Rajawali Emas 17
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Bukan main girangnya hati Kun Hong. Dia memang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan di samping pengetahuannya yang mendalam tentang iimu kebatinan dan filsafat yang membuatnya kadang-kadang bicara seperti seorang kakek-kakek. Mendengar ini, saking girangnya ia melompat ke depan memegang pundak Hui Cu. Dipandangnya muka nona itu dan berkatalah dia kegirangan.
"Aduh senangnya...! Aku mempunyai keponakan dan tahu-tahu sudah begini besar, begini... eh, cantik dan manisnya, Kau bernama Hui Cu? Tentu namamu Hui Cu... tapi kenapa kau tidak mirip Suko? Ah? tentu mirip ibumu."
Memang watak Kun Hong aneh bukan main. Dalam keadaan seperti itu, tentu orang-orang akan menganggap ia gendeng atau setidaknya kurang ajar, padahal semua itu timbul dari lubuk hatinya yang benar-benar menjadi girang bukan main. Karuan saja Hui Cu yang alim, pendiam dan pemalu menjadi merah mukanya, dan ia hanya tersenyum sedikit, memandang sekilas lalu tunduk dengan telinga merah, apalagi diketawai oleh Li Eng dan malah mendengar suara ketawa dari banyak pengemis yang hadir di situ.
"Iih, Paman Hong. Kau bikin aku mengiri. Aku bisa marah, lho! Bukan hanya Enci Cu keponakanmu, akupun keponakanmu, apa kau lupa?"
Kun Hong melepaskan pegangannya pada kedua pundak Hui Cu, lalu memandang Li Eng, keningnya berkerut.
"Dia ini puteri Suko, tentu saja seperti keponakanku sendiri. Tapi kau ini, kau bocah nakal, kau anak siapa berani mengaku sebagai keponakanku?"
Li Eng cemberut.
"Sudahlah, kalau kau tidak mau mengakui Ayah Bundaku, sudahlah...! Memang orang macam aku mana patut menjadi keponakanmu?"
Hui Cu merangkul Li Eng.
"Adik Eng, jangan ngambek. Eh, Paman Hong, sesungguhnya Eng-moi adalah keponakanmu karena dia adalah puteri tunggal dari Bibi Thio Bwee dan Paman Kui Lok yang sekarang sudah berkumpul di Hoa-San-Pai."
"Begitukah?"
Kun Hong sampai berteriak keras saking girangnya, lalu ia menyambar tangan Li Eng, ditariknya dan seperti gila ia menari-nari sambil menggandeng tangan gadis itu mengelilingi lapangan.
"Bagus, kau puteri mereka? Ha, ha, mereka jadinya masih hidup dan sudah kembali ke Hoa-San-Pai? Aduh senangnya!"
"Hish... apa-apaan kau ini, Paman Hong?"
Li Eng menjadi malu juga karena ia dipaksa menari-nari tidak karuan.
"Dilihat banyak orang, apa tidak malu? Hayo kita pergi dari sini, kembali ke Hoa-San. Sukong mengharap-harap kembalimu."
Kun Hong melepaskan gandengannya.
"Akupun hendak kembali, apalagi sekarang setelah semua berada di sana."
Kun Hong lalu menoleh kepada Sin-Eng-Cu Lui Bok yang sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan sambil tersenyum-senyum gembira. Terhadap kakek ini Kun Hong menjura dan berkata,
"Susiok, perkenankan Teecu pergi, karena Teecu harus kembali ke Hoa-San."
Sin-Eng-Cu Lui Bok tersenyum dan berkata,
"Pulanglah, Kun Hong dan berbahagialah kau. Akupun akan mencapai kebahagiaan di puncak Bukit Kepala Naga, mendekati mendiang Suheng yang bijaksana."
Setelah berkata demikian, Sin-Eng-Cu Lui Bok berjalan membungkuk-bungkuk sambil memutar-mutar tongkatnya, biarpun kelihatannya jalan seenaknya, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata. Kun Hong berpaling kepada Hwa-I Lo-Kai dan menjura.
"Pangcu, harap maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu urusanmu. Setelah Susiok pergi, urusan antara dia dan Pangcu sudah habis, perkara pemilihan ketua terserah kepadamu."
Ia menoleh kepada Li Eng dan Hui Cu dan berkata gembira,
"Hayo, anak-anak! Hui Cu dan... eh, kau yang nakal siapa namamu?"
Dua orang gadis itu menutupi mulut dengan geli melihat sikap Kun Hong yang lucu dan tolol ini.
"Paman Hong, namaku Kui Li Eng, jangan lupa lagi!"
"Hayo kita pergi dari sini!"
Kata lagi Kun Hong. Akan tetapi Hwa-I Lo-Kai segera melangkah maju dan menjura sambil berkata,
"Nanti dulu, Siauw-Sicu. Aku atas nama Hwa-I Kai-Pang menerima usul Lo-Cianpwe Lui Bok tadi untuk menyerahkan Hwa-I Kai-Pang ke dalam bimbinganmu. Aku mengangkat kau sebagai ketua baru dari Hwa-I Kai-Pang!"
Sin-Chio The Kok atau Hwa-I Lo-Kai adalah seorang yang amat luas pandangannya. Memang ia bercita-cita membuat perkumpulan Hwa-I Kai-Pang menjadi perkumpulan yang kuat dan sekarang ia melihat ke sempatan yang amat baik untuk memperkuat perkumpulannya itu.
Pemuda ini terang adalah seorang luar biasa, sungguhpun kelihatannya tidak memiliki kepandaian ilmu silat, namun memiliki pribadi tinggi dan pengetahuan luas. Apalagi yang mengusulkan supaya pemuda ini diangkat menjadi ketua adalah seorang tokoh besar, yaitu Sin-Eng-Cu Lui Bok yang ternyata masih Susiok pemuda ini. Sekarang, melihat sepak terjang dua orang gadis itu, jelas bahwa pemuda ini selain murid keponakan Sin-Eng-Cu Lui Bok, kiranya masih mempunyai hubungan erat dengan Hoa-San-Pai. Kalau Hwa-I Kai-Pang dapat mengangkat pemuda ini menjadi ketua, bukankah berarti bersekutu dengan Sin-Eng-Cu dan Hoa-San-Pai sehingga menjadi amat kuat? Di lain pihak, Kun Hong gelagapan dan bingung setengah mati mendengar ucapan kakek itu. Ia mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tangannya tanda menolak.
"Tidak bisa... tidak bisa, Pangcu. Aku yang bodoh mana bisa menjadi Ketua Hwa-I Kai-Pang?"
Pada saat itu terdengar suara Coa Lo-Kai yang keras dan kasar,
"Saudara-saudara para anggauta Hwa-I Kai-Pang yang masih setia kepada Hwa-I Lo-Kai, hayo kita lekas berlutut memberi hormat kepada pangcu yang baru!"
Pengemis tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, di belakangnya banyak sekali para pengemis ikut berlutut. Hanya beberapa orang pengemis yang berpihak kepada Beng Lo-Kai dan Sun Lo-Kai tidak mau berlutut, hanya memandang kepada dua orang pemimpin mereka yang berdiri dengan muka merah. Kun Hong makin gugup, apalagi ketika melihat Hwa-I Lo-Kai sendiri menjura dan mengangguk-angguk berkali-kali. Ketika ia memandang kepada Coa Lo-Kai yang memelopori para anggauta itu, ia melihat wajah pengemis tua ini berpeluh, dan jelas, kelihatan ia menderita rasa sakit yang hebat, sedangkan lengan pergelangan membengkak. Teringatlah ia betapa dalam membela ketuanya, pengemis ini tadi terluka oleh Sin-Eng-Cu Lui Bok. Ia segera memberi isyarat dengan tangannya, berkata,
"Lo-Kai, kau ke sinilah!"
Dengan sikap hormat dan juga terheran-heran Coa Lo-Kai bangkit dan menghampiri Kun Hong, Pemuda ini tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang lengan kanan Coa Lo-Kai. Beberapa kali memijat saja tahulah Kun Hong bahwa tulang lengan itu tidak patah, melainkan terlepas sambungannya. Memang semenjak ia membaca kitab pelajaran ilmu pengobatan dari Toat-Beng Yok-Mo, pengetahuannya tentang luka dalam dari segala macam penyakit menjadi luar biasa sekali.
"Untung Susiok tadi masih menaruh kasihan kepadamu,"
Katanya perlahan.
"Lain kali jangan kau memandang rendah orang seperti dia, Lo-Kai."
Ia memijat sana menotok sini dan sebentar saja sambungan tulang pergelangan itu telah baik kembali dan lengan itu mengempis lagi.
"Masukkan tanganmu yang ini ke dalam saku dan jangan digerak-gerakkan selama sehari semalam. Tentu akan sembuh kembali."
Tidak hanya Coa Lo-Kai yang kegirangan dan terheran-heran, namun semua orang di situ terheran-heran, termasuk Li Eng dan Hui Cu.
"Terima kasih banyak atas pertolongan Pangcu,"
Kata Coa Lo-Kai sambil melangkah mundur.
"Aku bukan ketuamu, ketuamu adalah Hwa-I Lo-Kai itulah,"
Kata Kun Hong.
"Tidak, kaulah Pangcu yang baru, Siauw-Sicu. Dan inilah tanda ketua, harap kau sudi menerimanya dariku."
Hwa-I Lo-Kai lalu mengeluarkan sebatang tongkat kecil yang berlukiskan kembang-kembang indah, diangsurkan kepada Kun Hong. Tentu saja Kun Hong tidak mau menerimanya.
"Jangan, Pangcu. Aku tidak berani menerimanya. Kau tetaplah menjadi Pangcu atau pilihlah di antara pembantumu. Aku akan pulang ke Hoa-San."
Berkerut kening Hwa-I Lo-Kai dan wajah kakek ini menjadi pucat.
"Sicu, ada satu peraturan yang kami pegang keras, yaitu apabila kami dihina, kami harus mempertahankan nyawa untuk menebus hinaan. Penolakanmu terhadap pemilihan ketua merupakan penghinaan bagi kami. Akan tetapi, karena kau adalah seorang mulia dan budiman yang telah menolong nyawaku dari ancaman mati di tangan Sin-Eng-Cu, bagaimana aku dapat berbuat dosa terhadapmu? Karena itu, apabila kau tetap menolak untuk menerima tawaran kami menjadi Pangcu dari Hwa-I Kai-Pang, aku tua bangka akan membunuh diri di depan kakimu untuk menebus penghinaan ini dan selanjutnya tentang Hwa-I Kai-Pang kuserahkan kepadamu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu mencabut pedangnya, siap untuk melakukan pembunuhan diri.
"Heeiii, jangan...!"
Kun Hong maju dan memegang lengan Ketua itu yang memegang pedang.
"Sabarlah, Pangcu... wah, bagaimana ini baiknya? Kau tidak boleh membunuh diri!"
"Kalau Sicu menolak, terpaksa aku membunuh diri menebus penghinaan."
Kun Hong memutar otaknya dan pemuda yang cerdik ini sudah mendapat jalan.
"Baiklah... baiklah, kau simpan dulu pedangmu."
Dengan muka girang Hwa-I Kai-Pang menyimpan pedangnya dan memberikan tongkat kecil itu. Terpaksa Kun Hong menerimanya dan para pengemis anggauta Hwa-I Kai-Pang bersorak girang, kecuali mereka yang tidak setuju.
"Begini Hwa-I Lo-Kai. Setelah aku menjadi ketua, tentu semua anggauta Hwa-I Kai-Pang, termasuk kau sendiri, akan taat dan menurut perintahku, bukan?"
"Tentu saja, biarpun disuruh menyerbu ke dalam lautan api, kami akan taat terhadap perintah pangcu"
Kata Hwa-I Lo-Kai penuh semangat.
"Nah, bagus! Sekarang perintahku yang pertama. Aku mengangkat kau menjadi Ji-pangcu (ketua ke dua) yang mewakili aku memimpin Hwa-I Kai-Pang jika aku tidak berada di sini. Kau boleh memilih pembantu sendiri, dan selama aku tidak berada di sini, kaulah yang menjadi wakilku dengan kuasa sepenuhnya. Sekarang aku mempunyai keperluan penting sekali, harus kembali ke Hoa-San, maka kaulah yang menjadi wakilku untuk sementara."
Semua orang tahu belaka bahwa ini adalah akal pemuda itu, akan tetapi karena merupakan perintah, tentu saja tidak ada yang berani membantah.
"Tentu saja Lo-Kai taat terhadap perintah Pangcu, akan tetapi harap saja Pangcu tidak menganggap ini sebagai main-main dan jangan menegakan kami Hwa-I Kai-Pang,"
Kata kakek itu. Li Eng adalah seorang gadis yang banyak pengertiannya tentang kang-ouw, maka ia segera berkata kepada Hwa-I Lo-Kai,
"Lo-Kai, harap kau maklumi keadaan Pamanku ini. Ketahuilah, dia adalah putera tunggal dari Ketua Hoa-San-Pai, sebelum menerima ijin Ayahnya, mana dia berani berdiam di sini menjadi ketua Hwa-I Kai-Pang?"
Hwa-I Lo-Kai nampak terkejut. Memang sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Hoa-San-Pai! Akan tetapi Kun Hong sudah menerima tongkat dan sudah menjadi Ketua Hwa-I Kai-Pang, maka diam-diam ia menjadi makin girang.
"Ah, kiranya Pangcu kita yang baru adalah putera Hoa-San-Pai Ciang-bunjin! Tentu saja perintah Pangcu kami taati dan kami harap saja setelah tiba di Hoa-San dengan selamat, lain kali Pangcu memerlukan membuang waktu untuk menengok keadaan kami."
Kun Hong girang. Ia menganggap bahwa akalnya berhasil. Hanya namanya saja menjadi ketua, apa salahnya? Ia mengangguk-angguk dan tersenyum. Akan tetapi dengan marah Beng Lo-Kai dan Sun Lo-Kai melompat maju. Beng Lo-Kai dan Sun Lo-Kai ini tadinya masih tidak berani banyak tingkah ketika Sin-Eng-Cu Lui Bok masih berada di situ karena maklum akan kelihaian kakek itu. Akan tetapi sekarang setelah kakek itu pergi, mereka tidak takut lagi, lebih-lebih karena memang mereka ini mempunyai pendukung-pendukung di belakang mereka.
"Tidak adil sekali keputusan ini!"
Seru Sun Lo-Kai.
"Aku tidak setuju kalau ketua baru dipilih orang luar!"
Seru Beng Lo-Kai.
"Kalau Pangcu hendak mengundurkan diri, seharusnya yang menjadi calon adalah kami bertiga Lo-Kai, dan di antara kami bertiga dipilih yang paling cakap untuk menjadi ketua baru. Kenapa sekarang memilih seorang bocah luar yang masih ingusan? Aku tidak setuju akan keputusan ini!"
Kata pula Sun Lo-Kai.
"Betul sekali ucapan Sun Lo-Kai. Akupun tidak mau terima, kalau bocah tolol ini dapat memecahkan dadaku, baru aku mau mengakui Ketua Hwa-I Kai-Pang!
"Eh, bocah sombong, hayo maju dan lawanlah aku!"
Beng Lo-Kai menantang.
"Hayo, perlihatkan kegagahanmu, kalau kau memang laki-laki!"
Tantang pula Sun Lo-Kai dan dua orang kakek itu sudah mencabut pedang masing-masing.
"Aku tidak bisa berkelahi, juga tidak mau berkelahi, Ji-Wi Lo-Kai harap sabar dan mundur karena mulai sekarang Ji-Wi kuanggap bukan pengurus Hwa-I Kai-Pang lagi. Aku tidak mau melihat pengurus atau anggauta Hwa-I Kai-Pang yang suka berkelahi dan kelihatan sekali hasratnya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan. Ji-Wi akan memberi contoh yang buruk kepada para anggauta. Harap Ji-Wi mundur."
Bukan main marahnya Beng Lo-Kai. Terang-terangan mereka dipecat!
"Kau... kau...!"
Beng Lo-Kai hendak memaki akan tetapi saking marahnya tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya, sedangkan Sun Lo-Kai maju dengan sikap mengancam. Hwa-I Lo-Kai membentak,
"Beng Lo-Kai dan Sun Lo-Kai, kalian sudah mendengar perintah Pangcu. Mulai saat ini kalian bukan pembantu pengurus dan dikeluarkan dari keanggautaan. Lepaskan tali-tali putih dari pinggang kalian."
Muka dua orang pengemis itu menjadi pucat saking marahnya, tanpa berkata sesuatu mereka melepaskan ikat pinggang putih tujuh helai dari pinggang masing-masing, kemudian dengan suara lantang mereka berkata kepada Kun Hong,
"Kami sekarang sebagai orang luar menantang kepada ketua baru dari Hwa-I Kai-Pang untuk mengadu kepandaian. Kalau tidak berani, maka ketua baru dari Hwa-I Kai-Pang hanyalah seorang pengecut hina..."
Yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Beng Lo-Kai dan terpaksa ia berhenti karena tiba-tiba Hui Cu sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan.
"Keparat bermulut kotor!"
Gadis ini membentak dengan suara nyaring dan mata berapi-api.
"Manusia, tak tahu diri, pamanku sengaja mengalah kepadamu akan tetapi malah membuat kepalamu membesar dan mulutmu melebar. Siapa sih yang takut kepada manusia macammu? Biar ada sepuluh orang macam kau, majulah semua dan tidak usah Paman Hong menggerakkan tangan biar yang sepuluh itu dilawan oleh aku seorang!"
"Hi-hik!"
Li Eng mengeluarkan suara ketawa ditahan.
"Biasanya Enci Cu pendiam dan penyabar, sekarang mendadak pintar memaki dan mudah marah!"
Kun Hong yang kuatir kalau-kalau keponakannya mencari gara-gara, segera maju dan berkata kepada Hui Cu,
"Hui Cu, jangan kau sembarangan membunuh orang. Aku larang kau membunuh orang!!"
Hui Cu mengerling sekilas ke arah Kun Hong sambil menjawab,
"Paman Hong, yang begini ini sebetulnya tak patut disebut orang dan kalau tidak dibunuh hanya akan mengotori dunia. Akan tetapi karena kau melarang, baiklah, aku takkan membunuhnya, cukup membikin dia bertobat."
Tentu saja Beng Lo-Kai menjadi makin marah. Orang bicara seenaknya saja tentang dirinya, seakan-akan dia ini seekor tikus saja. Dan yang bicara hanya seorang gadis muda yang lebih patut disebut kanak-kanak. Ia mengeluarkan suara menggereng,
"Ketua baru benar pengecut! Tidak berani maju sendiri mengandalkan wanita..."
"Plakk!"
Entah bagaimana, tahu-tahu tangan kiri Hui Cu telah menampar pipi kanan Beng Lo-Kai, membuat kakek ini sempoyongan dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak. Matanya melotot, mukanya merah dan napasnya berat, tanda bahwa kemarahannya sudah memuncak. Saking marahnya ia sampai tidak memperhitungkan bahwa dengan gerakannya tadi Hui Cu sudah memperlihatkan kelihaiannya.
"Hi-hik, Enci Cu. Kalau kau nanti tidak mencuci tanganmu dengan air panas, aku tidak mau menyentuh tangan kirimu yang berbau keledai!"
Li Eng berkata dan terdengarlah suara ketawa di sana-sini, terutama dari pihak para anggauta yang tldak suka kepada Beng Lo-Kai.
Memang Li Eng seorang gadis yang berwatak nakal dan pandai bicara. Beng Lo-Kai yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi itu, sudah menerjang Hui Cu dengan serangan pedangnya. Hui Cu cepat meloncat ke tengah pelataran dan kakek itu mengejarnya. Di sinilah Hui Cu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan gerakan yang amat indah ia mainkan pedangnya sehingga Kun Hong yang melihat menjadi melongo. Sebagai putera pendekar, tentu saja ia seringkali melihat orang bermain pedang, akan tetapi belum pernah ia melihat permainan pedang yang begini indahnya, seperti orang menari saja. Beng Lo-Kai juga bermain pedang, akan tetapi dibandingkan dengan permainan Hui Cu, permainan pedangnya jelek sekali sehingga mereka merupakan pasangan penari pedang yang tidak seimbang.
Hampir lupa Kun Hong bahwa dua orang itu sama sekali bukannya sedang menari, melainkan sedang saling serang dan bahwa dua pedang yang berkelebat itu sebetulnya sedang mengarah nyawa! Memang indah gerakan pedang Hui Cu. Hal ini tidak aneh kalau diingat bahwa ibunya, Lee Giok, adalah murid dari Bu-Tek Kiam-Ong Cia Hui Gan dan biarpun ia belum mewarisi seluruhnya ilmu Pedang Sian-Li Kiam-Sut yang hebat dan indah, sedikit banyak ia telah mewarisi gayanya yang indah seperti orang menari. Dan tentu saja Lee Giok menurunkan seluruh ilmu pedang dan kepandaiannya kepada puterinya ini. Begitu bergerak, Li Eng yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu pedangnya itu maklum bahwa Hui Cu takkan kalah maka iapun lalu menghampiri Sun Lo-Kai dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung pengemis yang agak bongkok itu.
"Apa kau juga ingin menantang pamanku? Kalau betul, kau boleh keluarkan pedangmu dan menyerangku. Aku akan melayanimu dengan sabuk Suteraku ini. Berani tidak kau?"
Kata-katanya bernada mengejek sekali sehingga pengemis tua yang bongkok itu menjadi marah. Biarpun tua dan bongkok, Sun Lo-Kai mempunyai watak mata keranjang. Menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita seperti Li Eng, belum apa-apa hatinya sudah berdebar tidak karuan.
"Li Eng, kaupun tidak boleh membunuh orang!"
Dengan hati kecut dan penuh kekuatiran Kun Hong membentak ke arah Li Eng. Ia sudah tahu akan kenakalan dan keganasan gadis itu, maka ia benar-benar kuatir kalau-kalau "keponakan"
Ini akan menimbulkan kekacauan dan membunuh orang. Li Eng membalikkan tubuhnya dan membungkuk ke arah Kun Hong dengan lagak seperti seorang hamba terhadap Rajanya sambil berkata,
"Hamba mentaati perintah Paduka Paman Raja!"
Akan tetapi Kun Hong tidak dapat menerima kelakar ini, malah membelalakkan matanya dan berseru kaget,
"Li Eng, awas belakangmu!"
Pada saat Li Eng membelakanginya, Sun Lo-Kai sudah menerjang maju menusukkan pedangnya ke punggung gadis itu.
Hwa-I Lo-Kai membentak marah dan kaget menyaksikan ini, juga semua orang kaget sekali dan mengira bahwa tusukan yang cepat dan hebat ini pasti akan menewaskan Li Eng. Tapi orang yang dikuatirkan enak saja. Tanpa menoleh Li Eng menggerakkan tangannya dan seperti ada mata tajam di belakang tubuhnya, sabuk Sutera hitam di tangannya menyambar ke belakang dan menangkis tusukan pedang itu. Para pengemis bersorak gembira menyaksikan kehebatan gadis lincah ini. Apalagi ketika Li Eng dengan gerakan yang amat lincahnya telah berputar dan kini sabuk Sutera hitam itu berkelebat, mengeluarkan bunyi seperti cambuk dan bertubi-tubi menyerang semua bagian tubuh yang berbahaya dari Sun Lo-Kai! Pertempuran terbagi menjadi dua bagian. Akan tetapi baik Beng Lo-Kai maupun Sun Lo-Kai berada di pihak yang terdesak hebat.
Juga Beng Lo-Kai amat payah menghadapi permainan pedang Hui Cu, yang indah namun mempunyai daya serang yang amat ganas itu. Yang paling celaka adalah Sun Lo-Kai karena semenjak Li Eng menghadapinya, ia sama sekali tidak dapat balas menyerang, melainkan harus menangkis dan mengelak karena kedua ujung sabuk hitam itu bagaikan ular-ular hidup menyambar-nyambar cepat sekali. Akhirnya sabuk itu membelit jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut pedangnya terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Tidak berhenti sampai di situ saja, ujung-ujung sabuk itu terus memecutinya ke muka, leher, dan dadanya. Sun Lo-Kai berteriak-teriak kesakitan dan berloncatan sambil mundur, akan tetapi sabuk itu mengejarnya terus. Bahkan ketika ia membalikkan tubuh hendak keluar dari lapangan pertempuran, ujung sabuk itu mengeluarkan bunyi,
"Tar-tar-tar!"
Melecuti pantatnya, membuat ia berjingkrak-jingkrak kesakitan! Dan pada saat itupun Beng Lo-Kai terluka lengan kanannya sehingga pedangnya terlempar pula.
"Li Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!"
Kun Hong membentak, kuatir kalau-kalau kedua orang gadis itu akan turun tangan terus dan membunuh orang. Sambil tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang terus, membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu-maluan. Terdengar seruan-seruan memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa dua orang gadis keponakan "ketua baru"
Itu benar-benar lihai sekaii, apalagi gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hwa-I Lok-Kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar bagus!"
Terdengar beberapa suara orang dan ternyata yang mengeluarkan suara ini adalah para pemimpin perkumpulan pengemis baju hijau dan baju merah.
"Saudara-saudara, kita golongan pengemis harus diketuai oleh pengemis pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel? Yang tidak puas dengan pimpinan Hwa-I Kai-Pang, boleh datang ke tempat kami. Pintu kami terbuka lebar-lebar untuk saudara sekalian!"
Hwa-I Lo-Kai tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam ke arah para rombongan tamu yang berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Yang membikin hatinya panas dan kecewa adalah ketika ia melihat Beng Lo-Kai, diikuti oleh banyak pengemis Hwa-I Kai-Pang, pergi pula meninggalkan tempat itu untuk menggabung kepada perkumpuan-perkumpulan lain.
"Hwa-I Lo-Kai harap jangan berduka,"
Kata Kun Hong yang dapat melihat keadaan hati orang dan dapat menduga pula apa sebabnya.
"Dua orang Lo-Kai itu memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-I Kai-Pang. Karena mereka tidak mempunyai harapan untuk menjadi ketua di sini, mereka pergi ke perkumpulan lain. Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti mempunyai watak yang tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi orang-orang seperti itu. Sekarang aku minta diri, Lo-Kai, karena aku harus pulang ke Hoa-San."
Hwa-I Lo-Kai dan Coa Lo-Kai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal di situ beberapa hari lagi akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya. Akhirnya Hwa-I Lo-Kai terpaksa melepaskan mereka pergi setelah memberi bekal roti kering, potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru bersama dua orang keponakannya itu. Baru saja tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun Hong memberi tanda berhenti. Hui Cu dan Li Eng segera menahan kuda masing-masing.
"Hui Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda,"
Kata Kun Hong. Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah.
"Paman Hong ini bagaimana sih? Perjalanan kita amat jauh, menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga empat bulan. Sudah ada kuda pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?"
"Kau anak kecil tahu apa?"
Kun Hong membentak.
"Tiga ekor kuda ini harganya tentu tidak murah. Hwa-I Kai-Pang lebih membutuhkannya daripada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan bisa berjalan, kalau perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja."
"Ah, Susiok (Paman Guru) aneh sekali... orang sudah memberikan kepada kita, kenapa hendak dikembalikan? Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak saja?"
Lagi-lagi Li Eng membantah dengan bibir cemberut. Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari depan tampak seorang pengemis baju kembang lewat di jalan itu. Kun Hong segera memanggiinya dan pengemis ini segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi hormat karena iapun mengenal ketua baru ini bersama dua orang keponakannya yang lihai.
"Pangcu hendak memerintah apakah?"
Tanyanya.
"Lo-Kai, kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-I Lo-Kai, katakan bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja. Nah, cepat bawalah."
Sejenak pengemis itu terlongong, akan tetapi ia tidak berani membantah lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan Ta-Pie-San. Adapun Kun Hong mengajak dua orang keponakannya melanjutkan perjalanan.
"Li Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel, tidak seperti Hui Cu yang pendiam dan manis,"
Kata Kun Hong. Makin meruncing bibir Li Eng.
"Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel dan cerewet bukan untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki apa sukarnya? Kami memiliki ilmu berlari cepat dan kiranya tidak akan kalah cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman Hong? Kau tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu perlahan-lahan. Perjalanan kita masih jauh sekali, kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai bertahun-tahun kita takkan bisa pulang ke Hoa-San!"
Kun Hong tersenyum menggoda.
"Biar sampai sepuluh tahun, melakukan perjalanan bersama kalian berdua aku takkan menjadi bosan."
"Iihhh, dasar..."
Li Eng melerok. Hui Cu yang sejak tadi diam saja sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani memandang wajah pemuda itu.
"Paman agaknya belum tahu bahwa kita tidak akan menuju ke Hoa-San karena kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong untuk pergi ke Thai-San."
"Heee...?? Ke Thai-San? Bukankah Thai-San itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San Taihiap yang dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?"
Kun Hong bertanya dengan tercengang.
"Kalau dia Raja, kaupun Raja, Paman Hong,"
Kata Li Eng sudah gembira kembali dari kecewanya kehilangan kuda.
"Cuma bedanya, kalau Tan Beng San Taihiap itu Raja Pedang, kau adalah Raja pengemis!"
Senang hati Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda.
"Bagus, bagus, kaupun hanya menjadi keponakan Raja pengemis, Li Eng, jangan main-main lekas ceritakan betulkah kita akan ke Thai-San dan ada keperluan apakah Ayah menyuruh kalian ke sana?"
Li Eng menjura dengan tubuh membungkuk dalam.
"Baiklah, Paman Raja. Hamba tidak berani main-main lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-San untuk melihat apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba berdua disuruh... eh, melamar untuk Paduka Paman Raja."
"Iihh, Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!"
Hui Cu menegur. Li, Eng tersenyum lebar dan memandang kepada Kun Hong sambil berkata,
"Apa salahnya, Cu-Cici? Kalau bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan bijaksana, masa aku berani menggoda dan main-main. Betul tidak, Susiok?"
Pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak mungkin orang dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini. Untuk sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya ini. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata,
"Sudahlah, memang sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui Cu, coba kau ceritakan dengan jelas apa maksud kalian ke Thai-San."
Sambil berjalan perlahan Hui Cu bercerita,
"Sukong mendapat kabar bahwa Tan-Taihiap di Thai-San-Pai hendak meresmikan pendirian Thai-San-Pai sebagai perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini disertai pesta dan banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi, maka mengutus kami berdua pergi ke Thai-San dan menyampaikan selamat serta barang sumbangan. Karena waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil jalan ini dengan maksud melihat-lihat di Kota Raja lebih dulu. Siapa kira di sini bertemu dengan Susiok."
"Dicari-cari setengah mampus ke mana-mana tidak bisa bertemu, sampai Sukong menjadi berkuatir sekali. Hampir dua tahun Susiok pergi tak berbekas, kamipun sudah beberapa kali mencari ke segala penjuru dunia tanpa hasil. Eh, sekarang tahu-tahu nongol di sini!"
Li Eng berkata sambil menggeleng-geleng kepalanya.
"Siapa tidak menjadi gemas?"
Kun Hong kelihatan gembira bukan main.
"Bagus, bagus!"
Ia bertepuk tangan.
"Akupun hendak ikut ke Thai-San. Dan kebetulan sekali, aku juga memang ingin melihat-lihat Kota Raja, sekarang ada kalian berdua menjadi teman, wah, senang sekali!"
"Tapi kita tidak boleh terlalu lama di Kota Raja, Susiok. Jangan sampai kita terlambat tiba di Thai-San,"
Kata Hui Cu mengingatkan. Gadis ini jarang bicara dan kalau sudah bicara selalu serius, tidak pernah main-main seperti Li Eng yang jenaka. Kun Hong mengerutkan keningnya.
"Berapa jauhnya sih Thai-San dari sini?"
"Kalau jalan kaki biasa sedikitnya satu bulan baru sampai,"
Jawab Hui Cu.
"Kalau kami berlari cepat, seminggu juga sampai,"
Sambung Li Eng.
"Tapi Paman Hong mana bisa lari cepat?"
"Ah, begitu dekat? Sehari juga sampai kalau naik Kim-Tiauw..."
Tiba-tiba Kun Hong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa ia telah bicara terlanjur. Saking kagetnya ia menutupi mulut dengan tangan sendiri. Dua orang gadis itu memandang heran, malah Li Eng tidak main-main lagi, melainkan memandang tajam penuh selidik.
"Apa maksudmu, Susiok? Kau bilang tadi menunggang Kim-Tiauw? Apakah kau bertemu dengan Rajawali Emas?"
Tanya Hui Cu, mukanya berubah. Li Eng memegang tangan Kun Hong.
"Paman Hong, di mana kau melihat Rajawali Emas? Di mana? Lekas beritahukan, di mana ada Burung itu, tentu ada dia!"
Kun Hong menyesal sekali mengapa ia membuka rahasianya. Akan tetapi karena sudah terlanjur, apa boleh buat.
"Pantas kalian terheran-heran, Memang di dunia ini tidak ada keduanya Burung Rajawali seindah itu, dengan bulunya berkilauan kuning keemasan dan sepasang matanya seperti kumala. Kalian tahu, malah Burung Rajawali Emas itu memakai kalung mutiara yang indah!"
"Di mana dia? Di mana...?"
Dua orang gadis itu bertanya mendesak, nampaknya tidak sabar lagi. Hal ini tidak mengherankan kalau keduanya memang sudah mendengar tentang Kwa Hong dan Rajawali Emasnya dan mereka menganggap Kwa Hong sebagai musuh besar yang telah menghina dan menyusahkan kedua orang tua mereka.
"Aaah, kalian ini anak-anak perempuan. Baru mendengar tentang mutiara indah saja sudah begini ribut. Apa kalian kira akan dapat dengan mudah saja mengambil kalung mutiara itu? Rajawali Emas itu hebat sekali, bahkan Toat-Beng Yok-Mo saja tidak mampu menandinginya."
Dua orang gadis itu saling pandang lagi, nampak terheran.
"Paman Hong, apakah kau bertemu pula dengan Toat-Beng Yok-Mo? Dan setelah bertemu dengan Rajawali Emas, tentu kau telah bertemu pula dengan... iblis betina itu?"
Tanya Hui Cu, suaranya sungguh-sungguh.
"Iblis apa? Aku tidak pernah bertemu dengan iblis, iblis betina maupun iblis jantan,"
Jawab Kun Hong, heran mendengar pertanyaan Hui Cu ini.
"Hong-Susiok, ceritakanlah semua pengalamanmu itu, ceritakan tentang pertemuanmu dengan Rajawali Emas, Aku ingin sekali mendengarnya,"
Kata pula Li Eng sambil menggandeng tangan kanan pemuda, itu.
"Kalian ingin mendengar? Baik, Hui Cu, ke sinilah dekat-dekat!"
Ia menggunakan tangan kirinya untuk menggandeng tangan Hui Cu sehingga mereka bertiga berjalan perlahan sambil bergandengan tangan. Kun Hong merasa gembira sekali dan dianggapnya bahwa dua orang keponakannya ini benar-benar menyenangkan dan amat manis budi. Dahulu ia pernah benci dan gemas terhadap kenakalan Li Eng, akan tetapi setelah berdekatan, mana bisa orang membenci dara remaja itu?
"Ketika dulu aku meninggalkan Hoa-San, aku sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana karena aku benci sekali melihat bunuh-bunuhan yang terjadi di sana. Sekarangpun aku benci melihat pembunuhan, kalau kalian membunuh orang, akupun akan membenci kalian. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan Toat-Beng Yok-Mo yang terluka hebat, hampir mati."
"Hi-hik, dia boleh mampus karena racun tongkatnya sendiri dan terluka di dua tempat oleh Ayah ibumu"
Kata Li Eng. Mengkal hati Kun Hong diingatkan bahwa Ayah Bundanya telah melukai, malah banyak membunuh orang.
"Keadaannya amat menderita dan ia minta tolong kepadaku untuk mengantarkannya pulang ke lembah Sungai Huai. Karena kasihan, aku lalu memenuhi permintaannya dan menggendongnya sepanjang jalan berpekan-pekan lamanya."
Li Eng tertawa.
"Ayah ibunya yang melukai, anaknya yang menolong malah menggendongnya sepanjang jalan, benar-benar lucu. Masih untung kau tidak dibunuhnya, Paman Hong. Hebat sekali, iblis macam Toat-Beng Yok-Mo ditolong, malah digendong-gendong!"
Akan tetapi Hui Cu diam saja dan... diam-diam gadis ini merasa terharu dan kagum sekali akan pribadi pemuda yang menjadi paman gurunya ini.
"Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan Rajawali Emas, Paman Hong?"
Tanyanya untuk menghentikan komentar Li Eng.
"Setelah kami tiba di dekat tempat tujuan, dalam sebuah hutan Toat-Beng Yok-Mo minta diturunkan dan ternyata ia sembuh kembali dan kuat."
"Hi-hik, memang ia sebetulnya tidak usah digendong. Tentu saja ia kuat karena memang ia hanya mempergunakanmu sebagai perisai dan kau tentu akan dibunuhnya di tempat itu,"
Kata pula Li Eng.
"Eh, bagaimana kau bisa tahu?"
Kun Hong terheran-heran.
"Hanya orang tolol saja yang tidak tahu!"
Jawab Li Eng.
"Namanya saja sudah Toat-Beng Yok-Mo tukang mencabut nyawa. Dia terluka dan harus pergi jauh dari Hoa-San. Paman adalah putera Ketua Hoa-San-Pai, tentu saja dapat dijadikan perisai yang amat baik. Hemm, lagi-lagi harus kukatakan bahwa untung sekali Paman tidak sampai dibunuhnya."
"Eh, Adik Eng. Apakah kau berani mengatakan bahwa Susiok adalah seorang tolol?"
Hui Cu menegur. Li Eng pura-pura tidak mendengar jelas.
"Berani mengatakan Susiok apa?"
"Bahwa Susiok adalah seorang tolol?"
Hui Cu menjelaskan.
"Hi-hi-hik, kau mendengar sendiri, Paman Hong. Dua kali Cici Hui Cu memakimu sebagai orang tolol, bukan aku, lho!"
"Heee, kau memutar balikkan omongan!"
Hui Cu memprotes akan tetapi Li Eng hanya tertawa-tawa saja. Kun Hong yang dipermainkan ini sama sekali tidak merasa dirinya dipermainkan, hanya tersenyum saja.
"Kalau pada saat itu tidak muncul Rajawali Emas, kiranya akupun akan dibunuh oleh Toat-Beng Yok-Mo seperti yang dikatakan oleh Li Eng tadi,"
Ia melanjutkan ceritanya.
"Entah dari mana datangnya, seekor Burung Rajawali Emas yang besar dan hebat sekali menyambar turun dan menerkam seekor kelinci. Melihat Burung itu, Toat-Beng Yok-Mo lalu menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi berkali-kali Toat-Beng Yok-Mo roboh oleh Burung itu, malah akhirnya kakek itu roboh pingsan oleh hantaman sayap Burung."
Dua orang gadis remaja itu saling pandang, malah Li Eng menjulurkan lidahnya yang kecil merah itu keluar dari mulutnya tanda kagum dan terkejut. Kalau orang seperti Toat-Beng Yok-Mo dapat dikalahkan sedemikian mudahnya, alangkah lihainya Burung itu. Apalagi pemiliknya!
"Kemudian Rajawali Emas itu menyambarku dan membawaku jauh sekali, ke puncak sebuah gunung yang tak kuketahui namanya. Di sana, dalam sebuah gua, aku hidup bersama Burung itu sampai satu setengah tahun lamanya."
Li Eng memandang tajam dan tidak mau main-main lagi.
"Paman Hong, apakah kau tidak bertemu dengan pemilik Burung, dengan iblis wanita itu?"
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Li Eng. Aku tidak melihat seorangpun manusia hidup di sana. Kemudian setelah aku mengenal Burung itu baik-baik dan ia mengerti kata-kataku, setelah satu setengah tahun, aku menyuruh dia mengantarkan aku turun karena aku tidak bisa turun sendiri dari tempat yang curam dan berbahaya itu. Nah, setelah tiba di bawah gunung, Burung itu terbang kembali ke puncak dan aku hendak kembali ke Hoa-San. Celakanya, aku sesat jalan dan sampai ke sini, karena sudah dekat Kota Raja, aku bermaksud melihat-lihat Kota Raja lebih dulu. Di sini aku bertemu dengan Sin-Eng-Cu Lui Bok yang mengakui aku sebagai murid keponakannya lalu aku terlibat dalam urusan Hwa-I Kai-Pang sampai kalian berdua muncul."
Kun Hong sengaja tidak mau bercerita tentang kitab-kitab yang ia baca, malah ada empat buah kitab yang ia bawa dalam saku bajunya, yaitu tiga buah kitab milik Toat-Beng Yok-Mo dan sebuah kitab pelajaran Hoat-Sut dari Sin-Eng-Cu Lui Bok. Demikianlah, tiga orang muda itu melakukan perjalanan dengan penuh kegembiraan, terutama sekali yang membuat mereka selalu bergembira adalah sifat Li Eng yang amat jenaka dan lincah.
Sementara itu, dengan amat tekunnya Kun Hong mempergunakan setiap kesempatan waktu untuk membalik-balik lembaran kitab pemberian Sin-Eng-Cu Lui Bok dan makin banyak ia membaca, makin tertariklah hatinya. Secara diam-diam mulailah dia berlatih diri mempelajari ilmu yang amat aneh dan ajaib, yang erat hubungannya dengan ilmu batin karena ilmu ini hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga murni dan hawa sakti dalam tubuh. Dengan petunjuk-petunjuk yang berada dalam kitab ini, makin teranglah bagi Kun Hong tentang rahasia samadhi dan mengatur napas, dan memperkuat daya sakti dalam tubuhnya. Semua ini ia latih di luar sepengetahuan dua orang gadis remaja itu yang selalu yakin bahwa paman mereka adalah seorang pemuda yang tampan, berwatak halus, berbudi, dan buta ilmu silat.
Semenjak pemberontak-pernberontak dibasmi belasan tahun yang lalu keadaan, di Kota Raja aman dan tenteram. Namun hal ini hanya berjalan beberapa tahun saja, karena kini timbullah persaingan baru yang lebih ganas. Persaingan antara putera-putera Kaisar termasuk keluarganya yang tentu saja merindukan singgasana untuk menggantikan Kaisar yang sudah tua. Mulailah para pangeran itu saling bermusuhan dalam usaha mereka menarik hati Kaisar agar mereka dijadikan calon pengganti Kaisar. Demikian hebat persaingan ini yang kadang-kadang tidak dilakukan secara diam-diam melainkan secara terbuka, sehingga masing-masing mempunyai jagoan-jagoan sendiri. Persaingan mencapai puncaknya ketika Putera Mahkota, yaitu putera sulung dari Kaisar, telah tewas menjadi korban persaingan itu. Tak seorangpun tahu siapa pembunuhnya dan dengan apa dibunuhnya.
Namun ahli silat tinggi maklum bahwa Putera Mahkota ini dibunuh oleh seorang ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa. Seperti juga halnya dengan Kaisar-Kaisar lain atau hampir semua pemimpin dan pembesar yang menduduki kemuliaan dan memegang kekuasaan, Kaisar Thai-itsu juga mempunyai banyak Isteri sehingga anaknyapun banyak pula. Hal ini membingungkan hatinya siapakah yang harus ia pilih menjadi Putera Mahkota setelah putera sulungnya meninggal dunia. Ia maklum akan persaingan dan permusuhan di antara putera-puteranya, selir-selirnya dan keluarganya. Maka karena Kaisarpun dapat menduga bahwa putera sulungnya itu terbunuh orang, ia menjatuhkan pilihannya kepada anak dari putera sulungnya itu yang bernama Hui Ti atau Kian Bun Ti menjadi pengganti Putera Mahkota. Hui Ti atau Kian Bun Ti ini adalah cucu Kaisar.
Pada waktu itu Kian Bun Ti ini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdik bukan main. Ia maklum akan bahayanya kedudukannya, maklum bahwa banyak paman-paman pangeran lain merasa iri hati akan kedudukannya. Maka dengan amat pandainya Kian Bun Ti mendekati Kaisar, berhasil menguasai hati dan kasih sayang kakeknya ini. Adalah atas bujukan pemuda cerdik inilah maka seorang pamannya yang dianggap paling berbahaya, yaitu Pangeran Yung Lo yang jujur dan keras, oleh Kaisar dihalau dari Kota Raja, diberi tugas pertahanan di utara, di Kota Raja lama, Peking. Memang pada waktu itu tiada hentinya bangsa Morngol, Mancu, dan lain-lain suku bangsa dari Utara selalu berusaha menyerang Kerajaan Beng yang baru ini. Pangeran Yung Lo tentu saja mentaati perintah dan berangkatlah dia ke Utara menjalankan tugas berat ini.
Biarpun telah berhasil menghalau saingannya yang paling berbahaya, namun Kian Bun Ti masih belum lega karena ia maklum bahwa yang melihat kepadanya dengan mata penuh dengki masih banyak sekali. Maka iapun lalu mengumpulkan orang-orang pandai untuk menjaga dirinya, bahkan dia sendiri mempelajari ilmu silat. Di samping kesukaannya mendekati ahli-ahli silat dan jagoan-jagoan, Pangeran yang masih muda inipun terkenal sebagai seorang yang tak boleh melihat wanita cantik. Entah berapa banyaknya wanita-wanita cantik dan muda, jatuh hati dan menjadi korbannya, tertarik oleh ketampanannya atau kedudukannya maupun harta bendanya. Memang wanita manakah yang takkan tertarik oleh seorang pemuda yang tampan, cerdik, malah seorang pangeran calon Kaisar pula?
Di dalam usahanya untuk menguasai keadaan dunia kang-ouw, Pangeran ini tidak segan-segan untuk mempergunakan perkumpulan-perkumpulan seperti Hek Kai-Pang (Pengemis Hitam) dari mana ia bisa mendapatkan sumber berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw sehingga ia dapat tahu siapa yang menjadi jagoan-jagoan baru dari para saingannya. Pangeran Kian Bun Ti menjadi tertarik sekali ketika ia menerima laporan dari beberapa orang anggauta perkumpulan pengemis yang menjadi kaki tangan dan penyelidiknya tentang dua orang gadis cantik jelita anak murid Hoa-San-Pai yang menggegerkan pertemuan dari Hwa-I Kai-Pang. Pangeran ini tidak hanya tertarik oleh kecantikan dua orang dara remaja itu, melainkan terutama sekali tertarik oleh cerita tentang kehebatan ilmu silat mereka.
Diam-diam ia mempunyai maksud hati yang baik sekali, maksud hati yang menjadi perpaduan dari seleranya terhadap dara ayu dan kebutuhannya akan pengawal yang lihai. Cepat ia memanggil beberapa orang kepercayaannya dan membagi-bagi perintah. Sementara itu, Kun Hong dan dua orang dara remaja telah memasuki Kota Raja dengan gembira. Tiga orang muda yang semenjak kecilnya bertempat tinggal di pegunungan yang sunyi ini sekarang berjalan perlahan di atas jalan raya dengan mata terbelalak dan mulut tiada hentinya mengeluarkan seruan-seruan kagum dan memuji ketika mereka menyaksikan gedung-gedung terukir indah dl sepanjang jalan. Apalagi Li Eng yang amat lincah itu, ia amat bergembira dan berlari ke kanan kiri mendekati setiap penglihatan yang baru dan asing baginya.
Setiap ada bangunan indah dan besar ia berdiri terlongong di depannya, dan benda-benda yang diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-tokopun tak lepas dari perhatiannya. Hui Cu yang lebih pendiam dan alim hanya merupakan, pengikut saja dan biarpun gadis ini juga amat kagum dan terheran-heran, namun ia dapat menekan perasaannya dan hanya tampak bibirnya yang kecil mungil mengulum senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar menambah indah wajah yang berseri itu. Pada waktu itu, orang-orang wanita berada di atas jalan raya bukanlah hal aneh. Banyak wanita berjalan di atas jalan raya, akan tetapi semua itu, adalah wanita-wanita pekerja kasar dan pedagang kecil, pendeknya wanita yang agak tua atau yang agak buruk rupa. Puteri-puteri bangsawan yang cantik-cantik hanya menampakkan diri di atas jalan raya dalam kendaraan tertutup.
Memang ada kalanya wanita-wanita kang-ouw, anak-anak penjual obat keliling memperlihatkan ilmu silat pasaran, tampak berjalan-jalan namun hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, ketika dua orang dara remaja ini memasuki Kota Raja, di sepanjang jalan mereka menjadi tontonan orang, terutama laki-laki muda dan tua yang tidak hanya mengagumi kecantikan dua orang gadis itu, akan tetapi terutama sekali mengagumi sikap mereka berdua yang begitu bebas. Dua orang gadis ini mudah saja menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah gadis-gadis kang-ouw yang berkepandaian silat, terbukti dari pedang yang tergantung di pinggang mereka. Mudah juga diduga bahwa mereka berdua tentulah memiliki ilmu silat yang lihai, kalau tidak demikian, bagaimana dua orang gadis remaja yang begitu cantik jelita bisa melakukan perjalanan dengan aman dan selamat sampai ke Kota Raja?
Kecantikan mereka yang luar biasa itu tentu akan menjadi sebab kemalangan mereka, tentu mereka telah ditahan dan diambil oleh orang-orang jahat. Karena dugaan inilah maka biarpun banyak mata laki-laki melotot dan mulut tersenyum-senyum, sejauh itu belum ada yang berani sembrono mengeluarkan kata-kata teguran atau godaan. Yang mengherankan banyak orang adalah Kun Hong, Pemuda ini pakaiannya seperti seorang Siucai, seorang terpelajar, akan tetapi pakaian itu sudah lapuk sehingga menimbulkan dugaan bahwa dia tentulah seorang terpelajar yang tidak lulus ujian dan jatuh miskin seperti banyak terdapat pada masa itu. Yang mengherankan orang, mengapa seorang Siucai miskin seperti ini berjalan bersama dua orang dara remaja kang-ouw?
Biasanya gadis-gadis kang-ouw yang cantik seperti ini tentu melakukan perjalanan, dengan laki-laki yang hebat pula yang luar biasa, aneh, atau yang gagah perkasa. Kenapa sekarang pengiringnya hanya seorang Siucai jembel yang hanya tersenyum-senyum, berjalan perlahan seperti kehabisan tenaga? Lebih-lebih herannya orang-orang yang dekat dengan mereka ketika mendengar Li Eng dengan lincahnya menyebut Siucai muda itu "Paman."
Heran sekali, usianya sepantar mengapa disebut paman? Kalau dua orang dara itu mengagumi keindahan, ukir-ukiran, bangunan, benda-benda aneh yang diperdagangkan orang, apalagi melihat Sutera-Sutera beraneka warna yang halus dan mahal, adalah Kun Hong kembang-kempis hidungnya dan berkeruyukan perutnya karena mencium bau masakan yang gurih dan sedap keluar dari banyak rumah makan di sepanjang jalan.
Bau sedap dari bau masakan daging, bawang dan bumbu-bumbu menusuk hidungnya, membuat semua itu tidak seindah mangkok berisi masakan yang mengebul panas-panas di atas meja! Akan tetapi pemuda ini menekan seleranya, maklum bahwa tak mungkin ia dapat membeli masakan-masakan yang mahal itu. Kalau Li Eng tidak ada perhatian lain kecuali terhadap barang-barang indah dan bangunan-bangunan megah yang tak pernah dilihatnya itu, adalah Hui Cu yang pendiam dan selalu tanpa diketahui orang lain memperhatikan pamannya, segera dapat menduga bahwa pamannya itu merasa lapar dan ingin makan. Ia lalu menyentuh tangan Li Eng dan berbisik di dekat telinganya. Li Eng tersenyum, menoleh kepada Kun Hong yang tidak tahu apa yang dibicarakan antara dua orang gadis itu.
"Paman Hong, apakah kau lapar dan ingin makan?"
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Li Eng yang tak pernah menaruh hati sungkan-sungkan itu bertanya.
"Apa...? Betul... eh, tidak apa..."
Kun Hong gagap karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang cocok sekali dengan pikirannya. Li Eng segera menyambar tangannya dan digandeng menuju ke sebuah rumah makan.
"Kalau lapar kenapa diam saja? Di sini banyak rumah makan, boleh kita pilih masakan yang enak!"
"Hush, jangan main-main."
Kun Hong menahan.
"Aku tidak punya uang, mana berani masuk rumah makan?"
"Untuk apa uang? Kita tak usah beli, bisa minta,"
Kata lagi Li Eng.
"Ihh, memalukan!"
Kun Hong mencela. Li Eng tertawa ditahan.
"Hi-hik, kau lihat, Enci Hui Cu! Tidakkah aneh bukan main paman kita ini? Paman Hong, kau ini seorang Kai-Ong (raja pengemis) kok malu minta-minta?"
Digoda begini oleh Li Eng, gemas juga hati Kun Hong.
"Sudah jangan terlalu menggoda orang kau, bocah nakal. Kujewer telingamu nanti!"
Li Eng hanya tertawa manja dan Hui Cu berkata,
"Susiok, harap jangan kuatir, kami membawa bekal uang dan andaikata kurang, aku masih mempunyai gelang emas, dapat kita jual."
Berbeda dengan Li Eng, suara nona ini sungguh-sungguh dan sama sekali tidak bermain-main.
"Nah, punya keponakan yang begini mencintai seperti Enci Cu, kau takut apa, Susiok?"
Lagi-lagi Li Eng menggoda dan kali ini ia benar-benar menerima cubitan, bukan dari Kun Hong, melainkan dari Hui Cu sehingga ia menjerit mengaduh-aduh. Wajah Kun Hong sama merahnya dengan wajah Hui Cu. Ia merasa tidak enak sekali dengan godaan Li Eng itu, maka ia segera berkata dengan lagak seorang tua,
"Sudahlah, di tengah jalan jangan bergurau-gurau. Tidak patut dilihat orang!"
Kemudian ditambahnya.
"Kalau memang kalian membawa uang, mari kita makan di rumah makan itu."
Tiga orang muda ini memasuki rumah makan yang besar dan mewah, juga kelihatan menarik sekali karena pintu, jendela dan meja bangkunya dicat merah dan kuning. Melihat tiga orang muda ini memasuki rumah makan, pelayan kepala menyambutnya sendiri, terbungkuk-bungkuk menyambut dengan seluruh muka bulat itu tersenyum lebar.
"Silakan... silakan Sam-wi (Tuan Bertiga) masuk. Selamat datang dan silakan Sam-wi takkan kecewa memasuki rumah makan kami yang tersohor di seluruh negeri!"
Kalau Li Eng dan Hui Cu menerima, sambutan yang amat menghormati ini dengan anggukan kepala angkuh, adalah Kun Hong yang menjadi sibuk membalas penghormatan orang. Ia melihat pelayan kepala ini orangnya gemuk, pakaiannya bersih dan rapi sekali, maka ketika ia melirik ke arah pakaiannya sendiri, ia menjadi malu dan sungkan. Pakaiannya lapuk dan kotor seperti pakaian jembel, bagaimana ia merasa enak hati menerima sambutan penghormatan sedemikian dari pengurus rumah makan ini? Setelah ketiganya memilih sebuah meja di sudut dan mengambil tempat duduk, pelayan kepala ini seperti seekor Burung kakatua nerocos terus,
"Sam-wi hendak menikmati apa? Arak wangi dari Selatan, arak buah dari Tung-To, atau arak ketan dari pantai? Kami ada masakan-masakan istimewa, khusus untuk Sam-wi. Daging Naga di tim, jantung hati Burung sorga goreng setengah matang, kepala Burung Hong dipanggang bumbu merah, kaki gajah masak sayur, buntut singa masak jamur, atau masih banyak macamnya."
Tiga orang itu saling pandang, Li Eng dan Hui Cu hanya tersenyum-senyum untuk menutupi perasaan malu karena semua nama masakan itu merupakan nama asing dan baru bagi mereka. Akan tetapi Kun Hong tanpa
(Lanjut ke Jilid 17)
Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
menyembunyikan keheranannya, mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Tidak main-mainkah pelayan ini? Bagaimana orang bisa memasak daging naga, jantung Burung sorga, Burung Hong, gajah, singa dan lain-lain itu? Dia sampai menjadi bingung dan tak dapat memilih. Bagaimana ia harus memilih antara masakan yang memang selama hidupnya baru kali ini ia dengar namanya itu?
"Kalau Sam-wi sukar memilih, biarlah kami sediakan semua yang ada agar Sam-wi dapat makan seenaknya."
Pelayan kepala itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian berdatanganlah pelayan-pelayan, ada yang membawa arak, ada yang mengantarkan mangkok dan cawan, ada yang mulai mengeluarkan masakan-masakan panas. Para tamu lain yang berada di situ memandang heran. Bagi orang kota ini, tidaklah aneh kalau ada orang memborong masakan-masakan mahal, akan tetapi kecantikan serta kebebasan dua orang dara remaja itu ditambah keadaan Kun Hong yang seperti jembel, benar-benar mendatangkan keheranan.
"Aku rela menghabiskan semua uang bekalku untuk dapat makan daging naga, Burung Hong dan lain-lain binatang aneh itu,"
Bisik Li Eng. Hui Cu mengangguk.
"Selama hidupku baru kali ini aku menjumpai masakan yang aneh. Untuk merasai daging Naga akupun rela mengorbankan gelangku."
Hanya Kun Hong yang bengong terlongong, setengah tidak percaya akan masakan yang aneh-aneh itu. Tak lama kemudian masakan yang berbau lezat dan sedap gurih telah tersedia di atas meja. Dengan selera besar tiga orang muda yang memang sudah lapar sekali ini mulai makan. Li Eng menggunakan Sumpit menjumputi daging dari setiap masakan untuk dicoba rasanya. Ia terkikik lalu berkata,
"Kurang ajar pelayan itu. Yang begini disebut daging ditim? Aku pernah makan daging ular kembang. Dan ini? Burung sorga apa? Ini kan hati Burung dara dan kepala Burung Hong? Setan, ini hanya kepala ayam biasa. Kaki gajah? hi-hik, kaki babi dan buntut singa ini tentulah buntut kambing!"
Hui Cu juga tertawa kecil.
"Tak salah kata-katamu, Adik Eng. Akan tetapi harus diakui bahwa masakan ini bumbunya lengkap dan enak sekali."
Kun Hong juga tidak sungkan-sungkan menggasak makanan-makanan lezat itu. Mendengar percakapan dua orang dara itu ia memberi komentar,
"Memang penggantian nama-nama itu hanya siasat untuk menarik perhatian tamu, apalagi yang datang dari luar Kota Raja."
"Tapi dia kurang ajar berani menipu kami,"
Kata Li Eng.
"Awas, orang itu patut dipukul kepalanya. Kita tak usah bayar!"
"Hush, omongan apa yang kau keluarkan itu, Li Eng?"
Kun Hong membentak.
"Jangan kau mencari gara-gara. Apa tidak malu sudah makan membayar pukulan? Tidak boleh kau begitu!"
Li Eng bersungut-sungut.
"Biarlah gelangku ini untuk bayar,"
Kata Hui Cu.
"Tentu aku akan bayar, tapi juga akan kumaki karena dia telah menipu kita,"
Kata pula Li Eng yang segera memberi isarat kepada pelayan kepala yang memandang dari jauh. Dengan terbungkuk-bungkuk pelayan kepala ini datang menghampiri. Mukanya berseri dan mulutnya segera berkata,
"Tidakkah Sam-wi puas dengan masakan kami?"
"He, muka babi! Kau anggap aku ini orang apa? Berani kau mempermainkan kami dan membohong. Daging ular kau katakan daging naga, Burung dara kau katakan Burung sorga dan ayam biasa kau sebut Burung Hong. Mana ada kaki gajah? Kaki babi. Kau benar-benar muka babi berani mempermainkan kami, apakah kau sudah bosan hidup?"
Muka yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba berubah pucat. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang muda itu dan suaranya yang gemetar sukar sekali. ditangkap maksudnya. Namun Li Eng dapat mendengar bahwa orang itu minta-minta ampun dan mohon supaya jangan dilaporkan kepada Thaicu (Pangeran). Kun Hong dan dua orang gadis itu terheran-heran. Jelas bahwa pelayan kepala ini bukan takut kepada mereka, melainkan takut kalau-kalau mereka melaporkannya kepada Thaicu.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo