Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 22


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



"Kepala perwira atau kepala pembesar sama saja, dapat mengurangi jumlah musuh cukup baik. Sayangnya Ji-wi terlampau sembrono. Ji-wi adalah tokoh-tokoh terkenal di Hun Lam, mengapa datang ke sini tidak menyamar?"

   Phang Khai tersenyum memandang nenek itu, lalu berkata,

   "Aku sudah lama mendengar bahwa orang kepercayaan Si-Enghiong (Pendekar ke empat) adalah seorang wanita muda yang gagah dan lihai. Kau menyamar sebagai nenek, bagus sekali, akan tetapi bagaimana seorang nenek dapat memiliki sepasang mata sejeli ini?"

   Nenek itu kelihatan terkejut.

   "Ah, Phang-Lohiap benar-benar bermata tajam sekali. Apakah penyamaranku kurang sempurna?"

   Suara nenek itu yang tadinya parau dan gemetar seperti suara orang tua, sekarang berubah menjadi nyaring dan seperti suara wanita muda. Phang Khai tertawa.

   "Ah, tidak, sama sekali tidak, Nona. Hanya aku mau menyatakan bahwa jika menyamar malah lebih berbahaya dan mencurigakan karena tidak sewajarnya. Bentuk dan suara dapat disamar, akan tetapi bagaimana dengan warna dan sinar mata? Sudahlah, andaikata anjing-anjing Mongol mengetahui kedatangan kami, apa sih yang kami takuti? Paling-paling kalau tidak bisa membasmi mereka, kita yang akan kehilangan nyawa! Bukankah sudah lama kita menyerahkan nyawa kita yang tak berharga ini kepada tanah air dan Bangsa? Ha-ha-ha!"

   Tentara itu yang sejak tadi diam saja sekarang mencela,

   "Ucapan Phang-Twako tak dapat kuterima. Memang bagi seorang pejuang, mati hidupnya tidak berarti lagi asal demi perjuangan. Akan tetapi Phang-Twako harus ingat bahwa tugas kita dalam perjuangan ini agak berbeda dengan tugas pejuang yang bertempur melawan musuh. Kalau kita sedang bertugas di bidang itu, tentu saja aku yang bodoh tak akan ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi dalam kedudukan kita sekarang yang bertugas sebagai mata-mata, mengumpulkan keterangan dan dalam hal ini, mengabdi kepada Si-Enghiong, tentu saja segala hal harus kita lakukan dengan rahasia agar jangan sampai gerakan kita ini terbongkar. Seorang saja tertangkap bisa membahayakan seluruh anggauta gerakan. Bukankah celaka kalau begini?"

   Phang Khai dan Phang Tui memandang tajam kepada "Tentara Mongol"

   Itu, lalu Phang Tui menjura.

   "Betul sekali ucapan ini,"

   Katanya kagum. Phang Khai tiba-tiba berkata,

   "Saudara, maafkan aku!"

   Dan tahu-tahu dia telah mengirim serangan, tiga pukulan bertubi menyerang leher, dada dan perut. orang berpakaian tentara Mongol itu. Orang itu kaget juga karena dia maklum betapa lihainya petani tua ini, akan tetapi secepat kilat kedua tangannya diputar dalam lingkaran untuk menangkis, malah dia segera dapat mencengkeram pergelangan tangan kanan Phang Khai sambil berseru,

   "Phang-Twako harap jangan main-main!"

   Phang Khai menarik tangannya sambil tertawa bergelak.

   "Aha, kiranya Bouw-Enghiong yang menyamar sebagai tentara. Aduh, penyamaranmu benar-benar hebat, tentu dapat mengelabuhi musuh!"

   Orang itu tertawa. Memang dia ada Tan Bouw Hin jago Bi-Nam yang berjuluk Kang-Jiu (Tangan Baja). Kiranya tadi Phang Khai menyerangnya untuk memancing ilmunya Kang-Jiauw-Ciang (Tangan Cakar Baja) tadi dikeluarkan, segera Phang Khai dapat mengenal siapa sebetulnya teman seperjuangan yang menyamar sebagai tentara musuh ini.

   "Bagus, Phang-Twako memang cerdik,"

   Kata Bouw Hin sambil tertawa.

   "Tapi Phang-Twako tentu belum mengenal dia ini."

   Ia menuding kepada pengemis tadi.

   "Biarlah kuperkenalkan dia kepada Ji-wi Phang-Twako. Dia ini adalah she Lim."

   "Aha, bukankah Lim Seng yang berjuluk Kim-Mouw-Sai (Singa Bulu Emas) dan Kwi-Bun?"

   Kata Phang Tui. Pengemis itu berdiri dan menjura.

   "Ji-wi Phang-Enghiong benar-benar bermata tajam."

   Nona yang menyamar sebagai nenek itu berkata,

   "Maaf, aku sendiri tidak boleh memperkenalkan diri. Tidak tahu urusan penting apakah yang hendak Ji-wi sampaikan kepada Si-Enghiong?"

   "Hemmm, urusan ini penting sekali. Kami harus berjumpa sendiri dengan Si-Enghiong,"

   Kata Phang Khai.

   "Nenek"

   Itu mengerutkan kening, lalu menggeleng kepalanya.

   "Phang-Lopek apakah tidak pernah mendengar dari teman-teman bahwa ada hal yang amat tidak mungkin orang menemui Si-Enghiong? Si-Enghiong, seperti juga Sam-Enghiong (Pendekar ke tiga) adalah tokoh-tokoh rahasia yang tak boleh bertemu teman seperjuangan di Kota Raja ini, karena hal itu amat berbahaya. Sekali saja musuh membongkar rahasia pribadi Sam-Enghiong dan Si-Enghiong, akan rusak binasalah semua usaha kita yang berjuang di bawah tanah di Kota Raja ini. Segala kepentingan harap Lopek beritahukan aku saja karena akulah satu-satunya orang yang dapat menghubungi Si-Enghiong."

   Phang Khai menghela napas.

   "Aku sudah mendengar akan hal itu, tapi ini adalah urusan yang amat penting."

   La tampak ragu-ragu. Melihat keraguan ini, Kang-Jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara Mongol itu berkata, nada suaranya tegas,

   "Siapa pun juga jangan harap dapat bertemu dengan Si-Enghiong, malah aku sendlri pun tidak pernah bertemu dengannya, apalagi melihatnya atau mengenal siapa dia. Kalau ada urusan yang menyangkut kepentingan perjuangan, lekas Ji-wi Twako memberi tahu kepada Nyonya Liong ini. Kalau berkeras hendak menemui Si-Enghiong, lebih baik berita itu kalian bawa pergi lagi saja."

   Biarpun kata-katanya keras, akan tetapi lucu juga nenek yang nyatanyata adalah penyamaran seorang nona muda ini disebut sebagai "Nyonya Liong."

   Phang Khai menjad! merah mukanya.

   "Maaf kalau tadi aku ragu-ragu. Sesungguhnya banyak hal yang akan kusampaikan. Pertama-tama tentang pertemuan antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai di puncak Hoa-San. Kami berdua menghadiri pertemuan itu dan..."

   Nyonya Liong tersenyum, aneh kalau tersenyum karena seorang nenek setua itu giginya putih berjajar rapi.

   "Phang Lopek tak perlu menceritakan hal ini. Ketahuilah bahwa Si-Enghiong sendiri juga hadir dalam pertemuan itu."

   Dua orang saudara Phang ini tertegun dan saling pandang. Mereka adalah dua orang petani yang ketika dalam pertemuan itu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan, akan tetapi tidak melihat adanya orang yang patut menjadi Si-Enghiong, pemimpin ke empat dari pasukan mata-mata di Kota Raja. Mungkin dia bersembunyi di antara rombongan para tamu yang tidak penting sehingga sukar dikenal, pikir mereka.

   "Ah, kalau begitu hal itu tak perlu kami kemukakan lagi,"

   Kata Phang Khai.

   "Sekarang soal ke dua. Aku ingin memberitahukan tentang kedudukan teman-teman seperjuangan kita. Saudara-saudara kita Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang sekarang sudah mendapat kemajuan memperluas gerakan pemberontakan di sepanjang Sungai Huang-Ho. Thio Si Cen sudah menyeberang Sungai Hui dan pasukan saudara Tan Hok sudah mendekati Kota Raja dari pergerakannya sepanjang Sungai Yang-Ce. Akan tetapi, aku mendapat berita bahwa gerakan Pek-Lian-Pai di sebelah Barat Kota Raja mendapat pukulan hebat dari bala tentara musuh dan membutuhkan bantuan segera."

   Nyonya Liong mengangguk-angguk.

   "Sebagian besar beritamu sudah kami ketahui. Gerakan Pek-Lian-Pai di sebelah Barat Kota Raja memang sengaja dijadikan umpan agar musuh mengerahkan tenaga ke sebelah sana. Kalau sudah tiba saatnya, pasukan-pasukan kita dari Selatan dan Timur akan menyerbu."

   Phang Khai kagum sekali.

   "Ah, sama sekali tak pernah kusangka bahwa kalian dapat bekerja sesempurna itu. Benar-benar menggembirakan sekali. Akhirnya, harap kau sampaikan kepada Si-Enghiong bahwa kedatangan kami berdua ini selain menyampaikan berita dan menerima tugas baru, juga bahwa kami mengambil keputusan untuk mencari tahu tempat tinggal Kwee Sin murid Kun-Lun-Pai yang menyeleweng itu. Harap saudara-saudara memberi tahu di mana kami dapat menemukannya. Kami percaya bahwa Sam wi (Saudara bertiga) sudah pasti akan dapat memberi petunjuk."

   Nyonya tersenyum dan memandang tajam.

   "Tentu saja kami tahu di mana murid Kun-Lun-Pai itu yang sekarang sudah menjadi pembantu Pemerintah dan bekerja sama dengan orang-orang Ngo-Lian-Kauw. Akan tetapi, pada saat seperti sekarang ini, di mana tenaga semua rakyat dibutuhkan untuk perjuangan menghalau penjajah, bagaimana Ji-wi masih ada kesempatan untuk mencampuri sggala urusan pribadi?"

   "Keliru... keliru pendapat seperti itu!"

   Phang Tui yang sejak tadi membiarkan Kakaknya bicara mewakili mereka berdua, sekarang berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai bertengkar terus sampai-sampai tidak ada waktu membantu kita. Semua ini gara-gara si Kwee Sin seorang. Kami berdua berpendapat bahwa apabila kami dapat menangkap Kwee Sin, mati atau hidup dan membawanya ke Hoa-San, tentu fihak Hoa-San maupun fihak Kun-Lun akan menghabisi permusuhan mereka dan apabila dua golongan itu sudah berdamai lalu suka membantu kita, bukankah pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan yang amat berguna bagi perjuangan?"

   Nyonya Liong mengangguk-angguk sedangkan dua orang temannya juga menyatakan kebenaran ucapan Phang Tui.

   "Jadi Ji-wi berkeras hendak menangkap Kwee Sin lebih dulu?"

   Ketika dua orang Kakek petani itu mengangguk, Nyonya Liong lalu berkata,

   "Baikiah kalau begitu. Tempat tinggal Kwee Sin adalah di gedung ke lima sebelah Barat perempatan jembatan Naga, rumah yang di atasnya ada hiasan ukiran Naga. Harap Ji-wi berhati-hati karena selalu dia bersama dengan Ketua Ngo-Lian-Kauw yang berkepandaian tinggi. Ji-wi kerjakan dulu maksud hati Ji-wi, setelah itu baru kita mengadakan pertemuan lagi, tiga hari kemudian pada waktu seperti ini dan bertempat di sini pula dan pada waktu itulah saya akan menyampaikan tugas-tugas baru bagi Ji-wi. Nah, selamat berpisah."

   Mereka berpisah dan keluar dari rumah secara diam-diam. Hanya Nyonya Liong dan Kang-Jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara itu keluar secara biasa saja, dari pintu depan tanpa ada yang menaruh curiga. Ketika dua orang saudara Phang itu melompat ke dalam gelap keluar dari tembok yang mengellingi rumah, mereka melihat bayangan berkelebat di dekat mereka. Mereka kaget, akan tetapi bayangan itu berbisik,

   "Selamat sampai bertemu kembali, Ji-wi Phang-Twako."

   Ternyata bayangan itu adalah si pengemis tadi, yaitu Kim-Mouw-Sai Lim Seng yang cepat meloncat ke kiri dan menghilang di dalam gelap.

   Dua orang saudara Phang itu kagum karena Ginkang dari orang she Lim itu ternyata hebat juga. Lima orang rahasia yang berkumpul dan mengadakan pertemuan rahasia di malam hari itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi gerak-gerik mereka telah diintai oleh Beng San. Pemuda ini dalam usahanya untuk mencari Kwee Sin, telah pula sampai di Kota Raja dan kebetulan sekali bermalam di rumah penginapan sederhana itu. Malam tadi secara kebetulan dia yang berada di kamarnya mendengar desir angin yang hanya terdengar oleh seorang yang memiliki Lweekang setinggi dia. la kaget dan tahu bahwa ada orang mempergunakan ilmu Ginkang bergerak di luar rumah, maka cepat dia keluar dari kamarnya secara diam-diam dan melihat dua bayangan berkelebat, yaitu bayangan dua orang saudara Phang.

   Demikianlah, secara diam-diam dia mengintai dan mendengar segala percakapan yang dilakukan oleh lima orang itu. Hatinya kagum bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa lima orang itu adalah pejuang-pejuang, orang-orang gagah seperti Tan Hok yang rela mengorbankan nyawa demi perjuangan Bangsa menghalau penjajah. Akan tetapi, lebih girang lagi hatinya karena tanpa sengaja dia mendapat petunjuk di mana dia bisa mencari Kwee Sin. Malam berikutnya Beng San sudah mengikuti lagi perjalanan dua orang saudara Phang yang menuju ke rumah gedung Kwee Sin seperti yang telah ditunjuk oleh Nyonya Liong pada kemarin malam. la mengenal dua orang ini sebagai tamu terhormat di Hoa-San-Pai, maka diam-diam dia tidak mau mengganggu mereka.

   "Betapapun juga, mengajak Kwee Sin ke Hoa-San-Pai adalah tugasku,"

   Pikimya.

   "Aku yang sudah berjanji dan akulah yang harus memenuhi janji itu."

   Dengan Ginkang mereka yang sudah tinggi, dua orang saudara Phang itu dapat memasuki halaman rumah gedung itu dengan mudah. Mereka melompati pagar tembok dan merasa girang karena ternyata rumah gedung ini tidak ada yang menjaga.

   Di lain saat mereka sudah mengintai ke sebuah kamar di mana duduk seorang laki-laki yang tampan dan gagah, berusia tiga puluh tahun lebih, wajah yang tampan itu angker dan agung, sedang menulis sesuatu di atas meja. Tak jauh dari situ duduk pula seorang perempuan cantik berpakaian mewah, memandang kepada laki-laki itu sambil tersenyum dan mengebut-ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas. Laki-laki itu bukan lain adalah Pek-jiu Kwee Sin, orang termuda dari Kun-Lun Sam-Hengte, jago muda Kun-Lun-Pai yang telah mengakibatkan keributan antara Hoa-San dan Kun-Lun. Adapun perempuan cantik yang pesolek dan bersikap genit itu bukan lain adalah Ngo-Lian-Kauwcu (Ketua Ngo-Lian kauw) yang berjuluk Kim-Thouw Thian-Li (Dewi Kepala Emas) dan yang oleh Kwee Sin dikenal dengan nama Coa Kim Li gadis yang telah merayu dan merobohkan hatinya

   "Sin-Ko (Kanda Sin), Kim-Thouw Thian-Li berkata dengan suara merdu.

   "Malam ini kau harus menemani aku. Di rumah amat sunyi, jangan kau sibuk dengan pekerjaanmu. Tak usah kau membanting tulang, para pembesar sampai Hongsiang (Kaisar) sendiri cukup maklum betapa besarnya jasamu kepada Pemerintah."

   "Aku banyak pekerjaan, Li-moi (adik Li). Biarlah besok siang kalau aku pulang dari kantor, aku akan mengunjungi rumahmu. Kau seorang Ketua perkumpulan besar seperti Ngo-Lian-Kauw, bagaimana bisa kesepian?"

   Kwee Sin tertawa dan menunda tulisannya.

   "Biarpun ada seribu orang teman, mana bisa dibandingkan dengan kau?"

   Coa Kim Li berkata genit lalu menarik bangkunya mendekat. Pintu kamar terketok dari tuar. Cepat-cepat Kim-Thouw Thian-Li menjauhkan lagi bangkunya. Ketika pelayan masuk Kwee Sin sudah bersikap keren seperti tadi.

   "Kwee-Ciangkun, di luar ada Lee-Siocia (nona Lee) mohon menghadap Ciangkun (Panglima),"

   Pelayan itu dengan sikap hormat dan tanpa mengangkat muka memberi laporan.

   "Baik, minta nona Lee masuk ke ruangan ini,"

   Jawab Kwee Sin. Pelayan itu memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan.

   "Huh, Sin-Ko, awas kau kalau di belakangku kau berani main gila dengan nona muda itu!"

   Tiba-tiba Kim-Thouw Thian-Li berkata lirih, matanya bersinar penuh cemburu. Kwee Sin tersenyum pahit.

   "Kim Li-moi apa-apaan cemburu ini? Kau tahu aku bukan... bukan mata keranjang dan kau tahu pula bahwa Lee-Siocia adalah seorang yang mendapat kepercayaan semua panglima di Kota Raja, juga lihai ilmu silatnya. Pertemuanku dengan dia tentu hanya berhubung pekerjaan, mengapa kau menyangka yang bukan-bukan? Dia datang, kau pun di sini, boleh kau saksikan sendiri apa yang hendak dia sampaikan kepadaku!"

   "Huh, biar dia lihai, siapa takut padanya? Dan siapa sudi bertemu dengannya? Melihat mukanya yang muda, jangan-jangan timbul seleraku untuk mencakar mukanya! Aku akan bersembunyi di belakang pintu, awas kau, sekali saja kau dan dia main gila, kalian akan kubunuh!"

   Dengan gerakan cepat sekali tubuhnya berkelebat menghilang di balik pintu samping. Kwee Sin menarik napas lega, wajahnya nampak girang dan tersenyum ketika pintu depan terbuka dan seorang nona berpakaian kuning berjalan masuk.

   "Nona Lee, kau membawa kabar penting apakah?"

   Kwee Sin menyambut kedatangan nona ini dengan suara nyaring.

   "Apakah kali ini kau diutus oleh Pangeran Souw? Ataukah Tan-Ciangkun yang mengutusmu?"

   Nona berpakaian kuning itu amat dikenal di kalangan atas Kota Raja. Dia bernama Lee Giok, puteri seorang Bangsawan di Kota Raja. Usianya baru sembilan belas tahun, wajahnya yang antik itu nampak muram dan seperti diliputi kesedihan, matanya tajam dan gagang pedang menonjol di pinggangnya. Biarpun ia masih muda, namun ia sudah terkenal sebagai seorang yang amat berjasa dalam menindas kaum pemberontak berkat ilmu silatnya yang tinggi dan otaknya yang cemerlang. Menghadapi pertanyaan Kwee Sin, nona itu menghela napas, memandang kepada Kwee Sin dengan matanya yang tajam, lalu katanya perlahan,

   "Kwee Ciangkun, kalau memang Kim-Thouw Thian-Li sudah berada di sini, mengapa ia bersembunyi dan mengintai? Kuharap Ciangkun suka mempersilahkan dia keluar karena kedatanganku ini toh bukan hendak mengadakan pertemuan yang bukan-bukan!"

   Tentu saja Kim-Thouw Thian-Li kaget sekali. Akan tetapi dia pun seorang wanita yang cerdik. Dengan tenang ia muncul dari balik pintu dan tertawa.

   "Hebat benar kecerdikan nona Lee! Tadi memang saudara Kwee dan aku sengaja hendak menguji kecerdikanmu yang sudah lama kudengar dibicarakan orang, kiranya benar-benar kau cerdik. Hanya aku yang tolol, tidak ingat bahwa kepergianku dari sini meninggalkan ganda harum. Ehm, benar lihai!"

   Diam-diam nona itu, Lee Giok terkejut juga. la dipuji cerdik, akan tetapi Ketua Ngo-Lian-Kauw itu dengan sendirinya telah pula membuktikan bahwa otaknya tidak kalah cerdiknya. Memang tepat sekali kata-katanya tadi, dia dapat mengetahui bahwa Kim-Thouw Thian-Li baru saja meninggalkan ruangan itu karena tercium olehnya ganda harum seperti yang biasa ia cium kalau ia bertemu dengan Ketua Ngo-Lian-Kauw itu. Setiap orang wanita sudah tentu memiliki kesukaan masing-masing tentang wangi-wangian yang dipakainya dan wangi-wangian yang dipakai oleh Kim-Thouw Thian-Li mempunyai ganda yang khas.

   "Kwee-Ciangkun, kedatanganku tidak lain hanya untuk menyampaikan peringatan kepadamu. Ada berita sampai kepadaku bahwa pada waktu ini di Kota Raja datang dua orang saudara Phang dari Hun-Lam yang sengaja mencari Kwee-Ciangkun dan hendak memaksa Kwee-Ciangkun, mati atau hidup, ikut pergi ke Hoa-San."

   Berubah wajah Kwee Sin mendengar berita ini.

   "Nona, apakah kau maksudkan Phang Khai dan Phang Tui Sepasang Naga dari Hun-Lam?"

   Katanya setengah berbisik. Nona itu mengangguk, wajahnya nampak makin murung lalu ia membalikkan tubuh berkata.

   "Tugasku sudah selesai, Ciangkun. Aku tak dapat lama-lama di sini, khawatir kalau-kalau membuat orang lain mendongkol saja."

   Tanpa melirik kepada Kim-Thouw Thian-Li yang disindirnya itu, nona ini segera keluar dari ruangan itu dengan langkah ringan dan cepat sekali.

   "Hi-hi-hi, baru mendengar ada dua orang tua bangka dari Hun-Lam datang saja, kan kelihatan gelisah?"

   Kata Kim-Thouw Thian-Li.

   "Li Moi, jangan kau anggap ringan dua orang Kakek itu. Nama besar Phang-Hengte (Kakak beradik Phang) dari Hun-Lam sudah lama kudengar. Aku memang tidak takut, hanya sebab-sebab mengapa mereka hendak menangkapku inilah yang menggelisahkan hati."

   "Sin-Ko, mengapa kau begini bodoh? Mudah sekali diduga. Mereka tentulah bergabung dengan para pemberontak maka hendak memusuhimu, atau mungkin sekali mereka itu disuruh oleh perempuan she Liem yang tak tahu malu itu untuk..."

   "Li-moi, kau berjanji tak akan menyebut-nyebut namanya!"

   Tiba-tiba Kwee Sin berkata, jidatnya berkerut tak senang.

   "Hi-hi-hi, sudahlah. Hanya dua ekor anjing tua dari Hun-Lam itu untuk apa diributkan? Biarkan mereka datang, masih ada aku di sini, mereka bisa berbuat apa terhadap dirimu?"

   Phang Khai dan Phang tui adalah dua orang Kakek ternama di Hun-Lam. Tentu saja mendengar mereka dimaki anjing-anjing tua oleh wanita itu, mereka tak dapat menahan kemarahan mereka, lagi. Serentak mereka meloncat dan menerobos masuk ke dalam ruangan itu.

   "Kwee Sin, kami dua saudara Phang dari Hun-Lam datang untuk menjemput kau ke Hoa-San!"

   Kata Phang Khai sambil melirik penuh kemarahan ke arah Kim-Thouw Thian-Li yang sudah berdiri dengan alis berkerut marah. Kwee Sin juga berdiri dan menjawab,

   "Ji-wi Phang-Enghiong, dengan maksud apakah Ji-wi hendak mengajak Siauwte pergi ke sana?"

   "Murid Kun-Lun-Pai yang murtad. Kau menjadi biang keladi permusuhan antara Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai. Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu terhadap Hoa-San-Pai!"

   Kata Phang Tui tak sabar lagi. Kwee Sin menghela napas.

   "Ji-wi Phang-Enghiong, urusan itu adalah urusan pribadiku, harap Ji-wi sebagai orang luar jangan mencampurinya. Mengingat Ji-wi adalah tokoh-tokoh terkemuka dan Hun-Lam, maka Siauwte persilahkan Ji-wi pergi dengan baik-baik."

   "Setan, siapa takut kepadamu? Kami sudah bersumpah untuk mmbawamu ke Hoa-San, hidup atau mati. Tui-Te (adik Tui), kau tangkap dia, biar aku menjaga Siluman ini!"

   Phang Tui maju menubruk Kwee Sin dengan Ilmu Kim-Na-Jiu-Hoat, kedua lengannya bergerak-gerak dan yang kanan mencengkeram ke arah pundak kiri sedangkan tangan kirinya menotok jalan darah di leher. Terpaksa Kwee Sin cepat menggeser kaki ke belakang dan memutar lengan untuk menangkis.

   Tentu saja jago muda Kun-Lun-Pai ini tidak mau membiarkan dirinya ditangkap begitu saja. Sambil mengeluarkan suara ketawa mengejek Kim-thonw Thian-Li menggerakkan kedua tangannya dan tangan kanannya sudah memegang sebuah golok tipis kecil yang amat indah bentuk dan gagangnya, sedangkan tangan kirinya sudah meloloskan sehelai Saputangan merah yang panjang. Phang Khai maklum bahwa menghadapi wanita Ketua Ngo-Lian-Pai ini tak perlu dia berlaku sungkan lagi maka sekali dia menggereng, dia telah Melakukan penyerangan dengan pedang dl tangan. Meiihat sinar pedang yang menyambarnya dari tiga jurusan, diam-diam Kim-Thouw Thian-Li kaget juga dan maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Cepat dia menangkis dengan gojoknya

   "Traaanggg...!"

   Phang Khai melompat mundur selangkah sedangkan Kim-Thouw Thian-Li merasa tangannya tergetar. Bukan main herannya Phang Khai. Seorang wanita yang bertubuh lemah gemulai dan halus itu kenapa bisa memiliki tenaga Yangkang demikian besarnya? Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga Yang, eh, siapa kira sekarang dia menghadapi seorang wanita yang lebih besar tenaganya. la berlaku hati-hati dan mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya urrtuk mendesak. Ilmu pedang dari dua orang saudara Phang itu adalah ilmu pedang keturunan warisan nenek moyang mereka. Memang asalnya satu sumber dengan ilrnu pe-dang Hoa-San-Pai, hanya sudah banyak perubahan.

   Oleh karena itulah maka dalam hal urusan Hoa-San-Pai, dua orang Kakek ini tidak mau melupakan sumbernya dan ingin membantu Hoa-San-Pai. Seperti juga ilmu pedang Hoa-San-Pai, ilmu pedang Phang Khai amat indah dan cepat, hanya bedanya kalau ilmu pedang Hoa-San-Pai mengutamakan tenaga Im, adalah sebaliknya ilrnu pedang keluarga Phang ini mengutamakan tenaga Yang. Ketua Ngo-Lian-Pai itu, Kim-Thouw Thian-Li, adalah murid dari Hek-Hwa Kui-Bo, tentu saja kepandaiannya hebat. Sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini Kim-Thouw Thian-Li telah hidup dalam kesenangan, selalu rnenurutkan nafsu mengejar kesenangan duniawi, sehingga dia malas untuk berlatih dan memperkuat tenaga dalamnya. Sekarang menghadapi seorang tokoh ilmu pedang seperti Phang Khai, biarpun tidak akan kalah dalam waktu singkat, juga amat sukarlah untuk mencapai kemenangan.

   Pertempuran ini berlangsung makin hebat di ruangan itu. Kwee Sin juga sudah mencabut pedangnya ketika Phang Tui yang merasa penasaran itu menyerangnya dengan pedang juga. Tadinya Phang Tui hendak menangkap Kwee Sin hidup-hidup, maka dia bertangan kosong dan mempergunakan ilmu yang amat dia andalkan, yaitu ilmu tangkap Kim-Na-Jiu. Siapa kira, Kwee Sin selalu dapat membuyarkan ilmu ini dengan pukulan-pukulan Pek-Lek-Jiu, semacam ilmu pukulan Kun-Lun-Pai yang amat dahsyat. Desakan-desakan ilmu tangkap itu selalu didesak mundur oleh pukulan Pek-Lek-Jiu, bahkan dia sendiri yang terancam bahaya, maka dia lalu mempergunakan pedang. Kwee Sin juga seorang ahli pedang Kun-Lun-Pai, maka pertempuran ini pun hebat sekali. Tiba-tiba Kim-Thouw Thian-Li mengeluarkan suara bersuit panjang sekali.

   "Li-moi, jangan mencelakai mereka..."

   Kwee Sin menegur lalu berkata nyaring.

   "Ji-wi Phang-Enghiong, harap sudahi pertempuran ini dan pergilah Ji-wi (Kalian) dengan aman!"

   Akan tetapi dua orang jago kawakan seperti dua saudara Phang itu, sekali bekerja mana mau berhenti setengah jalan? Mereka malah mendesak makin hebat dalam usaha mengalahkan musuh dengan segera dan dapat membawa Kwee Sin dari situ, baik dalam keadaan hidup maupun sudah mati! Tidak seperti Kwee Sin, mereka tidak tahu apa artinya suitan yang dikeluarkan oleh Kim-Thouw Thian-Li tadi. Kiranya suitan itu adalah tanda rahasia bagi Ketua Ngo-Lian-Kauw untuk memanggil anak buahnya. Di mana Ketuanya berada di situ pasti berkeliaran banyak pembantu-pembantunya yang setia, maka pada saat itu, belasan orang tokoh Ngo-Lian-Kauw memang sudah berkeliaran di sekitar rumah gedung tempat tinggal Kwee Sin, siap untuk menghadap sewaktu-waktu Ketua mereka memanggil.

   Akan tetapi kali ini biarpun Kim-Thouw Thian-Li bersuit sampai tiga empat kali, tidak seorang pun anak buahnya muncul. la menjadi marah bukan main akan tetapi juga gelisah. Celaka, pikirrnya, kiranya dua orang Kakek itu datang dengan banyak teman dan agaknya anak buahnya telah dirobohkan di luar! Cepat dia mengeluarkan sebuah Saputangan yang beraneka warna, Saputangan Sutera yang berbau harum sekali. Pada saat itu, pedang Phang Khai sudah menyambar cepat ke arah lehernya. Kim-Thouw Thian-Li membuang tubuh ke kiri karena tidak sempat menangkis lagi sehingga pedang meluncur di atas pundaknya. Tangan kirinya yang mencabut keluar Saputangan tadi bergerak cepat, serangkum bau yang amat harum menyambar, Phang Khai mencium ganda yang luar biasa harumnya, seketika kepalanya pening, pandang matanya berkunang.

   "Celaka..."

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
La berseru dan berusaha mengerahkan Lweekangnya untuk melawan hawa beracun itu. Namun sia-sia, tubuhnya limbung dan Kakek gagah perkasa ini roboh terguling dengan pedang masih di tangan! Kim-Thouw Thian-Li tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat dia melompat ke dekat Phang Tui yang masih saling gempur dengan Kwee Sin sambil mengebutkan Saputangannya. Phang Tui juga tidak dapat menahan, roboh terguling dan pingsan. Kim-Thouw Thian-Li sudah menggerakkan pedang untuk membacok mati dua orang itu, namun Kwee Sin cepat berseru,

   "Jangan bunuh mereka!"

   Kiranya Kwee Sin tidak terpengaruh oleh racun itu, kenapa? Hal ini tidak aneh. Sudah bertahun-tahun Kwee Sin berhubungan dengan Kim-Thouw Thian-Li, tentu saja dia sudah banyak pula mengenal senjata-senjata rahasia wanita ini dan tahu bagaimana cara menolaknya. Kim-Thouw Thian-Li marah.

   "Dua cacing tua ini datang hendak membunuhmu, masa sekarang kau melarangku membunuh mereka?"

   Pedangnya masih tetap diayun hendak dibacokkan. Pada saat itu dari luar menyambar angin keras, dan dua sinar hitam melesat cepat mengenai dua buah lampu dalam ruangan. Seketika penerangan menjadi padam dan keadaan di dalam ruangan itu gelap gulita.

   "Eh, apa ini...?"

   Kwee Sin berseru kaget.

   "Aduh...!"

   Kim-Thouw Thian-Li mengeluh dan roboh tak dapat bergerak lagi.

   Ternyata Hiat-To (Jalan Darah) di tubuhnya sudah kena ditotok orang dalam kegelapan itu dan ia roboh tanpa bergerak lagi. Kwee Sin merasa tangannya dipegang orang. Cepat dia mengipaskan pegangan itu, tapi mendadak kedua tangannya lemas tak bertenaga lagi. la pun sudah terkena totokan orang dalam gelap yang amat lihai itu, kemudian dia merasa tubuhnya melayang dan berada di atas pundak orang yang memanggulnya. Biarpun tubuhnya tak mampu bergerak, pikiran Kwee Sin masih terang dan tahulah dia bahwa dia telah dibawa lari orang, telah diculik oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Berkali-kali orang yang memanggulnya itu meloncat tinggi, melalui rumah orang dan akhirnya melompati tembok Kota Raja, terus lari keluar dari Kota Raja dengan kecepatan yang mengagumkan.

   Adapun Phang Khai dan Phang Tui yang tadinya roboh pingsan dengan tangan masih mencengkeram gagang pedang masing-masing, merasa hawa dingin menyambar ke muka mereka dan Phang Khai lebih dulu siuman dari pingsannya. la terheran-heran mendapatkan dirinya telah berada di kebun belakang Kelenteng tua di mana dia dan adiknya selama bertugas di Kota Raja bersembunyi. Dilihatnya Phang Tui juga menggeletak di rumput. Pedang mereka terletak di situ pula. Cepat Phang Khai menolong adiknya dan mereka berdua tiada habis terheran-heran bagaimana mereka yang tadinya roboh oleh hawa beracun Kim-Thouw Thian-Li sekarang tahu-tahu sudah berada di kebun Kelenteng dalain keadaan baik-baik saja.

   "Ah, tentu ada orang menolong kita,"

   Rata Phang Khai kagum.

   "Twa-ko, jangan-jangan Kwee Sin yang menolong kita! Beberapa kali dia telah mencegah Kim-Thouw Thian-Li membunuh kita. Kiranya orang muda itu masih memiliki watak setia kawan terhadap orang kang-ouw, tapi kenapa dia terjerumus ke dalam lumpur kehinaan membantu Pemerintah dan bersekongkol dengan iblis macam Ketua Ngo-Lian-Kauw itu?"

   Phang Khai menggeleng kepala.

   "Tak mungkin kalau Kwee Sin yang menolong kita. malah hal ini terjadi sesuatu yang aneh. Kalau Kwee Sin yang menolong kita, bagaimana dia bisa tahu bahwa kita bermalam di tempat ini? Padahal tempat kita ini adalah rahasia kita sendiri. Selain itu tidakkah Kau lihat betapa Kwee-Sin itu takut kepada Kim-Thouw Thian-Li? Mana bisa dia menolong kita?"

   "Memang aneh."

   Phang Tui mengangguk-angguk mengerutkan kening.

   "Akan tetapi, Twako, yang membikin aku hampir mati penasaran adalah gadis yang bernama nona Lee itu. Kau tentu tahu pula apa yang kumaksud, bukan?"

   "Tentu saja. Dia boleh menyamar bagaimanapun juga, mana dia bisa mengubah matanya? Nona Lee adalah si dia itulah. Hemmm, dia telah mengkhianati kita, mernberi tahu kepada Kwee Sin tentang maksud kita. Orang macam itu mana bisa dijadikan kepercayaan Si-Enghiong? Terang berbahaya sekali, karena dengan pengkhianatannya ini jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang pengkhianat, seorang antek Mongol seperti Kwee Sin. Biarlah Kau lihat saja sikapku besok lusa malam kalau kita bertemu dengan mereka."

   Tiba-tiba Phang Tui yang tadi termenung menepuk pahanya.

   "Waaah, kenapa aku sampai lupa?"

   "Apa maksudmu?"

   Kakaknya bertanya.

   "Twako, terang bahwa tadi ada orang pandai menolong kita sehingga dalam keadaan pingsan di ruangan gedung Kwee Sin kita bisa terbebas dari kematian.

   "Siapakah kau kira yang telah menolong kita tadi?"

   "Mana aku tahu? Aku pun pingsan? Seperti kau."

   "Twako, sudah lama kita mendengar bahwa dua orang pemimpin pejuang yang bertugas di Kota Raja, yaitu Ji-Enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-Enghiong (Pendekar ke empat) memiliki ilmu yang amat tinggi. Apakah bukan mereka yang telah menolong?"

   "Ah, benar juga kata-katamu ini. Yang menolong kita tentulah orang yang mengerti keadaan dan tugas kita. Siapa pula kalau bukan mereka? Tapi yang manakah di antara kedua Enghiong itu? Dan siapa pula sebenarnya mereka ini yang selalu bekerja penuh rahasia?"

   Dua orang Kakak beradik itu berhadapan dengan sebuah rahasia dan betapapun mereka memutar otak menduga-duga, tetap mereka tidak dapat memecahkannya. Sebetulnya dugaan-dugaan mereka bahwa yang menolong mereka adalah dua orang rahasia dari pimpinan pejuang, adalah keliru. Penolong mereka pada waktu itu bukan lain adalah Beng San sendiri. Seperti diketahui, pemuda ini, juga ikut mengintai di ruangan itu dan melihat semua apa yang telah terjadi. Diam-diam Beng San siap sedia untuk membantu kedua orang saudara Phang itu, akan tetapi melihat bahwa keduanya cukup tangguh untuk melawan Kwee Sin dan Kim-Thouw Thian-Li, dia merasa tidak enak juga untuk membantu.

   Ketika Kim-Thouw Thian-Li bersuit memanggil anak buahnya, Beng San cepat berkelebat menghadang dan dua belas orang anak buah Ngo-Lian-Kauw itu semua dia robohkan dengan totokannya yang lihai sebelum orang-orang itu sempat melihatnya! Ketika kembali mengintai, Beng San terkejut melihat dua orang saudara Phang sudah roboh pingsan. Cepat dia mengambil dua buah kerikil dan disambitkan ke arah lampu penerangan sehingga padam. Di dalam gelap itulah Beng San cepat melompat masuk, merobohkan Kim-Thouw Thian-Li dan Kwee Sin, kemudian sekaligus dia membawa keluar tubuh Kwee Sin dan dua orang saudara Phang! Kepandaian pemuda ini sudah demikian tingginya, tenaganya luar biasa besarnya sehingga dengan mudah saja dia dapat membawa tubuh tiga orang itu sambil berlari-lari dan berlompatan.

   Setelah meletak akan tubuh dua orang saudara Phang ke atas rumput di kebun Kelenteng, Beng San lalu cepat membawa Kwee Sin keluar dari Kota Raja dengan kecepatan luar biasa. Setengah malam suntuk dia berlari terus dengan cepat, tidak berani berhenti karena maklum bahwa kehilangan Kwee Sin pasti akan menggegerkan Kota Raja dan sudah pasti Kim-Thouw Thian-Li akan mengerahkan anak buahnya melakukan pengejaran. Setelah malam berganti pagi dia sudah berada jauh sekali dari Kota Raja dan barulah dia berhenti di dalam sebuah hutan. Kwee Sin diturunkan dan segera dibebaskan dari totokan. Tapi Kwee Sin merasa tubuhnya lemas dan belum kuat berdiri. Dengan amat terheran-heran Kwee Sin melihat bahwa orang yang menculiknya hanyalah seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang pelajar. Bukan main kagum dan herannya, apalagi ketika pemuda itu menjura di depannya sambil berkata.

   "Harap Kwee-Enghiong suka memaafkan aku yang secara paksa telah membawa kau keluar dari Kota Raja."

   "Siapakah kau? Dan apa maksudmu membawaku ke tempat ini?"

   Beng San tersenyum.

   "Agaknya Kwee-Enghiong tak akan mengenal aku, biarpun aku menyebutkan nama. Aku membawa Kwee-Enghiong keluar dari Kota Raja tak lain dengan maksud membawamu ke Hoa-San-Pai. Ketahuilah bahwa hampir saja Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai mengadakan pertempuran hebat di antara Ketua mereka, baiknya aku masih sempat mencegah mereka dan aku berjanji akan membawamu ke Hoa-San-Pai. Urusan permusuhan antara kedua Partai itu semua adalah kau yang menjadi biang keladinya, maka apabila kau dapat mengaku terus terang tentang semua kejadian yang lalu, kukira permusuhan itu dapat dilenyapkan dan akan ternyatalah bahwa sebetulnya bukan kau yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang Hoa-San-Pai."

   Kwee Sin makin terheran.

   "Bagaimana kau bisa tahu akan semua itu? Fihak Hoa-San-Pai sudah yakin bahwa aku yang membunuh Ayah nona Liem, aku pula yang menyebabkan kematian dua orang dari Hoa-San Sie-Eng, kenapa kau bisa katakan bahwa bukan aku yang melakukan pembunuhan-pembunuhan?"

   "Aku mempunyai teman-teman di Pek-Lian-Pai dan dari mereka inilah aku mendengar kejadian yang sebenarnya."

   "Ah... jadi kau... kau ini juga seorang peju... eh, seorang pemberontak?"

   Tanyanya gagap. Beng San tersenyum mendengar kata-kata pejuang itu segera diganti pemberontak.

   "Itulah kesalahanmu, Kwee-Enghiong. Kau terpikat oleh Kim-Thouw Thian-Li dan jatuh di bawah pengaruhnya sehingga kau membantu Kerajaan Mongol, memusuhi para pejuang yang kau anggap pemberontak. Sayang sekali... sayang seorang gagah seperti kau dapat terjerumus sedemikian dalam. Aku bukan seorang anggauta Pek-Lian-Pai biarpun aku kagum akan perjuangan mereka. Aku melakukan penculikan atas dirimu ini hanya untuk mencegah agar Kun-Lun-Pai tidak saling serang dengan Hoa-San-Pai."

   Kwee Sin sudah pulih tenaganya dan dengan gagah dia berdiri lalu berkata,

   "Baiklah. Seorang laki-laki harus berani mempertanggung jawabkan kesalahan dan perbuatannya. Marilah, bawa aku ke Hoa-San-Pai, biar aku akan menanggung semua hukuman yang akan dijatuhkan kepadaku."

   Dua orang ini lalu berjalan menuju ke Hoa-San-Pai. Diam-diam Beng San masih mengagumi sikap Kwee Sin dan makin menyesallah dia kalau teringat betapa Pendekar Kun-Lun-Pai ini roboh karena pengaruh kecantikan seorang wanita jahat seperti Ngo-Lian-Kauw itu. Di lain fihak, Kwee Sin tiada habis terheran-heran kalau melihat Beng San. Seorang pemuda yang masih hijau, kelihatannya lemah-lembut dan seperti seorang ahli sastra, bagaimana dapat memiliki kepandaian sehebat itu? Apalagi sekarang setelah mereka melakukan perjalanan biasa, pemuda itu sama sekali tidak kelihatan memiliki kepandaian tinggi. Benar-benarkah pemuda ini yang telah menculiknya? Hampir dia tak dapat mempercayainya. Pada malam ke dua, ketika keduanya bermalam di sebuah hutan, Kwee Sin rnenggunakan kepandaiannya meloncat ke atas pohon besar.

   "Hiante, hutan ini kelihatannya penuh binatang liar, lebih baik kita bermalam di atas pohon ini Saja agar tidak terancam keselamatan kita. Kau naiklah ke sini."

   La sengaja hendak mencoba kepandaian pemuda yang dia sangsikan itu. Andaikata dugaannya keliru dan ternyata pemuda ini tidak memiliki kepandaian, untuk apa dia harus mengalah dan menerima begitu saja bawa ke Hoa-San? Beng San tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Lebih enak tidur di bawah sini. Kalau Kwee-Enghiong ingin tidur di atas pohon, silahkan."

   Setelah berkata demikian, Beng San merebahkan diri bersandar pohon dan tak lama kemudian saking lelahnya, dia sudah tidur pulas. Kwee Sin penasaran. Benarkah bocah seperti ini memiliki kepandaian? Jangan-jangan hanya pandai lari cepat saja. Setelah dia mengaso dan mengumpulkan tenaga menjelang fajar dilihatnya Beng San masih tidur enak di bawah pohon. Kwee Sin lalu mengerahkan tenaganya, menggunakan Ginkangnya yang sudah tinggi tingkatnya itu meloncat dari atas pohon, jauh ke cabang pohon lain yang berdekatan, lalu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara dia berlari terus kembali ke Kota Raja! Kurang lebih dua li dia berlari. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang terbelalak ke depan. Kiranya di depannya, di tengah jalan itu, Beng San sudah berdiri sambil tersenyum dan menjura.

   "Kwee-Enghiong, seorang laki-laki sudah berjanji kenapa hendak ditariknya kembali?"

   Merah muka Kwee Sin. Teranglah bahwa ilmu Ginkang pemuda ini jauh melebihi tingkatnya sampai-sampai dia tidak tahu bagaimana pemuda itu bisa berada di situ, padahal tadi dia tinggalkah dalam keadaan pulas! Akan tetapi karena dia merasa penasaran dan memang maksud hati yang sesungguhnya untuk menguji apakah orang muda ini cukup berharga untuk memaksanya pergi ke Hoa-San, Kwee Sin lalu berseru keras.

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   "Orang muda, kau memaksaku pergi ke Hoa-San, apakah yang kau andalkan? Sebagai seorang gagah, tentu saja aku tak akan menarik kembali kata-kataku bahwa aku berani mempertanggung jawabkan perbuatanku. Akan tetapi aku tidak berjanji untuk menuruti kehendakmu, kecuali kalau kau mampu mengalahkan aku!"

   Setelah berkata demikian, Kwee Sin mengeluarkan pedangnya yang ternyata masih berada di sarung pedangnya, entah siapa yang menyarungkannya kembali ketika dia dibawa lari oleh pemuda itu. Beng San agak kaget, tapi lalu maklum. Tentu saja sebagai seorang Pendekar, Kwee Sin merasa malu kalau berkunjung ke Hoa-San-Pai di bawah paksaan seseorang yang tidak diketahui sampai di mana kepandaiannya.

   "Ah, Kwee-Enghiong mengapa berkata demikian? Aku memang seorang yang tidak mempunyai kepandaian, akan tetapi demi menjaga keutuhan Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, aku sudah berjanji akan mencari dan membawamu ke Hoa-San-Pai untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu. Andaikata kau hendak menggunakan kekerasan membangkang, terpaksa aku pun melupakan kebodohan sendiri!"

   "Bagus! Aku memang hendak mencoba sampai di mana kepandaianmu maka kau berani hendak memaksa Pek-Lek-Jiu Kwee Sin sesuka hatimu."

   Kwee Sin menggerakkan pedang hendak menyerang. Pada saat itu terdengar suara seorang laki-laki,

   "Nona, aku tidak ingin bertempur denganmu..."

   Suara itu diikuti munculnya seorang pemuda yang berlari cepat ke tempat itu. Ketika pemuda ini melihat Beng San, segera dia berhenti berlari dan berkata girang.

   "Saudara Beng San...!"

   Akan tetapi alangkah kagetnya dan girangnya ketika pemuda itu menoleh kearah Kwee Sin. Sejenak dia tertegun, lalu berseru gagap.

   "Kau... kau... Kwee-Susiok (Paman guru Kwee)..."

   Kwee Sin menunda serangannya dan menoleh.

   "Eh, bukankah kau Lim Kwi?"

   Di dalam suara Pendekar Kun-Lun ini terkandung keharuan dan kedukaan besar. Paman guru dan keponakan ini saling pandang penuh pertanyaan, penuh perasaan haru campur duka bingung tak tahu harus berkata apa. Pada saat itu terdengar seruan seorang wanita.

   "Jahanam Bun, hendak lari kemana kau?"

   Dan muncullah Thio Eng, gadis baju hijau yang berlari cepat mengejar Bun Lim Kwi. Begitu sampai disitu. tanpa menoleh lagi kepada orang-orang lain, Thio Eng segera menusukkan pedangnya ke arah dada Bun Lim Kwi. Pemuda ini masih tertegun dalam petemuannya dengan Paman Gurunya, juga memang dia sudah merasa sedih sekali oleh kejaran Thio Eng, maka agaknya tusukan pedang itu tidak dihiraukannya lagi dan tentu akan mengenai sasaran.

   "Traaanggg."

   Pedang Thio Eng terpental oleh tangkisan Kwee Sin yang tidak membiarkan murid keponakannya yang dia cinta itu ditikam begitu saja oleh seorang gadis. Berkilat mata Thio Eng ketika dia memandang kepada Kwee Sin, kemudian dia mengerling ke arah Beng San. Kaget dan heran wajah gadis ini ketika mengenal Beng San, akan tetapi hatinya sudah terlalu panas dan marah sehingga dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menegur Beng San.

   "Siapakah kau? Mengapa kau mencampuri urusanku dengan musuhku ini?"

   Kwee Sin tersenyum mengejek.

   "Nona cilik, ada urusan boleh diurus, kenapa kau begini galak hendak merenggut nyawa Lim Kwi? Ketahuilah, aku adalah Paman Gurunya, tak mungkin aku mendiamkannya saja melihat kau hendak membunuh dia."

   Sejenak gadis itu tertegun mendengar orang ini mengaku Paman guru Bun Lim Kwi, lalu matanya bersinar-sinar.

   "Bagus...!"

   La menoleh kepada Beng San lalu berkata.

   "Tan-Koko (Kakak Tan), bukankah dia ini Kwee Sin? Dan mengapa kau berada di sini pula?"

   "Adik Eng, aku... aku hendak mengundang dia ke Hoa-San-Pai."

   Gadis itu teringat akan janji Beng San kepada Ketua Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, lalu katanya gemas,

   "Kurasa tidak baik kau berdekatan dengan Paman dan keponakan jahat ini. Mereka bukanlah orang baik. Kwee Sin ini pun bukan manusia baik-baik. Lebih baik kubinasakan sekalian!"

   Kembali pedangnya berkelebat dan sebuah serangan yang amat cepat dan ganas nienyambar ke arah Kwee Sin dan Lim Kwi secara beruntun. Hebat sekali serangan ini sehingga Kwee Sin terpaksa mundur sambil menangkis keras. Kembali pedang Thio Eng terpental.

   "Adik Eng yang baik, jangan... Jangan terburu nafsu, segala urusan dapat dirunding! Urusanmu dengan saudara Bun Lim Kwi tentu diketahui baik oleh Kwee-Enghiong ini, lebih baik kita mendengarkan keterangannya."

   "Benar,"

   Kata Kwee Sin.

   "Nona, katakanlah dulu mengapa kau mati-matian berusaha hendak membunuh keponakanku Lim Kwi? Apakah dosanya? Coba kau jelaskan, tentu aku akan mempertimbangkan baik-baik. Kalau memang ada yang bersalah, dia harus siap menerima hukuman."

   Thio Eng tersenyum dingin mengejek, seakan-akan sinar matanya berkata,

   "Seorang seperti kau mana memiliki pertimbangan yang adil?"

   Akan tetapi mulutnya berkata.

   "Hemmm, ingin benar aku mendengar bagaimana pertimbangan kalian yang sudah mencelakakan hidupku. Ayahku dibunuh oleh dua orang saudarai Bun murid Kun-Lun-Pai, yaitu Ayah dan Paman jahanam Bun Lim Kwi ini, apakah sudah tidak adil kalau aku sekarang hendak membalas dendam kepadanya untuk menebus dosa Ayah dan Pamannya itu? Kau sebagai Paman Gurunya, tentu akan membelanya, akan tetapi aku Thio Eng tidak takut mati dalam usaha membalas dendam Ayahku!"

   Kwee Sin mengerutkan kening.

   "Kau she Thio? Siapakah nama Ayahmu? Apakah Thio San?"

   Di dalam kemarahannya, makin yakinlah Thio Eng bahwa musuh-musuhnya memang dua orang yang berdiri di depannya ini.

   "Betul, Thio San Ayahku yang terbunuh oleh dua orang saudara keparat Bun dari Kun-Lun-Pai dalam sebuah hutan."

   Kwee Sin tiba-tiba menjadi muram wajahnya. Teringat dia akan peristiwa itu, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika dia bertempur melawan Thio San, kemudian tiba-tiba muncul Coa Kim Li yang menurunkan tangan jahat membunuh Thio San.

   "Ah, salah... kau keliru menyangka, Nona... kau begitu yakin bahwa Ayah Lim Kwi yang membunuh Ayahmu, apakah kau melihatnya sendiri pembunuhan itu?"

   Dalam pandang mata Thio Eng mulai tampak sinar keraguan.

   "Aku... aku mendapatkan Ayah telah menggeletak mati dalam hutan, aku menangisi dan... dan aku melihat pula dua orang saudara Bun di hutan itu, kukira... siapa lagi yang membunuh Ayah? Orang she Kwee, aku tak akan percaya begitu saja pembelaanmu terhadap para Suhengmu, kecuali kalau kau mengatakan siapa pembunuh Ayahku. Apakah kau tahu siapa orangnya yang membunuh Ayahku?"

   Kwee Sin mengangguk.

   "Tentu saja aku tahu..."

   La menarik napas dan wajahnya kelihatan berduka sekali.

   "Semua salahku... ah, betapa besar dosaku, semua gara-garaku..."

   Wajah Thio Eng yang cantlk itu nampak beringas.

   "Bagus, jadi kau yang menyebabkan kematian Ayahku? Nah, terimalah pembalasanku!"

   Thio Eng menyerang lagi. Kali ini Kwee Sin tidak menangkis hanya mengelak ke kanan.

   "Adik Eng, jangan begitu. Biarkan dia memberi penjelasan dulu."

   Beng San berlari mendekati Thio Eng dan memegang lengan gadis itu. Thio Eng hanya mendengus, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya dan menanti Kwee Sin memberi penjelasan.

   "Dengarlah baik-baik ceritaku, sembilan sepuluh tahun yang lalu..."

   Kwee Sin lalu menceritakan semua pengalamannya dahulu ketika dia membantu kedua Suhengnya mencari seorang bernama Thio San yang mereka anggap sebagai seorang penipu.

   Seperti telah kita ketahui, Thio San seorang tokoh Pek-Lian-Pai hendak membeli kuda dari Bun Si Teng dan minta agar supaya rombongan kuda itu diantar ke sebuah hutan. Akan tetapi setibanya di tengah hutan, dua orang saudara Bun itu diserang oleh lima orang anggauta Pek-Lian-Pai yang dibantu oleh seorang wanita tak dikenal. Bun Si Liong terluka dan Kwee Sin yang mendengar hal ini menjadi marah lalu pergi mencari Thio San di Hek-Siong-San. Dianggapnya bahwa Thio San adalah seorang yang menipu kedua Suhengnya, tidak saja merampas dua puluh ekor kuda, malah telah melukai Bun Si Liong. Akhirnya di dalam hutan pohon Siong itu, Kwee Sin bertemu dengan Thio San dan dalam pertempuran ini tiba-tiba muncul Kim-Thouw Thian-Li yang merobohkan Thio San dengan Saputangan merahnya.

   "Aku sendiri terluka oleh Pek-Lian-Ting yang dilepas oleh Thio San di leherku, sehingga aku roboh pingsan lalu dibawa pergi oleh Kim-Thouw Thian-Li dan mungkin ketika itu Thio San telah tewas dan ditinggalkan di dalam hutan itu. Nah, demikianlah cerita yang sebenarnya. Mendiang Bun-Suheng keduanya sama sekali tidak bertanggung jawab dan tidak tahu menahu tentang kematian Ayahmu, Nona Thio. Ayahmu dahulu bertempur melawan oleh Kim-Thouw Thian-Li."

   Dengan mata merah karena menahan turunnya air matanya, Thio Eng memandang kepada Bun Lim Kwi yang kelihatan lega dan kebetulan pemuda ini pun memandang kepadanya dengan sayu tapi mulutnya tersenyum. Thio Eng menjadi merah wajahnya, merasa telah berlaku keterlaluan terhadap Bun Lim Kwi, teringat olehnya sikap Lim Kwi kepadanya dan betapa ia sudah merobohkan Lim Kwi atas bantuan Giam Kin.

   "Kalau... kalau begitu... aku telah salah tangan..."

   "Hampir saja, Nona. Hampir tamat hidupku di tanganmu, sayang bagimu, aku masih hidup berkat pertolongan saudara Beng San yang budiman ini..."

   Jawab Lim Kwi. Thio Eng menoleh kepada Beng San, terheran lalu mengangguk-angguk.

   "Hemm kiranya kau yang telah menolongnya, Tan-Ko?"

   "Aku mendapatkan dia menggeletak dengan luka berbisa, aku hanya membawanya dan minta tolong lain orang untuk menyembuhkannya. Eh, adikku yang baik, apakah kau telah menyerangnya dengan senjata beracun yang keji itu?"

   Makin merah muka Thio Eng.

   "Jangan menuduh sembarangan! Aku adalah murid Suhu Thai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang, mana sudi menggunakan racun? Ini gara-gara si Giam Kin iblis cilik itu yang menyerang dengan mendadak. Syukur kau telah menolongnya, Tan-Ko, kalau tidak... ah aku tentu berdosa membunuh orang tak berdosa. Siapa duga kalau bukan Ayahnya yang membunuh Ayahku? Ketika itu aku masih kecil... aku melihat mayat ayat menggeletak di hutan, aku menangis dan ditolong oleh Suhu dan aku melihat Ayahnya di hutan itu pula..."

   Mendadak gadis itu menudingkan ujung pedangnya kearah Kwee Sin sambil membentak.

   "Kiranya kau manusia she Kwee yang menyebabkan kematian Ayahku. Kau menyerangnya dengan bantuan si iblis wanita dari Ngo-Lian-Kauw!"

   La hendak menyerang Kwee Sin, akan tetapi Beng San memegang lengannya.

   "Nanti dulu, adik Eng, jangan keburu nafsu. Kau sudah mendengar sendiri tadi. Kwee-Enghiong ini mencari Ayahmu untuk membela keadilan karena Suhengnya dilukai dan sejumlah kuda dirampas. Aku telah mendengar bahwa sebetulnya Ayahmu, Thio San itu, adalah seorang Patriot sejati, seorang tokoh Pek-Lian-Pai mana dia mau merampas kuda? Semua ini adalah fitnah fihak Ngo-Lian-Kauw belaka yang berusaha atau bahkan bertugas untuk mengadu domba antara Pek-Lian-Pai dengan fihak Kun-Lun atau fihak Kun-Lun dengan fihak Hoa-San dan lain-lain."

   "Orang muda, bagaimana kau bisa tahu akan hal itu?"

   Tiba-tiba suara Kwee Sin terdengar keras penuh selidik, sepasang matanya memandang tajam seperti ingin menjenguk isi hati Beng San. Beng San mengangkat pundak,

   Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kwee Enghiong, tentu saja orang sebodoh aku mana bisa tahu akan itu semua? Tentu ada yang memberi tahu, yaitu orang-orang Pek-Lian-Pai sendiri."

   Thio Eng kelihatan kurang puas.

   "Tan-Ko biarpun dia kena fitnah, tapi sudah terang bahwa orang ini tidak baik, buktinya dia membantu Ngo-Lian-Kauw dan membantu fihak jahat."

   "Adik Eng, banyak di dunia ini terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja sebelumnya. Buktinya kau sendiri, kau mengejar-ngejar saudara Bun Lim Kwi, hendak membunuhnya bahkan sudah hampir membunuhnya karena bantuan serangan curang dari Giam Kin. Bukankah keadaan Kwee-Enghiong dahulu juga hampir serupa? Karena salah faham, mengira Ayahmu menipu Suheng-Suhengnya, dia mencari dan menantangnya, akan tetapi di dalam pertempuran, Ayahmu dirobohkan secara pengecut oleh Ketua Ngo-Lian-Kauw. Nah, kalau kau sekarang menumpahkan semua kesalahan kepadanya, apakah orang lain juga tidak akan menimpakan semua kesalahan kepadamu tentang urusanmu dengan saudara Bun Lim Kwi? Ingatlah, dendam-mendendam bukanlah sifat yang baik. Urusan pembunuhan tak mungkin dapat diselesaikari dengan lain pembunuhan, karena hal itu akan berekor panjang, tali-temali dan akhirnya beberapa keturunan akan terus saling bermusuhan. Justeru untuk menjaga agar jangan terjadi demikian itulah maka aku di Hoa-San-Pai tempo hari berjanji akan mencari Kwee-Enghiong. Sekarang Kwee-Enghiong sudah berada disini, tentu sebagai seorang jantan Kwee-Enghiong akan berani mempertanggungjawabkan kesemuanya kepada Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai."

   Thio Eng kalah bicara, dengan bersungut-sungut menyimpan kembali pedangnya. Kwee Sin menjadi kagum. Kalau tadinya dia hendak menguji kepandaian Beng San, sekarang terbuka pikirannya dan dia merasa bahwa dia akan membuat diri sendiri tidak berharga sebagai seorang jantan kalau dia tidak berani pergi ke Hoa-San. Akan tetapi kalau dia pergi ke Hoa-San, tentu dia akan menemui kesulitan besar. Dalam keraguannya dia menoleh kepada Bun Lim Kwi.

   "Lim Kwi, bagaimana pendapatmu. Biarlah kau mewakili Ayahmu dan Pamanmu dalam hal ini, berilah pendapatmu bagaimana aku harus bertindak?"

   Suara Kwee Sin gemetar, tanda bahwa di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main.

   "Kwee-Susiok, segala perbuatan sudah terlanjur, menyesal pun tak akan ada gunanya tanpa bukti penyesalanmu itu. Kalau, Susiok suka mendengarkan pendapat keponakanmu, marilah kita pergi menghadap Suhu di Kun-Lun-Pai, menyerahkan semua kesalahan dan selanjutnya mentaati semua perintahnya. Biarlah saya, akan menemani Susiok andaikata Susiok harus menghadap ke Hoa-San-Pai. Ingatlah, Susiok, semua ini demi kebaikan bukan hanya kebaikan Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai agar jangan bermusuhan terus, akan tetapi pada hakekatnya untuk kebaikan perjuangan Bangsa kita yang sedang berusaha merobohkan Pemerintah penjajah."

   Kata-kata Bun Lim Kwi bersemangat, kemudian pemuda ini menuturkan secara singkat tentang pertemuan di Hoa-San-Pai tempo hari yang hampir saja mengakibatkan pertempuran besar-besaran kalau saja tidak dilerai oleh Beng San. Kwee Sin mendengarkan dengan kagum. Juga Beng San girang sekali mendengar ini.

   "Bagus sekali kalau begitu, saudaraku Bun Lim Kwi! Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Kau pergilah bersama Kwee-Enghiong ke Hoa-San-Pai. Terserah kalau kau hendak singgah ke Kun-Lun-Pai lebih dulu, pokoknya Kwee-Enghiong harus dapat mengakhiri permusuhan antara dua Partai besar ini. Aku sendiri masih banyak urusan yang harus diselesaikan."

   Ucapan Beng San ini keluar dari hati yang jujur.

   Karena memang dia merasa girang sekali akan hasil usahanya. Mencari Kwee Sin dan membawanya ke Hoa-San-Pai sudah berhasil dan dia percaya bahwa Bun Lim Kwi pasti akan menjaga nama baik Kun-Lun-Pai dan membawa bekas Paman Gurunya itu ke Hoa-San. Soal ke dua, yaitu tentang permusuhan antara Lim Kwi dan Thio Eng, juga sudah selesai dengan adanya penjelasan dari Kwee Sin bahwa pembunuh Ayah Thio Eng ternyata adalah Kim-Thouw Thian-Li. Tinggal dua soal lagi yang tak kalah pentingnya, bahkan amat penting baginya, yaitu, mencari nona Cia yang nyata-nyata telah memegang Liong-Cu Siang-Kiam, ke dua mencari Tan Beng Kui yang dia yakin adalah Kakak kandungnya. Bun Lim Kwi menyanggupi permintaan Beng San dan bersama Kwee Sin dia lalu meninggalkan tempat itu setelah lebih dulu menjura kepada Thio Eng dan berkata,

   

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini