Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 28


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



Beng San mengerahkan tenaga melawan totokan ini, namun karena hantaman pada dadanya oleh anak panah Kwa Hong tadi melumpuhkan sebagian tenaganya, maka totokan ini masih membawa pengaruh hebat, ia menjadi pening dan muntahkan darah segar. Pada saat yang amat berbahaya itu, datang lagi dorongan pukulan Pak-Thian Locu yang mengakibatkan angin pukulan mendorong dadanya. Beng San tak dapat menahan dan roboh telentang. Baiknya tubuhnya memang kuat sekali maka ketika terjengkang ini ia menahan napas dan menyalurkan hawa murni dalam tubuh untuk melawan pengaruh tiga pukulan hebat itu, pada dada, pundak dekat leher dan ulu hati. Sekali lagi ia muntahkan darah segar, wajahnya menjadi pucat dan ia melompat sambil memutar pedangnya sekaligus menangkis hujan senjata.

   "Curang...!"

   Serunya, kini kemarahan membuat uap putih mengebul keluar dari ubun-ubun kepalanya. Kemarahan membuat gerakannya seperti seekor Naga terbang, ia menerjang maju dan terdengar Hek-Hwa Kui-Bo menjerit sambil melompat rnundur, selampainya putus terbabat pedang dan lengannya masih tergores ujung pedang sehingga mengeluarkan darah. Juga para pengeroyok lain terpaksa melangkah mundur setindak saking hebatnya daya serang Beng San ini. Beng San hendak melompat ke arah Giam Kin lagi, akan tetapi para pengeroyoknya sudah menghalanginya pula.

   "Giam Kin, lepaskan anakku! Lepaskan dan aku akan menyerah!"

   Bentak Beng San suaranya menggeledek.

   "Ha-ha-ha, jangan lepaskan, orang ini harus dibikin mampus bersama anaknya!"

   Tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu Song-Bun-Kwi telah muncul di situ bersama Kong Bu. Datang-datang kakek ini menerjang sambil menggerakkan pedangnya yang mengaung hebat, menggunakan Ilmu Silat Pedang Yang-Sin Kiam-Sut yang ganas. Melihat datangnya Song-Bun-Kwi, para pengeroyok timbul kembali semangat mereka dan pengeroyokan makin hebat.

   "Hi-hik, dasar dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, Beng San!"

   Kwa Hong bersorak dan kembali ia menganjurkan puteranya.

   "Sin Lee, hayo kau ambil bagian dalam pesta ini!"

   Akan tetapi Sin Lee berdiri tegak dengan wajah pucat, mata membelalak dan tubuh gemetar.

   Muak ia melihat pengeroyokan itu dan makin lama makin bangga dan kagumlah ia menyaksikan sepak terjang orang yang menjadi Ayahnya ini. Adapun Kong Bu ketika sampai di tempat itu, juga berdiri mematung dengan mata seakan-akan mengeluarkan api. Ia tidak peduli mellhat kakeknya sudah menyerang mati-matian dan melihat jalannya pertempuran dengan hati tidak karuan. Sedih ia melihat orang yang menjadi Ayahnya itu dikeroyok sedemikian rupa, mau membela, ia segan kepada kakeknya. Biarpun telah terluka di tiga tempat dan pengeroyoknya bertambah seorang sehebat Song-Bun-Kwi, namun permainan pedang Im-Yang Sin Kiam-Sut dari Beng San benar-benar hebat sekali sehingga ia dapat melindungi tubuhnya dari hujan senjata itu. Akan tetapi, kembali terdengar suara Giam Kin tertawa,

   "Ha-ha-ha, Beng San, lihatlah Kau masih mau melawan terus? Lihat ini anakmu!"

   Setelah berkata demikian, tangan kirinya yang berupa cakar mengerikan itu bergerak dan "Brettt"

   Baju luar yang dipakai Cui Bi terobek lebar, memperlihatkan baju dalamnya yang berwarna merah muda. Gelap rasanya mata Beng San.

   "Giam Kin keparat...! Lepaskan anakku..."

   Karena perasaannya tertusuk, gerakannya agak terlambat dan pedang Song-Bun-Kwi yang tadinya menusuk pusarnya itu kurang cepat ia elakkan sehingga pahanya tertusuk pedang. Beng San menggulingkan tubuhnya ke belakang, Sinar pedangnya berkelebat menjaga diri dan ketika ia melompat bangun lagi darah bercucuran dari paha kanannya. Ia terpincang-pincang, darah mengucur banyak sekali, namun pedangnya masih dimainkan rapi menghalau setiap senjata yang hendak merenggut nyawanya. Tapi ia tidak mampu balas menyerang karena perhatiannya terbagi untuk mengawasi keadaan Cui Bi yang sama sekali tidak berdaya dalam tangan manusia iblis itu.

   "Ha-ha-ha, Beng San, kau takkan dapat melepaskan dirimu. Kau boleh mati dengan mata melek karena anakmu ini takkan dapat bebas pula. Ha-ha-ha!"

   Suara ketawa Giam Kin bergema di hutan itu ketika ia memanggul tubuh Cui Bi dan lari pergi dari situ.

   "Lepaskan anakku!"

   Beng San menjerit, tangan kirinya menyambar sebuah batu kecil dan dilemparkannya ke arah Giam Kin. Hebat lemparan ini, karena tubuh Giam Kin segera terguling, akan tetapi sambil tertawa-tawa manusia iblis itu bangun lagi dan lari terus memanggul tubuh Cui Bi.

   "Kau mau bawa ke mana anakku?"

   Beng San memekik lagi, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan ujung lengan baju Siauw-Ong-Kwi tepat mengenai kaki kirinya, membuat ia terguling roboh, ia berusaha bangun akan tetapi tidak mampu karena uratnya di dekat lutut terpukul hebat.

   Terpaksa Beng San sambil duduk karena kakinya lumpuh, menahan datangnya semua senjata dengan cara memutar pedangnya secara luar biasa sekali. Namun, dalam keadaan seperti itu tentu saja ia tidak mampu melawan tujuh orang lihai itu yang seakan-akan berlumba hendak berdulu-duluan mencabut nyawanya. Pundaknya tertusuk pedang lagi dan lengan kirinya juga dihantam tongkat hitam Yok-Mo, membuat lengan kirinya juga lumpuh. Pada saat itu, terdengar teriakan menyeramkan, sesosok bayangan menyerbu ke dalam pengeroyokan itu dan tahu-tahu tubuh Beng San sudah dipondong orang yang memutar-mutar pedangnya menghadapi para pengeroyok. Orang ini bukan lain adalah Kong Bu! Beng San yang dipondong juga masih mainkan pedangnya untuk menangkis hujan senjata.

   "Anakku... anak Bi Goat... akhirnya kau... menolongku...?"

   Terengah-engah Beng San berkata, air mata menitik turun dari matanya.

   "Kong-bu, gilakah kau?"

   Seru Song-Bun-Kwi dan cepat kakek ini menggerakkan pedang menangkis tongkat hitam Yok-Mo yang hampir mengenai kepala cucunya.

   "Kakek, biarlah aku mati membela Ayahku yang jauh lebih gagah daripada kamu sekalian!"

   Teriak Kong Bu, matanya mengeluarkan cahaya berapi, pipinya basah oleh beberapa butir air mata yang menitik turun.

   (Lanjut ke Jilid 27)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27

   "Ha-ha-ha, Song-Bun-Kwi tua bangka gila, cucumu sendiri mengkhianati kau!"

   Yok-Mo mengejek dan bersama yang lain-lain mereka lalu menerjang Kong Bu. Sekali lagi terdengar teriakan melengking yang tinggi dan nyaring, dan Sin Lee sekarang memutar pedang membantu Kong Bu!

   "Sin Lee, mundurlah kau!"

   Kwa Hong menjerit.

   "Tidak, Ibu. Aku tidak suka melihat ini semua! Ayah seorang gagah perkasa, patut kubela dengan taruhan nyawa! Majulah, kalau perlu aku akan melawan kau sendiri!"

   Kwa Hong menjerit dan menangis, menarik kembali senjatanya. Pada saat itu, Yok-Mo, Tok Kak Hwesio, Siauw-Ong-Kwi, Hek-Hwa Kui-Bo dan Pak-Thian Locu yang menjadi marah sekali lalu menerjang dua orang muda yang dengan semangat tinggi melindungi Beng San, orang yang menjadi Ayah mereka tapi yang harus mereka benci dan musuhi itu.

   "Sin Lee... terima kasih... ah, Thian Yang Maha Adil... aku rela mati sekarang..."

   Kata Beng San, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan ia menjadi pingsan dalam pondongan Kong Bu. Betapapun lihainya Kong Bu dan Sin Lee menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh besar itu mereka menjadi repot sekali. Apalagi Kong Bu yang harus memondong tubuh Ayahnya sehingga pada saat itu ketika ia menangkis sambaran pedang Hek-Hwa Kui-Bo yang membuat lengannya terasa kesemutan, ia tidak dapat menghindar lagi dari pukulan mendorong yang dilakukan oleh kakek tua renta, Pak-Thian Locu.

   "Berani kau menyerang cucuku?"

   Tiba-tiba Song-Bun-Kwi meloncat maju dan menangkis pukulan ini.

   "Dukkk!!"

   Hebat sekali pertemuan dua lengan orang sakti ini, akan tetapi akibatnya Song-Bun-Kwi terdorong mundur tiga langkah sedangkan kakek tua itu hanya bergoyang-goyang saja tubuhnya. Kaget bukan main Song-Bun-Kwi, sedangkan Siauw-Ong-Kwi tertawa-tawa,

   "Ha-ha-ha, Song-Bun-Kwi manusia iblis! Baru sekarang kau bertemu tanding, perkenalkan dia adalah Twa-Suhengku Pak-Thian Locu,"

   "Aih-aihh, kiranya setan tua bangkotan dari Utara. Jangan takabur aku Song-Bun-Kwi selamanya tidak pernah takut, baik kepadamu atau kepada Twa-Suheng mu yang mau mampus ini!"

   Serentak Song-Bun-Kwi menerjang kakek itu dengan pedangnya dan terjadilah pertandingan hebat. Sementara itu, melihat betapa Sin Lee kerepotan dikeroyok Yok-Mo, Tok Kak Hwesio dan sekarang Hek-Hwa Kui bo juga menerjang Sin Lee karena Song-Bun-Kwi sudah dihadapi Pak-Thian Locu sedangkan Kong Bu diserang Siauw-Ong-Kwi, Kwa Hong mengeluarkan suara melengking dengan marah sekali ia menyerbu untuk menolong puteranya! Makin hebatlah pertempuran itu. Akan tetapi, Song-Bun-Kwi perlahan-lahan terdesak oleh Pak-Thian Locu yang luar biasa.

   Kong Bu yang memondong tubuh Beng San juga repot menghadapi Siauw-Ong-Kwi, sedangkan Sin Lee biarpun dibantu ibunya, tetap saja terkurung hebat oleh Toat-Beng Yok-Mo, Tok Kak Hwesio, dan Hek-Hwa Kui-Bo. Song-Bun-Kwi mulai sibuk, apalagi melihat Kong Bu terdesak hebat oleh Siauw-Ong-Kwi. Memang di antara mereka, yang paling payah adalah Kong Bu. Selain harus menggendong Beng San yang tidak ingat atau pingsan, juga hati pemuda ini gelisah sekali memikirkan nasib adik tirinya, Cui Bi yang tadi dibawa lari oleh manusia bermuka iblis itu. Harus diakui bahwa di dalam hatinya, Kong Bu amat sayang kepada adik tirinya itu, dan tadi ia bermaksud menolong, siapa tahu keadaan lawan amat tangguh dan Ayahnya sudah pingsan tak dapat melawan lagi. Hatinya gelisah, ditambah lawannya Siauw-Ong-Kwi, adalah tokoh utama dan Utara yang kepandaiannya setingkat dengan kakeknya!

   "Bagus, kau pemuda jahat harus membalas kematian muridku!"

   Berkali-kali Hek-Hwa Kui-Bo berteriak keras sambil mendesak Sin Lee dengan pedangnya. Kwa Hong yang hendak membantu puteranya, ditahan oleh Toat-Beng Yok-Mo dan Tok Kak Hwesio, dua orang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi.

   Permainan pedang Hek-Hwa Kui-Bo adalah ilmu pedang Thai-Yang, hebat bukan main dan memiliki daya serang yang mengandung tenaga Imkang, Sin Lee juga amat kuat ilmu pedangnya gerakkan kakinya, sangat membingungkan dan serangan-serangannya ganas sekali, namun menghadapi nenek ini, ia kalah pengalaman, kalah tenaga, dan kalah segala-galanya. Biarpun ia telah mengerahkan kepandaiannya, tetap saja ia terkurung oleh sinar pedang Hek-Hwa Kui-Bo, bahkan terancam hebat. Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan seorang wanita yang bergerak seperti seekor Naga betina menerjang dengan pedang yang menyambar laksana kilat. Siauw-Ong-Kwi yang diserang oleh wanita ini kaget dan menangkis dengan lengan baju. Pedang wanita itu tertangkis, menyeleweng ke samping akan tetapi ujung lengan baju Siauw-Ong-Kwi robek!

   "Orang-orang tua pengecut!"

   Wanita itu berteriak dan ia berseru kaget melihat keadaan Beng San dalam pondongan Kong Bu. Wanita ini bukan lain adalah Cia Li Cu. Melihat Suaminya mandi darah dan dengan muka pucat pingsan dalam pondongan Kong Bu, ia menjerit dan cepat menubruk. Kong Bu memberikan tubuh Beng San kepada ibu tirinya ini dan sekarang dengan penuh semangat ia memutar pedangnya menghadapi Siauw-Ong-Kwi.

   "Jangan kuatir, kami bantu!"

   Terdengar suara wanita lain dan muncullah Li Eng dan Hui Cu, Li Eng langsung membantu Kong Bu dan Hui Cu segera membantu Sin Lee. Hal ini terjadi karena dorongan hati masing-masing melihat laki-laki perampas hati mereka itu terdesak oleh lawan. Di belakang dua orang gadis ini muncul puluhan orang anggauta Thai-San-Pai yang semua telah mencabut pedang. Melihat ini Hek-Hwa Kui-Bo berseru keras,

   "Cukup kita main-main! Biar besok pada pembukaan Thai-San-Pai dilanjutkan, ha-ha-ha-ha!"

   Nenek ini melompat ke belakang, diturut oleh yang lain-lain karena mereka melihat keadaan tidak menguntungkan pihak mereka. Apalagi setelah Beng San terluka hebat, besok lusa mudah saja bagi mereka untuk menantang dan menggagalkan pendirian Thai-San-Pai, membalas dendam dan merusak nama Thai-San-Pai dan ketuanya di muka semua orang kang-ouw! Sementara itu, Li Cu yang melihat keadaan Suaminya parah sekali, tak sempat mencari tahu lagi, juga tidak bertanya kepada Song-Bun-Kwi maupun Kwa Hong yang tadi ia lihat sekelebatan berkelahi di pihak Suaminya. Sambil mengeluh penuh kegelisahan nyonya ini memondong tubuh Suaminya dan dibawa lari menuju puncak,

   "He, Kong Bu, kau hendak kemana?"

   Song-Bun-Kwi berteriak melihat cucunya dengan pedang di tangan berlari cepat.

   "Harus kutolong adik Cui Bi dari tangan manusia bermuka iblis!"

   Jawab Kong Bu tanpa menengok.

   "Aku ikut!"

   Sin Lee juga berseru dan tubuhnya melompat jauh mengejar Kong Bu dengan pedang di tangan. Kong Bu menoleh sambil lari, Sin Lee memandang. Dua orang pemuda ini berpandangan dan biarpun mulut mereka tidak berkata apa-apa namun sinar mata mereka seakan-akan telah saling dapat menemukan isi hati masing-masing, tanpa sekecappun kata-kata dua orang muda seayah ini telah bersekutu! Li Eng dan Hui Cu saling pandang dan Hui Cu berkata kaget,

   "Eh, Adik Eng, mana Paman Hong?"

   Li Eng menengok ke sana ke mari, berkata kuatir juga,

   "Tadi kulihat dia berlari di belakang kita... ah, jangan-jangan dia ketinggalan jauh. Mari kita susul Bibi, keadaan Paman Beng San kulihat tadi amat menguatirkan."

   Dua orang gadis ini lalu berlari menyusul Li Cu, hendak membantu bibi itu dan juga hendak mencari Kun Hong yang tadi datang bersama mereka. Para anggauta Thai-San-Pai juga berbondong-bondong sudah mengikuti nyonya ketua mereka kembali ke puncak. Setelah keadaan di situ sunyi, Kwa Hong dan Song-Bun-Kwi hanya bisa saling pandang dengan muka kecewa. Keduanya merasa kecewa dan tertusuk hatinya karena sikap cucu dan putera mereka. Lebih-lebih Kwa Hong. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa Sin Lee akan membalik dan memberontak, membela Ayahnya dan menentangnya.

   "Sin Lee...!"

   Akhirnya ia memekik nyaring dan tubuhnya melesat ke satu jurusan, agaknya hendak mengejar puteranya. Song-Bun-Kwi menampari kepalanya sendiri, bicara seperti orang gendeng,

   "Goblok kau, tua bangka goblok! Mana bisa memisahkan anak dari Ayahnya? Goblok kau hendak mencelakakan cucumu sendiri, tolol!"

   Dan iapun pergi dari situ dengan langkah gontai, wajahnya nampak makin tua dan sinar mata yang semula liar itu menjadi lunak dan muram.

   Bagaimanakah Cui Bi, gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, bisa terjatuh ke dalam tangan Giam Kin? Pagi hari itu, Cui Bi yang tidak melihat Ayahnya berada di puncak mencari ke mana-mana tidak ada dan ibunya sendiripun tidak tahu ke mana perginya Ayahnya, menjadi kuatir, maklum bahwa pertemuan antara Ayahnya dengan dua orang puteranya itu amat mengganggu hati dan pikiran Ayahnya apalagi dua orang putera itu telah dididik orang untuk memusuhinya. Ia maklum bahwa Ayahnya amat berduka dan gelisah, maka pada hari itu, ketika tidak melihat Ayahnya,

   Cui Bi berkuatir dan timbul dugaannya bahwa Ayahnya tentu keluar dari puncak untuk pergi mencari kedua orang puteranya itu, Maka iapun lalu diam-diam keluar dari terowongan, turun dari puncak mencari Ayahnya. Baru saja ia menyeberangi rawa, ia mendengar suara suling yang amat aneh dan merdu dari arah kiri. Cepat ia membelok ke arah ini dan dalam sebuah hutan kecil ia melihat seorang laki-laki yang mukanya membuat Cui Bi terasa serem dan ngeri. Laki-laki ini mukanya seperti iblis yang mengerikan dengan mata kirinya yang bolong kosong, mulutnya yang robek lebar, telinga kiri buntung, tangan kirinya yang kaku seperti cakar setan. Akan tetapi sebagai puteri pendekar sakti yang sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw,

   Hanya sebentar saja Cui Bi dapat menguasai perasannya dan ia mulai tertarik oleh perbuatan laki-laki bermuka iblis itu. Laki-laki itu dengan tangan kanannya yang normal sedang meniup suling. Bukan main aneh dan indahnya suara suling itu dan yang lebih menarik hati Cui Bi lagi, di depan laki-laki yang duduk bersila di bawah pohon itu, kelihatan lima ekor ular besar tengah "Berdiri"

   Di atas ekornya dan menari-nari, melenggak-lenggok amat lemasnya! Cui Bi memang sudah beberapa kali pernah melihat ahli-ahli ular meniup suling membuat ularnya menari-nari, akan tetapi baru kali ini ia melihat lima ekor ular sekaligus menari dan dapat "Berdiri"

   Setinggi itu. Benar-benar hebat dan lucu. Tak tertatankan gadis itu tertawa dan datang mcnghampiri lakj-laki itu, ikut duduk dekatnya dan berkata,

   "Bagus dan lucu sekaLi...!"

   Laki-laki itu tidak menoleh, terus melanjutkan tiupannya akan tetapi mata kanannya itu melirik ke arah Cui Bi lalu mengeluarkan sinar yang aneh. Sekali ini Cui Bi mengenakan pakaian wanita yang ringkas hingga ia kelihatan sebagai seorang gadis muda remaja yang cantik dan manis. Pedang tergantung di punggung dan dari senjata inilah orang akan dapat menduga bahwa dia adalah seorang gadis kang-ouw. Melihat gadis cantik itu memandang kepada ular-ular itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, laki-laki itu tanpa menunda tiupan suiingnya bertanya,

   "Kau siapa, Nona? Apakah tidak takut ular?"

   Cui Bi menoleh dan bukan main herannya.

   "Kau hebat sekali, Lopek (Uwa). Sekaligus menyuling dan bicara. Bukan main! Kau tentu seorang di antara para tamu Thai-San-Pai, bukan? Apakah Kau sudah kenal baik dengan Ayah? Ayah belum pernah bercerita kepadaku tentang seorang temannya yang pandai meniup suling menjinakkan ular."

   "He-he, jadi kau puteri Ketua Thai-San-Pai? Pantas saja tidak takut ular, akan tetapi coba kau lihat ular-ularku, entah takut tidak?"

   Ia lalu bangkit berdiri dan tiupan sulingnya berubah nyaring dan lebih aneh lagi. Cui Bi tadinya tersenyum-senyum saja karena mana dia takut segala macam ular? Sekali gerakkan pedang ia sanggup membunuh lima ekor ular besar itu!

   Akan tetapi tiba-tiba wajahaya berubah sedikit ketika ia mendengar suara berisik, suara mendesis-desis yang datang dari segala penjuru dan sebentar kemudian, puluhan, malah ratusan ekor ular merayap datang dari segala jurusan, malah ada yang datang dari atas pohon, merayap-rayap turun dengan cepatnya seperti memenuhi panggilan suara suling itu! Dalam beberapa menit saja mereka berdua sudah dikurung oleh ratusan ekor ular besar kecil, di antaranya banyak terdapat ular-ular berbisa. Mau tak mau Cui Bi menjadi pucat juga dan jijik. Ia merasa bulu di tubuhnya meremang dan cepat ia mencabut pedangnya untuk menjaga kalau-kalau ada ular hendak menyerangnya.

   "Jangan kuatir, selama ada aku di sini, mereka takkan berani mengganggumu, Nona. Aku hanya ingin memperlihatkan mereka padamu, bagus dan menarik mereka itu, bukan? Apa kau mau melihat mereka itu semua menari-nari?"

   Cui Bi menggeleng kepala, menahan napas, bau yang amat amis memuakkan perutnya, bukan main bau itu, amis dan menyengat.

   "Cukup... aku tidak ingin melihat mereka, Lo-pek, suruhlah mereka pergi..."

   Laki-laki itu yang bukan lain adalah Giam Kin mengangguk-angguk dan meniup sulingnya, kini berlagu amat merdu dan... ular-ular itu merayap pergi semua, berlenggang-lenggok menggelikan dan sebentar saja sudah lenyap semua, tak seekorpun berada di situ. Cui Bi menarik napas lega dan menyimpan kembali pedangnya. Mata Giam Kin berkilat ketika ia melihat cara gadis itu tadi menarik keluar pedang dan cara menyimpannya lagi. Matanya yang tinggal sebelah itu dapat melihat bahwa gadis ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang ahli pedang yang lihai sekali.

   "Wah, celaka.,.."

   Tiba-tiba Giam Kin berseru, nampak gugup dan bingung sekali, matanya yang tinggal sebelah menatap wajah Cui Bi.

   "Aku... aku kesalahan terhadap Ayahmu, Nona. Ah, Tan Beng San Taihiap tentu akan marah kepadaku."

   "Kenapa, Lo-pek? Kau tidak bersalah apa-apa."

   "Celaka, Nona yang baik. Kau... kau telah terkena racun ular berbisa yang amat berbahaya!"

   Giam Kin membanting-banting kakinya.

   "Ayahmu tentu akan marah kepadaku. Coba kau menarik napas dalam-dalam, bukankah tercium bau yang amis? Apakah kau tidak merasa jantungmu berdebar-debar?"

   Dengan muka berubah Cui Bi menarik napas dalam dan memang, bau amis yang tadi masih teringat olehnya sehingga seakan-akan ia mencium bau amis itu makin jelas terasa daripada tadi, ia merasa jantungnya berdebar. Ia mengangguk gelisah.

   "Nah, itu tanda kau racunan. Cepat, kau pakai obat ini. Aku sendiri tidak terpengaruh racun karena membawa bunga ajaib ini. Kau cium dan sedot wangi bunga ini pasti sekaligus lenyap pengaruhnya racun itu."

   Cui Bi menerima setangkai bunga yang tadinya entah berwarna apa karena bunga itu sudah melayu dan tinggal berwarna kuning gelap, warna daun mulai mengering. Ia masih ragu-ragu.

   "Tapi... tapi... bagaimana aku bisa keracunan kalau tidak ada seekor ularpun menyentuhku tadi?"

   "Ah, kau tidak tahu, Nona. Di antara ular-ular tadi banyak ular beracun yang amat berbahaya. Sudah jamak melihat kita, ular-ular beracun tadi berniat menggigit dan mengeluarkan racunnya, akan tetapi mereka itu tertahan dan tidak berani oleh suara sulingku. Racun mereka yang keluar dari mulut mereka berceceran di atas tanah dan hawa pagi ini banyak keluar dari dalam tanah, membubung ke atas. Racun ular yang sudah berada di tanah itu hawanya terbawa oleh hawa tanah, memasuki hidung kita dan kau yang tidak berdekatan bunga penawar racun ini tentu saja keracunan, Sudahlah, kau cepat-cepat cium obat penawar ini, kalau tidak... akan terlambat nanti dan kau akan celaka. Lekas..."

   Laki-laki itu nampak gugup dan bingung sekali. Cui Bi memang seorang gadis muda yang berkepandaian tinggi, sudah banyak merantau dan pengetahuannya luas. Namun dalam hal tipu muslihat, berhadapan dengan Giam Kin dia hanya seorang bocah yang masih hijau. Melihat sikap Giam Kin dan mendengar keterangannya itu, ia percaya betul dan tanpa ragu-ragu lagi sekarang gadis itu mendekatkan bunga ke depan hidungnya dan menyedotnya. Ia mencium bau yang amat harum dan enak memasuki hidung terus ke kerongkongan lenyap dan ia menyedot makin keras. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang.

   "Celaka..."

   Serunya sambil melempar kembang itu dan berusaha mencabut pedangnya.

   "Ha-ha-ha-ha"

   Giam Kin tertawa. sulingnya bergerak menotok leher Cui Bi yang tak mampu bergerak lagi dan gadis ini roboh terguling, pingsan! Sudah tentu saja semua ocehan Giam Kin tentang racun tadi bohong belaka. Karena pandainya ia bicara disesuaikan dengan suasana dan keadaan, tentu saja Cui Bi masih merasa mencium bau amis dari ular-ular tadi dan karena pemberitahuan Giam Kin itu mengejutkannya, sudah semestinya kalau jantungnya berdebar pula. Demikianlah, dalam keadaan pingsan dan tidak berdaya karena sudah ditotok jalan darahnya, gadis ini dipanggul pergi oleh Giam Kin, kemudian seperti telah diceritakan di bagian depan, Giam Kin yang licik ini dapat mempermainkan gadis yang ditawannya itu untuk mengacaukan pertahanan Beng San sehingga pendekar ini terluka dalam pengeroyokan.

   Setalah melihat Beng San terluka dan tak mungkin dapat menang menghadapi pengeroyokan Suhunya, Supeknya dan tokoh-tokoh lain, Giam Kin lalu membawa pergi Cui Bi, kuatir kalau-kalau keluarga pendekar itu muncul. Giam Kin sekarang berbeda dengan Giam Kin belasan tahun yang lalu. Tidak hanya berbeda dalam ilmu kepandaian yang makin meningkat karena selama ini ia tekun memperdalam ilmunya, juga wataknya berubah banyak. Dahulu ia adalah seorang laki-laki mata keranjang. Sekarang watak ini lenyap berbareng dengan lenyapnya kqtampanan wajahnya. Sekarang ia berubah menjadi manusia iblis yang haus darah, yang haus akan balas dendam terhadap musuh-musuhnya. Mukanya rusak oleh Burung Rajawali Emas dan Kwa Hong, karenanya,tentu saja ia amat mendendam kepada Kwa Hong.

   Akan tetapi dia sekarang menjadi cerdik luar biasa, maka tadi bertemu dengan Kwa Hong ia tidak bertindak apa-apa karena ia sedang memerlukan Kwa Hong dalam pengeroyokan terhadap Beng San. Sekarang ia hendak melampiaskan dendamnya kepada Beng San, kepada keluarganya. Maka setelah puteri Beng San terjatuh ke dalam tangannya, tidak lain nafsu dalam dadanya kecuali menyiksa dan membunuh gadis anak musuhnya ini. Ia membawa lari Cui Bi ke dalam hutan lain di sebelah Timur, di lereng Gunung Thai-San, jauh dari tempat berkumpulnya para tamu. Wajahnya yang buruk itu tertawa-tawa, agaknya ia gembira sekali membayangkan siksa yang akan ia lakukan atas diri anak musuhnya ini. Tubuh gadis itu ia lemparkan di atas tanah yang kering tak berumput, lalu ia mengambil sehelal kain Sutera,

   Mengikat kaki tangan gadis itu, membalikkan tubuh gadis itu telentang, kemudian ia membebaskan totokan pada tubuh gadis itu. Cui Bi yang merasa betapa jalan darahnya pulih kembali, berusaha meronta, akan tetapi ternyata tali itu kuat sekali. Ketika ia hendak membuka mulut untuk mengelurkan pekik pemberitahuan kepada Ayah Bundanya, ia kaget karena tak dapat ia mengeluarkan sedikitpun suara. Kiranya iblis yang cerdik itu telah menotok jalan darah dari urat gagunya, membuat ia tak dapat mengeluarkan suara. Terpaksa Cui Bi hanya telentang dengan mata melotot marah, memandang kepada wajah manusia iblis yang duduk bersila di atas tanah. Ngeri juga kalau ia memperhatikan wajah manusia ini, sudah tak patut disebut manusia lagi baik bentuk mukanya maupun gerak-geriknya.

   Mata kanan yang kemerahan itu seperti mata orang gila, sedangkan mata kiri yang kosong menghitam itu seperti mata tengkorak, mata iblis. Mulut yang robek dan terbuka memperhatikan deretan gigi yang masih rapi itu terlalu menyeringai dan menyeramkan karena gusi-gusi kemerahan tampak di atas gigi pinggir yang runcing seperti gigi setan. Dan diam-diam gadis ini di samping kengeriannya juga menduga-duga siapa adanya tokoh buruk rupa yang aneh ini dan mengapa pula memusuhi Ayahnya. Ia dapat menduga bahwa tentu orang ini musuh Ayahnya yang sekarang menjatuhkan dendam kepadanya, puteri tunggal Ayahnya. Akan tetapi sepanjang ingatannya, belum pernah Ayahnya bercerita tentang tokoh seperti iblis ini yang anggapannya malah jauh lebih mengerikan daripada tokoh-tokoh manusia iblis yang pernah ia dengar dari Ayahnya.

   "Heh-heh-heh, matamu seperti Ayahmu benar!"

   Giam Kin tertawa gembira.

   "Matamu penuh pertanyaan mengapa aku melakukan hal ini kepadamu dan siapa adanya aku, bukan? Nah, dengarlah, bocah. Dengarlah baik-baik agar kau tidak mati penasaran. Aku adalah Siauw-Coa-Ong (Raja Ular Kecil) Giam Kin, sahabat baik Ayahmu, heh-heh-heh!"

   Ia tertawa terpingkal-pingkal, tubuhnya berguncang-guncang dan pandangan Cui Bi tertuju kepada tangan kiri yang kaku mati seperti cakar setan itu, dan gadis ini kelihatan heran.

   "Heh-heh, kau kelihatan terheran-heran. Gadis cilik, dahulunya aku seorang laki-laki yang tampan. Hemm, dibandingkan dengan Ayahmu, aku jauh lebih tampan. Celaka, Siluman betina Kwa Hong itu dengan Rajawali Emasnya mengubah aku menjadi begini. Heh-heh, disangkanya aku sudah mati. Hah, awas kau Kwa Hong iblis betina, akan datang pembalasanku..."

   "Aku bertanding melawan Kwa Hong dan menjadi begini karena gara-gara Lee Giok, karena itu aku bersumpah, selain untuk membalas kepada Ayahmu sekeluarga, juga kepada Kwa Hong dan Lee Giok. Sayang sampai sekarang belum kudapatkan kesempatan itu, ha-ha-ha, saat ini aku akan dapat memuaskan hatiku membalas kepada Beng San. Aku mendengar bahwa puteri dari Lee Giok berada di Thai-San sebagai tamu, aku cepat mencari akal untuk menangkapnya, untuk membalas kepada anaknya, menyiksanya seperti juga ibunya telah menyebabkan aku begini. Eh, kiranya bukan dia yang muncul melainkan kau, anak Beng San! Heh-heh-heh, jerat yang kupasang tidak berhasil menjerat kelinci seperti yang kuharapkan, malah lebih dari itu, ternyata telah menjerat seekor anak kijang. Heh-heh-heh, senang hatiku. Nah, kau sudah mendengar semua dan siap menerima siksa dariku? Heh-heh-heh-heh!"

   Mengertilah sekarang Cui Bi mengapa muka penjahat bernama Giam Kin yang pernah ia dengar diceritakan Ayahnya itu sekarang menjadi seperti iblis begini. Kiranya gara-gara Kwa Hong lagi. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga Lweekangnya membuka totokan pada lehernya, namun sia-sia belaka dan ini membuktikan bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi. Andaikata dia berhasil mengeluarkan pekik keras, tentu orang ini akan segera turun tangan pula.

   Cui Bi tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga ia mendengar bahwa ia akan mengalami siksaan. Orang yang sudah bukan manusia lagi ini tentu mempunyai cara-cara yang amat keji untuk menyiksa, dan membunuh musuhnya. Giam Kin tertawa-tawa lagi lalu mengeluarkan sulingnya. Ketika suling itu mulai ditiup, tahulah Cui Bi, atau setidaknya dapatlah ia menduga siksaan apa yang akan ia hadapi. Dan dugaannya itu ternyata benar karena tak lama kemudian ia mendengar suara berisik, mendesis-desis dan menggelesernya tubuh banyak ular menuju ke tempat itu. Tak lama kemudian ia mencium bau amat amis dan kiranya ular-ular itu sudah dekat sekali. Giam Kin menghentikan tiupannya, mengeluarkan setangkai bunga berwarna kuning dan ular-ular itu berhenti bergerak, seakan-akan ketakutan melihat kembang kuning itu!

   "Heh-heh-heh, bocah anak Beng San. Ular-ular itu akan menuruti segala perintahku. Sekali kuperintah, mereka akan menyerbu dan menggerogoti kulitmu yang halus dan dagingmu yang lunak sampai tinggal tulang-tulangmu saja. Heh-heh-heh, dalam waktu kurang dari satu jam, wajahmu yang cantik akan menjadi buruk, lebih buruk dari wajahku, rambutmu yang hitam panjang ini akan copot dari kepala, matamu yang bagus-bagus itu akan masuk ke perut ular. Hanya tulangmu yang tinggal, kau akan berubah menjadi kerangka dan Ayah ibumu takkan mengenalmu lagi. Heh-heh-heh! Aku akan menikmati pertunjukan ini, melihat kau menggeliat-geliat kesakitan, melihat kau berkelahi dengan maut, melihat betapa. hidungmu yang bagus itu akan digigit ular, kulitmu yang halus akan dibeset, dagingmu diperebutkan. Heh-heh-heh!"

   Cui Bi sudah tak mendengarkan ini semua. Ia tahu sejak ular-ular itu datang bahwa nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia tidak takut menghadapi kematian, tidak pula takut menghadapi siksaan akan tetapi pada saat ia berada ditepi jurang kematian itu, terbayanglah wajah tiga orang, yaitu wajah ibunya, wajah Ayahnya dan wajah Kun Hong! Tak tertahankan lagi naik, sedu-sedan di kerongkongannya dan beberapa titik air mata mengalir ke atas pipinya.

   "Heh-heh-heh, kau menangis? Heh-heh-heh-heh, bagus, menangislah. Aahhh, alangkah senangnya kalau aku bisa memperlihatkan ini kepada jahanam Beng San! Heh-heh, dia sendiri sekarang mungkin sudah mampus atau terluka hebat. Aahh, alangkah manisnya pembalasan dendam!"

   Giam Kin berdiri, mundur dan kemudian duduk bersila di bawah pohon tak jauh dari situ. Ia menyimpan kembali kembang kuning itu dan mulai meniup sulingnya, matanya yang tinggal sebelah ltu bersinar-sinar memandang pertunjukan di depannya yang akan segera di mulai. Suling ditiup, suaranya melengking tinggi mengalun sedih seperti ratap tangis yang keluar dari neraka, dan ular-ular itu mulai merayap maju, berlenggang-lenggok menggeliat-geliat merayap ke arah Cui Bi yang masih menggeletak telentang.

   "Mati Bukan soal, tapi melawan sebisanya adalah wajib,"

   Pikir gadis ini. Ia mengerahkan seluruh tenaga Lweekang yang ada dalam tubuhnya, lalu tiba-tiba tubuhnya itu menggeliat dan melompat ke atas.

   Dengan meliukkan pinggangnya ia berhasil turun dalam keadaan berdiri. Badannya bergoyang-goyang, memang sukar untuk dapat melakukan hal itu dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan diam-diam Giam Kin kagum sekali. Ginkang yang diperlihatkan gadis itu betul-betul Ginkang tingkat tinggi. Melihat ular-ular itu sudah mengurungnya dan jumlah mereka amat banyak sehingga sekelilingnya dalam jarak lima enam meter adalah ular belaka, Cui Bi maklum bahwa tak mungkin ia dapat melompati jarak itu keluar dari lingkaran barisan ular. Setelah ular-ular makin dekat dan siap menerjang kakinya, ia menggerakkan kedua tumit kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas, lalu dengan mengerahkan Lweekangnya ia turun lagi tepat mengarah kepala seekor ular besar.

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Krakkk!"

   Kepala ular itu hancur lebur oleh injakan kaki Cui Bi yang secepatnya telah meloncat lagi ke atas dan turun menginjakkan kedua kakinya pada kepala seekor ular besar lainnya. Demikianlah, gadis yang luar biasa ini berkali-kali meloncat dan tiap kali turun tentu seekor ular mati dengan kepala remuk. Makin lama makin gembiralah Cui Bi karena biarpun ia maklum bahwa akhirnya ia akan roboh dan tewas, namun ia telah berhasil membunuh banyak calon-calon pembunuhnya.

   Gembira sekali hati Giam Kin. Ia melihat betapa gadis itu makin lama makin menjadi lemah. Tiap kali meloncat dan tiap kali menginjak remuk kepala seekor ular, gadis itu mengerahkan Lweekang yang tidak kecil makan tenaganya sehingga setelah dua puluh ekor lebih ular yahg diinjaknya mati, gadis itu mulai mandi peluh dan gerakannya lambat. Akhirnya seekor ular berhasii membelit kakinya sehingga ketika Cui Bi melompat, ular itu terbawa naik. Gadis itu maklum bahwa sekali ular yang belang-belang kulitnya ini menggigit, akan robohlah dia terkena racun. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya selagi meloncat itu, gerakannya cepat dan mengandung tenaga sehingga lilitan tubuh ular itu pada kakinya telepas dan ular itu terlempar sampai sepuluh meter lebih jauhnya!

   "Hebat..."

   Giam Kin memuji dan sulingnya makin meninggi lengkingnya dan hal ini agaknya membuat ular-ular itu makin ganas saja. Cui Bi kehabisan tenaga dan maklum bahwa belum tentu ia kuat meloncat lima kali lagi. Dan setelah ia tidak kuat meloncat, tentu ular-ular itu akan membelit kakinya merayap ke atas, menggigiti kakinya sampai ia roboh untuk dikeroyok dan diperlakukan seperti yang telah dibayangkan oleh Giam Kin tadi. Tapi baru saja meloncat tiga kali, ia sudah kehabisan tenaga dan injakannya tidak mematikan seekor ular. Ia sudah tidak kuat meloncat lagi dan sudah meramkan mata untuk menerima kematian yang amat mengerikan.

   "Heh-heh-heh, ha-ha-ha, kini pertunjukan mulai..."

   Giam Kin tertawa terkekeh-kekeh, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan yang terdengar oleh telinga Cui Bi adalah teriakan orang, nyaring sekali,

   "Bi-moi... lekas kau berloncatan lagi...! Loncat, pertahankan!"

   Suara ini seakan-akan aliran listrik yang memberi kekuatan baru kepada Cui Bi, menyendal kembali harapannya untuk hidup yang tadi sudah terbang ke awang-awang. Sekuat tenaga ia meloncat ke atas sebelum kakinya terbelit ular, sambil meloncat ia membuka kedua mata memandang.

   "Hong-Ko...!"

   Di dalam dadanya bergema teriakan hatinya ini karena ia masih belum dapat mengeluarkan suara sama sekali.

   Dilihatnya betapa pemuda itu dengan memegang dua batang obor kayu, menggunakan api obor itu untuk mengamuk dan menyerang barisan ular, menyerbu ke arah tempatnya. Tak terasa lagi air mata bercucuran di kedua mata Cui Bi, saking girang dan terharunya. Namun, kekuatiran besar memenuhi hatinya kalau ia melihat Giam Kin masih duduk bersila di tempat tadi sambil memandang ke arah Kun Hong dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi mulut mengejek. Seperti binatang buas apa saja, ularpun amat takut terhadap api. Mereka yang kurang cepat menyingkir, sudah berkelojotan terkena serangan Kun Hong, ada pula yang mencoba menyerang pemuda itu, akan tetapi begitu tubuhnya tercium api, lalu berkelojotan, menggigit bagian badan sendiri yang termakan api saking panas dan sakitnya, Yang lain-lain menyingkir ketakutan sehingga terbukalah jalan bagi Kun Hong untuk berlari ke arah Cui Bi.

   "Kau pegang ini sebuah, Bi-moi!"

   Teriak pula Kun Hong sambil menyerahkan obor yang tadi dipegang oleh tangan kanannya. Dengan penuh semangat Cui Bi mengacung-acungkan sepasang lengannya yang terbelenggu untuk memberi tahu bahwa tak mungkin ia melakukan apa yang diminta itu. Melihat ini Kun Hong cepat meletakkan sebuah obor ke bawah, mencabut Ang-Hong-Kiam dan membabat belenggu kaki dan tangan gadis itu. Ang-Hong-Kiam tajam bukan main dan tenaga dalam dari Kun Hong juga hebat, maka sekali babat saja putuslah semua belenggu dan terbebaslah Cui Bi. Setelah itu, dengan pedang dikempit untuk membebaskan tangan kanannya, Kun Hong yang maklum bahwa gadis ini tentu telah tertotok urat gagunya, menotok belakang leher dan menepuk punggung dua kali.

   "Hong-Ko...!"

   Kali ini suara itu keluar dari mulut Cui Bi, disusul isak tangis saking girang dan terharunya. Tiba-tiba Cui Bi merampas pedang dari tangan Kun Hong, matanya liar ketika membalikkan tubuh memandang ke arah Giam Kin. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan marahnya ketika ia tidak melihat manusia iblis itu berada di tempat tadi, sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

   "Ke mana dia...??"

   "Kau mencari siapa, Adik Bi?"

   Tanya Kun Hong.

   "Manusia iblis itu, Giam Kin si keparat, hendak kucincang hancur tubuhnya!"

   "Ah, kau maksudkan pengemis buta sebelah yang meniup suling tadi? Aku sudah terheran-heran tadi mengapa ia bisa bermain suling sedangkan di depannya terjadi penyerangan ular-ular itu kepadamu, kenapa ia tidak turun tangan menolongmu."

   "Menolongku? Ah, Hong-Ko dialah yang menyuruh ular-ular itu mengeroyokku. Dia itulah si iblis bernama Giam Kin memusuhi Ayah dan karenanya ia hendak membalas dendamnya melalui aku, dia sengaja mendatangkan ular-ular itu setelah menawanku secara licik dan curang, dia hendak melihat ular-ular itu merobohkan aku, menggerogoti kulit dan dagingku, melihat aku berkelojotan melawan maut, melihat aku berubah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, ahh... Hong-Ko..."

   Gadis itu menubruk, merangkul pundak Kun Hong dan menangis tersedu-sedu. Kun Hong bergidik dan membiarkan gadis itu memuaskan perasaannya, membiarkan dia menangis sesenggukan. Memang inilah obat terbaik untuk menenangkan kembali perasaannya yang tertindih dan tercekam hebat oleh pengalaman yang demikian mengerikan. Baru saja gadis ini lolos dari lubang jarum, lolos dari cengkeraman maut yang sudah begitu pasti, dan diam-diam Kun Hong berterima kasih kepada Tuhan bahwa ia tidak tertambat datang. Terlambat beberapa menit lagi saja, bayangan ngeri dan seram seperti dikatakan gadis ini tadi pasti akan terjadi.

   "Hong-Ko... kau telah menolong nyawaku, Hong-Ko..."

   "Sudahlah, jangan besar-besarkan hal itu, Bi-moi,"

   Jawab Kun Hong merendah, padahal hatinya merasa bahagia bukan main.

   "Girang sekali hatiku kaulah yang berhasil menolongku, Hong-Ko. Akhirnya kaulah orangnya yang berhasil merenggut aku dari cengkeraman maut maka sudah sepatutnya pula kalau aku menghambakan diri kepadamu selama hidupku."

   Tak terasa lagi, mendengar kesanggupan gadis ini, Kun Hong memeluk dan mendekap kepala orang yang disayang dan dicintanya itu rapat-rapat ke dadanya?

   "Bi-moi... Bi-moi... semoga Tuhan memberkahi kita dan mengabulkan apa yang kita cita-citakan ini... ah, mari kita lekas menyusul ke tempat Ayahmu. Tadi kulihat dia dikeroyok banyak orang jahat, dan ibumu serta Li Eng dan Hui Cu juga sudan menyusul ke sana. Aku melihat kau ditawan orang dan dibawa lari, maka cepat aku mengejar. Sama sekali tidak kusangka bahwa orang itu adalah pengemis buta sebelah tadi, dan sama sekali tidak kuduga dia itulah yang bernama Giam Kin. Pernah aku mendengar dari Ayahku, tentang orang itu..."

   "Baiklah, Hong-Ko, mari kita susul Ayah. Tapi aku tidak kuatir Ayah akan kalah oleh keroyokan orang jahat."

   Cui Bi merasa yakin sekali akan kepandaian Ayahnya, maka mendengar bahwa Ayahnya dikeroyok orang, ia tidak menjadi gelisah. Apalagi setelah ia mendengar bahwa ibunya telah pula datang ke tempat itu, apa yang harus ditakuti dan dikuatirkan lagi? Masih ada lagi Hui Cu cukup lihai dan terutama Li Eng yang berkepandaian tinggi. Baru saja mereka keluar dari hutan itu, tampak dua orang muda berlari cepat mendatangi dari depan. Mereka ini bukan lain adalah Kong Bu dan Sin Lee,

   "Adik Cui Bi, kau tidak apa-apa?"

   Teriak Kong Bu dari jauh, girang melihat Cui Bi sudah berjalan di samping Kun Hong dalam keadaan sehat selamat, hanya mukanya agak pucat. Cui Bi juga girang melihat Kong Bu akan tetapi ketika mengingat akan peristiwa di depan jalan terowongan dan ketika melihat Sin Lee juga berada di situ, ia meragu. Betapapun juga melihat sikap yang begitu memperhatikan, ia segera bertanya,

   "Bu-Ko hendak ke manakah kau? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terancam bahaya? Dan dia ini...?"

   Ia mengerling ke arah Sin Lee yang berdiri tegak. Kong Bu tersenyum lalu memegang kedua tangan adik tirinya.

   "Ah, adikku, jangan kau curiga. Aku tadi melihat kau dibawa lari oleh manusia iblis, lalu aku sengaja mengejarnya. Dia ini juga membantuku ikut mengejar untuk menolong adik tirinya. Bukankah begitu?"

   Pertanyaan terakhir ini diucapkan Kong Bu sambil memandang Sin Lee. Sin Lee mengangguk, tanpa mengeluarkan kata-kata karena perasaannya masih penuh keharuan, juga kebingungan karena baginya, urusan antara ibu dan Ayahnya itu membuat ia ragu-ragu dan serba salah. Cui Bi terharu sekali, menghampiri Sin Lee dan memegang tangan pemuda ini, menatap wajah Sin Lee dengan pandang mata tajam penuh selidik.

   "Kau juga kakakku, kakak tiri putera Ayah. Sin Lee Koko, apakah kau masih hendak memusuhi Ayah, memusuhi Ibu, memusuhi aku?"

   Sinar mata yang bening indah itu menatap wajah Sin Lee seakan-akan hendak menembus hatinya. Sin Lee tertegun, tak dapat menjawab.

   "Adik Cui Bi, tentu saja tidak. Tadi Ayah telah dikeroyok banyak tokoh lihai, terluka dan hampir celaka. Aku dan dia ini turun tangan membantu Ayah, agaknya hati kami tidak dapat mengijinkan orang-orang membunuh Ayah kami di depan mata kami begitu saja. Ayah telah menderita luka-luka hebat dan sekarang telah dibawa pulang oleh ibumu."

   Wajah Cui Bi menjadi pucat seketika.

   "Ayah terluka...? Ah, hayo kita pulang, menengok Ayah!"

   Ia lalu melompat dan berlari cepat menuju ke puncak. Kong Bu dan Sin Lee saling pandang, bersepakat dalam pandang mata masing-masing, lalu ikut pula berlari. Cui Bi tiba-tiba berhenti dan memandang Kun Hong.

   "Ah, aku lupa... maaf, Hong-Ko. Marilah kita bersama ke puncak. Bu-Ko dan Lee-ko, terpaksa kita berlari jangan terlalu cepat agar Hong-Ko tidak ketinggalan."

   Kun Hong tersenyum.

   "Larilah Bi-moi, dan aku akan mencoba mengikutimu dari belakang."

   Demikianlah, empat orang muda itu melanjutkan perjalanan melalui jalan rahasia yang terdekat, dipimpin oleh Cui Bi sebagai penunjuk jalan, tidak terlalu cepat karena mereka kuatir kalau-kalau Kun Hong tidak dapat mengimbangi kecepatan mereka. Di sepanjang jalan dua orang putera Beng San itu mendengar penuturan Cui Bi tentang perbuatan biadab Giam Kin dan tentang pertolongan Kun Hong. Biarpun Kun Hong menjawab secara merendahkan diri namun diam-diam dua orang pemuda itu menduga bahwa Kun Hong putera Ketua Hoa-San-Pai itu tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa sehingga dapat mengejar Giam Kin dan dapat memberi pertolongan kepada Cui Bi. Kedatangan mereka disambut anak murid Thai-San-Pai dengan gembira, terutama sekali Hui Ci dan Li Eng yang tidak saja gembira melihat bahwa paman mereka selamat, juga lebih-lebih melihat Sin Lee dan Kong Bu ikut pula datang ke puncak.

   "Paman Beng San terluka hebat, sekarang sedang dirawat oleh Bibi,"

   Kata Li Eng dan cepat-cepat dengan wajah penuh kegelisahan Cui Bi memasuki rumah diikuti oleh Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu, Li Eng, dan Kun Hong.

   Mereka memasuki kamar dengan hati-hati dan alangkah kagetnya dan sedih hati Cui Bi ketika melihat Ayahnya duduk bersila dengan wajah sepucat mayat, sedangkan ibunya duduk di belakang Ayahnya, menempelkan telapak kedua tangannya pada punggung Ayahnya. Keduanya meramkan mata, napas Beng San terengah-engah dan berat, sedangkan Li Cu yang sedang memberi saluran hawa murni ke tubuh Suaminya untuk membantu Suaminya memulihkah tenaga dan mengobati luka di dalam, kelihatan pucat dan keringatnya membasahi leher dan muka. Orang-orang muda itu yang tahu akan ilmu silat tinggi, maklum apa yang sedang dilakukan dua orang tua di atas pembaringan itu, maka mereka tidak berani mengganggu. Tiba-tiba Kun Hong melangkah maju dan berkata halus,

   "Bibi, harap kau suka mengaso, amat berbahaya bagi kesehatan Bibi sendiri, biarlah aku yang bodoh mencoba-coba mengobati Paman Beng San."

   Semua orang terkejut dan merasa lancang ucapan Kun Hong ini. Li Cu dan Beng San yang ada mendengar ada suara orang, segera membuka mata, memandang kepada mereka.

   "Ayah, Ibu, Kakak Kong Bu dan Kakak Sin Lee datang..."

   Kata Cui Bi, menahan isak tangisnya melihat keadaan Ayahnya. Memang hebat sekali penderitaan Beng San. Luka-lukanya adalah luka pukulan Lweekang dan senjata yang mengandung racun mematikan, keadaannya amat berbahaya, cahaya matanya sudah menghilang dan pandang matanya sayu. Akan tetapi begitu melihat Kong Bu dan Sin Lee berdiri di situ, ia tersenyum, mengangguk-angguk dan matanya yang pudar itu mengeluarkan cahaya bahagia. Li Cu yang maklum bahwa Suaminya sedang berjuang melawan maut, tanpa melepaskan tangannya berkata.

   "Anak-anak, harap jangan mengganggu kami, tunggulah di luar."

   Akan tetapi Beng San memandang Kun Hong, melihat pemuda aneh ini tunduk dan sinar mata pemuda itu berkilat-kilat menjelajahi seluruh tubuhnya, berkata lemah,

   "Biarlah... biarlah dia... mengobatiku... kau beristirahatlah... dia betul... berbahaya bagi kandunganmu..."

   Setelah berkata demikian, tubuhnya menjadi lemas dan ia tidak kuat bersila lagi, roboh terguling dan dari mulutnya menyembur darah segar. Li Cu kaget sekali, cepat menerima tubuh Suaminya dan menidurkannya telentang menahan isaknya ketika turun dari pembaringan. Nyonya ini kelihatan lelah sekali, ia sudah terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk membantu Suaminya dengan mengerahkan tenaga Lweekang yang berlebihan. Mukanya pucat kehijauan, napasnya terengah-engah.

   "Bi-moi, tolong ambilkan kertas dan alat tulis. Ibumu harus cepat diberi obat,"

   Kata Kun Hong setelah memandang sejenak ke arah Li Cu, Cui Bi terheran-heran tidak mengira bahwa orang yang dikasihinya ini pandai ilmu pengobatan maka cepat-cepat ia mengambilkan barang yang dimintanya. Kun Hong lalu duduk di kursi, menuliskan huruf- huruf yang indah dan cepat sekali ke atas kertas dan memberikan kertas itu kepada Cui Bi.

   "Carilah obat ini, campur air tiga mangkok, masak sampai tinggal semangkok lalu beri minum kepada ibumu."

   Lalu ia menoleh ke arah Li Cu yang sedang membersihkan darah yang dimuntahkan Suaminya tadi dengan sehelai saputangan.

   "Bibi, harap kau suka mengaso untuk menjaga kesehatanmu."

   "Tidak, aku harus menjaga dia"."

   Mendengar suara yang penuh cinta kasih dan kesetiaan ini, Kun Hong terharu sekali. Ia dapat melihat bahwa keadaan nyonya ini amat berbahaya, karena dalam keadaan mengandung telah menyalurkan tenaga dalam dan hawa murni, hal ini benar-benar amat berbahaya, tidak saja bagi kandungannya, juga bagi kesehatan tubuhnya.

   "Bibi, percayalah kepadaku apabila Tuhan menghendaki, Paman Beng San akan sembuh. Bi-moi, kau ajaklah Ibumu beristirahat dan cepat kau menyuruh orang mencarikan obat dari resep itu."

   Melihat sikap kekasihnya yang begitu meyakinkan, Cui Bi tidak ragu-ragu lagi. Memang ia selalu mempunyai dugaan bahwa kekasihnya ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang yang menyembunyikan kepandaiannya. Kiranya kepandaiannya adalah sebagai ahli pengobatan. Ia memeluk Ibunya dan berkata,

   "Ibu, kau percayalah kepada Hong-Ko, mari mengaso dan minum obat."

   Li Cu memandang kepada Kun Hong dengan mata penuh perasaan, bahkan perlahan-lahan air mata berlinang keluar dari mata itu.

   "Kun Hong, kau putera Kwa Tin Siong Lo-Enghiong, tentu saja aku percaya kepadamu. Semoga kau betul-betul dapat menyembuhkannya"."

   Lalu ia menahan isak ketika memandang lagi kepada Suaminya yang sudah pingsan terengah-engah itu kemudian keluar dari kamar dituntun puterinya.

   "Kuharap kalian berempat suka pula keluar dan menunggu di luar. Terlalu banyak orang di dalam kamar amatlah tidak baik bagi si sakit. Li Eng tolong kau minta kepada Cui Bi supaya memberiku jarum-jarum perak dan sepanci air panas mendidih."

   Tanpa berkata apa-apa lagi Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu dan Li Eng meninggalkan kamar, akan tetapi tidak meninggalkan ruangan di luar kamar itu. Dari pintu kamar yang tetap terbuka mereka dapat melihat ke dalam, melihat apa yang akan dilakukan oleh Kun Hong untuk mengobati Beng San yang sudah amat payah keadaannya itu.

   Adapun Li Eng cepat-cepat pergi mencari Cui Bi untuk minta barang-barang yang dipesan oleh Kun Hong tadi, Setelah semua orang pergi, Kun Hong lalu memulai memeriksa luka-luka di tubuh Beng San. Kening pemuda itu berkerut, dahinya berkeriput ketika ia mengerahkan segenap kekuatan ingatannya untuk mencari hal-hal tentang pengobatan yang sudah dihafalnya dari kitab-kitab Yok-Mo. Ia memeriksa jalannya darah pada nadi, ketukan jantung pada dada kiri, memeriksa jalan-jalan darah pada jalan darah terpenting. Ia mendapat kenyataan bahwa Beng San menderita luka dalam yang hebat pada tiga tempat, dan darahnya terserang racun berbahaya dari luka-lukanya di luar pula. Benar-benar amat parah. Dengan gerakan perlahan tapi tepat dan tidak ragu-ragu,

   Kun Hong menotok beberapa pusat jalan darah di tubuh Beng San, mengurut bagian leher dan dada untuk mencegah menjalarnya racun dan mencegah darah keluar dari mulut, kemudian ia membantu daya tahan ditubuh Beng San dengan pengerahan Lweekang pada telapak tangannya yang ia tempelkan pada ulu hati. Usahanya berhasil baik karena pernapasan yang sakit itu tidak seberat tadi. Ketika Li Eng dating memasuki kamar membawa air panas sepanci dan sebungkus jarum-jarum perak, Kun Hong melepaskan tangannya dari si sakit, lalu memberi isyarat kepada Li Eng untuk keluar kamar dan menutupkan pintunya. Li Eng memenuhi permintaan ini dan sekarang empat orang muda itu berdiri di luar kamar, tidak dapat lagi melihat apa yang dilakukan oleh Kun Hong di dalam kamar itu, saling pandang penuh keheranan dan menduga-duga.

   "Hebat pamanmu itu,"

   Kata Kong Bu akhirnya kepada Li Eng.

   "Apakah kau sebagai keponakannya tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan?"

   Tanya Sin Lee kepada Hui Cu. Pertanyaan-pertanyaan ini dilakukan berbisik dan secara otomatis empat orang muda itu terbagi menjadi dua rombongan. Kong Bu berdekatan dengan Li Eng sedangkan Sin Lee berdekatan dengan Hui Cu.

   "Memang dia orang aneh, mengaku tidak bisa apa-apa akan tetapi agaknya menyembunyikan kepandaian luar biasa."

   Jawab Li Eng kepada Kong Bu.

   "Aku sendiri tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan, dia tidak pernah bicara tentang kepandaiannya, kecuali kepandaian membaca kitab."

   Bisik Hui Cu sebagai jawaban kepada Sin Lee. Pelayan datang mengantarkan minuman kepada empat orang muda itu. Mereka berpencar lagi, Kong Bu dengan Sin Lee duduk menghadapi meja kecil di sebelah kiri pintu kamar, adapun dua orang gadis itu duduk menghadapi meja di sebelah kanan pintu kamar. Tak lama kemudian muncullah Cui Bi di ruangan itu.

   "Ibu sudah minum obat dan sekarang tidur nyenyak. Aku harus membantu Hong-Ko."

   Tanpa memberi kesempatan kepada empat orang muda itu untuk mencegahnya, ia terus saja membuka pintu kamar itu masuk dan menutup pintu dari dalam. Empat orang itu saling pandang dan tersenyum maklum. Li Eng dan Kong Bu, juga Sin Lee, berseri wajahnya. Hui Cu menunduk, kelihatan malu dan jengah. Kun Hong menoleh. ketika mendengar ada orang memasuki kamar. Ketika melihat bahwa yang masuk adalah Cui Bi, ia memandang dengan mata bertanya dan alis berkerut.

   "Jangan marah, Hong-Ko. Aku harus membantumu. Ibu sudah minum obat dan tidur. Kebetulan obat-obat yang kau tulis itu tersedia di kamar obat kami."

   Kun Hong tidak tega menolak permintaan kekasihnya. Ia hanya mengangguk dan memasukkan belasan batang jarum ke dalam mangkok yang sudah ia isi dengan air mendidih.

   "Kalau begitu, tolong kau buka baju Ayahmu."

   Dengan sigap Cui Bi melakukan perintah ini, gelisah sekali melihat luka-luka di tubuh Ayahnya, terutama sekali luka dalam yang hanya tampak membiru dan kemerahan di tempat-tempat berbahaya seperti lambung, dada, dan leher. Dengan hati-hati ia membuka baju Ayahnya yang terkena noda darah yang dimuntahkan, lalu menyingkirkan baju itu ke sudut kamar. Adapun Kun Hong melanjutkan pekerjaannya memasukkan jarum-jarum ke dalam air panas tadi. Dengan isyarat tangan ia lalu minta bantuan Cui Bi untuk mengangkat tubuh Beng San yang masih tak sadarkan diri dan membaringkan tubuh itu telungkup.

   "Bi-moi, jangan dekat, kau mundurlah dan jangan mengeluarkan suara."

   Mendengar suara yang penuh wibawa ini, meremang bulu tengkuk Cui Bi.

   Bukan main laki-laki ini, kadang-kadang kelihatan bodoh dan halus lemah-lembut, akan tetapi pada saat ini kelihatan amat berpengaruh, penuh wibawa dan suaranya mengandung kekuatan dan kekuasaan yang hebat. Ia cepat melangkah mundur dan berdiri di sudut kamar, memandang penuh perhatian, penuh harapan, dan penuh kekaguman. Kun Hong mengeluarkan sembilan batang jarum perak dari dalam air panas, memegang jarum-jarum itu pada tangan kiri, mengambil sebatang dengan tangan kanan, dijepit di antara ibu jari dan telunjuk, lalu ia melangkah mundur tiga tindak dari pembaringan. Jarak antara dia dan tubuh Beng San ada satu setengah meter, matanya memandang tajam, semangat dikumpulkan, napas ditahan, tenaga Lweekang digerakkan dan tiba-tiba ia menubruk ke depan, jarum pertama telah ia tusukkan tepat pada jalan darah Tiong-Cu-Hiat yang letaknya dibelakang leher.

   

Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini