Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 11


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



"Ayaaaahhh...!!"

   Li Cu menubruk mayat Ayahnya dan roboh pingsan. Li Cu jatuh sakit. Demam panas menyerang tubuhnya setelah berkali-kali ia pingsan.

   Sampai sepekan ia rebah di pembaringan dalam keadaan setengah sadar. Selama itu Beng San merawat dan melayaninya dengan penuh perhatian. Beng San mengalami hal-hal aneh ketika ia berhadapan dengan para penduduk yang dulu membantu Cia Hui Gan merampungkan rencana tempat tinggalnya. Mereka itu menyebutnya "Tuan muda"

   Yang dianggapnya sebagai Suami dari "nyonya muda"

   Yang sekarang sakit. Kemudian, setelah mereka semua menyatakan kegembiraan hati bahwa nyonya muda dan Suaminya dapat kembali dengan selamat, mereka menyatakan kegirangan pula bahwa tuan muda sudah sembuh dari sakitnya lupa ingatan. Mereka pulalah yang menceritakan tentang pertempuran itu sehingga terbuka mata Beng San akan segala yang telah terjadi kepada dirinya selama hampir dua tahun ini.

   Tahulah ia bahwa ia sebagai seorang gila menganggap Li Cu sebagai Isterinya, sebagai Bi Goat dan betapa selama hampir dua tahun ini Li Cu merawatnya penuh kecintaan. Juga ia tahu sekarang bahwa Cia Hui Gan tewas dalam membela dia! Semua ini ditambah lagi dengan keadaan Li Cu yang mengigau ketika demam panas menyerangnya. Li Cu mengigau tentang masa lalu, tentang cinta kasihnya kepada Beng San. Semua ini membuat Beng San demikian terharu sehingga ia menitikkan air mata ketika duduk di pinggir pembaringan gadis itu. Dengan amat tekun ia merawat Li Cu dan siang malam tidak pernah meninggalkan kamar itu. Sembilan hari kemudian demam meninggalkan tubuh Li Cu dan gadis ini pada pagi hari itu sadar. Dilihatnya Beng San duduk di kursi tertidur! Namun suara gerakan Li Cu cukup untuk membangunkannya. Mereka berpandangan sejenak.

   "Kau... kau masih di sini...?"

   "Di mana lagi kalau tidak di sini...?"

   Jawab Beng San halus, sinar matanya gembira sekali.

   "Ayah... bagaimana...?"

   Matanya meragu dan ia memandang ke arah pintu kamarnya, agaknya ingin menjenguk keluar.

   "Sudah beres, sudah kuurus pemakamannya."

   Li Cu menarik napas panjang, hatinya menjerit-jerit namun air matanya sudah kering.

   "Berapa lama aku rebah di sini...?"

   "Kau terserang demam, Nona. Sembilan hari sembilan malam kau dalam keadaan tidak sadar. Karena itulah aku lancang mewakilimu mengurus pemakaman Ayahmu."

   Li Cu bergerak hendak duduk. Melihat kelemahan gadis itu, Beng San cepat membantunya. Ia merasa kasihan sekali dan cepat ia menghibur,

   "Harap kau kuatkan hatimu. Nona. Ingatlah bahwa mati hidup seorang manusia berada di tangan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki kematian seseorang, ada saja yang menjadi lantarannya. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah perkasa, mati dikeroyok tokoh-tokoh besar dalam melindungi... aku yang tak berharga..."

   "Tidak! Bukan melindungi kau, melainkan membela aku!"

   Cepat Li Cu membantah.

   "Apa bedanya, Nona? Membela engkau karena kau berusaha melindungi aku."

   "Kau merawatku terus-menerus selama aku sakit?"

   Cepat Li Cu memotong omongan Beng San, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah. Beng San mengangguk dan memandang dengan mata penuh perasaan.

   "Nona Cia, apa artinya perawatan sembilan hari kalau dibandingkan dengan perawatanmu selama hampir dua tahun? Kau amat mulia, kau mengorbankan..."

   "Kau dalam sakit, kau kehilangan ingatan!"

   Li Cu cepat memotong, mukanya kini menjadi merah sekali.

   "Siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatmu? Kaupun sudah beberapa kali menyelamatkan nyawaku, sudah sepatutnya aku membalas kebaikanmu."

   Dengan keras kepala Beng San melanjutkan setelah menggeleng kepala untuk menyangkal alasan Li Cu yang lemah itu.

   "Kau mengorbankan dirimu, mengorbankan nama baik Ayahmu. Dalam gilaku aku menganggap kau Isteriku, menganggap kau Bi Goat. Namun... kau menerima semua itu, kau malah memaksa Ayahmu membawaku ke sini mengorbankan segalanya untuk aku, malah berusaha membuat tempat perlindungan yang aman untukku. Li Cu... Nona Cia... mengapa kau lakukan semua itu?"

   Li Cu menunduk, menyembunyikan mukanya di belakang bantal yang diangkatnya. Suaranya terdengar lirih bertanya,

   "Semua itu bohong. Kau yang kehilangan ingatan bagaimana kau bisa tahu itu semua? Bohong..."

   "Aku mendengar percakapanmu dengan Beng Kui pada saat aku sadar. Kemudian aku mendengar penuturan saudara-saudara yang berada di sini, dan ketika kau sakit, kau mengigau..."

   Cepat bantal itu diturunkan dan sepasang mata itu memandangnya penuh pertanyaan. Wajah itu merah dan tidak tampak lagi bahwa gadis ini habis sakit kecuali tubuhnya yang agak kurus itu.

   "Beng San..."

   Terhenti kata-kata Li Cu ketika ia teringat betapa janggal panggilan ini yang begitu saja keluar dari bibirnya dengan suara mesra.

   "Ya...? Kau hendak bilang apakah, Nona...?"

   Makin gugup Li Cu. Biasanya, ketika belum sembuh, Beng San selalu menyebutnya "Isteriku"

   Sehingga ia sudah biasa benar dengan sebutan itu. Sekarang, orang yang telah ia anggap sebagai Suaminya dalam batin itu, menyebutnya nona!

   "Andaikata benar semua itu..., tapi waktu itu keadaanmu dalam lupa ingatan. Kau mau tinggal di sini karena... karena kau mengira bahwa aku Bi Goat. kau mengira bahwa aku Isterimu yang sudah meninggal dunia itu..."

   Ia berhenti lagi.

   "Betul, Nona. Lalu bagaimana?"

   Beng San bertanya tenang dan sabar,

   "Sekarang kau sudah sembuh..., kau sudah mendapatkan kembali ingatanmu... kau tahu bahwa aku bukan Isterimu Bi Goat... kau tahu bahwa aku hanya seorang gadis yatim piatu sebatang kara..."

   Sampai di sini ia terisak dan menutup mukanya dengan bantal. Beng San tidak berkata apa-apa hanya menanti dengan sabar.

   "Aku... aku bukan apa-apamu... tak berhak menahanmu... kau tentu akan pergi dari sini."

   Tiba-tiba ia menurunkan bantalnya dan dengan mata basah ia bertanya.

   "Mengapa kau masih belum juga pergi dari sini? Aku bukan Bi Goat!"

   Wajah Beng San tiba-tiba menjadi pucat dan matanya membayangkan kegelisahan besar.

   "Tapi... tapi kau... Isteriku..."

   Li Cu menggigit bibirnya, bukan main jengahnya. Ia merasa malu sekali kalau teringat akan semua perbuatannya itu. Tapi ia harus rnembela diri, tak mungkin ia mengaku begitu saja bahwa ia mencinta Beng San. Ia harus mencari alasan mengapa ia berbuat demikian, untuk membela diri.

   "Isterimu adalah Bi Goat..."

   "Tapi... bukankah hampir dua tahun kau mengaku sebagai Isteriku...?"

   Li Cu membuang muka.

   "Karena kau menganggap aku Bi Goat. Aku harus merawatmu dan karenanya tiada lain jalan kecuali membiarkan kau menganggap aku Isterimu Bi Goat. Sekarang kau sudah sembuh, sudah sadar dan ingat bahwa aku bukanlah Isterimu Bi Goat, bahwa aku bukan apa-apamu dan kau boleh pergi meninggalkanku sekarang juga!"

   Beng San merasa tubuhnya lemas, seakan-akan dilolos semua urat-urat dari tubuhnya. Jantungnya terasa ringan kosong, perasaannya hampa. Ah, mengapa aku tidak tahu diri, pikirnya. Sudah terang bahwa Li Cu Melakukan semua itu karena hanya hendak membalas budi pertolongannya karena kasihan, apa lagi? Tak mungkin gadis seperti Li Cu bisa cinta kepadanya, seorang laki-laki yang menjadi hina namanya karena urusannya dengan Kwa Hong, seorang duda yang sudah mempunyai anak. Dua malah anaknya, satu anak Kwa Hong, ke dua anak Bi Goat. Mana sudi Li Cu kepadanya?

   "Ah... maaf... maaf... sungguh aku tak tahu diri..."

   Bagaikan mimpi kedua kakinya bergerak menuju ke pintu kamar, dengan langkah limbung seperti orang mabuk arak ia keluar dari kamar itu. Jiwanya menjerit-jerit, musnah semua harapannya untuk dapat hidup mengenyam kebahagiaan.

   Hanya sekelumit harapan untuk hidup baru setelah ditinggal Bi Goat. Li Cu, Li Cu... Jerit hatinya, tak kuat aku berpisah dari sisimu! Ia tidak melihat betapa dari atas pembaringan Li Cu memandangnya dengan wajah pucat pula dan sepasang mata itu mengucurkan air mata yang jatuh berderai membasahi kedua pipinya. Tak tahu ia betapa gadis itu turun perlahan-lahan dari pembaringan dan berjalan pula mengikutinya keluar dari kamar itu. Tak tahu pula betapa jiwa Li Cu menjerit-jerit minta ia kembali pula. Jeritan jiwa mengetar-getar penuh kekuatan gaib. Seakan-akan terasa oleh kedua orang muda itu. Dalam detik itu juga terjadilah peluapan rasa melalui bibir dan gerakan masing-masing. Pada saat itu pula Li Cu menjatuhkan diri berlutut. Berbareng pula jerit mereka keluar dari lubuk hati melalui bibir-bibir yang bergetar.

   "Li Cu, tak kuat aku berpisah dari sisimu...!"

   "Beng San, kembalilah Beng San...!"

   Keduanya terpaku kaget oleh suara masing-masing dan setelah pengertian mereka dapat menangkap apa yang diucapkan oleh yang lain, Beng San segera berlari maju dengan kedua lengan terbuka diterima oleh Li Cu dengan kedua lengan terbuka pula. Beng San menjatuhkan diri berlutut dan kedua orang itu saling berdekapan sambil berlutut, tak kuasa mengeluarkan suara kecuali isak dan sedu. Sunyi senyap saat itu, sunyi yang membahagiakan hati masing-masing yang merasa seakan-akan baru saja mereka mendapatkan kembali semangat mereka yang hampir hilang. Sampai lama mereka berpelukan tanpa mengeluarkan suara. Akhirnya terdengar Li Cu berkata tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Beng San.

   "Tapi... kau hanya mencinta Bi Goat..."

   "Itu dahulu, Li Cu. Setelah ia meninggal... kaulah orang yang menggantikannya... lebih daripada itu malah... kau mulia, setia, penuh pengorbanan. Ah... alangkah mulianya engkau... aku cinta kepadamu, Li Cu dan aku tidak kuat untuk berpisah dari sisimu."

   "Beng San..."

   Li Cu menangis penuh kebahagiaan dan keharuan.

   "Li Cu... cintakah kau kepadaku? Dan bersediakah kau menjadi Isteriku?"

   "Masih perlukah kau bertanya, Beng San? Di waktu kau sakit dan hilang ingatan, aku sudah suka menjadi Isterimu walaupun hanya sebutan belaka. Apalagi sekarang setelah engkau sembuh. Tentang cinta... belum pernah selama hidupku aku mencinta orang seperti cintaku kepadamu."

   "Li Cu, dewiku sayang..."

   Hening lagi sejenak dan keduanya terbenam dalam lautan madu, mabok oleh kemesraan asmara yang bergelora dalam hati masing-masing.

   "Beng San, orang bilang kau mata keranjang. Betulkah?"

   Beng San tersenyum ditahan.

   "Memang aku mata keranjang. Akan tetapi, bidadari dari kahyangan sekalipun belum tentu dapat menggerakkan hatiku. Hanya engkaulah yang membuat aku lupa segala, melihat engkau aku jadi mata keranjang! Ah, andaikata ada seribu engkau, aku akan sanggup untuk mencinta semua!"

   "Ah, kau memang mata keranjang!"

   Tegur Li Cu manja.

   "Bertemu dengan seorang dewi seperti engkau, Li Cu, siapa orangnya takkan mencinta? Siapa orangnya takkan jatuh hati? Kau cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, kau setia dan gagah perkasa, pendekar wanita sejati, kau berbudi mulia seperti Kwan Im, kau dewi pujaan hatiku, cinta kasihmu suci murni semoga

   "Aku dapat mengimbanginya..."

   Beng San merayu.

   "Iihh, kau selain mata keranjang juga... ceriwis!"

   Hati siapa takkan ikut merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan sepasang orang muda seperti Li Cu dan Beng San? Hati siapa takkan ikut merasa senang melihat orang lain bahagia? Hanya hati yang dikotori iblis iri cemburu jua yang tak tahan menyaksikan orang lain berbahagia. Untung, di dunia ini tak banyak orang demikian. Kita merasa berbahagia melihat orang lain seperti sepasang orang muda itu berbahagia dalam pertemuan dua hati menjadi satu, diikat dan dikekalkan oleh cinta kasih nan suci.

   Sayang, di samping mereka yang berbahagia oleh asmara, banyak pula yang sengsara oleh asmara yang sama. Memang asmara mendatangkan bahagia dan sengsara silih berganti, menimbulkan banyak cerita yang aneh-aneh. Beng San sendiri hampir saja binasa karena asmara kandas, baiknya ia bertemu dengan Li Cu dan sebaliknya malah menemukan kembali kebahagiaan hidup. Memang demikianlah hidup di dunia ini. Kebahagiaan duniawi takkan kekal, berubah-ubah dan hal yang demikian ini memang berlaku bagi segala benda, mati atau hidup, di dunia ini. Ada siang ada malam, ada dingin ada panas, adakalanya hujan adakalanya terang, adakalanya sengsara adakalanya bahagia.

   Kebahagiaan datang tak terduga-duga seperti halnya kebahagiaan Beng San. Demikian pula kesengsaraan datang tanpa disadari seperti halnya penderitaan Bi Goat yang telah tiada. Kenyataan ini merupakan pelajaran hidup yang amat penting, yaitu bahwa manusia tak perlu berputus asa di waktu menghadapi kegagalan, juga tidak semestinya bangga dan tidak mabok dikala mendapatkan kemenangan. Tidak membanjir di waktu pasang, tidak kering di waktu surut, seperti air laut yang tenang teguh sehingga dapat menerima perubahan keadaannya tanpa rnenderita kerusakan. Di antara sekian banyaknya orang yang sedang "surut"

   Nasibnya, adalah Thio Ki. Telah diceritakan di depan betapa Thio Ki dan Isterinya, Lee Giok, diserbu oleh Kim-Thouw Thian-Li yang dibantu oleh Hek-Hwa Kui-Bo dan Giam Kin sehingga akhirnya Lee Giok terculik oleh Siauw-Coa-Ong Giam Kin.

   Seperti kita ketahui, Thio Ki terbebas daripada kematian karena mendapat bantuan Li Cu dan kemudian Beng San dan atas permintaan Beng San, Thio Ki pergi ke Hoa-San untuk berobat dan membereskan urusan Hoa-San-Pai yang dikacau oleh Kwa Hong. Besarlah hati para Tosu di Hoa-San-Pai ketika mereka melihat munculnya Thio Ki, karena pada waktu itu Hoa-San-Pai benar-benar sudah kacau-balau, tidak ada yang mengurusnya semenjak Lian Bu Tojin tewas di tangan Kwa Hong. Bukan main sedihnya hati Thio Ki ketika mendengar dari para Tosu tentang nasib Lian Bu Tojin dan Hoa-San-Pai. Ia merasa amat marah dan gemas kepada Kwa Hong, juga terheran-heran mengapa Kwa Hong sekarang berubah seperti iblis dan juga amat lihai? Para Tosu tadinya hendak mengangkatnya sebagai Ketua Hoa-San-Pai, namun Thio Ki menolak keras.

   "Mana bisa aku menjadi Ketua Hoa-San-Pai?"

   Teriaknya kaget.

   "Tingkatku di Hoa-San-Pai amat rendah, pula aku masih muda. Banyak para Susiok dan Supek di sini, bagaimana aku berani mengangkat diri menjadi Ketua? Pula, orang dengan kepandaian seperti Sukong Lian Bu Tojin sendiri masih tidak kuat menjaga keselamatan Hoa-San-Pai, apalagi orang seperti aku? Tidak, aku tidak berani menjadi ketua, akan tetapi aku sanggup untuk sementara berada di sini untuk mempertanggung-jawabkan Hoa-San-Pai. Biarlah kita menanti sampai kembalinya Tan Beng San Taihiap, karena kiranya hanya dia yang akan dapat menolong kita."

   Akan tetapi sampai berbulan-bulan Thio Ki dan para Tosu Hoa-San-Pai menanti dengan sia-sia. Malah akhirnya dia minta bantuan para Tosu yang disebarnya ke segenap penjuru untuk melakukan penyelidikan, kemudian dia sendiri lalu pergi mencari Isterinya atau Beng San. Hasilnya juga nihil. Sama sekali Thio Ki tidak tahu apa yang terjadi atas diri Isterinya, juga tidak tahu bahwa pada waktu itu Beng San sendiri juga menghadapi malapetaka yang hebat.

   Hatinya makin risau dan ia mendapat firasat tidak enak dalam hatinya bahwa Isterinya tentu mengalami malapetaka besar. Ia berduka sekali, terutama kalau teringat bahwa Isterinya itu sedang mengandung. Beberapa bulan kemudian pada suatu hari selagi Thio Ki berlatih silat membimbing para Tosu di belakang kuil, tiba-tiba terdengar suara melengking aneh. Para Tosu menjadi pucat mendengar ini. Mereka pernah dahulu mendengar suara ini, yaitu suara Burung Rajawali Emas yang menjadi binatang tunggangan Kwa Hong. Bagaikan anak-anak kelinci takut mendengar auman Harimau, mereka berlari ke belakang Thio Ki dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, jantung berdebar keras. Thio Ki sendiri terkejut dan menengok ke atas di mana ia melihat seekor Burung yang besar dan indah terbang berkeliling.

   "Eh, Burung apakah itu? Besar sekali!"

   Katanya.

   "Celaka... dia datang kembali...!"

   Seorang Tosu tua berkata. Seketika Thio Ki teringat akan cerita yang ia dengar tentang Kwa Hong dan Rajawalinya, maka iapun terkejut dan menanti penuh perhatian. Ketika ia menengok, ia melihat dengan heran dan kaget bahwa semua Tosu yang berada di belakangnya sudah pada berlutut! Burung itu terbang makin dekat, menukik ke bawah dan terdengarlah bentakan nyaring.

   "Siapa ini berani menyambut Ketua Hoa-San-Pai tanpa berlutut? Apa kau sudah bosan hidup?"

   Ucapan ini disusul menyambarnya sinar hijau ke arah kepala Thio Ki.

   "Hong-moi...!"

   Thio Ki berteriak dan inilah yang menyelamatkan nyawanya karena sinar itu tiba-tiba menyeleweng tidak jadi mengenai kepalanya akan tetapi ada hawa pukulan yang demikian dahsyatnya sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi Thio Ki terguling dan terbanting ke atas tanah!

   "Sumoi...!"

   Thio Ki memanggil lagi sambil merangkak bangun. Kiranya Kwa Hong sudah berdiri di atas tanah, Burung raksasa itu telah terbang ke atas sambil bercuitan. Thio Ki cepat bangun, akan tetapi kaki kiri Kwa Hong bergerak ke arah lututnya dan... untuk kedua kalinya Thio Ki roboh lagi. Ia mengangkat muka dengan heran. Bukan main terkejutnya ketika ia melihat Kwa Hong. Jelas bahwa wanita ini adalah Kwa Hong, masih semanis dan secantik dahulu. Akan tetapi tarikan mulut itu benar-benar menimbulkan kengerian padanya.

   "Heh, kiranya engkau? Thio Ki, biarpun engkau sendiri juga harus berlutut di depanku, di depan Ketua Hoa-San-Pai!"

   "Sumoi, apakah kau sudah gila?"

   Thio Ki melompat bangun.

   "Betulkah kau telah membunuh Sukong, mengangkat diri menjadi Ketua Hoa-San-Pai? Sumoi, kenapa begitu? Kau yang dulu berjiwa gagah..."

   Kata-kata Thio Ki terhenti karena ia sudah roboh lagi, kini agak parah karena ia kena ditampar pundaknya oleh tangan kiri Kwa Hong yang memiliki hawa pukulan luar biasa dahsyatnya. Mata Kwa Hong berkilat marah.

   "Memang aku bunuh dia. Kaupun akan kubunuh karena kau berani bersikap kurang ajar kepadaku! Kau bicara tentang kegagahan? Hi-hi-hik, kau sendiri gagah apanya? Isteri dibawa lari orang lain, dipermainkan, kau enak saja di sini. Huh, laki-laki apa kau ini? Lebih baik mampus!"

   Thio Ki seketika bangun lagi, lupa akan rasa nyeri luar biasa pada pundaknya. Mukanya pucat.

   "Sumoi... kau melihat Lee Giok? Di mana dia? Bagaimana dengan dia...? Apakah si bangsat Giam Kin..."

   Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, napasnya sesak karena gelisah dan marah.

   "Hi-hi-hik, Isterimu dibawa lari orang, dipermainkan orang. Syukur, baru senang ya rasanya terpisah dari orang yang kau kasihi? Hu-hu-hu..."

   Tiba-tiba Kwa Hong menangis tersedu-sedu karena ia teringat akan dirinya sendiri yang juga tak dapat berkumpul dengan orang yang ia cinta. Thio Ki kaget dan juga bingung, akan tetapi berita itu terlalu mengguncangkan hatinya sehingga ia tidak pedulikan lagi yang lain. Ia bangun dan memegang tangan Kwa Hong.

   "Sumoi... demi Tuhan... katakanlah, di mana Giam Kin yang menculik Isteriku...?"

   Kwa Hong menghentikan tangisnya, lalu matanya liar lagi, penuh kebengisan.

   "Kau mau mencari dia? Boleh kuantar kau menyusul dia ke akhirat. Dia sudah kubunuh!"

   "Dan Lee Giok bagaimana...? Ah, Sumoi..."

   Mata Thio Ki terbelalak dan sikapnya mengancam.

   "Apakah kau juga membunuh dia...?"

   Kwa Hong tertawa lagi, tertawa menyeramkan.

   "Kalau betul, kau mau apa?"

   "Kau... kau... iblis kejam...!"

   Dengan nekat Thio Ki menerjang bekas adik seperguruannya itu. Akan tetapi pada waktu itu tingkat kepandaiannya tidak berarti apa-apa kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwa Hong. Sekali menangkis dan sekali mendorong saja kembali Kwa Hong berhasil merobohkannya. Kwa Hong tertawa lagi sambil mengeluarkan pedang Hoa-San Po-Kiam.

   "Hi-hik, kau manusia rendah berani melawan Ketua Hoa-San-Pai? Mampuslah kau!"

   Pedang Hoa-San Po-Kiam itu diangkat tinggi-tinggi untuk ditebaskan ke arah leher Thio Ki. Pada saat itu sebutir batu kecil menyambar ke arah pedang itu sehingga gerakan pedang tertahan di udara, disusul bentakan nyaring,

   "Hong Hong!!"

   Kwa Hong kaget bukan main. Sambaran batu itu hebat sekali akan tetapi baginya tidaklah terlalu mengagetkan. Yang membuat ia kaget adalah suara bentakan tadi. Cepat ia memandang dan... tubuhnya tiba-tiba gemetar dan pedang yang dipegangnya itu terlepas, jatuh ke atas tanah. Ia berdiri terpaku seperti patung, matanya terbelalak memandang laki-laki yang melangkah lebar menghampirinya, laki-laki setengah tua yang berwajah keren dan gagah perkasa, yang tangan kirinya putus sebatas pergelangan tangan.

   "Ayah...!"

   Hati Kwa Hong menjerit akan tetapi bibirnya hanya mengeluarkan suara yang serak. Di lain saat laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya dengan mata berapi-api dan alisnya terangkat naik, wajahnya membayangkan kemarahan, kedukaan dan sesal yang amat besar. Laki-laki itu memang Ayah Kwa Hong, yaitu Hoa-San It-Kiam Kwa Tin Siong. Di dalam cerita Raja Pedang telah dituturkan betapa murid pertama dari mendiang Lian Bu Tojin ini melarikan diri dari Hoa-San bersama Sumoinya, Kiam-Eng-Cu Liem Sian Hwa setelah tangan kirinya buntung oleh pedang gurunya sendiri dalam usahanya menolong nyawa Sumoinya dari serangan pedang Lian Bu Tojin.

   Kwa Tin Siong tak dapat menyangkal bahwa ia memang jatuh cinta kepada Liem Sian Hwa, Sumoinya sendiri itu dan sebaliknya Sian Hwa juga diam-diam mencinta Suhengnya ini setelah hatinya hancur lebur oleh kelakuan tunangannya, yaitu mendiang Kwee Sin murid Kun-Lun-Pai. Setelah melarikan diri dari Hoa-San, keduanya lalu mengasingkan diri, hidup berdua di sebuah puncak gunung. Mereka merasa malu untuk turun gunung dan karena senasib, pula karena mereka memang saling mencinta, maka keduanya lalu bersumpah saling setia dan menjadi Suami Isteri. Dengan tekun kedua orang ini lalu memperdalam ilmu silat mereka dan karena keduanya memang telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-San-Pai, memiliki dasar-dasar yang amat kuat, maka ketekunan mereka berhasil baik sehingga ilmu kepandaian mereka maju pesat sekali.

   Betapapun juga, ketika Kwa Tin Siong mendengar akan sepak terjang puterinya terhadap Hoa-San-Pai, malah sudah membunuh Lian Bu Tojin, ia tidak dapat terus tinggal diam berpeluk tangan mendengar Hoa-San-Pai dirusak dan dikacau oleh puterinya sendiri yang terkasih. Setelah bermufakat dengan Isterinya, ia lalu turun dari gunung dan menuju ke Hoa-San-Pai. Kedatangannya tepat pada saat Kwa Hong hendak membunuh Thio Ki sehingga ia dapat mencegahnya. Di belakang Kwa Tin Siong terlihat seorang wanita cantik dan gagah, menggendong seorang anak kecil. Inilah Liem Sian Hwa dan anak itu adalah Kun Hong, anak Suami Isteri ini. Kita kembali ke pertemuan antara Ayah dan anak yang menegangkan ini. Para Tosu yang segera mengenal Kwa Tin Siong segera bangkit dari berlutut dan memandang penuh ketegangan, juga kelegaan hati.

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hong Hong, jadi benarkah semua berita yang kudengar? Benarkah kau berubah menjadi iblis, membunuh Lian Bu Tojin sukongmu sendiri, merampas kedudukan ketua Hoa-San-Pai, membunuh banyak orang Tosu Hoa-San-Pai, dan sekarang kulihat kau malah hendak membunuh Thio Ki? Hong Hong..., bagaimana kau bisa berubah begini...?"

   Naik sedu-sedan dari dada Kwa Hong. Dua butir air mata menitik turun dan ia hanya dapat berbisik,

   "Ayah..."

   "Kau membunuh Suhu, malah membunuh Supek Lian Ti Tojin, mengusir Kui Lok dan Thio Bwee, melakukan perbuatan gila-gilaan di luar! Aku mendengar bahwa kau telah memiliki kepandaian yang luar biasa. Hemmm, sekarang aku, Kwa Tin Siong Ayahmu telah berada di sini. Coba kau keluarkan kepandaianmu itu untuk membunuh Ayahmu sendiri! Hayo, kau tunggu apa lagi?"

   Suara Kwa Tin Siong yang tadinya bengis sekarang berubah serak mengandung penyesalan besar yang menusuk hatinya.

   "Ayah..."

   "Tak usah kau ragu-ragu. Lawanlah aku! Kau boleh mencoba membunuh Ayahmu ini, kalau tidak akulah yang akan membunuhmu!"

   "Ayah...!"

   "Kasih sayang seorang Ayah terhadap anaknya takkan luntur selama dunia belum kiamat, akan tetapi kasih sayang seorang gagah selalu berdasarkan kebenaran dan keadilan! Demi kasih sayangnya, seorang Ayah yang gagah takkan segan-segan menghukum anaknya sendiri yang menyeleweng dari keadilan dan kebenaran. Perbuatan-perbuatanmu melampaui segala garis, hukumannya hanyalah mati! Kalau aku tidak mampu menghukum mati kepadamu, lebih baik aku mati dalam tanganmu. Majulah!"

   "Ayah...!"

   Kemarahan Kwa Tin Siong memuncak. Keraguan anaknya ini dianggapnya sebagai sifat pengecut.

   "Terimalah hukuman dariku!"

   Ia membentak dan menerjang maju dengan tangan kanannya.

   Pukulan yang ia lakukan adalah pukulan Hoa-San-Pai yang hebat, pukulan penuh tenaga Lweekang yang akan dapat membikin pecah sebuah batu besar. Maksudnya hendak membunuh anaknya dengan sekali pukul agar lekas selesai urusan yang menghancurkan hatinya itu. Juga pukulan ini adalah jurus yang disebut Pukulan Dewa Mabuk yang biasa dipergunakan kalau keadaan sudah amat terdesak sehingga tak ada jalan keluar lagi. Biarpun amat hebat dan berbahaya bagi yang diserang, namun tidak kurang berbahayanya bagi yang menyerang sendiri karena sekali dapat dielakkan atau ditangkis, kedudukan Si Penyerang menjadi lemah dan tidak terjaga sehingga mudah dirobohkan lawan yang mampu menghindarkan pukulan ini. Akan tetapi, alangkah kaget hati Kwa Tin Siong ketika melihat betapa puterinya itu sama sekali tidak mengelak!

   Betapapun marahnya terhadap anaknya ini, tadi Kwa Tin Siong sengaja melakukan pukulan ini karena ia sudah mendengar betapa lihai Kwa Hong sehingga gurunya sendiri, Lian Bu Tojin, tak mampu melawannya. Tentu ia sudah memperhitungkan bahwa Kwa Hong pasti akan dapat menghindarkan serangan ini dan berbalik akan merobohkannya. Ia rela mati di tangan anaknya untuk menebus dosa yang diperbuat oleh Kwa Hong. Demikian Sucinya kasih sayang orang tua ini terhadap puterinya. Oleh karena inilah maka ia kaget sekali ketika pukulannya sama sekali tidak ditangkis maupun dielakkan oleh Kwa Hong yang menerimanya dengan mata meram! Untuk menarik kembali pukulan itu tidak mungkin lagi. Tiba-tiba bayangan kuning emas menyambar dan tepat pada saat pukulan Kwa Tin Siong mengenai tubuh Kwa Hong, jago Hoa-San-Pai ini terlempar ke belakang karena dipukul sayap Rajawali Emas.

   Kwa Hong terjengkang roboh dan nyawanya tertolong oleh serbuan Rajawali Emas itu sehingga pukulan Ayahnya hanya mempunyai kekuatan setengahnya saja. Sambil melengking keras Rajawali itu mengamuk, menerjang dengan marah ke arah Kwa Tin Siong yang terlempar empat meter lebih jauhnya. Akan tetapi sambil membentak marah Liem Sian Hwa sudah menerjang maju dengan pedang di tangan. Wanita muda ini berjuluk Kiam-Eng-Cu (Bayangan Pedang), gerakannya gesit bukan main dan permainan pedangnya lihai sekali. Biarpun serangannya dapat dielakkan oieh Burung itu, namun ia berhasii menyelamatkan Suaminya dari cengkeraman Kim-Tiauw. Sementara itu, para Tosu serentak bangkit dan mengeroyok dengan pedang mereka.

   Juga Kwa Tin Siong yang tidak terluka berat, sudah bangun dan menyambar pedang Hoa-San Po-Kiam yang jatuh dari tangan Kwa Hong. Sekarang Burung itu dikeroyok oleh Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan puluhan orang Tosu Hoa-San-Pai. Hujan pedang menyambar ke arah tubuh Kim-Tiauw yang melawan dengan hebat sekali. Setiap kali sayapnya menampar, sedikitnya ada dua orang Tosu roboh, patuk dan cakarnya sudah membinasakan banyak lawan. Namun jumlah pengeroyoknya terlampau banyak sehingga setiap kali ada pedang mengenai tubuhnya, beberapa helai bulu rontok beterbangan. Juga pedang di tangan Liem Sian Hwa telah berhasil melukai kakinya sehingga mengeluarkan darah. Namun Burung itu terus mengamuk dan sekali lagi Kwa Tin Siong yang agaknya paling ia benci itu terpukul roboh oleh kibasan sayapnya yang lihai.

   Tiba-tiba Kwa Hong yang sudah siuman kembali mengeluarkan bunyi melengking panjang. Rajawali itu cepat menyambar tubuh Kwa Hong, dicengkeramnya baju di bagian punggung dan membawa nonanya itu terbang pergi dengan kecepatan yang luar biasa. Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan para Tosu hanya dapat berdongak memandang dengan penuh kengerian dan kekaguman sampai Burung itu lenyap dari pandangan mata. Kwa Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat betapa dalam pertempuran yang hanya sebentar itu ada delapan orang Tosu yang tewas dan banyak yang terluka! Pertemuan ini mendatangkan banjir air mata dan Kwa Tin Siong tak dapat menolak ketika para Tosu mengangkatnya sebagai ketua Hoa-San-Pai. Ketika Kwa Tin Siong mendengar tentang Lee Giok yang katanyapun terbunuh oleh Kwa Hong, ia menggigit bibirnya dan menghibur Thio Ki.

   "Dia terlampau lihai,"

   Katanya.

   "Baru Burungnya saja tak terlawan oleh kita, untungnya tadi dia tidak berani melawanku. Andaikata dia turun tangan, kita semua kiranya takkan dapat hidup lagi."

   Semenjak saat itu Kwa Tin Siong memimpin para Tosu dan memperhebat latihan ilmu silat di antara para murid Hoa-San-Pai untuk menjaga kalau-kalau kelak terjadi penyerbuan ke Hoa-San-Pai. Juga Thio Ki tekun memperdalanm ilmu silatnya. Kwa Tin Siong berusaha menyelidiki dengan menyebar para Tosu untuk menyatakan kebenaran berita tentang Lee Giok, lupa berusaha mencari Li Cu dan Beng San yang mereka harapkan akan dapat memberi keterangan tentang Isteri Thio Ki itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka. Akhirnya karena putus asa, Thio Ki malah meninggalkan keduniaan dan masuk menjadi seorang Tosu. Ia sekarang tekun mempelajari Agama To sambil memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa.

   Di bawah pimpinan Suami Isteri perkasa ini, lambat laun Hoa-San-Pai mendapatkan kembali keangkerannya dan merupakan Partai persilatan yang kuat. Hanya terdapat satu hal yang aneh, yaitu pada diri Kwa Kun Hong, putera Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Kiranya semua orang akan menduga bahwa Suami Isteri ini tentu akan memberi gemblengan istimewa kepada putera mereka agar kelak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa. Namun dugaan ini keliru. Mungkin sekali karena melihat akibat pada diri puterinya, Kwa Hong, maka ketua Hoa-San-Pai itu agaknya merasa kuatir kalau-kalau puteranya kelakpun akan mengalami nasib buruk karena pandai ilmu silat. Ia sama sekali tidak melatih ilmu silat kepada Kun Hong, sebaliknya melatih Bun (ilmu kesusastraan) dan tentang agama!

   Kakek waktu mempunyai kekuasaan yang amat mengherankan dan tak dapat dilawan oleh siapa dan apapun juga. Segala yang berada di dalam dunia ini ditelan oleh waktu, tidak pengecualian, mempergunakan daya keampuhannya yang berupa usia tua. Benda paling keras macam besipun akhirnya menyerah kepada waktu, diganyang hancur oleh usia tua. Manusia yang paling pandai, yang paling gagah perkasa dengan kedudukan tertinggi, kekuasaan terbesar, akhirnya akan menyerah kepada Kakek Waktu. Semua akan musnah sedangkan waktu akan berjalan terus, menelan segala apa yang dihadapannya. Yang, sudah lampau hanya merupakan kenangan sepintas lalu saja, seakan-akan masa puluhan tahun hanya terjadi dalam sekejap mata. Sebaliknya, yang akan datang merupakan dugaan dan teka-teki yang takkan diketahui oleh seorangpun manusia.

   Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang dapat menguasai Kakek Waktu, karena Tuhanlah pengatur dan pengisi waktu dengan segala macam peristiwa di dunia seperti yang dikehendaki-Nya. Waktu memang amat aneh. Kalau diperhatikan dan diikuti jalannya, amatlah lambat ia merayap, lebih lambat daripada jalannya siput. Akan tetapi kalau tidak diperhatikan, amat cepatlah ia melewat, lebih cepat daripada terbangnya pesawat jet atau roket sekalipun. Demikian pula dengan keadaan waktu di dalam cerita ini. Tanpa kita sadari lagi, tahu-tahu kita sudah dibawa oleh waktu terbang cepat tujuh belas tahun lamanya semenjak Kwa Tin Siong datang kembali ke Hoa-San-Pai dan menjadi Ketua Hoa-San-Pai sebagai pengganti gurunya, Lian Bu Tojin yang telah tewas oleh Kwa Hong dan Koai Atong. Tujuh belas tahun telah lewat bagaikan dalam sekejap mata saja!

   Selama itu, tidak terjadi hal-hal penting. Memang harus diakui bahwa setelah Kaisar yang baru berhasil menghalau dan membasmi semua bekas teman seperjuangan yang hendak memberontak, keadaan pada umumnya menjadi aman tenteram. Di Puncak Hoa-San-Pai juga kelihatan aman dan damai semenjak terjadi keributan belasan tahun yang lalu, akibat sepak terjang Kwa Hong. Sekarang banyak kelihatan para Tosu Hoa-San-Pai bekerja di sawah ladang, memikuli kaleng-kaleng air dari sumber. Bahkan dengan gembira selalu mereka kelihatan berlatih ilmu silat Hoa-San-Pai di pelataran belakang kuil Hoa-San-Pai yang besar itu. Berbeda dengan belasan tahun yang lalu ketika Hoa-San-Pai masih diketuai oleh Lian Bu Tojin sekarang Hoa-San-Pai tidak lagi mempunyai murid-murid muda yang bukan Tojin.

   Orang-orang kelihatan berlatih ilmu silat di situ semua adalah Tosu-Tosu Hoa-San-pa belaka. Para Tosu amatlah maju kalau dibandingkan dengan dahulu. Dahulu para Tosu Hoa-San-Pai kurang memperhatikan pelajaran ilmu silat yang agaknya "diborong"

   Oleh murid-murid yang bukan Tosu. Akan tetapi sekarang para Tosu itu kelihatan amat maju dalam pelajaran ini. Ilmu silat yang mereka mainkan amat baik dan gerakan mereka menunjukkan latihan matang. Tujuh belas tahun bukanlah waktu singkat untuk mematangkan ilmu silat bagi para murid Hoa-San-Pai yang tadinya memang sudah memiliki kepandaian dasar. Apalagi yang melatih mereka adalah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, Suami Isteri yang sudah mewarisi ilmu silat Hoa-San-Pai, terutama sekali ilmu pedangnya.

   Juga Thio Ki yang sekarang sudah menjadi Tosu itu amatlah maju, merupakan murid kepala dan kini bahkan seringkali mewakili Ketua Hoa-San-Pai untuk melatih para Tosu di pelataran belakang kuil. Thio Ki yang sudah menjadi Tosu mempunyai nama Pendeta Thian Beng Tosu dan ia merupakan Tosu yang amat tekun mempelajari ilmu kebatinan untuk menghibur hatinya yang tertekan hebat. Patut dikasihani nasib Thio Ki. Kalau ia terkenang kepada Isterinya, Lee Giok yang menurut anggapannya sudah terbunuh oleh Kwa Hong, hatinya menjadi perih dan hanya dengan membaca kitab-kitab Agama To yang kedukaannya dapat terhibur. Berbeda dengan Thio Ki yang sudah menjadi Tosu, Kwa Tin Siong tidak masuk menjadi Tosu. Hal ini adalah karena ia mempunyai Isteri, maka biarpun ia sudah menjadi Ketua Hoa-San-Pai, namun ia tetap menjadi "orang biasa"

   Dan bukan pendeta.

   Oleh karena itu pula, sebagai ketua umum Hoa-San-Pai, ia mengangkat Thian Beng Tosu (Thio Ki) menjadi ketua bagian Agama To, dibantu oleh beberapa orang Tosu tua yang menjadi ahli dalam keagamaan ini. Kwa Tin Siong sendiri hidup rukun damai dengan Isterinya dan puteranya, pekerjaannya sehari-hari selain memimpin para Tosu Hoa-San-Pai dalam ilmu silat, juga sering kali tampak ketua ini bekerja di sawah ladang bersama para Tosu lainnya. Seperti juga halnya dengan keadaan apa saja di jagat ini, bahwa segala sesuatu takkan kekal adanya, takkan ada hujan atau terang tiada akhir, takkan pula ada kedukaan ataupun kesenangan tiada akhir. Selama Kwa Tin Siong menjadi Ketua Hoa-San-Pai, memang keadaan di puncak bukit itu tampak aman tenteram, penuh damai yang menyamankan hati.

   Pada hari yang amat sejuk hawa udaranya, amat nyaman cahaya matahari pagi menembusi halimun gunung, amatlah tak tersangka-sangka akan datang hal-hal yang mengganggu ketenteraman Hoa-San-Pai. Gangguan itu mula-mula terjadi di malam hari tanpa ada seorangpun anggauta Hoa-San-Pai yang tahu. Ketika pagi-pagi hari para Tosu mulai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, tiba-tiba seorang Tosu berseru heran sambil menuding ke arah atas kuil. Seperti biasa, di puncak kuil itu berkibar bendera Hoa-San-Pai yang berdasar kuning dengan tuiisan biru, tanda dari perkumpulan Hoa-San-Pai. Akan tetapi sekarang bendera itu agak turun dan di puncak tiang bendera berkibar sebuah bendera kecil yang asing. Akan tetapi dari bawah jelas terlihat bahwa bendera itu adalah sebuah bendera berdasar warna merah dengan sulaman macan hitam.

   Menaruh bendera di atas bendera Hoa-San-Pai hanya mempunyai satu arti, yaitu orang hendak menghina dan merendahkan Hoa-San-Pai. Ribut-ribut di luar kuil ini menarik hati Thian Beng Tosu yang segera berlari keluar. Melihat bendera kecil itu, wajahnya segera berubah merah dan ia mengepal tinjunya menahan marah. Tak lama kemudian Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga berlari keluar diikuti oleh seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang berwajah tampan dan bersikap halus. Dia ini bukan lain adalah Kwa Kun Hong. Mereka diberi iaporan oleh seorang Tosu tentang peristiwa itu, maka tergesa-gesa keluar untuk rnenyaksikan. Kwa Tin Siong sendiri, juga Isterinya, tidak mengenal bendera merah dengan gambar Harimau hitam itu. Akan tetapi ketika Kwa Tin Siong melihat sikap Thian Beng Tosu (Thio Ki) yang nampak marah, ia segera bertanya,

   "Apakah kau mengenal bendera itu? Apa artinya ini?"

   Thian Beng Tosu segera menjawab pertanyaan Supeknya,

   "Teecu mengenal baik, tak nyana sama sekaii bahwa kumpulan bangsat itu berani mengejar Teecu (murid) ke sini, malah, berani menghina Hoa-San-Pai!"

   Ia menarik napas panjang.

   "Hemmm, tentu mereka telah mempunyai pimpinan orang pandai sehingga pada malam hari tanpa kita ketahui sama sekali dapat memasangkan bendera itu."

   Liem Sian Hwa adalah seorang tokoh Hoa-San-Pai yang semenjak dulu berwatak keras dan gagah. Kedua telinganya sudah merah ketika ia menyaksikan

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   penghinaan bendera itu, sekarang mendengar kata-kata murid keponakannya ia menjadi makin panas hatinya.

   "Huh, memasang bendera begitu saja apa sih hebatnya?"

   Baru saja ia berkata demikian, tubuhnya sudah melesat ke atas dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu ia sudah meloncat tinggi di puncak tiang bendera! Tangan kirinya bergerak menyambar tiang bendera sehingga tubuhnya berjungkir-balik dengan lurus,

   Kemudian tangan kanannya membetot bendera kecil itu terlepas dari tiang. Kemudian dengan sebelah tangan pula ia menaikkan bendera Hoa-San-Pai di puncak tiang seperti semula. Setelah semua ini ia lakukan dengan berjungkir balik dan dengan tangan kiri menahan tubuh di puncak tiang itu, ia menekan tiang dan tubuhnya melayang turun lagi, hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara dan mukanya sedikitpun tidak menunjukkan tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga. Para Tosu berseru kagum dan memuji Sang Nyonya Ketua yang memang patut dipuji. Tidak percuma Liem Sian Hwa mendapat julukan Kiam-Eng-Cu (Bayangan Pedang) karena memang Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Kun Hong bersorak memuji,

   "Hebat...! Ibu seperti Burung saja, ah... bukan main indahnya gerakan Hui-Liong Cai-Thian (Naga Terbang ke Langit) tadi!"

   Seketika wajah Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong berubah terheran-heran. Mereka saling pandang, kemudian keduanya memandang kepada putera mereka dengan mata penuh selidik dan penuh pertanyaan. Tentu saja mereka terheran-heran karena bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa gerakan tadi adalah gerakan Hui-Liong Cai-Thian? Padahal di antara para Tosu, kiranya hanya Thian Beng Tosu seorang yang tahu akan ilmu meloncat Hoa-San-Pai yang sukar ini, sedangkan Kun Hong sama sekali tidak pernah belajar silat semenjak kecilnya. Hampir saja Kwa Tin Siong mengajukan pertanyaan, akan tetapi perhatian mereka tertarik oleh seruan Thian Beng Tosu,

   "Ah, surat apakah yang tertempel di bendera itu?"

   Semua orang melihat. Benar saja. Pada bendera kecil itu terdapat sehelai surat yang ditempel dengan tusukan jarum. Liem Sian Hwa menyerahkan bendera, berikut surat kepada Suaminya yang segera mengambil surat itu dan membacanya. Setelah membaca, keningnya berkerut dan berkatalah Ketua Hoa-Sanpai ini kepada semua Tosu yang mengerumuni tempat itu.

   "Gerombolan penjahat bermaksud buruk terhadap kita. Mulai saat ini kalian semua boleh terus bekerja seperti biasa, akan tetapi jangan berpisahan, harus berkelompok sedikitnya lima orang. Kalau ada orang asing naik ke gunung, jangan sembrono dan jangan mencari perkara. Langsung laporkan kepada kami."

   Sambil berbisik-bisik dengan hati tegang para Tosu itu ialu melanjutkan pekerjaan mereka. Kwa Tin Siong seanak Isteri lalu masuk ke dalam mengajak Thian Beng Tosu.

   "Ki-Ji (Anak Ki),"

   Kata Kwa Tin Siong. Memang sudah biasa ia memanggil Thio Ki dengan sebutan anak Ki, maka sampai Thio Ki menjadi Tosupun masih disebut demikian.

   "Apakah kau mengenal penulis surat ini?"

   Ia menyerahkan surat kecil itu kepada Thian Beng Tosu yang segera membacanya. Kalau dalam waktu dua belas jam Thio Ki tidak turun mengantarkan nyawanya ke Im-Kan-Kok, terpaksa kami tidak melihat muka Ketua Hoa-San-Pai lagi dan menyerbu Hoa-San-Pai. untuk mengambil nyawa Thio Ki. Surat itu ditandai gambar Harimau hitam dan tulisannya kasar lagi buruk, bukan tulisan seorang ahli. Membaca ini, seketika wajah Thio Ki atau sekarang bernama Thian Beng Tosu ini menjadi pucat, giginya beradu dan tangannya mengepal, surat itu diremasnya.

   "Keparat betul Bhe Lam si Macan Hitam itu!"

   Katanya. Thio Ki atau Thian Beng Tosu lalu bercerita. Dahulu sebelum ia menjadi Tosu Hoa-San-Pai dan masih menjadi seorang Piauwsu (pengawal barang) di Sin-Yang, pernah pada suatu hari barang kawalannya dirampok oleh segerombolan perampok yang dipimpin oleh Hek-Houw Bhe Lam. Seorang pembantunya tewas dan barang kawalan itu dirampas. Thio Beng Tosu atau dahulu masih bernama Thio Ki lalu bersama Isterinya, Lee Giok, mendatangi sarang perampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya mereka dapat mengalahkan Bhe Lam dan merampas kembali barang kawalannya. Bhe Lam berhasil melarikan diri setelah menderita luka berat.

   "Demikianlah, Supek. Agaknya Bhe Lam itu tidak melupakan urusan lama dan biarpun Teecu sudah menjadi Tosu di sini, dia masih mencari dan hendak membalas dendam. Perkenankan Teecu pergi menemuinya dan sekali ini Teecu takkan tanggung-tanggung membasminya agar ia tidak mengacau ketenteraman dunia."

   Setelah berkata demikiah Thian Beng Tosu lalu bergerak hendak pergi mencari musuh besarnya, Kwa Tin Siong menggerakkan tangan mencegah.

   "Nanti dulu, jangan kau terlalu sembrono dan tergesa-gesa. Kalau dahulu dia pernah kau kalahkan dan sekarang berani datang menantang, sudah tentu ia mempunyai andalan yang kuat. Kalau tidak demikian, tak mungkin ia bersikap menantang. Pula, kalau hendak menuntut balas, mengapa harus sampai belasan tahun lamanya? Kita harus hati-hati dan jangan gegabah. Dengan mendatangi Hoa-San-Pai, memasang bendera menghina bendera kita, itu saja menunjukkan bahwa ia memandang rendah kepada Hoa-San-Pai. Setelah ia berbuat demikian jauh, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"

   "Yang amat mengherankan adalah tempat ia menanti di Im-Kan-Kok,"

   Kata Liem Sian Hwa sambil mengerutkan keningnya.

   "Im-Kan-Kok adalah tempat suci yang juga menjadi tempat larangan bagi kita, kenapa musuh justeru menanti di sana? Thio Ki, kau harus berhati-hati, benar pendapat Supekmu, kita semua harus menghadapi urusan ini bersama."

   Tiba-tiba Kun Hong tertawa,

   "Orang itu tak tahu diri sekali berani mengganggu Hoa-San-Pai. Twa-suko jangan takut, orang itu memberi waktu dua belas jam, tentu nanti tengah hari dia datang. Biarkan dia datang, hendak kita lihat bagaimana macamnya. Untuk mendatangi undangannya ke Im-Kan-Kok hanya akan membuat dia leluasa mengatur jebakan."

   "Hush, kau tahu apa tentang urusan ini?"

   Ibunya membentak. Kwa Tin Siong teringat akan sesuatu dan ia lalu bertanya dengan suara bengis,

   "Kun Hong, kau tadi tahu akan gerakan ibumu, dari mana kau tahu? Hayo bicara, jangan kau sembunyikan sesuatu dariku!"

   Leher Kun Hong mengkeret ketika ia dibentak Ayahnya, wajahnya menjadi merah dan ia menjawab gugup,

   "Ah, tidak sekali-kali aku melanggar larangan Ayah. Aku tak pernah mempelajari ilmu silat, hanya aku telah membaca catatan Ayah dan Ibu tentang ilmu silat Hoa-San-Pai. Mempelajari tidak boleh, kalau membacakan tidak ada larangan, bukan? Aku memang suka membaca apa saja, Ayah."

   Diam-diam Ketua Hoa-San-Pai ini tertegun. Membaca begitu saja tanpa mempelajari prakteknya, namun sudah dapat melihat gerakan orang, benar-benar hal ini amat luar biasa dan membutuhkan kecerdikan yang jarang bandingannya. Ia kagum dan juga bangga sekali, akan tetapi mulutnya berkata,

   "Hemm, lain kali kau tidak boleh membaca segala macam kitab pelajaran ilmu silat!"

   "Baik, Ayah,"

   Kata Kun Hong sambil tunduk.

   Karena menguatirkan keselamatan puteranya yang tidak pandai ilmu silat, Kwa Tin Siong hendak menyuruh puteranya itu tinggal saja di kamarnya, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan perintah, tiba-tiba seorang Tosu masuk dan melaporkan bahwa ada tiga orang Tosu tua yaitu Pak-Thian Sam-Lojin datang berkunjung. Wajah Kwa Tin Siong menunjukkan perasaan girang dan heran akan kunjungan yang tak tersangka-sangka ini. Tiga Orang Tua dari Utara itu adalah sahabat-sahabat baik mendiang gurunya, Lian Bu Tojin. Tentu saja kunjungan ini amat menyenangkan hatinya, apalagi di waktu Hoa-San-Pai sedang menghadapi ancaman musuh. Dari tiga orang kakek yang berkepandaian tinggi itu dapat diharapkan bantuannya.

   "Persilakan mereka masuk,"

   Katanya, lalu ia bersama Isterinya, juga Thian Beng Tosu yang masih ingat akan nama tiga orang kakek itu segera menyambut di pintu ruangan. Tak lama kemudian masuklah tiga orang kakek itu. Usia mereka sudah tua sekali, akan tetapi sikap mereka masih gagah. Tiga orang Tosu yahg mengenakan pakaian longgar, dengan wajah keren dan tindakan kaki ringan, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melihat mereka, Kwa Tin Siong, Isterinya dan Thian Beng Tosu segera menjura dengan hormat. Tiga orang kakek itu mengelus jenggot dan seorang di antara mereka yang tertua dan yang berjenggot panjang sekali segera berkata,

   "Sudah lama kami mendengar bahwa Hoa-San-Pai sudah berganti ketua. Menyesal kami tidak dapat datang ketika terjadi malapetaka di Hoa-San. Mula-mula memang kami ingin datang dan membalaskan sakit hati sahabat kami Lian Bu Tojin, akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Sicu telah menggantikan kedudukan mendiang sahabat kami itu. Betapapun juga, kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Hoa-San-Pai sudah bangun kembali. Siapa kira di tengah perjalanan kami melihat adanya gerombolan orang jahat yang mengancam Hoa-San-Pai. Apakah Sicu sudah mengetahuinya?"

   Kwa Tin Siong mempersilakan para tamunya duduk lalu menghaturkan terima kasih.

   "Sam-wi Lo-Cianpwe benar-benar telah mencapaikan diri untuk memperhatikan keadaan Hoa-San-Pai. Untuk budi kecintaan itu kami menghaturkan banyak terirna kasih. Memang benar seperti yang Lo-Cianpwe katakan tadi, ada segerombolan penjahat datang mengganggu, akan tetapi kiranya hal ini tak patut untuk membikin Sam-wi capai hati. Hanya urusan kecil saja."

   Kui Tosu, yaitu Tosu tertua daripada tiga kakek itu, mengerutkan alisnya yang sudah putih. Ia memang berwatak berangasan.

   "Hemm, Sicu sebagai murid dari Lian Bu Tojin sudah tentu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Hoa-San-Pai. Akan tetapi harap diketahui bahwa kepandaian tidak ada batasnya dan kiraku hari ini belum tentu kepandaian Hoa-San-Pai akan dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh. Tahukah Sicu siapa yang datang mengganggu?"

   Diam-diam Kwa Tin Siong tidak senang mendengar ucapan ini. Dia adalah seorang gagah yang tak pernah takut menghadapi lawan, akan tetapi oleh karena tiga orang kakek ini datang sebagai tamu dan adalah sahabat-sahabat mendiang gurunya, ia menahan kesabaran dan bertanya,

   "Yang saya ketahui hanya bahwa orang yang memimpin gerombolan pengacau itu bernama Bhe Lam, seorang penjahat Sin-Yang berjuluk Hek-Houw (Harimau Hitam). Penjahat cilik macam itu perlu apa diributkan?"

   Tosu termuda dari tiga orang kakek itu yang bernama Lai Tosu tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha-ha! Kalau hanya Harimau hitam saja apa artinya? Besar atau kecil kalau hanya Hek-Houw saja tidak lebih daripada seekor kucing hitam! Ketahuilah, Kwa-Sicu, di belakang si Harimau Hitam itu masih ada dua makhluk yang lebih menakutkan lagi. Kau tahu siapa mereka? Yang seorang adalah Kim-Thouw Thian-Li Ketua Ngo-Lian-Kauw dan yang ke dua adalah Toat-Beng Yok-Mo (Setan Obat Pencabut Nyawa)!"

   Kwa Tin Siong kaget bukan main mendengar nama-nama ini.

   Tentu saja ia sudah mengenal Kim-Thouw Thian-Li yang sudah berkali-kali membikin keruh keadaan Hoa-San-Pai, malah wanita inilah yang mula-mula merusak Hoa-San-Pai sehingga terjadi hal yang berlarut-larut dan permusuhan yang menjadi-jadi (baca cerita Raja Pedang). Kim-Thouw Thian-Li merupakan musuh besar Hoa-San-Pai, berarti musuh besarnya. Kepandaian wanita itu memang hebat sekali, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar untuk menghadapinya. Yang membikin Ketua Hoa-San-Pai ini kaget sekali adalah disebutnya nama Toat-Beng Yok-Mo. Kakek iblis itu sudah belasan tahun menghilang dari dunia kang-ouw, kenapa sekarang bisa muncul bersama Kim-Thouw Thian-Li membantu Hek-Houw Bhe Lam? Melihat kekuatiran di wajah tuan rumah, Bu Tosu orang ke tiga dari Pak-Thian Sam-Lojin dengan sombong berkata,

   "Kwa-Sicu tak usah kuatir, Kim-Thouw Thian-Li dan Toat-Beng Yok-Mo boleh menakuti orang lain, akan tetapi lihat saja, ada Pinto bertiga di sini yang siap untuk meghancurkannya!"

   Kwa Tin Siong belum hilang kagetnya dan ia berkata,

   "Terima kasih atas janji Sam-wi untuk membantu kami. Akan tetapi benar-benar saya tidak mengerti mengapa Toat-Beng Yok-Mo dapat berada dengan mereka?"

   "Ha-ha-ha, Kwa-Sicu masih belum mendengar? Agaknya karena belasan tahun sibuk mengurus Hoa-San-Pai, tidak tahu akan kejadian di dunia luar! Kakek tua bangka tukang obat itu tergila-gila kepada Kim-Thouw Thian-Li dan kabarnya ia telah memperIsteri Ketua Ngo-Lian-Kauw itu. Ha-ha, benar-benar tua bangka tak tahu malu!"

   Kata Lai Tosu.

   "Akan tetapi Sicu tak perlu merasa kuatir,"

   Sambung Kui Tosu tenang.

   "Biarkan mereka datang, kita atur jebakan untuk mereka. Para Tosu supaya mengatur Bai-Hok (barisan terpendam) di sekeliling puncak, siap dengan senjata lengkap. Kami sudah melihat bahwa gerombolan mereka hanya terdiri dari tiga puluh orang lebih. Kita menang banyak. Kita biarkan mereka masuk dan Sicu boleh menghadapi Bhe Lam sedangkan kami bertiga akan menggempur Toat-Beng Yok-Mo. Tentang Kim-Thouw Thian-Li, kami rasa cukup kalau dihadapi oleh Isterimu dan murid-muridmu. Sementara itu, para Tosu datang mengurung dan mengeroyok anak buah mereka yang tidak banyak jumlahnya itu. Dengan cara ini, kami rasa kita akan dapat membunuh mereka semua, jangan ada yang bisa lolos agar kelak mereka tidak mendatangkan bencana pula!"

   Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mengangguk-angguk, setuju dengan rencana siatsat ini. Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong berseru marah,

   "Tidak boleh...! Tidak boleh, jahat sekali itu! Masa kita Hoa-San-Pai harus membunuhi orang-orang itu? Tidak boleh, mana ada aturan manusia membunuh manusia lain? Ini perbuatan terkutuk, oleh Thian!"

   Semua orang kaget, apalagi Pak-Thian Sam-Lojin. Mereka menengok memandang kepada pemuda itu dengan heran.

   "Kwa-Sicu, siapakah orang muda ini?"

   Tanya Kui Tosu.

   "Dia adalah Kun Hong, anak kami yang bodoh,"

   Jawab Kwa Tin Siong dan ia sudah melototkan matanya untuk menegur anaknya. Akan tetapi Kui Tosu sudah mendahuluinya, bertanya dengan keren.

   "Orang muda, kalau kau menganggap rencana kami, itu tidak boleh dijalankan, habis kalau menurut pikiranmu bagaimana baiknya menghadapi musuh-musuh yang akan menyerbu?"

   "Ha-ha, bocah berlagak pintar!"

   Kata Lui Tosu.

   "Apakah kau ingin agar mereka itu datang menyerbu dan membunuh kita semua?"

   "Tidak demikian maksudku. Harap Sam-wi Totiang tidak salah sangka,"

   Jawab Kun Hong, suaranya tetap dan tegas.

   "Kalau ada seorang gila memaki-maki seorang waras, lalu si waras itu balas memaki-maki si gila, lalu bagaimana perbedaan antara mereka? Mana si waras dan mana si gila? Demikian pula, kalau ada orang jahat berencana hendak membunuh kita, lalu kita berencana pula untuk membunuh mereka, bukankah watak kita tiada bedanya dengan orang jahat itu? Mereka hendak membunuh kita, kitapun hendak membunuh mereka. Siapa di antara kita yang jahat? Siapa benar siapa salah?"

   Kwa Tin Siong sendiri melengak mendengar omongan puteranya ini. Memang ia tahu bahwa watak puteranya amat keras dan juga amat berani dalam mengemukakan pendapatnya, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani ini. Tiga orang kakek itu saling pandang dengan terheran-heran. Kui Tosu lalu membantah

   "Tentu ada perbedaannya! Kita hendak membunuh mereka dengan dasar hendak membasmi orang-orang jahat!"

   "Apa Totiang mengira bahwa merekapun tidak mempunyai dasar dengan kehendak mereka membunuh kita? Setiap perbuatan tentu ada dasarnya, yaitu dasar untuk kemenangan sendiri, untuk kebaikan sendiri. Pendapat seorang takkan sama, dasar yang dipakai orang tidak sama pula. Semua orang memperebutkan kebenaran, kebenaran sendiri tentu!"

   "Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?"

   Kui Tosu mulai marah. Karena bocah ini adalah putera Ketua Hoa-San-Pai, maka ia mau melayaninya, kalau bukan putera Kwa Tin Siong, tentu tidak sudi bicara dengannya.

   "Maaf, Totiang. Harap Totiang, juga Ayah dan Ibu dan para Susiok dan Suheng suka menjawab dulu pertanyaanku. Kalau kukatakan bahwa yang berhak atas sesuatu benda adalah pembuatnya, apakah salah kata-kataku ini?"

   "Tentu saja begitu,"

   Jawab Thian Beng Tosu karena yang lain-lain tidak menjawab.

   "Nah, Suheng sudah menjawab dan membetulkan kata-kataku. Yang berhak atas sesuatu adalah pembuatnya. Lalu, siapakah yang membuat manusia ini hidup di dunia? Salahkah kalau kukatakan bahwa Tuhan yang memberi hidup?"

   

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini