Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 13


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



Kim-Thouw Thian-Li memaki sambil mengacung-acungkan goloknya ke arah Li Eng di atas pohon.

   "Hi-hi, Siluman besar, kau sudah tua tentu kau akan mati lebih dulu daripadaku!"

   Jawab Li Eng dan sekaligus kedua tangannya diayun ke depan, maka puluhan butir buah mentah itu menyambar ke arah delapan belas jalan darah di tubuh Kim-thouw. Ketua Ngo-Lian-Kauw ini kaget sekali dan cepat memutar goloknya menangkis, namun masih ada tiga butir "senjata rahasia"

   Ini mengenai tubuhnya. Baiknya buah itu biarpun masih mentah tidak berapa keras dan Lweekangnya sendiri sudah amat kuat maka ia tidak terluka parah, hanya merasa gemetar dan lumpuh di bagian yang kena sambit. Pada saat itu, Sian Hwa tidak mau menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini, bagaikan seekor Burung walet ia menerjang maju, pedangnya berkelebatan menyilaukan mata.

   Kim-Thouw Thian-Li berusaha menangkis, namun meleset tangkisannya karena pada saat itu ia masih belum dapat menguasai dirinya karena sambitan Li Eng tadi. Pedang di tangan Sian Hwa bagaikan kilat menyambar menusuk lehernya. Ia membuang diri ke belakang sambil miringkan tubuhnya bagian atas sehingga pedang itu tidak mengenai leher melainkan menyambar pundaknya. Kim-Thouw Thian-Li menjerit kesakitan, pundaknya tertusuk pedang. Cepat ia melompat berjungkir-balik ke belakang lalu... melarikan diri secepatnya dengan pundak bercucuran darah! Liem Sian Hwa hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu ia mendengar pekik mengerikan dan ketika ia menengok ke arah gelanggang pertempuran, ternyata Kui Tosu terkena tusukan tongkat Toat-Beng Yok-Mo sehingga tubuhnya menjadi hangus,

   Sedangkan di saat berikutnya Lai Tosu terkena hantaman tangan kiri kakek bongkok yang lihai itu sehingga pecah kepalanya dan tewas pula di saat itu juga! Bukan main hebatnya kepandaian Yok-Mo yang merobohkan dua orang lawannya dalam keadaan tertawa-tawa. Terkejut hati Liem Sian-Hwa. Ia membatalkan niatnya mengejar Kim-Thouw Thian-Li dan cepat ia melompat dekat Suaminya lalu langsung mengeroyok Yok-Mo. Kalau tadi dibantu dua orang Tosu tua itu saja Suaminya tidak mampu mengalahkan Yok-Mo, apalagi sekarang seorang diri. Karena inilah maka Sian Hwa lalu membantu Suaminya dan Suami Isteri ini dengan mati-matian lalu mengeroyok Yok-Mo yang masih saja tertawa-tawa melayani mereka. Baru setelah melihat Sian Hwa menerjangnya, kakek bongkok itu nampak kaget.

   "Eh, eh... mana Isteriku?"

   "Sudah terluka pundaknya dan kabur. Sekarang giliranmu untuk mampus!"

   Bentak Sian Hwa. Ucapan ini membuat Yok-Mo marah sekali. Dengan seruan seram seperti teriakan binatang buas ia menerjang dengan tongkatnya yang hebat, kini ia tidak tertawa-tawa lagi, dan gerakan tongkatnya benar-benar luar biasa sekali membuat Suami Isteri itu terdesak hebat. Pertempuran antara anak buah Hek-Houw Bhe Lam dan para Tosu Hoa-San-Pai tidak berlangsung lama. Karena kalah banyak dan juga para Tosu Hoa-San-Pai sekarang rata-rata pandai ilmu silat,

   Sebentar saja tiga puluh orang pengikut Bhe Lam itu roboh semua, tewas atau terluka, Tak seorangpun berhasil melarikan diri. Melihat keadaan ini, apalagi tadi melihat Kim-Thouw Thian-Li sudah melarikan diri, hati Bhe Lam menjadi keder juga dan karena itu permainan goloknya menjadi kacau-balau. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Beng Tosu untuk mempercepat permainan pedangnya dan dengan serangan miring dari samping kiri setelah memancing dengan sebuah tendangan, ia berhasil melukai lengan kanan Bhe Lam. Kepala rampok ini terluka parah, berteriak marah dan menyambitnya Piauw dengan tangan kirinya ke depan. Thian Beng Tosu cepat membuang diri ke kanan dan dua buah senjata rahasia Piauw meluncur lewat dekat lehernya. Ketika ia memperbaiki kembali posisinya, ternyata lawannya sudah lari jauh.

   "Hek-Houw, kau hendak lari ke mana?"

   Thian Beng Tosu cepat melompat dan mengejar musuh besarnya itu. Adapun Kun Hong yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri pembunuhan besar-besaran yang terjadi dalam pertempuran ini, mukanya menjadi pucat, napasnya sesak dan matanya melotot lebar.

   "Celaka... celaka... bagaimana Hoa-San-Pai bisa menjadi begini...?"

   Berulang-ulang ia berseru dengan ngeri dan panik. Sekarang yang bertempur di bawah hanya tinggal kedua orang tuanya yang mengeroyok Toat-Beng Yok-Mo.

   Melihat betapa semua teman kakek bongkok itu tewas atau terluka dan ada yang lari, Kun Hong menjadi kasihan sekali. Peristiwa hebat yang ia saksikan di bawah itu sama sekali tak pernah terduga dapat terjadi. Ia yang selalu belajar tentang kebajikan, tentang Ketuhanan dan perikemanusiaan, tentu saja mimpipun belum pernah melihat manusia saling bunuh seperti ini. Semua ini membuat ia lupa akan ketakutan berada di atas cabang kecil di tempat begitu tinggi. Ia melihat gadis nakal itu masih saja duduk dengan kedua kaki tergantung dan tertawa-tawa. Ia teringat bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang aneh. Maka cepat Kun Hong melorot turun dari cabang yang didudukinya dan tanpa takut sedikitpun ia melalui cabang-cabang mendekati Li Eng. Gadis itu sampai kaget ketika tahu-tahu pemuda itu berada di dekatnya.

   "Eh, kau berani turun?"

   Tanyanya heran.

   "Kau... kau tolonglah aku... kau turunlah dan pergunakan kepandaianmu untuk melerai mereka. Jangan biarkan Ayah ibu membunuh orang atau terbunuh..."

   Gadis itu tersenyum lebar sehingga kelihatan deretan giginya putih mengkilap dan teratur rapi seperti mutiara berderet.

   "Jadi kau ini anak mereka? Anak Ketua Hoa-San-Pai? Kok aneh benar, orang-orang Hoa-San-Pai itu biarpun kepandaiannya tidak tinggi tapi cukup bersemangat dan gagah, kenapa anaknya keluar tikus seperti kau?"

   "Kau mau menolong tidak?"

   Tanya Kun Hong gemas. Gadis itu menggeleng kepala.

   "Ketua Hoa-San-Pai she Kwa adalah orang yang harus kubunuh juga kakek bongkok itu aku tidak suka, kenapa aku harus melerai mereka? Biarlah mereka saling bunuh. Hi-hik!"

   Kun Hong tahu bahwa dia tidak dapat memaksa gadis itu, maka ia lalu melorot turun dengan susah payah dari pohon itu, ditertawai oleh gadis yang menggodanya.

   "Hi-hik, kau seperti anak monyet menuruni pohon!"

   Kun Hong tidak pedulikan lagi padanya, setelah tiba di bawah ia lalu lari menghampiri medan pertempuran. Ia bergidik ketika ia berlari melalui mayat-mayat manusia yang menggeletak di kanan kiri, ngerinya bukan main.

   "Ayah... Ibu... sudahlah, jangan berkelahi lagi... sudah terlalu banyak korban...!"

   Teriaknya berulang-ulang sambil mendekati pertempuran yang sedang hebat-hebatnya itu.

   "Kun Hong, pergi...!!"

   Ibunya berteriak kaget melihat puteranya berani mendekati tempat itu. Akan tetapi. Kun Hong nekat dan makin dekat.

   "Jangan bunuh orang lagi, Ibu... ah, celaka sekali... bagaimana Hoa-San menjadi tempat penyembelihan manusia...?"

   Kun Hong hampir menangis. Akan tetapi pada saat itu Ayahnya berseru,

   "Pergi kau...!"

   Dan sebuah tendangan membuat Kun Hong terpelanting sejauh lima meter lebih. Ayahnya telah menendangnya! Biarpun ia tidak merasa sakit, tapi Kun Hong merangkak bangun dengan mata terpentang lebar. Bagaimana Ayahnya sudah berubah begitu ganas?

   Dia sendiri malah ditendangnya! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa dengan mendekati tempat pertempuran itu, nyawanya berada di dalam bahaya karena gerakan tongkat Yok-Mo dan pedang Ayah serta ibunya mengandung tenaga Lweekang yang hawa pukulannya saja akan, cukup membuat Kun Hong tewas. Tidak tahu pula ia bahwa tendangan Ayahnya tadi adalah usaha untuk menjauhkan dia dari tempat berbahaya itu. Kebetulan sekali Kun Hong terpelanting dekat tumpukan mayat para anak buah perampok. Ia melihat mayat-mayat itu dalam keadaan luka hebat, malah ada di antaranya yang belum mati, terluka parah dan mengaduh-aduh. Darah berceceran di mana-mana. Kun Hong merasa hendak muntah melihat itu semua. Ia lalu bangkit berdiri, memegangi kepalanya sambil mengeluh,

   "Keji... kejam sekali... ah, tak sudi aku melihatnya...,"

   Ia lalu lari tersaruk meninggalkan Puncak Hoa-San. Sementara itu, Toat-Beng Yok-Mo terus mendesak Suami Isteri itu dengan tongkat hitamnya. Makin lama makin beratlah bagi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Ternyata baik dalam tenaga Lweekang, apalagi dalam ilmu silat, kakek bongkok itu masih setingkat lebih tinggi daripada mereka. Apalagi setelah Toat-Beng Yok-Mo mendengar tentang terlukanya Kim-Thouw Thian-Li, ia menjadi marah bukan main sehingga gerakan-gerakan tongkatnya mengandung ancaman maut karena digerakkan dengan penuh nafsu membalas dendam dan membunuh.

   Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa repot sekali menghadapi amukan kakek bongkok itu. Mereka maklum bahwa jika pertandingan ini dilanjutkan, mereka tentu akan celaka. Anak buah Hoa-San-Pai tidak ada yang berani mencoba untuk membantu tanpa menerima perintah ketua mereka. Selain ini, mereka juga tidak berani sembarangan mendekati pertempuran yang demikian dahsyatnya, karena maklum bahwa kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat mereka yang sedang bertanding. Namun demikian, jika Kwa Tin Siong mau mengeluarkan perintah, para murid Hoa-San-Pai tentu tidak akan ragu-ragu dan takut-takut untuk menyerbu dan biarpun di antara mereka tentu banyak yang roboh binasa,

   Kakek bongkok itu sendiri sudah pasti takkan kuat menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang. Akan tetapi, Kwa Tin Siong adalah seorang yang berjiwa gagah. Mana mungkin ia mau mengeluarkan perintah kepada para muridnya untuk melakukan pengeroyokan? Di dalam hukum persilatan, mengandalkan banyak teman untuk mengeroyok adalah perbuatan hina yang akan menjatuhkan nama baik. Sedangkan nama baik bagi seorang gagah lebih berharga daripada selembar nyawa. Karena inilah maka baik Kwa Tin Siong maupun Isterinya, biarpun sudah terdesak hebat dan berada dalam ancaman maut, mereka tidak mau membuka mulut minta bantuan para murid Hoa-San-Pai dan melawan mati-matian. Pada saat itu terdengar teriakan dari atas pohon,

   "He, kakek bongkok buruk! Ketua Hoa-San-Pai masih ada urusan dengan aku, tak boleh kau membunuhnya!"

   Suara ini adalah suara Li Eng yang segera dapat mengetahui bahwa Suami Isteri Ketua Hoa-San-Pai itu tidak akan menang melawan Si Kakek Bongkok yang mengerikan dan amat lihai itu.

   Kedua langannya segera bekerja, menyambit-nyambitkan buah mentah dari pohon yang ia duduki cabangnya itu. Sambitan gadis ini bukan main-main, tak boleh dipandang ringan karena dilakukan dengan pengerahan tenaga Lweekang yang luar biasa. Sambitannya susul-menyusul dan biarpun kakek bongkok itu dikeroyok dua oleh Suami isieri Hoa-San-Pai sehingga tubuh ketiga orang itu berkelebatan dan berloncatan ke sana ke mari, namun sambitan-sambitan Li Eng selalu tepat menuju sasarannya, yaitu bagian-bagian lemah dan jalan-jalan darah di tubuh Toat-Beng Yok-Mo! Akan tetapi alangkah kaget hati Li Eng ketika melihat bahwa semua buah mentah yang ia sambitkan itu, jatuh runtuh berserakan begitu mengenai tubuh Toat-Beng Yok-Mo.

   "Siluman cilik, tunggu saja kau, akan datang giliranmu nanti!"

   Yok-Mo membentak dengan nada mengejek sambil memperhebat tekanan tongkat hitamnya kepada Suami Isteri yang sudah mandi keringat dan sudah mulai kehabisan tenaga itu. Li Eng memutar otaknya. Ia dapat menduga bahwa tentu kakek itu memiliki daya kekebalan yang dapat menutup jalan darah yang terkena sambitan maka tidak terluka oleh sambitannya. Ia segera berseru nyaring mentertawakan,

   "Hee, kakek ompong! Kau hendak menyombongkan kepandaianmu, ya? Baiklah, matamu yang besar sebelah itu amat tidak menyenangkan hatiku, hendak ku bikin meram semua!"

   Kembali kedua tangan Li Eng bergerak dan bagaikan peluru-peluru besi buah-buah mentah itu meluncur susul-menyusul, kini yang dijadikan sasaran adalah mata yang besar sebelah di muka Toat-Beng Yok-Mo!

   Kali ini terdengar Tok-mo berseru marah sekali. Betapapun saktinya, tak mungkin manusia dapat membikin sepasang biji matanya kebal! Dan ia maklum bahwa satu kali saja matanya terkena sambitan itu, ia akan menjadi buta. Repot juga tangan kirinya bergerak-gerak menyampok runtuh "senjata-senjata rahasia"

   Yang tiada habisnya menyerang matanya itu. Tentu saja perhatiannya menjadi terpecah, malah boleh dibilang sebagian besar ditujukan untuk menyelamatkan kedua matanya dari serangan hebat dari atas pohon itu. Oleh karena inilah maka Kwa Tin Siong dan Isterinya mendapatkan "Angin baru,"

   Melihat kekosongan-kekosongan dan kelemahan-kelemahan pada lawan, maka mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini dan segera menghujankan serangan-serangan maut.

   "Ceppp!"

   Ujung pedang di tangan Liem Sian Hwa menancap di pundak kiri Yok-Mo.

   Terdengar raungan mengerikan, tangan kiri Yok-Mo mencengkeram ke depan dan... ujung pedang Sian Hwa patah. Akan tetapi, sekali lagi Yok-Mo meraung hebat ketika pedang Kwa Tin Siong menusuk lambungnya. Cepat ia miringkan tubuh dan tongkat hitamnya menghantam pedang itu. Bukan main kagetnya Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Tangkisan tongkat hitam itu hampir saja membuat pedang Hoa-San Po-Kiam terlempar dari tangannya. Kwa Tin Siong melompat mundur dan terhuyung-huyung, sedangkan Sian Hwa melompat mundur sambil melihat pedangnya yang sudah buntung. Bukan main hebatnya kakek tua itu, biarpun terluka di pundak dan lambung, namun masih demikian hebatnya sehingga hampir Kwa Tin Siong Suami Isteri celaka.

   "Aduh, keparat...!"

   Yok-Mo menjerit ketika pinggir mata kirinya tersambar buah mentah.

   "Hi-hi-hik, Siluman tua, sekarang matanya keduanya sipit, tidak besar sebelah lagi, tapi lebih menjijikkan...!"

   Li Eng menggoda. Kemarahan Yok-Mo tak tertahankan lagi. Ia telah menderita dua luka tusukan oleh Suami Isteri Hoa-San-Pai, dan luka di pinggir mata oleh gadis nakal di atas pohon itu. Semua ini adalah gara-gara gadis di pohon itu, maka kemarahannya segera tertumpah kepada Li Eng.

   "Siluman cilik, kau harus mampus sekarang!"

   Tubuhnya dienjot dan dengan cepat sekali ia telah melayang naik ke atas pohon sambil memutar tongkatnya karena ia hendak membunuh gadis itu dengah sekali serang untuk melampiaskan kemarahan hatinya.

   "Celaka... kita harus bantu dia..."

   Kata Kwa Tin Siong kepada Sian Hwa. Isterinya mengangguk menyetujui karena kedua Suami Isteri ini maklum bahwa tadi mereka telah ditolong dan dibantu oleh sambitan-sambitan gadis itu. Bagaikan sepasang Burung garuda, kedua Suami Isteri ini meloncat dan menerjang Yok-Mo dari belakang.

   "Krakkk... bruuuukk!"

   Cabang yang tadi dipakai duduk Li Eng menjadi patah dan tumbang oleh pukulan tongkat hitam Yok-Mo. Akan tetapi Li Eng tidak ikut jatuh karena gadis itu tanpa diketahui penyerangnya telah berada di cabang yang lebih tinggi lagi.

   "Hi-hik, kakek bongkok ompong, aku di sini!"

   Akan tetapi Yok-Mo terpaksa sekarang melayani Suami Isteri yang ternyata sudah mengejar dan menyerangnya.

   "Hei, kakek bongkok tak tahu malu, apa kau sudah menyerah dan tidak berani mengejarku? Hi-hik, beranimu hanya terhadap Suami Isteri yang tiada guna itu. Dan kalian, Suami Isteri Ketua Hoa-San-Pai she Kwa, jangan begitu tak tahu malu. Aku tidak minta bantuan kalian, tahu?"

   Mendengar ini, Yok-Mo mengeluarkan Seruan marah dan kembali ia meloncat keatas dengan tongkat hitam diputar. Li Eng sudah siap menanti malah sempat berteriak,

   "Manusia she Kwa jangan bantu aku, aku tidak sudi!"

   Ucapan ini tentu saja membuat Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa membatalkan niat mereka membantu dan membuat mereka marah juga malu. Terpaksa mereka lalu berdiri di tengah lapangan sambil menonton. Kembali terdengar suara hiruk-pikuk dan cabang-cabang serta ranting-ranting pohon besar itu susul-menyusul patah dan tumbang karena hantaman tongkat Yok-Mo. Akan tetapi, cepat dan ringan seperti seekor Burung Li Eng sudah berpindah-pindah cabang sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama pohon itu sudah menjadi pohon gundul, tinggal batangnya. Kemana perginya Li Eng? Gadis yang lihai ini ternyata sudah melompat jauh dan telah berada di sebuah pohon lain yang lebih besar dan tinggi.

   "Hi-hi-hik, Toat-Beng Yok-Mo. Benar-benarkah engkau hendak mencabut nyawaku? Aku berani mempertaruhkan kepalamu bahwa kau takkan mampu?"

   Digoda seperti ini, Yok-Mo kehilangan kewaspadaannya, menjadi makin marah dan dengan ketekadan bulat untuk membunuh Li Eng, ia melompat juga mengejar ke arah pohon itu. Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika tiba-tiba ada sinar hitam meluncur memapaki tubuh yang masih terapung di udara dalam lompatannya tadi.

   Benda itu bagaikan seekor ular hidup yang besar dan panjang, telah mematuk ke arah leher, dada dan pusarnya dengan gerakan bertubi-tubi dan berganti-ganti. Kalau dia tidak sedang meloncat tentu dengan mudah ia akan menghadapi serangan macam itu, akan tetapi celakanya tubuhnya sedang di udara. Ia memutar tongkatnya untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba sinar hitam yang ternyata adalah sehelai Sutera itu telah melibat-libat tongkat di tangannya. Yang hebat, Sutera itu seperti hidup saja karena dengan tenaga terbagi-bagi sekarang membetot-betot tongkat hitamnya dengan kekuatan yang mengagetkan. Karena Yok-Mo memaksa diri mempertahankan tongkatnya agar jangan sampai dirampas lawan, maka kekuatan lompatannya menjadi patah setengah jalan dan sekarang tubuhnya mulai jatuh ke bawah. Ia masih memegangi tongkatnya. yang terlibat Sutera, maka sekarang ia jadi menggantung pada tongkatnya!

   "He-he, Yok-Mo, kau seperti seekor laba-laba besar hendak bertelur!"

   Li Eng mengejek sambil menarik-narik Suteranya sehingga tubuh kakek itupun ikut "menari-nari"

   Di bawah gantungan.

   "Siluman cilik, akan kubetot jantungmu, akan kukorek otakmu, kujadikan bahan obat Jin-Sin-Tan!"

   Yok-Mo memaki-maki dan mengancam, kemudian ia merambat ke atas melalui tongkatnya. Sebentar kemudian ia telah berhasil menyambar sabuk hitam itu, melepaskan tongkatnya dan dengan sikap liar mengerikan ia mulai merayap naik melalui sabuk hitam, makin mendekati tempat Li Eng duduk, yaitu di sebuah cabang besar.

   "Hemmm, bocah liar itu mencari penyakit!"

   Gumam Kwa Tin Siong. Ia sebetulnya tidak ingin melihat gadis yang aneh dan pandai ilmu silat Hoa-San-Pai itu celaka di tangan Yok-Mo, akan tetapi karena bocah itu sendiri melarang ia membantu, tentu saja ia malu untuk turun tangan.

   "Melihat sikapnya, iapun tentu bukan murid orang baik,"

   Kata Liem Sian Hwa.

   "Akan tetapi dia demikian cantik dan muda, kasihan kalau sampai mengorbankan nyawa di tangan Yok-Mo. Apalagi disengaja maupun tidak dia tadi telah menolong kita. Tunggu saja, kalau dia terancam, tidak peduli dia tidak suka dibantu, kita turun tangan."

   Kwa Tin Siong menyetujui usui Isterinya ini, maka mereka lalu siap-siap di bawah pohon untuk membantu sewaktu-waktu gadis itu terancam bahaya di tangan Yok-Mo yang mukanya sudah merah hitam saking marahnya itu.

   "Monyet tua, kau mau buah mentah?

   "Nih, makan!"

   Dan menghujanlah buah-buah mentah ke arah tubuh dan muka Yok-Mo. Karena sambaran buah-buah itu sebagian besar ditujukan ke arah kedua matanya, terpaksa Yok-Mo menundukkan muka, meramkan mata dan menutup jalan-jalan darah yang berbahaya agar jangan sampai tertotok oleh sambitan-sambitan itu. Sementara itu ia merambat terus ke atas, makin mendekati Li Eng. Ia merasa betapa luka-luka di pundak dan lambungnya mengucurkan darah dan merasa sakit sekali, akan tetapi dengan mengeraskan hati kakek yang sudah marah karena dipermainkan Li Eng ini terus mengerahkan tenaga merayap ke atas. Hampir ia mencapai tempat Li Eng dan ia sudah mengangkat tongkat hitamnya untuk menyerang gadis itu. Tiba-tiba tubuh Yok-Mo meluncur ke bawah dan baru berhenti setelah ia hampir menyentuh tanah.

   Yok-Mo memaki-maki kiranya Sutera hitam itu diulur oleh Li Eng! Sambil memaki-maki Yok-Mo merayap lagi, merambat ke atas dengan cepat sekali. Sebaliknya, Li Eng juga memaki-maki, mengejek sambil menyambit muka kakek itu dengan buah-buah mentah. Biarpun kakek itu kebal dan tidak terluka oleh sambitan-sambitan itu, namun ia sedikitnya merasa mukanya sakit dan pedas. Ia mempercepat rambatannya ke atas dan sebentar saja ia sudah mendekati Li Eng lagi. Akan tetapi... tiba-tiba tubuhnya meluncur turun lagi sampai dekat tanah. Sambil memutar tongkatnya melindungi muka dari sambitan buah. Yok-Mo memandang dan dengan girang ia melihat bahwa kini gadis itu memegangi ujung Sutera hitam. Hal ini berarti bahwa Sutera yang panjang itu sudah habis dan takkan dapat diulur lagi.

   "Keparat cilik, kau hendak lari ke mana sekarang?"

   Teriaknya sambil merambat lagi ke atas dengan cepat.

   "Keparat gede!"

   Li Eng balas memaki.

   "Aku tidak lari ke mana-mana, kaulah yang jangan lari."

   Dan begitu tubuh kakek itu sudah sampai di atas, gadis yang nakal ini sekaligus melepaskan Sutera yang dipegangnya. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh kakek itu jatuh ke bawah! Baiknya ia memang lihai sekali sehingga jatuhnya enak saja dengan kedua kaki di atas tanah. Akan tetapi, bukan main herannya Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa ketika melihat betapa tiba-tiba kakek itu berteriak-teriak kesakitan, melepaskan tongkatnya, memandang kepada kedua tangannya yang sudah menjadi hitam dan... sambil menjerit-jerit kakek itu lalu lari secepatnya meninggalkan puncak Hoa-San-Pai, diiringi suara ketawa nyaring gadis itu yang cepat-cepat melompat ke bawah.

   "Hi-hi-hik, termakan racunmu sendiri kau sekarang!"

   Katanya puas sambil menggulung kembali sabuk Suteranya. Tahulah sekarang Kwa Tin Siong dan isterinya bahwa tadi ketika sabuk melibat tongkat, sabuk itu telah terkena racun yang keluar dari ujung tongkat dan ketika kakek itu merambat melalui sabuk otomatis kedua tangannya terkena racun hebat dari tongkat itu. Tidak mengherankan jika, kedua tangannya itu menjadi hangus dan kakek itu melarikan diri ketakutan. Mengingat bahwa gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, Kwa Tin Siong lalu berkata dengan nada menghormat,

   "Gadis yang gagah perkasa, telah kau sengaja atau tidak, akan tetapi kau tadi telah menyelamatkan nyawa kami Suami Isteri. Terimalah ucapan terima kasihku kepadamu."

   Gadis itu menjebikan bibirnya.

   "Siapa menyelamatkan siapa? Kakek itu sudah berani mengotori Im-Kan-Kok, tidak kubunuh juga sudah untung. Kau ini orang she Kwa yang menjadi Ketua Hoa-San-Pai, sekarang juga kau harus menyerahkan pedang Hoa-San Po-Kiam itu kepadaku berikut kepalamu."

   Sambil berkata demikian ia melangkah maju dengan sikap tenang. Kwa Tin Siong yang lebih merasa heran daripada marah. Sudah tentu ada sebab-sebab yang aneh kalau anak ini sampai memusuhinya, tak mungkin memusuhi tanpa sebab.

   "Nanti dulu, kalau kau betul-betul datang hendak memusuhiku, hal itu adalah wajar asal ada alasannya yang kuat. Kau jelaskanlah mengapa kau hendak merampas Hoa-San Po-Kiam dan hendak membunuhku? Apa sebabnya?"

   "Apa sebabnya kau tak perlu tahu. Pendeknya aku harus merampas kembali Hoa-San Po-Kiam dan membunuh Ketua Hoa-San-Pai she Kwa! Hayo majulah dan serahkan pedang dan kepalamu, aku sudah hilang sabar!"

   Kwa Tin Siong orangnya memang berwatak sabar, akan tetapi tidak demikian dengan Liem Sian Hwa. Nyonya ini menjadi marah bukan main, tak dapat ia menahan perasaan hatinya yang terbakar ketika ia mendengar orang menghina Suaminya. Cepat ia mencabut pedangnya yang sudah buntung ujungnya tadi dan membentak,

   "Siluman cilik, enak saja kau bicara! Siluman macam kau tidak bisa diajak bicara baik-baik. Kalau memang kedatanganmu hendak memusuhi kami, kau matilah dan lawan pedangku!"

   Li Eng tertawa mengejek dan memandang pedang buntung itu.

   "Hi-hik, dengan pedang itu kau hendak melawanku? Ah sedangkan ilmu pedangmu Hoa-San Kiam-Sut saja baru kau pelajari setengah-setengah, matang tidak mentah tidak, bagaimana kau hendak melawanku mempergunakan pedang buntung? Bibi yang cantik, aku hanya ingin mengambil kepala orang she Kwa. Kalau kau ingin mencoba kepandaianmu yang masih setengah matang, kau... majulah!"

   Sampai pucat wajah Liem Sian mendengar ejekan ini. Dia adalah seorang tokoh Hoa-San-Pai, boleh dibilang menjadi orang ke dua sesudah Suaminya, Ia sudah mempelajari ilmu silat Hoa-San-Pai semenjak ia kecil dan untuk kehebatan ilmu pedangnya ia malah sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan mendapat julukan Kiam-Eng-Cu (Bayangan Pedang). Masa sekarang ia dihina oleh seorang bocah cilik yang menyatakan bahwa ilmu pedangnya Hoa-San Kiam-Sut matang tidak mentahpun tidak? Biarpun ia hanya berpedang buntung, namun ia masih sanggup untuk menghadapi lawan yang tangguh.

   "Bocah setan, kau benar-benar terlalu sombong. Keluarkan senjatamu dan mari kau boleh merasakan ilmu pedangku yang mentah tidak matangpun tidak ini!"

   Tantangnya.

   "Untuk menghadapi kau dan pedang buntungmu cukup dengan tangan kosong

   "Sombong, lihat pedang!"

   Sian Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya segera bergerak menyerang. Dengan gerakan cepat sekali sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, ia mengirim tiga kali tikaman berantai dengan jurus Lian-Cu Sam-Kiam.

   "Hemmm, Lian-Cu Sam-Kiam yang baik sekali. Sayang tidak ada isinya!"

   Li Eng mengejek dan cepat mengelak. Karena ia tahu benar agaknya akan perubahan gerak dari jurus ini, maka dengan mudah ia dapat menyelamatkan diri. Sian Hwa merubah gerakannya, mengirim bacokan dari kanan kiri sambil mempergunakan kecepatannya.

   "Aha, Hun-In Toan-San (Awan Melintang Putuskan Gunung)! Juga tidak mengandung inti sari, masih mentahl"

   Lagi-lagi Li Eng mengelak dan mengejek. Sian Hwa makin marah, juga diam terkejut sekali karana semua serangannya selalu dikenal oleh lawan. Dalam penyerangan-penyerangan berikutnya baru saja ia bergerak gadis cilik itu sudah menyebutkan jurus dan malah mengelak dengan gerakan-gerakan dan langkah-langkah dari ilmu silat Hoa-San-Pai aseli.

   "Tahan dulu!"

   Tiba-tiba Kwa Tin Siong maju, melerai yang sedang bertempur setelah pertempuran itu berjalan puluhan jurus. Ketua Hoa-San-Pai, ini menjadi curiga karena tadi ia melihat dengan jelas betapa ilmu silat gadis itu betul-betul aseli Hoa-San Kun-Hoat, akan tetapi dimainkannya demikian aneh dan hebat.

   "Nona kau sebetulnya murid siapakah?"

   Juga Sian Hwa di samping kemarahan dan kegemasan karena penasaran, merasa heran sekali. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan lawan yang begini muda tapi begini hebat ilmu silatnya, apalagi ilmu silat dari Hoa-San-Pai pula! Li Eng tersenyum mengejek.

   "Murid siapa juga kau peduli apakah? Pendeknya, kau harus menyerahkan Po-Kiam dari Hoa-San-Pai berikut kepalamu. Kau tidak berhak menjadi Ketua Hoa-San-Pai!"

   Kwa Tin Siong mencabut pedangnya, pedang Hoa-San Po-Kiam, lalu melangkah maju.

   "Nah, ini pedangnya dan ini kepalaku, kau boleh ambil kalau kau bisa."

   Ia menjadi marah juga melihat sikap gadis yang bandel dan nekat ini dan ia ingin mencoba sendiri kepandaian gadis itu. Setelah Suhunya meninggal, yaitu Lian Bu Tojin, kiranya tidak berlebihan kalau dia menganggap bahwa ahli silat Hoa-San-Pai yang paling tinggi ilmunya pada saat itu adalah dia sendiri. Kalau gadis inipun ahli ilmu silat Hoa-San-Pai, mana mungkin lebih tinggi tingkatnya daripada dia sendiri?

   "Bagus, kau kehendaki kekerasan? Awas!"

   Li Eng menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah pedang dan kakinya menyapu dengan kecepatan kilat. Namun Kwa Tin Siong melangkah mundur dan pedang berkelebat membacok tangan gadis itu.

   Li Eng menarik tangannya, meloncat ke kiri dan kembali menyerang dengan maksud hendak merampas pedang. Kini tubuhnya bergerak-gerak cepat, kadang-kadang melakukan pukulan yang amat cepat dan berbahaya, lain saat ia berusaha merampas pedang dari tangan Kwa Tin Siong. Akan tetapi, kali ini ia betul-betul menghadapi seorang ahli silat yang sudah matang oleh pengalaman, juga yang memiliki tenaga dalam kuat sekali. Sampai lima puluh jurus belum juga ia berhasil merampas pedang. Di lain pihak, diam-diam Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Harus ia akui bahwa ilmu silatnya sendiri kalau dibandingkan dengan ilmu silat gadis itu, ia jauh lebih ahli, juga lebih matang. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada ilmu silat yang dimainkan gadis cilik ini, gerakan-gerakannya mengandung daya serang yang hebat sekali, yang tak ada pada ilmu silat aseli Hoa-San Kun-Hoat.

   "He, Nona kecil, apakah kau pernah belajar pada Supek Lian Ti Tojin?"

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba Kwa Tin Siong bertanya karena ia mendapat dugaan yang aneh,

   "Aku adalah murid Ayah ibu sendiri, sudahlah jangan banyak cakap, lihat dalam beberapa jurus aku akan merampas pedangmu!"

   Tiba-tiba benda hitam panjang seperti ular hidup menyambar ke arah muka Kwa Tin Siong yang menjadi kaget bukan main. Cepat Ketua Hoa-San-Pai ini menyabet dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga untuk membabat putus benda itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu tiba-tiba malah melibat pedangnya dan tak dapat dilepaskan lagi. Ia mengerahkan tenaga menarik dan gadis itupun menahan sehingga keduanya saling betot. Kiranya benda itu adalah Sutera hitam yang dipakai mengerek tubuh Yok-Mo dan Sekarang sudah berada lagi di tangan gadis aneh itu. Melihat keadaan Suaminya dalam bahaya, Sian Hwa tidak dapat tinggal diam saja. Sambil berseru keras ia menggerakkan pedang buntungnya dan menerjang Li Eng. Gadis ini tertawa.

   "Bagus, kalian boleh maju bersama-sama!"

   Sabuk Sutera hitam terlepas dan ia lalu bersilat dengan senjata aneh ini, sekarang dikeroyok dua! Pada waktu itu, tingkat kepandaian Suami Isteri ini sudah amat tinggi dan kiranya tidak sembarang lawan dapat mengalahkan mereka. Mereka merupakan pasangan yang amat hebat dengan ilmu pedang mereka. Akan tetapi ternyata keduanya tidak mampu mendesak Li Eng, sungguhpun gadis ini harus mengaku bahwa kini ia menghadapi dua lawan yang amat tangguh. Gadis itu mainkan senjatanya yang aneh secara cepat dan yang hebat sekali adalah bahwa ilmu silatnya tak salah lagi adalah ilmu silat Hoa-San Kun-Hoat!

   Benar-benar amat penasaran bagi Kwa Tin Siong dan Isterinya yang merupakan tokoh-tokoh pertama dari Hoa-San-Pai, sekarang tak berdaya menghadapi seorang gadis yang juga mainkan ilmu silat Hoa-San-Pai, padahal gadis itu hanya bersenjatakan sehelai sabuk Sutera! Makin lama pertempuran itu berjalan makin seru dan akhirnya menjadi pertandingan mati-matian. Pada suatu saat, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menerjang sedemikian hebatnya, dan dalam waktu yang sama sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh gadis itu. Li Eng kaget dan berseru keras, tubuhnya mencelat ke belakang dan sabuk Suteranya berkibar, seperti kilat menyambar cepat sekali dan seperti kupu-kupu melayang indahnya, kedua ujung sabuk itu tahu-tahu telah membelit kedua pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa yang mengancamnya.

   Gadis ini memegangi sabuk di tengah-tengah dan berada agak jauh sehingga Suami Isteri itu tak dapat menyerangnya lagi dengan tangan kiri karena mereka tidak suka mengambil risiko pedang mereka terampas. Ketiganya berdiri memasang kuda-kuda, mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga memperebutkan pedang. Li Eng mulai berpeluh. Tak kuat ia dikeroyok, dua dalam adu tenaga ini. Wajahnya agak pucat. Kalau ia melepaskan libatan sabuknya, ia dapat terluka di dalam tubuhnya. Ia bertekad, akan tetapi kedudukannya mulai bergerak dan terseret ke depan sedikit demi sedikit. Keringat dingin mulai membasahi jidat yang halus itu. Akan tetapi sepasang mata yang jeli dan bening itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut sedikitpun juga.

   "Li Eng, jangan kurang ajar!"

   Terdengar bentakan suara wanita.

   "Kwa-Supek, maafkan anakku yang nakal!"

   Terdengar pula suara seorang laki-laki.

   Dua suara ini disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan yang tahu-tahu sudah tiba di tempat pertempuran dan langsung bayangan laki-laki itu maju menengah. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa merasa betapa tenaga mereka yang tadi dipersatukan untuk mempertahankan pedang masing-masing itu seperti terlolos dan mencair, lenyap tak tentu sebabnya dan tahu-tahu pedang mereka telah terlepas dari libatan sabuk Sutera yang juga sudah ditarik kembali oleh Li Eng. Ketika Suami Isteri ini memandang, dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan girangnya hati mereka karena yang sekarang berdiri di depan mereka ini bukan lain adalah Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-San-Pai yang dahulu lenyap setelah terusir oleh Kwa Hong!

   Kui Lok segera menjatuhkan diri berlutut di depan paman guru dan bibi gurunya, sedangkan Thio Bwee juga cepat menyeret tangan Li Eng kemudian ia sendiri bersama gadis itupun berlutut di depan Suami Isteri Ketua Hoa-San-Pai. Para Tosu Hoa-San-Pai yang juga mengenal Kui Lok dan Thio Bwee, menjadi gempar dan terdengar seruan-seruan gembira serta isak tertahan. Memang mengharukan sekali pertemuan itu. Kwa Tin Siong segera memeluk Kui Lok sedangkan Liem Sian Hwa merangkul Thio Bwee. Mereka bertangisan. Hanya Li Eng gadis nakal itu yang sekarang berdiri bingung memandang kedua orang tuanya yang berpelukan sambil bertangisan dengan dua orang Ketua Hoa-San-Pai yang baru saja bertanding mati-matian dengannya.

   "Ayah, Ibu... dia ini adalah Ketua Hoa-San-Pai she Kwa!"

   Akhirnya ia tak dapat menahan lagi hatinya, menegur Ayah Bundanya. Ibunya, Thio Bwee telah dapat menetapkan hatinya dan melepaskan pelukan Liem Sian Hwa, bibi gurunya. Ia memandang kepada puterinya dengan mata penuh teguran lalu berkata,

   "Li Eng, tanpa perkenan Ayahmu, mengapa kau berani lancang sampai ke sini dan mengacau Hoa-San-Pai?"

   Kemudian nyonya ini memandang ke sekeliling, ke arah mayat-mayat manusia yang amat banyak, lalu suaranya makin bengis.

   "Kau telah mengacau dan membunuh orang-orang ini?"

   "Aku... tidak, tidak, Ibu. Aku tidak membunuh siapa-siapa!"

   Li Eng menjawab cepat dan ketakutan, apalagi ketika melihat Ayahnyapun memandangnya dengan wajah bengis.

   "Aku... aku keluar dari tempat kita dan aku melihat serombongan orang-orang di Im-Kan-Kok yang bicara tentang maksud mereka menyerbu Hoa-San-Pai. Karena mereka bicara tentang Ketua Hoa-San-Pai pula, hatiku jadi tertarik dan aku lalu datang ke sini untuk merampas kembali Hoa-San Po-Kiam dari Ketua Hoa-San-Pai dan membunuh orang she Kwa ini. Bukankah orang she Kwa ini yang Ayah ibu katakan jahat dan merusak Hoa-San-Pai?"

   "Anak tolol, sama sekali bukan! Dia ini adalah paman guruku, dan yang itu adalah bibi guruku, juga paman guru dan bibi guru ibumu. Jadi kau masih terhitung cucu murid mereka. Hayo lekas berlutut dan minta ampun!"

   Kata Kui Lok. Li Eng kaget sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut.

   "Kakek dan Nenek guru, aku Kui Li Eng mohon ampun..."

   Liem Sian Hwa menubruk cucu muridnya itu dan memeluknya.

   "Tak kusangka aku mempunyai cucu murid begini hebat..."

   Katanya girang. Kwa Tin Siong menarik napas panjang.

   "Sudahlah... sekarang aku tahu siapa yang ia maksudkan orang she Kwa itu. Tentu Kwa Hong bukan?"

   Kui Lok dan Thio Bwee hanya mengangguk. Pada saat itu terdengar suara berseru, suara wanita,

   "Supek...!"

   Orang memandang dan melihat orang berlari cepat ke puncak itu. Mereka ini bukan lain adalah Thian-Beng Tosu bersama dua orang wanita, yang seorang setengah tua dan yang kedua seorang gadis yang cantik dan berpakaian sederhana. Melihat wanita setengah tua itu, Liem Sian Hwa segera lari memapaki dan mereka berangkulan.

   "Lee Giok... kau benar-benar telah membuat Suamimu hidup menderita!"

   Memang benar, wanita itu bukan lain adalah Lee Giok, Isteri dari Thio Ki atau Thian Beng Tosu. Dan gadis cantik sederhana itu adalah puterinya! Bagaimana mereka bisa muncul di saat itu bersama Thian Beng Tosu? Untuk mengetahui hal ini mari kita mengikuti perjalanan Thian Beng Tosu beberapa saat yang lalu. Telah diceritakan bagaimana Thian Beng Tosu berhasil mendesak musuh lamanya, yaitu Hek-Houw Bhe Lam. Kepala rampok ini melarikan diri dikejar oleh Thian Beng Tosu dan kejar-mengejar ini membawa mereka turun dari puncak, tiba di hutan tak jauh dari Im-Kan-Kok. Bhe Lam sudah terluka pangkal lengannya, tapi larinya masih cepat sekali. Betapapun juga, karena Thian Beng Tosu lebih biasa di tempat itu, setibanya di dalam hutan ini ia tersusul dan Tosu Hoa-San-Pai ini membentak,

   "Hek-Houw, percuma saja kau lari. Kejahatanmu sudah melampaui takaran, hari ini kau harus tewas di tanganku!"

   Hek-Houw Bhe Lam yang tahu bahwa tak mungkin ia dapat lari lagi mendadak membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Belasan buah senjata Piauw melayang ke arah lawannya. Namun Thian Beng Tosu sudah menduga akan hal ini, cepat memutar pedangnya menangkis.

   Pada saat itu Hek-Houw Bhe Lam bersuit ketika ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawannya. Dengan perlahan tapi tentu Tian Beng Tosu mendesak penjahat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan dari dalam hutan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang tinggi besar yang segera menerjangnya dengan golok di tangan. Mereka ini adalah orang-orang yang sengaja disuruh menjaga di situ oleh kepala rampok ini dan tadi ia memang sengaja memancing Thian Beng Tosu memasuki hutan ini agar ia bisa mendapatkan bantuan tiga orang temannya. Setelah tiga orang itu mengeroyok, keadaan menjadi terbalik. Kini Tosu inilah yang terdesak dan dihujani serangan dari kanan kiri, depan dan belakang. Ia mulai sibuk dan terpaksa hanya dapat mempertahankan dirinya tanpa mampu balas menyerang.

   Keadaannya benar-benar berbahaya sekali dan Hek-Houw Bhe Lam mulai mengejek dan mentertawakan. Akan tetapi tiba-tlba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis muda yang cantik manis dengan sederhana, diikuti oleh seorang wanita setengah tua yang berpakaian seperti seorang pertapa tahu-tahu muncul dari balik pepohonan dan langsung kedua orang wanita itu menerjang empat orang penjahat tadi. Hebat sekali permainan pedang gadis sederhana itu, akan tetapi lebih hebat permainan silat wanita pertapa yang hanya memegang sebatang ranting kecil. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang penjahat itu telah terjungkal dalam keadaan terluka. Gadis itu dengan gemas menggerakkan pedang hendak membunuh Hek-Houw Bhe Lam, akan tetapi tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru,

   "Jangan bunuh!"

   Gadis itu menahan pedangnya dan memandang kepada Tosu Hoa-San-Pai ini dengan sinar mata penuh keharuan. Sebaliknya Thian Beng Tosu dan wanita pertapa ini berdiri seperti patung dan saling pandang seperti terkena pesona.

   "Lee Giok... kau Lee Giok..."

   Bibir Thian Beng Tosu bergerak-gerak mengeluarkan bisikan. Wanita pertapa itu meramkan kedua.. matanya dan menitiklah air mata di atas kedua pipinya yang masih segar kemerahan. Memang benar dia adalah Lee Giok, Isteri Thian Beng Tosu!

   "Dan dia ini...?"

   Lagi-lagi Thian Beng Tosu berkata perlahan sekali menoleh ke arah gadis yang cantik gagah perkasa itu.

   "dia Hui Cu... anak kita..."

   Terdengar wanita pertapa itu berkata. Mendengar ini, gadis itu yang bernama Thio Hui Cu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Beng Tosu sambil berkata,

   "Ayah...!"

   Tosu ini membungkuk dan meraba kepala anaknya, air matanya bercucuran, kemudian ia menarik bangun anaknya, memandangi sampai lama sekali lalu berdongak ke atas dan berkata,

   "Siancai... Tuhan Maha Adil... siapa sangka aku akan dapat bertemu dengan kalian dalam keadaan selamat? Ya Tuhan, terima kasih atas kemurahan-Mu..."

   Setelah keharuan mereka mereda, Lee Giok berkata,

   "Dia ini... bukankah dia penjahat Bhe Lam yang dahulu itu?"

   Baru sekarang Thian Beng Tosu teringat akan empat orang penjahat yang masih berada di situ karena tidak berani melarikan diri.

   "Betul, dan mereka inilah yang menjadi lantaran pertemuan kita. Karena itu, biarlah kita ampunkan mereka.

   "Bhe Lam, sekali lagi kami mengampunimu, harap saja kau dapat sadar dan insyaf bahwa menyimpang dari jalan kebenaran bukanlah hal yang akan dapat menyelamatkan dirimu. Nah, pergilah dan semoga Thian akan memberi bimbingan kepada jiwamu."

   Dengan malu sekali, juga bersyukur karena kembali dia diampuni, Bhe Lam dan teman-temannya pergi terpincang-pincang. Setelah mereka pergi, Suami Isteri dan anak mereka ini saling berpandangan, penuh kebahagiaan dan penuh keharuan.

   "Kau... selama ini di manakah? Kenapa tidak kembali ke Hoa-San mencariku?"

   Dalam pertanyaan yang halus ini sama sekali tidak terkandung suara penyesalan, namun cukup membuat Lee Giok kembali

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   mengucurkan air mata.

   "Bagaimana aku berani? Aku... aku... telah ternoda oleh si jahat Giam Kin. Baiknya ada Adik Hong yang menolongku... dan aku lari ke sini, aku... aku bersembunyi dalam hutan, bertapa... dan mendidik anak kita ini... aku telah mengambil keputusan tidak akan mengganggumu kecuali kau yang mendapatkan aku. Siapa duga... kau bertempur dengan mereka itu dan... dan... ah, kenapa kau sekarang telah menjadi Tosu?"

   Thian Beng Tosu tersenyum, lalu dengan penuh kebahagiaan ia memegang tangan Isterinya di tangan kanan, tangan Hui Ci di tangan kiri.

   "Dan kau sendiri? Kaupun menjadi seorang tokouw (Pendeta perempuan). Bagus sekali! Ternyata bukan aku saja yang sudah menemukan jalan benar, juga kau, Isteriku Lee Giok, sekarang tinggal kita mendoakan saja demi kebahagiaan hidup anak kita. Marilah ikut aku ke puncak menemui Supek. Tahukah kau bahwa sekarang yang menjadi ketua adalah Supek Kwa Tin Siong?"

   Dengan penuh kegembiraan Thian Beng Tosu bersama anak dan Isterinya lalu menuju ke Puncak Hoa-San dan di tengah perjalanan mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang pahit dan penuh penderitaan. Dapat dibayangkan betapa kebahagiaan ini menjadi makin berlimpah ketika mereka tiba di tempat pertempuran tadi melihat bahwa Kui Lok dan Thio Bwee berada pula di situ, malah Li Eng gadis nakal yang lihai itu ternyata adalah puteri mereka! Hujan tangis terjadi ketika Thian Beng Tosu muncul bersama Lee Giok dan Hui Cu. Segera Kwa Tin Siong memerintahkan para murid untuk mengurus mayat-mayat itu dan merawat mereka yang terluka. Dia sendiri dengan perasaan duka bercampur suka ria mengajak para murid Hoa-San-Pai itu masuk ke dalam kuil. Akan tetapi tiba-tiba Liem Sian Hwa berkata dengan kaget,

   "Eh, di mana Kun Hong?"

   Beberapa orang Tosu menjawab bahwa mereka tadi melihat Kun Hong lari pergi dari tempat itu, turun dari puncak. Ketika para Tosu hendak mencegah dan memberi tahu bahwa mungkin ada orang jahat di lereng gunung, Kun Hong malah marah-marah dan membentak mereka,

   "Jangan bicara padaku, kalian semua juga jahat, pembunuh-pembunuh kejam. Aku tidak sudi lagi tinggal di sini!"

   Tentu saja Liem Sian Hwa berkuatir sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong yang sekarang merasa betapa puteranya itu amat lemah dan tak dapat dibandingkan dengan Li Eng atau Hui Cu yang biarpun merupakan anak-anak perempuan namun memiliki kegagahan, segera berkata,

   "Biarkanlah, memang sudah tiba waktunya bagi dia untuk meluaskan pengalaman ke bawah gunung. Kalau sudah banyak menghadapi kesukaran, baru ia menjadi dewasa dan dia tentu akan kembali ke sini."

   Iapun mencegah dan menghibur Isterinya yang tadinya bermaksud untuk mengejar dan mencari puteranya.

   Sian Hwa sendiri karena merasa malu kalau harus memperlihatkan kelemahan puteranya dan juga kelemahannya sendiri yang terlalu menguatirkan seorang anak laki-laki, terpaksa menurut walaupun hatinya penuh kegelisahan. Mereka semua lalu masuk ke dalam kuil dan menceritakan pengalaman masing-masing. Yang membuat Ketua Hoa-San-Pai ini girang dan bangga sekali adalah ketika ia mendengar bahwa Kui Lok dan Thio Bwee kini telah mewarisi ilmu kepandaian yang ditinggalkan oleh Lian Ti Tojin sehingga tingkat kepandaian dua orang murid keponakan ini jauh melampaui tingkatnya sendiri. Hal ini berarti memperkuat kedudukan Hoa-San-Pai. Keluarga besar keturunan Lian Bu Tojin ini sekarang telah berkumpul di Hoa-San-Pai dan dengan adanya mereka, kiranya tidak akan ada sembarang orang berani mengacau Hoa-San-Pai lagi.

   Hati Kun Hong penuh kedukaan dan kemarahan. Sama sekali di luar dugaannya bahwa Ayah Bundanya, juga para Tosu Hoa-San-Pai yang setiap hari belajar tentang kebajikan, sekarang berubah menjadi pembunuh-pembunuh yang amat kejam menurut pendapatnya. Puluhan orang manusia dibunuh di puncak Hoa-San.

   "Aku tidak mau melihat mereka lagi, aku tidak sudi lagi kembali ke Hoa-San-Pai!"

   Demikian hatinya menjerit penuh kengerian ketika terbayang di depan matanya mayat-mayat manusia menggeletak tumpang-tindih itu. Celaka, pikirnya, ibunya dan semua Tosu Hoa-San-Pai tentu akan ditangkap dan dimasukkan penjara!

   Biarpun ia, tidak pernah belajar ilmu silat, namun Kun Hong memang pada dasarnya memiliki tubuh yang sehat kuat dan berkat kemauannya yang luar biasa kokoh kuatnya, ia tidak merasakan kelelahan kedua kakinya. Ia berlari terus menuruni puncak. Maksudnya hendak mencari dusun terdekat untuk menemui kepala dusun dan melaporkan tentang pertempuran di puncak itu, Biarlah yang berwajib yang mengurusnya, tapi ia tidak akan kembali ke sana, pikirnya. Tiba-tiba ia melihat orang berjalan terhuyung-huyung, mengeluh lalu roboh tak jauh dari tempat ia berdiri. Cepat Kun Hong lari menghampiri dan kagetlah ia ketika melihat bahwa orang itu bukah lain adalah Toat-Beng Yok-Mo, kakek bongkok yang tadi ia lihat mengamuk di Puncak Hoa-San. Hatinya memang penuh welas asih, melihat kakek itu luka-luka di pundak dan lambung, mengucurkan darah, ia segera berlutut dan bertanya,

   "Toat-Beng Yok-Mo, kau kenapakah?"

   Kakek itu mengeluh dan membuka matanya, kelihatan kesakitan sekali. Ketika ia melihat Kun Hong, sekejap ia kelihatan kaget, akan tetapi kemudian terheran-heran.

   "Lekas... tolong kau ambilkan Bumbung (tabung bambu) dalam buntalanku di punggung ini... lekas... dan hati-hati, jangan menyentuh tanganku..."

   Katanya dengan suara terengah-engah.

   Kun Hong melihat ke arah kedua tangan kakek itu dan bergidik ngeri. Kedua tangan kakek itu telah hitam seperti hangus terbakar dan teringatlah ia akan racun hebat yang mengakibatkan kematian Tosu Hoa-San-Pai dan kemudian karena dipegang oleh Bu Tosu mengakibatkan hal yang amat mengerikan. Ingin ia lari pergi menjauhi kakek yang seperti iblis ini, akan tetapi melihat orang tua itu terluka dan berada dalam keadaan payah sekali, hatinya tidak tega. Ia lalu menurunkan bungkusan dari punggung kakek itu dan membukanya. Di antara bungkusan-bungkusan obat dan pakaian, ia mengambil sebatang bambu besar dan pendek yang disumbat kayu dan tabung itu diberi lubang untuk hawa, seperti tempat jengkerik akan tetapi tabung itu besar.

   "Inikah Bumbung itu?"

   Tanyanya.

   "Betul, buka sumbatnya dan keluarkan isinya. Hati-hati, katak putih hijau ini jangan sampai terlepas. Kau peganglah erat-erat!"

   Toat-Beng Yok-Mo berkata tergesa-gesa dan sinar kegembiraan terpancar keluar dari sepasang matanya yang tadi sayu dan penuh kegelisahan

   "Katak?"

   Kun Hong terheran-heran sambil membuka sumbatnya dan tiba-tiba seekor katak yang besar dan berkulit seperti salju meloncat keluar dari tabung itu.

   "Wah, terlepas...!"

   Kata Kun Hong.

   "Goblok kau! Celaka..., lekas tangkap jangan sampai hilang. Kalau dia hilang aku mati...!"

   Mendengar ucapan ini Kun Hong menjadi pucat, lalu ia mengejar katak itu sampai jatuh bangun. Ini urusan nyawa orang, pikirnya. Katak itu tidak begitu cepat gerakannya, akan tetapi selambat-lambatnya katak, pandai melompat sehingga tiap kali Kun Hong menubruk, katak itu melompat membuat pemuda itu terpaksa mengejar lagi dan menubruk lagi sampai jatuh bangun dan pakaiannya kotor semua. Akan tetapi akhirnya dapat juga ia menangkap katak itu. Biarpun pakaiannya kotor semua dan kedua lengannya babak-belur tertusuk duri, namun Kun Hong girang sekali karena dapat menangkap kembali katak itu yang segera dibawanya lari kepada Toat-Beng Yok-Mo.

   "Sudah dapat kutangkap kembali, Yok-Mo,"

   Katanya girang. Keadaan Toat-Beng Yok-Mo makin payah, napasnya terengah-engah.

   "Lekas... dekatkan mulutku katak itu..."

   Kedua tangan yang hangus itu dapat digerakkan lagi. Kun Hong mendekatkan katak itu ke mulut Yok-Mo dengan heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat kakek itu membuka mulut dan... menggigit kaki belakang katak itu sampai mengucurkan darah yang lalu dihisap!

   "Eh..., eh, kau makan katak hidup ini?"

   Teriaknya heran dan mencoba untuk menarik katak itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Yok-Mo bergerak menendang dan tubuh Kun Hong mencelat jauh. Pemuda ini merayap bangun dan bersungut-sungut.

   "Kau memang jahat! Katak tidak berdosa kau gigit dan kau menendangku!"

   Akan tetapi ia melihat keanehan setelah kakek itu minum darah katak. Kedua tangannya yang tadinya hangus itu cepat sekali pulih kembali dan lenyaplah warna hitam tadi. Tak lama kemudian kakek itu mengambil katak dari mulutnya, memasukkannya kembali ke dalam tabung dan... tertidurlah kakek itu mengorok enak sekali!

   Kun Hong adalah seorang yang cerdik. Melihat ini tahulah ia bahwa darah katak itu adalah obat yang amat mujarab bagi racun hitam. Ia ingin sekali bertanya karena merasa tertarik bukan main. Akan tetapi karena kakek itu tertidur nyenyak, ia tidak mau mengganggunya dan perhatiannya segera tertarik oleh tiga jilid kitab yang terletak di dalam bungkusan kakek itu yang masih terbuka. Segera ia mendekati lalu mengambil buku-buku itu. Ternyata adalah kitab-kitab pengobatan. Kitab pertama berjudul "SELAKSA MACAM OBAT,"

   Kitab ke dua berjudul "SELAKSA MACAM CARA PENGOBATAN"

   Dan yang ke tiga berjudul "RAHASIA PEREDARAN DARAH DALAM TUBUH"

   Kun Hong adalah seorang kutu buku. Melihat kitab sama dengan seorang kelaparan melihat roti.

   Dengan lahapnya ia lalu membuka kitab-kitab itu dan membacanya. Yang dibukanya adalah kitab rahasia tentang peredaran darah dalam tubuh. Biarpun pusing kepalanya membaca huruf-huruf kuno dengan gambar tentang perjalanan darah disertai ribuan macam istilah yang asing baginya namun karena nafsunya membaca amat luar biasa, ia memaksa diri membaca terus. Setengah hari Yok-Mo tidur nyenyak dan setengah hari pula Kun Hong membaca kitab itu. Sekarang ia mengerti bahwa peredaran darah erat sekali hubungannya dengan pernapasan dan bahwa pernapasan menjadi sumber dari tenaga dalam di tubuh manusia. Asyik sekali ia membaca dan mulai banyaklah hal-hal menarik dalam kitab itu terutama yang mengenai pengertian tentang keadaan tubuh yang berhubungan dengan cara pengobatan.

   "Aduh... keparat... pundak dan lambungku panas sekali..."

   Tiba-tiba suara ini membangunkannya dari alam mimpi yang amat menarik hati. Akan tetapi ia segera mengerti bahwa yang mengeluh itu adalah Toat-Beng Yok-Mo, maka ia tidak mempedulikan dan melanjutkan bacaannya.

   "Uh... uhh... sakit dan panas... heee! Jangan baca kitab-kitabku!" Kun Hong menutup buku itu dan meletakkannya dalam bungkusan, lalu menoleh. Kakek itu masih rebah telentang nampak lemah dan kesakitan. Ia cepat menghampiri.

   "Bagaimana, Yok-Mo? Sudah sembuhkah tanganmu?"

   Tiba-tiba tangan kakek itu bergerak dan tahu-tahu pergelangan tangan Kun Hong sudah dicengkeram erat-erat. Pemuda ini merasa tangannya kesakitan, mencoba untuk melepaskan cengkeraman itu namun tak berhasil.

   "Eh, kau ini ada apakah? Lepaskan tanganku!"

   "Tak boleh kau membaca kitab-kitabku!"

   "Baca saja apa salahnya, sih? Kalau kau tidak membolehkannya, akupun tidak memaksa. Hemm, tanganmu panas sekali, lepaskan aku."

   Yok-Mo melepaskan pegangannya, mengeluh lagi dan berkata dengan napas sesak,

   "Luka-lukaku... mengakibatkan demam panas... lekas kau carikan daun pohon sari darah, akar buah ular dan cacing hitam..."

   Kun Hong menjadi bingung.

   "Ke mana aku mencari? Dan yang bagaimanakah macamnya daun dan akar serta cacing yang kau sebutkan itu?"

   "Ah... benar juga... kau mana tahu? Celaka..., selain demam aku pun... banyak kehilangan darah... ah, kau tolonglah aku, orang muda..."

   Kun Hong merasa kasihan sekali. Ia meraba jidat kakek itu dan ternyata panas sekali.

   "Ah, Yok-Mo, aku benar-benar ingin sekali menolongmu. Akan tetapi bagaimana caranya? Mencarikan obat-obat yang kau sebutkan tadi aku tentu mau, akan tetapi aku tidak tahu..."

   "Tak usah mencari... kau antarkan saja aku... ke tempat tinggalku... di sana terdapat segala obat yang kubutuhkan..."

   "Mengantar kau kembali ke tempat tinggalmu? Tentu, boleh saja. Mari kuantar kau..."

   Jawab Kun Hong cepat. Tentu saja pemuda yang berwatak jujur ini tidak tahu akan maksud kakek itu sebenarnya. Toat-Beng Yok-Mo maklum bahwa dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, kalau sampai ia bertemu dengan musuh-musuhnya, dalam hal ini orang-orang Hoa-San-Pai, tentu ia akan celaka dan tidak dapat melakukan perlawanan. Dengan membawa Kun Hong di dekatnya, ia dapat rnempergunakan pemuda ini sebagai jaminan untuk keselamatannya!

   "Kau baik sekali... uhhh... uhhh..."

   Ia mencoba berdiri akan tetapi merasa pusing dan terguling kembali.

   "Bagaimana? Apakah kau tidak bisa jalan...?"

   Tanya Kun Hong kuatir dan penuh perasaan iba. Sebagai seorang cerdik yang sudah banyak pengalaman, Toat-Beng Yok-Mo sudah dapat menyelami watak Kun Hong, maka kembali ia sengaja mengeluh dan mengaduh untuk memperdalam perasaan iba di hati pemuda itu. Kemudian dengan suara bisik-bisik seperti orang yang amat payah keadaannya ia berkata,

   Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku... aku tidak bisa jalan... berdiripun tidak kuat... ah, anak yang baik... kalau kau kasihan kepada aku orang tua... kau gendonglah aku..."

   Kun Hong benar-benar sudah tergerak hatinya dan merasa amat kasihan kepada kakek itu.

   "Baiklah, Yok-Mo, kau akan kugendong."

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini