Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 20


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Adapun pemuda gagah dan tampan bernama Kong Bu itu bukan lain adalah anak dari Kwee Bi Goat dan Tan Beng San. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bayi itu dibawa lari Song-Bun-Kwi dan dipeliharanya baik-baik, diajar ilmu silat sehingga menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Tentu saja mudah diketahui sebabnya mengapa Song-Bun-Kwi bersikap sedemikian kejamnya terhadap Li Eng dan Hui Cu. Secara kebetulan sekali Song-Bun-Kwi sedang berada di Kota Raja dan ia mendengar dari para pengemis bahwa ada dua orang gadis anak murid Hoa-San-Pai diundang oleh Pangeran Mahkota. Di dalam hati Song-Bun-Kwi, semenjak ia kematian anaknya, timbul dendam yang hebat terhadap Hoa-San-Pai.

   Bukankah Kwa Hong yang menyebabkan kematian anaknya itu anak murid Hoa-San-Pai? Oleh karena inilah, begltu mendengar tentang dua orang gadis anak murid Hoa-San-Pai di Kota Raja, ia menggunakan kesempatan ini untuk menawan dua orang gadis itu untuk dihina dan dibunuh sebagai pembalasan dendamnya terhadap Hoa-San-Pai! Memang jalan pikiran seorang seperti Song-Bun-Kwi amat aneh dan kadang-kadang lebih ganas dari iblis sendiri. Kong Bu semenjak kecil hidup bersama Song-Bun-Kwi, tentu saja iapun mempunyai watak aneh seperti kakeknya. Namun pada dasarnya ia tidak mempunyai watak kejam seperti Song-Bun-Kwi, malah agak pendiam seperti ibunya, keras hati pula. Semenjak kecil pemuda ini dijejali rasa dendam oleh kakeknya, diceritakan bahwa ibunya yang tercinta mati karena kekejian anak murid Hoa-San-Pai.

   Diceritai pula bahwa Ayahnya bernama Tan Beng San telah meninggalkan ibunya, karena tergoda oleh Siluman cantik murid Hoa-San-Pai, sehingga ibunya "makan hati"

   Dan meninggal dunia. Ditanamkan bibit kebencian dan dendam sejak kecil sehingga pemuda ini mau tidak mau membenci apa-apa yang "Berbau"

   Hoa-San-Pai, malah selalu ditekan oleh kong-kongnya, bahwa kelak ia harus dapat membalaskan sakit hati ibunya dengan jalan membunuh Ayahnya yang berdosa terhadap ibunya! Demikianlah, kini Kong Bu dihadapkan dengan seorang gadis Hoa-San-Pai. Di bawah penerangan api lilin, dia menatap wajah Li Eng yang kini perlahan-lahan bangkit berdiri dan balas memandangnya. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. Pakaian sebelah atas yang koyak-koyak sebagian itu menambah hebatnya daya tarik sehingga Kong Bu tak kuat memandang lebih lama lagi.

   Kong Bu membuang muka dan merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, meremang dan terasa dingin pada tulang punggungnya. Cantik jelita, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kata-kata kakeknya ini berkumandang dalam telinganya dan kembali Kong Bu bergidik. Sifat Siluman betina, iblis dalam tubuh seorang wanita cantik. Banyak sudah ia melihat wanita cantik, terutama kalau ia diajak kakeknya menyusup ke dalam Istana untuk sekedar melihat-lihat atau mencuri makanan. Akan tetapi harus diakui bahwa belum pernah selama hidupnya ia berhadapan atau melihat seorang gadis seperti ini! Dan kakeknya sudah menahan gadis ini, sekarang memberikan kepada dia. Dia boleh membuat sesuka hatinya terhadap gadis ini dan kemudian membunuhnya.

   Dia boleh menghinanya, mempermainkannya, hemm, apakah maksud kakeknya? Sungguhpun pikiran Kong Bu tidak sampat ke situ, namun perasaannya membuat ia dapat menduga, penghinaan apakah yang paling hebat bagi seorang gadis. Melihat baju yang koyak-koyak itu, yang memperlihatkan sebagian dari kulit yang halus, jantungnya berdebar tidak karuan membuat ia membuang muka dan tidak berani lagi memandang kulit di balik baju koyak itu. Di lain pihak, Li Eng merasa agak lega karena ia terlepas dari ancaman yang lebih mengerikan daripada maut di tangan kakek gila tadi. Malah ia mendapatkan harapan untuk terlepas pula dari tangan pemuda ini. Tak mungkin pemuda ini selihai kakek tadi. Kalau saja ada kesempatan bagiku, pikir Li Eng dan pandang matanya mengukur-ukur sementara kedua

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   kakinya menegang, siap mengirim tendangan yang mematikan.

   Tapi bagaimana kalau tendangannya tak berhasil? Li Eng ragu-ragu. Kalau saja kedua tanganku bebas. Ataukah lebih baik ia merayu pemuda ini dan membujuknya agar suka membuka belenggunya? Kalau sudah bebas kedua tangannya, kiranya takkan sukar membunuhnya! Tapi pikiran ini membuat mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Sampai mati sekalipun tak mungkin ia dapat melakukan pekerjaan itu, membujuk rayu seorang laki-laki! Ia teringat kepada pamannya, Kwa Kun Hong. Biarpun lemah, pamannya itu cerdik. Apa yang akan dilakukan pamannya dalam keadaan begini? Apakah masih terus hendak mengalah saja? Ah, bagaimana nasib pamannya? Bagaimana pula nasib Hui Cu yang tadi dilarikan oleh seorang laki-laki yang luar biasa pula?

   Aku harus bebas dulu, baru dapat menolong Enci Cu dan Paman Hong, pikirnya. Tiba-tiba Li Eng berseru keras dan kaki kanannya melayang menendang pusar pemuda yang sedang berdiri bengong, Li Eng menahan seruannya ketika kakinya bertemu dengan benda yang keras sekali, tapi tubuh Kong Bu terlempar seperti tertiup angin, terbanting pada dinding dan terpelanting jatuh. Akan tetapi seperti karet saja, ia sudah berdiri lagi dan memandang kepada Li Eng dengan alis terangkat. Ia tidak apa-apa. Celaka, Li Eng mengeluh dalam batin, kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dari kakek tadi. Tendangannya tepat sekali, akan tetapi pemuda itu hanya terlempar, luka sedikitpun tidak, malah kelihatannya tidak merasa sakit. Kini pemuda itu berjalan lambat-lambat menghampiri, dengan mata memandang tajam dan alisnya yang tebal itu bergerak-gerak.

   "Kenapa kau menendangku? Benar-benar kau berhati curang, kenapa kau menendangku?"

   Li Eng tertegun. Biarpun sama lihai, pemuda itu agaknya tidak seliar kakek tadi, sungguhpun sama pula anehnya. Pertanyaan yang aneh pula, bagaimana ia bisa menjawab?

   "Hemmm,"

   Katanya dengan nada mengejek dan mengumpulkan semangat agar jangan kelihatan rasa takut dan gelisahnya.

   "kenapa aku menendangmu? jawab dulu, kenapa kau menawanku?"

   Kening pemuda itu makin berkerut.

   "Karena kau anak murid Hoa-San-Pai, yang cantik, muda belia, lihai, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Orang yang membikin celaka ibuku adalah anak murid Hoa-San-Pai seperti kau. Maka sekarang kau harus mati setelah mengalami siksaan dan hinaan lebih dulu."

   Terbelalak mata Li Eng. Ancaman penghinaan lebih hebat dari maut baginya. Biarpun ia sendiri belum mengerti benar penghinaan apa yang dimaksudkan, namun seperti juga keadaan pemuda itu sendiri, gadis ini dengan perasaannya dapat menduga-duga yang membuat ia ketakutan dan ngeri setengah mati.

   "Kau... kau pengecut besar!"

   Tiba-tlba Li Eng berteriak dalam kengerian dan kebingungannya. Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran, memukul kelemahan pemuda itu. Mendengar makian pengecut, Kong Bu meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya seakan-akan hendak membakar diri Li Eng. Ia akan menerima dan dapat menahan dimaki apa saja, akan tetapi makian pengecut merupakan pantangan baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang lebih rendah dari sifat pengecut!

   "Apa kau bilang? Pengecut? Aku...pengecut?"

   Suaranya gemetar saking marahnya.

   "Buktikan... setan kau, hayo buktikan kalau aku... pengecut!"

   Li Eng yang cerdik itu menahan gejolak hatinya yang girang karena akalnya berhasil. Ia sengaja menjebikan bibirnya dengan lagak mengejek dan menghina.

   "Seorang laki-laki yang mengganggap diri sendiri gagah, beraninya berlagak hanya kalau menghadapi lawan wanita yang dibelenggu kedua tangannya. Huh andaikata aku tidak terbelenggu, kiranya kau sudah lari jatuh bangun ketakutan. Apalagi namanya kalau bukan pengecut paling rendah!"

   Kong Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang membuat Li Eng kaget dan serem. Tiba-tiba pemuda ini mendekatinya, menggerakkan kedua tangan dan... belenggu yang mengikat Li Eng putus menjadi beberapa potong!

   "Nah, putus sudah! Kau tidak terbelenggu lagi. Hayo, kau mau apa sekarang? Setan betina, tarik kembali makianmu pengecut tadi. Setan, kau menghinaku, ya? Hayo tarik kembali kata-kata pengecut tadi!"

   Saking girangnya bebas, Li Eng untuk sejenak tak dapat menjawab, hanya menggosok-gosok pergelangan kedua tangan yang masih kaku-kaku untuk memulihkan jalan darahnya. Matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum manis, timbul kembali keberaniannya dan kepercayaan kepada diri sendiri.

   "Sudah bebas kedua tanganku! Eh, kau belum juga lari jatuh bangun?"

   "Tidak sudi! Mengapa harus lari? Aku bukan pengecut! Hayo katakan, aku bukan pengecut!"

   Teriak Kong Bu makin marah. Li Eng memandang dengan senyum ejekan yang amat menyakitkan hati pemuda itu.

   "Apa? Kau tidak mau lari? Larilah, aku takkan mengejarmu sebagai upahmu sudah membebaskan tanganku dari belenggu."

   "Tidak sudi!!"

   "Ah, kalau begitu ternyata kau sudah bosan hidup. Terpaksa kedua tanganku mengantar nyawamu ke neraka!"

   Li Eng cepat sekali menerjang maju dengan kedua tangannya memukul, susul-menyusul ke arah pelipis dan lambung. Kong Bu yang marah sekali cepat menangkis kedua pukulan itu dan balas menyerang dengan sama keras dan dahsyatnya. Tadinya Li Eng memandang rendah dan mengejek sedangkan Kong Bu juga memandang rendah dan marah-marah. Akan tetapi makin lama mereka bertempur, makin lenyaplah perasaan merendahkan lawan, lenyap pula rasa mengejek dan marah, terganti oleh rasa keheranan besar dan sedikit kekaguman.

   Ternyata bahwa keduanya sama tangguhnya, atau hanya sedikit selisihnya! Kong Bu sama sekali tak pernah menyangka bahwa gadis ini demikian hebat ilmu silatnya, memiliki gerakan yang cepat bukan makin seperti Burung walet saja sehingga kadang-kadang matanya berkunang. Di lain pihak, biarpun maklum bahwa pemuda itu bukan orang lemah, namun sama sekali di luar sangkaan Li Eng bahwa ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh, yang dapat mengimbangi Hoa-San Kun-Hoat, malah memiliki tenaga dahsyat sehingga lengannya sakit-sakit dan panas tiap kali mereka beradu tangan. Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia tidak bersenjata. Dengan pedang di tangan, kiranya ia takkan terdesak seperti ini. Mulailah nona yang cerdik ini mencari akal.

   Ketika terdapat kesempatan baik, Li Eng berseru keras dan kedua kakinya bergerak dengan Ilmu Tendangan Soan-Hong-Tui (Tendangan Angin Puyuh), yang merupakan tendangan berantai dengan kedua kaki seperti kitiran angin. Yang dijadikan sasaran adalah pusar lawan. Menghadapi tendangan berantai yang amat berbahaya ini, Kong Bu berseru keras dan melompat mundur. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Li Eng untuk melompat ke dekat meja dan menendang meja itu terbalik. Seketika keadaan menjadi gelap pekat karena lilin di atas meja itu terlempar dan apinya padam. Inilah yang dihendaki oleh Li Eng. Ia memiliki pendengaran tajam dan Lweekang yang sudah tinggi maka ia hendak mengandalkan dua kelebihan ini untuk melawan Kong Bu di dalam gelap! Akan tetapi, sekali lagi ia kecele. Pemuda ini berseru keras,

   "Kau hendak lari ke mana?"

   Dan dari angin gerakannya tahulah Li Eng bahwa pemuda itu menerjang ke arahnya seakan-akan memiliki mata yang dapat menembus kegelapan. Terpaksa ia mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk menghadapi serbuan malam gelap ini. Kembali mereka bertempur, kini di dalam gelap dan ternyata malah makin seru dari tadi. Karena keadaan gelap sama sekali, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu bertempur hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan kegesitan gerakan saja. Makin lama makin terasa oleh Kong Bu akan kelihaian dara itu dan diam-diam ia merasa heran bagaimana kakeknya dapat menangkap gadis selihai ini dengan mudah. Apalagi berdua dengan gadis lain yang tidak ia ketahui sampai di mana tinggi kepandaiannya. Kalau dilihat keadaannya sekarang agaknya biarpun kakeknya sendiri, belum tentu dapat mengalahkan gadis ini dengan mudah.

   Dengan penasaran sekali Kong Bu menggereng dan mengeluarkan ilmu yang paling ia andalkan, yaitu Yang-Sin-Hoat. Ilmu ini adalah inti ilmu Yang-Sin Kiam-Sut yang dahulu didapatkan oleh Song-Bun-Kwi dan telah diturunkan kepada pemuda ini. Yang-Sin-Hoat mengandalkan tenaga kasar dan ketika pemuda ini mainkan Yang-Sin-Hoat, Li Eng menjadi kewalahan. Sebagai seorang wanita, oleh kedua orang tuanya Li Eng dilatih ilmu-ilmu yang berdasarkan kehalusan, disesuaikan dengan keadaan tubuh dan sifat wanita. Maka ketika tadi lawannya menggunakan Lweekang, ia masih dapat melayani dengan baik. Sekarang, begitu lawannya berkelahi secara kasar dan keras, di mana pertemuan tenaga, mungkin dapat mematahkan tulang dan melecetkan kulit, Li Eng menjadi sibuk sekali. Ia mencari kesempatan dan begitu terdapat lowongan gadis ini melompat keluar dari kamar terus lari keluar dari kelenteng.

   "He, kau hendak lari ke mana?"

   Kong Bu mengejar dengan lompatan keras sekali sehingga sekaligus ia dapat menyusul Li Eng.

   Dengan lompatan yang cepat sekali ini ia telah menubruk tubuh Li Eng dari belakang. Segera ia menggunakan kedua lengan untuk menangkapnya dan dua orang itu terguling roboh di luar kelenteng, bergumul di atas tanah. Namun Li Eng kalah tenaga, juga ia disikap dari belakang dengan mendadak, maka ia tidak berdaya dan Kong Bu berhasil menotok punggungnya, membuat gadis itu lemas tak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi. Kong Bu melepaskan Li Eng dan bangkit berdiri, mengatur napas. Ia terengah-engah dan lelah, juga tubuhnya sakit di sana-sini. Harus diakui bahwa baru kali inilah ia betul-betul berkelahi melawan seorang yang amat tangguh, Sekali lagi ia memandang ke arah di mana Li Eng rebah miring tak bergerak, di bawah sinar bulan seperti seorang gadis sedang tidur saja, ataukah seekor Harimau betina sedang mendekam?

   "Gadis liar!"

   Gerutunya sambil mengelus lehernya yang mengeluarkan darah, terluka oleh kuku-kuku tangan Li Eng ketika bergumul tadi. Ia lari mengambil tali pengikat tangan Li Eng, keluar lagi dan setelah menyambung-nyambung tali yang kuat itu, ia membelenggu lagi kedua tangan Li Eng. Setelah itu ia membebaskan totokannya dan membentak,

   "Hayo bangun berdiri!"

   Begitu terbebas dari totokan, dengan marah, meluap-luap Li Eng meloncat bangun dan langsung kedua kakinya yang bebas itu mengirim tendangan berantai! Kong Bu kaget dan dengan gugup ia mengelak ke sana ke mari karena tendangan-tendangan itu betul-betul mengarah bagian tubuh yang berbahaya dan mematikan. Akhirnya ia dapat menyambar kaki kiri Li Eng dan sekali dorong tubuh Li Eng roboh lagi.

   "Gadis liar!"

   Lagi-lagi ia memaki. Li Eng sudah meloncat bangun lagi, berdiri tegak, kepala dikedikkan, mata berapi-api, gigi digeget, marah memenuhi dadanya.

   "Hayo jalan, ikut denganku!"

   Kata Kong Bu lagi.

   "Tidak sudi! Mau bunuh boleh bunuh!"

   Balas Li Eng, tak kalah ketus.

   "Kepala batu!"

   Kong Bu memaki lagi dan tiba-tiba sebelum Li Eng sampai menduga apa yang akan dilakukannya, pemuda ini menubruk ke depan, langsung menangkap kedua kaki gadis itu dan mengangkat tubuhnya, terus dipanggul di atas pundaknya. Li Eng meronta-ronta, menendang-nendang, akan tetapi karena kedua tangannya diikat dan kedua kakinya dipeluk keras-keras oleh pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tidak berhasil melepaskan dirinya. Akan tetapi, dengan menggerak-gerakkan tubuhnya bagian atas, mulutnya berhasil mendekati pundak dan dengan gemas ia menggigit pundak pemuda itu.

   "Aduh... perempuan liar!"

   Kong Bu terpaksa melepaskan tubuh Li Eng yang terpelanting ke atas tanah. Pemuda ini memegangi dan mengusap-usap pundaknya yang luka berdarah dan bajunya robek tertembus gigi yang kecil-kecil putih akan tetapi kuat bukan main itu. Sakit sekali pundaknya, perih dan panas. Dengan marah ia maju lagi, mengangkat tangan hendak memukul pecah kepala Li Eng, akan tetapi entah bagaimana, ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api dan penuh keberanian itu, kepalannya berubah menjadi totokan dan kembali Li Eng telah tertotok jalan darahnya, lemas dan tak dapat bergerak lagi.

   "Hemmm, perempuan liar. Anak murid Hoa-San-Pai, cantik jelita, muda belia, lihai tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kau harus disiksa dulu sebelum dibiarkan mati. Keparat, rasakan kau nanti!"

   Ia lalu mengangkat tubuh Li Eng yang sekarang tidak mampu meronta lagi itu, lalu memanggulnya. Tiba-tiba ia berseru,

   "Ihhhh!"

   Dan melepaskan tubuh Li Eng yang untuk kesekian kalinya lagi-lagi terbanting di atas tanah. Apa yang membuat pemuda itu berseru kegelian dan melepaskan tubuh gadis itu? Li Eng sendiri tidak mengerti.

   Sebetulnya adalah karena ketika memanggul, kebetulan sekali sebagian pundak Li Eng yang tak tertutup bajunya yang sudah koyak-koyak itu menumpang pada pundak dan leher Kong Bu, tepat di bagian baju yang robek oleh gigitan Li Eng tadi. Sentuhan kulit halus hangat pada kulit leher dan pundaknya itulah yang membuat Kong Bu kaget dan geli tubuhnya serasa dimasuki aliran listrik yang membuat ia menggigil dan seketika membanting tubuh Li Eng ke atas tanah. Pemuda itu kini berdiri dengan leher terasa tebal dan tengkuknya berdiri semua. Akan tetapi mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras. Perlahan-lahan dilepasnya baju luarnya, lalu diselimutkan pada tubuh atas Li Eng. Setelah melihat bahwa pundak gadis itu yang telanjang telah tertutup rapat, barulah ia membungkuk dan memanggul gadis itu kembali, dibawa lari secepatnya dari tempat itu, memasuki hutan.

   Sementara itu, tanpa terasa selama dua orang ini ribut-ribut tadi, malam telah terganti fajar dan ketika Kong Bu memanggul Li Eng berlari-lari, ayam hutan mulai berkokok. Namun pemuda itu berlari terus, menuju ke arah tertentu. Pemuda itu tidak berkata apa-apa, juga Li Eng tidak mengeluarkan suara, sungguhpun kemarahan gadis itu membuat kedua matanya meneteskan air mata. Ia tidak takut, hanya marah dan penasaran mengapa ia tidak mampu mengalahkan laki-laki gila ini. Tiba-tiba terdengar suitan saling sahut di dalam hutan itu. Cuaca mulai remang-remang karena dalam hutan penuh embun yang dingin menyusupi tulang-tulang. Tak lama kemudian suara suitan makin sering dan makin keras.

   Ketika tiba di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar, mendadak berlompatan belasan orang dari balik batang pohon dan Kong Bu terkurung oleh enam belas orang laki-laki yang tinggi besar, bercambang bauk dan membawa senjata tajam. Melihat sikap mereka yang kasar, mudah diduga bahwa mereka tentulah sebangsa perampok. Kong Bu tidak menjadi gugup, ia menurunkan tubuh Li Eng setelah terlebih dulu membebaskan totokannya pada punggung gadis itu. Tadinya saking marah dan lelahnya, Li Eng hampir pulas dalam panggulan pemuda itu, sekarang ia kaget dan sadar ketika merasa tubuhnya terguling di atas tanah. Cepat ia menggerakkan kaki dan girang mendapat kenyataan bahwa ia tidak lemas tertotok lagi, maka ia meloncat berdiri. Ia terheran-heran melihat belasan orang laki-laki kasar itu berdiri di situ dengan menyeringai dan sikap mengancam.

   "Kalian menghadang perjalananku ada keperluan apa?"

   Kong Bu membentak, alisnya yang tebal menghitam itu berkerut tanda kesal hati menghadapi gangguan ini. Seorang di antara mereka, yang paling tinggi, melangkah maju dan tertawa bergelak sambil memandang ke arah Li Eng yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu.

   "Ha-ha-ha, kiranya saudara seorang ahli pemetik bunga! Wah, kawan-kawan, kita kecele kali ini!"

   Belasan laki-laki itu mengeluarkan suara kecewa, akan tetapi ada yang tertawa-tawa dan memuji-muji kecantikan Li Eng.

   "Sebetulnya kalian ini mau apakah?"

   Kong Bu membentak lagi, tak senang hatinya mendengar pujian-pujian tentang kecantikan Li Eng, dan lebih tak senang lagi melihat sikap mereka yang ceriwis terhadap gadis tawanannya.

   "Hai, saudara muda, karena sealiran, kami takkan mengganggumu. Kau boleh pergi melanjutkan perjalananmu akan tetapi kau tinggalkan bunga ini untuk kami, hitung-hitung tanda mata dan tanda persahabatan,"

   Kata pula pemimpin gerombolan itu sambil tertawa-tawa dan memandang kepada Li Eng dengan mata berminyak.

   "Apa maksudmu? Bunga apa yang kau minta?"

   Kong Bu yang belum mengerti itu membentak lagi.

   "Aih-aih... kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!"

   Seorang perampok berolok-olok.

   "Tentu saja perempuan ini yang ditinggal."

   Baru saja sampai di sini ia bicara, tiba-tiba tubuhnya terlempar jauh, terbanting ke atas tanah dan tidak dapat bangun kembali. Bukan main marahnya para perampok ketika melihat orang muda yang mereka sangka lemah itu sekali tangkap sanggup melemparkan kawan tadi. Apalagi kepalanya, dengan marah berteriak,

   "Kawan-kawan, bunuh anjing jantan ini, biar aku tangkap yang betina!"

   Terjadilah pengeroyokan yang hebat. Akan tetapi, alangkah kaget hati para pengeroyok ini ketika pemuda itu menggerakkan kaki tangan, empat orang perampok roboh dan mengaduh-aduh. Lebih-lebih kekagetan mereka ketika melihat kepala mereka begitu mendekati gadis yang terbelenggu itu tiba-tiba tertendang dadanya oleh gadis itu dan roboh sambil memuntahkan darah segar.

   Tidak berhenti sampai di situ saja, gadis terbelenggu ini menggerak-gerakkan kedua kakinya dan sebentar saja empat orang perampok roboh pula tak dapat bangun kembali. Juga Kong Bu yang sudah marah menghajar para perampok itu. Sebentar saja beberapa orang roboh lagi. Mereka bagaikan rombongan laron mengeroyok api lilin. Setelah lebih setengah jumlah mereka roboh, yang lain lalu melarikan diri menyelinap di antara gerombolan pohon. Kong Bu tidak mempedulikan mereka, lalu memandang kepada Li Eng. Sejenak ia bengong terlongong, menatap wajah gadis itu yang juga memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Aduh hebatnya mata itu, demikian kesan pertama di hati Kong Bu. Malam tadi ia tidak dapat melihat wajah Li Eng dengan terang, tidak sejelas sekarang. Wajah yang luar biasa dan terutama matanya, seperti sepasang bintang pagi.

   Tapi ia teringat lagi akan kenyataan bahwa gadis ini adalah anak murid Hoa-San-Pai, maka kemarahannya timbul pula. Apalagi kalau teringat betapa dengan susah payah ia mengalahkan gadis ini malam tadi, malah masih perih dan panas pundaknya yang digigit. Sebaliknya, Li Eng juga tercengang ketika menyaksikan wajah yang tampan dan ganteng, yang sama sekali jauh berlainan dengan wajah kakek semalam tadi, ataupun dengan wajah para perampok tadi. Pemuda ini benar-benar gagah, mukanya lebar bulat, matanya jeli, alisnya hitam tebal, mulutnya membayangkan kekerasan hati. Tapi kalau ia teringat akan perlakuan pemuda ini kepadanya, hatinya marah dan mendongkol bukan main. Dan dia sudah dipanggul setengah malaman oleh pemuda ini! Tiba-tiba Lie Eng merasa mukanya panas dan ia berkata keras,

   "Aku tidak sudi kau... pondong lagi!"

   Merah kedua pipi Kong Bu, dan dengan ketus pula ia menjawab,

   "Siapa sudi memondongmu? Kalau kau tidak rewel dan mau jalan sendiri, akupun tidak sudi memanggulmu!"

   Sejenak keduanya diam saling pandang penuh kemarahan. Kong Bu marah mengapa gadis ini begini kasar dan galak, andaikata sikapnya halus dan penurut, agaknya ia takkan tega memperlakukannya seperti ini. Li Eng marah mengapa pemuda seperti itu bersikap sombong dan memandang rendah kepadanya. Andaikata tidak demikian sikap pemuda itu tentu ia akan menerangkan bahwa mereka mempunyai musuh yang sama, yaitu Kwa Hong. Ia merasa yakin bahwa yang membuat pemuda ini dan kakek itu membenci anak murid Hoa-San-Pai terutama yang perempuan, tentulah Kwa Hong.

   "Kau hendak memaksaku pergi ke mana?"

   "Akan kau lihat sendiri nanti!"

   "Akan kau apakan aku?"

   "Hemm, kau akan lihat sendiri!"

   "Iblis kau! Kalau hendak bunuh aku, bunuhlah. Siapa takut mampus?"

   "Terlalu enak kalau kau dibunuh begitu saja. Kata kakek, anak murid Hoa-San-Pai terutama yang perempuan adalah Siluman-Siluman jahat, harus disiksa dan dipermainkan dulu sebelum dibunuh."

   "Kakekmu gila!"

   "Mungkin, tapi tidak palsu dan hina seperti murid perempuan Hoa-San-Pai yang menggoda Ayahku dan membunuh ibuku!"

   "Ah, kau juga gila!"

   Kong Bu memandang dengan mata berapi, kemudian ia balas memaki,

   "Kau juga seorang gadis gila!"

   "Kau hanya bisa meniru-niru!"

   "Tidak, kau memang gila. Gadis normal tentu akan menangis dan minta ampun, tidak seperti kau yang begini nekat menantang maut."

   "Aku tidak takut!"

   "Ha, ingin kumelihat nanti apakah betul-betul kau tidak mengenal takut."

   "Mau kau apakan aku?"

   Kong Bu tersenyum dan karena ingin ia melihat gadis ini membayangkan ketakutan pada wajah yang cantik dan selalu menantang penuh keberanian itu, ia segera berkata,

   "Aku hendak melepaskan kau di tempat yang penuh dengan anjing-anjing hutan, biar kau dikeroyok anjing hutan!"

   Namun keinginan hatinya tidak terpenuhi, malah gadis itu menjebikan bibirnya yang merah sambil mengejek,

   "Phuhh, siapa percaya omongan kosongmu? Anjing kaki dua seperti kau tidak takut, apalagi segala macam anjing hutan!"

   Kong Bu kalah bicara, lalu berkata marah,

   "Sudah jangan cerewet! Hayo jalan ikut denganku!"

   "Tidak sudi!"

   Li Eng berjebir lagi.

   "Kepala batu!"

   Kong Bu menerjang maju, disambut tendangan oleh Li Eng. Untuk kesekian kalinya dua orang ini saling serang, Li Eng berusaha merobohkan dengan tendangan-tendangannya yang dahsyat, sedangkan Kong Bu berusaha merobohkan gadis itu untuk dapat dipanggulnya seperti malam tadi. Tentu saja dengan kedua tangan terbelenggu dan tubuhnya lemas dan lelah, Li Eng tak dapat melakukan perlawanan berarti dan akhirnya ia kena diringkus kedua kakinya, diangkat dan dipanggul oleh Kong Bu yang berlari cepat. Li Eng memaki-maki, meronta-ronta dan mencoba untuk menggigit lagi, namun Kong Bu tidak pedulikan semua itu dan lari secepatnya menuju ke tengah hutan. Akhirnya berhenti di sebuah lereng dan berkata,

   "Nah, kau lihat ke bawah!"

   Li Eng yang masih dipanggul itu melirik ke bawah. Di depannya terdapat sebuah lembah yang curam dan di dalam lembah itu tampaklah puluhan ekor anjing yang berkeliaran. Mereka nampak buas dan begitu melihat dua orang di atas lereng, mereka menggonggong dan menyalak dengan muka ganas. Ngeri juga hati Li Eng, akan tetapi ia mengeraskan hati dan berkata,

   "Aku tidak takut!"

   Kong Bu mengeluarkan suara ketawa geli, hatinya kecewa kenapa gadis ini belum juga menyerah kalah dan mengaku takut. Dengan mendongkol ia menurunkan Li Eng, menotok jalan darahnya sehingga gadis itu lemas kaki tangannya. Kemudian ia menggunakan sebuah pedang memutuskan tali belenggu kedua tangan Li Eng.

   "Aku tidak sudi membunuhmu dengan kedua tangan sendiri, karena aku bukanlah pembunuh murahan. Akupun tidak sudi menghina dan mempermainkanmu seperti yang dimaksudkan Kakek, karena aku bukanlah seorang manusia rendah dan hina. Akan tetapi karena kau seorang anak murid Hoa-San-Pai, untuk membalas sakit hati mendiang ibuku, kau akan kulempar ke dalam lembah itu. Kau boleh melawan anjing-anjing itu, kalau kau menang dan dapat naik kembali dengan selamat, aku takkan mengganggumu."

   Tanpa memberi kesempatan kepada gadis yang pandai bicara itu untuk menjawab, Kong Bu menggerakkan kedua tangannya, yang kanan menotok punggung membebaskan aliran jalan darah, yang kiri mendorong tubuh gadis itu ke dalam lembah yang curam itu. Tanpa dapat menahan diri lagi Li Eng terdorong ke bawah. Tubuhnya melayang ke tempat yang dalamnya lima enam meter itu. Segera ia dapat menguasai diri dan cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, berjungkir balik dan dapat turun ke dasar lembah daiam keadaan berdiri. Suara hiruk-pikuk binatang-binatang itu menyambut kedatangannya. Puluhan ekor anjing liar yang bermata merah dengan lidah terjulur keluar segera mengurungnya, menggonggong dan memperlihatkan gigi dan taring yang runcing mengerikan.

   Gadis itu menyedot napas dalam-dalam, mengumpulkan semangat dan tenaga, mengusir rasa jijik dan takut, kemudian ia mendahului anjing-anjing itu, menendang dan memukul. Makin berisiklah keadaan di lembah itu, Ada anjing yang terpukul mati seketika, hanya dapat berkelojotan sebentar, ada yang berkuik-kuik, ada yang meraung-raung dan anjing-anjing yang lain semua menggonggong dan menyalak marah. Mereka ini lalu menyerang dan mengeroyok Li Eng. Namun dengan gagahnya gadis ini mengamuk, tangan dan kakinya bergerak-gerak, mengelak ke sana ke mari sambil memukul, menendang lalu meloncat. Di atas tebing di lereng itu, Kong Bu berdiri tegak menonton. Mula-mula mulutnya tersenyum mengejek dan matanya membayangkan kekerasan hatinya. Akan tetapi ketika ia menyaksikan sepak terjang Li Eng, senyumnya menghilang dan matanya berubah membayangkan kekaguman besar.

   Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang gadis sedemikian gagah beraninya, jangankan melihat malah mimpipun belum pernah, Sukarlah, malah tak mungkin kiranya membayangkan seorang dara yang seperti ini hebatnya! Dadanya berdebar dan kini ia memandang penuh perhatian. Betapapun gagah dan lihainya Li Eng, gadis itu semalam suntuk tidak tidur, pula tubuhnya amat lelah dan berkali-kali ia harus mengerahkan tenaga menghadapi Kong Bu. Kini dikeroyok puluhan ekor anjing yang liar itu, perlahan-lahan ia kehabisan tenaga dan berkuranglah kegesitannya. Sudah lebih dua belas ekor anjing menggeletak menjadi bangkai oleh pukulan dan tendangannya, namun yang mengeroyoknya masih berpuluh-puluh!

   Pukulannya kini mulai kurang keras, gerakannya lemah dan limbung. Namun sedikitpun juga semangatnya tidak pernah berkurang, dan tidak sedikitpun juga ia nampak takut atau bingung. Tiba-tiba lima ekor anjing menyerang dengan serentak, menubruk dari kanan kiri dan depan, Li Eng melompat mundur untuk menghindarkan diri. Malang baginya, kebetulan sekali di sebelah belakangnya ada seekor anjing pula sehingga kakinya terhalang dan ia terjengkang ke belakang. Serempak lebih dari sepuluh ekor anjing menubruknya dengan moncong terbuka lebar! Wajab Kong Bu menjadi pucat seketika, akan tetapi ia kagum bukan main ketika gadis itu dengan kegesitan luar biasa telah menggulingkan tubuhnya cepat-cepat ke kiri terus melompat berdiri.

   Namun ia tak dapat menghindarkan dengan seekor anjing dari sebelah belakang yang menubruk kakinya dan menggigit betisnya, Kain celana di bagian betis robek berikut kulit betisnya. Li Eng menjerit tertahan, membalikkan tubuh dan sekali tangan kanannya menghantam pecahlah kepala anjing itu! Demikian hebat marahnya sehingga seketika timbul kembali tenaganya. Namun kini ia merasa kakinya yang tergigit tadi kaku dan sakit-sakit. Sekilas ia mengerling ke atas dan melihat pemuda itu masih berdiri tegak. Kemarahannya bangkit, sampai mati ia tidak akan memperlihatkan rasa takut takkan mau menyerah, biarlah pemuda gila itu terbuka matanya bahwa dia adalah seorang dara berdarah pendekar sejati.

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia melawan terus, memukul menendang, namun pandang matanya mulai berkurang, tubuhnya terhuyung-huyung kepalanya pening. Ia masih dapat melihat berkelebatnya sesosok bayangan orang diikuti sinar pedang yang membabati anjing-anjing yang mengeroyoknya, kemudian Li Eng mengeluh dan roboh pingsan! Dalam keadaan setengah sadar Li Eng merasa seolah-olah dunia terbakar di sekelilingnya. Warna merah dan kuning menyelubungi dirinya, dan suara gonggongan anjing terngiang-ngiang di telinganya. Kemudian ia melihat kepala-kepala banyak anjing liar dengan moncong terbuka hendak menggigitnya. Ia merasa ngeri sekali, kemudian kepala-kepala anjing ini menyuram, terganti kepala seorang pemuda yang gagah dan ganteng.

   "Kenapa kau begini benci kepadaku...?"

   Li Eng berbisik, hatinya sakit sekali.

   "Diamlah..."

   Ia tiba-tiba mendengar suara perlahan.

   "diamlah, biar kuhisap keluar racun anjing itu. Siapa tahu anjing tadi gila..."

   Lalu ia merasa amat sakit pada betis kaki kirinya. Li Eng membuka mata dan ternyata ia sedang rebah tertelungkup di bawah sebatang pohon, beralaskan rumput hijau yang amat sedap dan segar. Ia menggerakkan lehernya dan melihat... pemuda "gila"

   Itu duduk di dekatnya, mengangkat kaki kirinya dan... menyedot betisnya yang terasa panas dan sakit..."

   "Kurang ajar kau! Lepaskan kakiku, lepaskan!"

   Li Eng berteriak keras sekali, meremang semua bulu di badannya ketika mendapat kenyataan kakinya telah telanjang sampai ke lutut dan betapa betisnya di "cium"

   Oleh mulut pemuda itu. Kong Bu, pemuda itu, menunda pekerjaannya, menoleh dengan kening berkerut.

   "Rewel benar kau!"

   Bentaknya.

   "Kalau anjing yang menggigit betismu tadi gila, sebentar lagi kau juga menjadi gila, tahukah kau? Aku sedang berusaha untuk menyedot keluar racun dari luka di betismu, mengapa kau banyak cerewet?"

   Li Eng terkejut, takut, dan juga heran, Alangkah ngerinya kalau betul ucapan itu, dan dia menjadi gila! Akan tetapi benar-benar amat mengherankan mengapa pemuda ini menolongnya keluar dari lembah, malah sekarang hendak mengobatinya?

   "Biarkan aku duduk menyandar pohon, tak enak tertelungkup begini..."

   Akhirnya ia berkata,

   "Sesukamulah, tapi kalau terlalu lama penyedotan racun kau tunda, aku tidak tanggung lagi kalau kau menjadi gila, lebih gila daripada anjing yang menggigitmu."

   Li Eng menarik kakinya dan duduk, menyandarkan pipi pada batang pohon itu. Ia melonjorkan kakinya dan melihat bahwa betis kaki kirinya luka agak parah bekas gigitan anjing. Rasa ngeri menyelinap dalam hatinya.

   "Apakah... apakah anjing yang menggigitku tadi gila?"

   Tanyanya perlahan, tanpa memandang pemuda itu.

   "Mudah-mudahan tidak, tapi siapa tahu. Anjing-anjing hutan itu liar, hampir semua seperti gila,"

   Jawab pemuda itu.

   "Cara pengobatan satu-satunya harus menyedot racun keluar dari luka itu."

   Setelah berkata demikian, tanpa minta ijin lagi ia lalu mengulangi usahanya tadi, membungkukkan badan, mendekatkan mulut kepada kaki Li Eng yang sudah diangkatnya, kemudian ia menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisapnya. Li Eng meramkan kedua matanya, mukanya merah padam.

   Celaka, ia telah menerima penghinaan yang hebat dan terus-menerus dari pemuda ini. Ia dikalahkan dalam pertempuran, itu penghinaan pertama, kemudian ia dimaki-maki, itu penghinaan ke dua, lalu ia dipanggul sebagai tawanan, penghinaan ke tiga. Kemudian ia dilempar ke dalam lembah anjing hutan, itu penghinaan ke empat dari sekarang ini, penghinaan ke lima, yang paling hebat! Pemuda itu secara kurang ajar sekali telah menyentuh betis kakinya, memegangnya, tidak begitu saja, malah... dicucupnya betis kakinya dengan mulut. Inilah penghinaan yang tak dapat diampuni lagi. Ia membuka kedua matanya. Melihat pemuda itu membungkuk dengan penuh perhatian dan pengerahan tenaga Lweekang menyedot luka untuk mengeluarkan racun, tiba-tiba Li Eng menggerakkan tangan kanannya dipukulkan ke arah tengkuk Kong Bu dengan jari tangan terbuka.

   "Bukk!"

   Tanpa dapat bersambat lagi pemuda itu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Pukulan Li Eng hebat sekali dan tidak dapat ditangkis oleh pemuda itu yang sama sekali tak pernah menyangka dirinya akan diserang ini. Li Eng meloncat bangun, meringis karena betis kaki kirinya terasa perih sekali, namun ditahannya.

   Cepat ia menotok punggung Kong Bu untuk mencegah pemuda itu bergerak kalau siuman nanti, kemudian ia mencari akar pohon yang kuat dan lemas untuk dipergunakan sebagai belenggu. Dengan akar pohon ini ia membelenggu tangan Kong Bu ke belakang, setelah ini membebaskan pemuda itu dari totokan dan dengan merobek sedikit tali pingggangnya yang panjang ia membalut luka betisnya. Tak lama kemudian Kong Bu siuman dari pingsannya. Ia cepat meloncat berdiri akan tetapi sebuah tendangan membuat ia terjungkal lagi. Ia rebah miring dan mengangkat kepala memandang kepada gadis yang berdiri sambil tersenyum mengejek amat manisnya itu. Lenyaplah kebingungan dan keheranan Kong Bu dan mengertilah ia kini mengapa ia tadi pingsan dan mengapa pula kedua tangannya terbelenggu.

   "Kenapa...?"

   Kong Bu menahan kembali pertanyaannya karena dari senyum dan sinar mata itu ia sudah mendapat jawaban sejelasnya.

   "Hi-hik, ada ubi ada talas, ada budi ada balas!"

   Kata Li Eng, suaranya bening karena setelah sekarang bebas dan malah dapat membalas pulih kembali kejenakaan dan keriangannya. Berbeda dengan sikap Li Eng ketika ditawan, sekarang Kong Bu hanya memandang dengan kagum. Entah bagaimana. Setelah Li Eng tidak galak dan pemarah seperti ketika menjadi tawanan, setelah gadis itu mendapatkan kembali sifat pribadinya yang lucu jenaka, dalam pandang matanya gadis itu menjadi bertambah manis dan jelita.

   "Kau boleh bunuh aku. Memang aku patut dibunuh karena kebodohanku, bisa saja diakall oleh seorang gadis liar macam kau. Hemmm, betul Kakek, gadis Hoa-San-Pai mana boleh dipercaya? Aku kurang hati-hati. Bunuhlah."

   "Enak saja dibunuh! Pemuda sombong dan gila seperti kau harus mengalami siksaan dan penghinaan lebih dulu sebelum dibunuh!"

   Kong Bu tak dapat berkata apa-apa lagi karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan terus meniru kata-katanya, ketika masih menjadi tawanannya.

   "Sudahlah, kau boleh lempar aku ke lembah itu biar dikeroyok anjing gila,"

   Katanya. Li Eng menjebikan bibirnya, luar biasa manisnya dalam pandangan Kong Bu.

   "Huh, kau mau akali aku, ya? Biar digigit kakimu lalu biar aku menolongmu?"

   "Habis, apa yang hendak kau lakukan dengan diriku?"

   Li Eng meloncat bangun.

   "Hayo, bangun berdiri, dan ikut aku!"

   Kini tiba-tiba giliran Kong Bu untuk mempermainkan gadis itu, seperti ia dipermainkan ketika menawannya.

   "Aku tidak sudi!"

   Jawabnya dan baru kali ini pemuda itu memperlihatkan senyumnya, senyum mengejek dan menggoda. Wajah yang tampan itu kelihatan berseri terang ketika tersenyum, lenyap sama sekali bayangan watak keras dan aneh. Li Eng menggigit bibir dan membanting kaki.

   "Kau tidak mau turut perintahku?"

   Kong Bu menggeleng kepala.

   "Aku tidak sudi ikut kau, hendak kulihat kau mau apa?"

   Celaka, pikir Li Eng dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah sekali ketika pandang matanya bertemu dengan mata pemuda itu. Dari sinar mata pemuda itu ia dapat membaca pikiran orang. Kiranya pemuda itu hendak melihat apakah dia juga akan memanggulnya!

   "Awas, akupun bisa menggigit pundakmu!"

   Kong Bu sengaja mengejek sambil tersenyum. Li Eng makin merah mukanya. Setan alas, sudah menjadi tawanan masih bisa mempermainkannya. Ia lupa betapa ketika ia sendiri menjadi tawanan, iapun tiada sudahnya mengejek dan memaki pemuda itu.

   "Kau kira aku akan sudi memanggulmu? Cih, tak punya malu!"

   Li Eng lalu menggunakan akar yang panjang dan kuat, diikatkan pada pinggang pemuda itu dan... ia menyeret pemuda itu pergi dari situ! Kong Bu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diseret seperti itu ia enak-enak saja telentang dengan mata merem-melek, kelihatan keenakan sekali.

   "Kau akan membawaku ke mana?"

   Beberapa kali ia mengajukan pertanyaan ini karena pertanyaan itu diulang-ulang, akhirnya Li Eng dengan gemas menjawab,

   "Aku bukan seorang gila seperti engkau dan kakekmu. Karena kau menghina dan memusuhi Hoa-San-Pai, aku akan membawamu sebagai tawanan ke Hoa-San-Pai, biar Supek yang akan memberi keputusan apakah kau harus dilempar ke jurang ataukah digantung di pohon pek!"

   "Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jangan kau hendak membodohi aku,"

   Kata Kong Bu yang masih diseret-seret.

   "Hoa-San-Pai bukan di sebelah sana letaknya, kau mengambil arah yang bertentangan."

   "Huh, aku bukan pembohong seperti kau. Aku mempunyai urusan ke Thai-San lebih dulu, mungkin di Thai-San kau sudah bisa mendapat pengadilan dari Paman Tan Beng San."

   Pemuda itu nampak terkejut sekali.

   "Ke... ke Thai-San...?"

   "Sudahlah, jangan banyak cerewet! Pendeknya kau sekarang menjadi tawananku, kalau kakekmu atau teman-temanmu tidak melepaskan Enci Hui Cu yang tertawan, kaupun takkan kulepaskan. Kalau kalian mengganggu Enci Hui Cu, awas kau, takkan kuampuni lagi!"

   Kali ini Kong Bu benar-benar kelihataan gelisah. Ia tidak tahu siapakah itu Hui Cu dan siapa pula yang menawannya, menurut kakeknya, seorang gadis lain dirampas orang dan kakeknya sedang mengejar orang itu. Maka ia diam saja dan membiarkan dirinya diseret-seret sepanjang jalan.

   Kita tinggalkan dulu Li Eng dan Kong Bu, dua orang muda yang sama-sama berwatak aneh dan berhati keras itu bersitegang di sepanjang jalan, saling mengejek, saling menawan dan marilah kita mengikuti kisah Hui Cu yang pada malam hari itu dirampas oleh seorang tak terkenal, sesosok bayangan yang amat lihai sehingga mampu merampas gadis ini dari tangan Kakek Song-Bun-Kwi yang sakti. Bayangan lihai yang sanggup menggempur Song-Bun-Kwi dan merampas Hui Cu itu ternyata adalah seorang pemuda tampan yang selalu tersenyum-senyum bibirnya, matanya lebar dan tajam pandangannya, hidungnya mancung dan membayangkan kejujuran dan kekerasan hati.

   Tubuhnya tinggi semampai, gerak-geriknya gagah membayangkan tenaga yang kuat. Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Dia ini bukan lain adalah Tan Sin Lee, putera dari Kwa Hong! Seperti kita ketahui, Sin Lee turun dari puncak Lu-Liang-San, turun gunung untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh ibunya. Ia disuruh mencari musuh-musuh ibunya, disuruh membunuh mereka itu dan disuruh pula menangkap dan menyeret Tan Beng San ke Lu-Liang-San, ke depan kaki ibunya. Dan di dalam hatinya Sin Lee tidak dapat menerima tugas membunuh-bunuhi orang yang tidak bermusuhan dengannya itu, akan tetapi ia berjanji untuk memenuhi permintaan ibunya dan menyeret Tan Beng San ke Lu-Liang-San.

   Dalam perjalanannya, orang muda ini tertarik pula untuk melihat keadaan Kota Raja Selatan yang tersohor indah dan ramai. Dan kebetulan sekali pada malam hari itu, dia melihat seorang kakek tinggi besar berlari secepat terbang sambil mengempit tubuh dua orang wanita muda. Kakek ini adalah Song-Bun-Kwi yang berhasil merampas Hui Cu dan Li Eng dari dalam Istana Kembang. Diam-diam Sin Lee menjadi penasaran dan mengikuti dari belakang. Ia kaget sekali ketika melihat betapa larinya kakek itu cepat sekali, tanda bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi. Ia tidak berani gegabah turun tangan karena selain maklum bahwa kakek itu tentu seorang berilmu tinggi, juga ia tidak tahu urusan mereka, tidak tahu siapa salah siapa benar. Oleh karena inilah maka ia terus secara diam-diam mengikuti dari jauh dan mengintai ketika kakek itu masuk ke dalam kelenteng.

   Ketika ia mendengar kata-kata kakek itu bahwa dua orang gadis ini adalah anak murid Hoa-San-Pai, Sin Lee makin kaget dan menaruh perhatian. Kata ibunya, kongkongnya kakeknya adalah ketua dari Hoa-San-Pai! Jadi dua orang gadis ini adalah anak murid dari kakeknya! Kagum dia ketika menyaksikan keberanian dua orang gadis itu menghadapi kakek ini yang ia tidak tahu siapa adanya. Keheranan Sin Lee makin meningkat ketika ia melihat dua orang itu nekat melarikan diri keluar kelenteng dikejar oleh kakek itu dan mendengar ucapan Hui Cu yang hendak membujuk kakek itu agar jangan mengganggu mereka karena mereka adalah keponakan-keponakan dari Tan Beng San dan hendak pergi ke Thai-San! Mendengar ini, Sin Lee mendapat pikiran baik sekali. Ia harus menolong dua orang gadis itu karena mereka adalah anak murid Hoa-San-Pai, berarti anak murid kakeknya pula,

   Dan selain itu, mereka itu bisa menjadi perantara agar ia dapat naik ke Thai-San tanpa banyak rintangan, mencari Tan Beng San dan menangkapnya! Inikah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Sin Lee menyerang kakek itu dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat sekali. Ia menjadi gembira dan sekiranya ia tidak mempunyai maksud menolong dua orang gadis itu, ingin ia menguji kepandaiannya dan melawan kakek itu sampai puas. Akan tetapi keinginannya ini buyar ketika ia mendengar suara melengking dari jauh dan tahu bahwa kakek ini mempunyai pembantu yang sama lihainya, maka cepat ia menyambar Hui Cu dan dibawa lari dari tempat itu. Daripada tidak menolong sama sekali, lumayan juga dapat menolong seorang di antara kedua murid Hoa-San-Pai itu.

   Hui Cu mengalami kekagetannya ketika tahu-tahu ia dibawa lari seperti terbang oleh seorang laki-laki yang tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak tahu apakah orang ini lawan ataukah kawan, namun dalam pondongan orang ini ia sama sekali tak dapat bergerak. Sin Lee berlari terus cepat-cepat karena ia tidak ingin kakek itu bersama pembantunya mengejarnya. Andaikata ia tidak hendak menolong orang, tentu saja ia tidak takut, akan tetapi dengan adanya gadis yang ditolongnya ini, tentu takkan leluasa ia bergerak dan akhirnya gadis inipun akan tertawan pula. Sampai malam terganti pagi Sin Lee masih terus berlari keluar hutan. Ketika Hui Cu mendapat kesempatan memandang wajah pemondongnya di antara kesuraman cuaca fajar, gadis ini melihat wajah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Hatinya berdebar penuh kekuatiran, terutama sekali kalau ia teringat akan nasib Li Eng di tengah kakek yang menyeramkan itu.

   "Kau siapakah. Kawan ataukah lawan? Ke mana kau membawaku pergi?"

   Akhirnya ia tak dapat menguasai hatinya, bertanya.

   Sin Lee juga kaget. Ia tadi berlari sambil termenung memikirkan apa yang telah ia lakukan. Selama hidup baru kali ini ia memondong wanita, jangankan memondong, biasanya bercakap-cakap atau berdekatanpun belum pernah! Benar-benar pengalaman yang membikin ia bingung dan mendebarkan jantungnya. Ia sampai kaget mendengar suara halus di pinggir kepalanya itu yang menyeret ia kembali kepada kesadarannya. Segera ia, berhenti berlari dan menurunkan gadis itu dari pondongannya, lalu memandang dengan muka merah. Dadanya makin berdebar tidak karuan ketika ia menatap wajah yang cantik manis, penuh ketenangan dan keberanian, apalagi ketika ia bertemu pandang dengan sepasang mata bening yang memandang kepadanya penuh selidik, seakan-akan sinar mata gadis itu mampu menembus dada menjenguk isi hati.

   "Eh... maaf... aku bukanlah kawan bukan pula lawan. Tapi... aku harus menyelamatkan Nona dari tangan kakek iblis itu,"

   Katanya agak gugup. Hui Cu cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat.

   "Banyak terima kasih atas pertolongan Saudara, akan tetapi... ah, mengapa Saudara kepalang-tanggung menolong kami? Apa artinya aku dapat bebas kalau adikku masih di sana? Sekali lagi terima kasih dan selamat tinggal."

   Hui Cu lalu membalikkan tubuhnya dan lari kembali ke arah hutan.

   "Eh, Nona... mau ke manakah kau?"

   "Ke mana lagi kalau tidak kembali ke sana? Aku harus menolong adikku!"

   Jawab Hui Cu tanpa mengurangi kecepatannya berlari. Pemuda itu melompat dan cepat mengejarnya. Mereka kini lari berendeng.

   "Apa kau gila? Kakek itu lihai sekali, kau akan ditawannya kembali."

   "Jangankan ditawan, biar harus berkorban nyawa, aku rela untuk menolong adikku. Kami berdua berangkat bersama, harus pulang bersama atau mati bersama."

   Sinar mata pemuda itu membayangkan kekaguman besar.

   "Kau hebat, Nona. Inilah namanya setia kawan. Dan ilmu lari cepatmupun boleh juga."

   Senang hati Hui Cu dipuji oleh pemuda penolongnya yang ia tahu amat tinggi kepandaiannya itu.

   "Ah, mana bisa dibandingkan dengan kau?"

   Ia melirik, justeru Sin Leepun mengerling. Dua pasang mata bertemu dalam kerlingan, dua buah mulut tersenyum dan sekaligus dua buah muka para remaja itu menjadi merah, jantung mereka berdetak liar. Mereka berlari terus tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.

   "Eh, kemana jalannya? Aku bingung, tidak ingat lagi..."

   Kata Hui Cu. Malam tadi ia dipondong, tentu saja tidak tahu jalan. Pemuda itu tersenyum lalu berkata singkat,

   "Kau ikutilah aku!"

   Lalu ia membelok dan memasuki hutan. Sin Lee sengaja tidak mau mengambil jalan semalam karena ia masih kuatir kalau-kalau bertemu dengan para pengejarnya. Ia kuatir kalau-kalau gadis yang luar biasa ini akan tertawan pula oleh lawan-lawan yang amat sakti itu. Namun ia mengambil jalan yang terdekat menuju ke tengah hutan di mana terdapat kelenteng tua itu, Ketika kelenteng itu sudah tampak, Sin Lee menahan Hui Cu.

   "Nona, kau bersembunyilah di sini. Biar aku pergi menyelidiki ke sana dan kalau ada kesempatan, akan kucoba rampas adikmu itu."

   Hui Cu maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu penolongnya ini melawan kakek yang sakti itu, maka ia mengangguk dan memandang kepada Sin Lee dengan mesra, penuh pernyataan syukur dan terima kasih. Jantung pemuda ini serasa berloncatan ketika ia melihat pandang mata itu, dan dengan hati senang sekali mulailah ia menyelinap dan menyusup ke dalam semak-semak, berloncatan di antara pohon-pohon mendekati kelenteng. Dari jauh Hui Cu memandang dengan kagum karena gerakan Sin Lee memang luar biasa sekali gesitnya, kadang-kadang pemuda itu melayang ke atas pohon seperti seekor Burung garuda saja sikapnya. Tak lama kemudian, Sin Lee sudah kembali ke depan Hui Cu. Wajah pemuda ini kelihatan kecewa dan suaranya membayangkan kekecewaan pula ketika ia berkata,

   "Nona, aku tidak melihat seorangpun di antara mereka di sana. Kelenteng itu kosong sama sekali."

   Wajah Hui Cu seketika menjadi pucat dan dengan isak tertahan gadis ini melompat dan lari menuju kelenteng itu, diikuti dari belakang oleh Sin Lee. Hui Cu menyerbu ke dalam kelenteng, mencari ke depan, ke belakang sambil memanggil-manggil nama Li Eng, namun sia-sia belaka, di situ sunyi tidak terdapat orang yang dicarinya, bahkan bekasnyapun tidak nampak.

   "Eng-moi... aduh Eng-moi... bagaimana nasibmu...?"

   Hui Cu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis keras-keras, namun dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangan yang membasah tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menangis sedih sekali. Akhirnya Hui Cu dapat menguasai perasaannya dan ia bangun berdiri, mengeringkan air mata yang membasahi pipinya, memandang kepada Sin Lee dengan sedih lalu berkata sambil membanting kaki,

   "Celaka sekali, kemana aku harus mencari Eng-moi? Ah, kalau dia sampai kena celaka, bagaimana aku harus bicara dengan Paman dan Bibi?"

   Sin Lee mengerutkan keningnya tanda bahwa ia ikut berpikir keras. Ia mengandung maksud hati hendak mempergunakan anak murid Hoa-San-Pai yang mengaku sebagai keponakan Tan Beng San ini untuk memaksa musuh besar ibunya itu memenuhi permintaannya, yaitu pergi menghadap ibunya di Lu-Liang-San. Diam-diam ia tadinya hendak menjadikan gadis ini sebagai tawanannya untuk memaksa Tan Beng San. Akan tetapi satelah ia melihat wajah Hui Cu dan melihat keadaan gadis ini, entah bagaimana timbul perasaan kasihan dalam hatinya.

   "Nona, menyesal sekali malam tadi aku tidak mampu menolong adikmu. Jadi dia itu anak pamanmu? Hemm, agaknya dia dibawa pergi oleh kakek Siluman itu. Kalau kau bisa beritahukan kepadaku siapa adanya kakek iblis itu, kiranya aku suka untuk membantumu mengejarnya dan merampas kembali adik misanmu. Siapakah kakek itu?"

   "Aku sendiri tidak tahu."

   Hui Cu menarik napas panjang, bingung sekali tampaknya.

   "Ah... benar-benar nasib kami buruk Paman Hong masih belum kuketahui bagaimana nasibnya di tangan Pangeran jahat itu, sekarang Adik Eng terculik oleh kakek iblis pula..."

   "Paman Hong siapakah?"

   Karena Sin Lee, dianggapnya satu-satunya orang yang pada saat itu boleh ia ajak bicara, dengan singkat Hui Cu lalu menceritakan pengalamannya, yaitu semenjak ia dan Li Eng turun dari Hoa-San dengan tujuan pergi ke Thai-San menghadiri pesta upacara pendirian Partai Thai-San-Pai, mewakili Hoa-San-Pai. Kemudian di tengah jalan bertemu dengan Kwa Kun Hong, paman seperguruan mereka dan melanjutkan perjalanan dengan singgah ke Kota Raja. Diceritakannya pula undangan Pangeran Kian Bun Ti yang mengakibatkan mereka ditahan karena menolak pemberian anugerah.

   "Aku dan Adik Eng dipisahkan dari Paman Hong, kemudian pada malam hari itu kakek iblis merampas kami dari tempat tahanan di Istana Kembang, lalu kakek itu membawa kami ke kelenteng ini. kemudian kau datang menolongku."

   Sin Lee tertarik sekali, terutama mendengar tentang maksud gadis ini pergi ke Thai-San untuk memberi selamat kepada Tan Beng San. Ingin ia bertanya lebih jelas tentang ini, akan tetapi Sin Lee adalah seorang yang cerdik. Ia tidak mau mengutarakan rahasia hatinya dan ia berkata heran,

   "Aneh sekali kakek iblis itu. Mengapa dia begitu benci kepada kau dan adik misanmu, Nona? Apakah di antara dia dan kalian ada permusuhan?"

   Hui Cu menggeleng kepalanya, akan tetapi entah bagaimana, ia menaruh kepercayaan besar kepada pemuda yang telah menolongnya ini, maka ia berkata secara terus terang,

   "Melihat sikap dan mendengar bicaranya, dia amat membenci Hoa-San-Pai, apalagi anak murid Hoa-San-Pai yang wanita. Agaknya kakek itu mengandung sakit hati yang hebat sekali terhadap seorang wanita anak murid Hoa-San-Pai."

   Ia mengangguk-angguk untuk meyakinkan dugaannya. Jantung Sin Lee berdebar.

   "Siapakah dia anak murid wanita Hoa-San-Pai yang dapat membuat sakit hati seorang kakek begitu lihai?"

   "Aku sendiripun tidak tahu, akan tetapi aku dapat menduga... hemmm, tidak bisa lain, kalau ada tokoh kang-ouw seperti kakek itu bisa sakit hati terhadap murid wanita Hoa-San-Pai, tentulah... dia siapa lagi?"

   "Dia... siapakah, Nona? Atau... barangkali sebagai orang luar aku tidak berhak mengetahui?"

   Mendengar suara pemuda itu mengandung kekecewaan, hati Hui Cu menjadi tak enak. Tidak apa diberi tahu, pikirnya.

   "Menurut dugaanku, murid wanita yang banyak musuhnya dari Hoa-San-Pai adalah bibi guruku sendiri, namanya Hong, she Kwa, entah di mana sekarang..."

   

Memburu Iblis Karya Sriwidjono Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini