Raja Pedang 17
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Tolong dekatkan perahu sampai ke sini, agar mudah aku turun. Meloncat dan sini, setinggi ini, mana aku berani?"
La sengaja memperlihatkan muka ketakutan. Gadis itu tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San. Silau dia akan kemanisan muka gadis ini.
"Hi-hi-hi, kau ini laki-laki atau perempuan?"
Beng San mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya, biarpun dia sekarang sudah dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol mendengar kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.
"Kau melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?"
Ia cemberut. Dara baju hijau itu tertawa lagi, sekarang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!
"Masa seorang laki-laki takut meloncat dari tempat itu ke sini? Seorang perempuan pun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci."
Panas perut Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya dan akhirnya harus mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak terlalu penakut, tentu akan dapat meloncat ke perahu itu.
"Tentu saja aku laki-laki sejati!"
Katanya mendongkol.
"Tidak seperti kau, perempuan tukang merengek, belum bisa mendapatkan yang dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani meloncat ke situ!"
Dara itu seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya terdengar ganjil,
"Kalau begitu, kau loncatlah!"
Beng San beraksi seperti orang yang menghadapi pekerjaan berat. Kantong uang dia masukkan ke saku bajunya yang lebar, sedangkan bungkusan pakaian dia ikatkan pada lengannya. Kemudian dia mengambil posisi dan meloncat ke bawah. Alangkah kagetnya ketika dia melihat gadis itu tiba-tiba mendayung perahunya ke depan sehingga perahu itu seolah-olah mengelak dari loncatannya! Tentu saja, dengan kepandaiannya meringankan tubuh Beng San dengan mudah sekali akan dapat bersalto ke arah perahu, akan tetapi dia memang sudah mengambil keputusan untuk menyembunyikan kepandaiannya. Apa boleh buat, dia melanjutkan loncatannya dan tentu saja ke... air. Sebelum tubuhnya menimpa air dia sempat memaki.
"Siauw-Kwi (Setan Cilik)...!"
Ia hanya mendengar suara ketawa nyaring dan air muncrat tinggi, tubuhnya terus tenggelam. Biarpun berusaha menyembunyikan kepandaiannya, kiranya Beng San tak akan begitu sembrono untuk membiarkan dirinya tenggelam dan terancam bahaya kalau saja dia tidak memiliki kepandaian bermain di dalam air.
Baginya, permainan di dalam air bukanlah apa-apa lagi setelah delapan tahun dia bekerja sebagai nelayan, setiap hari hanya bermain dengan ikan dan air. la sengaja mengorbankan dirinya menjadi basah kuyup, tidak saja untuk menyembunyikan kepandaian, akan tetapi juga ingin membalas kenakalan gadis itu. Dengan enak, seperti seekor ikan besar, dia menyelam terus ke bawah perahu gadis tadi dengan maksud hendak menggulingkan perahu dari bawah agar gadis itu pun menjadi basah kuyup. Tiba-tiba dia melihat seekor ikan yang sepaha besarnya, ikan yang gemuk dan sebagai bekas nelayan dia mengenal ikan ini sebagai ikan yang amat enak dagingnya, gemuk dan tidak berduri kecil. Cepat tangannya meraih dan ikan itu sudah dia tangkap, kepalanya dia masukkan ke dalam bungkusan pakaian sehingga tak dapat bergerak melepaskan diri lagi.
Kemudian dia hendak menangkap dasar perahu untuk digulingkan. Tapi gerakan ini dia tahan ketika dia mendengar air di atas memercik dan sebuah benda kehijauan menyelam. Ternyata dara baju hijau itu telah meloncat ke air dan menyelam dengan gerakan seorang ahli dalam air! Beng San tersenyum nakal. Baiknya dia belum menggulingkan perahu, pikirnya. Kiranya bocah nakal ini masih berhati emas, kini berusaha menolongnya. Benar saja dugaannya, ketika dia meronta-ronta dan beraksi seperti orang yang tak pandai berenang, tenggelam dan akan hanyut, tiba-tiba tangan gadis itu meraihnya dan rambutnya telah kena dijambak dan ditarik ke atas! Mendongkol lagi hati Beng San yang tadinya sudah dingin. Ikatan rambutnya sampai terlepas dan dengan rambut awut-awutan dia ditarik oleh dara itu seperti orang menarik ekor ikan besar.
"Laki-laki apa kau ini? Berenang pun tak pandai!"
Kata gadis itu mencemooh ketika sudah timbul ke permukaan air.
"Hayo pegang pinggiran perahu dan naik,"
Perintahnya sedangkan dia sendiri dengan loncatan indah naik ke perahu.
"Aku... aku tidak bisa... tolonglah..."
Beng San berpura-pura, kini sudah panas lagi perutnya dan otaknya diputar untuk membalas dendam. Gadis itu bersungut-sungut menghina, akan tetapi la ulurkan tangan juga mencengkeram pundak Beng San dan menarik pemuda itu ke atas perahu. Beng San terseret naik, dengan canggungnya dia mencoba melompat, tapi terhuyung-huyung dan akan jatuh menubruk gadis itu. Bungkusan pakaiannya melayang ke depan dan otomatis ikan besar itu pun melayang dengan ekornya yang panjang menampar pipi gadis baju hijau.
"Liiiihhhhh...,., apa ini...?"
Teriak gadis itu kaget sambil menangkis. Pipinya tidak terkena tamparan ekor ikan, akan tetapi air dan lendir ikan dari ekor itu melayang dan tak dapat dicegah lagi membasahi-mukanya. Lendir ikan yang manis itu memasuki mulut dan hidungnya yang mancung.
"Uiuhhhhh..."
Gadis itu hampir muntah dan meludah-ludah, kemudian cepat mencelupkan mukanya dan kepalanya ke dalam air dari pinggir perahu sehingga untuk ke dua kalinya kepalanya basah kuyup. Beng San menahan ketawanya, perutnya terasa kaku saking geli hatinya. Dara baju hijau itu menarik kembali kepalanya dari air, mengusap air dari muka. Mukanya basah kuyup, pipinya makin kemerahan, rambutnya basah awut-awutan. Tapi aneh, makin manis saja dia! Matanya memperlihatkan kemarahan ketika ia memandang ke arah ikan sebesar paha yang kepalanya berada dalam bungkusan pakaian.
"Dari mana ikan itu?"
Bentaknya.
"Tentu saja dari air, masa ikan dari gunung?"
Beng San menggoda.
"Jangan main-main! Kau yang hampir mati tenggelam, bagaimana bisa mendapatkan ikan di air?"
Gadis itu memandang penuh curiga. Ah, bodoh aku, celaka kali ini, pikir Beng San. Akan tetapi otaknya cepat bekerja.
"Entah, aku tadi tenggelam, dalam bingungku aku menggerak-gerakkan tangan dan tahu-tahu aku merasa bungkusan menjadi berat. Agaknya ikan bodoh ini terjerat oleh tali bungkusan pakaianku dan tak dapat terlepas lagi."
Gadis itu memperhatikan muka Beng San yang berlagak bodoh, lalu berkata marah,
"Memang ikan bodoh, seperti kau, laki-laki goblok."
Beng San tunduk, agak lega hatinya. Untuk melenyapkan sama sekali kecurigaan gadis itu, dia mengangguk dan berkata perlahan,
"Memang dia bodoh seperti aku."
"Air ikan itu tadi mengotori mukaku, sekarang kau harus membayar. Nah, kau makan ikan ini mentah-mentah!"
Beng San membelalakkan matanya. Seharusnya dia marah kepada gadis nakal ini, akan tetapi aneh, muka yang manis ini tidak patut dimarahi. Sukar baginya untuk bisa marah, malah dia menganggap sikap gadis ini lucu sekali. la sama sekali tidak dapat melihat sinar jahat dalam pandang mata yang bening itu.
"Ah, mana bisa ikan dimakan mentah? "
Ikan ini enak sekali dagingnya, kalau di panggang. Aku sudah biasa memanggang ikan seperti ini. Apalagi daging di kepala dan ekornya, waaah, gurih dan sedap. Perutku lapar, apakah kau tidak lapar? Kalau ada api di sini, aku bisa memanggang ikan ini, lumayan untuk kita berdua, bisa melegakan perut lapar."
Beng San terus saja bicara tentang kelezatan daging ikan itu. Si gadis mendengarkan dan akhirnya tertarik juga. la mengangguk dan berkata, suaranya masih aja ketus,
"Kau boleh panggang, tapi awas, kalau kau bohong, kalau ikan itu tidak enak, kau harus makan sendiri sampai habis dengan tulang-tulangnya. Tahu?"
Gadis itu lalu memasuki kepala perahu yang dipasangi bilik bambu. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dan alangkah mendongkol dan iri hati rasanya hati Beng San ketika melihat bahwa gadis itu sudah bertukar pakaian baru yang kering dan enak! Juga pakaian yang dipakainya kini terbuat daripada Sutera hijau.
"Eh, kenapa kau masih belum memanggang ikan itu?"
Bentaknya melihat Beng San masih duduk terlongong.
"Bagaimana aku bisa memanggang ikan?"
Beng San tidak dapat menyembunyikan suaranya yang mendongkol karena melihat gadis itu sudah bertukar pakaian kering sedangkan dia sendiri masih basah kuyup.
"Kulihat ada tempat api di perahu ini, tapi tidak ada apinya. Dan ikan ini harus dibuang sisiknya, harus dipotong-potong. Kau kerjakanlah itu, nanti aku yang memanggang."
"Cih, tak bermalu! Kau bersihkan dan potong-potong sendiri."
"Biasanya yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur. Kulihat kau menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.
"Aku tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis sabar!"
Beng San makin mendongkol. Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa membawa pedangnya yang menggeletak di perahu, itu saja sudah menandakan bahwa gadis ini amat memandang rendah kepadanya. Tentu dipikirnya orang laki-laki selemah dia ini, biarpun ada pedang, akan bisa berbuat apakah terhadap dia? Dengan bersungut-sungut dia meraba pedang di lantai perahu itu. Bagaimana isinya? Apakah seindah gagang dan sarungnya? Siapa tahu? Hatinya berdebar. Jangan-jangan sebuah di antara Liong-Cu Siang-Kiam! Tapi sebelum dia dapat menyentuhnya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahiu pedang sudah di tangannya,
"Mau apa kau dengan pedang ini?"
Bentaknya.
"Pisau dapurmu memang aneh, terlalu panjang! Mau apa katamu? Tentu saja untuk membersihkan ikan dan memotong-motongnya."
"Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?"
"Habis apa gunanya benda tajam ini di sini? Tentu kau pergunakan untuk alat dapur, bukan?"
Beng San berpura-pura tolol.
"Bodoh! Agaknya matamu sudah penuh oleh tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang."
Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan "Srattt!"
Sebuah pedang yang putih berkilauan saking tajamnya telah tercabut dari sarungnya.
"Aduh tajamnya! Berbahaya sekali untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jarimu yang kecil halus itu!"
Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.
"Benarkah jari tanganku kecil dan halus?"
La mengulur tangan kirinya kepada Beng San. Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir.
"Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat."
Tiba-tiba wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya..
"Cih, tak tahu malu!"
Katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum.
"Nih, kau boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya."
Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang. Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan, seperti orang melamun. Kalau tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan barulah dia sadar dan menjadi kemerah-merahan mukanya kalau sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang, membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum. Beng San juga diam saja, hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.
"Ampun... ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang membersihkan ikan!"
Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya. Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San sekarang yang mendapat giliran menonton menjadi kagum.
"Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa tidak bertukar pakaian?"
Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya. Beng San cemberut.
"Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau..."
Gadis itu tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika ia mengangkat muka memandang pemuda itu.
"Kau kan sudah membalas?"
Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya,
"Membalas apa? Kau majukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!"
"Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, kenapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti."
Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu satu demi satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia terima dari orang-orang Pek-Lian-Pai, semua pakaian itu masih baik sekali, dari kain Sutera dengan warna biru dan kuning.
"Heee, aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api."
"Bagaimana? Mana batu apinya?"
Gadis itu nampak gemas.
"Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan."
Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja ditaruh di pinggir perahu. Bunga api berpijar besar menyambar daun yang sudah beri minyak, menyala. Beng San berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang. Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkembang-kempis.
"Aduh, bukan main sedap baunya..."
"Itu baru baunya, belum rasanya!."
Beng San membangga.
"Sekali kau mencicipi, aku khawatir tak akan kebagian."
"Idih sombongnya!"
Gadis itu sudah mulai jenaka dan Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gembira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu. Ketika panggang daging ikan matang, pakaian Sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung.
"Aku hendak berganti pakaian, tapi di mana? Boleh aku memasuki kamarmu?"
"Jangan!"
Gadis itu membentak.
"Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian di sini."
Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering, itu, menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul. Setelah menyimpan pakaian-pakaiannya, dibungkus kembali, dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.
"Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!"
Teriaknya. Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!
"Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!"
Jawab si nona.
"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?"
Tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya tidak mengandung maksud apa-apa. Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa memandang pemuda itu ia berkata.
"Lancang! Kau kira aku...mengintaimu?"
Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah.
"Ah, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup matang, boleh dimakan. Silahkan."
Nona baju hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai. Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.
"Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kau cari, aku berjanji akan membantumu."
Tiba-tiba gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu akan remuk tulang pundaknya kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin kaget melihat sikap ini.
"Kau she (bernama keturunan) Bun?"
Gadis itu membentak, matanya berapi.
"Bukan, aku she Tan."
"Sayang..."
Gadis itu melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang dan memandang ke air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang di antara seri wajahnya yang manis. Beng San terheran, juga hatinya berdebar. Ketika gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasai serangan seperti ini dan tiba-tiba dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak mengenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.
"Andaikata aku orang she Bun, mengapa?"
Tanyanya ingin tahu. Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan "Srrrattt!"
Pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan... seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, hanyut perlahan terbawa saluran air.
"Kalau kau orang she Bun, akan menjadi seperti itulah..."
Gadis itu berkata lagi tanpa menengok. Beng San memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya.
Memang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya. Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong... eh, ya. Dia kan sedang menuju ke Hoa-San? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini? Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak menyeberang. la melirik gadis itu yang masih duduk termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. la merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun? yang agaknya musuh besarnya.
"Sayang aku bukan she Bun,"
Dia mencoba menghibur. Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar.
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau maksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat."
Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya. yang hendak dia sembunyikan keadaannya, maka dia segera berkata,
"Eh, kenapa perahu ini tidak menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana."
Dara berpakaian hijau itu tersenyum.
"Aku pun lupa."
La segera mendayung, perlahan tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai patok. Mereka saling pandang merasa bahwa saat perpisahan tiba. Beng San menggendong buntalan pakaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di lantai perahu.
"Nona, aku berterima kasih sekali atas semua pertolonganrnu. Pertolongan menyeberangkan aku dari terutama sekali... pertolongan yang kau berikan ketika aku tenggelam. Nona, keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri di sini berperahu? Di mana orang tuamu? Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau ini, amat berbahaya hidup seorang diri di sini, lebih baik kau pulang dan berdiam di rumah dengan Ayah Bundamu..."
Ucapan yang keluar dari hati yang tulus dari Beng San ini terdengar nyata, dengan suara yang mengandung penuh kejujuran seperti nasihat seorang yang lebih tua kepada orang muda. Mendengar ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San dengan muka menengadah, sayu, kemudian tiba-tiba air matanya bercucuran dan la menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu Beng San terkejut sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu. Suaranya tergetar penuh keharuan ketika la berhasil membuka mulut.
"Nona... kau kenapakah...? Jangan menangis, ahhh... maafkan kalau tadi aku berkata lancang menyinggung perasaanmu..."
Tangis dara itu makin menjadi, sampai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia menangis tersedu-sedan. Saking besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur.
"Aku sebatangkara... ah, nasibku sengsara..."
Gadis itu bangun duduk, dan di lain saat la telah menjatuhkan diri di atas dada Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.
"Tenanglah... diamlah... Nona, jangan menangis. Ah, kau membuat aku ikut bersedih..."
La tak dapat melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya serasa tersumbat. Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah menaruh kasihan kepada lain orang. Sambil menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus,
"... ibuku sudah meninggal... Ayah terbunuh orang... aku yatim piatu, sebatangkara... tiada orang tiada tempat tinggal... selalu menerima hinaan orang... baru kau... baru kau seorang yang baik kepadaku..."
"Hemmm, kasihan..."
Dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air mata membasahi pipinya sendiri. la teringat akan keadaan diri sendiri, yang juga sebatangkara, tidak tahu di mana adanya orang tuanya.
"Sabarlah, Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Aku pun sebatangkara, aku pun hidup seorang diri di dunia yang luas ini."
Keduanya saling peluk, gadis itu masih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali ini dia mengalami keadaan seperti ini yang amat membingungkan, yang membuat jantungnya berloncatan tidak menentu.
"Kau baik sekali... kau baik sekali..."
Berkali-kali gadis itu berbisik.
"Kau pun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku tak akan melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona? Biarlah nama itu akan selalu berada di ingatanku dan aku berjanji akan membantumu mencari orang she Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana orangnya."
Tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan mengusap air matanya. Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.
"Aku tidak tanya namamu, kau pun tak usah tahu namaku..."
"Bagaimana ini? Kau tentu punya nama, bukan?"
"Panggil saja aku Eng... sudahlah, kau kenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng yang sengsara, sebatangkara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang baik hati, dan... alangkah sayangnya... orang she Tan yang baik hati tapi yang lemah... ah, kalau saja kau pandai silat... pergilah, pergilah tinggalkan aku seorang diri..."
La menangis lagi. Beng San bangkit berdiri, menarik napas panjang.
"Baiklah, Nona Eng. Ataukah lebih tepat kusebut Adik Eng? Aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik."
la keluar dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata sayu. Dengan bekal pakaian dan uang pemberian orang-orang Pek-Lian-Pai kepadanya, Beng San dapat rnelakukan perjalanan sebagai seorang pelancong yang pantas. Benar saja, dengan pakaian seperti seorang pemuda terpelajar, dia tidak mengalami gangguan-gangguan di tengah perjalanan. Lima belas hari kemudian dia telah tiba di daerah Hoa-San dan beberapa hari mendaki pegunungan, dia akhirnya tiba di puncak Hoa-San yang dijadikan pusat dari perkumpulan Hoa-San-Pai. Hatinya berdebar ketika dia melihat tempat yang sudah dikenalnya baik ketika delapan tahun yang lalu itu.
Dari jauh dia melihat betapa tempat itu sudah mulai dihias. Banyak sekali Tosu mendirikan bangunan darurat yang besar. Ramai orang bekerja. Beng San sengaja mengambil jalan memutar. la hendak memasuki Hoa-San-Pai dari belakang, menuju ke taman Bunga di mana dahulu dia bermain-main dengan Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Apa-kah mereka berada pula di sini? Dan bagaimana dengan Ketua Hoa-San-Pai? Ah, di antara Hoa-San Sie-Eng, hanya tinggal dua orang yang hidup, yaitu Ayah Kwa Hong, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Bagaimana nanti sikap mereka kalau mereka melihat aku? Bermacam pikiran dan dugaan mengamuk dalam pikiran Beng San, membuat hatinya ber-debar tegang ketika dia mendekati taman Bunga di belakang Kelenteng Hoa-San-Pai. Tiba-tiba Beng San melompat ke belakang pohon lalu menyelinap menyembunyikan diri.
Dengan gerakan yang tak menimbulkan suara sama sekali dia pindah bersembunyi ke dalam sebatang pohon besar yang amat lebat daunnya. la bukan seorang yang suka mengintai orang lain, akan tetapi apa yang terlihat oleh matanya yang tajam luar biasa itu memaksa dia bersembunyi dan mengintai. Di tengah taman yang sunyi dia melihat seorang gadis yang cantik sekali tengah duduk di atas bangku dekat kolam ikan yang penuh teratai merah di depannya berdiri seorang pemuda tampan yang menundukkan mukanya. Gadis itu kelihatan cerah mukanya, bibirnya tersenyum akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak setengah marah. Yang membuat Beng San terheran-heran dan cepat bersembunyi sambil berwaspada adalah ketika matanya yang tajam dapat melihat adanya seorang gadis lain yang juga berada di taman itu,
Akan tetapi gadis ini kelakuannya amat mencurigakan, yaitu ia sedang mengintai sepasang muda-mudi itu dari balik rumpun kembang dan batu penghias taman! Diam-diam Beng San memperhatikan tiga orang itu. Si pemuda adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, matanya tajam dan mukanya membayangkan keangkuhan dan kegembiraan sekaligus, pakaiannya indah akan tetapi serba putih seperti orang berkabung. Bentuk tubuhnya sedang dan dia nampak gagah dengan topi bulu di kepala dan sebatang pedang tergantung di pinggang. Adapun dara jelita yang dihadapinya itu adalah seorang dara yang memiliki bentuk tubuh langsing tinggi gerakannya lemah gemulai namun mengandung kegesitan dan kekuatan yang tidak terlepas dari pandang mata seorang ahli.
Mukanya bulat telur, kulitnya putih sekali, putih kemerahan dan halus terpelihara, sepasang matanya seperti mata Burung Hong yang kadang-kadang dapat menyinarkan kemesraan dan kehalusan akan tetapi kadang-kadang nampak tajam menusuk dan galak. Pakaiannya berkembang indah, akan tetapi dasarnya merah sehingga mudah diduga bahwa dia memang menyukai warna merah. Juga gadis cantik jelita ini membawa pedang yang dipasang dibelakang punggungnya sehingga di balik segala kecantik jelitaannya ini membayang keangkeran dan kegagahan. Setelah melihat dengan teliti, hampir Beng San tak dapat menahan ketawanya. Mudah saja dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Kui Lok.
Telinganya yang lebar itu tak akan dia lupakan. Dan gadis cantik jelita yang nampak manja ini siapa lagi kalau bukan si Kuntilanak? Kwa Hong, tak bisa lain orang. Mana ada lain orang memiliki mata seperti itu? Juga gadis ke dua yang bersembunyi sambil mengintai, yang tadinya menimbulkan kecurigaan di hati Beng San, setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah Thio Bwee. Gadis ini juga memiliki bentuk tubuh yang padat langsing, kulitnya halus dan tidak seputih Kwa Hong, namun tak dapat dikatakan hitam. Kulit berwarna kegelapan yang malah menambah kemanisannya. Wajahnya juga cantik sekali, hidungnya membayangkan hati yang keras. Seperti Kui Lok, gadis ini juga berpakaian serba putih, namun tidak putih polos, melainkan putih berkembang. Di punggungnya, seperti juga Kwa Hong, ia membawa sebatang pedang yang dironce putih pula.
"Hemmm, seperti menonton sandiwara? Wayang saja,"
Pikir Beng San geli, apakah yang sedang terjadi dengan anak-anak yang dulu nakal-nakal ini?"
Teringat dia bahwa dia sendiri pun memperlihatkan kenakalannya, buktinya dia mengintai seperti yang dilakukan oleh Thio Bwee. Tak terasa lagi mengingat ini, Beng San tertawa lebar tanpa mengeluarkan bunyi, sambil menekan perutnya. Kui Lok mengangkat mukanya yang tampan dan mulutnya yang selalu tersenyum mengejek itu berkata,
"Hong-moi, sekali lagi kutegaskan bahwa semenjak dulu aku selalu mencintamu, bukan sebagai saudara seperguruan, bukan sebagai Kakak beradik, melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita pujaan hatinya. Hong-moi, aku cinta..."
"Sudahlah, Lok-Ko, jangan diulang-ulang lagi,"
Kwa Hong berkata sambil memandang tajam, kemudian tiba-tiba matanya bersinar nakal ketika ia berkata.
"Tak enak bicara begini, kau berdiri dan aku duduk. Kau duduklah di rumput supaya aku tidak selalu berdongak kalau bicara denganmu."
Kui Lok memandang ke bawah. Tidak bersih tanah itu, biarpun ditumbuhi-rumput hijau, tentu akan mengotorkan pakaiannya. Akan tetapi tanpa ragu-ragu dia menjatuhkan diri duduk di depan Kwa Hong, di atas tanah. Karena dara itu duduk di depannya dan dia duduk di tanah, kelihatan dia seperti berlutut di, depan orang yang lebih tinggi tingkatnya! Wajah Kwa Hong yang jelita itu nampak berseri ketika memandang ke bawah, kepada muka yang tampan dan penuh penyerahan, penuh harapan dan penuh ketaatan itu. Sebaliknya Kui Lok sekarang menengadah memandang wajah cantik jelita di sebelah atasnya.
"Lok-Ko,"
Kata Kwa Hong sambil tersenyum semanis-manisnya.
"Aku tidak suka kalau kau setiap kali bertemu selalu menyatakan rasa cinta kasihmu. Aku jadi bosan mendengarnya. Sudah kukatakan kepadamu, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk memikirkan soal itu. Kau bersabarlah karena aku belum dapat memastikan siapa yang akan kupilih kelak. Kau sendiri tahu, Ayahku bermaksud menjodohkan aku dengan Ki-Ko, itu pun kutolak mentah-mentah. Aku akan memilih sendiri, tapi kelak!"
"Baiklah, Moi-moi (Adinda), baiklah. Aku tak akan mengulang lagi, tapi perbolehkan aku memujamu... alangkah cantik jelitanya engkau, Hong-moi. Kupandang dari bawah, wajahmu mengalahkan kecemerlangan matahari di waktu pagi atau bulan di waktu senja. Aku sudah akan merasa hidup ini bahagia kalau dapat memandangi mukamu yang indah, mendengar suaramu yang merdu bagaikan..."
(Lanjut ke Jilid 17)
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
"Sssttttt... ada orang...!"
Kwa Hong yang amat tajam pendengarannya itu bangkit berdiri dari duduknya. Sebetulnya dalam hal ini Kui Lok tak akan kalah olehnya, akan tetapi karena pemuda itu tadi baru mabuk asmara, maka menjadi kurang hati-hati. Mereka berdua meloncat ke satu arah, yaitu arah gerombolan kembang dan sempat melihat tubuh Thio Bwee berlari pergi sambil menutupkan kedua tangan di depan muka. Keduanya berdiri bengong, dan keduanya memerah muka.
"Celaka, Enci Bwee melihat dan mendengar semua tadi!"
Kwa Hong membanting-banting kaki kanannya.
"Semua ini salahmu, Lok-Ko! Kau tentu tahu betapa dia mencintamu dan sekarang kau suguhi ia adegan seperti ini. Bukankah ini berarti kau menyiksa batinnya?"
Kui Lok tunduk dan berkata membela diri,
"Apa dayaku, Hong-moi? Apa dayaku kalau tidak ada wanita lain di dunia ini yang merobohkan hatiku?"
"Bodoh kau! Enci Bwee cantik manis, lihai ilmu silatnya, sungguh amat cocok menjadi... eh... menjadi jodohmu."
"Tapi kau lebih cantik, Hong-moi. Kau lebih..."
Kembali Kwa Hong membanting kakinya dengan gemas.
"Sudah cukup! Kau pergilah dari sini, Lok-Ko. Setelah Enci Bwee melihatnya, apa kau ingin lain orang melihat sikapmu yang memalukan tadi? Sudah cukup kataku!"
Kui Lok menarik napas panjang, berkata lemah,
"Aku hanya mengharapkan belas kasihanmu..."
Lalu pergi dari situ dengan tubuh lemas. Kwa Hong juga menarik napas panjang, kelihatan tak senang dan duduknya gelisah. Semua ini dilihat dan didengar oieh Beng San yang menghadapi semua ini dengan hati tidak karuan rasanya. Ia merasa geli dan ingin tertawa keras-keras, akan tetapi juga merasa terharu dan khawatir. la yang selama hidupnya belum pernah mimpi tentang cinta kasih orang muda, sekarang dihadapkan dengan pemandangan yang amat mengharukan hatinya.
Ah, betapa membingungkan, pikirnya tanpa bergerak di tempat duduknya, di atas cabang dalam pohon itu. Kui Lok dicintai Thio Bwee, sebaliknya pemuda ini mencinta Kwa Hong yang agaknya tidak menerimanya! Dan menurut pendengarannya tadi, Ayah Kwa Hong malah bermaksud menjodohkan Kwa Hong dengan Thio Ki. Alangkah berbelit-belit asmara menggoda hati muda. Selagi dia berpikir bagaimana dia harus berbuat selanjutnya di tempat itu, dia mendengar suara orang mendatangi. Hampir meledak ketawanya ketika dari jauh dia melihat masuknya seorang pemuda dengan tergesa-gesa ke taman itu. Pemuda ini tinggi kurus, wajahnya tampan dan membayangkan kekerasaan dan keangkuhan hati, di pinggangnya tergantung pedang dan pakaiannya juga serba putih seperti yang dipakai Kui Lok dan Thio Bwee tadi. Sekali pandang saja, Beng San mengenalnya sebagai Thio Ki.
"Aduh, akan ramai kali ini..."
Beng San tersenyum. Sementara itu, Thio Ki tergesa-gesa menuju ke tempat duduk Kwa Hong, setelah menengok ke kanan kiri dengan hati-hati, pemuda ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kwa Hong! Gadis itu membelalakkan kedua matanya memandang pemuda yang tak mengucapkan sepatah pun kata di depannya itu.
"Eh, eh... apa-apa kau ini, Ki-Ko (Kakak Ki)?"
"Kwa Hong-moi, jangan kau menyiksa hati kami Kakak beradik yang sudah tak berayah lagi."
Kwa Hong mengerutkan keningnya.
"Aihhh... apa maksudmu, Ki-Ko? Apakah kesalahanku terhadap kau atau terhadap Enci Bwee?"
Dengan muka rnembayangkan kekerasan hatinya, biarpun dia sedang berlutut, Thio Ki memandang tajam kepada gadis itu.
"Kau tahu betapa aku mencintamu dan bahwa Kwa-Supek juga sudah setuju akan perjodohan antara kan dan aku. Dan kau pun tahu bahwa adikku Bwee-moi mencinta Lok-Te (adik Lok)."
Kwa Hong tersenyum mengejek, keningnya masih berkerut.
"Hemmm, habis mengapa?"
Suaranya penuh tantangan.
"Janganlah kau merusak hatiku dan hati adikku dengan bermain cinta dengan Kui Lok."
Kwa Hong menjadi marah, berdiri dan membanting kakinya. Agaknya kebiasaan di waktu kecil ini, yaitu membanting kaki kalau marah, masih melekat pada diri Kwa Hong.
"Ah, Enci Bwee setelah tak tahu malu mengintai orang, lalu lari merengek-rengek kepadamu minta bantuan?"
Thio Ki juga bangun berdiri, menghadapi gadis itu. Sikapnya keras akan tetapi suaranya mengandung kasih sayang,
"Hong-moi, adikku sudah tak berayah lagi, aku sebagai Kakaknya menjadi pengganti Ayah."
"Hemmm, apa saja yang ia ceritakan padamu?"
"Ia melihat Kui Lok menyatakan cintanya kepadamu di sini. Betulkah itu? Ingatlah, Hong-moi. Aku mencintamu sepenuh jiwaku dan adikku mencinta Kui Lok dengan sepenuh hatinya pula. Bukankah sudah tepat sekali kalau di antara kita cucu murid Hoa-San-Pai terjalin ikatan ini? Kau dengan aku dan Kui Lok dengan adik Bwee? Bukankah ikatan ini akan memperkuat kedudukan Hoa-San-Pai yang selalu diganggu musuh?"
"Ki-Ko! Enak saja kau bicara. Urusan perjodohan mana ada aturannya main paksa? Kalian semua goblok dan yang dipikir hanya urusan asmara saja. Aku... seujung rambut pun tak pernah memikirkan urusan itu. Aku lebih suka memikirkan pembasmian musuh-musuh besar kita. Cih, sungguh tidak tahu pribudi kalian bertiga!"
"Hong-moi... katakanlah sejujurnya... apakah kau mencinta Lok-Te?"
"Kalau aku mencinta siapapun juga, kau dan semua orang peduli apa?"
Kwa Hong membentak dengan kedua pipi merah dan dua titik air mata membasahi-pipinya itu.
"Akan tetapi aku tidak mencinta siapa-siapa! Lok-Ko boleh datang di sini seperti gila menyatakan cinta, apakah itu salahku? Aku sendiri tidak mencinta siapa-siapa, kau pun tidak, Lok-Ko pun tidak. Nah, jelaskah sekarang?"
Thio Ki menjadi agak pucat mukanya.
"Begitukah? jadi kalau begitu, Kui Lok yang merusakkan semua ini. Aku harus mencarinya memberi hajaran kepadanya!"
Dengan sigap Thio Ki membalikkan tubuh dan pergi dari situ meninggalkan Kwa Hong.
Untuk beberapa saat Kwa Hong berdiri melongo, matanya bergerak liar dan mukanya menjadi agak pucat, kemudian gadis ini pun berlari meninggalkan taman Bunga. Tinggal Beng San yang kini termenung seorang diri di atas pohon. la masih merasakan ketegangan semua yang telah dia dengar dan lihat dari tempat persembunyiannya. Hebat, pikirnya. Urusan orang-orang muda ini bisa mengakibatkan hal yang amat hebat! Mengingat akan sikap Thio Ki yang keras hati itu, mudah diduga bahwa tentu akan terjadi pertempuran antara saudara seperguruan sendiri, antara Thio Ki dan Kui Lok yang secara kasarnya memperebutkan Kwa Hong! Masih ada kemungkinan buruk lagi, yaitu bukan hal yang aneh kalau Thio Bwee memusuhi Kwa Hong pula karena dianggap merampas laki-laki yang dicintainya. Berkali-kali Beng San menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri.
"Nah, kau tahu sekarang? Hatimu mudah tertarik wajah cantik. Baru saja turun gunung sudah terpikat oleh gadis yang bernama Eng itu, sekarang melihat Kwa Hong dan Thio Bwee hatimu berdebar dan amat tertarik. Kau lihat kesengsaraan mereka itu? Lihat Thio Ki dan Kui Lok, dua orang muda gagah perkasa, tidak kekurangan sesuatu, sekarang sebagai saudara seperguruan menjadi saling bermusuhan. Gara-gara hati lemah menghadapi wajah cantik."
Akan tetapi perhatiannya segera tertarik oleh bergeraknya daun-daun di pohon-pohon. Pergerakan bukan oleh meniupnya angin biasa, melainkan tiupan angin yang ditimbulkan oleh kepandaian seseorang yang bergerak cepat sekali, melintas tak jauh dari depannya. Sekali lagi dia dikejutkan oleh kepandaian yang tinggi dari orang baru ini. Ah, sudah banyak dia melihat orang-orang muda berkepandaian tinggi. Pertama kali nona Eng, kedua kalinya orang muda yang sekarang lewat ini. la juga karena merasa pernah melihat orang muda ini, entah di mana. Seorang pemuda yang bertubuh kecil berwajah tampan sekali, kulit mukanya pucat putih, pakaiannya kuning. Muka yang pucat itu, mata yang selalu memandang rendah, mulut yang tak pernah berhenti tersenyum lebar, angkuh dan sombong. Di mana dia pernah melihat orang ini?
Dengan hati penuh kecurigaan, Beng San lalu melesat, diam-diam mengikuti bayangan orang itu yang berlari cepat ke depan. la mengikuti terus orang muda yang berjalan cepat itu, setelah keluar dari taman lalu membelok ke kanan dan menuju ke sebuah lereng yang sunyi. Lereng ini indah sekali, penuh dengan padang rumput menghijau dan di sana-sini terdapat pohon yang kembangnya berwarna kuning dan merah. Inilah sebuah taman alam yang luas dan sunyi, bagi Beng San bahkan lebih indah daripada taman Bunga yang baru ditinggalkannya tadi. Dengan hati-hati dia terus mengikuti orang itu. Di tempat yang agak terbuka ini ia harus berhati-hati karena yang diikuti adalah orang yang berkepandaian tinggi. Ia mengikuti dari jauh dan terpaksa berhenti untuk menyelinap di belakang pohon apabila yang diikutinya itu melintasi tempat yang terbuka.
Akhirnya dia melihat orang itu berhenti di tempat yang penuh pohon kembang dan orang itu mengintai. Beng San cepat menyelinap mendekati dan kini dia pun dapat melihat apa yang diintai oleh pemuda yang di depannya itu. Ternyata bahwa Thio Bwee, gadis yang tadi mendengarkan percakapan antara Kui Lok dan Kwa Hong, duduk di atas sebuah batu besar hitam di tempat sunyi itu dan menangis terisak-isak dengan amat sedihnya. Beng San menjadi terharu juga. la telah mengenal Thio Bwee ketika kecil, malah pernah dia menggendong Thio Bwee dan Kwa Hong ketika terculik oleh orang jahat. la maklum sedalamnya apa yang dirisaukan oleh hati gadis muda itu. Siapa orangnya tak akan merasa sedih dan malu kalau melihat laki-laki yang dicintainya berlutut memohon cinta kasih seorang gadis lain?
"Nona yang baik, harap kau jangan menangis, jangan bersedih. Dunia bukan hanya setelapak tangan lebarnya dan tidak kurang banyaknya pria yang baik dan setia, lebih baik dari orang she Ku itu..."
Mendengar suara ini, tangis Thio Bwee makin menjadi, akan tetapi tiba-tiba gadis itu mengangkat muka dengan kaget, memandang pemuda yang sudah muncul di depannya. Ia meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka orang sambil membentak.
"Siapa kau...? Kurang ajar, berani lancang mulut? Pergi dari sini!"
La mengusir pemuda tampan yang bermuka pucat dan tersenyum-senyum itu.
"Kita orang segolongan, Nona Thio, jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku pun bukan orang sembarangan. Kalau kau adalah cucu murid Hoa-San-Pai, aku pun murid seorang sakti. Namaku Giam Kin, dan nama Guruku kiranya tak kalah besarnya oleh nama Kakek Gurumu, Lian Bu Tojin."
Pemuda tampan pucat itu berkata sambil tersenyum memikat.
"Aku datang dengan hati suci, tidak bermaksud jahat, hanya kasihan melihat nasibmu dan ingin menghibur hatimu, nona manis. Percayalah, aku akan menjadi sahabat yang lebih baik dan lebih setia dalam cinta daripada Kui Lok..."
"Tutup mulut! Pergi kau dari sini, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan. Daerah ini termasuk wilayah kekuasaan kami dari Hoa-San-Pai, kau masuk tanpa ijin. Pergilah sebelum pedangku bicara!"
Mendadak Thio Bwee bersikap gagah dan dengan gerakan yang sebat sekali tahu-tahu pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanannya, sikapnya angkuh dan galak, namun gagah berani. Adapun Beng San yang sejak tadi diam saja, tercengang ketika mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Giam Kin? Pernah dia mendengar nama ini dan pernah pula dia melihat muka yang pucat itu, tapi bila dan di mana? la memandang terus, siap untuk menolong Thio Bwee yang dia duga tentu berada dalam bahaya berhadapan dengan pemuda seperti itu. Akan tetapi dia pun ingin menyaksikan sampai di mana kepandaian Thio Bwee dan terutama kepandaian pemuda aneh itu. Melihat Thio Bwee menghunus pedang, Giam Kin tertawa mengejek.
"Bagus sekali! Memang betapapun cantik jelitanya seorang dara, dia tidak berharga menjadi sahabat baikku kalau tidak pandai mainkan pedang. Nona Thio yang manis, biarlah kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai di mana kelincahanmu bermain pedang, apakah cocok dengan keindahan wajahmu yang manis itu..."
"Keparat, lihat pedang!"
Begitu teriakan keluar dari mulut Thio Bwee segulung sinar putih menyambar ke arah dada Giam Kin. Diam-diam Beng San kaget dan kagum juga. Ilmu pedang Hoa-San Kiam-Hoat yang dimainkan oleh nona ini betul-betul tak boleh dipandang ringan. Demikian pula agaknya pendapat Giam Kin karena pemuda ini cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali. Setelah terhindar dari ancaman pedang dan dapat berdiri tegak, wajah yang pucat itu kelihatan makin pucat.
"Bagus! Kau benar-benar nona manis berkepandaian lihai. Pantas kulayani dengan senjata pula!"
Sambil berkata demikian pemuda itu meraba pinggangnya dan mengeluarkan sebatang benda yang aneh. Benda ini tak salah lagi tentu sebuah suling karena ada lubang-lubangnya, juga ada tempat peniupnya, akan tetapi bentuknya seperti Ular! Giam Kin memegang di bagian yang runcing, yaitu bagian ekor Ular dengan cara memegang gagang pedang.
"Ah, diakah...??"
Beng San tiba-tiba teringat. Terbayanglah dia akan ratusan ekor Ular yang datang mengeroyok dia dan Tan Hok ketika seorang bocah bermuka pucat meniup sulingnya. Inilah dia, Giam Kin bocah yang dulu pernah dia pukul, bocah yang mengerikan, pandai memanggil datang ratusan ekor Ular berbisa.
Seketika kebenciannya timbul. Inilah musuh besarnya! Di waktu kecil pun sudah amat jahat, dengan Ular-Ularnya membunuh para petani kelaparan secara kejam sekali. Apalagi sekarang. Orang macam ini harus menjadi musuhnya. Akan tetapi Beng San tidak mau lancang turun tangan. la melihat bahwa Thio Bwee bukanlah seorang yang lemah. Berarti memandang rendah kalau dia turun tangan sekarang. Apalagi, bukankah dia berusaha menyembunyikan kepandaiannya? la dengan tenang menonton pertandingan antara Thio Bwee dan Giam Kin itu, akan tetapi selalu siap menolong apabila gadis itu terancam bahaya. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa tak mungkin Giam Kin mau mencelakai gadis ini, apalagi membunuhnya. Dari sikapnya tadi jelas bahwa Giam Kin tergila-gila akan kecantikan Thio Bwee, mana dia mau melukai atau membunuhnya?
Pedang di tangan Thio Bwee lihai sekali. Gerakannya cepat dan ganas dan teringatlah Beng San ketika dia melihat gadis ini di waktu kecilnya sudah memperlihatkan bakat ilmu pedangnya. Akan tetapi kalau gadis itu lihai, ternyata Giam Kin lebih lihai lagi. Suling berbentuk Ular yang dimainkan sebagai pedang itu benar-benar hebat dan aneh gerakan-gerakannya, penuh dengar gerak tipu yang sukar dijaga. Tidak mengherankan apabila Thio Bwee perlahan-lahan terdesak hebat, terkurung oleh gulungan sinar yang diakibatkan oleh gerakan suling Ular. Betul saja dugaan Beng San. Giam Kin tidak bermaksud merobohkan Thio Bwee. Kalau dia kehendaki, kiranya sudah sejak tadi dia dapat merobohkan gadis itu. Sebaliknya, dia hanya main-main dan mulutnya tiada hentinya tersenyum sambil mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda.
"Kau lihat, nona manis. Bukankah aku cukup lihai untuk menjadi sahabat baikmu. Simpanlah pedangmu dan aku Giam Kin bersedia mengaku kalah, bahkan aku suka berlutut asal kau mau menjadi sahabat baikku..."
Mendengar ini, Beng San diam-diam merasa geli. Alangkah lucunya kalau laki-laki sudah jatuh oleh kecantikan wajah seorang wanita. Lucu dan tidak waras lagi otaknya, patut disebut edan! Beng San masih terlalu hijau untuk mengenal watak laki-laki seperti Giam Kin. Dikiranya bahwa Giam Kin juga jatuh hati dan mencinta Thio Bwee, sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda muka pucat itu berwatak mata keranjang dan tentu akan "Mencinta"
Setiap orang wanita yang cantik dan manis, apalagi seperti Thio Bwee! Kalau ucapan Giam Kin itu menggelikan hati Beng San, sebaliknya amat memanaskan hati Thio Bwee. Biarpun ia terdesak hebat, gadis ini mengertak giginya, menggenggam gagang pedang dengan lebih erat lalu menyerang nekat sambil membentak.
"Murid Hoa-San-Pai pantang mengaku kalah sebelum putus lehernya!"
Pedang di tangannya meluncur cepat ke depan, tergetar sukar diketahui bagian tubuh lawan yang mana hendak ditusuknya, dada ataukah leher. Terkesiap juga Giam Kin menghadapi jurus ini. Inilah jurus Poa-San Kiam-Hoat yang disebut jurus Kwan-Kong Sia-Ciok (Kwan Kong Menahan Batu). Ujung pedang di tangan Thio Bwee tergetar dan agaknya kali ini ia akan berhasil kalau saja tidak menghadapi lawan yang demikian lihainya seperti Giam Kin. Sebagaimana telah kita ketahui, Giam Kin adalah murid dari Siauw-Ong-Kwi, itu orang sakti dan jagoan nomor satu dari daerah Utara. Tidaklah mengherankan apabila Giam Kin memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Menghadapi serangan jurus Kwan-Kong Sia-Ciok tadi, hanya sedetik dia terkesiap dan kaget, akan tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya dan sempat menggulingkan tubuh ke belakang.
Tubuhnya menggelundung terus ke sana ke mari seperti seekor binatang trenggiling dan dengan akal seperti ini, jurus Kwan-Kong Sia-Ciok yang dimainkan Thio Bwee menjadi gagal sama sekali. Tiba-tiba tubuh Giam Kin itu menggelundung ke arah lawannya dan suling Ularnya bergerak menyambar-nyambar dari bawah mengarah kaki Thio Bwee. Serangan dari bawah ini berbahaya sekali, terpaksa Thio Bwee harus meloncat-loncat ke atas. Giam Kin tertawa-tawa dan menyerang terus, kadang-kadang menyerang kaki, kadang-kadang meloncat ke atas menyerang pundak. Thio Bwee menjadi makin terdesak dan kewalahan. Jalan satu-satunya baginya hanya mengeluarkan jurus ilmu pedangnya yang khusus untuk mempertahankan diri, yaitu jurus Tian-Mo Po-In (Payung Kilat Sapu Awan). Dengan jurus ini sinar pedangnya berkelebatan merupakan segulungan cahaya yang melindungi seluruh tubuhnya.
"Ha-ha-ha, nona manis. Mana aku tega memutuskan lehermu? Memutuskan sehelai rambut pun aku tidak mau, apalagi lehermu. Lebih baik kita sudahi saja main-main ini dan kau suka menerima aku menjadi sahabatmu, bukanlah itu baik sekali?"
Sambil berkata demikian, dengan gerakan aneh sekali suling itu dapat menahan pedang Thio Bwee, dan kedua buah senjata ini saling tempel tak dapat terlepas lagi! Thio Bwee mengerahkan tenaga dan berusaha membetot pedangnya, namun sia-sia, pedangnya seperti berakar pada senjata lawan. Diam-diam Beng San yang menonton pertempuran ini mengangguk-angguk maklum dan kagum akan kehebatan Lweekang dari pemuda pucat itu.
"Ha, nona jelita. Kau lihat, sedangkan senjata-senjata kita begini rukun, saling melekat tak mau lepas. Bukankah baik sekali kalau kita meniru mereka...?"
Kata pula Giam Kin dengan nada suara ceriwis sekali. Tangan kirinya bergerak dari secara kurang ajar dia mengelus-elus lengan kanan Thio Bwee yang berkulit halus!
Gadis itu marah, membentak keras dan memukulkan tangan kirinya. Namun ia memang sudah kalah tenaga, begitu mengeluarkan bentakan tiba-tiba pedangnya terbetot oleh lawan dan terlepas dari tangannya. Betapapun juga, murid Hoa-San-Pai ini tidak mau menyerah begitu saja. la menubruk maju mengirim pukulan-pukulan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merampas pedangnya kembali. Memang hebat Thio Bwee, dalam keadaan demikian ia masih mampu memperbaiki kedudukannya yang sudah hampir kalah. Kenekatannya ini sama sekali tak pernah terduga oleh Giam Kin yang memandang rendah, maka begitu melihat datangnya pukulan-pukulan yang amat berbahaya, terpaksa ia melangkah mundur dan pedang rampasannya dapat dirampas kembali oleh Thio Bwee. Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan dan terdengar bentakan.
"Siapa berani bermain gila di Hoa-San?"
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giam Kin melangkah mundur dua tindak dan mengangkat kepala, tersenyum nakal memandang kepada dua orang yang baru datang.
Yang seorang adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya keren sekali, biarpun sudah lebih empat puluh tahun usianya, namun masih nampak muda dan gagah. Yang seorang wanita, belum tiga puluh tahun, cantik berpakaian sederhana, juga wajah yang cantik ini keren dan berpengaruh. Sekali pandang saja Beng San dengan girang mengenal bahwa laki-laki itu adalah Hoa-San It-Kiam Kwa Tin Siong sedangkan yang wanita adalah Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa, dua orang dari Hoa-San Sie-Eng yang tersohor. Yang tadi membentak adalah Liem Sian Hwa yang terkenal keras wataknya. Sebaliknya Kwa Tin Siong bermata tajam, dapat melihat bahwa orang muda itu biarpun mukanya pucat dan tersenyum-senyum selalu, bukanlah orang sembarangan. Di lain fihak Giam Kin memperhatikan dua orang itu, lalu tertawa dan berkata seenaknya,
"Siapa berani main gila? Tidak ada yang bermain gila kecuali orang-orang Hoa-San-Pai sendiri. Suhengnya gagah perkasa dan tampan, Sumoinya cantik jelita dan lihai, benar-benar mengagumkan..."
Ia tertawa lagi dan aneh sekali, wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi merah ketika mereka saling lirik. Kwa Tin Siong maju menghampiri Giam Kin dan berkata.
"Sahabat di depan siapakah, dari Partai mana dan apa alasannya bermain-main senjata dengan murid keponakanku?"
Kini Giam Kin mengangkat kedua tangan menghormat, namun sikapnya masih penuh sifat main-main dan mengejek.
"Aku yang muda bernama Giam. Aku memenuhi-pesanan Suhu untuk menghadiri ulang tahun Hoa-San-Pai dan melihat-lihat. Siapa tahu sampai di sini belum ada apa-apa. Kebetulan bertemu dengan nona cilik murid Hoa-San-Pai, ingin berkenalan secara baik-baik..."
Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo