Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 4


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Besok pagi-pagi kau sudah boleh mendatangi Kakek The,"

   Kata Phoa Ti girang.

   "Nanti dulu, Kakek Phoa Ti yang baik. Aku sudah berjanji membantumu, dan aku sudah menurut segala kehendak kalian dua orang kekek tua. Akan tetapi, sudah sepatutnya kalau aku mendengar pula apa sebabnya maka kalian bermusuhan, bahkan di tepi lubang kubur masih bertanding ilmu?"

   Kakek itu bernapas panjang.

   "Lekas kau berlutut, hanya sebagai muridku kau boleh mendengar ini. lekas sebelum berubah lagi pendirianku."

   Karena merasa suka kepada Kakek ini Beng San tidak keberatan untuk menjadi murid, maka dia lalu memberi hormat.

   "Teecu Beng San, mulai saat ini menjadi murid Suhu Phoa Ti,"

   Katanya. Agaknya Kakek itu tidak begitu menaruh perhatian buktinya dia tidak heran mendengar anak ini tidak menyebutkan she (nama keturunan). Lalu dia menceritakan keadaannya dan keadaan The Bok Nam yang sampai mati tidak mau mengalah terhadapnya itu.

   "Aku dan Kakek The Bok Nam itu sebelumnya dahulu adalah dua sekawan yang amat karib dan kami berdua di dunia kang ouw pada dua puluhan tahun yang lalu terkenal dengan julukan Thian-Te Siang-Hiap (Sepasang Pendekar Langit dan Bumi),"

   Demikian Kakek Phoa Ti mulai dengan ceritanya. Lalu ia melanjutkan ceritanya seperti berikut. Dua orang sekawan ini memiliki kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat.

   The Bok Nam adalah seorang tokoh dari Selatan, sudah mempelajari segala macam ilmu silat Selatan,

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   sebaliknya Phoa Ti adalah ahli silat dari Utara yang juga sudah mempelajari seluruh ilmu silat Utara. Setelah keduanya bertemu dan menjadi sahabat yang amat karib, keduanya lalu bertukar ilmu silat, saling mengajar sehingga keduanya akhirnya menjadi sepasang jago silat yang jarang tandingannya di dunia kang ouw. Karena kedua orang ini tukar menukar ilmu silat, maka dalam hal kepandaian mereka dapat dikatakan setingkat. Pada masa mereka masih jaya, di dunia kang ouw tidak ada orang yang berani menentang Thian-Te Siang-Hiap, tentu saja ada kecualinya, yaitu tokoh-tokoh besar ilmu silat yang jarang muncul di dunia yang pada waktu itu sampai sekarang di kenal sebagai empat datuk persilatan dari Barat, Timur, Utara dan Selatan.

   Mereka ini adalah Hek Hwa Kui Bo sebagai Siluman dari Selatan. Dari Utara adalah Siauw-Ong-Kwi (Setan Raja Kecil) yang amat jarang dilihat manusia lain. Jagoan nomor satu dari Timur adalah Tai Lek Sin Swi Lek Hosiang, yang seperti julukannya Tai Lek Sin (Malaikat Geledek) merupakan tokoh yang ditakuti. Adapun orang keempat sebagai Raja tokoh Barat adalah Song Bun Kwi (Setan Berkabung) yang seperti juga yang lain kecuali Swi Lek Hosiang, tidak diketahui nama aslinya. Empat orang ini semenjak puluhan tahun tidak pernah memasuki dunia ramai, namun harus diakui bahwa di antara tokoh-tokoh besar persilatan, belum pernah ada yang berani mengganggu mereka dan mereka selalu masih dianggap sebagai empat tokoh besar yang tak terlawan.

   Barulah pada dua puluh tahun yang lalu, empat orang tokoh besar ini keluar dari tempat pertapaan atau tempat persembunyian mereka untuk memperebutkan sebuah Kitab pelajaran ilmu pedang peninggalan dari guru besar Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Lu Kwan Cu si Pendekar sakti pada jaman lima ratus tahun yang lalu. Pendekar sakti Bu Pun Su ini adalah pewaris asli daripada ilmu silat yang tiada bandingannya, yaitu Kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng dan pada lima ratus tahun yang lalu, Pendekar sakti ini, sebelum meninggal dunia meninggalkan sebuah Kitab ilmu pedang yang bernama Im-Yang-Sin Kiam-sut. Kitab ini tak pernah terjatuh ke tangan orang lain karena disimpan di dalam sebuah gua dalam bukit yang tersembunyi.

   Setelah bukit itu longsor pada dua puluhan tahun yang lalu, barulah batu-batu besar penutup gua itu ikut runtuh ke bawah dan tampak guanya. Seorang penggembala domba memasuki gua itu dan mendapatkan Kitab Im-Yang-Sin Kiam-sut tadi tanpa mengerti apa isi Kitab dan apa gunanya. Akhirnya secara kebetulan sekali seorang jago silat dari golongan penjahat mendapatkan Kitab ini. kepandaiannya masih terlampau rendah untuk dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini, akan tetapi Lui Kok, jago silat yang sombong ini, membual dan memamerkan penemuannya itu di dunia kang ouw. Hal ini sama dengan mencari penyakit sendiri bagi Lui Kok. Mulailah para jago silat memperebutkan Kitab ini. hal ini tidak aneh. Siapakah diantara para jago silat yang tidak pernah mendengar nama besar Pendekar sakti Bu Pun Su Lu Kwan Cu?

   Bahkan empat tokoh besar dari Timur, Barat Utara dan Selatan itu pun sampai keluar dari tempat persembunyian mereka ketika mereka mendengar bahwa telah ditemukan Kitab pelajaran ilmu pedang dari Bu Pun Su. Padahal urusan besar apapun juga yang terjadi di dunia kang ouw tak mungkin akan menarik hati empat tokoh besar itu. Akan tetapi kedatangan empat besar ini terlambat. Kitab di tangan Lui Kok telah dirampas orang lain dan Lui Kok telah terbunuh. Tak seorang pun tahu siapa pembunuh Lui Kok dan siapa yang merampas Kitab itu. Dengan kecewa empat besar itu kembali ke tempat masing-masing, tentu saja selama itu mereka selalu mendengar-dengar kalau ada orang muncul dengan Kitab yang mereka ingin miliki itu. Siapakah pembunuh Lui Kok? Bukan lain orang adalah Thian-Te Siang-Hiap, dua sekawan itulah.

   Kitab itu mereka rampas dan Lui Kok mereka bunuh. Kebetulan sekali Kitab itu terdiri dari dua jilid, yaitu bagian Im-Sin-Kiam dan bagian Yang-Sin-Kiam. Karena tahu bahwa empat besar yang amat mereka takuti itu juga mencari-cari Kitab peninggalan Bu Pun Su, mereka lalu membagi dua Kitab itu, seorang memegang sejilid dan selama ini mereka diam saja, tak pernah mengeluarkan Kitab-Kitab itu. Memang sudah menjadi watak setiap orang manusia di dunia ini, selalu merasa berat dan sayang kepada diri sendiri, tidak mau kalah dan mengharapkan bahwa dirinya akan menjadi orang yang paling pandai, paling mulia, dan sebagainya. Demikian pula watak ini dimiliki pula oleh The Bok Nam dan Phoa Ti. Diam diam mereka mempelajari isi Kitab, The Bok Nam mempelajari bagian yang disimpannya yaitu bagian Yang-Sin-Kiam, sedangkan Phoa Ti mempelajari Im-Sin-Kiam.

   Sampai bertahun-tahun mereka mempelajari Kitab masing-masing akan tetapi alangkah kecewa mereka bahwa diantara dua Kitab itu ada hubungannya yang amat dekat. Hanya mengetahui Yang-Sin-Kiam saja tanpa mempelajari Im-Sin-Kiam, tak akan dapat mereka memperoleh inti sari daripada pelajaran Im-Yang-Sin Kiam-sut yang hebat itu. Memang betul bahwa dari Kitab-Kitab itu masing-masing telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat mereka, namun kepandaian Im-Yang-Sin Kiam-sut yang mereka inginkan itu tidak dapat mereka pelajari tanpa Kitab yang satu lagi. Demikianlah, mulai timbul persaingan diantara mereka yang tadinya menjadi sahabat karib. Dan hal ini pun sudah menjadi watak manusia. Banyak sudah peristiwa dalam hidup terjadi, dimana dua orang yang tadinya bersahabat karib, dapat menjadi retak persahabatan mereka oleh karena perebutan harta, kedudukan, kepandaian maupun cinta kasih.

   Padahal semua itu hanyalah akibat, akibat daripada sifat ingin senang sendiri dan ingin menang sendiri, pendeknya sifat egoistis yang menempel pada diri tiap orang manusia. Mula-mula Phoa Ti yang mendatangi sahabatnya dan minta pinjam Kitab. Akan tetapi The Bok Nam tidak mau memberikan, hanya mau kalau Kitab di tangan Phoa Ti itu diberikan dulu kepadanya untuk dipinjam, baru sesudah itu dia akan meminjamkan Kitabnya. Phoa Ti mengusulkan agar Kitab itu ditukar saja agar keduanya dapat mempelajari bersama, akan tetapi The Bok Nam yang tidak ingin dikalahkan oleh sahabatnya tidak setuju. Akhirnya terjadilah pertengkaran dan malah timbul persetujuan diantara mereka bahwa siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang berhak membaca kedua Kitab lebih dulu.

   Mulai saat itulah mereka sering kali mengadu ilmu, sampai berhari-hari. Akan tetapi tingkat mereka memang sama. Biarpun Phoa Ti sudah mempelajari Im-Sin-Kiam, akan tetapi The Bok Nam juga sudah mempelajari Yang-Sin-Kiam sehingga kepandaian mereka sama-sama memperoleh kemajuan yang hebat. Hal ini terjadi sampai dua puluh tahun, sampai mereka sudah menjadi Kakek-Kakek tetap saja tidak ada yang mau mengalah. Pada hari itu, mereka kembali mengadu kepandaian di atas jalan kecil yang diapit-apit oleh dua jurang. Akibatnya, saking hebatnya pertempuran mereka, keduanya terluka dan roboh terguling ke dalam jurang, seorang di kanan seorang di kiri sampai akhirnya Beng San datang dan anak ini mereka pergunakan untuk melanjutkan "Adu kepandaian"

   Itu.

   "Demikianlah, Beng San, muridku,"

   Phoa Ti menutup ceritanya kepada muridnya yang baru dia angkat, yaitu Beng San yang mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Baru sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa sampai terjadi persaingan seperti ini. The Bok Nam adalah seorang sahabat yang baik. Sayang, dia membiarkan keinginan timbul di hatinya, keinginan untuk menjadi orang yang terpandai."

   "Suhu (guru), apakah selama ini tokoh tokoh besar dari empat penjuru itu tidak pernah datang untuk merampas Kitab?"

   Tanya Beng San.

   "Tidak, kami amat rapat menyimpan rahasia ini, karena kami tahu betul bahwa kalau sampai empat tokoh besar itu muncul mengganggu kami, kami akan celaka. Hanya kalau kami atau seorang diantara kami sudah dapat mempelajari Im-Yang-Sin Kiam-sut, kiranya kami akan kuat menghadapi mereka."

   Beng San teringat akan Hek Hwa Kui Bo, maka dia lalu berkata,

   "Suhu, belum lama ini Teecu (murid) bertemu dengan Hek Hwa Kui Bo dan..."

   Tiba-tiba pucatlah muka Phoa Ti mendengar ini. dengan tangannya yang hanya sebelah itu dia memegang pundak Beng San dengan erat, lalu katanya.

   "Apa...? Dia...? Celaka... tentu dia sudah mendengar akan hal Kitab itu. Kalau tidak, tak mungkin dia muncul... coba kau ceritakan tentang pertemuan itu."

   Dengan singkat Beng San lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia berkerja di dalam Kelenteng sampai bertemu dengan berbagai pengalaman pahit itu. Gurunya mendengarkan dengan geleng kepala. Kemudian dia berkata sambil menarik napas panjang.

   "Tak salah lagi, tentulah setelah aku dan The Bok Nam mengeluarkan ilmu silat Im-Sin-Kian dan Yang-Sin-Kiam untuk mengadu kepandaian. Dia itu, Kuntilanak itu, tentu telah mendengar dan menduga bahwa kami berdua yang menyimpan Kitab Bu Pun Su Thai Sucouw. Lekas, hari sudah akan pagi. Kau harus usahakan betul supaya jurus-jurus yang kau pelajari itu dapat menangkan The Bok Nam agar dia suka memberikan Kitab Yang-Sin-Kiam kepadaku. Lekas jangan sampai terlambat. Kalau seorang diantara empat setan itu muncul, celakalah..."

   Demikianlah, Beng San melanjutkan tugasnya sebagai penguji kedua orang Kakek itu. The Bok Nam benar-benar hebat. Semua jurus yang dikeluarkan oleh Phoa Ti dia dapat memecahkannya, padahal jurus dari ilmu silat Khong Ji Ciang itu adalah jurus-jurus yang diciptakan oleh Phoa Ti berdasarkan Kitab Im-Sin-Kiam. Sebaliknya, Phoa Ti juga dapat memecahkan semua jurus yang dikeluarkan The Bok Nam, jurus-jurus ilmu silat Pat Hong Ciang yang inti sarinya diambil oleh orang she The itu dari Kitabnya, Yang-Sin-Kiam. Beng San adalah seorang anak yang amat cerdik. Sampai sepuluh hari dia menjadi penguji dan selama sepuluh hari itu dia sudah melatih diri dengan lima belas jurus dari Khong Ji Ciang dan lima belas jurus dari Pat Hong Ciang!

   Ia melihat betapa makin hari kedua orang Kakek itu makin lemah karena luka mereka dalam pertempuran itu memang hebat sekali. Apalagi sekarang dalam memberikan petunjuk kepada Beng San, mereka harus mengerahkan tenaga Lweekang. Yang senang hatinya adalah Beng San karena untuk menjalankan semua pelajaran jurus-jurus yang harus dia bawa kesana kemari ini mengandung hawa-hawa murni dari Yangkang dan Imkang, maka tentu saja kedua macam hawa yang amat memenuhi dadanya itu makin kuat dan makin dapat diatur. Gerakan-gerakan dalam melakukan jurus-jurus ilmu silat itu membuka jalan darahnya sehingga makin lama dia merasa tubuhnya enak dan kuat, bahkan kekurangan tidur dan makan tidak mengganggunya sama sekali. Pada hari kesebelas dia melihat Suhunya sudah amat lemah sampai jatuh pingsan ketika memberi petunjuk kepadanya.

   Beng San bingung. Ia tidak suka kepada Phoa Ti seperti juga ketidaksukaannya kepada The Bok Nam. Akan tetapi dia merasa kasihan kepada Phoa Ti yang sudah mengangkat dia sebagai murid, karena memang sikap Phoa TI lebih baik dan lebih lemah lembut daripada sikap The Bok Nam. Disamping tubuh Suhunya yang masih pingsan, Beng San duduk termenung, memutar otaknya. Tanpa sengaja dia mengingat-ingat kembali semua jurus yang sudah pernah dia pelajari dari kedua pihak dan tiba-tiba dia melihat persamaan-perasamaan tersembunyi di dalam jurus-jurus kedua pihak itu, persamaan yang kalau dipandang sepintas lalu dan dimainkan jurus-jurus ilmu silat nampaknya seperti bertentangan, namun sebetulnya dapat disatukan dan dapat disesuaikan. Phoa Ti siuman kembali menjelang fajar. Beng San segera mengemukakan pendapatnya.

   "Suhu, malam tadi Teecu teringat akan persamaan-persamaan yang aneh antara beberapa jurus ilmu silat Suhu dan Kakek The itu. Contohnya jurus kemarin itu, betapa samanya gerakannya, hanya dibalik saja, kalau jurus Suhu menggunakan tangan kiri, adalah jurus Kakek itu menggunakan tangan kanan. Kalau di waktu memukul dalam jurus Suhu harus menyedot napas, dalam jurus Kakek itu sebaliknya, meniupkan napas. Bukankah ada persamaannya yang tepat, hanya terbalik saja?"

   Sejenak Kakek yang sudah payah keadaannya itu termenung. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara seperti jeritan dan... dia memuntahkan darah segar dari mulut! Beng San cepat-cepat mengurut-urut punggung Kakek itu. Setelah agak reda napasnya, Kakek itu berkata lemah,

   "Aduh... kau hebat... aduh, aku bodoh sekali, Beng San. Kau benar... kau benar... itulah sebabnya mengapa harus mempelajari kedua Kitab itu, tidak boleh satu-satu. Bagus...! Sekarang kau pergilah kesana, pergunakan jurus yang kau latih kemarin, hanya sejurus, tapi cukup... kau balikkan kedudukan tangan dan tubuh, tapi kakimu kau ubah seperti yang pernah kau pelajari dari Hek Hwa Kui Bo, atau kau bikin kacau sesukamu, he-heh-he... hendak kulihat apakah dia masih bisa memecahkan penyerangan dari jurusnya sendiri yang dibikin rusak..."

   "Andaikata dia tidak dapat memecahkan jurus ini, lalu bagaimana Suhu?"

   "Dia... uhhhh... uuhh... dia harus menyerahkan Kitabnya..."

   Sukar sekali Phoa Ti mengeluarkan kata-kata karena napasnya amat sesak.

   "Lekaslah kau pergi..."

   Kakek ini hendak melontarkan tubuh Beng San seperti yang sudah-sudah ke jurang sebelah sana, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya bisa memberi isyarat dengan tangannya supaya Beng San memanjat sendiri ke tempat Kakek The Bok Nam. Beng San lalu memanjat tebing jurang dan dengan girang dia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya ringan dan mudah saja baginya memanjat tebing itu.

   Ketika dia tiba di atas, di jalan kecil yang dulu dilaluinya, dia telah bebas. Apa sukarnya kalau dia melarikan diri dari situ? Baik Kakek Phoa Ti maupun Kakek The Bok Nam tak akan dapat lagi menghalanginya. Kedua orang tua itu sudah terlampau lemah karena keparahan luka-luka mereka. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak ada keinginan di hari Beng San untuk melarikan diri. Malah dia ingin sekali melanjutkan tugasnya sebagai penguji karena dia mulai merasa tertarik oleh ilmu silat. Apalagi karena hasrat hatinya telah dibangkitkan oleh cerita Suhunya tentang Kitab Im-Yang-Sin Kiam-sut yang diperebutkan oleh semua ahli silat, termasuk empat besar itu. Ketika dia menuruni jurang dimana The Bok Nam berada, dia melihat Kakek ini keadaannya tidak lebih baik daripada Kakek Phoa Ti. Ia menyambut kedatangan Beng San dengan mata terbelalak, lalu dia memaksa tertawa.

   "Ha-ha-ha, tua bangka Phoa Ti sudah tak bertenaga lagi untuk melemparmu kesini, Beng San?"

   Biarpun mulutnya tertawa, namun diam-diam dia bersyukur juga. Andaikata Kakek Phoa Ti masih sanggup melemparkan Beng San, kiranya dia sendiri yang tak akan kuat menerima tubuh itu. Kemarin saja ketika dia menerima Beng San, kedua tangannya merasa pegal dan sakit-sakit karena terlampau banyak dia menggunakan tenaganya yang sudah hampir habis.

   "Bukan dia tak bertenaga,"

   Kata Beng San membela Suhunya.

   "Hanya aku sendiri yang mau memanjat, tak suka aku dilempar-lemparkan kesana kemari seperti bola."

   Kembali The Bok Nam tertawa dan dari sikap ini saja Beng San mengetahui bahwa keadaan Suhunya lebih buruk daripada Kakek tinggi besar ini.

   "Nah, ilmu cakar bebek apalagi yang kau bawa kali ini? lebih baik Phoa Ti mengaku kalah dan memberikan Kitabnya kepadaku."

   Pada saat itu terdengar suara Phoa Ti, suara yang parau sekali seperti babi mengorok,

   "The Bok Nam, seorang gagah sejati tak akan menarik kembali janjinya. Kalau engkau tidak bisa memecahkan jurusku, kau harus memberikan Kitab itu..."

   Tiba-tiba suara itu berhenti seakan-akan yang bicara dicekik lehernya. The Bok Nam menjadi pucat.

   "Celaka,"

   Katanya.

   "Kakek Phoa Ti diserang..."

   Tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya yang tadinya duduk bersimpuh terguling roboh. Beng San kaget sekali karena tadi samar-samar dia melihat cahaya putih berkelebat. Sekarang tahu-tahu disitu telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kecil kurus seperti tengkorak hidup. Orang ini usianya sudah enam puluhan tahun, mukanya pucat seperti mayat dan pakaiannya pun putih semua seperti orang sedang berkabung. Orang itu tertawa-tawa seperti orang gendeng. Beng San benar-benar heran sekali karena dia tadi tidak melihat orang itu melayang masuk, bagaimana tahu-tahu bisa berdiri disitu? Ketika dia melirik kearah The Bok Nam, Kakek tinggi besar ini memandang dengan mata terbelalak kepada mayat hidup itu.

   "Song... Bun Kwi (Setan Berkabung)... kau... kau curang..., menyerang orang yang terluka..."

   Akan tetapi The Bok Nam tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba orang tinggi kurus yang bermuka mayat itu sekali bergerak sudah sampai didekatnya dan diguling-gulingkannya tubuh The Bok Nam, kedua tangannya mencari-cari. Sebentar saja tangannya mencari-cari. Sebentar saja dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan mencabut keluar sebuah Kitab kecil dari dalam saku baju orang she The yang sudah tak berdaya itu. Semua ini berjalan cepat sekali sehingga Beng San hampir tak dapat mengikuti dengan matanya. Melihat betapa secara kejam dan kurang ajar sekali si muka mayat itu mempermainkan The Bok Nam, timbul kemarahan dalam hati Beng San. Dengan mata berkilat dia melompat maju dan menudingkan telunjuknya ke hidung si muka mayat.

   "Menyerang dan merampas barang orang yang sedang sakit, mana bisa disebut perbuatan gagah? Tak tahu malu sekali engkau, Song Bun Kwi!"

   Sikap dan kata-kata Beng San seperti sikap seorang tua memarahi-orang muda, maka tampak lucu sekali. Akan tetapi Song Bun Kwi terbelalak dan mengerikan sekali, matanya tiba-tiba hanya kelihatan putihnya saja seperti mata iblis! Beng San sampai bergidik ketakutan menyaksikan muka yang bukan seperti muka manusia lagi itu. Tiba-tiba setan berkabung itu tertawa, disusul suara orang seperti orang menangis dan akhirnya dia benar-benar menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja tangisnya terhenti dan dia berkata kepada Beng San,

   "Dua puluh tahun lebih tidak mendengar orang memaki dan memarahiku, tidak mendengar orang mencelaku. Ha, anak baik. Orang seperti kau inilah baru patut disebut orang."

   Setelah berkata demikian, dia menggerakkan kedua kakinya dan melesatlah sinar putih keluar dari jurang itu. Beng San melongo. Gerakan yang demikian cepat sampai seperti menghilang ini mengingatkan dia akan Hek Hwa Kui Bo. Diam-diam dia bergidik. Kenapa ada orang-orang berkepandaian sehebat itu sampai seperti iblis-iblis saja? Ia mendengar The Bok Nam mengeluh dan ketika menengok, dia melihat orang tua itu napasnya empas-empis. Tersentuh perasaan welas asihnya. Beng San segera berlutut, mengeluarkan daun obat yang sering kali dia dapat dari Suhunya, memeras daun itu dan memasukkannya kedalam mulut The Bok Nam. Kakek itu nampak heran, akan tetapi makan daun itu dan warna merah menjalar ke pipinya yang sudah pucat. Kemudian dia menghela napas panjang.

   "Dua puluh tahun berkukuh tidak mau memperlihatkan kepada sahabatku Phoa Ti, sekarang terampas Song Bun Kwi..., hemmmmm, ini namanya hukuman bagi si orang yang tidak ingat kepada sahabat baiknya..."

   Ia terengah-engah dan dari kedua matanya bercucuran air mata. Baru kali ini Beng San melihat Kakek yang keras hati ini menangis dan dia menjadi terharu.

   "Orang tua, dua puluh tahun Kitab itu berada di tanganmu, tentu sudah kau pelajari semua isinya. Terampas orang lain apa ruginya?"

   Tiba-tiba Kakek itu tampak bersemangat, matanya bercahaya.

   "Kau betul... eh, Beng San, kau betul... bantu aku duduk... eh, pukulan Setan Berkabung itu hebat..."

   Beng San membantu Kakek itu duduk bersila seperti tadi sebelum dia roboh terguling oleh pukulan jarak jauh Song Bun Kwi.

   "Lekas kau berlutut, kau sekarang menjadi muridku. Kau akan kuwarisi seluruh Yang-Sin-Kiam."

   Karena merasa kasihan kepada Kakek ini yang dia tahu dari perasaannya tak akan dapat hidup lebih lama lagi, Beng San lalu berlutut dan menyebut.

   "Suhu..."

   "Dengar baik-baik. Yang-Sin-Kiam hanya terdiri dari delapan belas pokok gerakan yang dapat dipecah menjadi ratusan jurus menurut bakat dan daya cipta orang yang telah mempelajarinya. Nah, kau hafalkan satu demi satu."

   "Nanti dulu, The Suhu. Teecu hendak melihat dulu keadaan Phoa Ti Suhu disana..."

   The Bok Nam tercengang.

   "Kau menjadi muridnya...? ah, betul sekali sahabatku she Phoa itu. Kau harus pula mewarisi Im-Sin-Kiam, begitu baru lengkap sehingga kelak ada tandingannya si Setan Berkabung..."

   Setelah mendapatkan persetujuan Kakek itu, Beng San lalu memanjat keatas untuk melihat Kakek Phoa Ti. Akan tetapi dia mendengar suara aneh yang melengking-lengking seperti suara orang menangis. Ketika dia tiba diatas dia melihat dua bayangan berkelebat diatas jalan kecil dan ternyata bahwa Song Bun Kwi sedang bertanding melawan Hek Hwa Kui Bo! Song Bun Kwi bersenjata sebuah suling yang mengeluarkan suara menangis itu, sedangkan Hek Hwa Kui Bo bersenjata Saputangan Suteranya.

   Pertempuran itu berjalan seru seperti dua ekor kupu-kupu beterbangan akan tetapi biarpun gerakan mereka begitu ringan seperti terbang saja, angin dari pukulan mereka menyambar-nyambar sehingga Beng San tak kuat menahan. Anak ini terguling dan dengan ketakutan dia bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil mengintai. Tidak lama kemudian pertandingan itu berlangsung karena keduanya sambil berkelahi sambil berlari-lari dan sebentar saja lenyaplah dari pandangan mata. Hanya suara tangis suling itu lapat-lapat masih terdengar dari jauh. Setelah suara suling itu pun lenyap, barulah Beng San berani muncul dan berlari-lari menuruni jurang. Hatinya berdebar penuh kegelisahan ketika dia melihat Phoa Ti sudah menggeletak dengan napas senin kemis. Ia cepat menubruk dan menolong, dan ternyata keadaan Kakek ini sama dengan keadaan The Bok Nam, terluka hebat oleh pukulan Hek Hwa Kui Bo.

   "Bagaimana, Suhu...?"

   Beng San berbisik ketika melihat Suhunya membuka mata.

   "Ah, celaka... celaka... Kitab Im-Sin-Kiam dirampas Hek Hwa Kui Bo..."

   Phoa Ti berkata lemah sambil meramkan mata, mukanya berduka sekali.

   "Beng San, nyawaku tak akan dapat tinggal lama lagi di tubuhku yang rusak dan terluka berat. Lekas kau bersiap, hendak kuturunkan kepadamu isi Im-Sin-Kiam yang terdiri dari delapan belas pokok gerakan..."

   Beng San tak mau banyak membantah. Melihat bahwa keadaan Phoa Ti lebih payah, dia cepat-cepat mempelajari ilmu silat pedang yang diturunkan Kakek itu kepadanya.

   Tentu saja dia hanya dapat menghafalnya, tidak dapat melatih secara baik karena tidak ada waktu baginya. Namun dengan mudah dia dapat mempelajari inti sarinya. Hal ini bukan hanya karena Beng San memang seorang anak yang cerdas akan tetapi terutama sekali karena dia pernah mempelajari jurus-jurus Khong Ji Ciang yang inti sarinya memang bersumber kepada Im-Sin-Kiam sehingga mudahlah baginya untuk menghafal pokok-pokok gerakan yang inti sarinya sudah dikenalnya itu. Betapapun juga, untuk menghafal delapan belas pokok gerakan itu dengan baik, dia harus mempergunakan waktu setengah bulan. Setelah tamat, keadaan Suhunya sudah payah sekali. Sebetulnya Beng San tidak tega meninggalkan Suhunya ini, maka setelah tamat, biarpun hatinya ingin sekali pergi ke The Bok Nam untuk menerima warisan Yang-Sin-Kiam, namun dia tidak mau pergi, menjaga dan merawat Suhunya.

   "Ah,... Puas hatiku... Im-Sin-Kiam sudah kau hafalkan semua... sayang... alangkah baiknya kalau kaupun dapat menghafal Yang-Sin-Kiam."

   "Suhu, sebetulnya Suhu The Bok Nam juga sudah mengangkat Teecu sebagai murid dan hendak menurunkan Yang-Sin-Kiam, akan tetapi... Teecu tidak tega meninggalkan Suhu seorang diri..."

   "Bagus! Anak bodoh, kenapa tidak bilang dari kemarin? Hayo kau lekas pergi kesana. Lekas...! Beng San tak dapat membantah dan ketika dia dengan gerakan ringan memanjat tebing, dia mendengar dibawah Suhunya itu tertawa-tawa gembira. The Bok Nam menerima kedatangan Beng San dengan merengut.

   "Hemmmm, murid apa kau ini? kenapa begitu lama tidak muncul?"

   Beng San menjatuhkan diri berlutut.

   "The Suhu, harap ampunkan Teecu yang lama tidak datang karena Teecu harus menghafalkan Im-Sin-Kiam dari Phoa Ti Suhu."

   Wajah yang muram itu menjadi terang.

   "Aha, kiranya sahabatku Phoa Ti juga sudah sadar dan insyaf. Siapa yang merampas Kitabnya?"

   Diam-diam Beng San kagum juga. Tanpa melihat Kakek ini sudah tahu bahwa Phoa Ti diserang orang dan dirampas Kitabnya.

   "Hek Hwa Kui Bo yang merampasnya, Suhu. Lalu dia menceritakan secara singkat apa yang dilihatnya ketika dia keluar dari jurang ini setengah bulan yang lalu. The Bok Nam menghela napas panjang.

   "Akan geger di dunia kang ouw dengan terampasnya Kitab-Kitab itu. Lekas, Beng San, kau pelajari Yang-Sin-Kiam..., aku sudah hampir tak kuat lagi."

   Demikianlah, kali ini Beng San mempelajari Yang-Sin-Kiam dari Gurunya yang kedua. Mungkin karena dia sudah menghafal Im-Sin-Kiam, kali ini dia mempelajari ilmu itu secara mudah.

   Baru sepuluh hari dia sudah dapat menghafal delapan belas pokok gerakan Yang-Sin-Kiam. Sementara itu pada hari kesebelasnya dia mendapati The Bok Nam sudah kaku dalam keadaan duduk bersila, sudah tak bernyawa lagi! Beng San kaget dan terharu sekali, menangis dengan sedihnya. Segera dia menggali lubang di jurang itu dengan kedua tangannya. Baiknya dia sudah melatih silat dan gerakan-gerakan itu menambah besar tenaga di tubuhnya, sudah dapat mempersatukan hawa Yang dan Im di tubuhnya maka tidak begitu sukarlah baginya untuk menggali lubang di tanah dasar jurang yang tidak keras itu. Setelah mengubur jenazah The Bok Nam dan berlutut beberapa lama, anak itu lalu meninggalkan jurang, menuruni jurang di seberang untuk menghadap Gurunya yang seorang lagi. Ia melihat orang tua itu rebah miring seperti biasa.

   "Phoa Suhu, Teecu sudah berhasil mempelajari..."

   Ia menghentikan kata-katanya karena melihat keadaan Suhunya yang diam tak bergerak. Cepat dia melompat mendekatinya dan...

   "Suhu..."

   Untuk kedua kalinya Beng San menangisi kematian seorang lagi yang amat disayang dan dihormatinya. Phoa Ti ternyata sudah meninggal dunia pula, agaknya belum lama dia mati karena tubuhnya masih baik.

   Seperti yang dia lakukan kepada jenazah The Bok Nam, Beng San juga mengubur jenazah Phoa Ti di dasar jurang itu. Ia memberi hormat di depan makam Suhunya, lalu dia memanjat jurang keluar dari situ. Diambilnya sebuah batu besar dan diletak akannya di pinggir jalan sebagai tanda pengenal. Tanpa tanda ini akan sukar sekali mencari dimana adanya jurang yang menjadi kuburan kedua orang tua itu, baru anak ini sadar bahwa dia tadi telah mengangkat sebuah batu yang amat besar dengan mudah saja! Ia kaget berbareng girang bukan main. Karena maklum bahwa pelajaran-pelajaran yang dia dapatkan dari kedua orang Kakek itulah yang mendatangkan tenaga besar dalam tubuhnya, dia mengingat-ingat semua pelajaran itu dengan baik dan sambil berjalan meninggalkan tempat itu dia berjanji kepada diri sendiri untuk melatih diri dengan semua jurus itu setiap kali ada kesempatan baginya.

   Seorang gadis cantik yang bepakaian sederhana duduk seorang diri pada malam hari terang bulan di belakang sebuah losmen. Taman Bunga kecil milik losmen itu lumayan juga dan keadaan tentu akan amat menyenangkan dan indah apabila orang tidak mendengar isak tangis perlahan, isak tangis tertahan-tahan. Gadis yang menangis perlahan itu bukan lain adalah Liem Sian Hwa, orang termuda dari empat orang gagah dari Hoa-San-Pai. Memang aneh kalau melihat gadis perkasa ini menangis. Sebagai seorang pendekar wanita yang amat terkenal namanya, biarpun seorang wanita, tangis merupakan sebuah hal yang dipantangnya, amat memalukan baginya.

   Oleh karena itulah, semua kedukaan hatinya ditahan-tahan selama ia melakukan perjalanan bersama Twa Suhengnya, yaitu Kwa Tin Siong. Baru pada malam hari ini, ketika mereka bermalam di losmen kecil di Kota Leng ki ini, ia mendapat kesempatan pada malam hari itu keluar losmen duduk di taman Bunga yang sunyi meratapi nasibnya yang buruk. Siapakah orang tak akan merasa berduka? Ayahnya dibunuh orang dan menurut bukti-bukti, pembunuhnya itu bukan lain orang adalah tunangannya sendiri, bersama seorang perempuan kekasih tunangannya itu! Tunangannya itu adalah pilihan Gurunya dan Ayahnya, maka tentu saja ia sudah menganggapnya sebagai seorang yang akan menjadi pelindung atau kawan hidup selamanya. Siapa duga, orang itu pula yang membunuh Ayahnya.

   Sekaligus ia kehilangan Ayah dan calon suami, dan sebagai gantinya ia mendapatkan seorang musuh besar yang lihai, yaitu Kwee Sin jago muda dari Kun-Lun-Pai itu. Ia tidak gentar menghadapi Kwee Sin atau siapapun juga untuk membalas sakit hatinya, akan tetapi mengingat betapa justru tunangannya sendiri yang menjadi musuh besarnya, yang membunuh Ayahnya, sekaligus berantakanlah mimpi muluk-muluk yang selama ini memenuhi tidurnya. Hancur hati gadis cantik itu dan di dalam taman yang sunyi ia dapat menuangkan semua kesedihannya melalui air matanya yang bercucuran deras seperti air sungai yang meluap-luap. Sunyi disekeliling tempat itu. Sian Hwa demikian terbenam dalam tangis dan kesedihannya sehingga ia tidak melihat atau mendengar datangnya Kwa Tin Siong ke dalam taman. Pendekar ini mendekati Sumoinya dan menegur halus

   "Sumoi, harap kau suka menenangkan pikiranmu. Tiada gunanya ditangisi dan disedihi, paling perlu kau harus dapat menjernihkan kekeruhan itu. Dan percayalah kau, Sumoi. Aku senantiasa menyediakan tenaga dan nyawa untuk membantumu. Pasti kita berdua akan dapat membongkar rahasia kematian Ayahmu dan membalas dendam ini."

   Sian Hwa terisak-isak, hatinya makin perih dan terharu dan dengan sedu-sedan ia menubruk Kakak seperguruannya.

   "Twa Suheng..., ah..., alangkah buruk nasibku, Suheng..."

   Sian Hwa menangis sedih di dada Kwa Tin Siong yang memeluk pundaknya dan menghiburnya.

   "Sudahlah Sumoi, mari kita masuk ke dalam. Kalau terlihat orang lain kau menangis seorang diri disini bisa menimbulkan dugaan yang bukan-bukan."

   Tiba-tiba Kwa Tin Siong mendorong tubuh adik seperguruannya kesamping dan tangannya menyambar kedepan.

   "Keparat pengecut!"

   Bentaknya sambil melompat ke depan. Sian Hwa yang tadi dikuasai kesedihannya kurang waspada dan tidak mendengar dan melihat menyambarnya benda itu, kini ia maklum bahwa ada orang jahat, cepat ia melompat mengejar Suhengnya. Akan tetapi Kwa Tin Siong sudah kembali lagi.

   "Dia menghilang dalam gelap,"

   Katanya "Mari kita masuk, Sumoi. Entah benda apa yang dilemparkan kearah kita tadi."

   Di dalam ruangan losmen, dibawah penerangan lampu, mereka berdua melihat benda itu. Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget. Benda itu adalah sebuah sisir rambut dari perak.

   Sisir rambutnya sendiri yang dulu dipergunakan sebagai tanda pengikat perjodohannya dengan Kwee Sin! Sekarang sisir rambut itu dikembalikan dengan tambahan sedikit tulisan pada kertas yang membungkus sisir.

   "Putus karena berlaku serong."

   Wajah Sian Hwa menjadi merah sekali, merah karena jengah dan merah karena kemarahannya yang memuncak. Sudah jelas sekarang bahwa yang menyambit dengan sisir peraknya tadi adalah Kwee Sin, tunangannya yang melihat dia menangis dalam pelukan Kwa Tin Siong! Dan tunangannya itu, yang membunuh Ayahnya, yang bermain gila dengan perempuan Pek-Lian-Kauw, sekarang malah menuduh dia bermain gila dengan Suhengnya sendiri. Dengan isak ditahan-tahan Sian Hwa lari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Kwa Tin Siong yang berdiri terlongong dan ruangan itu.

   
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pendekar ini menarik napas berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan, pikirannya kusut. Baru kali ini semenjak dia ditinggal mati istrinya, hati dan pikirannya digoda oleh persoalan wanita, dan wanita itu adalah Sumoinya sendiri. Kemudian dia teringat akan puterinya, Kwa Hong. Diam-diam di dalam hati Ayah ini pun timbul kekhawatiran besar, bukan hanya kekhawatiran memikirkan anaknya itu sekarang pergi bersama seorang aneh seperti Koai Atong, juga khawatir akan nasib anak perempuannya itu kelak. Sudah ada rencana dalam hatinya untuk mengikat tali perjodohan antara anak perempuannya itu dengan putera sulung Sutenya, Thio Wan It. Akan tetapi setelah sekarang dia menghadapi kenyataan pahit dalam ikatan jodoh Sumoinya, dia merasa berkhawatir. Khawatir kalau-kalau kelak anaknya juga menghadapi kekecewaan dalam pertunangan seperti Sumoinya itu.

   Semalam itu Kwa Tin Siong tak dapat tidur dan ketika pada keesokan harinya dia bertemu dengan Sian Hwa, dia melihat Sumoinya itupun merah kedua matanya, tanda bahwa Sumoinya inipun tidak tidur dan banyak menangis. Mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena peristiwa malam tadi masih menggores hati dan perasaan mereka. Dengan cepat setelah sarapan mereka melanjutkan perjalanan ke Hoa-San yang tidak jauh lagi letaknya, hanya perjalanan setengah hari. Lian Bu Tojin, Ketua Hoa-San-Pai yang sudah berusia enam puluh tahun ini, seorang Kakek tinggi kurus berjenggot panjang bertongkat Bambu, duduk diatas bangku sambil mengusap-usap jenggotnya dan memandang murid bungsunya yang berlutut di depan kakinya. Beberapa lama dia membiarkan muridnya itu menangis tersedu-sedu. Setelah melihat agak reda tangis Sian Hwa barulah dia berkata dengan suaranya yang halus dan sabar.

   "Sian Hwa, kau tenangkanlah hatimu dan pergunakanlah pikiranmu. Dalam menghadapi segala macam peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, kau harus dapat mempergunakan pikiranmu. Terlampau menuruti perasaan dapat menggelapkan pikiran. Hati boleh sepanas-panasnya akan tetapi kepala harus dingin sehingga pikiran tidak dikuasai hati dan dapat mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaiknya."

   "Teecu menurut petuah Suhu, akan tetapi, Suhu... manusia she Kwee itu betul-betul keji. Hanya karena Ayah Teecu melihat perbuatannya yang tidak tahu malu itu, kenapa dia sampai hati membunuh Ayah? Ah..., Teecu mohon perkenan Suhu untuk mencarinya dan membalas dendam ini."

   Lian Bu Tojin tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Darah muda..., darah muda...! Sian Hwa, persoalanmu ini mengandung rahasia yang meragukan. Pula, tidak percuma kau menjadi muridku. Bukankah dahulu sudah sering kuajarkan kepadamu bahwa di balik segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, terdapat kekuasaan tertinggi yang mengatur segalanya? Apa yang terjadi pada diri Ayahmu sekalipun adalah hal yang sudah semestinya begitu, tepat menurut kehendak kekuasaan itu, manusia yang melakukannya hanyalah menjadi lantaran belaka. Karena itu tugasmu memang harus memegang kebenaran, menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan penyelewengan, akan tetapi jangan sekali-kali dipengaruhi dan ditunggangi oleh nafsu kebencian, nafsu membalas dendam, karena kalau terjadi hal demikian, sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi namanya, melainkan menjadi budak nafsu sendiri yang termasuk kejahatan pula."

   "Teecu menyerahkan urusan ini kepada Suhu..."

   Kata Sian Hwa lemah, terpukul oleh petuah Suhunya yang tentu saja sudah dimengertinya baik-baik itu.

   "Sekarang biarlah Suhengmu yang menuturkan apa yang telah terjadi semua."

   Kwa Tin Siong lalu menceritakan kepada Suhunya tentang semua pengalamannya semenjak dia berniat membantu Pek-Lian-Pai untuk menentang Pemerintah penjajah, betapa dia bertemu dengan Koai Atong yang membawa pergi anaknya dan tentang penyerangan orang-orang yang mengaku anggota Pek-Lian-Kauw terhadap dia dan Sian Hwa. Sebagai penutup dia kemukakan bahwa keadaan Kwee Sin memang mencurigakan sekali, dan sangat boleh jadi Kun-Lun Sam-Hengte, yaitu Bun Si Teng, Bun Sin Liong, dan Kwee Sin sudah pula mengadakan hubungan dengan kaum Pek-Lian-Pai.

   "Hanya sebuah hal yang Teecu tidak mengerti, yaitu tentang hubungan saudara Kwee Sin dengan wanita Pek-Lian-Pai yang amat mencurigakan itu, benar-benar Teecu tidak mengerti..."

   Demikian Kwa Tin Siong menutup penuturannya. Dalam penuturannya tadi, dia sengaja tidak menceritakan tentang kejadian di taman Bunga belakang losmen. Kwa Tin Siong adalah seorang gagah yang sudah banyak pengalaman, maka mendengar bahwa tadi Sumoinya pun tidak bercerita tentang hal ini, dia tidak mau menyebut-nyebutnya pula karena dia tidak ingin menyinggung perasaan Sian Hwa. Ketua Hoa-San-Pai mengangguk-angguk lalu berkata.

   "Memang mencurigakan sekali keadaan Kwee Sin itu. Sekarang begini saja baiknya Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Segala urusan yang menyangkut diri sahabat-sahabat, harus diselesaikan secara musyawarah, secara damai dan seadil-adilnya. Tunggulah sampai Wan It dan Kui Keng datang, dan kalian boleh pergi mengunjungi Kun-Lun Sam-Hengte untuk minta penjelasan langsung dari Kwee Sin. Dengan demikian, maka segala hal akan dapat diselesaikan."

   Setelah berkata demikian, Ketua Hoa-San-Pai ini bertanya lebih lanjut tentang Kwa Hong yang pergi bersama Koai Atong.

   "Itulah Suhu, yang amat menggelisahkan hati Teecu, Koai Atong adalah seorang yang amat aneh kelakuannya, seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya. Teecu tidak tahu ke mana anak Teecu itu dibawa pergi."

   Lian Bu Tojin tersenyum.

   "Tak usah, khawatir. Kalau Koai Atong sudah berkeliaran di sini, berarti bahwa Gurunya, Ban-Tok-Sim Giam Kong sudah meninggalkan Tibet pula dan berada di sini. Asal saja anakmu itu mengaku bahwa dia cucu murid. Hoa-San-Pai, kiranya dia tak akan mendapat kesukaran karena Ban-Tok-Sim Giam Kong tentu memandang muka pinto."

   Tidak lama Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menanti di Hoa-San. Empat hari kemudian berturut-turut datanglah Bu-Eng-Kiam Thio Wan It bersama dua orang anaknya, yaitu yang sulung Thio Ki, anak laki-laki berusia dua belas tahun dan yang ke dua Thio Bwee, anak perempuan berusia sepuluh tahun dan Toat-Beng-Kiam Kui Keng yang juga datang bersama anaknya laki-laki bernama Kui Lok Si berusia sebelas tahun. Dua orang Pendekar Hoa-San ini sengaja datang bersama anak-anak mereka untuk menghadap Lian Bu Tojin sekalian memperkenalkan anak-anak itu dan memberi tambahan pengalaman kepada anak-anak mereka yang mereka harapkan kelak akan menjadi Pendekar-Pendekar Hoa-San pengganti mereka.

   Pertemuan antara empat Hoa-San Sie-Eng itu tentu akan menggembirakan sekali kalau saja yang baru datang tidak mendengar tentang peristiwa kemalangan yang menimpa diri Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong. Sian Hwa kematian Ayahnya dan Tin Siong kehilangan anak perempuannya. Dua orang Pendekar Hoa-San itu, Thio Wan It dan Kui Keng, menyambut berita duka ini sesuai dengan watak masing-masing. Thio Wan It dengan julukannya Bu-Eng-Kiam (Pedang Tanpa Bayangan) ini berwatak pendiam dan berangasan mudah marah, akan tetapi jujur dan keras, berlawanan dengan perawakannya yang pendek dan gemuk muka bundar, bajunya selalu serba hitam. Dengan kedua tangan terkepal dia berkata.

   "Mari kita pergi mencari Kwee Sin, ingin aku menghajar bocah kejam kurang ajar itu!"

   Kui Keng si Pedang Pencabut Nyawa, wajahnya tampan tubuhnya kecil, sikapnya selalu gembira dan pakaiannya serba putih. la menyambut berita itu sambil tertawa,

   "Urusan Sumoi perlahan-lahan dapat diurus, kurasa yang lebih penting mencari puteri Twa-Suheng, siapa tahu anak nakal gila itu akan mengganggu Hong-ji... Urusan dengan Kwee Sin itu berbelit-belit, mungkin ada hubungannya dengan Pek-Lian-Pai, harus diselidiki dengan seksama."

   Sian Hwa yang mencoba untuk menghibur kesedihannya, menyerahkan perundingan itu kepada tiga orang Suhengnya, dia sendiri lalu menggandeng Thio Bwee, Thio Ki, dan Kui Lok diajak ke Lian-Bu-Thia (ruangan belajar silat) sambil berkata.

   "Mari anak-anak, hendak Bibi lihat sampai di mana kemajuan kalian di bawah asuhan Ayah-ayah kalian."

   Memang terhibur juga hati Sian Hwa bertemu dengan keponakan-keponakannya yang menyenangkan itu.

   Thio Ki berwajah bundar seperti Ayahnya, tampan dan sikapnya sudah membayangkan kegagahan biarpun dia baru berusia dua belas tahun, pendiam dan dadanya selalu terangkat. Thio Bwee yang berusia sepuluh tahun itu mewarisi kecantikan ibunya, juga pendiam dan manis sekali, sepasang matanya tajam serius, dagu di bawah bibirnya yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Segera ia senang sekali dekat dengan bibinya yang sering kali dipuji-puji Ayahnya sebagai seorang Pendekar wanita Hoa-San-Pai yang hebat iimu pedangnya. Adapun Kui Lok, anak tunggal Kui Keng, berusia sebelas tahun, memiliki watak seperti Ayahnya, gembira dan agak nakal, akan tetapi juga bersifat angkuh, hal ini mudah dilihat dari bentuk mulut dan matanya. Ketiga orang anak Ini nampak gagah-gagah, cocok benar menjadi keturunan dari Hoa-San Sie-Eng, empat orang gagah dari Hoa-San-Pai.

   "Sayang,"

   Katanya kepada tiga orang anak itu.

   "Kalau Hong-ji tidak dibawa pergi Koai Atong dan berada disini bersama kalian, alangkah akan gembiranya.

   "Bibi, sebagai anak Twa-Supek, tentu kepandaian adik Hong hebat sekali, bukan?"

   Thio Bwee bertanya kepada Bibi Gurunya. Sian Hwa mengangguk.

   "Tentu saja, akan tetapi kau pun tentu sudah banyak mempelajari ilmu silat dari Ayahmu. Coba, Bwee-ji, kau perlihatkan padaku."

   Thio Ki amat sayang kepada adiknya dan pemuda pendiam ini dapat mengerti isi hati adiknya, maka dia lalu berkata kepada Sian Hwa sambil memandang ke arah Kui Lok,

   "Sukouw, tentu adikku malu karena menurut sepatutnya, saudara Kui Lok yang harus memperlihatkan dulu kepandaiannya."

   Dengan kata-kata ini, Thio Ki yang baru berusia dua belas tahun itu telah memperlihatkan sikapnya yang sungguh-sungguh dan memegang aturan. Kui Lok adalah putera dari orang ketiga Hoa-San Sie-Eng, maka kalau dihitung urutan atau tingkatnya, masih lebih rendah daripada mereka yang menjadi putera-puteri Thio Wan It orang kedua dari Hoa-San Sie-Eng. Diam-diam Sian Hwa tidak senang menyaksikan sikap yang angkuh ini, akan tetapi karena iapun mengenal watak Ji-Suhengnya yang keras dan jujur, ia anggap saja bahwa sikap Thio Ki ini adalah warisan Ayahnya.

   "Betul juga, Lok-Ji. Hayo kau yang mendahului, kau perlihatkan apa yang sudah kau pelajari dari Ayahmu,"

   Katanya sambil tersenyum. Kui Lok tersenyum dan berkata merendah, akan tetapi suaranya mengandung kebanggaan,

   "Kepandaianku yang masih amat dangkal mana dapat disamakan dengan pewaris kepandaian Ji-Supek (Uwak guru ke Dua)?"

   Akan tetapi biarpun berkata demikian, tangan kirinya sudah bergerak dan tahu-tahu dia telah, mencabut sebatang pedang pendek dari pinggangnya. Memang tiga orang anak Pendekar Hoa-San-Pai ini ke semuanya membawa pedang pada punggung masing-masing dan itulah kiranya yang membuat mereka nampak gagah sekali. Melihat gerakan ini, Sian Hwa tersenyum dan bertanya heran.

   "Kau menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang?"

   Agak merah kedua pipi Kui Lok yang tadinya putih itu.

   "Betul, Sukouw, semenjak kecil saya lebih enak menggunakan tangan kiri daripada kanan, maka Ayah sengaja melatih ilmu pedang dengan tangan kiri."

   "Kidal..."

   Thio Bwee berkata mencemooh karena gadis ini agak mendongkol juga melihat lagak anak itu.

   "Akan tetapi, Sukouw..."

   Sambung Kui Lok cepat-cepat untuk menjawab cemoohan gadis cilik itu.

   "Biarpun tangan kiri, kiranya tak akan kalah dengan tangan kanan..., eh, maksudku, tangan kananku sendiri, tentu."

   Sian Hwa tersenyum lagi. Gadis ini maklum akan ejekan-ejekan itu, dan diam-diam ia menyesal mengapa para Suhengnya itu hanya melatih ilmu silat, agaknya kurang memperhatikan pendidikan watak sehingga anak-anak ini tidak pandai menguasai perasaan dan mudah tersinggung.

   "Kau mainlah, biar kami melihatnya."

   Setelah memberi hormat kepada Sian Hwa dan mengerling penuh tantangan kepada Thio Ki dan Thio Bwee, Kui Lok mulai bersilat dengan pedangnya. la mainkan pedang tunggal dan caranya memainkan pedang itu memang hebat, apalagi karena dia menggunakan tangan kiri sehingga menjadi kebalikan daripada ilmu pedang yang aselinya. Diam-diam Sian Hwa memperhatikan dan kagum juga akan kecepatan gerakan anak ini, kecepatan yang diutamakan dalam permainan pedang Hoa-San-Pai. Yang amat mengagumkan hatinya adalah kekuatan yang dipergunakan dalam setiap serangan, demikian sungguh-sungguh dan selalu mematikan. Tak percuma anak ini menjadi putera tunggal Suhengnya, Toat-Beng-Kiam si Pedang Pencabut Nyawa! Setelah menghentikan permainan pedangnya, Sian Hwa berseru,

   "Bagus sekali, Lok-ji, kau tidak memalukan Ayahmu!"

   Gadis ini malah bertepuk tangan memberi pujian. Hanya Thio Bwee dan Thio Ki yang diam saja, tidak mau memberi pujian. Tentu saja Kui Lok maklum akan hal ini, maka sambil menyarungkan pedangnya dia berkata.

   "Harap saja sekarang saudara Thio Ki dan nona Thio Bwee tidak pelit-pelit lagi mengeluarkan kepandaian mereka."

   "Mana aku bisa melawan engkau? Kau hanya menggunakan tangan kiri, dan kalau aku pun menggunakan tangan kiri, aku tak dapat bersilat, sebaliknya kalau aku menggunakan tangan kanan, berarti aku licik, tentu saja tangan kanan lebih baik daripada tangan kiri,"

   Thio Bwee menjawab sambil merengut. Sian Hwa tertawa.

   "Hi-hi-hi, Bwee-ji, jangan kau bicara begitu. Lok-ji menggunakan tangan kiri karena memang semenjak kecil dia melatih diri dengan tangan kiri. Tangan kirinya sama dengan tangan kananmu, sebaliknya tangan kanannya sama dengan tangan kirimu. Hayo lekas kau memperlihatkan kepandaianmu kepada bibimu, anak manis."

   Thio Bwee tidak berani membantah Bibi Gurunya. Gadis cilik ini pun lalu mencabut pedangnya dan bersilat secepat ia bisa untuk memamerkan kelincahannya di depan Bibi Gurunya, terutama sekali di depan Kui Lok! Dan dia berhasil! Memang, dalam hal kelincahan, yakni dalam hal ilmu Ginkang (meringankan tubuh),

   Gadis ini menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kui Lok. Hal ini pun tidak aneh karena sebagai puteri Bu-Eng-Kiam (Pedang Tanpa Bayangan) mengutamakan Ginkang, tentu saja Ayahnya telah menggembleng kedua anaknya itu dalam ilmu ini dan Ilmu Pedang Hoa-San Kiam-Hoat memang tepat sekali kalau dimainkan secepatnya. Tubuh gadis cilik ini berloncatan ke sana ke mari bagaikan seekor Burung walet saja, dan pedang diputar sedemikian cepatnya sampai hampir tidak kelihatan. Setelah ia berhenti bersilat, kembali Sian Hwa bersorak memuji, akan tetapi sebagai seorang ahli silat Hoa-San-Pai, tentu saja gadis ini cukup maklum bahwa kepandaian gadis cilik ini masih tidak mampu melawan ilmu pedang yang dimainkan dengan tangan kiri oleh Kui Lok. Gerakan Kui Lok lebih matang, pula tenaga bocah ini jauh lebih besar.

   "Sekarang kau, Ki-ji, kau mainlah beberapa jurus agar puas hatiku."

   Thio Ki orangnya pendiam dan serius sekali. la memberi hormat kepada Sian Hwa dan berkata,

   "Jika ada kekeliruan, mohon Sukouw memberi petunjuk."

   Terang bahwa kata-kata ini hanya sebagai basa-basi atau sopan-santun belaka karena tanpa menanti jawaban anak ini pun sudah mencabut pedangnya dan di lain saat dia pun sudah bermain pedang dengan kecepatan yang sama dengan adiknya tadi. Hanya kali ini Sian Hwa melihat bahwa kepandaian Thio Ki lebih unggul daripada adiknya, juga kalau dibandingkan dengan Kui Lok, Thio Ki menang kecepatan biarpun tenaganya seimbang, maka kalau ditarik kesimpulannya, di antara tiga orang anak itu, Thio Ki yang paling tinggi tingkatnya.

   "Bagus, bagus! Wah, kalian memang hebat!"

   Sian Hwa memuji setelah Thio Ki berhenti bersilat pedang.

   "Aaah, Sumoi! Kalau kaupun terlalu tinggi anak-anak itu, mereka bisa menjadi besar kepala."

   Tiba-tiba terdengar Kui Keng berseru gembira sambil tertawa-tawa. Kui Keng memasuki ruangan itu bersama Thio Wan It dan Kwa Tin Siong.

   "Kui-Susiok (Paman Guru Kui), saudara Lok puteramu ini memandang rendah aku dan Kakak Ti!"

   Tiba-tiba Thio Bwee berseru. Semua orang terkejut, termasuk Thio Wan It, akan tetapi Kui Keng hanya tersenyum, sepasang matanya berseri.

   "Memandang rendah bagaimana?"

   "Habis, dia sengaja memamerkan kepandaian dan bermain pedang dengan tangan kiri, bukankah itu menghina sekali?"

   Kata gadis cilik itu.

   "Ha-ha-ha-ha,-ha! Dia bermain dengan tangan kiri karena memang dia itu kede (kidal)! Ha-ha-ha!"

   Semua orang di situ tertawa dan Thio Bwee sengaja memperlihatkan muka heran.

   "Aaah, jadi dia ini kidal? Habis kalau makan, apakah juga menggunakan tangan kiri juga, Susiok?"

   Tanya pula Thio Bwee.

   "Ha-ha-ha, tentu saja tidak. Kalau makan tangan kanan dan kalau... membersihkan tubuh pakai tangan kiri."

   Kui Keng tertawa-tawa lagi, karena memang orang ini sifatnya gembira sekali. Kui Lok yang tadinya mendongkol karena ejekan Thio Bwee, sekarang ikut tertawa-tawa seperti Ayahnya dan diam-diam kalau anak perempuan itu memandang kepadanya, dia menjulurkan lidahnya mengejek!

   "Sudahlah, anak-anak semua supaya pergi menghadap Sukong (Kakek Guru),"

   Kata Thio Wan It.

   "Ki-ji, kau yang paling tua, kau harus dapat memimpin dua orang adikmu. Kalian bertiga tinggal baik-baik di Hoa-San, taati setiap petunjuk dan perintah Sukong. Kami orang-orang tua akan turun gunung untuk waktu kurang lebih dua bulan."

   "Lok-ji, kau harus yang akur bermain-main dengan dua saudaramu, jangan nakal,"

   Kui Keng memesan kepada puteranya pula. Setelah berpamit kepada Lian Bu Tojin empat orang Pendekar Hoa-San-Pai ini lalu turun gunung, meninggalkan tiga orang anak itu di bawah pengawasan Ketua Hoa-San-Pai. Ketika turun gunung, Kwa Tin Siong menjelaskan kepada Liem Sian Hwa tentang keputusan perunding mereka tadi, yaitu bahwa untuk membereskan urusan Sian Hwa terhadap Kwee Sin yang amat mencurigakan gerak-geriknya, mereka akan langsung mendatangi orang tertua dari Kun-Lun Sam-Hengte, yaitu Bun Si Teng yang menjadi pedagang kuda dan tinggal di Sin-Yang.

   "Sesuai dengan pesan Suhu,"

   Demikian Kwa Tin Siong menutup penjelasannya "Kita tidak boleh bertindak sembrono terhadap Kun-Lun Sam-Hengte yang selama ini mempunyai nama baik sebagai Pendekar-Pendekar gagah dari Kun-Lun. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil tindakan terhadap Kwee Sin, kita harus lebih dulu rnemberi tahu kepada kedua saudara Bun Si Teng dan Bun Si Liong tentang kesesatan Sute mereka Kwee Sin. Dengan cara demikian berarti kita cukup menghormat dan memandang muka Kun-Lun-Pai."

   Sian Hwa hanya mengangguk-angguk saja. Di dalam hati gadis ini tidak cocok, karena ia merasa gemas dan sakit hati sekali kepada bekas tunangannya yang selain sudah membunuh Ayahnya, juga sudah amat menghinanya itu. Kalau bisa, ingin ia sekali berjumpa terus menyerang dan mencincang tubuh Kwee Sin! Kita tunda dulu perjalanan Hoa-San Sie-Eng yang hendak menjumpai Kun-Lun Sam-Hengte itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kwa Hong, bocah perempuan yang berwatak lincah dan gembira, yang dibawa pergi oleh Koai Atong, orang lihai aneh seperti telah dituturkan di bagian depan. Sambil tertawa-tawa Koai Atong menggandeng tangan Kwa Hong diajak pergi dari Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa yang tidak dapat mengejarnya.

   Kwa Hong merasa betapa tubuhnya melayang-layang kedua kakinya tidak menginjak tanah biarpun kelihatannya ia berjalan digandeng orang aneh itu. Mula-mula ia merasa takut, akan tetapi karena Koai Atong tertawa-tawa sambil berkata bahwa mereka akan bermain-main di sebuah Telaga yang indah, ia akhirnya menjadi tertarik juga. Kemudian ternyata oleh Kwa Hong bahwa orang aneh itu tidak berdusta. Tak lama kemudian tibalah mereka di pinggir sebuah Telaga yang amat indah, Telaga kecil yang pinggirnya penuh ditumbuhi-Bunga-Bunga liar yang beraneka warna. Di atas pohon-pohon banyak Burung menari-nari dan bernyanyinyanyi, sedangkan di dalam air Telaga yang penuh bayangan Bunga dan pohon itu berloncatan ikan-ikan besar kecil. Bukan main indahnya tempat itu, membuai Kwa Hong lupa akan kekhawatirannya bahwa, ia telah berpisah dari Ayahnya.

   

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini