatnya dan waktu itu keadaan masih penuh kekacauan yang diakibatkan oleh pemberontakan-pemberontakan terhadap Pemerintah Goan-Tiauw. Pada suatu pagi yarig cerah, di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Cin-Lin-San, di depan sebuah gua yang dinamai Gua Ular, nampak seoran pemuda tengah berlutut di depan seorang Kakek yang sudah tua sekali. Kalau baru melihat saja orang tentu mengira bahwa Kakek ini bermata lebar, akan tetapi setelah lama memandang dan melihat bahwa mata Kakek itu melotot tak pernah berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang Kakek yang buta matanya. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya, muka dan tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Adapun pemuda yang berlutut itu nampaknya terharu sekali.
"Mohon Locianpwe sudi memberi maaf sebesarnya bahwa Teecu telah meninggalkan Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada di sini dan dalam keadaan menderita,"
Terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan. Kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering tertiup angin. Mulutnya bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan.
"Ah, anak baik, alangkah bahagia rasa hatiku akhirnya dapat mendengar suaramu. Akhirnya kau datang juga, hampir aku tak kuat lagi menahan..."
Kakek itu lalu duduk bersila dan meraba-raba pundak pemuda tadi. Beberapa kali meraba-raba kemudian Kakek itu berkata penuh kekaguman.
"Hebat..., aku pun dahulu tidak sekuat engkau sekarangkan makin, ah, kalau saja aku mendapat kesempatan melihat... eh, maksudku mendengar kau main Liong-Cu Siang-Kiam dalam Ilmu Pedang Im-Yang-Sin Kiam-sut, mati pun aku akan puas. Mainkanlah, mainkanlah sekali ini saja, untuk mengantar perjalananku yang amat jauh..."
Kakek itu lalu mengeluarkan sepasang pedang yang berkilau cahayanya, memberikan sepasang pedang itu kepada pemuda tadi. Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam ketika dia melihat sepasang pedang ini. la menerima sepasang pedang itu, memeriksanya dengan teliti lalu bertanya,
"Locianpwe, benarkah sepasang pedang ini yang bernama Liong-Cu Siang-Kiam, sepasang pedang yang selama puluhan tahun diperebutkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw?"
Kakek buta itu tersenyum.
"Beng San, apakah kau sudah lupa lagi? Bukankah dahulu kau pernah melihatnya, bahkan pernah menggunakannya ketika kau berhadapan dengan Song-Bun-Kwi dan Hek-Hwa Kui-Bo? Inilah Liong-Cu Siang-Kiam, pedang peninggalkan sepasang Pendekar yang sakti, yaitu Pendekar sakti Sie Cin Hai pada ratusan tahun yang lalu. Pedang ini asalnya milik seorang Pendekar terkenal sebagai seorang Raja pedang. Oleh karena itu, pada jaman sekarang ini hanya kaulah, Beng San, orang yang berhak mempergunakannya, karena hanya kau yang menjadi ahli waris Im-Yang-Sin Kiam-sut. Hayo, berdirilah, dan kau mainkan Im-Yang-Sin Kiam-sut untukku...!"
Kakek itu terengah-engah, nampaknya tegang dan gembira sekali, perasaan yang memberi pukulan hebat pada tubuhnya yang memang sudah amat lemah...
Orang muda itu setelah menimang-nimang kedua pedang tadi, yang panjang di tangan kanan sedangkan yang pendek di tangan kiri, lalu bangkit berdiri, meloncat agak jauh ke tempat yang luas di depan gua itu, kemudian dia bersilat dengan amat cepat dan sigapnya. Sepasang pedang itu berkelebat menyambar-nyambar ke kanan kiri, depan belakang, dan atas bawah seperti dua ekor naga yang sedang bermain-main di angkasa!, Tiba-tiba muka Lo-Tong Souw Lee? yang amat kurus itu menjadi pucat pasi. Kedua lengannya dikembangkan, kedua., tangan seperti hendak mencengkeram depan dan dia berteriak, penuh kepahitan,
"Heeeiii, itu bukan Im-Yang Sin-Kiam... itu... itu... ah, kau bukan Beng San... aduhai celaka, kau bukan Beng San...!"
Terdengar suara ketawa, angin sambaran pedang terhenti dan Lo-Tong Souw Lee tidak mendengar apa-apa lagi, tanda bahwa orang muda itu sudah pergi jauh.
"Beng San... sia-sia aku menanti sampai tahunan... aduh, mataku yang buta... celaka..."
Kakek ini terhuyung-huyung, wajahnya makin pucat, dia mendekap dadanya lalu roboh tertelungkup di depan gua itu.
Dari puncak Cin-Lin-San itu, bayangan pemuda tadi dengan amat cepatnya dan ringannya seperti melayang-layang turun dari jurusan Utara. Sepasang pedang tadi tidak kelihatan dia bawa lagi karena sudah dia sembunyikan di balik jubah luarnya yang panjang. Kurang lebih tiga jam. Berikutnya seorang pemuda lain, yang berpakaian sederhana, rambutnya yang panjang diikat ke atas, mukanya putih sehingga alisnya yang hitam gompyok berbentuk golok itu nampak lebih hitam lagi, sepasang matanya tajam sinarnya melebihi-sinar pedang dan mempunyai wibawa yang aneh, tubuhnya tegap dadanya bidang, sepatunya sudah bolong-bolong saking tuanya, kelihatan mendaki puncak dengan tenang. Dari gerak kakinya yang tetap dan tidak tergesa-gesa dapat diketahui bahwa pemuda yang baru datang mendaki puncak Cin-Ling-San ini adalah seorang yang memiliki ketenangan lahir batin.
Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, tidak kelihatan membawa senjata tajam, jadi tidak seperti seorang pemuda kang-ouw, juga tidak membawa kipas atau tanda lahir yang menunjukkan bahwa dia seorang pemuda ahli sastra. Lebih patut dia disangka seorang pemuda tani. Akhirnya, dengan langkah yang tak pernah mengendur akan tetapi tidak pula tergesa-gesa, pemuda ini tiba di depan Gua Ular. Ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh Kakek yang menggeletak tertelungkup di depan gua, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya berkelebat. Tahu-tahu dia telah berlutut di dekat tubuh Kakek itu dan mengangkatnya, menyangga leher dan punggungnya di atas lengan kiri sedangkan tangan kanannya membersihkan debu dan tanah dari muka yang pucat dan kurus itu.
"Kakek Souw... Kakek Souw... kau kenapakah?"
Kakek itu menggerak-gerakkan biji matanya yang melotot, bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya dia berkata dengan suara terisak,
"Ah... Beng San... sekarang benar kau Beng San... kenapa aku begini bodoh...?"
Kakek itu terisak-isak! Beng San kaget sekali. Ketika tadi mengangkat tubuh Kakek ini, dia melihat bahwa Lo-Tong Souw Lee tidak terluka.
"Ada apakah, Kakek Souw? Apa yang telah terjadi...,.?"
"Ah, Beng San. Aku bodoh... orang pengecut mempergunakan mataku yang buta untuk menipuku... pedang Liong-Siang-kiam telah diambil orang yang mengaku sebagai kau... dia juga memiliki ilmu tinggi... masih muda... sayang aku tidak tahu bagaimana bentuknya, hanya ketika kupegang pundaknya... dia... dia memiliki tenaga dalam yang hebat..."
Beng San dapat menguasai hatinya.
"Sudahlah, harap kau tenang dan jangan berduka, Kakek Souw. Apa sih artinya sepasang pedang saja? Aku tidak begitu mengingininya..."
"Apa...?,"
Tiba-tiba Kakek itu berkata keras.
"Sepasang pedang itu adalah punyamu! Mengerti kau? Aku sengaja bersembunyi bertahun-tahun, sengaja menahan-nahan nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua dan bobrok ini, sengaja menanti-nanti datangmu untuk menyerahkan sepasang pedang itu. Sekarang pedang dicuri orang dan kau..., kau bilang tidak mengingininya? Lepaskan aku, lepaskan...!"
Kakek itu meronta-ronta dan terpaksa Beng San menurunkannya lagi keatas tanah. Beng San merasa menyesal sekali. Ia merasa telah bicara seenaknya dan lancang.
"Aduh, ampunkan aku, Kakek Souw. Bukan maksudku untuk menyakiti hati dan perasaanmu. Maksudku tadi hendak menghiburmu agar jangan terlalu berduka kehilangan Liong-Cu Siang-Kiam."
Tapi Kakek itu masih marah dan kecewa. Matanya yang terbelalak itu dipejam-pejamkan, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya meringis seperti orang menangis. Menyedihkan sekali muka yang tua itu.
"Biarlah... biar aku mampus... aku tua bangka mampus karena sikap orang muda yang tak kenal sayang orang... biar aku mampus karena kau..."
Beng San menjatuhkan diri berlutut.
"Kakek Souw, ampunkanlah aku... ampunkan, aku sama sekali tidak bermaksud mengecewakan hatimu. Katakanlah, apa yang harus kulakukan, aku bersumpah akan memenuhi-permintaanmu."
"Betul kata-katamu itu?"
Kakek itu menegas dengan napas terengah-engah.
"Betul, Kakek Souw."
"Kau berani bersumpah?"
Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah,
"Aku bersumpah, disaksikan langit dan bumi, biarlah Thian menghukum seberat-beratnya kepada aku apabila aku tidak memenuhi permintaan Kakek Souw"
Kakek itu nampak lega dan bangun duduk dengan payah, dibantu oleh Beng San.
"Aku tidak minta kau berbuat yang melanggar kebenaran dan keadilan, anak baik. Pertama-tama, aku minta supaya kau berusaha mencari pencuri pedang Liong-Cu Siang-Kiam, setelah dapat kau temukan, kalau dia laki-laki kau harus membunuhnya. Kalau dia wanita..."
Kakek itu berhenti, batuk-batuk dan agaknya sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Ya...? Kalau dia wanita bagaimana, Kakek Souw?"
"Kalau dia itu wanita, kau harus menjadi suaminya"
"Apa...??"
Beng San melompat tinggi seperti orang yang kaget karena diserang Ular. Sepasang matanya terbelalak lebar, dia merasa bulu tengkuknya berdiri.
"Kakek Souw yang mulia, apa kau bicara dengan pikiran waras?
"Tentu saja aku waras"
Bentak Kakek tua itu marah "Kalau pencuri pedang itu pria, dia adalah orang jahat yang berbahaya, karenanya perlu kau bunuh. Kalau dia itu wanita tentu wanita yang memiliki kepandaian tinggi, nah... tak patut seorang gagah seperti kau membunuh wanita, maka kupikir lebih baik kau kawin saja dengannya agar Liong-Cu Siang-Kiam tidak terjatuh kepada orang lain."
"Mana ada aturan begini?"
Beng San membantah.
"Kalau perampas pedang itu ternyata pria, tentu akan kulihat dulu orang macam apa dia ini dan apa alasannya dia merampas pedang. Kalau dia bukan orang jahat, bagaimana aku akan dapat membunuhnya? Soal kedua, kalau dia itu wanita... dan seorang wanita tua, atau sudah bersuami, atau juga seorang wanita yang aku tidak suka, bagaimana aku bisa mengawininya? Ah, Kakek Souw, aku hanya bisa memenuhi-permintaanmu, yaitu mencari sampai dapat kembali pedang Liong-Cu. Siang-kiam."
"Jadi kau hendak melanggar sumpah?"
"Kakek Souw, aku tak akan melanggar sumpah. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perikebenaran, yang bertentangan dengan suara hatiku. Kalau kau anggap penolakanku tentang membunuh orang baik-baik dan mengawini wanita secara serampangan saja kau anggap salah dan melanggar janji, nah, ini aku masih di sini. Aku menyerahkan nyawa dan raga untuk menebus pelanggaran sumpah!"
Tiba-tiba Kakek itu tertawa bergelak, keadaannya yang tadi lemah itu mendadak seperti segar kembali.
"Begitulah seharusnya seorang laki-laki!"
Katanya gembira.
"Rela mengorbankan nyawa Sendiri daripada melakukan sesuatu yang tidak patut. Beng San, aku girang sekali telah memilih kau sebagai pewaris Liong-Cu Siang-Kiam!"
Kembali Kakek itu tertawa-tawa. Beng San diam saja akan tetapi dia tersenyum pahit. Menerima warisan saja warisan yang tercuri orang dan harus dicari dulu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang pencuri yang tidak diketahui laki-laki atau wanita, tidak diketahui rupanya, hanya diketahui bahwa dia masih muda dan bertenaga dalam cukup lihai.
"Jangan kira aku sudah gila, Beng San. Tadi pun sudah kujelaskan bahwa aku tak akan minta kau melakukan hal-hal yang tidak baik. Kau pun tentu sudah dapat menyelami watakku, kalau tidak demikian, mana kau berani mengucapkan sumpah tadi? Nah, sekarang permintaanku ke dua. Kau harus mempergunakan Liong-Cu Siang-Kiam untuk membantu pergerakan rakyat menumbangkan Pemerintah Mongol..."
Kakek ini kembali kelihatan berduka dan menarik napas panjang.
"Aku sendiri masih ada keturunan darah Mongol, tapi aku tidak suka melihat sepak terjang Kaisar dan para pembesar Bangsaku. Karena itu aku mencuri pedang. Tapi sekarang kembali kepada tugasmu. Kau harus membantu perjuangan rakyat yang hendak memperjuangkan kemerdekaannya, dengan syarat bahwa kau lakukan itu bukan untuk mencari pangkat, harta, dan kemuliaan. Setelah berhasil perjuangan, kau harus meninggalkan kedudukan dan tidak mencampurinya lagi. Bagaimaina?"
"Aku akan berusaha memenuhi-permintaan ke dua ini, Kakek Souw, Memang aku sendiri merasa suka kalau teringat akan orang-orang gagah seperti Tan-Twako yang memimpin serombongan pejuang Pek-Lian-Pai."
"Sekarang permintaan ke tiga,"
Kata Kakek itu dengan suara seperti tergesa-gesa.
"Kau harus mempergunakan Liong-Cu Siang-Kiam untuk memainkan Im-Yang-Sin Kiam-sut dan merebut sebutan Raja Pedang."
Beng San tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Kakek itu, maka dia memandang heran. Kakek itu yang napasnya sudah sengal-sengal! menarik napas untuk menenangkan dadanya yang sesak, kemudian memaksa diri berkata,
"Setiap dua puluh lima tahun sekali di puncak Thai-San diadakan perebutan kejuaraan ilmu pedang yang dihadiri oleh semua tokoh persilatan. Sudah dua kali aku berusaha merebut gelar Raja Pedang, tapi selalu gagal Itulah yang menjadi sebab kedua mengapa aku mencuri Liong-Cu Siang-Kiam. Kurang lebih dua tahun lagi akan diadakan perebutan itu, tepat dua puluh lima tahun semenjak gelar Raja Pedang dimenangkan oleh Pendekar Cia Hui Gan dari Selatan. Cia Hui Gan ini kabarnya masih keturunan dari Pendekar wanita Ang I Niocu. Semenjak itu dia mendapat julukan Bu-Tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tiada Lawan). Sayang aku sudah terlalu tua, tidak kuat menghadiri perebutan itu lagi... kau... kau harus mewakili aku, merebut gelar itu..."
"Kakek Souw...!"
Beng San merangkulnya akan tetapi ternyata napas Kakek itu sudah berhenti! Beng San terharu sekali, dia merebahkan tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu di atas tanah, berlutut dan mulutnya bergerak dalam bisikan.
"Kakek Souw, mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah akan berusaha memenuhi pengharapanmu, aku pasti akan melakukan semua pesanmu. Mudah-mudahan saja semua akan terlaksana sebagaimana pesanmu yang terakhir."
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo