Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 23


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Nona Thio, aku bersyukur kepada Thian bahwa kau telah insyaf sekarang bahwa aku bukanlah musuh besarmu dan... dan... semoga kita akan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih... baik..."

   Kwee Sin sebelum pergi sempat berkata kepada Beng San,

   "Orang muda, sebetulnya aku masih penasaran. Kau ini... murid siapakah? Dan sampai di manakah kepandaianmu..."

   Beng San buru-buru menjawab,

   "Ah, Kwee-Enghiong jangan main-main. Mana aku memiliki kepandaian apa segala? Sudahlah, selamat jalan, Kwee-Enghiong, dan kalau ada jodoh kelak kita pasti akan bertemu kembali."

   Thio Eng, hanya memandang saja ketika Paman dan keponakan itu pergi, kemudian ia menoleh kepada Beng San.

   "Tan-Ko, aku sendiri heran..."

   "Hemmm, heran apa lagi? Sudah terang pemuda she Bun itu amat gagah perkasa, tampan, lagi bukan musuh besarmu dan dia... hemmm, dia suka kepadamu, apalagi yang diherankan?"

   Wajah Thio Eng menjadi merah sekali, lalu berubah pucat.

   "Tan-Ko, jangan kau main-main. Siapa pedulikan dia? Yang aku herankan adalah kau. Kau ini seorang sastrawan muda, nampak lemah dan memang aku tahu kau tidak becus apa-apa. Kenapa kau berani mati mencampuri urusan Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai, urusan tokoh-tokoh persilatan? Pula, bagaimana kau sampai dapat berhasil membawa Kwee Sin pergi dari Kota Raja?"

   "Aku pernah bekerja sebagai kacung di Hoa-San-Pai, tentu saja aku tidak senang melihat Hoa-San-Pai bermusuhan dengan Kun-Lun-Pai. Tentang Kwee Sin, agaknya dia sudah insyaf akan kesalahannya dan dengan suka rela dia ikut aku ke Hoa-San, apa anehnya? Adik Erig, setelah kau sekarang mendengar bahwa pembunuh Ayahmu bukan Bun Lim Kwi, melainkan Kim-Thouw Thian-Li Ketua Ngo-Lian-Kauw, apa yang hendak kau lakukan?"

   "Tentu saja aku akan mencari Siluman betina itu dan membunuhnya!"

   Jawab Thio Eng dengan gemas. Beng San teringat betapa gadis ini pernah menyerangnya ketika dahulu dia menolong Tan Hok di luar tahu gadis ini, dan teringat pula dia betapa gadis ini adalah murid Thai-lek Swi Lek Hosiang yang dahulu pernah dia lihat membantu Pangeran Mongol Souw Kian Bi. Pula ketika Thio Eng bertempur melawan Lim Kwi, bukankah gadis ini dibantu pula oleh Giam Kin? Untuk mengetahui hatinya, Beng San sengaja memancing.

   "Adik Eng, kurasa kau sembrono sekali kalau hendak mencari Kim-Thouw Thian-Li. Aku mendengar bahwa dia adalah Ketua Ngo-Lian-Kauw yang berada di Kota Raja, kedudukannya tinggi dan berpengaruh besar. Bagaimana kau bisa masuk Kota Raja dengan selamat? Kurasa tidak baiklah kalau kau menurutkan hati dendam dan nafsu membalas. Kiranya akan lebih baik kalau kau menyalurkan dendam hatimu itu, dengan jalan yang lebih baik lagi."

   "Hem, hemmm, kau memang tukang meniberi kuliah. Kuliah apalagi yang akan kau berikan sekarang? jalan lebih baik apa yang kau maksudkan?"

   Thio Eng memandang dengan tajam, tapi mulutnya tersenyum manis dan kembali Beng San merasa jantungnya berdetak-detak menyaksikan sikap dan senyum ini, teringat dia akan pengalamannya dahulu dengan Thio Eng di atas perahu.

   "Begini, Eng-moi. Aku mendengar bahwa mendiang Ayahmu, Thio San, adalah seorang tokoh Pek-Lian-Pai, seorang pejuang yang rela mengorbankan nyawa demi perjuangan Bangsanya. Karena itu, sudah selayaknya kalau kau sebagai puterinya melanjutkan jejak langkah Ayahmu, ikut membantu para pejuang yang sedang berusaha membebaskan tanah air dan Bangsa daripada cengkeraman penjajah. Kalau pada waktu sekarang ini musuhmu, Kim-Thouw Thian-Li merupakan kaki tangan Pemerintah Mongol, maka jika kau membantu para pejuang, bukankah itu sama halnya dengan kau memusuhinya? Nah, kau pikirlah baik-baik, daripada mengantarkan nyawa sia-sia ke Kota Raja dan usahamu membalas dendam belum tentu berhasil, lebih baik kau membantu Pek-Lian-Pai dan para pejuang lainnya."

   Berkerut kening yang halus itu.

   "Mudah saja kau bicara. Suhu tak akan membiarkan aku terbawa-bawa dalam peperangan. Orang-orang yang berfihak pada Pemerintah banyak yang jahat, tetapi juga para pejuang itu bukan orang baik-baik. Demikian kata Suhu. Mendiang Ayahku apakah akan tewas kalau dia tidak menjadi tokoh Pek-Lian-Pai? Hemmm, Tan-Ko, aku tidak mau terseret dalam urusan perang dan pemberontakan."

   Beng San merasa kecewa. Tahulah dia sekarang. Kiranya Thio Eng tidak mau berfihak dalam urusan perjuangan ini, sesuai dengan perintah Suhunya. Agaknya Swi Lek Hosiang sudah terkena bujukan orang-orang licin seperti Souw Kian Bi sehingga tidak mau membantu para pejuang.

   "Jadi kau hendak nekat pergi ke Kota Raja?"

   Tanyanya, khawatir.

   "Aku hendak mencari dan membunuh musuh besarku, kemudian kalau masih panjang umurku, aku akan mengikuti perebutan gelar Raja Pedang di Thai-San. Tan-Ko, terutama sekali aku mengharapkan akan dapat bertemu kembali dengan kau."

   La melangkah maju dan memegang lengan Beng San, menekannya dengan jari-jari gemetar, lalu lari cepat meninggalkan tempat itu. Beng San menarik napas panjang. la pun lalu berlari cepat menuju ke arah yang sama dengan gadis itu. Memang dia harus kembali ke Kota Raja untuk mencari orang yang dianggap Kakaknya, dan sekarang dia masih harus menjaga agar Thio Eng tidak sampai tertimpa malapetaka di tempat berbahaya itu.

   Ilmu lari cepat Beng San sudah tentu lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Thio Eng, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul gadis itu. Diam-diam dia mengikuti dari belakang dalam jarak yang tidak terlalu jauh, akan tetapi juga tidak terlalu dekat sehingga gadis itu tak akan dapat melihatnya. Ternyata olehnya bahwa Thio Eng mengambil jalan lain dan yang lebih dekat ke Kota Raja. Jalan yang melalui hutan dan gunung yang sunyi lagi sukar. Di kaki sebuah gunung kecil, di pinggir jalan yang sunyi sekali, dengan heran dia melihat sebuah rumah yang membuka warung arak. Dilihatnya gadis itu berhenti, memasuki warung ini dan terdengar memesan arak dan makanan. Beng San menelan ludah karena dia pun merasa dahaga ingin minum.

   Akan tetapi oleh karena dia tidak ingin gadis itu melihatnya, terpaksa dia hanya bersembunyi di bawah sebuah pohon besar tak jauh dari situ dan mengambil keputusan akan singgah di warung ini setelah Thio Eng selesai makan dan meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, sudah dua jam dia menunggu belum juga tampak Thio Eng keluar dari warung itu. Masa makan sampai sedemikian lamanya? la memang tidak berani dekat-dekat karena khawatir terlihat oleh Thio Eng, akan tetapi karena dianggapnya terlalu lama sehingga tidak sewajarnya lagi, dia lalu bangkit berdiri dan berjalan perlahan-lahan menuju ke warung itu. Ternyata warung itu kosong, tidak kelihatan Thio Eng maupun penjaga warung. la menjadi curiga dan pada saat dia hendak membuka mulut, dia mendengar suara orang dari dalam.

   "Celaka sekali kau ini! Apa matamu sudah buta? Dia ini kan murid Thai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang?"

   Suara ini suara seorang wanita. Beng San menjadi tak sabar lagi karena kegelisahannya akan keselamatan Thing. Segera dia berseru.

   "Dimana tukang warung?"

   Sambil berkata demikian, dia melangkah masuk dan hendak terus memasuki ruangan dalam dari mana dia mendengar suara tadi, Hampir saja dia bertumbukan dengan dua orang yang ke luar dari pintu dalam, seorang laki-laki dan seorang wanita. Tiga pasang mata berpandangan dan ketiga orang ini berubah mukanya.

   "Hemmm, kiranya kalian ini...?"

   Beng San berkata dengan senyum pahit, teringat akan pengalamannya dahulu ketika dua orang mengaku-ngaku dia sebagai anak! Dua orang itu memang suami isteri yang dahulu pernah mengakui Beng San sebagai anak, yaitu adalah Hui-Sin-Liong Ouw Kiu yang tinggi besar dengan muka pucat dan kumis melintang bersama Bi-Sin-Kiam Bhe Kit Nio si pesolek cantik genit Suami isteri penjahat ini segera mengenal Beng San. Keduanya kaget bukan main, akan tetapi Bhe Kit Nio masih sempat berseru sambil menubruk Beng San.

   "Aduh, anakku... ke mana saja kau pergi selama ini?"

   "Ah, Beng San anakku. Akhirnya kau pulang juga...!"

   Ouw Kiu segera menyambung seruan isterinya. Akan tetapi Beng San mengelak dari tubrukan-tubrukan itu dan berkata marah.

   "Aku bukan anak kalian Tak perlu bermain sandiwara lagi, karena aku sudah tahu bahwa kalian bersama Hek-Hwa Kui Bo sengaja dahulu hendak menipuku. Hayo katakan, di mana adanya nona baju hijau yang tadi makan di sini?"

   Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio saling pandang kemudian Ouw Kiu membentak marah,

   "Anak durhaka kau"

   Kepalan tangannya yang besar dan berat itu melayang ke arah kepala Beng San. Tapi dengan amat mudahnya Beng San miring kan kepala mengelak.

   "Kita lenyapkan dulu bedebah ini."

   Tiba-tiba Bhe Kit Nio kehilangan kemesraannya dan mencabut pedang, terus menyerang Beng San dengan hebat. Lihai juga kiranya perempuan yang berjuluk Bi-Sin-Kiam (Pendekar Sakti Yang Cantik) ini, sekalipun pedangnya sudah melakukan serangan tiga jurus banyaknya, mengarah leher, dada dan pusar!

   Pada saat yang sama, Ouw Kiu sudah mengirim serangkaian serangan lagi yang amat diandalkan, yaitu tendangan berantai yang dia beri nama Ban-Liong-Twi (Tendangan Selaksa Naga)! Kedua kakinya bergerak susul-menyusuli dalam tendangan yang cepat dan kuat. Entah sudah berapa banyaknya lawan roboh oleh ilmu tendangan yang amat dibanggakan dan diandalkan oleh Ouw Kiu ini. Pengeroyokan dua orang suami isteri ini yang mengeluarkan kepandaian masing-masing sudah terang dimaksudkan untuk membunuh Beng San yang dulu diaku sebagai anak kandung ini! Beng San menjadi gemas dan marah. la anggap sepasang suami isteri ini amat jahat dan palsu, apalagi kalau dia ingat bahwa mereka sudah menangkap Thio Eng, mungkin dengan maksud keji pula.

   Betapapun juga, sebelum mempelajari ilmu silat, Beng San adalah seorang anak yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan filsafat dari Kitab-Kitab suci, semenjak kecil menerima petuah dan pelajaran batin, dari para Hwesio, maka membunuh manusia baginya merupakan pantangan besar. Ketika dia melihat datangnya serangan-serangan dua orang itu yang amat hebat mengancam jiwanya, dia menggunakan Ilnnu Silat Khong-Ji-Ciang (Tangan Kosong) yang dulu dia warisi dari Kakek Phoa Ti, digabung dengan Ilmu Silat Pat-hong-ciang yang dia warisi dari Kakek The Bok Nam. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil mengetuk pergelangan tangan Bhe Kit Nio sehingga pedangnya terlepas, mencelat dan menyambar ke arah suaminya sendiri. Pada saat itu, Ouw Kiu sedang sibuk dengan ilmu tendangannya, maka pedang isterinya itu dengan keras menyambar lengan kanannya sehingga hampir putus bagian atas sikunya.

   Ouw Kiu berteriak kesakitan, akan tetapi melanjutkan tendangannya ke arah perut Beng San. Pemuda ini menggeser kaki ke kiri, tangannya bergerak dan sekali sampok tendangan Ouw Kiu itu menyeleweng dan... mengenai perut isterinya sendiri. Bhe Kit Nio menjerit dan tubuhnya terlempar ke belakang, lalu terbanting dengan napas kempas-kempis! Ouw Kiu kaget bukan main, tapi juga gentar menghadapi pemuda yang lihai itu. Sekali melompat dia telah mendekati isterinya, dengan sebelah tangan membangunkannya, kemudian dua orang suami isteri yang sudah terluka itu tergesa-gesa lari pergi sambil saling bantu, terhuyung-huyung. Beng San tidak pedulikan mereka lagi, cepat dia berlari masuk. Dalam ruangan yang agak gelap itu dia melihat tubuh seorang gadis menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan pingsan.

   "Eng-moi...,.!"

   Serunya sambil meloncat maju. Alangkah kaget dan herannya ketika dia sudah dekat dengan gadis itu, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu Sama sekali bukan Thio Eng si gadis baju hijau, melainkan seorang gadis cantik lain yang berbaju merah!

   "Hong-moi... tak terasa lagi Beng San berseru kaget. Gadis ini adalah Kwa Hong yang entah sejak kapan dan bagaimana tahu-tahu bisa berada di tempat itu dalam keadaan pingsan. Ketika mendapat kenyataan bahwa Kwa Hong pingsan karena tertotok, cepat Beng San membebaskannya. Setelah jalan darahnya bebas dan kepalanya dibasahi-air, Kwa Hong siuman kembali.

   "Kau... kau...?"

   Teriaknya, kaget, heran dan juga girang.

   "Benar aku Beng San. Hong-moi, kenapa kau bisa berada di sini dan mengapa pula pingsan?"

   Ditanya begini tiba-tiba Kwa Hong menangis dan segera Beng San merangkulnya karena tubuh gadis itu masih lemas sehingga tiba-tiba terguling, tentu akan jatuh ke bawah dipan kalau tidak dipeluknya. Setelah merasa dipeluk pemuda itu makin keras tangisnya dan Kwa Hong menyembunyikan mukanya di dada Beng San. Tentu saja Beng San menjadi bingung, hatinya berdebar-debar. la merasa betapa canggung dan "Tidak beres"

   Adegan ini, akan tetapi untuk memisahkan diri dia pun tidak tega. Semenjak kecil dahulu dia memang merasa amat suka kepada Kwa Hong, sekarang dara itu tanpa malu-malu menangis di dadanya, siapa orangnya tidak berdebar jantungnya? Hati kasihan bercampur sayang mendorong Beng San untuk mengelus elus dan membelai rambut yang hitam halus itu.

   "Sudahlah, Hong-moi, kenapa menangis? Lebih baik kau ceritakan pengalamanmu, ia menghibur.

   "Semua orang membenci aku"

   Ah, semua orang membenciku..."

   Beng San makin heran.

   "Eh, apa yang kau katakan ini, Hong-moi? Siapa bilang semua orang membencimu? Yang terang aku tidak membencimu, aku... aku... suka dan sayang kepadamu."

   Ucapan ini biarpun keluar dari kejujuran hatinya, akan tetapi kiranya tak akan diucapkan kalau saja keadaan Kwa Hong tidak seperti itu dan memang dia hendak menghiburnya. Akan tetapi ucapan ini mendatangkan perubahan hebat pada diri Kwa Hong. Gadis ini merenggutkan kepalanya dari dada Beng San, matanya yang masih basah dan indah itu memandang tajam, berkedip-kedip lalu bertanya.

   "Betulkah itu? Coba katakan lagi, betulkah kau suka dan sayang kepadaku?"

   Mendadak wajah Beng San menjadi merah sekali. Ah, pikirnya, mengapa ragu-ragu dan malu-malu? Bukankah memang dia suka dan sayang kepada Kwa Hong?

   "Tentu saja, Hong-moi. Tentu saja aku suka dan sayang kepadamu."

   Aneh! Tiba-tiba Kwa Hong tersenyum lebar, sehingga tampak giginya yang putih dan rapi biarpun matanya masih merah dan basah.

   "Kalau begitu aku tidak sedih lagi, San-Ko. Lihat aku bisa tertawa! Orang sedunia boleh benci kepadaku, asal kau suka dan cinta. Hi-hi-hi, San-Ko, lucu, ya? Semenjak dulu aku... aku suka sekali kepadamu, aku cinta seorang yang lemah, tolol tapi gagah perkasa. Eh, siapa tahu, kiranya kau... kau pun mencintaku."

   Sampai di sini Kwa Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kagetlah Beng San. Ketika tadi dia mengatakan suka dan sayang, sama sekali dia tidak berpikir tentang cinta, tentang cintanya pemuda-pemudi yang diakhir dengan perjodohan.

   "Ini... ini..."

   Ia tergagap.

   "San-Ko, kau mau bilang apa?"

   Kwa Hong sudah turun dari dipan, tubuhnya sudah tidak selemas tadi, tenaganya sudah hampir pulih. Dengan mesra gadis ini memegang tangan Beng San.

   "Kau... kau belum menceritakan pengalamanmu, Hong-moi."

   Gadis itu cemberut ketika diingatkan kepada ini.

   "Sesudah perayaan di Hoa-San, Ayah hendak memaksaku supaya aku suka dengan Thio-Suheng. Aku tidak mau, biarpun Suhu juga mendesakku. Kemudian ketika Ayah membentak-bentak dan menanyakan mengapa aku menolak, dengan marah pula aku berterus terang bahwa aku suka kepadamu, San ko!"

   Celaka, pikir Beng San. Bisa runyam nih! Masa di depan semua orang gadis ini terang-terangan mengaku kepadanya?

   "Lalu bagaimana, Hong-moi?"

   "Melihat semua orang marah dan benci kepadaku, malam harinya aku lalu minggat dari Hoa-San, dan aku hendak menyusul ke Kota Raja. Aku tahu bahwa untuk mencari Kwee Sin, kau tentu pergi ke Kota Raja."

   "Kenapa kau menyusul aku?"

   "Ah, tidak senang di Hoa-San kalau semua orang marah kepadaku, di samping itu, aku... ah, aku tidak tega membiarkan kau sendiri mencari Kwee Sin di Kota Raja. Kau tentu akan menemui bahaya, maka aku menyusul untuk membantu."

   Gadis itu memandang mesra, kemudian melanjutkan.

   "Siapa duga, sesampainya di sini, suami isteri iblis tukang warung itu, ketika aku membeli makanan dan minuman, agaknya dalam minuman diberi racun yang memabukkan. Aku pingsan tak ingat apa-apa lagi, dan tahu-tahu kau telah berada di sini menolongku. Ah, Beng San-Ko... benar-benar aneh. Lagi-lagi kau yang lemah tidak berkepandaian apa-apa muncul sebagai penolong, menolong orang-orang yang memiliki kepandaian. Aneh dan ajaib..."

   "Hong-moi, selain kau, masih ada lagi seorang gadis lain masuk perangkap penjahat-penjahat itu. Tadi kulihat nona Thio Eng memasuki warung ini dan tidak keluar lagi. Biarlah aku mencari dan menolongnya."

   La lalu melangkah ke dalam sebuah kamar tak jauh dari ruangan itu dan benar saja, di dalam kamar ini dia melihat Thio Eng rebah di lantai tidak pingsan lagi, akan tetapi kaki tangannya diikat tali kuat-kuat dan mulutnya disumpal kain! Cepat-cepat Beng San melepaskan tali pengikat kaki tangan gadis itu dan membuang pula kain penyumbat mulut. Akan tetapi, siapa kira, begitu terbebas Thio Eng melompat bangun dan,

   "Plak! plak!"

   Dua kali pipi Beng San ditampar dari kanan kiri! Selagi Beng San melongo saking herannya, gadis itu sambil menudingkan telunjuknya berteriak.

   "Tak usah tolong aku! Tak usah kau peduli keadaanku lagi, biarkan aku mampus dan teruskan kau berkasih-kasihan dengan Siluman itu!"

   Kebetulan sekali Kwa Hong juga sudah masuk ke kamar ini dan dengan kemarahan meluap-luap Thio Eng menudingkan telunjuknya ke arah Kwa Hong. Gadis Hoa-San-Pai ini menjadi merah sekali mukanya, merah karena malu dan juga karena marah. Kiranya semua yang ia ucapkan tadi telah didengar oleh gadis baju hijau ini! Yang repot adalah Beng San. Wah, celaka nih, pikirnya.

   "Eh, eh... sabar dulu... Eng-moi, kita bicara di ruangan depan..."

   Kwa Hong yang masih merah mukanya itu mendahului meloncat keluar dari kamar juga Beng San yang berdebar-debar hatinya cepat-cepat keluar dari kamar itu, memutar otak bagaimana dia harus bertindak untuk menguasai keadaan yang amat gawat dan sulit ini. Tiba-tiba dia mendengar sambaran angin, cepat dia menoleh dan kiranya Thio Eng yang sudah meloncat keluar dan gadis ini menggerakkan jari tangan menotok jalan darahnya. Tentu saja gerakan ini terlampau jelas bagi Beng San dan sekiranya mau, pemuda ini dengan mudah akan dapat mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia sengaja diam saja, membiarkan Hiat-To (jalan darah) di tubuhnya tertotok. la mengeluh dan roboh lemas.

   "Perempuan keji, kau apakan San-Ko?"

   Kwa Hong membentak marah sekali dan melangkah maju. Akan tetapi Thio Eng sudah mencabut pedangnya yang tadi dia dapatkan di dalam kamar, dengan sikap menantang ia berdiri menghadapi Kwa Hong dan berkata dingin.

   "Kau perempuan tak tahu malu! Semestinya tinggal di rumah mentaati perintah Ayah sebagai seorang anak berbakti, eh, malah minggat dan mengejar-ngejar laki-laki! Perempuan macam engkau ini patut mampus di ujung pedangku!"

   "Keparat!"

   Kwa Hong juga mencabut pedangnya yang tadi sudah dapat la ketemukan di sudut ruangan itu.

   "Peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kau-kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau cemburu! Ya, kau cemburu dan iri hati melihat kami saling mencinta. Cih, tak tahu malu!"

   "Tutup mulutmu!"

   Thio Eng makin marah, mukanya sebentar merah sebentar pucat.

   "Laki-laki tak berbudi macam ini, siapa menaruh hati? Mulutnya terlalu manis, satu hari mencinta gadis, lain hari mencinta lain orang gadis. Seperti engkau, dia pun harus mampus!"

   Kwa Hong pucat mukanya dan mengerling ke arah Beng San. Mungkinkah Beng San juga pernah menyatakan cinta kasih kepada gadis ini? Akan tetapi hatinya sudah terlampau panas, sepanas hati Thio Eng dan tak dapat dicegah lagi dua orang gadis ini sudah saling terjang, bertanding pedang dengan hebatnya seperti dua ekor Harimau betina memperebutkan seekor kelinci!

   Trang-tring-trang-tring bunyi pedang mereka dan Bunga api berkilat di daiam ruangan yang sunyi itu. Thio Eng adalah murid tunggal Thai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang, kepandaiannya tentu saja hebat. Kwa Hong adalah cucu murid Lian Bu Tojin yang sudah menerima latihan dari Ketua Hoa-San-Pai ini sendiri, maka ilmu pedangnya juga tak boleh dipandang ringan. Betapapun juga, menghadapi Thio Eng, ia menemukan lawan terlalu berat dan segera ia mendapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pedangnya tak usah mengaku kalah dari ilmu pedang lawannya, namun dalam hal tenaga Lweekang ia toh kalah banyak. Setiap kali dua pedang bertemu, tangannya tergetar dan makin lama ia makin terdesak oleh gadis baju hijau itu.

   Beng San merasa batinnya tersiksa bukan main menyaksikan pertempuran ini. Dengan amat terheran-heran dia tadi mendengarkan percakapan antara dua orang gadis itu dan benar-benar dia tidak mengerti. Mengapakah dua orang gadis yang disukai dan disayanginya ini seperti bertempur karena dia? Beng San masih terlampau hijau untuk dapat menangkap bahwa dua orang gadis ini sesungguhnya mencintannya dan kini mereka bertanding karena iri hati dan cemburu, atau secara kasarnya, untuk memperebutkan dia. Malah dalam kekecewaannya Thio Eng mempunyai nafsu untuk membunuh Kwa Hong dan dia pula. Dengan penuh kekhawatiran dia melihat betapa Kwa Hong makin terdesak hebat dan setiap saat ujung pedang di tangan Thio Eng mengancam keselamatan nyawanya.

   "Eng-moi! Hong-moi! Sudahlah, jangan berkelahi!"

   Tiba-tiba Thio Eng dan Kwa Hong tergetar mundur pada saat pedang mereka saling bertemu dan pada saat itu Beng San sudah berdiri di antara mereka.

   Diam-diam Thio Eng kaget sekali, dan terheran-heran mengapa pemuda itu sudah terbebas daripada pengaruh totokannya. Apakah totokanku tadi kurang tepat sehingga pengaruhnya juga kurang lama? Tentu saja dia dan Kwa Hong tidak tahu bahwa mereka tadi keduanya mundur tergetar bukan karena pertemuan pedang mereka, melainkan karena getaran hawa dorongan tangan Beng San yang sengaja melerai mereka. Kiranya dalam kebingungannya tadi, terbayang oleh Beng San ketika Thio Eng di dalam perahu pernah menangis dalam pelukannya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, maka perasaannya membisikkan dugaan yang membuat dia segera melompat dan mencegah perkelahian itu. Memang sejak tadi dia tidak terpengaruh totokan karena begitu tertotok, dia telah menghentikan jalan darahnya dan hanya pura-pura roboh lemas.

   "Eng-moi dan Hong-moi, jangan berkelahi..."

   Katanya pula.

   "Kau mau bicara apakah? Hayo bicara cepat, atau kau hendak membantu dia ini?"

   Bentak Thio Eng yang sudah tidak sabar lagi

   "Bukan, Eng-moi, bukan begitu..."

   "Hemmm, San-Ko, apakah kau hendak membela Siluman hijau ini?"

   Kwa Hong bertanya dengan suara dingin.

   "Tidak, tidak sekali-kali... ahhh..."

   Beng San menggeleng-geleng kepalanya, mukanya merah sekali lalu berganti kehijau-hijauan karena dia merasa marah, menyesal, malu dan bingung.

   "Kalian berdua janganlah salah faham, aku... aku tidak berat sebelah... aku sayang dan suka kepada Eng-moi, juga sayang dan suka kepada Hong-moi. Aku tidak pilih kasih, kalian berdua kuanggap seperti adikku sendiri, maka jangan... jangan bertempur..."

   Seketika pucat wajah Kwa Hong, sepucat wajah Thio Eng.

   "San-Ko... jadi kau... kau tadi...?"

   Tak dapat Kwa Hong melanjutkan kata-katanya dan air matanya jatuh berderai.

   "Setan, sudah kuduga! Kau palsu! Di perahu dulu itu...? Ah, laki-laki tak berbudi!"

   Agaknya Thio Eng tak sesabar Kwa Hong karena segera ia menggerakkan pedangnya menusuk dada Beng San. Akan tetapi kali ini Beng San tidak berpura-pura lagi, cepat dia mengelak sambil berkata.

   "Di perahu aku berbuat apa? Eng-moi, aku hanya kasihan dan suka kepadamu, juga Hong-moi aku suka dan sayang, tapi keduanya kuanggap seperti dua orang teman baik, atau sebagai adik-adikku yang akan kubela, bu... bukan... sebagai kekasih..."

   "Ah, kau mempermainkan aku..."

   Kwa Hong menjadi malu sekali kalau ia ingat betapa tadi ia telah menyatakan cinta kasihnya begitu terus terang, tidak hanya didengar oleh Beng San, malah juga oleh Thio Eng. Pikiran ini membuat ia marah sekali dan otomatis pedangnya juga digerakkan menyerang Beng San. Dua orang gadis yang dikecewakan hatinya itu kini hanya mempunyai satu kandungan hati, yaitu membunuh laki-laki yang mereka cinta dan yang kini mereka benci karena tidak membalas cinta kasih mereka. Dua pedang yang tadinya saling gempur itu kini saling bantu untuk berlumba dalam merenggut nyawa Beng San.

   Aduh, Beng San bergidik. Benar-benar berbahaya permainan cinta. Cinta kasih dua orang dara ini sama berbahayanya dengan dua ujung pedang mereka. Ia terpaksa mengeluarkan kepandaiannya, sekali tangannya bergerak dia telah dapat merampas dua pedang itu dari tangan Thio Eng dan Kwa Hong. Dua orang gadis itu seketika melongo karena tidak tahu bagaimana caranya pedang mereka tahu-tahu sudah terampas dan kini Beng San dengan muka sedih mengembalikan pedang mereka, mengangsurkan dengan gagang pedang di depan. Thio Eng dan Kwa Hong seperti mendapat komando lalu merenggut pedang masing-masing dari kedua tangan Beng San dan otomatis kedua pedang mereka sudah menyerang lagi! Tapi kembali dengan gerakan aneh, tahu-tahu pedang mereka sudah berpindah tangan. Lagi-lagi Beng San mengangsurkan pedang itu terbalik sambil berkata,

   "Adik-adikku yang baik, kasihanilah aku. Aku benar-benar sayang kepada kalian."

   Mendadak dua orang gadis itu bercucuran air mata.

   "San-Ko... kiranya kau... kau tidak hanya mempermainkan cinta orang... juga telah mempermainkan orang dengan berpura-pura tolol dan bodoh,..."

   Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Kwa Hong membalikkan tubuh dan lari pergi.

   "Orang she Tan... jadi kau... sejak di perahu dulu... kau telah mempermainkan aku? Ah, alangkah kejam kau..."

   Sambil menangis Thio Eng juga berlari pergi dari situ dengan terhuyuhg-huyung dan lemas. Tinggal Beng San yang berdiri melongo, memandangi dua pedang di kedua tangannya, berulang-ulang menarik napas panjang dan menjadi bingung. Apakah artinya itu semua? Benarkah dua orang gadis itu mencintanya? Ah, tak mungkin rasanya. Mencinta dia, cinta sebagai seorang kekasih yang menghadapkan dia menjadi suami mereka?

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Aneh! Dengan kedua pedang masih dipeganginya, terbayanglah wajah gadis gagu, tersenyum-senyum kepadanya dengan wajah diliputi kesayuan, kemudian terngiang di telinganya pesan mendiang Lo-Tong Souw Lee bahwa dia harus mengawini perampas Liong-Cu Siang-Kiam kalau pencurinya itu wanita, maka terbayang pula wajah puteri Cia yang cantik jelita, gadis yang luar biasa ilmu pedangnya itu. Hatinya terasa perih kalau teringat kepada dua orang gadis tadi. Akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Mereka cinta kepadanya, itu bukanlah kesalahannya. Tak mungkin dia mengimbangi cinta kasih setiap orang gadis Dan memang sesungguhnya hatinya masih bersih daripada perasaaan ini. Agaknya hanya kepada gadis gagu itulah dia dapat mencinta, atau... kepada puteri pencuri pedangkah?

   "Setan!"

   Beng San memaki diri sendiri mengusir bayangan semua gadis itu. Sepasang pedang rampasannya dia simpan, dijadikan satu dan disembunyikan di balik jubahnya.

   "Tak mungkin memikirkan gadis-gadis itu, paling perlu sekarang aku pergi mencari Kakakku di Kota Raja."

   Makin diingat makin yakinlah hatinya bahwa pemuda she Tan yang datang ke Hoa-San-Pai bersama Pangeran Souw Kian Bi itu tentulah Tan Beng Kui, Kakaknya. Masih ingat betul dia akan muka Kakaknya itu. Hanya satu hal yang amat meragukan. Andaikata benar pemuda itu Kakaknya, bagaimana dia bisa menjadi seorang yang begitu tinggi kedudukannya dan menjadi sahabat si Pangeran Mongol.

   la harus menemui Tan Beng Kui atau pemuda itu dan bicara secara terang-terangan. Dengan cepat Beng San lalu kembali ke Kota Raja, berusaha sekuat hatinya untuk melupakan peristiwa yang dia alami dengan Kwa Hong dan Thio Eng. Setibanya di Kota Raja, dia mendengar berita yang amat mengejutkan hatinya. la sengaja bermalam di rumah penginapan di mana dia mengintai lima orang gagah itu dan mendengar berita bahwa empat orang Kakek gagah itu, ialah Kim-Mouw-Sai Lim Seng jago Kwi-Bun, Kang-Jiu Bouw Hin jago Bi-Nam murid Siauw-Lim-Pai dan dua orang Kakek Phang pejuang dari Hun-Lam, telah tewas semua dikeroyok perajurit-perajurit Kerajaan yang dipimpin oleh Tan-Ciangkun (Panglima Tan)! Jadi Kakaknya sendiri yang telah memimpin barisan membunuh empat orang tokoh pejuang gagah perkasa! Sebetulnya apakah yang terjadi di situ?

   Seperti telah diketahui di bagian depan, Phang Khai dan Phang Tui dua orang Kakek itu, gagal menangkap Kwee Sin malah mereka sendiri hampir celaka kalau tidak tertolong oleh penolong rahasia. Setelah mereka sadar dan mendapatkan diri mereka berada di halaman Kelenteng di mana mereka bermalam, keduanya menjadi terheran-heran dan juga marah terhadap seseorang yang mereka anggap telah mengkhianati mereka. Pada malam, ketiga, seperti telah dijanjikan, mereka mengunjungi rumah penginapan itu dan mengadakan pertemuan dengan Kang-Jiu Bouw Hin, Kim-Mouw-Sai Lim Seng, dan Nyonya Liong yang menjadi perantara dan orang kepercayaan Ji-Enghiong dan Ji-Enghiong,

   Yaitu dua orang tokoh perjuangan yang menjadi pemimpin-pemimpin daripada gerakan rahasia atau jelasnya menjadi kepala jaringan mata-mata yang bergerak di dalam Kota Raja! Bouw Hin dan Lim Seng sudah hadir di situ lebih dulu. Nyonya Liong belum juga datang. Terhadap Bouw Hin dan Lim Seng, dua orang Kakek Phang tidak mau menceritakan pengalaman mereka di gedung Kwee Sin. Akhirnya datang juga Nyonya Liong yang kelihatan gelisah dan berduka. Semua ini tak terlepas dari pandang mata kedua Kakek Phang yang penuh selidik. Mereka melihat betapa mata yang bening itu sekarang nampak sayu dan ada bekas-bekas air mata. Begitu memasuki kamar itu Nyonya Liong segera memberi pesannya dengan suara perlahan dan tergesa-gesa.

   "Kalian lekas pergi dari sini, keadaan berbahaya. Saudara Bouw Hin dan Lim Seng harap segera berangkat ke tempat markas para Pendekar yang dipimpin oleh saudara Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang. Katakan bahwa Ji-Enghiong sendiri yang memesan supaya mereka memutar pasukan ke arah Selatan untuk bergabung dengan pasukan besar Panglima Kok Ci Seng, dan Ji-wi Saudara Phang-Lopek harap segera mencari pasukan saudara Tan Hok dan minta pasukannya membantu teman-teman di Barat yang mengalami pukulah hebat. Harap kalian cepat-cepat pergi dan jalankan tugas dengan baik, keadaan amat gawat di sini."

   Sambil berkata demikian, Nyonya itu memandang kepada kedua orang saudara Phang itu dengan sinar mata menyesal. Phang Tui yang tidak sabar lalu berkata,

   "Tentu saja semua tugas itu kami terima dengan baik dan akan kami jalankan seperti biasa. Akan tetapi ada satu hal yang kami minta supaya nona Lee bicara terus terang dan memberi penjelasan yang sewajarnya."

   Mendengar Phang Tui menyebutnya nona Lee.

   "Nenek"

   Itu mengeluarkan suara tertahan.

   "Phang-Lopek, apa... apa maksudmu...?"

   Dalam gugupnya, nenek ini lupa akan penyamarannya, suaranya tidak parau seperti biasanya melainkan merdu dan halus, suara seorang wanita muda! Phang Khai sekarang berdiri di samping adiknya, suaranya terdengar keren penuh tuntutan.

   "Nona Lee, tak usah kau berpura-pura lagi, kami sudah tahu bahwa kau adalah seorang nona muda yang menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi dan Tan-Ciangkun. Semua itu tidak apa dan kami tak akan peduli karena kenyataannya kau bekerja untuk perjuangan kita. Akan tetapi apa artinya pengkhianatanmu kepada kami dan memberi tahu kepada Kwee Sin akan ancaman kami hendak menangkapnya? Katakanlah, apa artinya semua ini? Siapa sebenarnya engkau ini? Seorang teman pejuang ataukah seorang pengkhianat, ataukah seorang mata-mata musuh?"

   Suara Phang Khai lerdengar penuh ancaman. Tubuh "Nenek"

   Itu gemetar.

   "Phang-Lopek, ahhh... tiada kesempatan lagi. Terlalu panjang untuk diceritakan, juga rahasia... ah, kalian percayalah kepadaku. Pergilah cepat-cepat meninggalkan Kota Raja, aku tak sempat bercerita... entah lain kali, sudahlah, pergilah kalian..."

   "Kau harus terangkan lebih dulu!"

   Phang Tui membentak, sedangkan dua orang lain, yaitu Bouw Hin dan Lim Seng, hanya memandang dengan heran. Mereka belum tahu apa yang telah terjadi dan melihat sikap dua orang saudara Phang itu, timbul pula kecurigaan mereka terhadap Nyonya Liong yang sekarang jelas adalah seorang nona muda she Lee adanya.

   "Tidak... tidak bisa, tak sempat lagi..."

   "Kalau begitu, kami akan memaksamu!"

   Phang Tui dan Phang Khai bergerak dan menghadapi "Nenek"

   Itu dengan pedang di tangan. Pada saat itu terdengar suara gerakan orang di luar dan terdengarlah bentakan keras,

   "Tangkap mata-mata pemberontak!"

   Sinar senjata rahasia melayang masuk kamar dan terdengar suara keras disusul padamnya lampu penerangan. Phang Khai, Phang Tui, Bouw Hin dan Lim Seng cepat mencabut senjata dan menerjang keluar. Akan tetapi mereka disambut oleh gerakan pedang yang amat cepat, dihujani pula dengan senjata-senjata rahasia. Karena keadaan amat gelap, maka mereka repot sekali dan beberapa buah senjata rahasia telah mengenai tubuh mereka.

   "Tan Ciangkun, kau sudah disini? Ha-ha-ha, ternyata kau lebih cepat daripada aku. Bunuh semua mata-mata ini! Ha-ha-ha, tikus-tikus ini belum kenal kelihaian Pangeran Souw Kian Bi!"

   Orang yang bicara ini mainkan pedangnya dengan hebat sekali dan empat orang pejuang itu biarpun sudah mempertahankan diri, namun mereka tidak kuat menghadapi desakan dua pedang dan hujan senjata rahasia itu. Beberapa jurus kemudian mereka roboh, terluka parah oleh pedang dan senjata rahasia. Di dalam gelap, Phang Khai dan Phang Tui yang sudah roboh itu mendengar bisikan suara merdu dan halus, suara "Nenek Liong."

   Demi mendengar bisikan ini, Phang Tui berseru.

   "Ayaaaaa, celaka..., bodoh benar aku..."

   Phang Khai berseru pula.

   "Aduhhh... kalau begitu pantas mampus!"

   Penerangan dinyalakan dan ternyata empat orang pejuang itu sudah tewas semua. Tentu saja Beng San hanya mendengar berita tentang kematian empat orang mata-mata pemberontak di tempat itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa yang membuka rahasia mereka itu adalah seorang tokoh yang amat terkenal di Kota Raja yaitu Lee-Siocia. Beng San membayangkan wajah nona cantik yang menemui Kwee Sin di malam itu, lalu teringat pula dia akan Nyonya Liong. Diam-diam dia berpikir keras, tapi tak juga dapat mengerti apa maksudnya semua itu. Ketika dia mendengar pula bahwa pemimpin penyerbuan yang menewaskan empat orang mata-mata pemberontak itu adalan Tan-Ciangkun, diam-diam Beng San menjadi sedih sekali.

   "Hemmm, ternyata Kakakku telah menjadi kaki tangan Mongol, agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi yang jahat itulah. Celaka sekali, kalau orang-orang Han seperti Kakakku dan Kwee Sin menjadi kaki tangan penjajah, seperti ribuan orang lain yang dapat dipikat dengan harta dan pangkat, bagaimana rakyat bisa terhindar daripada penindasan penjajah? Aku harus mengingatkannya."

   Demikian Beng San mengambil keputusan di hatinya.

   Malam hari itu dia berada di depan rumah gedung besar tempat tinggal Tan-Ciangkun yang terjaga kuat oleh perajurit-perajurit tinggi besar. Sengaja Beng San memilih waktu malam hari agar dapat bicara dengan bebas, dan memilih waktu tuan rumah sudah selesai tugas dan sedang beristirahat. la menduga-duga apakah Kakaknya itu sudah berkeluarga dan diam-diam dia harus mengakui bahwa gedung tempat tinggalnya itu benar-benar mewah dan megah. Melihat Beng San longak-longok di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentaknya. Beng San malah melangkah maju menghampiri penjaga itu dan berkata ramah.

   "Harap kau suka beritahukan kepada Tan-Ciangkun bahwa adiknya Tan Beng San datang hendak bertemu."

   Penjaga itu tertegun, memandang lebih teliti lalu memberi hormat karena dia pun melihat persamaan wajah antara pemuda ini dengan komandannya

   "Silahkan Kongcu masuk dan menanti di ruang tamu, saya akan melaporkan kedatangan Kongcu,"

   Katanya. Tak lama kemudian Beng San dipersilahkan masuk dan penjaga itu sendiri pergi keluar. Beng San memasuki ruangan dalam dengan hati berdebar tegang. la akan berhadapan dengan Beng Kui, orang yang selama ini selalu dirindukan, yang selalu dia bayangkan dan dia impikan. Kakak kandungnya!

   "Ada keperluan apakah kau datang ke sini?"

   Suara yang angkuh dan dingin, makin seram karena suasana di ruangan itu remang-remang dan dingin, lagi sunyi. Beng San mengangkat muka. Dihatnya orang yang dianggap Kakak kandungnya itu duduk di kursi menghadapi meja besar di ruangan yang kosong, pakaiannya dari Sutera biru, matanya bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai seperti orang mengejek dan memandang rendah. Sejenak Beng San tak dapat berbicara, berdiri tegak di depan meja. Kemudian setelah saling berpandangan, ia berkata,

   "Kau... bukankah kau Kakakku Tan Beng Kui? Bukankah aku ini adik kandungmu? Kui-Ko, di mana Ayah dan ibu? Apa yang telah terjadi padaku waktu aku kecil."

   Suara Beng San mulai menggetar saking terharunya. Sikap dingin Kakaknya tidak mengecilkan hatinya, tidak mengusir keharuannya bertemu dengan Kakaknya ini.

   "Aku tidak mempunyai adik seperti kau"

   Jawaban ini terdengar dingin dan amat mengagetkan hati Beng San.

   "Pergilah, kau jangan menggangguku."

   Beng San menjadi marah, mukanya berubah merah.

   "Kenapa kau hendak menyangkal? Kenapa hendak membohong dan merahasiakan? Aku yakin bahwa kau adalah Kakakku Beng Kui. Kui-Ko, apakah kau sudah lupa? Bukankah di punggung-mu ada dua tahi-lalat? Apa kau lupa bahwa jidat Ayah ada goresan bekas luka dan lupa betapa lemah lembut ibu kita? Kui-Ko..."

   "Diam!"

   Beng Kui menggebrak meja sambil bangkit berdiri. Sepasang matanya memancarkan api kemarahan.

   "Andaikata dahulu aku mempunyai seorang adik, maka adikku itu sudah mati di air bah. Lebih baik mempunyai adik mati dibawa banjir daripada seorang pengacau yang goblok, seorang yang tolol akan tetapi bersikap pintar sendiri, membiarkan dirinya terseret dalam pemberontakan jahat. Sudahlah, kau pergi dari sini, aku tidak kenal kau!

   "Tapi... tapi, aku..."

   Beng San tergagap, ...aku ingin mengetahui di mana Ayah ibuku,..."

   Hampir dia menangis karena sikap Kakaknya ini benar-benar di luar dugaannya. Teringatlah dia ketika dahulu di Hoa-San-Pai Kakaknya ini pun membuang ludah ketika melihat dia.

   "Sudah mati semua... mati ditelan Sungai Huang-Ho..."

   Bercucuran air mata di kedua pipi Beng San yang sekarang menjadi pucat.

   "Di mana... dikuburnya? Aku... aku ingin menyambangi makam mereka... ingin bersembahyang... ah, Ayah ibu..."

   Kini suara Beng Kui juga terdengar serak dan menggetar,

   "Di dekat Kiu-Liong-Kiauw di Shan-Si..."

   Mendengar suara Kakaknya ini, makin terharulah Beng San. la melangkah maju.

   (Lanjut ke Jilid 23)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23

   "Kui-Ko... Kakak kandungku...,. tak maukah kau memelukku...?"

   Pada saat itu terdengar suara penjaga dari luar,

   "Pangeran Souw datang hendak berkunjung kepada Tan-Ciangkun!"

   "Pergilah!"

   Kata Beng Kui.

   "Kau hanya mengacau dan merusak kedudukanku. Aku tidak mau kenal kau lagi. Pergi sekarang, melalui pintu belakang ini, jangan kau datang lagi, kalau nekat, akan kutangkap dan kujatuhi hukuman sebagai pemberontak!"

   Seketika menjadi panas hati Beng San. Tak disangkanya Kakak kandungnya sejahat ini moralnya.

   "Kau... anjing Mongol, kau sudah membunuh para orang gagah di rumah penginapan dan kau mengancam hendak membunuh adik kandung sendiri?"

   "Tutup mulutmu dan pergilah! Siapa sudi bicara dengan segala macam pemberontak! Pergi!"

   Dengan dada panas seperti hendak dibakar rasanya, Beng San melangkah pergi melalui pintu yang ditunjuk tadi. Begitu keluar, dia tiba di taman belakang dan seorang penjaga sudah siap mengantarnya keluar. Setelah tiba di tempat gelap, dengan kepandaiannya Beng San menyelinap dan meloncat masuk lagi, langsung dia melayangkan tubuhnya naik ke atas genteng dan di lain saat dia telah mengintai ke dalam ruangan di mana tadi Kakaknya menyambut kedatangannya. la melihat Pangeran Souw Kian Bi tertawa-tawa memasuki ruangan itu, disambut penuh kehormatan oleh Tan Beng Kui.

   "Ha-ha-ha, Tan-Ciangkun, kenapa kau main kucing-kucingan? Bukankah dia itu adik kandungmu yang betul-betul dan yang selama bertahun-tahun ini kau cari-cari?"

   Pangeran itu tertawa.

   "Alangkah lucunya kalau kuingat bahwa ketika kecilnya dulu pun aku pernah melihatnya. Ha-ha-ha, tolol tapi berani adikmu itu, sayang... dia mau diperalat oleh pemberontak-pemberontak."

   "Hemmm, siapa sudi mempunyai adik macam dia? Pangeran, satu kali ini saja aku mengampuni dia karena mengingat keturunan akan tetapi kalau lain kali dia berani muncul, di dalam hatiku aku sudah menganggap dia seorang anggauta pemberontak, bukan adik lagi. Lain kali tanganku sendiri akan menggunakan pedang memenggal lehernya."

   "Bagus! Tentu saja aku sudah ketahui semua isi hati dan kesetiaanmu terhadap Pemerintah, Ciangkun. Sekarang mari kita bicarakan hal penting. Kau tentu tahu bahwa usahaku dengan pasukan melakukan pengejaran atas diri Kwee-Ciangkun yang dilarikan orang-orang Pek-Lian-Pai tidak berhasil. Tadinya kusangka adikmu yang tolol itu yang berubah lihai dan melarikannya, eh, kiranya dia masih berada di sini. Jadi terang kalau di belakangnya ada tokoh-tokoh Pek-Lian-Pai. Maka aku lalu mengerahkan lima orang perwira membawa sepasukan yang kuat, dibantu oleh dua Cianpwe (orang tua gagah), pergi menyusul ke Hoa-San. Perbuatan kekerasaan menculik Kwee-Ciangkun yang sudah menjadi perwira ke Hoa-San, cukup dijadikan alasan bahwa Hoa-San-Pai hendak membantu pemberontak."

   Tan Beng Kui mengangguk-angguk.

   "Bagus sekali tindakan Pangeran. Akan tetapi kenapa tidak memimpin sendiri atau setidaknya mewakilkan kepadaku untuk membereskan urusan besar itu."

   Souw Kian Bi tertawa bergelak, menyambar cawan arak yang dibawa masuk pelayan lalu diminumnya sekali teguk.

   "Ha-ha-ha, untuk urusan itu sudah cukup ditangani dua Cianpwe itu. Lebih penting sekali adalah urusan di sini, yang terjadi di depan mata kita, Ciangkun."

   "Urusan apakah itu?"

   "Tan-Ciangkun, kita benar-benar telah dipermainkan musuh. Dari surat-surat yang kudapatkan di tubuh mata-mata pemberontak itu, jelas bahwa di Kota Raja ini penuh dengan jaringan mata-mata yang dipimpin oleh dua orang yang disebut-sebut sebagai Ji-Enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-Enghiong (Pendekar ke empat). Ternyata dua orang tokoh mata-mata yang ini sudah berada di sini bertahun-tahun lamanya."

   "Aku pun sudah mengetahui tentang surat itu. Akan tetapi apakah surat-surat itu dapat dipercaya? Kenapa tidak disebutkan siapa orangnya dan di mana rumahnya? Pangeran, jangan-jangan surat itu hanyalah siasat untuk membingungkan kita saja."

   Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Hemmm, tidak sesederhana itu wawasanku, Ciangkun. Tadinya aku sendiri pun menganggap demikian, akan tetapi setelah kurenungkan dan kuhubung-hubungkan semua kejadian yang lalu, aku malah hampir yakin bahwa aku tahu siapa adanya Ji-Enghiong dan Si-Enghiong pemimpin mata-rnata itu."

   "Bagus sekali kalau begitu. Biarpun baru dugaan, lebih baik tangkap dulu orangnya, paksa supaya mengaku. Apa sukarnya?"

   Tan Beng Kui berkata cepat dengan girang.

   "Hemmm, kiranya kau masih belum dapat menduga siapa mereka itu? Benar-benar aku heran kalau kau yang biasanya amal cerdik ini tidak dapat menduga siapa adanya Ji-Enghiong dan Si-enghiona itu?"

   "Dalam hal ini aku harus mengakui kekuranganku, Pangeran. Siapakah dua orang tokoh pemberontak itu? Harap suka memberitahukan dan biarlah aku akan turun tangan sendiri menangkap mereka."

   "Seorang diantaranya adalah Kwee Sin."

   "Apa...??"

   Wajah Beng Kui berubah sekali dan dia benar-benar terkejut mendengar ini.

   "Pangeran, harap kau jangan main-main!"

   "Tidak, Ciangkun. Dugaanku tak mungkin keliru, seorang di antara mereka itu, entah Ji-Enghiong entah Si-Enghiong, adalah Kwee Sin. Dan yang seorang lagi, sudah tentu adalah Lee Giok..."

   "Tidak mungkin!"

   Beng Kui sampai melompat dari bangkunya, kemudian dia tertawa bergelak.

   "Souw-taijin benar-benar main-main kali ini. Lee-Siocia adalah puteri keluarga Bangsawan Lee yang sudah terkenal, juga dia membantu kita. Mana bisa dia dituduh kepala mata-mata? Ah, aku mana bisa percaya akan hal ini?"

   "Tuduhanku bukan hanya serampangan saja, Tan-Ciangkun, tapi berdasarkan perhitungan. Selama ini segala rahasia kita bocor sehingga gerakan para pemberontak dapat cepat dan makin mengancam kedudukan kita. Akan tetapi kejadian kali ini, coba Ciangkun pikir. Kwee Sin lenyap, katakanlah diculik musuh-musuhnya akan tetapi kenapa nona Lee Giok terlihat menyamar sebagai seorang nenek dan mengadakan pertemuan dengan dua orang Kakek yang mencoba untuk menculik Kwee Sin, kemudian nona Lee Giok malah diam-diam menghilang dari Kota Raja? Dan menurut penyelidikan, nona Lee Giok mengejar Kwee Sin ke Hoa-San."

   "Begitukah? Tapi, bisa jadi kalau nona Lee Giok bermaksud menolong Kwee Sin dari tangan para pemberontak."

   Souw Kian Bi tertawa.

   "Betul ada kemungkinan itu, akan tetapi biarlah kita sama lihat saja. Aku sudah mengutus pasukan itu menyusul dan membawa mereka berdua kembali ke Kota Raja, kalau perlu menghancurkan Hoa-San-Pai"

   "Hoa-San-Pai adalah Partai yang kuat, banyak terdapat, orang pandai di sana dan Lian Bu Tojin sendiri memiliki kesaktian yang tinggi. Mana bisa dihancurkan begitu saja oleh sebuah pasukan?"

   Tanya Tan Beng Kui.

   "Ha-ha-ha, kau tidak tahu siapa adanya dua orang Cianpwe itu? Seorang adalah Hek-Hwa Kui-Bo dan orang ke dua adalah Siauw-Ong-Kwi Locianpwe. Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak cukup kuat untuk menghancurkan Hoa-San-Pai?"

   "Hebat! Benar-benar aku takluk kepadamu, Pangeran. Bagaimana kau dapat menarik dua orang Locianpwe itu untuk membantu kita menumpas Hoa-San-Pai?"

   Souw Kian Bi tertawa girang, jarang dia bisa mendapat pujian Tan Beng Kui yang biasanya amat cerdik dan banyak membuat jasa itu.

   "Baiklah aku berterus terang kepadamu, Hek-Hwa Kui-Bo dapat ditarik karena permintaan muridnya, Kim-Thouw Thian-Li..."

   "Hemmm, tentu kekasih Kwee Sin itu, bukan? Bagus!"

   "Selain kekasih Kwee Sin, Kim-Thouw Thian-Li dengan Ngo-Lian-Kauw yang dipimpinnya, harus diakui sudah amat banyak jasanya terhadap kita, apalagi dalam hal mengadu domba golongan-golongan pemberontak. Adapun Siauw-Ong-Kwi Locianpwe, biarpun dia orang pertapa yang aneh, namun dia berasal dari Utara, tentu saja suka membantu kita, apalagi ditangisi muridnya yang ingin mendapatkan seorang gadis anak murid Hoa-San pai."

   "Kau maksudkan si Raja Liar Giam Xin itu, Pangeran?"

   "Siapa lagi kalau bukan dia?"

   Souw Kian Bi tertawa.

   "Siluman cilik itu telah tergila-gila kepada murid Hoa-San-Pai yang bernama Thio Bwee. Ha-ha-ha!"

   Tan Beng Kui juga tertawa sehingga dua orang berpangkat ini tertawa bergelak. Suara ketawa mereka memenuhi-ruangan itu. Beng San dengan hati gemas dan kaget cepat pergi dari situ untuk menyusul ke Hoa-San. Hoa-San-Pai terancam bahaya besar, pikirnya. Dia harus cepat pergi ke Hoa-San untuk membantu Hoa-San-Pai dari kehancuran. Juga kalau betul apa yang dia dengar dari Souw Kian Bi tadi bahwa Kwee Sin adalah seorang pemimpin pasukan mata-mata pejuang, dia harus menyelamatkannya. Diam-diam Beng San bingung, juga terharu. Betulkah Kwee Sin seorang pejuang? Malah menjadi pemimpin di Kota Raja, di "Mulut Harimau"? Dan nona muda Lee Giok itu? Betulkah dia pemimpin pejuang pula? Ah, rasanya tak masuk di akal.

   Biarpun mulutnya memaki-maki Kwee Sin yang berlutut di depannya bersama Bun Lim Kwi, akan tetapi di dalam hatinya Pek Gan Siansu menjadi terharu sekali dan juga girang bahwa bekas muridnya ini sekarang mau menyerahkan diri dan bersedia membersihkan nama baik Kun-Lun-Pai.

   "Kau murid murtad, kembalikan pedang kami!"

   Kata Pek Gan Siansu setelah mendengar penuturan Bun Lim Kwi dan mendengar permohonan ampun Kwee Sin yang menangis di depan Suhunya. Kwee Sin dengan air mata berlinang meloloskan pedangnya yang dulu dia terima dari Gurunya, dengan berlutut dan dengan kedua tangan dia mengembalikan pedang itu. Pek Gan Siansu memegang pedang dengan dua tangan, mengerahkan tenaga dalamnya dan,

   "Pletakkk!"

   Pedang itu patah menjadi dua potong. Dilemparkannya potongan pedang ke atas tanah sambil berkata.

   "Semenjak saat ini kau bukan anak murid Kun-Lun-Pai lagi. Karena kau sudah dianggap orang luar yang mencemarkan nama baik Kun-Lun-Pai dan mengadu Kun-Lun-Pai terhadap Hoa-San-Pai, maka kau adalah tangkapan Ketua dan hendak kami antarkan ke Hoa-San-Pai. Gara-gara perbuatanmulah Pinto kehilangan murid-murid terkasih yang dulu terkenal dengan nama Kun-Lun Sam-Hengte! Karena kaulah perhubungan baik Kun-Lun-Pai dan Hoa-San-Pai menjadi pecah-belah. Lim Kwi, bersiaplah, kau dan aku sendiri akan mengantarkan orang tangkapan ini ke Hoa-San-Pai untuk menebus dosa."

   Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bun Lim Kwi yang sudah beberapa lamanya melakukan perjalanan berdua dengan Kwee Sin, sudah mendengar penuturan bekas murid Kun-Lun-Pai ini, dengan suara terharu mintakan ampun dan mengingatkan Gurunya bahwa sebenarnya Kwee Sin tidak melakukan semua perbuatan jahat itu, yang melakukan adalah orang-orang Ngo-Lian-Kauw.

   "Dia sudah begitu rendah untuk jatuh oleh rayuan Siluman wanita Ngo-Lian-Kauw, dengan sendirinya semua perbuatan Ngo-Lian-Kauw yang tidak ditentangnya menjadi tanggung jawabnya juga."

   Hanya demikian jawaban Pek Gan Siansu sing-kat. Lim Kwi tak berani membantah lagi dan berangkatlah tiga orang ini ke Mi-San. Lian Bu Tojin, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa bersama Tosu Hoa-San-Pai menyambut kedatangan Pek Gan Siansu, Lim Kwi, dan Kwee Sin.

   "Lian Bu Tojin"

   Kata Pek Gan Siansu setelah mereka saling memberi hormat.

   "Bekas murid yang durhaka ini sekarang telah datang untuk mempertanggungjawabkan semua kesalahannya terhadap Hoa-San-pai. Silahkan kau mengambil keputusan dan mengadilinya, kau mau hukum dia atau apa saja, tidak ada hubungannya lagi dengan kami dari Kun-Lun-Pai. Maka, dengan datangnya dia ini, kuharap kau suka menghabiskan segala permusuhan dan suka menerima usulku untuk menjodohkan muridku Bun Lim Kwi dengan seorang di antara anak muridmu."

   "Pek Gan Siansu, urusan perjodohan adalah urusan baik dan hal ini dapat dibicarakan lain hari. Sekarang yang penting adalah mengadili orang yang selama ini menjadi biang keladi segala keributan Pinto hendak mendahulukan pengadilan ini."

   Ketua Hoa-San-Pai itu lalu memberi tanda dengan tepukan tangan dan memerintahkan beberapa orang Tosu untuk membawa Kwee Sin ke dalam "Ruang pengadilan."

   Ruangan pengadilan ini berada di tengah-tengah, merupakan ruang yang lebar dan biasanya di sinilah para anak murid Hoa-San-Pai Yang melakukan penyelewengan diadili dan dijatuhi-hukuman. Lian Bu Tojin sudah duduk di atas bangku, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa berdiri di kanan kirinya, lalu berturut-turut muncul Thio Ki, Thio Bwee dan Kui Lok yang berdiri di belakang Ketua Hoa-San-Pai itu. Di pinggir ruangan itu berjajar murid-murid Hoa-San-Pai tingkat paling tinggi dan keadaan di situ amatlah angkernya. Sebagai tamu, Pek Gan Siansu dan Bun Lim Kwi mendapat tempat duduk di samping. Wajah Kakek Kun-Lun-Pai ini nampak muram, demikianpun Bun Lim Kwi. Hal ini tidak mengherankan oleh karena orang yang hendak diadili ini adalah bekas murid Kun-Lun-Pai. Oleh seorang Tosu penjaga, Kwee Sin dibawa masuk dan disuruh berlutut di depan Ketua Hoa-San-Pai. Akan tetapi Kwee Sin tidak mau, dan hanya menjura dengan memberi hormat sambil berkata,

   "Saya Kwee Sin menghaturkan hormat kepada Ketua Hoa-San-Pai. Terhadap Hoa-San-Pai saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, oleh karena itu saya terpaksa menolak untuk berlutut sebagai seorang pesakitan, saya hanya suka menghadap sebagai seorang yang hendak ditanya tentang hal-hal yang menjadikan salah faham dan menimbulkan keributan"

   Suara Kwee Sin tetap dan sama sekali tidak gugup, hanya pandang matanya yang berani menentang siapa saja di situ tetapi dia selalu menghindarkan pandang mata ke arah Liem Sian Hwa. Kwa Tin Siong bertugas mewakili Gurunya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mendengar ucapan Kwee Sin itu, dengan muka keren dia berkata,

   "Kwee Sin, kau dengan enak menyatakan tidak mempunyai kesalahan apa-apa terhadap Hoa-San-Pai. Kalau begitu coba kau jawab dan terangkan soal-soal yang terjadi selama ini, yang sekarang hendak kami tuduhkan kepadamu. Pertama, bukankah Ayah Sumoi Liem Sian Hwa tewas dalam tanganmu atau setidaknya karena perbuatanmu? Ke dua, ketika kau diantar oleh dua orang Suhengmu ke sini beberapa tahun yang lalu kemudian kau ternyata bersekongkol dengan Ngo-Lian-Kauw dan malah menipu kami dan lari bersama Hek-Hwa Kui-Bo sehingga terjadi bentrok antara Suheng-Suhengmu dengan kami fihak Hoa-San-Pai. Bukankah hal ini menjadikan permusuhan dan disebabkan oleh kecuranganmu? Ke tiga, kau lalu lari berkomplot dengan Ngo-Lian-Kauw, kemudian kau menyerbu ke Hoa-San-Pai, berhasil membunuh dua orang Suteku dan melukai kami dengan bantuan Ngo-Lian-Kauw dan Hek-Hwa Kui-Bo pula. Ke empat, kau menjadi pembesar di Kota Raja di samping fihak Ngo-Lian-Kauw, membiarkan kami dan Kun-Lun-Pai bermusuhan, bunuh-membunuh, sengaja kau diam dan membiarkan permusuhan berlarut-larut. Bukankah ini sesuai dengan siasat Pemerintah dan memang kau sengaja bermaksud mengadu domba dan menghancurkan Hoa-San-Pai? Nah, coba kau jawab empat macam tuduhan ini lalu katakan bagaimana kau berani bilang tidak bersalah terhadap Hoa-sah-pai?"

   

Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini