Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 23


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Kami bermusuhan dengan Tan Beng San Ketua Thai-San-Pai ada sangkutan apakah denganmu? Kau siapa?"

   Tanya seorang di antara mereka, yang tertua. Pemuda itu tersenyum mengejek, matanya berkilat.

   "Bukankah kalian tadi menganggap aku anak murid Thai-San-Pai? Nah, aku memang murid Thai-San-Pai. Kalian ini monyet-monyet kurus memiliki kemampuan apakah berani bermusuhan dengan Ketua Thai-San-Pai? Ih, benar-benar tak tahu diri! Bercerminlah lebih dulu dan lihat, apakah monyet-monyet macam kalian ini cukup patut untuk mengganggu Thai-San-Pai!"

   Kemarahan Hui-Liong Sam-Heng-Te tak dapat mereka kendalikan lagi. Sekali bergerak, mereka telah mencabut pedang mereka yang tajam berkilauan. Si Pemuda tetap tersenyum-senyum tenang, seperti seorang tua melihat kenakalan tiga orang bocah. Tiba-tiba tiga orang kurus itu menggerakkan pedang dan berpencar mengurung pemuda itu dari tiga jurusan. Berbareng mereka memekik dan pedang mereka berkelebat menyerang. Pemuda itu berkelebat dan tiga serangan tadi mengenai tempat kosong.

   "Eh, eh, kalian menggunakan jurus-jurus dari Kun-Lun-Pai!"

   Pemuda itu berseru. Tiga orang itu tertegun dan saling pandang, karena herannya menunda penyerangan mereka.

   "Hemm, lucu benar. Melakukan jurus-jurus Kun-Lun Kiam-Hoat saja kalian masih belum becus, sudah menyerang aku. Hi-hi, melihat tingkat, kalian ini lebih patut menyebut kakek guru kepadaku!"

   "Bocah sombong, kau tahu apa tentang Kun-Lun Kiam-Hoat?"

   Teriak orang yang termuda.

   "Eh, kalian tidak percaya? Nih, lihat!"

   Pemuda itu memungut sebatang ranting kering dan memegangnya di tangan kanan seperti sebatang pedang.

   "Kalian tadi menggunakan jurus Iblis Menukar Bayangan, yang seorang lagi menyerang dengan gerakan Burung Sakti Membuka Sayap, dan yang ke tiga dengan jurus Ayam Emas Mematuk Gabah. Bukankah begitu? Nah, jurus-jurus yang kalian mainkan tadi salah semua, bukan ilmu Kun-Lun yang aseli, melainkan sudah campur aduk seperti masakan Cap-Cai! Kalau tidak percaya, jurus-jurus kalian tadi dapat dipunahkan semua dengan ilmu pedang Kun-Lun-Pai yang bernama Ilmu Pedang Lima Serangkai."

   Tiga orang Naga Terbang itu saling pandang, lalu tertawa. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu ketika menyebutkan jurus-jurus yang mereka mainkan. Memang amat mengherankan bagaimana dalam keadaan diserang berbareng, selain dapat menyelamatkan diri, juga sekaligus pemuda itu dapat mengenal jurus-jurus mereka. Akan tetapi mendengar bahwa pemuda itu akan menggunakan Ilmu Pedang Lima Serangkai dari Kun-Lun-Pai, mereka mau tidak mau tertawa. Karena ilmu pedang yang disebutkan itu adalah ilmu pedang yang paling rendah dari Kun-Lun-Pai, merupakan dasar pelajaran bagi para murid yang akan belajar ilmu pedang. Mana dapat dipakai untuk menghadapi mereka? Biarpun mereka bukan murid-murid aseli dari Kun-Lun-Pai, namun ilmu pedang Kun-Lun-Pai yang tinggi telah mereka pelajari dan dicampur dengan ilmu-ilmu pedang lain.

   "Manusia sombong, kau agaknya sudah ingin mampus! Nah, sambutlah kami dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai! Keluarkan pedangmu,"

   Kata orang tertua dari ketiga Naga Terbang. Pemuda itu membolang-balingkan ranting di tangannya,

   "Menghadapi ilmu pedang Cap-Cai kalian itu untuk apa harus menggunakan pedang. Dengan ranting ini dan dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai, aku akan menghadapi kalian. Majulah!"

   Selama mereka hidup, tiga orang ini belum pernah dihina seperti sekarang. Mereka malu sekali kalau harus mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata ranting. Akan tetapi karena sikap pemuda itu benar-benar amat menghina, mereka tidak mempedulikan aturan-aturan di kalangan kang-ouw lagi dan serentak mereka menyerang, mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai. Bagaikan tiga ekor Naga terbang, pedang mereka berubah menjadi gulungan sinar panjang yang menyambar dari tiga jurusan ke arah pemuda itu.

   Alangkah besar keheranan mereka ketika pemuda itu benar-benar mainkan Ilmu Silat Pedang Lima Serangkai! Mereka menahan gelak ketawa mereka dan dengan sungguh-sungguh mereka menyerang untuk merobohkan pemuda sombong ini. Akan tetapi, ranting yang digerakkan secara lambat dan perlahan itu kiranya benar-benar dapat menyusup di antara pedang mereka sedemikian rupa dan mengancam jalan darah pergelangan tangan mereka bertiga! Tentu saja mereka tidak mau membiarkan jalan darah yang terpenting ini tertotok dan tidak pernah jurus serangan mereka dilanjutkan. Nampaknya memang lucu sekali. Tiap kali seorang di antara mereka menusuk atau membacok, sebelum serangan ini mengenai tubuh Si Pemuda, sudah buru-buru ditarik kembali oleh penyerangnya untuk diubah dengan jurus lain.

   "Ha-ha, lihat, bukankah ilmu pedang Cap-Cai kalian ini tidak ada gunanya sama sekali?"

   Pemuda ini masih dapat mengejek ketika ia melompat ke sana ke mari untuk memapaki setiap serangan dengan totokan-totokan yang betul-betul dilakukan sesuai dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Lima Serangkai! Tiga orang itu betul-betul dibikin bingung dan tidak mengerti. Akhirnya mereka penasaran, malu dan marah sekali, lalu melakukan serangan bertubi-tubi secara nekat dan lebih gencar. Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seruan panjang, ranting di tangannya berkelebat cepat sekali dan di lain saat ia sudah melompat keluar dari gelanggang pertempuran sambil tertawa-tawa. Kun Hong kagum bukan main, akan tetapi enam orang teman penjahat itu menjadi merah muka mereka melihat betapa Hui-Liong Sam-Heng-Te itu ternyata berdiri seperti patung, dalam sikap masing-masing, sikap orang bersilat.

   Mereka telah kaku tak dapat bergerak karena masing-masing telah kena ditotok oleh pemuda itu. Melihat hal ini, Kang Houw Si Twa-Ko melangkah maju mendekati tiga orang yang telah tertotok itu, lalu berseru tiga kali sambil menotok dengan dua jari tangannya. Seketika terbukalah jalan darah tiga orang yang segera mengeluh dan roboh terguling. Demikian hebatnya pengaruh totokan pemuda itu sehingga tubuh mereka terasa lemas dan baru beberapa lama kemudian mereka dapat berdiri kembali. Akan tetapi mereka sekarang seperti tiga ekor Naga yang sudah dicabuti kuku dan siungnya, tidak berani lagi mengeluarkan suara. Sementara itu, Si Pemuda dengan lagak sombong lalu berkata,

   "Eh, bagaimana sekarang? Apakah Lam-Thian Si-Houw juga hendak memperlihatkan kuku dan taringnya? Kalau begitu, majulah dan rasai kelihaian anak murid Thai-San-Pai sebelum kalian tak tahu diri berani naik ke Thai-San."

   Wajah Kang Houw menjadi merah. Ia merasa marah, penasaran, dan malu sekali. Benarkah pemuda ini anak murid Thai-San-Pai? Kalau hanya anak murid yang masih muda saja begini lihai, ah, kiranya takkan mungkin bergerak di Thai-San.

   "Tuan Muda, sebenarnya, siapakah kau?"

   "Hi-hik, sudah kalian tahu, anak murid Thai-San-Pai, mengapa tanya-tanya lagi?"

   Bi Houw Si Muka Tikus melangkah maju.

   "Twa-Ko, biarkanlah Si-Te mencoba-coba bocah ini."

   Twa-Konya mengangguk.

   "He-he, Si Muka Tikus yang suka merayap ke penginapan!"

   Seru Si Pemuda.

   "Apakah kehendakmu? Lebih baik kau ajak tiga orang saudaramu itu maju bersama, supaya segera beres urusan ini!"

   Bi Houw mencabut pedangnya yang ternyata adalah pedang pasangan yang berhiaskan benang-benang merah.

   "Bocah mulut besar, tuanmu saja sudah cukup untuk memenggal lehermu."

   Pemuda itu mengulur lehernya yang kecil panjang, seperti lagak seekor kura-kura.

   "Iihh, leher hanya sebuah hendak dipenggal? Habis ke mana mencari gantinya nanti? Jangan sembrono, tikus, jangan-jangan ekormu malah yang akan kau penggal sandiri."

   "Bangsat, lihat pedang!"

   Dua gulung sinar pedang menyambar ke arah pemuda itu yang berseru lucu,

   "Hayaaaa, ada tikus bermain Siang-Kiam (pedang pasangan). Jangan-jangan buntutmu sendiri yang akan putus!"

   Karena melihat betapa pemuda itu dengan mudah dapat menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedangnya. Bi Houw mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Mengagumkan sekali gerakan pemuda itu. Bagaikan sebuah, bayang-bayang saja, tubuhnya tak pernah terbabat pedang. Atau, lebih tepat seperti asap saja tubuhnya, selalu menyelinap di antara sinar pedang dengan gerakan seenaknya.

   "Awas, pedangmu beradu!"

   Pemuda itu berseru di antara bacokan-bacokan itu dan "Traaanggg!"

   Benar saja, dengan sentuhan-sentuhan dan sentilan di belakang telapak tangan Si Muka Tikus membuat pedang kanan Bi Houw itu menyeleweng dan membentur pedang kirinya sendiri.

   "Iihhh!"

   Bi Houw sampai melompat kaget atas kejadian yang luar biasa ini, namun ia tidak menghentikan serangannya, bahkan makin gencar ia membabat.

   "Awas, buntutmu putus!"

   Entah bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong balik dan membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main dan menahan gerakan tangannya itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah tidak mau menurut perintah hatinya sehingga...

   "Brettt"

   Kepalanya terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah gundul!

   "Heh-heh-heh, tikus gundul... tikus gundul...!"

   Bi Houw yang marah hendak, menubruk, dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha untuk menahan diri, namun tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus.

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang menahannya itu adalah sepasang pedangnya yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah menancap di atas tanah dan menahan tubuhnya yang menggelinding tadi! Dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya, Si Muka Tikus ini berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian ia hanya dapat memandang pemuda itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.

   "Bocah, kau benar-benar menghina orang!"

   Terdengar seruan dan orang ke tiga dari Lam-Thian Si-Houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, menerjang maju sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.

   "Eh, kau ini gembala bebek hendak berlagak? Lebih baik kakakmu yang matanya juling itu kau suruh maju!"

   Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya kearah orang ke dua yang berambut putih, bertubuh bongkok dan bermata juling.

   "Sombong rasakan cambukku!"

   Orang ke tiga yang bernama Teng Houw ini segera menyerang,

   Cambuknya mengeluarkan bunyi "tar-tar"

   Keras dan ujung cambuk bergerak-gerak menyambar di atas kepala pemuda itu, Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya mengerling ke arah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya ia maklum bahwa Si Pemegang Cambuk itu hanya membunyikan cambuknya dan mengamang-amangkan untuk menggertak saja. Melihat hal ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, ia tadinya merasa jengah untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah berapa banyak nyawa lawan direnggutnya. Kiranya pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum dan memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.

   "Awas senjata!"

   Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas. Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bcrgerak mendahului gerakan cambuk dan sedikitpun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Malah ia masih mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.

   "Hei mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu akan menjadi makin juling nanti kalau kau banyak menonton."

   Si Mata Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian. Akan tetapi tak lama kemudian, benar saja matanya menjadi makin juling ketika ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar-putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw. Orang ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka, ia hanya dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang membabi-buta, seakan-akan menyerang bayangan setan.

   Tiba-tiba terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha menbetot gagangnya namun makin dibetot makin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik! Kiranya dalam kegesitannya, pemuda itu tadi berhasil menyambar ujung cambuk dan melilitkannya di leher lawan sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar. Baru setelah Twa-Konya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan cambuknya sendiri. Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran dan gentar.

   "Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lam-Thian Si-Houw!"

   Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw, melangkah maju dengan Ruyung di tangan kanan. Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai Selatan. Ia sudah banyak pengalaman maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu. Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran terdahulu, diam-diam kakek juling ini dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang amat sakti. Diam-diam ia menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar namanya dan kelihaiannya.

   "Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah memiliki kepandaian sehebat itu. Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-San-Pai. Si Raja Pedang Ketua Thai-San-Pai itu apamukah?"

   Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan,

   "Eh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai menantumu? Apakah anak menantumu tidak juling seperti kau? Sudahlah, jangan banyak tanya cukup kukatakan kalau aku anak murid Thai-San-Pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak tapi tidak becus apa-apa, berani hendak mengacau Thai-San-Pai? Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dulu, murid kecil dari Thai-San-Pai!"

   Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu.

   Harus ia akui bahwa kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa biarpun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik Lweekang maupun Ginkangnya dari tingkat tinggi. Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya juga mata keranjang. Sudah dua kali ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-Taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang terhadap Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya. Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Ia melintangkan Ruyung di depan dadanya, lalu berkata,

   "Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahu siapa namamu? Kau sudah mengenal kami semua, memang kau memiliki mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?"

   Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi.

   "Orang tua, namaku tiada artinya bagimu. Kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan takkan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-San-Pai dan kalau kalian hendak mengganggu Thai-San-Pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu."

   Kakek juling itu mengangguk-angguk.

   "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan kepandaianmu. Marilah kau layani Ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kaupun akan bertangan kosong saja?"

   Pemuda itu sejenak meragu. Biarpun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kinipun ia merasa segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat kemenangan.

   "Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku, kakek juling."

   Ucapan ini benar-benar amat takabur karena keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan lebih banyak pengalamannya sehingga lebih patut kalau yang tua yang mengalah. Namun kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata,

   "Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku!"

   Baru saja habis ucapannya ini, Ruyung telah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang hebat, Ruyungnya yang berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawannya!

   "Bagus!"

   Pemuda itu berseru nyaring karena ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang "Berisi,"

   Jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka ia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang-kadang juga untuk balas menyerang.

   Anehnya, kedua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan cara bersilat yang amat janggal, aneh, dan membingungkan. Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan kelit, akan tetapi dengan sengit juga balas menyerang setiap kali mendapat kesempatan. Hebatnya tak pernah ada serangan lawan yang tidak dibalas, sambil mengelak atau mendorong Ruyung dari samping, tentu ia balas menyerang dengan pukulan atau tendangan. Berkali-kali kakek juling itu berseru memuji karena ternyata segera bahwa serangan balasan pemuda itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan Ruyungnya. Dan yang amat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu.

   Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan Ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan ia dapat mengenal ilmu silatnya. Hebat gerakan Ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu Ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya, mengancam diri pemuda ini dari segala jurusan. Melihat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benar-benar hebat, pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar Ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini.

   Betapapun tak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada Thai-San-Pai yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati Ayahnya, tentu saja ia tidak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. Di samping ini, iapun mempunyai kesan baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu. Dua hal inilah, yaitu membela Thai-San pai dan tidak membunuh lawan, merupakan penawar dari kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda ini. Banyak sudah ia melihat orang sombong, banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah ia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.

   Ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung Ruyung lawannya dan tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas berjungkir-balik dan ketika turun ia disambut hantaman Ruyung, kembali ia menotolkan ujung kaki pada Ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas. Pertunjukan ini hebat sekali sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji. Agaknya Si Mata Juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengah penuh semangat, ketika pemuda itu kembali melayang turun, Ruyungnya melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehingga tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!

   "Cringgg! Aduhhh...!"

   Tampak bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan Ruyungnya sapat ujungnya, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada di tangan kanannya! Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak saja untuk menangkis, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.

   "Lepas senjata! serunya dengan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah tangan Si Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Si Mata juling harus melepaskan Ruyungnya karena pedang lawan yang hebat itu telah berputar di sekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang Ruyung! Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Si Mata Juling dengan wajah pucat memandang, mulutnya berkata gagap,

   "Kau... kau apanya Si Raja Pedang...?"

   Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lam-Thian Si-Houw, yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek gemuk berperut gendut dengan muka seperti kanak-kanak. Agaknya desakan Ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat Si Pemuda harus mengerahkan kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakkan telinga,

   Kemudian tubuhnya melesat ke sana ke mari dan kedua tangannya mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat Si Pemegang Ruyung beberapa kali mengeluarkan seruan tertahan. Pada saat Si Mata Juling menghantamkan Ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu dengan gerakan yang amat ringan seperti Burung walet terbang, meloncat ke atas. Namun lawannya juga gesit sekali karena Ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki pemuda yang tubuhnya masih di udara itu! Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong Si Pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu. Biarpun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup malah.

   "Kau adalah orang pertama dari Lam-Thian Si-Houw. Nah, setelah bawahanmu kalah semua, apakah kaupun ingin coba-coba?"

   Si Gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas membayangkan kekaguman.

   "Hebat... hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kangouw, belum pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?"

   Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis akan tetapi matanya bergerak-gerak penuh kecerdikan.

   "Mengapa tidak berani? Kau adalah seorang ahli Lweekang, namun Thai-San-Pai tidak pernah gentar terhadap ahli Lweekang!"

   "Bagus, kau boleh coba menyambut ini!"

   Kakek gendut itu lalu memukul dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si Pemuda. Melihat ini pemuda itu dengan berani sekali lalu menyambut pukulan dengan tangan kanannya. Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru celaka, karena ia maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga Lweekang yang amat lihai, bagaimana pemuda itu demikian bodoh menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak oleh Si Gemuk?

   Terang bahwa Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu maka ia sengaja mengajak adu tenaga Lweekang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar disambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel tangan kirinya, kemudian datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat mempergunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat tangan Kun Hong. Begitu kedua telapak tangannya itu bertemu, tubuh keduanya tergetar, akan tetapi bukan main kaget hati Si Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas, namun yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia maklum bahwa pemuda itu lihai karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan menyerah saja di "Tempel."

   Inilah yang ia kehendaki.

   Sambil tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat, sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat cambuk. Si Gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk bergulung-gulung di atas kepala seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya amat cekatan dan tangkas tidak kalah dengan gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...

   "Bretttt"

   Ujung cambuknya putus.

   "Ayaaaa!"

   Si Gemuk mengerahkan tenaga mendorong sehingga pelan-pelan kedua tangan itu terlepas, dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk membebaskan diri dari tenaga Lweekang yang membalik. Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara. Sama-sama mereka membebaskan diri dari penyerangan tenaga Lweekangnya yang membalik, namun tentu saja gerakan pemuda itu jauh lebih indah dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang amat manisnya. Si Gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua dan pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrak pertama ini Si Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.

   "Twa-Ko, buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!"

   Teriak Bi Houw Si Muka Tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri, juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.

   "Ha-ha, sudah sejak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman pedangku!"

   Kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar. Merah muka Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, ia merasa tepukul dan malu sekali. Nama mereka sembilan orang laki-laki gagah yang namanya tidak asing lagl di dunia persilatan, hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak? Akan tetapi, kalau pemuda in! tidak dibinasakan, tidak saja usaha mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan membentak,

   "Orang muda, biarpun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang tentu kau tak dapat keluar dengan selamat!"

   Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya.

   "Siapa takut kepada kalian? Kalau aku tidak mampu merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-San-Pai!"

   Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, benar-benar keadaannya berbahaya. Biarpun seorang melawan seorang dia telah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Selain ini, kalau dikeroyok, kiranya pemuda itu tidak akan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah, Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru keras,

   "Tahan dulu, jangan berkelahi!!"

   Semua orang menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran. Terutama sekali dua orang saudara Kam yang tinggi besar dan pemuda itu, yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.

   "Kau siapa? Mau apa?"

   Kang Houw bertanya dengan suara bentakan. Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batinnya seperti yang ia pelajari dari kitab pemberian Sin-Eng-Cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata,

   "Kalian ini sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan enam? Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau pergi saja sebelum kalian mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!"

   Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Akan tetapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua saudara Kam menggigil, bibirnya membiru. Tiga saudara Hui-Liong Sam-Heng-Te memandang dengan mata melotot seakan-akan hendak keluar biji mata mereka dari ruangnya. Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri seperti patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk "mengatur"

   Matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang makin menjuling. Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, lalu ia berteriak,

   "Siluman...!"

   "Iblis...,!"

   "Setan! Lebih baik pergi."

   "Lari...!"

   Teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi. Berserabutan mereka lari. Ada yang mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari. Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis iapun menengok ke belakangnya. Mana Siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang ke sana ke mari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.

   "Kenapa... kenapa mereka itu...?"

   Pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap keheranannya, melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.

   "Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?"

   Jawab Kun Hong, nadanya mengejek. Pemuda itu matanya berkilat, marah.

   "Jangan main-main kau!"

   "Eh, siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam? Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?"

   "Siapa sudi jadi tontonan orang!"

   "Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang."

   "Eh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?"

   "Siapa yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apalagi mengandalkan kepandaian. Ah, aku tidak berkepandaian apa-apa."

   Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya dlangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya kembali. Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa artinya gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempilingnya itu.

   "Kau mau pukul lagi? Boleh, pukullah. Memang kau manusia sombong, manja dan mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!"

   Mata pemuda itu makin membara.

   "Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan Pek-Hu! Kau berlagak pintar, memberi nasihat Tan Pek-Hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu."

   Dada Kun Hong terasa panas hendak meledak.

   "Kau memang anak jahat. Heran aku mengapa Thai-San-Pai mempunyai murid begini jahat."

   Pemuda itu tiba-tiba membentak,

   "He, kenapa kau mengintai aku? Mengapa kau mengikuti aku?"

   "Setan, siapa mengintai? Siapa mengikuti? Aku hendak ke Thai-San, apa urusannya dengan kau?"

   Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tidak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula mengapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.

   "Kau hendak ke Thai-San? Mau apa ke sana? Apakah mau mengaco seperti sembilan ekor tikus tadi?"

   "Jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-San-Pai adalah sahabat yang amat baik dari Ayah, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus apa-apa."

   Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya.

   "Kau anak siapa, sih? Gampang saja mengaku-aku sahabat Ketua Thai-San-Pai."

   Mengkal benar hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia segera menjawab,

   "Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-San-Pai."

   Pemuda itu mendengus,

   "Siapa tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, kalau mereka anak Hoa-San-Pai, kaupun tentu orang Hoa-San-Pai. Anehnya kau tidak belajar silat malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong."

   "Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanyalah anak murid Thai-San-Pai biasa saja, walaupun kepandaianmu tinggi. Hemm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar tentang sepak-terjang muridnya seperti kau ini! Pemuda itu nampak terkejut, terbelalak memandang Kun Hong.

   "Heee! Apa kau mau mengadu kepada... Ketua Thai-San-Pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat begitu? Siapa Ayahmu?"

   "Ayah hanyalah Ketua Hoa-San-Pai."

   Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tidak menyembunyikan kekagetanhya ketika bertanya,

   "Apa? Kau... kau anak dari... Kwa Tin Siong Lo-Enghiong, yang berjuluk Hoa-San It-Kiam, ketua dari Hoa-San-Pai?"

   Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, ia akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga.

   "Betul, Kwa Tin Siong adalah Ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thai-San."

   Pemuda itu makin panik.

   "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada... kepada pamanmu itu?"

   "Hemm, kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-San-Pai dan kau menjadi murid Paman Tan Beng San?"

   "Betul,"

   Suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk.

   "Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?"

   "Tentang apa? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang..."

   Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan pada pipinya. Pemuda itu mengangkat muka memandang.

   "Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar pipimu?"

   "Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu yang takabur. Tak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San."

   "Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"

   "Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya."

   Hening sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dan puas. Rasakan kau sekarang anak manja. Kau ketakutan sekarang! Kemudian pemuda itu mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan memohon,

   "Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!"

   Kun Hong tersenyum mengejek kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.

   "Mengapa tidak? Orang seperti kau ini patut diberi hajaran, biar kulihat nanti betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!"

   Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.

   "Kakak yang baik..., jangan kau adukan aku..."

   Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya. Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis dihembus angin? Akan tetapi mulutnya hanya mendengus,

   "Huhh...!"

   "Kakak yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih... kau boleh tampar pipiku sebagai pembalasan..."

   Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus itu untuk ditampar. Kembali ia menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.

   "Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!"

   Ia masih memaksa diri berkata ketus, Pemuda itu memandang penuh pertanyaan.

   "Jadi... kau masih hendak melaporkan aku...?"

   "Hemmm..."

   Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.

   "Twa-Ko (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam lagi?"

   "Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, eh... sebetulnya, eh... tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan."

   Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar bocah ini! Pemuda itu dengan girang lalu menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya kembali, seperti sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu.

   "Ah, Twa-Ko yang baik, terima kasih. Kau. tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu, bukan?"

   Mau tak mau tertawa juga Kun Hong, biarpun tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini benar-benar masih bocah. Heran sekali, sedemikian tinggi ilmu silatnya.

   "Tidak, siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut."

   "Aduh, terima kasih. Kau berjanji?"

   "Janji!"

   "Sumpah?"

   Kun Hong cemberut.

   "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah bersumpah!"

   "Ah, Twa-Ko, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!"

   Tiba-tiba ia melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar. Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa sebelum ini ia amat benci, ya amat membencinya sehingga suka ia memukulnya? Ia benar-benar tidak mengerti.

   "Eh, kau tadi bilang siapa namamu, Twa-Ko?"

   "Aku tidak pernah bilang siapa namaku."

   "Ah, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twa-Ko? Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?"

   "Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu."

   Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya kalau tertawa.

   "Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan, siapa namamu, Twa-Ko?"

   "Namaku Kun Hong."

   "Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-Ko (Kakak Hong)."

   Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu tidak menarik perhatian Kun Hong, yang tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.

   "Hong-Ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?"

   "Siapa tahu mereka di mana? Yang menculik mereka adalah Song-Bun-Kwi, aku mendengar sendiri iblis itu mengaku di depan para pengawal Istana. Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong mereka."

   Pemuda itu nampak terkejut sekali.

   "Song-Bun-Kwi...? Ah, sudah kuduga...! Celaka, dia itu lihai sekali... apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-Bun-Kwi?"

   "Siapa membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-Bun-Kwi mengaku di depan para pengawal Istana, di tempat kediaman Ngo-Lian-Kauw, kemudian Song-Bun-Kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-Beng Yok-Mo dan Ngo-Lian-Kauwcu. Song-Bun-Kwi lari menyeret aku, lalu ia bertemu dengan iblis yang bernama Siauw-Ong-Kwi, mereka bertempur dan aku lari lalu... bertemu dengan kau."

   Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.

   "Aneh, benar, Hong-Ko. Kau putera Ketua Hoa-San-Pai, tapi tidak pandai silat. Kau tidak pandai silat, akan tetapi bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-Bun-Kwi, Toat-Beng Yok-Mo, Ngo-Lian-Kauwcu dan lain-lain. Hebat!"

   Pemuda ini menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi "ck-ck-ck"

   Tanda bahwa ia benar-benar keheranan. Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang makin ia kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ah, alangkah cocoknya dengan Li Eng!

   "Hong-Ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu? Siapa sih mereka itu? Siapa nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka."

   Kembali terasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat ia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan agar pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.

   "Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee. Seorang lagi bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok."

   Wajah Cui Bi makin berseri,

   "Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong Cia Hui Gan?"

   "Betul, karena itu kau tidak boleh main-main."

   Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika ia berkata, agaknya sengaja memanas hati,

   "Hong-Ko, apakah... apakah mereka itu... eh, cantik jelita?"

   Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak,

   "Kau tanya-tanya mau apa sih?"

   Cui Bi tertawa.

   "Ah, tanya saja apa salahnya? Hong-Ko, kau mengadakan perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?"

   "Kau bilang apa??"

   Kun Hong mendelik marah.

   "Hissss, jangan marah, Twa-Ko. Aku hanya main-main. Kok gampang sekali marah. Pemarah benar kau, ya?"

   "Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?"

   "Twa-Ko, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara seperguruan? Mareka itu, apalagi... Nona Hui Cu. itu, terhitung masih saudara seperguruanku karena iapun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri rnereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik? Bagairnana kepandaian mereka?"

   Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan?

   "Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia."

   "Cantik benarkah dia?"

   "Cantik, seperti bidadari, seperti... Seperti bunga mawar hutan."

   Cui Bi tertawa geli.

   "Aha, kiranya kau amat romantis, Twa-Ko. Pandai mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?"

   Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang kalah ia bicara dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.

   "Dia tidak hanya cantik, tapi jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifat-sifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan."

   "Aih-aih... hebat sekali. Dan kepandaiannya?"

   Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Wah, jangan tanya tentang kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-San-Pai pada saat ini."

   Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika bertanya,

   "Aneh sekali, Twa-Ko. Bukankah Ayahmu yang terpandai?"

   Kun Hong menggeleng kepala.

   "Bukan, yang terpandai adalah Ayah Bunda Li Eng itulah. Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-San-Pai yang aseli dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari Ayah Bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah segala-galanya dengan dia."

   Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran.

   "Hemm, hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!"

   Ketlka ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya,

   "Dan bagaimana dengan... Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah dia juga cantik dan pandai? Seperti... bunga apakah dia?"

   "Dia? Hemm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi diapun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-san-pai, diapun mempelajari ilmu pedang dari ibunya."

   "Hee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari? Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda... agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?"

   "Hush, kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!"

   "Betulkah?"

   Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.

   "Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja."

   Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini.

   "Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat pergi ke Thai-San menjumpai Suhu, kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-Bun-Kwi, biar ada sepuluh Song-Bun-Kwi tak perlu takut lagi!"

   Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu, diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas. Ucapan terakhir tentang Suhunya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar. Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa. Pemuda aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnyapun aneh. Hanya saja, masih begini muda...!

   Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu amat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di situ. Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar pemuda ini bicara, ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walaupun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah dipelajarinya. Tentu saja Kun Hong tak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak ia mengerti ilmu silat.

   "Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan,"

   Demikian katanya.

   "Hong-Ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?"

   Sambil duduk mengaso di bawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya. Kun Hong hanya menggeleng kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh dan iapun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan. Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras,

   "Nah, inilah mereka!"

   Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.

   "Celaka, Hong-Ko... awas..."

   Terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi. Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung, cepat ia menekan hawa murni dari pusar ke atas mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap.

   Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya. Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri di situ. Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-Thian Si-Houw yang gemuk pendek bermuka kanak-kanak, orang ke dua adalah seorang Hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga adalah... Toat-Beng Yok-Mo sendiri!

   Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka menyerang dengan obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya. Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu Lweekang pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia dapat mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi. Hanya tadi karena keheranan melihat Kun Hong juga tidak apa-apa dan bahkan dapat menolongnya, timbul keinginan hati pemuda ini untuk mencoba Kun Hong yang berkali-kali menyatakan tidak ada kepandaian. Ia sengaja pura-pura pingsan sambil diam-diam siap sedia melindungi Kun Hong. Ingin ia melihat bagaimana Kun Hong akan menghadapi tiga orang lawan berat ini.

   "Susiok, (Paman Guru), inilah pemuda Thai-San-Pai itu. Lebih baik kubinasakan saja agar jangan berkepanjangan!"

   Kata Si Muka Kanak-kanak kepada Hwesio itu. Tertegun hati Kun Hong mendengar bahwa Hwesio itu masih paman guru Kang Houw. Murid keponakannya saja sudah demikian lihai, apalagi paman gurunya. Dan di situ masih ada Toat-Beng Yok-Mo yang dia ketahui bagaimana jahat wataknya. Namun melihat bahwa paman gurunya itu adalah seorang Pendeta Buddha, timbul harapannya.

   "Jangan main bunuh!"

   Kun Hong berseru sambil mengangkat tangannya ke atas.

   "Lo-suhu, katakanlah kepada murid keponakanmu itu bahwa membunuh dilarang dalam agama."

   Akan tetapi Hwesio itu tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi kuning, malah mengangguk ke arah Kang Houw. Si Gendut ini lalu meloloskan sabuk yang merupakan cambuk senjatanya, melompat ke arah Cui Bi.

   "He, tidak boleh kau membunuh dia! Selama aku masih hidup dan berada di sini, tidak boleh kau, membunuh orang! Lo-suhu, kau seorang Hwesio bukankah membunuh orang itu bertentangan keras dengan pelajaran agamamu?"

   Melihat dengan nekat Kun Hong menghadangnya, Kang Houw menjadi marah.

   "Kau ini kutu busuk jembel, mau apa petentang-petenteng? Lebih baik kau kubunuh lebih dulu agar jangan banyak rewel!"

   "Hemm, Kang Houw, alangkah jahat kau! Apa kau kira aku takut kepadamu? Lihat baik-baik, aku Kwa Kun Hong berjanji takkan lari dan sanggup menerima pukulanmu seratus kali. Bagaimana? Kalau aku lari atau mampus sebelum kau pukul seratus kali, barulah kau boleh mengganggu temanku ini."

   Diam-diam Cui Bi memaki pemuda yang dianggapnya tolol dan gila itu. Andaikata berkepandaian juga, mana dapat menahan pukulan seorang ahli Lweekang sampai seratus kali? Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu berbuat demikian, penuh keberanian dan pengorbanan, untuk melindunginya, tentu ia sudah meloncat bangun dan memaki kebodohannya. Diam-diam pemuda ini mengintai dan siap untuk menolong kalau Kun Hong terancam bahaya. Ia tidak segera turun tangan karena ingin benar ia melihat apa yang akan dilakukan Kun Hong selanjutnya sebagai akibat dari tantangan yang tak masuk di akal terhadap Kang Houw yang lihai itu. Orang she Kang itu tertawa bergelak sampai tubuhnya yang gendut itu bergerak-gerak semua.

   "Ha-ha-ha! Betulkah janjimu ini? Aku akan menggebukmu dengan cambukku ini seratus kali dan kau takkan lari dan menerima begitu saja?"

   "Siapa akan membohongimu? Kau boleh menggebuk. terus-menerus sampai seratus kali jangan berhenti."

   "Bagus, kalau kau mampus, dagingmu akan hancur lebur, tak usah ribut dikubur lagi. Kalau sampai seratus kali kau benar-benar tidak apa-apa, biarlah aku Kang Houw mengaku kalah dan berlutut seratus kali kepadamu. Ha-ha-ha!"

   

Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini