Raja Pedang 6
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Waaah, kok bisa kebetulan kena di tengah-tengahnya..."
Ia mengeluh. Para Perampok tertawa.
"Kakek bodoh, mana ada ucapan betulan? Memang Twako berjuluk Ang-Bin Piauw-To, seratus kali sambit pasti seratus kali kena!"
Kata seorang anggauta Perampok.
"Hayo lekas kau sambitkan Piauwmu, dan kau juga, badut muda!"
Tan Sam memandang kepada pembantunya.
"Wah, cialat (celaka). Sambitannya kebetulan sekali kena tengah-tengahnya. Hok-ji, mari kita menyambit berbareng saja, untung-untungan, tidak kena daun juga asal bisa kena kaki bajul buntung!"
Kakek ini tertawa lagi, lalu menghitung.
"Satu... dua..."
Sikapnya lucu sekali, menyambit dengan tangan kanan tapi kaki kanan di depan, demikian pula orang muda raksasa itu.
"... tiga...!"
Dua buah Piauw meluncur ke depan, akan tetapi terdengar gelak terbahak ketika para Perampok melihat dua buah Piauw itu meluncur dengan berputar, tidak lurus dan mengenai dinding jauh di kanan kiri daun.
"Aduh...!"
"Aaauuuuuhhh...!"
Dua orang yang berdiri di kanan kiri tempat itu mengaduh-aduh dan keduanya meloncat-loncat dengan sebelah kaki karena kaki yang sebelah lagi ternyata terkena hantaman Piauw yang membalik! Untungnya hanya terkena kepala Piauw sehingga hanya menjendul saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri. Dan anehnya, yang terkena hantaman Piauw ini adalah dua orang yang tadi hendak menyerang Tan Sam dan Tan Hok! Dua orang itu marah-marah, akan tetapi karena teman-temannya mentertawakannya dan menganggap bahwa kejadian itu hanya karena kebodohan Tan Sam dan pembantunya yang tidak becus melempar Piauw, mereka terpaksa menahan kesakitan dan menahan kemarahan. Ang-Bin Piauw-To tertawa terpingkal pingkal sambil menyimpan uang di atas meja.
"Nanti dulu!"
Kata Kakek Tan Sam "Mari kita bertaruh lagi. Penasaran hatiku kalau belum bisa menang!"
Kepala Perampok itu memandangnya dengan heran. Sudah miringkah otak Kakek ini, pikirnya,
"Boleh, berapa taruhannya?
"Semua perak di atas meja itu"
Tantang Tan Sam.
"Bagus, perlu ditambah?"
"Sesukamu, kalau masih ada padamu, keluarkan semua."
Sekarang para Perampok itu sibuk mengeluarkan perak dari saku masing-masing karena mereka ingin mendapat bagian dalam pertaruhan ini sehingga sebentar saja di atas meja terkumpul banyak perak. Malah Phang Kwi juga menguras semua peraknya. Melihat perak yang banyak itu, Tan Sam terpaksa mengeluarkan sebagian potongan emasnya karena peraknya sendiri tidak cukup banyak.
"Bagaimana cara pertandingan?"
Tanya Tan Sam.
"Apakah masih seperti tadi!"
"Boleh saja"
Jawab Ang-Bin Piauw-To yang merasa yakin akan kemenangannya.
"Akan tetapi, orang tua, apakah kau tidak akan menyesal? Kau sama sekali tak pandai menyambitkan Piauw."
"Siapa bilang? Piauwmu yang buruk sekali, tapi aku sudah tahu rahasianya sekarang. Disambitkan ke arah sasaran, menyeleweng ke kiri. Kalau mau mengenai sasaran, dengan tepat, tinggal menyambit ke arah kirinya dengan ukuran jarak tertentu, masa tidak akan kena?"
Para Perampok tertawa lagi mendengar teori yang aneh ini.
"Nah, Kau lihat. Aku mulai!"
Kata Ang-Bin Piauw-To sambil mengayun tangannya.
(Lanjut ke Jilid 06)
Raja Pedang (Seri ke 01 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
"Nanti dulu!"
Tan Sam mencegahnya.
"Aku mau melihat dulu Piauwmu, apakah sama dengan Piauw yang kau berikan padaku ini."
"Tentu saja sama!"
Jawab kepala rampok itu marah sambil memperlihatkan Piauwnya yang beronce merah.
"Ah, tidak boleh sama, nanti kau bisa akui sambitanku sebagai Piauwmu kan celaka."
Sambil berkata demikian Kakek itu mencabuti ronce-ronce benang merah pada Piauwnya sehingga Piauw itu berubah gundul dan buruk. Tentu saja para Perampok terheran-heran dan tertawa geli. Piauw yang dipergunakan kepala rampok itu tidak mempunyai sirip, maka untuk meluruskan jalannya diberi ronce-ronce itu sebagai imbangan. Sekarang Kakek itu mencopoti ronce-roncenya, bagaimana bisa menyambit dengan baik?
"Bagus, kau pintar, orang tua,"
Kata Ang-Bin Piauw-To mengejek.
"Sekarang sudah jelas, Piauw yang beronce punyaku yang gundul punyamu. Nah, siapa menyambit lebih dulu? Dan apakah pembantumu juga ikut"
"Tak usah, cukup aku sendiri. Menyambitnya harus berbareng, kau dan aku baru adil namanya."
Karena yakin akan kemenangannya dan mengira bahwa dia berhadapan dengan seorang tua goblok yang berkepala batu, Ang-Bin Piauw-To tidak banyak membantah.
"Berbareng pun baik,"
Katanya mengejek sambil bersiap-siap. Daun baru sudah dipasang pada dinding dan kedua orang itu sudah siap. Anehnya, kalau Ang-Bin Piauw-To mengincar sasaran daun, adalah Kakek itu tidak menghadapi daun, bahkan tidak melihatnya sama sekali, melainkan sebelah kanan daun yang diincar. Sambil tertawa-tawa para Perampok rnenyingkirkan diri jauh-jauh agar jangan terkena Piauw Kakek yang kesasar lagi.
"Aku menghitung sampai tiga, baru lepas,"
Kata Kakek itu. Lawannya mengangguk sambil tersenyum mengejek.
"Satu... dua... tiga...!!"
"Serrr!"
Piauw meluncur dari tangah Ang-Bin Piauw-To, cepat dan lurus ke arah daun yang menempel pada dinding. Di samping ini, juga Piauw di tangan Kakek itu telah dilemparkan, berputaran dan berjungkir-balik seperti lagak badut di panggung. Piauw ini berjungkir-balik dan berputar-putar,
Mula-mula menuju ke arah kanan akan tetapi Piauw yang tidak ada ronce-roncenya ini makin mengacau jalannya, tiba-tiba membelok ke kanan dan makin cepat saja jalannya. Di dekat daun, kedua Piauw itu bersilang, terdengar suara nyaring dan dua Piauw itu menancap pada dinding, sebuah tepat di tengah-tengah daun dan yang sebuah lagi jauh dari daun! Semua orang bersorak tertawa, akan tetapi wajah Ang-Bin Piauw-To yang merah, tiba-tiba menjadi pucat dan semua temannya juga serentak menghentikan suara ketawa mereka setelah memandang jelas ke arah daun yang kini terpaku oleh Piauw itu. Apa yang mereka lihat? Ternyata Piauw yang menancap pada dinding menembus daun itu adalah Piauw yang tidak beronce merah, sedangkan Piauw yang menyeleweng ke sisi adalah Piauw beronce! Tegasnya, yang tepat mengenai daun adalah yang terlepas dari tangan Kakek Tan Sam!
"Ha, bagus sekali! Sambitan yang bagus dan tepat. Kita menang!"
Tan Hok memuji dan tangannya yang besar segera diulur untuk mengambil tumpukan perak di atas meja yang tadi dipertaruhkan. Para Perampok hanya berdiri bengong, bingung tak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Sraaattt!"
Tiba-tiba nampak sinar berkilauan dan tahu-tahu Ang-Bin Piauw-To sudah mencabut golok besar dari pinggangnya. Golok ini amat tajam sehingga sinarnya berkilauan ketika dikelebatkan.
"Jangan ambil!"
Seru kepala rampok itu dan sinar goloknya menyambar ke arah tangan Tan Hok yang diulur untuk mengambil perak tadi. Nampaknya pemuda raksasa itu kaget dan menarik tangannya. Untung baginya, karena golok itu meluncur terus dan "Crak!"
Meja itu terbabat putus menjadi dua, tumpukan perak berserakan Jatuh ke atas lantai. Tan Hok dan Tan Sam berdiri bengong, akan tetapi para Perampok tertawa bergelak.
"Twako, untuk bereskan budak ini, cukup serahkan padaku,"
Kata anggauta perampok yang tadi hendak menyerang Tan Sam.
"Aku harus membalasnya untuk kakiku."
"Betul, Twako, anjing tua ini pun bagianku!"
Kata Perampok yang kakinya terkena hantaman Piauw Tan Sam tadi. Ang-Bin Piauw-To hanya tersenyum dan melangkah mundur, lalu mengambil perak yang tersebar di lantai.
"Ah, jangan... jangan bunuh mereka di sini. Warungku tak akan laku lagi"
Phang Kwi mencegah khawatir.
"Diam!"
Bentak kepala Perampok dan Phang Kwi mundur ketakutan. Dua orang Perampok itu dengan mulut menyeringai sudah menghampiri Tan Sam dan Tan Hok dengan sikap mengancam sekali. Tan Hok nampak tenang saja karena kebodohannya, agaknya tidak mengerti bahwa dirinya terancam. Akan tetapi Tan Sam nampak ketakutan.
"He, kalian ini mau apa? Dan perak-perak itu... aku yang menang mengapa diambil...?"
"Kau dan pembantumu akan kami bunuh!."
Bentak Perampok yang menghadapinya.
"Aduh... kenapa begitu? jangan..."
Si tua mengeluh, lalu menengok kepada Tan Hok.
"Celaka, Hok-ji, belum sampai ke neraka sudah bertemu setan-setan pencabut nyawa di bumi..."
Melihat sikap ketakutan ini, dua orang itu makin gembira dan sombong.
"Kau takut? Hayo lekas minta ampun"
Tan Sam melirik ke arah pembantunya.
"Hok-ji, tidak ada lain jalan, biarlah kita memberi hormat minta ampun."
Ia lalu menjura dan mengangkat kedua kepalan tangan ke depan dada, diikuti oleh Tan Hok. Terjadi hal aneh. Dua orang Perampok yang menghadapi Kakek dan pembantunya ini tiba-tiba terhuyung mundur seakan-akan tubuh mereka ditiup angin keras dari depan! Semua orang terheran-heran dan dua orang Perampok itu makin marah. Memang, di dunia ini hanya orang-orang bodoh saja berani bersikap sombong dan membanggakan kepandaiannya sendiri. Makin sombong dia, makin bodohlah dia sesungguhnya, bodoh karena mengira bahwa di dunia ini hanya merekalah orang-orang pandai. Andaikata dua orang ini tidak begitu sombong, agaknya kebodohan mereka tidak akan membutakan mata mereka.
"Keparat, jangan main-main. Sekali tangan kami bergerak, pecah kepala kalian!"
Bentak Perampok yang mengancam Tan Hok.
"Hayo kalian berlutut minta ampun, baru kami akan pikir-pikir untuk meringankan hukuman kalian!"
Kembali Tan Sam melirik ke arah Tan Hok.
"Apa boleh buat, Hok-ji, mari berlutut."
Keduanya lalu berlutut di depan dua orang itu dan menyoja.
"Aduhhh...!"
"Ahhhhh...!"
Dua orang Perampok itu seperti disodok Toya baja rasa ulu hati mereka. Mereka terjengkang ke belakang, roboh dan muntah darah segar.
"Celaka!!"
Ang-Bin Piauw-To baru sadar bahwa dua orang aneh itu sebetulnya memiliki kepandaian dan cara mereka menjura kemudian berlutut sambil mengirim serangan itu merupakan bukti bahwa mereka memiliki sinkang dan Lweekang yang tinggi! Akan tetapi, juga karena kesombongannya, kepala Perampok ini mengandalkan jumlah kawan yang banyak, dicabutnya goloknya sambil memberi aba-aba.
"Keroyok! Bunuh dua ekor anjing ini!"
Kawan-kawannya, juga dibantu oleh Phang Kwi, mencabut senjata masing-masing dan dikepunglah Kakek dan pembantunya itu. Kini Tan Sam tidak mau berpura-pura lagi. la tertawa dan berseru.
"Perampok-Perampok jahat pengganggu rakyat, kalau bukan anggauta Pek-Lian-Pai seperti aku, siapa lagi yang akan membasminya?"
Kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar putih berkelebatan. Terdengar jerit-jerit kesakitan ketika para Perampok itu, kecuali Ang-Bin Piauw-To dan Phang Kwi yang dapat mengelak terkena oleh sambaran Pek-Lian-Ting (Paku Teratai Putih). Makin terkejut hati Ang-Bin Piauw-To mendengar disebutnya perkumpulan Pek-Lian-Pai yang sedang memberontak untuk meruntuhkan Pemerintah penjajah Mongol itu. Namun dia mengandalkan kepandaian sendiri, goloknya diputar cepat dan dia menyerang Kakek Tan Sam. Adapun Phang Kwi maju dengan Ruyungnya menyerbu Tan Hok.
Benar amat mengagumkan dan mengherankan keadaan pemuda itu. Gerakan-gerakannya tidak seperti orang pandai silat, hanya memiliki langkah-langkah kaki berdasarkan ilmu silat rendahan saja. Akan tetapi tenaga pemuda ini luar biasa sekali, baik tenaga luar maupun tenaga dalamnya. Ruyung di tangan Phang Kwi yang menyambarnya, dia tangkis dengan tangan kiri sekuat tenaga dan... Ruyung itu patah! Saking kaget dan herannya, Phang Kwi yang lebih tinggi ilmu silatnya itu kurang cepat mengelak sehingga pukulan tangan Tan Hok yang keras seperti serudukan gajah itu menyerempet pundaknya sampai patah-patah tulangnya. Phang Kwi terlempar dan mengaduh-aduh, meringis-ringis kesakitan. Berbeda dengan Tan Hok, Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya. Lebih cepat daripada sambaran golok. Sampai lenyap bayangan Kakek itu dikejar sinar golok.
Baru berlangsung dua puluh jurus penyerangan kepala Perampok itu, terdengar suara keras, golok terlempar menancap dinding dan fubuh kepala Perampok terjengkang ke belakang, mukanya pucat karena dia sudah menderita luka pada dadanya oleh tamparan Kakek yang lihai ini. Pada saat itu, tiba-tiba bertiup angin dari luar warung dan berkelebatlah bayangan yang nnembawa bau yang amat harum dan di lain saat Tan Sam dan Tan Hok telah berhadapan dengan seorang perempuan yang amat cantik. Mukanya putih halus dengan sepasang pipi kemerahan, mata yang mengeluarkan cahaya bening tajam membayangkan pengertian yang mendalam, bibir yang merah kadang-kadang membayangkan kekerasan penuh wibawa, akan tetapi lebih sering tersenyum penuh pikatan, pendeknya seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah. Sukar menaksir berapa usianya.
Melihat wajahnya yang segar dan bentuk tubuhnya yang padat, kiranya patut kalau ia ini berusia delapan belas tahun. Akan tetapi melihat sinar matanya, agaknya ia jauh lebih tua daripada itu. Pakaian yang menutup tubuhnya terbuat daripada Sutera halus berwarna merah kuning hijau biru diselang-seling indah sekali. Sepatunya yang amat kecil berwarna merah dengan dasar dilapis besi. Sebatang golok kecil tipis tergantung di punggungnya, dari depan hanya tampak gagangnya tersembul di belakang pundak kanan, sedangkan tangan kirinya memegang sehelai selendang merah dari Sutera pula. Kedatangan wanita ini amat cepatnya dan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Tan Hok dan Tan Sam bengong terheran-heran ketika tiba-tiba wanita cantik itu menudingkan telunjuknya yang runcing halus ke muka mereka sambil membentak.
"Orang-orang Pek-Lian-Pai benar sombong, mengandalkan kepandaian sendiri menghina golongan lain. Hemmm, kalau tidak diberi hajaran akan menjadi makin besar kepala!"
Baru saja suaranya yang halus merdu berhenti, tubuhnya yang langsing sudah berkelebat ke arah Tan Sam.
Dalam sejurus saja ia telah mengirim tiga macam serangan kepada Kakek itu, yakni tusukan ke arah mata dengan dua jari tangan kiri disusul totokan dengan tangan kanan ke arah dada dan tendangan kaki kiri melayang pula! Tan Sam tidak berani main-main seperti ketika menghadapi para Perampok kasar tadi. Dari gerakan wanita ini maklumlah bahwa dia bertemu dengan lawan tangguh yang memiliki jurus-jurus ilmu silat yang aneh dan keji. Cepat dia bergerak mengelak dan menangkis, membuyarkan tiga macam serangan itu. Alangkah kagetnya ketika dia merasa lengan tangannya terasa pedas dan gatal ketika dia menangkis totokan tangan kanan wanita itu. Di lain fihak, wanita cantik itu sendiri pun kaget dan terheran-heran melihat tiga serangannya dapat dibuyarkan Kakek ini.
"Nona, tahan dulu. Mengapa kau memusuhi orang Pek-Lian-Pai?"
Tanya Tan Sam yang merasa penasaran. Akan tetapi mukanya berubah pucat ketika melihat wanita itu sudah mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah lima Bunga teratai dengan lima warna di atas satu tangkai. Lima macam teratai ini terbuat dari logam yang keras dan tangkainya merupakan gagang senjata.
"Eh... kiranya... Ngo-Lian-Kauwcu (Ketua Agama Lima Teratai)..."
Hanya sampai di sini Tan Sam dapat berkata karena senjata aneh berupa lima teratai itu telah digerakkan ke arahnya. Tan Sam mencoba untuk mengelak, akan tetapi tiba-tiba kepalanya menjadi pening, matanya silau dan pundaknya terpukul sebuah di antara lima teratai itu. Kakek ini mengeluh dan roboh terlentang, mukanya berubah hitam dan napasnya berhenti. Melihat Gurunya tewas, Tan Hok pemuda tinggi besar itu menjadi kaget sekali.
"Siluman betina... Kau membunuh orang?"
Wanita itu tersenyum dan berkilatlah deretan giginya yang putih seperti mutiara teratur. Matanya yang bening tajam itu mengerling dan bergerak cepat menjelajahi-tubuh Tan Hok yang tinggi besar dan kuat berotot, kelihatan membayangkan kekaguman.
"Eh bocah raksasa, siapa namamu?"
Pertanyaan ini diajukan dengan, suara halus dan sikap genit.
"Namaku Tan Hok dan aku harus membalas kematian..."
"Sudahlah, kau ikut aku saja menjadi muridku. Tentu kelak kau akan menjadi jagoan besar yang, tak ada bandingannya..."
"Siluman kau!"
Tan Hok menerjang dengan marah, kepalan tangannya yang besar itu menghantam ke arah kepala wanita itu. Akan tetapi dengan sikap tenang wanita cantik itu mengangkat tangan kiri menangkis. Sepasang lengan bertemu. Aneh sekali kalau dilihat, lengan wanita itu kecil dan berkulit tipis halus akan tetapi begitu. bertemu dengan Tan Hok yang besar dan kuat berotot seakan-akan terus menempel.
Tan Hok merasa tenaganya lenyap, dia mencoba untuk menarik kembali lengannya, namun tanpa hasil. Sebaliknya tangan wanita itu meraba dagunya yang keras, lemudian tangan kanan ini meluncur terus ke bawah. Di lain saat tubuh Tan Hok sudah roboh lemas karena jalan darahnya tertotok secara halus akan tetapi luar biasa akibatnya. Tan Hok berusaha menggerakan tubuh namun semua urat di tubuhnya tidak mau menuruti kehendaknya, dia tetap lemas tak berdaya. Akan tetapi mata dan mulutnya dapat dia gerakkan maka dia lalu memaki-maki tidak karuan. Adapun para Perampok ketika tadi mendengar Kakek Tan Sam menyebut nama Ngo-Lian-Kauwcu, menjadi kaget dan Juga girang. Ang-Bin Piauw-To segera memimpin anak buahnya yang sudah terluka untuk berlutut di depan wanita! cantik itu.
"Ah, kiranya Kim-Thouw Thian-Li (Bidadari Kepala Emas) yang menolong nyawa kami yang rendah dan bodoh. Siauwte bertujuh menghaturkan terima kasih kepada Thian-Li..."
"Sudah, cukup, jangan banyak mengobrol,"
Wanita itu mencegah sambil melambaikan tangan. Dia ini memang Kim-Thouw Thian-Li, Ketua dari perkumpulan Ngo-Lian-Kauw, seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Usianya sudah tiga puluhan, akan tetapi ia masih narnpak seperti seorang gadis remaja. Sebagai murid tunggal dari Hek-Hwa Kui-Bo, tentu saja kepandaiannya amat hebat.
"Lebih baik kau merangket si mulut kasar ini agar dia jangan memaki-maki seperti itu,"
Katanya sambil menuding ke arah Tan Hok yang masih memaki-maki kepadanya.
"Baik Thian-Li. Biar kubunuh si keparat ini!"
Kata Ang-Bin Piauw-To yang cepat mencabut goloknya yang menancap pada dinding.
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak usah dibunuh, dirangket saja biar tidak memaki lagi. Paksa dia supaya mau menjadi muridku."
Ang-Bin Piauw-To terheran, akan tetapi tentu saja dia tak berani membantah. Diambilnya sebatang cambuk dan mulailah dia mencambuki tubuh tinggi besar yang rebah miring itu. Sementara itu, Kim-Thouw Thian-Li lalu mengambili paku-paku itu, tidak ada yang ketinggalan malah ia merampas kantong paku Pek-Lian-ting dari mayat Tan Sam. Sambil tersenyum puas ia menyimpan paku-paku dalam kantong itu di balik bajunya, lalu ia kembali kepada Tan Hok yang sedang digebuki. Makin kagumlah Ketua Ngo-Lian-Kauw ketika melihat kepala Perampok itu terengah-engah mengeluarkan keringat sedangkan cambuk itu sudah hancur, akan tetapi tubuh yang itu tidak terluka sama sekali, hanya Bajunya yang hancur rusak memperlihatkan tubuh yang amat kuat.
"Hemmm, tebal kulitnya, ya? Coba biarkan aku yang mencambukinya!"
Ia menerima cambuk yang tinggal gagangnya itu dari tangan Ang-Bin Piauw-To, lalu memukulkan gagang itu perlahan ke arah punggung Tan Hok. Kali ini pemuda tinggi besar itu mengaduh-aduh kesakitan.
"Kalau kau tidak mau menerima menjadi muridku, kau akan kupukul lagi sampai tidak tahan lagi sakitnya,"
Kata Kim-Thouw Thian-Li, sedangkan para Perampok itu melihat dengan heran.
"Lebih baik kau bunuh. Mau bunuh lekas bunuh, kenapa masih cerewet lagi?"
Tan Hok memaki dengan suara lemah karena dia merasakan nyeri yang hebat akan tetapi matanya masih melotot berani.
"Kurang ajar kau, minta dibunuh apa susahnya?"
Ang-Bin Piauw-To yang sudah menjadi marah sekali mengangkat goloknya hendak dibacokkan ke leher Tan Hok. Akan tetapi Kim-thouw mengibaskan selendangnya dan... golok itu terlempar dari tangan kepala rampok.
"Jangan lancang!"
Kim-Thouw Thian-Li membentak, matanya yang bening mengeluarkan cahaya berkilat. Kagetlah kepala rampok itu dan cepat dia berlutut.
"Kau dan teman-temanmu harus mentaati perintahku."
"Kami mentaati, Thian-Li,"
Jawab kepala rampok itu.
"Mulai sekarang, anggaplah kami sebagai anak buah Thian-Li."
Kim-Thouw Thian-Li tertawa manis.
"Baik, aku ingin melihat apakah kalian cukup setia. Tak jauh dari sini, di puncak Gunung Hek-Niauw-San, terdapat sebuah Kelenteng. Hwesio-Hwesio di Kelenteng itu adalah anak murid Siauw-Lim-Pai. Kau ke sanalah dan lakukan ini..."
Wanita ini lalu mengajak kepala rampok menjauhi Tan Hok dan berbisik-bisik sambil menyerahkan beberapa buah Pek-Lian-Ting yang tadi ia kumpulkan. Kepala rampok mengangguk-angguk, kemudian bersama kawan-kawannya dia meninggalkan warung itu. Phang Kwi tidak ikut karena dia memang bukan anak buah Ang-Bin Piauw-To lagi. Kim-Thouw Thian-Li melirik ke arah tukang warung itu.
"Kenapa kau masih belum pergi ikut yang lain?"
Phang Kwi cepat memberi hormat
"Maaf, Thian-Li, saya adalah pemilik warung ini, bukan anak buah Ang-Bin-Twako..."
"Hemmm, kalau begitu lekas mayat Kakek itu. Kubur dia jauh-jauh."
Phang Kwi mendongkol sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Baiknya mayat Kakek itu tidak besar dan tidak berapa berat, maka dia segera memanggulnya dibawa ke belakang. Setelah Phang Kwi pergi wanita itu berlutut mendekati Tan Hok. Senyumnya makin manis dan matanya bersinar-sinar aneh. Dirabanya dada Tan Hok yang bidang dan kuat.
"Orang yang kuat dan gagah,"
Katanya perlahan setengah berbisik.
"Tan Hok, kenapa kau berkeras kepala? Kau ikutlah aku dan kau akan hidup penuh kesenangan. Aku kasihan kepadamu..."
Tan Hok adalah seorang pemuda yang selain masih hijau, juga jujur dan bodoh. la tidak dapat mengerti akan maksud tersembunyi dalam kata-kata dan sikap wanita itu, dianggapnya bahwa betul-betul orang itu kasihan kepadanya. Hal ini mengingatkan keadaannya, bahwa Gurunya, satu-satunya orang di dunia ini yang ada hubungannya dengan dia telah mati, maka matanya lalu basah dan dia menangis! Kim-Thouw Thian-Li mengusap-usap pipi pemuda itu, dan berkata,
"Jangan berduka, anak manis. Biar kusembuhkan kau dan kau ikutlah aku."
Jari tangannya yang halus itu menotok pundak dan punggung dan di lain saat Tan Hok sudah pulih kembali tenaganya dan dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi ketika dia melihat wanita itu merangkulnya dan hendak membantunya berdiri dengan sikap yang mesra, dia merasa juga bahwa hal ini tidak sewajarnya dan bukan sepatutnya. Maka dia meronta dan melepaskan diri.
"Tan Hok, mari kau ikut pergi ketempatku. Mulai detik ini kau selain menjadi muridku, juga menjadi... teman baikku,"
Kata Kim-Thouw Thian-Li dengan senyum dan lirikan mata yang genit memikat. Tan Hok tidak mengerti maksudnya,
"Aku tidak bisa ikut denganmu, juga aku tidak mau ikut. Kau sudah membunuh Guruku, mana bisa aku menjadi muridmu? Apalagi menjadi teman baik. Mulai sekarang, kau adalah musuhku."
Kim-Thouw Thian-Li kaget dan kecewa.
"Orang goblok! Aku kasihan dan suka kepadamu, ingin menolongmu. Masa kau tidak mau terima?"
Tan Hok berulang-ulang menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak bisa... tidak bisa... sekarang aku kalah olehmu, lain kali mungkin aku bisa menang untuk membalas perbuatanmu terhadap Suhu..."
Dari kecewa wanita itu menjadi marah.
"Keparat, kau memang lebih suka mampus. Kalau kau memberatkan Gurumu, nah, kau ikutlah dia ke neraka!"
Setelah berkata demikian, Kim-Thouw Thian-Li menyerang dengan totokan maut. Tan Hok yang menganggap wanita ini musuh besarnya, sudah bersiap-siap dan cepat menangkis. Kim-Thouw Thian-Li penasaran dan melakukan serangan ber tubi-tubi. Tingkat kepandaian wanita ini sudah lebih tinggi daripada Tan Sam, mana bisa Tan Hok melawannya? Baru tiga jurus saja pemuda ini sudah terjungkal oleh sebuah tendangan. Kim-Thouw Thian-Li melangkah maju, menggerakkan selendangnya hendak memukul ke arah kepala Tan Hok.
"Kim Li, tahan...! Jangan bunuh orang...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras dari luar warung dan seorang pemuda yang tampan dan gagah melompat masuk. Kim-Thouw Thian-Li menahan serangannya dan cepat sekali muka yang beringas itu kembali penuh senyum dan lirikan manis. la segera berpaling dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan girang.
"Kwee-Koko (Kakak Kwee), kau sudah menyusul ke sini? Ah, aku sedang menghajar seorang jahat!"
Dengan langkah terayun menarik wanita itu menghampiri pemuda muka putih itu sambil tersenyum-senyum, lalu memegang lengannya. Pemuda itu menoleh ke arah Tan Hok, mukanya mernperlihatkan rasa malu karena sikap mencinta wanita itu diperlihatkan di depan orang lain.
"Pergilah dan ubah jalan hidupmu, jadilah orang baik-baik,"
Katanya kepada Tan Hok. Dengan mata masih melotot penuh kemarahan Tan Hok pergi meninggalkan warung. Hatinya panas dan mendongkol sekali kepada wanita itu yang selain sudah membunuh Gurunya, melukainya juga melakukan fitnah kepada dirinya terhadap pemuda muka putih yang menolongnya itu. Sebaliknya, biarpun dia menganggap pemuda tampan itu pun bukan orang baik-baik, namun Tan Hok seorang yang jujur dan tahu akan budi orang, maka dia merasa berhutang nyawa kepada pemuda yang dia tahu bernama keturunan Kwee itu. Setelah Tan Hok pergi, Kim-Thouw Thian-Li menggandeng tangan pemuda itu sambil menyandarkan tubuhnya. Diajaknya pemuda itu duduk menghadapi meja.
"Kwee-Koko, kenapa kau menyusul kesini? Dan janganlah muram selalu, bukankah ada Siauw-moi (Adinda) di sisimu? He, tukang warung! Lekas sediakah arak terbaik dan masaklah daging apa saja yang ada. Cepat!"
Pemuda itu seperti orarig kehilangan semangat menurut saja ditarik dan diajak duduk bersanding di atas kursi menghadapi meja. Wajahnya yang tampan nampak muram, akan tetapi matanya agak bersinar ketika dia menghadapi pelayan Kim-Thouw Thian-Li yang ramah dan penuh cinta kasih mesra.
Siapakah pemuda yang bermuka putih tampan ini? Bukan lain orang, dia ini adalah orang termuda dari Kun-Lun Sam-Hengte yang bernama Kwee Sin berjuluk Pek-Lek-Jiu (Tangan Geledek)! Dia inilah tunangan Kim-Eng-Cu Liem Sian Hwa anak murid Hoa-San itu. Biarpun yang termuda di antara murid Pek Gan Siansu, Ketua Kun-Lun-Pai, namun Kwee Sin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mewarisi ilmu pedang Kun-Lun yang terkenal di dunia persilatan. Usianya baru dua puluh dua tahun dan semenjak kecilnya Kwee Sin yang sudah tak berayah ibu itu tinggal di puncak Kun-Lun melayani Suhunya Karena inilah maka dia menjadi murid terkasih dari Ketua Kun-Lun-Pai. Hanya kadang-kadang Gurunya yang sudah tua dan menganggap Kwee Sin seperti putera sendiri itu memberi kesempatan kepada Kwee Sin untuk turun gunung dan meluaskan pengalaman di dunia ramai.
Perkenalan Kwee Sin dengan Ketua Ngo-Lian-Kauw itu belum lama. Terjadi beberapa bulan yang lalu ketika Kwee Sin sedang turun gunung memenuhi tugas yang diserahkan kepadanya oleh Suhunya, yaitu mencari tahu keadaan dunia ramai tentang pemberontakan-pemberontakan terhadap Pemerintah Mongol. Pek Gan Siansu, Ketua Kun-Lun-Pai, di waktu mudanya juga seorang pejuang, seorang Patriot. Maka sekarang mendengar tentang pergerakan orang-orang gagah yang menentang kekuasaan Pemerintahan penjajah, semangatnya terbangun, dia menjadi gembira sekali. Akan tetapi dia sudah terlalu tua untuk turun gunung sendiri, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka dia lalu menyuruh muridnya itu untuk turun gunung melakukan penyelidikan.
"Setelah kau turun gunung melakukan penyelidikan, jangan lupa untuk singgah di rumah calon mertuamu di Lam-Bi-Chung."
Pesan Ketua Kun-Lun-Pai ini kepada muridnya.
"Aku sudah tua, ingin melihat kau menikah tahun ini juga."
Kwee Sin menjadi merah mukanya. Selalu mukanya yang putih tampan itu menjadi merah sekali setiap kali orang bicara atau mengingatkan dia akan tunangannya, Liem Sian Hwa. Merah karena jengah, jengah karena bahagia setiap kali dia terbayang akan wajah tunangannya itu, yang cantik sederhana, bersemangat dan gagah perkasa. Dia sendiri seorang yang berjiwa Pendekar, maka mempunyai tunangan yang amat terkenal namanya sebagai seorang Lihiap (Pendekar wanita), orang termuka dari Hoa-San Sie-Eng yang dikagumi dan disegani, tentu saja dia merasa amat bahagia. la sudah membayangkan betapa kelak dengan Sian Hwa di sampingnya, mereka akan merupakan sepasang Pendekar yang akan menjadi pembela kebenaran dan keadilan serta menjunjung tingggi nama baik Hoa-San-Pai dan Kun-Lun-Pai.
Anak-anak mereka tentu akan menjadi Pendekar-Pendekar besar pula. Setelah bersiap-siap, tidak lupa membawa pedangnya yang selama mi membuat dia terkenal, pemuda ini turun gunung dengan penuh kegembiraan. la menuju terus ke Selatan dan Timur, menjelajahi-kota-kota besar, mendengar dengar dan mencari keterangan. Banyak dia mendengar tentang pergerakan Patriotik dari perkumpulan-perkumpulan rahasia yang timbul seperti jamur di musim hujan, terutama sekali tentang sepak terjang Pek-Lian-Pai yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap Pemerintah penjajah. Maka tidak mengherankan apabila dia merasa simpati terhadap perkumpulan itu dan ingin dia mengadakan hubungan.
Namun, perkumpulan Pek-Lian-Pai ini ternyata amat rahasia, tidak mudah diketahui siapa pemimpinnya dan di mana dia dapat menemui anggautanya. Pada suatu hari Kwe Sin tiba di Sin yang dan dia mengunjungi tempat tinggal kedua Suhengnya, yaitu Bun Si Teng dan Bun Si Liong, orang pertama dan ke dua dari Kun-Lun Sam-Hengte. Selagi dia enak-enak berjalan dan tiba di jalan perempatan di luar kampung tempat tinggal Suheng-Suhengnya, dari jauh dia melihat seekor kuda hitam yang ditunggangi seorang laki-laki setengah tua berbaju putih datang membalap dari jurusan Timur. Pada saat itu juga, dari sebelah Utara datang pula berlari cepat seekor kuda yang ditunggangi seorang anak laki-laki berusia belasan tahun, antara tiga belas atau empat belas tahun yang bertubuh kekar dan gagah.
Kwee Sin terkejut sekali melihat datangnya dua ekor kuda yang berlari seperti terbang ini pada saat yang sama. Tikungan jalan perempatan dari Timur dan Utara itu tertutup oleh segerombolan pohon sehingga kedua penunggang kuda itu tentu saja tidak dapat melihat kedatangan masing-masing, dan mungkin juga tidak dapat mendengar derap kaki kuda yang lain karena berisik oleh derap kaki kuda sendiri. Kwee Sin yang datang dari Selatan melihat dengan jelas akan hal ini dan timbul kekhawatiran hatinya kalau-kalau dua ekor kuda itu akan bertemu dan beradu di perempatan. Hal yang dia khawatirkan terjadi. Dua ekor kuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah mendekati perempatan. Setelah berada dalam jarak dekat sekali, Kwee Sin berseru,
"Awas...
"
Dua ekor kuda itu sudah dekat dan tak mungkin dapat dicegah lagi terjadinya tabrakan yang mengerikan. Dua orang penunggang kuda itu, laki-laki setengah tua berpakaian putih dan pemuda remaja yang berkuda putih, melihat pula akan ancaman bahaya ini.
"Ouw-ma (kuda hitam), naik...! Laki-laki setengah tua itu berseru dan mendadak kudanya mengeluarkan ringkikan keras dan tubuhnya melompat tinggi melangkahi-kuda putih yang berlari cepat. Namun setinggi-tingginya lompatan kuda yang mendadak itu, biarpun dapat melangkahi seekor kuda, agaknya diantara empat kakinya tentu akan menendang penunggang kuda putih, anak laki-laki tadi. Kwee Sin merasa ngeri dan tak berdaya untuk menolong, matanya terbuka lebar dan jantungnya berdebar. Hanya sedetik kejadian itu. Kuda hitam melompati kuda putih, keempat kakinya hampir menyentuh punggung kuda putih dan selamat melompati kuda yang menerobos bawahnya. Debu mengebul tinggi dan... Kwee Sin tidak melihat lagi anak laki-laki tadi di atas punggung kuda putihl
"Celaka...!"
Serunya, mengira bahwa anak tadi tentu telah terkena tendangan kuda dan terlempar dalam keadaan tewas atau sedikitnya terluka hebat. Akan tetapi dia segera melongo saking kagum dan herannya setelah melihat bahwa anak itu ternyata secara lihai sekali pada saat kudanya dilompati kuda lain, telah menggantungkan diri di bawah perut kuda dan sekarang dalam keadaan selamat dia telah membalikkan tubuhnya duduk kembali di atas punggung kuda. Namun anak itu agaknya kaget juga. la menahan kendali kudanya dan menghentikan kuda itu wajahnya agak pucat. Akan tetapi laki-laki setengah tua itu hanya menoleh sambil tertawa bergelak, terus mencambuk kudanya, membalap makin cepat.
"Kurang ajar, berhenti kau!"
Kwee Sin melompat hendak mengejar penunggang kuda hitam.
"Kwee-Susiok (Paman guru Kwee), jangan kejar dia."
Tiba-tiba anak laki-laki tadi berseru. Kwee Sin kaget dan menghentikan larinya. la menoleh dan memandang anak itu lebih teliti.
"Eh, kiranya kaukah ini, Lim Kwi?"
La berlari menghampiri dengan girang.
"Pantas saja begini lihai menunggang kuda, kiranya kau"
Anak itu melompat turun dan memberi hormat. Dia memang Bun Lim Kwi, putera tunggal Bun Si Teng, jago pertama dari Kun-Lun Sam-Hengte! Sebagai seorang pedagang kuda, tentu saja Bun Si Teng dan adiknya, Bun Si Liong, selain memiliki ilmu silat tinggi sebagai keturunan Kun-Lun-Pai, juga telah mempelajari ilmu memelihara kuda dan ilmu menunggang kuda. Bun Lim kwi tentu saja juga mempelajari ilmu ini, maka tadi berkat ilmunya menunggang kuda, dia terluput daripada maut yang mengerikan.
"Lim Kwi, kau dari mana dan mengapa kau nampak berduka? Pula, kenapa kau tadi mencegah aku mengejar Bangsat itu?"
Kwee Sin mengajukan pertanyaan bertubi-tubi.
"Kwee-Susiok, memang ada pertaliannya antara pertanyaan-pertanyaanmu tadi. Paman Bun Si Liong terluka parah oleh seorang anggauta Pek-Lian-Pai, saya pergi ke Twi-Ciu membeli obat untuk Paman. Dan orang tadi... dia itu melihat kepandaian dan pakaiannya yang serba putih, agaknya juga seorang anggauta Pek-Lian-Pai yang memusuhi kami..."
"Ahhh..."
Kwee Sin berkata penasaran.
"Kalau betul dia itu memusuhi, keluargamu, kenapa kau malah mencegah aku mengejar dan memberi hajaran kepadanya? Apakah luka Ji-Suheng (Kakak seperguruan ke dua) amat parah?"
"Kwee-Susiok, anggauta-anggauta Pek-Lian-Pai lihai sekali dan selagi Pamanku terluka, kiranya tidak baik memperluas permusuhan dengan mereka."
Jawaban anak berusia belasan tahun ini diam-diam membuat Kwee Sin amat kagum. Benar-benar seoramg anak yang sudah memiliki pandangan luas, pikirnya.
"Bagaimana lukanya, Ji-Suheng?"
Bun Lim Kwi menarik napas parjang.
"Berat juga, syukur dapat tertolong oleh tabib yang pandai. Biarlah nanti Susiok mendengar sendiri tentang persoalannya dari Ayah..."
"Benar juga kau, hayo kita lekas pergi ke rumahmu, ingin aku menengok Ji-Suheng."
Keduanya lalu cepat memasuki kampung di mana Bun Lim Kwi dan Ayahnya tinggal. Rumah keluarga Bun cukup besar, malah memiliki pekarangan belakang yang amat luas, karena di situ dibangun kandang-kandang besar untuk binatang peliharaan dan dagangan mereka, yaitu kuda. Sebagai Seorang pedagang kuda, Bun Si Teng telah berhasil dan makin lama kudanya makin banyak. Hampir semua orang gagah yang membutuhkan kuda, atau para saudagar kuda dari lain daerah,
Selalu datang menemuinya karena selain keluarga Bun jujur dan tidak pernah menghargai kuda mereka terlalu tinggi, juga kuda mereka selalu adalah kuda-kuda pilihan saking pandainya Bun Si Teng memilih kuda. Di depan gedung yang cukup besar itu terdapat beberapa batang pohon yang rindang, mendatangkan suasana yang teduh dan enak di halaman rumah itu. Beberapa ekor ayam yang gemuk-gemuk sibuk mematuki gabah dan dedak yang berceceran di halaman sehingga suasana di tempat yang teduh itu aman dah damai, tidak membayangkan sesuatu yang menyedihkan. Hanya sejenak Kwee Sin dapat merasai. ketenteraman suasana ini karena dia segera tergesa-gesa memasuki gedung ketika teringat akan keadaan Ji-Suhengnya seperti yang dia dengar dari Lim Kwi. Kedatangan Kwee Sin dan Lim Kwi disambut oleh Nyonya Bun Si Teng, iBun Lim Kwi yang tergesa-gesa bertanya,
"Bagaimana Kwi-ji (anak Kwi), sudah dapatkah obatnya?"
Lim Kwi mengangguk dan Nyonya itu baru melihat munculnya Kwee Sin di belakang anaknya. la segera menyambutnya dengan muka sedih dan Kwee Sin langsung menyatakan keinginannya untuk menengok Bun Si Liong yang terluka. Beramai-ramai mereka bertiga masuk ke ruangan dalam dan di dalam kamar Bun Si Liong, orang gagah ini rebah telentang dengan muka pucat sedangkan Bun Si Teng, Kakaknya, duduk di dekat pembaringan dengan wajah muram.
"Ah, kau datang, Kwee-Sute? Kebetulan sekali!"
Kata Bun Si Teng, agak berseri wajahnya seperti mendapat pengharapan baru.
"Siauwte mendengar tentang terlukanya Ji-Suheng, bagaimana keadaannya?"
Kwee Sin menghampiri pembaringan. Bun Si. Liong membuka mata dan meman dang kepada Kwee Sin, tersenyum duka.
"Kita kecewa, Sute... ternyata Pek-Lian-Pai bukan orang-orang baik..."
"Biarlah nanti kita berhitungan dengan mereka, Ji-Suheng. Yang perlu sekarang kau berobatlah dulu agar segera sembuh,"
Menghibur adik seperguruan ini. Ia mendapat kenyataan bahwa selain menderita pukulan yang melukai sebelah dalam dada, Suhengnya ini pun menderita luka parah pada pundak dan lambungnya akibat senjata rahasia paku yang terkenal dipergunakan oleh perkumpulan Pek-Lian-Pai, yaitu Pek-Lian-Ting. Nyonya Bun Si Teng sibuk memasak obat untuk adik iparnya dan Bun Si Teng lalu menceritakan dengan singkat kepada Kwee Sin tentang terjadinya peristiwa itu.
"Beberapa pekan yang lalu di sini datang seorang yang mengaku sebagai utusan Pek-Lian-Pai yang membutuhkan dua puluh ekor kuda yang baik. Aku dan Liong-Te (adik Liong) karena merasa simpati mendengar nama baik Pek-Lian-Pai sebagai perkumpulan para Patriot, dengan senang hati memilihkan dua puluh ekor kuda dengan harga serendah-rendahnya. Malah ketika orang itu, yang mengaku bernama Thio Sian, menyatakan kagum melihat kuda tungganganku sendiri, aku dengar rela hati menyerahkan kuda itu kepadanya sebagai tanda persahabatan. Orang she Thio itu minta kepada kami, berdua supaya suka mengantarkan kuda ke dalam hutan yang tiga puluh li jauhnya dari sini. Karena ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh Pek-Lian-Pai, aku sendiri bersama Liong-Te berangkat pada tiga hari yang lalu untuk mengantar kuda-kuda itu ke sana. Celaka sekali..."
Bun Si Teng yang bertubuh tinggi besar seperti pahlawan Kwan In Tiang di jaman dahulu ini mengepalkan tinjunya yang besar dan mengertak gigi. Kwee Sin mendengarkan penuh perhatian.
"Baru saja kami memasuki hutan menggiring dua puluh ekor kuda, tiba-tiba muncul lima orang berpakaian putih-putih dan mereka menyerang kami dengan paku-paku Pek-Lian-Ting. Tentu saja kami dapat menyelamatkan diri dari serangan gelap ini dan sebelum kami dapat bertanya mengapa mereka melaku-kan hal itu, mereka telah maju mengeroyok. Terpaksa aku dan Liong-Te melakukan. perlawanan. Lima orang itu bersenjata golok dan ilmu silat mereka cukup lihai. Akan tetapi aku dan Liong-Te tidak gentar dan dapat melayani mereka dengan baik, malah dengan gabungan ilmu pedang kami dapat mendesak mereka."
Kwee Sin mengepal tinju dan amat tertarik. la cukup maklum akan kelihaian kedua orang Suhengnya, apalagi kalau mereka menggabungkan ilmu pedang mereka, kiranya tak akan mudah dikalahkan orang, biarpun dengan pengeroyokan. Twa-Suhengnya, Bun Si Teng, amat pandai bersilat pedang dan ditambah lagi dengan permainan sebatang busur besar di tangan kiri merupakan seorang gagah yang sukar dicari bandingnya. Adapun Bun Si Liong yang bertubuh tegap bermuka hitam itu, di tangan kanan memegang pedang sedangkan tangan kiri memegang golok. Ilmu pedangnya dicampur dengan ilmu golok sehingga gerakan-gerakannya amat sukar diduga lawan. Kalau dua orang ini bergabung menjadi satu, bukan main kuatnya.
"Lalu bagaimana, Twa-Suheng? Bagaimana Ji-Suheng sampai bisa terluka?"
Tanya Kwee Sin penasaran.
"Menyakitkan hati benar!"
Bun Si Teng menggebrak meja.
"Orang-orang Pek-Lian-Pai memang pengecut dan jahat. Setelah kami mulai mendesak, tiba-tiba terdengar suara ketawa seorang wanita, ketawanya nyaring dan merdu, akan tetapi tidak kelihatan orangnya. Kau tahu sendiri, Ji-Suhengmu biarpun gagah perkasa, selalu amat takut dan gugup kalau berhadapan dengan wanita. Mendengar suara ketawa ini, agaknya dia gugup sekali maka ketika dari tempat yang tidak diketahui datang menyambar paku-paku Pek-Lian-Ting, dia kurang cepat dan terluka oleh sebatang paku."
"Ahhh...!"
Kwee Sin berseru, penasaran dan juga heran.
"Paku-paku yang menyambar kali ini dilepas oleh orang yang berilmu tinggi,"
Kata Bun Si Teng menjelaskan.
"Ketika aku menangkis paku-paku itu dengan pedangku, telapak tanganku sampai tergetar. Melihat adikku terluka, aku memutar senjata dan mengamuk dengan nekat. Untuk sementara mereka itu tak dapat mengganggu Liong-Te. Akan tetapi... lagi-lagi suara wanita itu yang berseru agar lima orang pengeroyok itu mendesak aku, kemudian wanita yang bersembunyi itu menyuruh para pengeroyok itu mendesak dari satu jurusan, dari depan saja supaya jangan mengepung. Kemudian agaknya dia sendiri menghujankan paku-paku Pek-Lian-Ting kepadaku. Aku menjadi terdesak hebat, malah berada dalam keadaan berbahaya. Seorang di antara para pengeroyok mendapat kesempatan untuk menyerang Adik Liong yang sudah terluka. Liong-Te masih dapat melawan, akan tetapi lagi-lagi sebatangi paku melukainya, klni di bagian lambungnya dan yang pertama tadi melukai pundaknya. Luka-luka ini yang ternyata kemudian mengandung racun, membuat dia seperti lumpuh sehingga dia kena pukulan pada dadanya."
"Keparat...!"
Kwee Sin berkata gemas
"Melihat keadaan adikku terancam, aku menyerbu ke arah adikku dan berhasil merobohkan penyerangnya itu dengan busurku. Entah dia mampus atau tidak, akan tetapi setidaknya kepalanya tentu retak!"
Bun Si Teng gemas.
"Kemudian aku mengambil keputusan untuk menyelamatkan Liong-Te, karena musuh terlampau kuat. Aku berhasil menyambar tubuh Liong-Te dan kubawa lari pulang. Kuda-kuda itu mereka rampas dan ketika pada keesokan harinya aku membawa beberapa orang murid mengunjungi hutan, di situ sudah tidak ada seorang pun anggauta Pek-Lian-Pai."
Kwee Sin menepuk pahanya dengan marah.
"Ah, kalau tahu begitu, si kurang ajar tadi tak akan kulepaskan begitu saja!"
Bun Si Teng memandang heran.
"Siapa yang kau maksudkan, Sute?"
Kwee Sin lalu menceritakan tentang penunggang kuda yang tadi hampir saja mencelakai Bun Lim Kwi. Mendengar ini berkerut alis Bun Si Teng.
"Hemmm, kalau begitu mereka itu selain bermaksud merampas kuda, juga sengaja hendak memusuhi-keluargaku. Ah, kebetulan kau datang, Sute. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa manusia bernama Thio Sian itu berada di dusun Hek-Siong-San tak jauh dari sini. Aku tadinya hendak mencarinya di sana untuk membuat perhitungan. Sekarang kebetulan kau datang sehingga hatiku agak lega meninggalkan rumah. Siapa tahu selagi aku pergi, mereka datang membikin kacau sedangkan Liong-Te masih belum sembuh. Kau bisa mewakili aku menjaga di rumah."
"Twa-Suheng, kurasa Twa-Suheng saja yang menjaga rumah, biar aku yang mewakili Suheng mencari jahanam Thio Sian itu di Hek-Siong-San. Sudah terang bahwa Pek-Lian-Pai arnat curang, kalau Suheng sendiri yang pergi ke sana, jangan-jangan mereka akan mengatur jebakan karena mereka sudah mengenalmu. Akan tetapi kalau aku yang pergi, mereka belum mengenalku, maka kiranya akan lebih leluasa bagiku untuk bergerak. Hanya saja, harap Suheng memberi gambaran yang jelas tentang rupa orang she Thio itu."
Mendengar kata-kata Kwee Sin ini, Bun Si Teng mengangguk-angguk. Tak dapat disangkal pula, ucapan Kwee Sin ini memang benar sekali. Selain itu, dia sudah percaya akan kepandaian Sutenya ini yang tidak berbeda jauh dengan kepandaiannya sendiri. Betapapun juga, menjaga di rumah kiranya merupakan kewajiban yang tidak kalah pentingnya, pula amat berbahaya karena selain harus melindungi anak isterinya, dia harus pula melindungi adiknya yang sedang sakit.
"Baiklah, Kwee-Sute. Akan tetapi kau harus hati-hati benar karena biarpun mengenai kepandaian silat kiranya kau tak usah khawatir menghadapi mereka, namun mereka itu licik dan curang sekali. Untuk mengenal orang she Thio itu mudah saja. Perawakannya kurus tinggi, kumisnya kecil panjang dan di atas pipi kanannya terdapat sebuah tahi-lalat merah. la bicara dengan lidah Utara."
Setelah mendapat penjelasan dari Suhengnya, Kwee Sin Jalu pergi melakukan tugasnya, mencari musuh besar Suhengnya itu ke dusun Hek-Siong-San. Dusun itu kecil saja, akan tetapi ternyata tidak mudah bagi Kwee Sin untuk mencari Thio Sian. Agaknya tidak ada yang mengenal orang ini di Hek-Siong-San. Akhirnya dia mendapat keterangan tentang orang ini dari seorang pemilik warung arak.
"Orang tinggi kurus berkumis kecil dan ada tahi-lalatnya merah di pipi kanan? Ah, benar, dia pernah membeli arak di sini, malah tadi aku lihat dia lewat di sini menuju ke Timur."
Mendengar keterangan ini, Kwee Sin mengucapkan terima kasihnya dan cepat dia melakukan pengejaran ke Timur. Di sebelah Timur dusun ini terdapat sebuah hutan kecil. Tanpa ragu-ragu Kwee Sin memasuki hutan ini, biarpun hari sudah mulai senja. Hutan pohon siong yang menghitam kulitnya itu nampak gelap. Ia melihat hutan itu sunyi saja, bahkan tidak nampak seekor binatang hutan. Tiba-tiba dia mencium bau asap dan melihat asap membumbung tinggi dari sebelah kiri. Berindap-indap dia mendekati dan dengan girang dia melihat seorang laki-laki menghadapi api unggun. Laki-laki ini cocok dengan gambaran diri Thio Sian dan lebih girang lagi hatinya karena melihat laki-laki ini seorang diri saja, tidak ada orang lain di situ. Dengan berani dan gagah Kwee Sin lalu meloncat mendekati dan berdiri dengan tangan bertolak pinggang.
"Orang she Thio, bersiaplah membuat perhitungan atas perbuatanmu yang pengecut dan curang!"
Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentaknya sambil mencabut keluar pedangnya. Orang tinggi kurus itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dengan tenang.
"Payah kau mencari-cari aku di Hek-Siong-San, lalu mengejar ke sini atas keterangan tukang penjual arak. Dapat bertemu setelah aku membakar daun-daun kering ini. Eh, orang muda yang gagah, apa perlunya kau mencari aku Thio Sian?"
Kwee Sin kaget sekali. Kiranya orang yang dicari-carinya ini telah lebih dulu tahu akan kedatangannya. Benar berbahaya. Diam-diam dia mengerling ke kanan kiri untuk mencari kalau-kalau orang ini sudah memasang jebakan. Ia merasa gentar juga, namun sebagai seorang Pendekar dia tidak mau memperlihatkan ini.
"Jangan kau bersikap pura-pura,"
Katanya mengejek.
"Kau sudah berani menipu Kun-Lun Sam-Hengte, menipu kedua Suhengku, malah melukai Ji-Suhengku dengan pengeroyokan pengecut. Ketahuilah, aku Kwee Sin tak akan membiarkan orang macam engkau menghina Ji-Suheng begitu saja!"
Orang itu sambil tersenyum lalu menjura.
"Eh, kiranya Pek-Lek-Jiu Kwee-Enghiong yang datang. Sudah lama mendengar nama besar Kwee-Enghiong, dan aku yang bodoh Thio Sian juga sudah beruntung sekali berkenalan dengan kedua saudara Bun yang gagah..."
Mendongkol sekali hati Kwee Sin.
"Orang she Thio, jangan berpura-pura menjual mulut manis. Awas pedangku!"
La merasa dipermainkan dan khawatir kalau-kalau dijebak maka cepat dia mengirim serangan.
"Eh, eh, benar-benar berdarah panas!"
Orang itu"
Dengan mudahnya mengelak Kwee Sin mendesak lagi dengan pedangnya sehingga mau tidak mau Thio Sian mencabut golok dan menangkis.
"Kau hendak menguji kepandaian? Baiklah, tiada halangannya di tempat sunyi kita bermain-main, biar kita penuhi-syarat perkenalan dengan bertanding lebih dulu. Di lain saat kedua orang itu sudah bertanding seru. Diam-diam Kwee Sin harus mengakui kehebatan lawannya yang memiliki golok yang amat cepat dan kuat. Payah dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun tetap saja dia tidak mampu mendesak lawannya. Dia mulai gelisah. Kalau ada seorang lagi saja teman lawannya, dia tentu celaka dan tak akan dapat menang. Oleh karena itu dia mulai melakukan pukulan-pukulan tangan kiri, yaitu pukulan Pek-Lek-Jiu yang amat ampuh.
"Ayaaa... kau benar-benar hendak mengambil nyawa orang tak berdosa?"
Thio Sian nampak terkejut dan cepat mengelak.
"Mari kita bicara dulu."
Tapi Kwee Sin mana mau berhenti? Malah menyerang makin gencar dengan pedang dan pukulan-pukulannya. Tiba-tiba Thio Sian juga melakukan penyerangan dengan tangan kirinya, melakukan pukulan-pukulan jarak jauh untuk menandingi Pek-Lek-Jiu dari jago muda Kun-Lun-Pai itu. Pada saat itu cuaca sudah mulai gelap. Pertempuran sudah berlangsung hampir seratus jurus. Berkali-kali Thio Sian minta dihentikan, namun Kwee Sin tidak mau peduli. Tiba-tiba berkelebat bayangan kecil berwarna merah ke arah Thio Sian. Orang ini terkejut menangkis dengan goloknya. Bayangan itu ternyata sehelai Saputangan dan Thio Sian mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Aaahhhhh... kau... kau bersekutu dengan dia...?"
La mengeluh dan tiba-tiba tangan kirinya melayangkan beberapa buah Pek-Lian-Ting ke arah Kwee Sin Penyerangan ini tiba-tiba datangnya.
Kwee Sin sudah berusaha menghindarkan diri, namun sebatang paku Pek-Lian-Ting dengan tepat sekali menancap di jalan darah dekat lehernya. Pandang matanya gelap dan Kwee Sin mengeluh perlahan lalu roboh pingsan! Ketika Kwee Sin membuka matanya sambil mengeluh kesakitan, dia menjadi heran dan kaget karena mendapatkan dirinya sudah rebah di atas pembaringan dalam sebuah kamar yang berbau harum. Lehernya terasa panas dan sakit sekali, sampai berdenyut kepalanya. Namun dia memaksa diri bangun duduk. Terdengar pintu kamar berderit terbuka, lalu tertutup lagi. Kwee Sin menoleh dan... matanya terbelalak lebar ketika dia melihat seorang wanita muda cantik sekali memasuki kamar itu sambil tersenyunn manis.
"Kau... kau siapakah...?"
Kwee Sin hendak melompat turun. Wanita itu melangkah ringan dan cepat, tahu-tahu sudah berada di pinggir pembaringan, lalu menjura dan berkata, dengan kata-kata yang sopan dan merdu.
"Harap Taihiap tenang dan jangan kaget, biarlah Siauw-moi memberi penjelasan..."
"Tapi... tapi tak pantas sekali kita... berada di sini..."
"Sssssttt..."
Manis sekali ketika wanita itu menaruh telunjuk di depan mulut dan bibirnya mengeluarkan suara ini untuk mencegah pemuda itu membuat berisik.
"Taihiap, jangan ribut-ribut, kalau terdengar para pelayan losmen dan para tamu, kita malah akan mendapat malu. Dengarlah Siauw-moi bicara..."
Wanita itu dengan sikap sopan tapi amat manis menarik lalu duduk di atas bangku depan pembaringan sambil memberi isyarat dengan tangannya agar Kwee Sin berbaring kembali.
"Kau berbaringlah, lukamu masih belum sembuh dan perlu beristirahat."
Karena memang kepalanya berdenyut-denyut dan pening, Kwee Sin terpaksa menurut dan membaringkan badan, biarpun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia seorang gagah, bagaimana sekarang bisa berada sekamar dengan seorang gadis cantik jelita? Benar-benar memalukan dan mencemarkan namanya!
"Taihiap, secara terpaksa sekali aku membawamu ke dalam losmen ini. Kau terluka hebat oleh paku Pek-Lian-Ting. Kau pingsan, lukamu parah, tepat mengenai jalan darah besar di leher. Tanpa mendapat pengobatan yang cepat dan tepat, keadaanmu akan berbahaya sekali. Di dalam hutan yang sunyi, bagaimana, aku dapat menolongmu? Karena itu secara terpaksa sekali aku membawamu ke losmen ini, menyewa sebuah kamar."
"Tapi... tapi...,"
Kwee Sin memprotes.
"Mengapa hanya sekamar? Padahal, kau dan aku... laki-laki dan wanita, sungguh tak patut..."
Wajah wanita itu menjadi merah sekali, terutama di kedua pipinya, membuat ia nampak makin jelita.
"Maaf, Taihiap. Aku... aku terpaksa mengaku bahwa kita... kita ini suami isteri..."
"Ahhh!"
Kwee Sin terkejut dan hendak bangun, tapi lehernya sakit sekali dan dia rebah kembali.
"Terpaksa, Taihiap. Kalau aku tidak mengaku demikian, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Aku mengaku suami isteri yang berpesiar, lalu kau mendapat kecelakaan jatuh dari kuda. Setelah aku mengaku bahwa kita adalah suami isteri, tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau menaruh curiga."
Kwee Sin diam saja. la merasai kebenaran omongan wanita ini. la melirik dan melihat wanita itu menyusuti dahi dengan sehelai Saputangan merah. Tiba-tiba dia teringat dan dia memaksa diri duduk.
"Kau... kaukah yang menyerang dan merobohkan Thio Sian dan yang menolongku?"
La memandang tajam, ragu-ragu. Wanita itu merah lagi kedua pipinya, ketika mengangguk, tersenyum dan berkata perlahan.
"Sudah sepatutnya kita saling tolong-menolong, apalagi menghadapi seorang penjahat besar seperti tokoh Pek-Lian-Pai itu. Ketika aku melihat seorang Pek-Lian-Pai bertempur melawanmu, tanpa ragu-ragu aku memihak kepadamu, Taihiap. Tidak tahu, siapakah nama Taihiap yang mulia?"
Sambil duduk Kwee Sin cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Ah, kiranya Nona adalah penolongku. Terima kasih banyak, Nona sudah menolong dan menyelamatkan nyawaku. Aku yang bodoh bernama Kwee Sin dan bolehkah aku mengetahui nama besar Lihiap (Nona Pendekar)?"
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo