Raja Pedang 26
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
"Celaka..."
Ia mengeluh dan tak dapat ditahan lagi dia menjatuhkan kepalanya di atas kedua lengannya di meja. Sepasang sumpitnya jatuh.
"San-Ko... kau kenapa...?"
Hong segera memegang pundaknya.
"Ha-ha-ha, tidak apa-apa dia, Nona. Mungkin karena tidak biasa minum arak maka dia menjadi mabuk seperti dua orang saudara tadi.."
"Tidak...! Kalian tentu bermain curang! Kalian sengaja meracuni dia...!"
Kwa Hong serentak berdiri dan menjadi marah sekali, siap hendak mengamuk.
"Jangan salah sangka yang bukan-bukan. Bukankah kau calon adik iparku. Dia ini adalah adik kandungku, dan sekarang bukan musuh kami lagi, untuk apa kami berlaku curang? Kalau kau tidak percaya biarlah dia disuruh mengaso dalam kamar, dan kau boleh mengawani dan mengurusnya."
Beberapa pelayan diberi perintah dan tubuh Beng San yang sudah lemas itu diangkat orang menuju ke sebuah kamar. Kwa Hong dengan siap sedia dan waspada mengikuti dari belakang. Begitu memasuki kamar, wajah Kwa Hong berubah makin merah. Bukan main indahnya kamar itu dan diatur amat mewah seperti kamar pengantin saja. Tempat tidurnya, kelambu, perabot-perabotnya semua baru. Seprei dan sarung bantalnya semua berkembang indah, menggambarkan sepasang Burung hong yang sedang bercumbuan, daun jendela dan daun-daun pintu menggambarkan pasangan-pasangan Burung yang amat rukun dan penuh kasih mesra.
Hatinya berdebar tidak karuan ketika para pelayan itu segera meninggalkan kamar dan membiarkan dia berdua saja dengan Beng San. Malah pelayan terakhir dengan perlahan menutupkan daun pintu dari luar. Dengan amat susah payah Kwa Hong melawan perasaan aneh dan debar jantung yang menyesakkan dadanya itu lalu ia memeriksa keadaan Beng San dengan hati khawatir. Pemuda itu mengeluh perlahan, nampak gelisah dan kepalanya bergerak ke kanan kiri. Wajahnya menjadi merah seperti udang direbus dan perlahan-lahan berganti menjadi pucat kehijauan. Diam-diam Kwa Hong gelisah dan terheran-heran. Teringatlah ia akan muka pemuda ini yang semenjak dahulu sering kali berubah-ubah warnanya sehingga ia menyebutnya dahulu sebagai "Bunglon."
"San-Ko... San-Ko... bagaimana rasanya badanmu...?"
Tanyanya khawatir sambil menyentuh jidat pemuda itu. Cepat ia menarik kembali tangannya karena jidat itu terasa dingin seperti es! Dan ketika perlahan-lahan muka itu berubah kemerah-merahan lagi, jidatnya pun berubah panas seperti api.
"San-Ko... ah, San-Ko, kau diracun orang..."
Kwa Hong saking bingung dan khawatirnya lalu memeluk Beng San dan menangis sedih. Sementara itu, ia sendiri merasa betapa ada sesuatu yang aneh terjadi dalam tubuhnya. Darahnya mengalir cepat dan panas, napasnya sesak dan mukanya menjadi merah sekali.
"Hong-moi... Hong-moi... jangan menangis... ah, Hong-moi, apa yang terjadi...? Aduh, kau cantik sekali Hong-moi."
Kagetlah Kwa Hong ketika tiba-tiba Beng San memeluknya. Ketika ia memandang, ia melihat pemuda itu memandangnya dengan mata setengah terkatup, mulutnya berbisik-bisik dan dalam keadaan setengah sadar. Kwa Hong amat mencinta Beng San, Semenjak pertemuannya dahulu, ia sudah mempunyai perasaan luar biasa terhadap Beng San.
Makin lama perasaan ini menjadi makin kuat dan akhirnya, pertemuan mereka kembali ketika sudah dewasa, membuat perasaan luar biasa itu berkembang menjadi perasaan cinta kasih yang mesra. Apalagi setelah mendapat kenyatan bahwa Beng San adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu sakti, cinta kasihnya menjadi makin hebat dan ia rela meninggalkan siapa saja, rela melakukan apa saja demi cinta kasihnya terhadap pemuda ini. Sekarang, baru sekarang, ia melihat sikap Beng San yang membalas cintanya. la tidak tahu bahwa keadaan Beng San dalam setengah sadar, tidak tahu bahwa Beng San berada dalam pengaruh obat mujijat, tidak sadar pula bahwa dia sendiri pun terpengaruh obat beracun itu. Betapapun kuat batin orang, kalau dia masih muda, mudah sekali dia tunduk kepada nafsu.
Apalagi dalam keadaan seperti mereka itu yang terkena racun, dalam keadaan setengah sadar, mudah sekali bagi iblis untuk menguasai hati dan pikiran mereka. Maka, berbahagialah orang-orang muda yang berbatin teguh, yang kuat untuk menahan nafsu, yang selalu ingat akan susila, menjauhkan diri daripada perbuatan maksiat. Sebaliknya, celakalah mereka yang berbatin lemah! Masa muda remaja adalah masa yang paling gawat dan paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Justeru di masa inilah, masa akil baliq, di waktu keadaan jasmani manusia sedang berkembang dan di waktu semangat sedang bernyalanyala, di waktu manusia mengalami perubahan dari kehidupan kanak-kanak berubah menjadi manusia dewasa, dalam penghidupan paling banyak datang goda yang beraneka macam.
Dalam menanjaknya usia dewasa ini manusia masih belum banyak mengalami derita pengalaman pahit getir sebagai akibat daripada perbuatannya yang hanya menuruti perasaan hati dan nafsu, oleh karena kurang pengalaman ini mem-uat dia lalai dan lengah. Jiwa yang belum matang oleh gemblengan hidup penderitaan, membuat dia hanya melihat hai-hal dari segi keindahannya dan kenangannya belaka. Tidak cukup luas pandangannya, tidak cukup jauh wawasannya dan semua ini mengakibatkan pertahanan batin yang amat lemah menghadapi godaan iblis yang selalu mengirrtai di balik hati perasaannya. Orang muda seperti Beng San sesungguhnya tak mudah tergelincir oleh perangkap yang dipasang iblis di mana-mana, yang membahayakan setiap langkah dalam kehidupannya.
Semenjak kecil biarpun jauh orang tua, namun boleh dibilang Beng San menemukan keadaan yang amat menguntungkan batinnya. Hidup sebagai kacung di Kelenteng dekat dengan orang-orang saleh yang selalu mengutamakan perbuatan baik selalu mempelajari ilmu filsafat kebatinan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan dan mengharamkan perbuatan maksiat Godaan terbesar dan paling berbahaya bagi orang muda, yaitu goda berupa nafsu pelanggaran susila, sebetulnya tidak akan mudah menundukkannya. la sudah digembleng oleh orang-orang sakti, sudah memiliki dasar batin seorang ksatria utama, kiranya dia akan lebih suka kehilangan nyawanya daripada melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dan.perikemanusiaan. Akan tetapi, malang baginya, pada waktu itu dia sudah kehilangan kesadarannya akibat obat yang tercampur dalam arak dan makanan.
Obat mujijat yang, membuat dia lupa diri dan hanya menjadi hamba daripada nafsu tidak sewajarnya yang timbul oleh obat beracun itu. Semua ini ditambah lagi oleh keadaan Kwa Hong yang memang mencintanya, seorang gadis muda yang semenjak kecil sudah memiliki sifat hendak menurutkan kata hati sendiri, yang lebih-lebih lagi pada waktu itu juga dipengaruhi-oleh racun yang membuat ia menjadi hamba nafsu mujijat. Namun, agaknya memang segala macam peristiwa di dunia ini sudah ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, boleh berikhtiar sedapatnya, bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berikhtiar, namun akhirnya hanya Tuhan yang menentukan. Peristiwa yang nampak kecil selalu menjadi sebab daripada perkara besar.
Setitik Bunga api dapat menyebabkan kebakaran sebuah kota. Peristiwa yang terjadi malarn itu pun kelak mengakibatkan terjadinya cerita hebat, cerita berjudul RAJAWALI EMAS yang akan menjadi cerita tersendiri sebagai lanjutan cerita Raja PEDANG ini. Gemuruh disertai hiruk-pikuk teriakan-teriakan di luar kamar membangunkan Beng San dari tidurnya. Pemuda ini membuka mata dan tubuhnya yang sudah memiliki kepandaian silat itu otomatis melompat turun dari pembaringan, siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Kekagetan suara gemuruh itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekagetannya ketika dia melihat keadaan di dalam kamar yang indah ini. Kwa Hong tidur di atas pembaringan itu pula dalam keadaan yang membuat wajah pemuda ini seketika pucat. Ingatannya segera dapat membayangkan kembali apa yang telah terjadi malam tadi.
Kwa Hong juga terkejut mendengar suara gemuruh di luar. Gadis ini membuka mata, bangun duduk dan melihat Beng San sudah berdiri di pinggir pembaringan, gadis ini memandang dengan mata sayu, bibir mengulum senyum dan kedua pipinya menjadi merah. Beng San merasa seakan-akan jantungnya ditusuk pedang, dia terhuyung mundur tiga langkah, makin terang sekarang ingatannya dan sambil memekik aneh dia melompat keluar kamar, sekali dorong dia merobohkan daun pintu dan terus meloncat keluar. Dua orang perwira datang menubruk dengan pedang di tangan. Tapi Beng San Segera timbul marahnya, kemarahan luar biasa yang baru kali ini dia alami selama hidupnya. Tangannya menyambar dan dua orang perwira itu roboh dengan kepala remuk. Baru kali ini Beng San membunuh orang, membunuh dengan sengaja karena kemarahannya.
la berlari terus keluar dari bangunan itu dan kiranya di dalam cuaca pagi yang masih remang-remang itu terjadi peperangan hebat. Benteng itu, ternyata diserbu orang dan di sana-sini terjadi perang tanding yang amat hebat. Semua ini membuat dia berdiri mematung. Dari gerakan orang-orang itu dan menilik pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa penyerang itu tentulah barisan orang-orang Pek-Lian-Pai dan dia melihat pula Tosu-Tosu Hoa-San-Pai dan orang-orang Kun-Lun-Pai! Kiranya Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai telah bergabung dengan Pek-Lian-Pai lalu menyerbu benteng ini. Juga dia melihat Lian Bu Tojin sendiri bersama Pek Gan Siansu ikut mengamuk, malah dua orang ini menandingi Hek-Hwa Kui-Bo dan Siauw-Ong-Kwi. Juga tampak olehnya Thio Bwee ikut berperang di samping Thio Ki dan Kui Lok. Yang amat mengherankan hatinya,
Di situ kelihatan pula nona Lee Giok yang dulu menyamar sebagai Nyonya Liong atau yang oleh Pangeran Souw Kian Bi disebut Ji-Enghiong, ikut bertempur di samping lima orang gadis lain yang ilmu pedangnya hebat-hebat! Melihat semua orang gagah ini menyerang barisan Pemerintah, hati Beng San makin perlh. Semua orang itu, Patriot-Patriot sejati, orang-orang gagah perkasa sejati, berjuang untuk negara, mati-matian bertempur untuk mengusir penjajah. Dan dia? Ah, dia kena dibujuk. musuh, untuk menolong nyawa sendiri dan nyawa Kwa Hong serta dua orang Hoa-San-Pai, dia malah sudi berpesta-pora dengan musuh. Lebih hebat lagi, dia dan Kwa Hong... ah, mengapa terjadl hal itu? Seperti orang gila, Beng San menjambak-jambak rambutnya, menampar kedua pipinya dengan tangan sampai darah mengalir dari mulut dan hidungnya, menjambak-jambak lagi rambutnya sambil menangis.
"Apa yang kulakukan...? Ah. Tuhan apa yang kulakukan? Mampus saja kau mampus!"
Ia menampari lagi mukanya yang sudah tidak karuan macamnya itu. Tiba-tiba dia dipeluk orang,
"San ko... San-Ko... kau kenapa...?"
"Hong-moi... tidak... tidak! Biar aku mampus aku harus mampus... la merenggutkan tubuhnya sampai Kwa Hong terpelanting. Tapi gadis ini menubruk lagi sambil menangis, memeluk tubuh Beng San, rambutnya terlepas, terurai membelai leher Beng San. Hal ini lebih-lebih mengingatkan Beng San akan peristiwa malam tadi. Kembali dia merenggutkan diri dan terlepaslah pelukan Kwa Hong.
"San-Ko... kau ingatlah... San-Ko, lihatlah aku. Aku Hong moi, aku istrimu... San ko suamiku..."
Ucapan ini seperti garam pada hati yang terluka, membuat Beng San roboh terguling dan kembali dia menghantam muka sendiri. Darah mengucur dari pinggir matanya. la bertekad untuk memukul kepalanya dengan pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya wejangan-wejangan para Hwesio di Kelenteng dahulu tentang orang yang membunuh diri. Di waktu dia masih kecil, dia melihat seorang petani membunuh diri setelah membunuh isterinya sendiri karena keadaan yang terlampau miskin. Hwesio kepala dari Kelenteng di mana dia bekerja berkata tentang itu,
"Membunuh diri untuk menyesali perbuatan dosa adalah perbuatan yang amat pengecut, malah menambah berat dosanya. Dosa harus ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik. Membunuh diri karena menyesal berarti tidak berani mempertanggungjawabkan kesalahanannya, tidak berani menghadapi hukuman atas perbuatannya itu."
Seketika dia menjadi tenang. la mengusap darah yang memenuhi-mukanya, yang membuat mulutnya terasa sesak bernapas dan matanya terasa pedas sukar dibuka. la lalu bangkit berdiri dan ketika Kwa Hong hendak memeluknya, dia mengulur kedua tangan menolaknya halus.
"Jangan, Kwa Hong. Jangarn ulangi perbuatan kita yang biadab!"
"Apa katamu? San-Ko, kau bilang perbuatan biadab? San-Ko, aku adalah isterimu, isterimu yang mencintamu sepenuh jiwa ragaku."
"Diam, Kwa Hong! Kita sudah melakukan pelanggaran susila. Aku harus mampus untuk itu, tapi biarlah kau saja yang membunuhku. Aku... aku tak dapat membunuh diri. Hong-moi, aku telah menodaimu, nah, kau cabut pedangmu dan, kau bunuh aku."
"Tidak, San-Ko. Kau adalah suamiku..."
"Bukan, Hong-moi. Aku tidak bisa menjadi suamimu..."
"Tapi... tapi aku isterimu yang mencinta. Aku... aku cinta padamu..."
Beng San menarik napas panjang, menggeleng kepala.
"Dulu sudah kukatakan kepadamu. Aku tidak mencintamu sebagai seorang kekasih. Aku cinta kepadamu sebagai seorang Kakak terhadap adiknya. Hong-moi, memang aku sudah berdosa kepadamu. Aku tidak sengaja... hemmm, tak perlu aku membela diri, pendeknya, aku sudah berdosa kepadamu. Hanya tepat ditebus nyawa. Kau bunuhlah aku sebelum orang lain tahu, Hong-moi... bunuhlah aku, bunuhlah!"
Beng San menjerit-jerit minta dibunuh. Tapi Kwa Hong terhuyung-huyung mundur, mukanya pucat sekali. Rambutnya yang terurai dan hitam itu menambah kepucatan mukanya. Air matanya bercucuran.
"San-Ko... kau... kau tetap tidak mau mengambil aku sebagai isteri setelah... setelah apa yang terjadi malam tadi...?"
Beng San merasa jantungnya seperti diremas-remas.
"Tidak, Hong-moi. Kalau aku memaksa diri, dosaku makin besar. Hal itu berarti aku membohongimu, membohongi diri sendiri. Kau akan lebih tersiksa lagi kelak. Aku..., aku tidak bisa menjadi suamimu."
"San-Ko... katakanlah, apakah..., apakah ada orang lain...?"
Beng San tersenyum pahit lalu mengangguk.
"Sungguhpun sekarang aku tidak ada harganya lagi untuk mencintanya. namun... di dalam hatiku aku bersumpah... aku hanya dapat mencinta dia seorang..."
"Siapa dia? Bilang, siapa dia?"
Karena sedang bingung dan gelisah, pikirannya kacau-balau, Beng San menerangkan juga.
"Dia seorang gadis gagu, puteri Song-Bun-Kwi..."
Kwa Hong menjatuhkan diri berlutut lalu menangis terisak-isak. Hati Beng San makin hancur melihat gadis itu berurai rambut sambil menangis demikian sedihnya.
"Hong-moi, kau... kau bunuhlah aku sekarang juga. Aku sudah tidak suka lagi hidup di dunia ini..."
Katanya dengan suara serak. Tiba-tiba Kwa Hong meloncat bangun, mukanya pucat sekali, sepasang matanya tidak lagi menangis.
"Beng San! Kau... kau manusia berhati kejam! Kau sudah dua kali menghinaku, menolak cintaku dan kau... ah, seharusnya kubunuh engkau!"
"Bunuhlah, aku akan berterima kasih..."
Tiba-tiba Kwa Hong tertawa, nyaring dan aneh bunyinya sampai meremang bulu tengkuk Beng San.
"Jangan tertawa seperti itu Hong-moi, kau bunuhlah aku orang kejam dan hina ini..."
"Ha-ha-ha, tidak! Aku tak akan membunuhmu, biar kau hidup menderita dan gila karena perbuatanmu semalam. Dan aku... ha-ha-ha, Kau dengar Beng San, aku akan kawin dengan laki-laki yang paling buruk, yang paling bodoh, kawin dengan laki-laki mana saja yang pertama kali kujumpai..."
Setelah berkata demikian Kwa Hong melompat dan lari pergi dari situ. Dari jauh, mengatasi suara hiruk-pikuk peperangan, terdengar jeritnya melengking tinggi, terdengar seperti tertawa akan tetapi juga seperti tangis sedih.
Beng San menjatuhkan diri berlutut dan menutupi muka dengan kedua tangan. Akan tetapi dia tidak lama berada dalam keadaan seperti ini. Ketika dia teringat akan semua peristiwa yang dialami, kemarahannya memuncak terhadap Pangeran Souw Kian Bi dan Kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Dua orang itu yang menjadi gara-gara sehingga dia mabuk dan melakukan perbuatan hina itu. Serentak dia bangun, matanya kemerahan dan liar. Lalu, melihat orang-orang berperang tanding, dia mengeluarkan suara menggeram keras dan lari menyerbu ke arah pertempuran. Seperti menggila dia mengamuk, entah berapa banyaknya tentara musuh dia robohkan dengan tangan kosong saja. Setiap memegang seorang tentara musuh, dia tanya di mana adanya Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Kalau tentara itu menjawab tidak tahu, lalu dibantingnya orang itu sampai remuk kepalanya.
Dan memang dua orang yang dia cari itu sudah tidak ada lagi di situ, sudah sejak tadi pergi setelah melihat bahwa keadaan benteng tak dapat dipertahankan lagi. Bahkan Hek-Hwa Kui-Bo, Siauw-Ong-Kwi, Kim-Thouw Thian-Li dan Giam Kin juga sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Mereka ini pun maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, mereka tentu akan menjadi korban karena selain fihak lawan banyak terdapat orang tangguh, juga jumlah lawaa makin lama makin membanjir datangnya amat banyaknya. Jelas sudah benteng itu tak dapat dipertahankan lagi, korban fihak tentara Pemerintah luar biasa banyaknya dan yang masih sempat lari mulai menyelamatkan diri. Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang yang dicarinya itu tidak ada di situ, Beng San lalu berlari pergi dalam keadaan yang mengerikan.
Mukanya bengkak-bengkak hidung dan mulutnya masih berdarah, matanya merah sekali, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat kehijauan. Berulang-ulang bala tentara Pemerintah diserbu dan dihancurkan oleh fihak pejuang. Bahkan kini para pejuang sudah berani mengganggu dan kadang-kadang menyerbu Kota Raja secara bergerilya. Di sekeliling Kota Raja, di luar tembok kota, sudah mulai tidak aman. Para Bangsawan, pembesar dan keluarga Kerajaan mulailah merasa gelisah, bahkan ada yang sudah pergi mengungsi jauh ke Utara. Semua usaha yang telah dilakukan oleh para perwira terutama sekali Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui untuk menghancurkan para pejuang, selalu gagal. Malah agaknya setiap rencana penyerbuan mereka, setiap gerak-gerik dan taktik perang mereka, selalu diketahui lebih dahulu oieh fihak pejuang sebelum taktik itu dilaksanakan.
Misalnya seorang penjaga dan penyelidik melapor akan adanya sepasukan musuh di luar tembok kota. Pangeran Souw Kian Bi segera mengatur sebuah pasukan yang lebih besar untuk menyergap dan membinasakan pasukan lawan itu. Akan tetapi sesampainya di sana, tak seorang pun tentara pejuang kelihatan, malah dalam perjalanan kembali, pasukan Pemerintah ini tahu-tahu sudah dikurung musuh yang lebih banyak jumlahnya dan dihancurkan! Dinasti Goan yang dibangun oleh Jengis Khan itu sekarang sudah berada di pinggir jurang kehancuran. Kejayaan Bangsa Mongol di Tiongkok agaknya sudah hampir berakhir. Justeru kekacauan di Kota Raja ini yang membuat Beng San selalu tidak berhasil dalam usahanya mencari Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui.
Berkali-kali dia menyerbu ke istana di Kota Raja, namun selalu tidak menemukan dua orang itu yang agaknya amat repot dalam menghadapi penyerbuan-penyerbuan para pejuang. Akhirnya dia teringat akan tugasnya yang belum dia laksanakan, yaitu merampas kembali pedang Liong-Cu Siang-Kiam, maka pergilah dia, ke Thai-San karena dia teringat bahwa saatnya telah tiba untuk diadakan perebutan gelar Raja Pedang seperti yang sering dia dengar di luaran. la merasa yakin bahwa gadis she Cia yang mencuri Liong-Cu Siang-Kiam itu pasti akan muncul di dalam arena perebutan gelar Raja Pedang itu mengingat akan iimu pedangnya yang amat hebat ketika gadis she Cia itu mendemonstrasikan kepandaiannya di puncak Hoa-San setahun yang lalu dengan mengalahkan Pek Tung Hwesio dan Hek Tung Hwesio,
Apalagi sudah jelas bahwa pada masa ini yang memiliki gelar Raja Pedang adalah Cia Hui Gan, Ayah gadis itu. Teringat akan semua ini, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat ke Thai-San agar tidak sampai terlambat kedatangannya. Pagi-pagi benar di puncak Gunung Thai-San sudah nampak kesibukan. Cia Hui Gan atau terkenal sebagai Raja Pedang tinggal di salah sebuah puncak bukit ini. Cia Hui Gan adalah seorang Pendekar besar yang amat terkenal namanya sebagai ahli waris Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-sut yang dahulu diciptakan oleh Pendekar wanita sakti Ang I Niocu. Akan tetapi jarang sekali Pendekar ini turun gunung karena sesungguhnya semenjak isterinya yang tercinta meninggal dunia, Cia Hui Gan menjadi bosan di dunia ramai, hidup sebagai pertapa di puncak Thai-San bersama puteri tunggalnya, Cia Li Cu.
Karena memang dia adalah keturunan Bangsawan kaya raya sebelum Bangsa Mongol menjajah di Tiongkok, maka biarpun hidup mengasingkan diri di puncak Gunung Thai-San, dia hidup serba kecukupan. Apalagi setelah berada di tempat sunyi itu, dia tidak membutuhkan banyak keperluan, adapun untuk makan sehari-hari bersama puteri dan pelayan-pelayan serta murid-muridnya dia mendapatkan hasil dari sawah ladangnya. Cia Hui Gan amat mencinta puteri tunggalnya sehingga ilmu pedangnya telah dia turunkan kepada Cia Li Cu. Bahkan untuk menyenangkan hati puterinya yang agak manja, Pendekar ini sengaja mendatangkan dua belas orang pelayan wanita-wanita yang muda-muda dan cantik-cantik untuk menjadi teman Li Cu, malah berkenan menurunkan ilmu pedang yang cukup lihai bagi para pelayan atau teman anaknya ini.
Pagi hari itu, tidak seperti biasanya, pagi-pagi sekali Cia Hui Gan sudah duduk di ruangan depan rumahnya yang amat lebar. Semua bangku dan kursi di dalam ruangan dikeluarkan dan diatur di pekarangan itu, memutari pekarangan yang berlantai rumput hijau. Pendekar ini yang usianya sudah lima puluh tahun, nampak gagah dalam pakaiannya yang ringkas berwarna kuning. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dan dia nampak gesit dan berseri wajahnya yang biasanya muram. Para pelayan yang berjumlah dua belas orang dan cantik-cantik itu pun berpakaian serba ringkas, juga di pinggang setiap orang pelayan tergantung sebatang pedang. Karena pakaian para pelayan ini kesemuanya sama, berwarna kuning berkembang merah, mereka tampak angker dan juga cantik-cantik, seperti puteri-puteri dalam pesta di istana. Yang hebat adalah Cia Li Cu sendiri.
Gadis itu seperti biasanya berpakaian serba merah, sepasang pedang Liong-Cu Siang-Kiam tergantung di punggung. Rambutnya yang panjang menghitam itu digelung ke atas sehingga tampak kulit lehernya yang putih kuning. Di dekat nona ini kelihatan seorang nona lain, juga cantik manis berpakaian serba kuning. Nona ini bukan lain adalah Lee Giok! Mengapa Lee Giok yang dikenal sebagai Ji-Enghiong pemimpin mata-mata pemberontak itu berada di situ? Hal ini tidak aneh kalau diketahui bahwa Lee Giok sebenarnya masih murid Cia Hui Gan yang kepandaiannya pun hebat, sungguhpun ia hanya mewarisi ilmu pedang ciptaan Raja Pedang itu sendiri. Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-sut terlalu tinggi untuk dapat dipelajari oleh Lee Giok. Tidak sembarang orang dapat mempelatari ilmu pedang sakti ini karena membutuhkan dasar dan tenaga murni yang kuat.
"Sumoi (adik seperguruan), kali ini tentu ramai nanti di sini,"
Kata Lee Giok sambil tersenyum, kelihatan gembira dan tidak sabar menanti datangnya para tamu yang hendak memperebutkan gelar Raja Pedang.
"Suci (Kakak seperguruan), dahulu ketika diadakan perebutan gelar Raja Pedang, aku masih kecil dan kau belum menjadi murid Ayah. Aku pun ingin sekali melihat apakah ada orang yang akan dapat mengalahkan ilmu pedang Ayah kali ini,"
Kata Li Cu. Biarpun dalam tingkatan kepandaian, Li Cu jauh lebih tinggi daripada Lee Giok, akan tetapi karena Lee Giok lebih tua, maka menyebutnya, suci dan nona she Lee ini menyebutnya Sumoi... Melihat puteri dan muridnya bicara sambil tertawa-tawa, Cia Hui Gan menegur,
"Kalian kelihatan gembira amat. Kiraku kalian tak akan segembira ini kalau tahu bahwa kali ini yang datang ke sini tentulah orang-orang sakti yang amat lihai kepandaiannya. Aku sendiri meragukan apakah aku masih akan dapat mempertahankan gelar Raja Pedang yang sebetulnya kosong melompong itu."
Orang tua ini menarik napas panjang.
"Apalagi setelah umum mengetahui bahwa murid-murid Thai-San banyak yang menjadi pejuang. Kali ini aku tidak akan dapat menyembunyikan rahasiaku lagi, aku akan berterus terang bahwa memang kita adalah pejuang-pejuang yang benci melihat penjajahan di negeri kita. Oleh karena itulah maka aku sengaja menahan Lee Giok biar mereka tahu bahwa Lee Giok yang terkenal di Kota Raja adalah muridku!"
Ucapan terakhir ini diucapkannya dengan suara bangga. Lee Giok menjadi merah mukanya, kemudian terbayang kesedihan.
"Suhu, Teecu telah gagal dalam tugas Teecu... sehingga terlambat pula menolong... Kwee-Taihiap..."
"Hemmm, Kwee Sin harus dipuji. Dia seorang Patriot sejati yang untuk tanah air dan Bangsanya rela mengorbankan nama baik, mengorbankan perguruan, mengorbankan tunangan dan akhirnya mengorbankan nyawanya. Jarang di masa sekarang terdapat orang seperti dia."
Setelah orang tua ini berkata demikian, keadaan menjadi sunyi dan terdengarlah isak tertahan dari Lee Giok. Semua orang, termasuk Gurunya sendiri tidak tahu bahwa nona ini selama bekerja sama dengan Kwee Sin, telah jatuh cinta kepada pemuda Kun-Lun-Pai itu. Hanya sebentar Lee Giok terisak karena ia segera dapat menekan perasaannya.
"Suci, memang menyedihkan kalau diingat nasib Kwee-Taihiap. Akan tetapi, setelah kau dikenal sebagai pejuang, apakah kiranya tidak akan ada pasukan Pemerintah yang mengejarmu ke sini? Ayah, apa sekiranya pertemuan kali ini tidak akan memancing datangnya pasukan musuh?"
Tanya Li Cu.
"Biarkan mereka datang! Aku akan melawannya, pula, kiraku teman-teman seperjuangan kita tak akan tinggal diam begitu saja. Pek-Lian-Pai juga sudah siap sedia. Memang pertemuan kali ini hanya kupergunakan sebagai kedok saja. Yang penting adalah mengumpulkan orang-orang gagah untuk kubujuk dan bersama-sama menggulingkan Pemerintah penjajah yang sudah makin lemah ini."
"Sumoi dan Suhu harap tidak berkhawatir. Agaknya sudah pasti barisan besar penjajah akan datang ke sini, akah tetapi semua ini sudah diatur oleh dia di Kota Raja, dan Pek-Lian-Pai juga sudah bersiap bersama pasukan-pasukan pejuang yang lain. Sudah dapat Teecu bayangkan, Suhu, bahwa pada saat di sini kita merayakan perebutan gelar Raja Pedang, Kota Raja pasti akan mengalami hal-hal yang hebat sekali!"
Kembali wajah yang tadinya sedih ini berseri-seri dan penuh semangat.
"Mudah-mudahan dia berhasil..."
Kata Li Cu dan segera muka gadis cantik jelita ini berubah merah, semerah bajunya ketika melihat betapa Lee Giok mengerlingnya dengan senyum menggoda. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari bawah puncak, disusul berkelebatnya bayangan orang yang berlari-lari naik sambil berteriak-teriak,
"Wah celaka... celaka betul... mana ada aturan begitu...?"
Ketika semua orang memandang, ternyata yang berlari-lari dengan napas sengal-sengal itu adalah seorang Kakek yang tubuhnya bongkok dan matanya besar sebelah. Biarpun dia lari sambil terbongkok-bongkok, namun kedua kakinya ternyata dapat bergerak cepat sekali. Cia Hui Gan segera mengenal orang ini dan bertanya.
"Yok-Mo (Setan Obat), kenapakah kau datang berlari-lari seperti dikejar setan?"
"Hayaaa, memang setan yang mengejarku malah Raja setan, iblis sendiri..."
Kakek itu terengah-engah sambil menoleh ke belakang ketakutan.
"Coba kau pikir, Kiam-Ong (Raja Pedang), mana ada aturan begini? Orang memaksa-maksaku untuk menyembuhkan penyakit, kemanapun aku pergi aku dikejar terus dan nyawaku terancam..."
"Yok-Mo, kau adalah ahli pengobatan, sudah sewajarnya kalau orang minta tolong kepadamu,"
Kata Cia Hui Gan tenang. Mata yang besar sebelah itu melebar.
"Apa kau bilang? Namaku adalah Toat-Beng Yok-Mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), mana bisa aku menyembuhkan orang? Boleh kusembuhkan penyakitnya, tapi nyawanya harus kucabut."
Wajah Raja Pedang yang angker itu nampak tak senang, lalu kata Cia Hui Gan, suaranya angkuh,
"Hemmm, setiap orang memang berhak mempunyai pendapat sendiri. Toat-Beng Yok-Mo, habis apa keperluanmu datang berlari-lari ketakutan ke tempat kami ini?"
"Kiam-Ong kau tolonglah aku kali."
Diam-diam Cia Hui Gan heran juga. Orang seperti Toat-Beng Yok-Mo ini memiliki kepandaian yang tinggi, tidak sembarang tokoh kang-ouw dapat mengalahkannya, apalagi membuat dia ketakutan seperti itu. Pendekar ini mengeluarkan dengus mengejek.
"Hemmm, kau sendiri pantang menolong orang tapi masih tidak malu minta tolong kepada orang lain! Yok-Mo, kalau kedatanganmu hanya minta tolong, kau pergilah lagi. Aku tidak suka mencampuri urusanmu."
Toat-Beng Yok-Mo adalah seorang yang amat cerdik biarpun kadang-kadang dia seperti tidak normal otaknya. Cepat dia berkata,
"Bukan, bukan hanya ingin minta tolong, tapi terutama sekali untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang. Bukankah hari ini diadakannya? Kiam-Ong, aku hari ini menjadi tamumu pertama!"
Pada saat itu terdengar bentakan,
"Yok-Mo, kau hendak lari ke mana?"
Suara ini nyaring dan parau, terdengar dari jauh sekali akan tetapi cukup keras sehingga Cia Hui Gan kembali terkejut. Jelas bahwa orang yang mengeluarkan bentakan ini adalah seorang yang memiliki Lweekang tinggi sekali. Dan lebih-lebih kaget dan herannya ketika berbareng dengan bentakan dari jauh itu berkelebat bayangan merah dan tahu seorang gadis muda berpakaian merah menyambar dekat. Sinar pedang berkelebat dan bergulung-gulung mengurung tubuh Setan Obat itu!
"Bagus...!"
Cia Li Cu tak terasa lagi mengeluarkan seruan memuji karena sebagai seorang ahli pedang, puteri tunggal Raja Pedang, tentu saja ia segera mengenal ilmu pedang yang amat hebat ini. Juga Cia Hui Gan mengeluarkan seruan kagum. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa yang ditakuti Setan Obat ini hanyalah seorang gadis muda dan melihat gerakan pedangnya, memang gadis itu benar-benar seorang ahli pedang yang hebat ilmu pedangnya.
Saking kagumnya Pendekar ini sampai lupa akan bahaya yang mengancam diri Yok-Mo dan mendiamkan saja. Yang repot adalah Yok-Mo sendiri. Baiknya dia adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi, maka biarpun digulung oleh sinar pedang dan amat gugup, dia masih dapat menyelamatkan dirinya, mengelak ke sana ke mari, lalu tiba-tiba dia menjatuhkan diri dan bergulingan menuju ke belakang Cia Hui Gan. Barulah Pendekar ini sadar bahwa sebagai tuan rumah, dia harus mencegah terjadinya pembunuhan terhadap seorang tamunya. Tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus. Nona ini ilmu pedangnya luar biasa sekali, sebaiknya dicoba dengan ilmu pedang puterinya.
"Li Cu, halangi Nona ini mengacaukan tempat kita,"
Katanya. Li Cu memang sudah gatal tangannya.
Sebagai seorang Pendekar, ia gatal-gatal tangannya melihat ilmu pedang orang lain begitu bagusnya tanpa mengujinya. Secepat kilat ia melompat maju dan menyambar sebatang pedang dari tangan seorang pelayan. Bayangan merah berkelebat ketika Li Cu dengan pedang di tangan melompat ke arah gadis yang mengejar Yok-Mo tadi. Mereka kini berhadapan, seakan-akan saling mengukur kepandaian dan kecantikan masing-masing dengan sinar mata mereka yang bening. Memang keduanya sebaya, keduanya cantik jelita dan anehnya keduanya berpakaian serba merah! Hanya bedanya, gadis pengejar Yok-Mo ini sepasang matanya indah menyinarkan cahaya yang diliputi kelembutan dan kedukaan, sebaliknya sinar mata Li Cu penuh semangat dan keangkeran. Dalam hal kecantikan, keduanya memiliki sifat-sifat tersendiri, keduanya menarik dan jelita.
"Kau cantik..."
Li Cu mengetuarkan pujian. Gadis itu menggerakkan pedangnya ke bawah dah mencoret-coret ke atas tanah. Tampak beberapa huruf indah di atas tanah itu dan ketika Li Cu membacanya, ternyata huruf-huruf itu berbunyi,
"Kau lebih cantik lagi!"
Cia Li Cu terheran. Kenapa orang ini tidak bicara, sebaliknya menyatakan pendapatnya dengan bentuk tulisan. Betapapun juga, ia kagum melihat gerakan pedang ketika membuat coretan-coretan itu, karena semua itu dilakukan dengan gerakan ilmu pedang yang tinggi.
"Bi Goat, sudah kau tangkap Setan Obat itu?"
Tiba-tiba terdengar suara parau bertanya dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang Kakek kecil kurus berpakaian serba putih. Gadis itu yang bukan lain adalah gadis gagu Kwee Bi Goat, menoleh kepada Kakek ini lalu menggeleng kepala sambil mengerling ke arah Yok-Mo yang masih bersembunyi di belakang Cia Hui Gan.
"Ha-ha-ha, agaknya Si Raja Pedang melindungi Setan Obat!"
Kata Kakek itu yang ternyata adalah Song-Bun-Kwi.
"Hemmm, Song-Bun-Kwi Kwee Lun. Kiranya kau yang muncul ini! Pantas saja begitu kau muncul terjadi kekacauan di sini. Ketahuilah, tidak sekali-kali kami melindungi Setan Obat, hanya karena dia pada saat ini menjadi tamuku untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang,maka terpaksa sebagai tuan rumah aku tidak mengijinkan orang mengganggu tamuku. Song-Bun-Kwi, apakah kedatanganmu hanya untuk mengejar Yok-Mo?. Kalau begitu halnya, harap kau turun gunung lagi dan menanti saja Yok-Mo di bawah gunung. Kalau kau juga menghadiri perebutan gelar, kau pun menjadi tamuku dan silahkan kau duduk!"
"Ha-ha-ha, Bu-Tek Kiam-Ong, setelah menjadi Raja Pedang kau ternyata sombong sekali. Kau tidak bedanya dengan orang-orang yang begitu menduduki tempat tinggi lalu lupa kepada asalnya, berubah menjadi manusia sombong yang mengira diri sendiri paling pandai, paling besar dan paling berkuasa. Kedatanganku bersama muridku ini memang hendak menangkap Yok-Mo dan sekalian hendak merebut gelar Raja Pedang. Bi Goat, kau lanjutkan permainanmu, kau coba ilmu anak Raja Pedang itu!"
Bi Goat menggerakkan pedangnya, demikian pula Li Cu yang sudah bersiap sedia. Gerakan Pedang Li Cu amat indahnya seperti seorang bidadari kahyangan sedang menari. Sebaliknya, gerakan Bi Goat cepat dan keras, mendasarkan gerakannya pada kekuatan dan kekerasan serta kecepatan.
Segera dua orang gadis ini sudah saling serang. Terdengar bunyi tang-ting-tang-ting dan Bunga api berhamburan. Diam-diam kedua orang gadis ini kaget dan harus mengakui kelihaian lawan masing-masing. Sementara itu, Song-Bun-Kwi dengan penuh perhatian menonton puteri atau muridnya mainkan Ilmu Pedang Yang-Sin Kiam-sut menghadapi ilmu pedang lawan yang benar-benar amat hebat dan indah itu. Juga Cia Hui Gan sambil bertolak pinggang menonton dengan kagum. Baru kali ini semenjak dia menjadi Raja Pedang dia melihat ilmu pedang yang tak dikenalnya dan hebat pula, malah banyak sekali tanda-tanda bahwa ilmu pedang gadis gagu itu mempunyai sumber yang sama dengan ilmu pedangnya sendiri. Karena ini dia memandang penuh perhatian, penuh keheranan dan penuh penyelidikan.
"Heeei, Song-Bun-Kwi iblis tua bangka, kau mau borong sendiri gelar Raja Pedang?"
Begitu kumandang suara lenyap, muncul orangnya. Seorang nenek yang masih kelihatan cantik genit, seorang Kakek bertangan baju panjang dan tertawa-tawa nakal, diikuti oleh seorang wanita cantik berpakaian indah pesolek dan seorang laki-laki muda bermuka pucat. Mereka ini adalah Hek-Hwa Kui-Bo, Siauw ong-kwi, Kim-Thouw Thian-Li dan Giam Kin. Melihat munculnya Hek-Hwa Kui-Bo, cepat sekali Song-Bun-Kwi memerintah puterinya,
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bi Goat, mundur kau"
Bi Goat cepat menarik kembali pedangnya, melompat dan berdiri di sebelah kiri Ayahnya. Sementara itu Cia Hui Gan sibuk menerima para tamu karena di belakang empat orang ini muncul pula tamu-tamu lain. Makin tinggi matahari naik, makin banyak para tamu datang di tempat itu. Partai-Partai persilatan besar hadir pula, diwakili beberapa orang jagonya, ada pula yang membawa pengikut sampai puluhan orang anak murid yang perlunya untuk memberi suara dan menambah semangat.
Tampak hadir wakil-wakil dari Partai Siauw-Lim-Pai, dari Go-Bi-Pai, Thai-San-pai, dan lain-lain Partai. Bahkan Ketua Hoa-San-Pai, Lian Bu Tojin dan Ketua Kun-Lun-Pai Pek Gan Siansu, berkenan hadir juga. Dua orang Kakek ini sekarang telah menjadi anggauta-anggauta pejuang yang gigih, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tentu saja mereka tidak mau melewatkan kesempatan ini, menyaksikan perebutan gelar Raja Pedang. Yang ikut dengan Lian Bu Tojin hanyalah Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Adapun Pek Gan Siansu diikuti oleh Bun Lim Kwi. Semua pendatang ini terheran-heran melihat adanya Lee Giok di fihak tuan rumah, akan tetapi oleh karena di situ terdapat banyak tamu, pula karena kedatangan mereka hanya berhubungan dengan akan diadakannya perebutan gelar,
Maka mereka tidak mendapat kesempatan membuka mulut. Adapun Lee Giok tanpa ragu-ragu lagi menyambut semua orang penuh penghormatan di samping Li Cu. Yang kegirangan adalah Giam Kin. Kali ini tidak saja dia dapat melihat gadis pujaannya, Thio Bwee, akan tetapi juga mendapat kesempatan mengagumi sekian banyaknya gadis-gadis cantik jelita sehingga berkali-kali mulutnya berkemak-kemik, dan matanya diobral ke sana ke mari sehingga kadang-kadang dia ditempur Oleh pandang mata Kim-Thouw Thian-Li. Banyak benar tamu di Thai-San kali ini. Muncul pula di situ Ban-Tok-Sim Giam Kong, Hwesio Tibet hitam tinggi besar yang memegang tongkat Hwesio besar dan berat. Hwesio ini biarpun datang dari Tibet, akan tetapi sudah amat terkenal di daratan Tiongkok karena dia pun seorang tokoh yang anti Mongol dan ilmu silatnya hebat.
Juga muridnya, Koai Atong, amat terkenal, akan tetapi anehnya pada saat itu Koai Atong tidak kelihatan hadir. Selain Kakek ini, hadir pula Thai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang bersama muridnya, Thio Eng. Begitu memasuki ruangan dan bertemu pandang dengan Bun Lim Kwi yang agaknya memang dicari-cari dengan sudut matanya, wajah gadis ini menjadi kemerahan, begitu pula wajah Lim Kwi. Hadirnya Thai-Lek-Sin Swi Lek Hosiang memperlengkap para, tokoh besar di situ karena sekarang hadirlah semua tokoh nomor satu. Dari Barat, Song-Bun-Kwi. Tokoh nomor satu dari Timur, Swi Lek Hosiang. Tokoh nomor satu dari Utara, Siauw-Ong-Kwi, dan tokoh nomor satu dari Selatan, Hek-Hwa Kui-Bo! Melihat sekian banyaknya tokoh besar yang hadir, diam-diam Cia Hui Gan terkejut dan bangga.
Kali ini jauh lebih banyak jago-jago datang dari empat penjuru untuk memperebutkan gelar Raja Pedang. Untuk melawan mereka mengandalkan kepandaian, dia merasa amat berat karena maklum bahwa tingkat mereka itu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Akan tetapi kalau yang dimaksud ini pertandingan ilmu pedang, dia boleh merasa yakin akan menang. Ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan telah dikenalnya semua dan kiranya tidak akan ada yang dapat menangkan ilmu pedangnya, Sian-Li Kiam-sut. Hanya agak gelisah juga hatinya kalau dia teringat akan gerakan ilmu pedang yang dimainkan gadis gagu tadi. Setelah rombongan tamu berhenti, Cia Hui Gan berdiri dan mengucapkan pidato sambutan singkat. la menghaturkan selamat datang kepada semua tamu lalu ditambahkannya keterangan tentang pertandingan.
"Siauwte sudah terlalu tua untuk main gila memperebutkan gelar kosong Raja Pedang. Oleh karena itu Siauwte hendak memberi kesempatan kepada yang muda-muda dan yang masih haus akan gelar itu. Siauwte mengadakan tiga macam peraturan. Para peserta harus mempelihatkan ilmu pedangnya lebih dulu untuk dinilai, kemudian siauw-te mengajukan jago yang sekiranya akan dapat mengalahkannya. Di fihak kami ada tiga tingkat, yaitu pertama tingkat terendah adalah murid-murid Siauwte yang juga menjadi pelayan di Thai-San, jumlahnya dua belas orang. Peserta yang Siauwte anggap masih rendah tingkatnya, akan dilayani oleh dua belas orang pelayan itu. Kalau dia menang, barulah dia akan berhadapan dengan murid Siauwte yang termuda, yaitu Lee Giok. Setelah dapat memenangkan Lee Giok, barulah akan berhadapan dengan anak Siauwte sendiri Cia Li Cu. Sayang bahwa murid kepala Siauwte tidak hadir di sini karena sedang bertugas. Jika ada peserta muda dapat mengalahkan Li Cu, kemudia mengalahkan murid kepala Siauwte apabila dia datang, maka dia berhak menerima gelar Raja Pedang dari kami. Tentu saja para Cianpwe boleh pula maju, dan tentu saja lawannya adalah Siauwte sendiri."
Ucapan ini jujur, singkat dan juga penuh tantangan sehingga membikin jerih hati beberapa orang yang hadir. Akan tetapi mereka yang merasa dirinya berkepandaian, menjadi penasaran juga. Cia Hui Gan tidak mempedulikan reaksi para tamunya, malah mempergunakan kesempatan itu untuk menyatakan maksud sesungguhnya daripada pertemuan itu.
"Cu-wi sekalian yang mulia. Memperebutkan gelar adalah perbuatan bodoh dan gelar adalah kosong melompong, tidak berjiwa. Apa artinya kita semua ini mempelajari kepandaian sampai berpuluh tahun? Apakah hanya berebutan gelar kosong belaka? Apa artinya kalau kepandaian kita tidak dipergunakan untuk menbuat jasa terhadap tanah air? Cuwi sekalian, sekarang tanah air sedang terancam bahaya, perjuangan suci sedang bergolak, kalau kita tidak mempergunakan kepandaian untuk mengabdi pada nusa dan Bangsa, alangkah kecewanya!"
"Cia Hui Gan! Urusan perebutan gelar jangan kau campur adukkan dengan urusan pemberontakan!"
Hek-Hwa Kui-Bo mencela dengan suaranya yang nyaring dan galak. Cia Hui Gan tersenyum.
"Mengapa tidak? Selama kita masih menginjak tanah air, masih menghirup hawa udara tanah air, kita harus memperjuangkan kesuciannya. Begitu baru bisa disebut orang gagah."
"Apa-apaan semua pidato kosong ini? Aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sian-Li Kiam-sut dari Raja Pedang!"
Orang yang berkata ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi kurus, di tangan kanannya sudah memegang pedang yang tajam berkilau. Dia ini adalah Bhe Liong, seorang jago pedang anak murid Bu-Tong-Pai yang berwatak kasar dan mau menang sendiri.
"Raja Pedang, kau boleh menilai permainan pedang Bu-Tong-Pai ini!"
Pedangnya diputar cepat sampai mengeluarkan suara mengiung-ngiung. Melihat beberapa jurus saja, Cia Hui Gan tersenyum lalu memberi tanda kepada dua belas orang pelayannya.
"Kalian layani Bhe-Taihiap ini."
Bagaikan barisan yang diatur, dengan gerak lincah seperti kupu-kupu melayang-layang sehingga para pelayan yang beraneka warna pakaiannya ini kelihatan seperti penari-penari indah, sebentar saja orang she Bhe telah dikurung di tengah-tengah.
"Silahkan, Bhe-Taihiap,"
Seorang pelayan yang paling cantik berkata. Bhe Liong tertegun, agak malu juga dikurung oleh gadis-gadis cantik itu yang ketika dekat telah menyiarkan ganda harum. Namun karena dia hendak memperlihatkan kepandaian dan kalau mungkin merebut gelar Raja Pedang, dia sudah memutar pedangnya dan berkata,
"Hati-hati kalian!"
Ilmu pedang Bu-Tong-Pai memang boleh dibilang tinggi juga tingkatnya, dan ternyata ilmu pedang orang she Bhe ini tidak rendah. Akan tetapi, dia sekarang dikurung oleh Sian-li Kiam-tin (Barisan Pedang Bidadari), dua belas orang pelayan itu bergerak berbareng dan berlari-lari mengitari dirinya. Pedang di tangan dua belas orang pelayan itu silih berganti menyerangnya, kalau menangkis juga sekaligus ada empat pedang menangkisnya, maka biarpun Bhe Liong lebih kuat tenaganya dan lebih gesit gerakannya, dia sebentar saja sudah menjadi pening. Lewat tiga puluh jurus, permainannya kacau dan beberapa guratan pedang di lengannya membuat dia terpaksa melepaskan pedangnya, melompat keluar dari kalangan dan kembali ke rombongan Bu-Tong-Pai sambil berseru,
"Lihai sekali. Aku terima kalah!"
Para tamu tertawa, akan tetapi ada pula yang memuji sifat orang she Bhe ini yang biarpun kasar namun jujur dan tidak malu-malu mengakui kekalahannya. Setelah orang she Bhe ini, maju lagi beberapa orang, ada yang dilayani oleh dua belas orang pelayan, ada pula yang dilayani oleh Lee Giok, tapi kesemuanya dikalahkan dengan mudah. Kim-Thouw Thian-Li berbisik-bisik kepada Giam Kin. Pemuda muka pucat ini tertawa lalu meloncat maju menghadapi Lee Giok yang baru saja mengalahkan seorang jago dari Thai-San-pai dengan susah payah. Sambil menyeringai dan cengar-cengir Giam Kin berkata,
"Nyonya Liong... eh, Ji-Enghiong... eh, salah lagi, nona Lee Giok. Kiranya kau adalah murid dari Raja Pedang! Pantas saja kau berani banyak lagak di Kota Raja. Hemmm, kebetulan sekali kita bertemu dl sini, biarlah aku mencoba kepandaianmu!"
Sambil berkata demikian, dia mencabut keluar sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang suling di tangan kiri. Angin bertiup dan Cia Hui Gan sudah berdiri di depan pemuda itu dengan sikap keren.
"Giam Kin, aku tahu kau murid Siauw-Ong-Kwi! Akan tetapi kalau kedatanganmu hanya untuk mengacau, aku orang she Cia tidak takut untuk mengusirmu. Hanya yang ingin berlumba ilmu pedang boleh bertempur."
"He-he-he, aku pun ingin jadi Raja Pedang!"
"Tapi pertandingan ini hanya terbatas dalam ilmu pedang, dan kau bersenjata suling beracun."
"Eh, suling ini hanya pelengkap saja.
"Ha-ha-ha, Raja Pedang! Kalau kau takut terhadap suling muridku, jangan berani pakai gelar Raja Pedang segala. Kalau muridmu Lee Giok itu takut menghadapi muridku, suruh dia bersembunyi di dapur. Ha-ha-ha!"
Siauw-Ong-Kwi yang nakal wataknya itu mengejek, membuat banyak orang tertawa. Cia Hui Gan berpaling kepada Lee Giok dan melihat sinar mata muridnya penuh kemarahan.
"Lee Giok, ilmu pedangnya sih tidak seberapa, tapi kau hati-hatilah terhadap sulingnya."
"Teecu tak akan mengecewakan Suhu,"
Jawab Lee Giok sambil memutar pedangnya. Giam Kin tertawa lagi dan segera dua orang ini bertempur dengan seru. Akan tetapi segera ternyata bahwa Lee Giok
(Lanjut ke Jilid 26 - Tamat)
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26 (Tamat)
bukanlah lawan Giam Kin. Sebentar saja ia amat terdesak dan baiknya Giam Kin adalah seorang pemuda mata keranjang. Melihat kecantikan Lee Giok, tentu saja hatinya tidak tega untuk melukai nona ini. Andaikata Lee Giok bukan seorang wanita, tentu dalam belasan jurus saja Giam Kin sudah menjatuhkan tangan keji. Sekarang Giam Kin hanya cengar-cengir sambil menggoda, mengeluarkan kata-kata yang kotor tidak sopan.
"Ehm, begini saja kepandaian Ji-Enghiong? Kalau kau benar-benar seorang Nyonya Liong yang tua dan buruk, tentu pedangku sudah akan menabas lehermu. Tapi kau... hemmm, sayang kalau terluka lecet kulitmu. Kalau aku menjadi Raja Pedang, kau akan kujadikan selir Raja Pedang, maukah? Heh-heh-heh!"
"Si keparat bermulut kotor!"
Tiba-tiba dari fihak Hoa-San-Pai melompat keluar seorang pemuda yang bukan lain, adalah Thio Ki adanya. Pemuda yang patah hati karena tak terbalas cinta kasihnya oleh Kwa Hong ini semenjak melihat munculnya Lee Giok di Hoa-San dahulu, telah amat tertarik oleh gadis ini. Menyaksikan kegagahan Lee Giok, apalagi mendengar bahwa Lee Giok adalah "Ji-Enghiong,"
Sekaligus timbul kagum dan sukanya. Malah kenyataan bahwa dengan berterang Lee Giok mengaku cinta kepada Kwee Sin tidak mengurangi rasa sukanya. Sekarang melihat gadis ini dipermainkan Giam Kin, hatinya menjadi panas dan tak dapat menahan kesabarannya pula, dengan pedang di tangan dia menyerbu dan langsung menyerang Giam Kin dengan serangan maut.
Pada saat itu, Giam Kin sedang mendesak Lee Giok dan telah mengirim tusukan yang ditujukan untuk merobek pakaian sebelah atas gadis itu. Lee Giok sudah terkejut sekali dan maklum bahwa ia akan menderita malu yang bukan main besarnya andaikata serangan ini berhasil dan bajunya akan terobek ujung pedang. Maka ia merasa berterima kasih ketika tiba-tiba Thio Ki melompat dan menyerang Giam Kin sehingga pemuda muka pucat ini terpaksa menarik kembali serangannya dan dengan marah menghajar Thio Ki dengan sebuah tendangan kilat. Kepandaian Thio Ki masih kalah jauh oleh Giam Kin, maka tendangan itu merobohkannya. Namun, dengan nekad Thio Ki bangkit kembali dan dengan kaki terpincang-pincang dia menerjang lagi, tidak memberi kesempatan kepada Giam Kin untuk mendesak Lee Giok.
"Thio Ki, kau mundur!"
Dari tempat duduknya Lian Bu Tojin menegur muridnya.
"Li Cu, kau hadapi manusia sombong itu!"
Cia Hui Gan memerintah puterinya.
"Orang she Giam! Biarpun kau sudah mengalahkan Enci Lee Giok, jangan kira kau boleh bersombong dan sudah menjadi Raja Pedang. Lihat pedangku!"
Cia Li Cu menggerakkan sebatang pedang yang ia pinjam dari pelayannya. Gerakannya cepat sehingga sinar pedangnya menyilaukan mata. Giam Kin cepat melompat mundur dan memutar senjatanya pula. Hatinya berdebar-debar tidak karuan menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari lawan barunya. Sementara itu, Thio Ki dan Le Giok mundur keluar dari kalangan pertempuran.
"Thio-Enghiong, terima kasih atas pertolonganmu."
Kata Lee Giok sambil menjuru.
"Ah, tidak apa, Nona. Untuk membantumu yang gagah dan mulia, biar berkorban nyawa aku Thio Ki akan rela! Ucapan yang terang-terangan bersifat pernyataan cinta ini membuat nona Lee Giok menjadi merah wajahnya dan cepat mundur ke dekat Suhunya, dan Thio Ki juga mundur ke rombongannya sendiri.
Pertempuran kali ini hebat sekali. Biarpun Giam Kin adalah murid utama dari Siauw-Ong-Kwi dan kepandaiannya pun tinggi, namun menghadapi Ilmu Pedang Sian-Li Kiam-sut dari Li Cu, dia repot bukan main. Sudah kalah murni ilmu pedangnya, ditambah lagi kecantikan lawan membuat dia kacau pikirannya. Dalam jurus ke lima puluh, sulingnya kena dibabat putus dan lengan kanannya tergores pedang. Tanpa malu-malu lagi Giam Kin melompat mundur dan lari mendekati Gurunya. Sorak-sorai menyambut kemenangan nona rumah ini. Siauw-Ong-Kwi menjadi pucat mukanya dan sudah berdiri hendak maju sendiri menghadapi Cia Hui Gan untuk menebus kekalahan muridnya. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan merah dan Bi Goat si gadis gagu sudah berdiri berhadapan dengan Li Cu dengan pedang di tangan! Semua penonton tertegun menyaksikan dua orang nona yang sama-sama berpakaian merah dan keduanya cantik jelita ini.
"Bagus, sekarang baru ramai!"
Toat-Beng Yok-Mo bertepuk-tepuk dan bersorak gembira sambil melangkah maju untuk mencari tempat duduk lebih dekat supaya enak menonton. la sudah seringkali menghadapi ilmu pedang Bi Goat dan merasa ngeri karena kehebatan Yang-Sin Kiam-sut dan sekarang melihat Bi Goat hendak bertanding melawan Cia Li Cu, dia merasa gembira sekali. Cia Li Cu tersenyum dan bukan main manis wajahnya ketika ia tersenyum.
"Eh, adik gagu, apakah kau juga hendak merebut gelar Raja Pedang?"
Bi Goat yang mengerti kata-kata orang, menggeleng kepala, hanya menudingkan pedangnya ke arah Toat-Beng Yok-Mo yang seketika menjadi pucat. Kembali Cia Li Cu tersenyum.
"Ah, jadi kau penasaran karena Yok-Mo itu? Dengarlah, adik yang manis. Kalau sudah selesai pertemuan ini, kau boleh saja mengejar dia dan boleh kau bacok putus lehernya, mana sudi aku ikut campur? Tapi sekarang karena dia seorang tamu, kau tidak boleh mengganggunya."
Di dalam hatinya Li Cu amat suka dan kasihan kepada Bi Goat, maka bicaranya manis.
"Bi Goat, lekas serang, jangan bikin malu orang tua."
Terdengar Song-Bun-Kwi berkata dan kagetlah banyak orang mendengar ini. Baru mereka tahu bahwa gadis cantik yang gagu ini kalau bukan anak tentulah murid Song-Bun-Kwi. Gembira hati mereka karena sebagai murid Song-Bun-Kwi yang sudah mereka ketahui kesaktiannya, gadis gagu itu tentu lihai sekali dan pertandingan ini tentu akan hebat. Akan tetapi, siapa duga, begitu Bi Goat menggerakkan pedangnya menyerang dan ditangkis Li Cu, terdengar suara nyaring dan pedang Li Cu patah menjadi dua!
Banyak orang menahan napas karena kalau dalam pertandingan ilmu pedang sampai ada pedang yang terpatahkan, maka orang itu boleh dianggap kalah. Wajah Li Cu agak pucat dan terdengar jerit tertahan dari para pelayannya. Akan tetapi Bi Goat sama sekali tidak menyerang lagi. Gadis gagu ini dengan wajah tenang memberi isyarat dengan tangannya agar supaya Li Cu mempergunakan pedang baru. Merah wajah Li Cu karena malu, akan tetapi diam-diam ia memuji kehalusan budi lawannya. Sekarang ia maklum bahwa lawannya menggunakan pedang pusaka yang ampuh dan kuat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menggerakkan tangan kanan. Sinar menyilaukan berkelebat ketika pedang Liong-Cu-Kiam yang pendek tercabut dari sarungnya. Yang panjang masih tinggal di dalam sarung. Semua orang kaget dan kagum sekali, terdengar golongan tua berbisik,
"Inikah Liong-Cu Siang-Kiam?"
"Bi Goat, hati-hati jangan sampai beradu pedang!"
Song-Bun-Kwi berseru kepada anaknya. Akan tetapi mana Bi Goat mau percaya bahwa pedangnya akan kalah oleh pedang lawan? la telah menyerang lagi dan dua orang gadis berbaju merah ini sebentar saja sudah bertanding hebat. Makin lama makin cepat gerakan mereka sampai lenyap tergulung dua sinar pedang. Yang nampak hanya dua bayangan merah terbungkus oleh dua gulungan sinar pedang yang keemasan dan keperakan, segulung putih berkilau, yang lain kuning emas. Semua tamu menahan napas, kagum sekali menyaksikan dua ilmu pedang yang hebat ini. Juga Cia Hui Gan menahan napas. Makin lama dia makin terheran, kemudian berseru.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo