Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 29


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Secepat cara ia menusuk ke depan, ia telah melompat ke belakang pula, lalu mengambil jarum kedua dan ditusukkan pada jalan darah Kin-Ceng-Hiat di pundak kanan, lalu jalan darah Hong-Hu-Hiat di belakang kedua pundak, di punggung bawah kanan kiri, jalan darah Sin-Teng-Hiat di kedua pergelangan tangan sampai sembilan batang jarum itu habis ditusukkan semua, menancap di pelbagai jalan darah yang penting. Kun Hong lalu berdiri tegak dengan mata meram, kedua tangan disilangkan, menarik napas panjang memulihkan tenaga dalam yang banyak dikeluarkan untuk melakukan penusukan-penusukan jarum itu. Beberapa menit kemudian ia bergerak lagi, kini melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk, menotok dari belakang kepala terus menurun sampai di lutut.

   Caranya menotok juga aneh karena ia mempelajari dari kitab pengobatan ajaib Toat-Beng Yok-Mo. Seperti tadi, ia menotok dari jarak jauh, melompat dan menotok seperti orang menyerang lawan, akan tetapi totokannya selalu tepat mengenai sasaran! Melihat semua gerakan Kun Hong ini, Cui Bi melongo saking herannya. Ia tidak mengenal ilmu tusuk jarum itu, akan tetapi ilmu menotok tentu saja ia kenal baik. Yang membuat ia kagum adalah cara menotok dengan sebuah jari ini. Belum pernah ia melihat cara menotok seperti itu dan ia hanya mendengar saja cerita Ayahnya bahwa di jaman dahulu ada semacam ilmu menotok yang disebut It-Ci-San, akan tetapi Tiam-Hiat-Hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) ini sekarang hanya tinggal dongengan saja dan belum pernah Ayahnya sendiri melihat tokoh silat mempergunakan dalam pertandingan.

   Akan tetapi sekarang ia melihat Kun Hong menggunakan ilmu itu, hanya bukan untuk bertanding, melainkan untuk mengobati secara hebat sekali. Kali ini, setelah menotok semua jalan darah yang penting, Kun Hong nampak lelah sekali, Ia segera bersila di atas lantai untuk mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga sampai sepuluh menit lebih. Baru ia bangun dan memeriksa detik nadi tangan Beng San. Wajahnya nampak berseri karena tepat seperti petunjuk di dalam kitab pengobatan, cara pengobatan pada babak pertama ini berhasil apabila detik nadi menjadi cepat luar biasa, dan detik nadi yang dipegangnya itupun cepat sekali. Dengan tenang tapi cepat ia mencabuti jarum-jarum itu dan memasukkahnya kembali ke dalam mangkok lain yang sudah diisi air panas. Air di mangkok itu segera berubah menjadi kehitaman!

   "Bi-moi, mari bantu aku."

   Ia memerintah dan Cui Bi cepat melangkah maju, penuh kekaguman. Namun Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan nona ini dan ia bersama Cui Bi mengangkat tubuh Beng San untuk ditelentangkan kembali. Alangkah lega hati Cui Bi ketika melihat betapa wajah Ayahnya yang tadinya pucat seperti mayat sekarang merah kembali, malah terlalu merah dan ketika ia membantu tadi, tubuh Ayahnya dirasakan panas seperti api. Kun Hong memberi isyarat supaya gadis itu mundur lagi, lalu ia mulai lagi dengan pengobatan, babak ke dua, yaitu dengan cara menusuk-nusukkan sembilan batang jarum perak ke pelbagai jalan darah di tubuh bagian depan,

   Kemudian setelah mengaso sebentar lalu melakukan totokan-totokan seperti tadi. Kali ini seluruh tubuh Kun Hong mengeluarkan peluh dan terpaksa ia beristirahat lebih lama dari tadi. Cui Bi mendekat dan melihat wajah dan pernapasan Ayahnya, girang bukan main hatinya. Ia memandang pemuda yang bersila di lantai itu penuh kekaguman, penuh cinta kasih dan ingin rasa untuk memeluknya. Ia berterima kasih sekali dan memandang dengan mesra. Cepat ia menuangkan arak yang tersedia di kamar itu dalam sebuah cawan, lalu ikut duduk bersila di dekat Kun Hong, cawan arak di tangan, menanti sampai pemuda itu menyudahi samadhinya. Tercenganglah Kun Hong ketika ia membuka mata, ia melihat Cui Bi duduk mendeprok di depannya, memandang mesra dan mengangsurkan secawan arak.

   "Kau minumlah dulu..."

   Suaranya merdu sekali, bisikan yang membuat wajah Kun Hong seketika menjadi merah dan jantungnya berdebar keras. Cepat ia menindas perasaan ini, sambil tersenyum menerima cawa itu dan meminumnya.

   "Terima kasih, memang perlu bagiku..."

   Jawabnya sambil mengembalikan cawan yang telah kosong. Kemudian ia mencabuti jarum-jarum itu dan terdengarlah Beng San mengeluh. Pendekar sakti itu batuk-batuk tiga kali dan membuka matanya. Dengan gerakan ringan ia mengangkat kedua tangannya, lalu seperti orang kaget dan heran ia bangun duduk.

   "Ayah, kau sembuh...!"

   Teriak Cui Bi.

   "Ah... Orang muda, kau benar-benar luar biasa..."

   Kata Beng San.

   "Harap Paman jangan bergerak lebih dulu, perlu mengembalikan tenaga dalam, maaf, akan saya bantu, harap Paman mengerahkan tenaga pusar ke dalam rongga dada, terutama di sebelah kiri untuk memperkuat jantung. Bi-moi, kau hangatkan arak untuk Ayahmu nanti."

   Sambil berjingkrak-jingkak menari-nari kegirangan Cui Bi membuka pintu keluar dari kamar itu. Empat orang muda yang menanti di luar kaget, akan tetapi mereka girang sekali ketika dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar gadis itu berkata,

   "Ayah sembuh... ohh, Ayah sembuh... Hong-Ko hebat...!"

   Ia lalu lari untuk menghangatkan arak dan menyampaikan berita girang ini kepada ibunya. Mendengar ucapan ini, empat orang itu segera melongok melalui pintu kamar yang sudah terbuka oleh Cui Bi tadi. Dengan penuh kekaguman dan juga keheranan mereka melihat Beng San sudah duduk bersila tanpa baju, wajahnya tampak merah dan bibirnya tersenyum, matanya meram.

   Di belakangnya duduk Kun Hong bersila pula sambil menempelkan tangan kiri di belakang leher dan tangan kanan di belakang punggung Beng San. Juga pemuda ini memeramkan matanya. Terdengar tindak kaki tergesa-gesa dan ketika mereka menengok, ternyata Li Cu yang berlari-lari datang, matanya berlinang air mata. Seakan-akan tidak melihat adanya empat orang muda di depan pintu itu, ia terus langsung memasuki kamar, terhenti di ambang pintu, menahan napas, matanya memandang ke arah Suaminya, lalu ia terisak-isak ditahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, menangis perlahan. Kong Bu dan Sin Lee yang melihat ini semua tiba-tiba mendengar isak di belakang mereka dan ternyata ketika mereka menengok, Hui Cu dan Li Eng juga sedang terisak menangis!

   "Eh, mengapa menangis?"

   Sin Lee berbisik kepada Hui Cu.

   "Karena girang!"

   Jawab Li Eng dan ternyata ketika menurunkan tangan, wajah gadis ini berseri-seri.

   "Girang tapi menangis?."

   Kong Bu menyela.

   "Aneh, kalau girang menangis, habis kalau berduka bagaimana?"

   "Tentu saja menangis juga,"

   Sekarang Hui Cu yang menjawab, dan baru kali ini terdengar gadis pendiam ini bergurau, agaknya saking gembira hatinya melihat pamannya betul-betul dapat menyembuhkan Ketua Thai-San-Pai itu. Agaknya Beng San mendengar juga isak tertahan itu, ia membuka matanya memandang kepada Li Cu yang berlutut di pinggir pembaringan, lalu tersenyum.

   "Kwa-Hiante, cukuplah, aku sudah yakin sekarang bahwa aku akan sembuh. Kau turunlah."

   Mendengar ini, Kun Hong melepaskan kedua tangannya dan mukanya agak pucat, tapi wajahnya berseri. Ia segera turun dari pembaringan ketika Isteri Beng San berlutut di situ, Beng San memandang dengan wajah berseri.

   "Tak kusangka bahwa hari ini nyawaku tertolong oleh putera Kwa Tin Siong Lo-Enghiong. Hiante, tak perlu aku mengucapkan terima kasih, cukup kalau kunyatakan bahwa aku berhutang nyawa kepadamu. Hiante, kalau aku boleh bertanya, dari siapakah kau mendapat ilmu pengobatan yang luar biasa ini?"

   Kun Hong sudah berdiri di tengah kamar, tunduk kemalu-maluan dan di belakangnya berdiri empat orang muda yang tadi menanti di luar kamar, sedangkan Li Cu kinipun sudah duduk di pinggir pembaringan. Dengan malu-malu dan merendah Kun Hong menjawab,

   "Paman sakit, aku berusaha merawat, hal seperti ini harap Paman jangan besar-besarkan. Andaikata saya yang menderita sakit, saya yakin Paman juga tentu akan merawat saya. Tentang ilmu pengobatan, saya membaca dari kitab-kitab pengobatan Toat-Beng Yok-Mo."

   Beng San dan Isterinya saling pandang penuh keheranan. Toat-Beng Yok-Mo adalah seorang tokoh jahat, seorang manusia berhati iblis yang selalu membunuh setiap orang yang berobat kepadanya. Bagaimana putera Ketua Hoa-San-Pai ini dapat membaca kitab-kitab pengobatannya?"

   Kalau sekali membaca terus ingat hal ini tidak aneh bagi Beng San karena dia sendiripun seorang yang amat cerdas dan sanggup sekali membaca terus ingat. Akan tetapi, hanya membaca saja, bagaimana sanggup melakukan pengobatan-pengobatan yang membutuhkan tenaga Lweekang?

   "Hiante, keteranganmu itu cukup, memang Yok-Mo adalah seorang ahli pengobatan yang tiada keduanya di dunia ini. Akan tetapi caramu mengerahkan Lweekang membantu penyaluran tenaga dalam padaku, hemmm, apakah itu kau pelajari pula dari kitab-kitab Yok-Mo? Aku tahu betul Lweekang Hoa-San-Pai tidak begitu, malah Lweekang yang kau salurkan tadi sejalan atau sesumber dengan Lweekang Thai-San-Pai. Sukakah kau memberi keterangan?"

   Kun Hong menjadi bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tidak suka berbohong, akan tetapi juga tidak berani membuka rahasia gurunya yang sudah tidak ada dan yang tak pernah dilihatnya itu. Karena itu ia hanya menundukkan muka tak dapat menjawab. Melihat ini, Li Cu memandang Suaminya, berkedip yang hanya diketahui oleh mereka berdua, lalu berkata,

   "Hal itu kukira tidaklah aneh betul. Aku mendengar bahwa kepandaian Yok-Mo sebetulnya adalah warisan yang terjatuh di tangannya, yaitu warisan dari Yok-ong (Raja Obat), adapun Lweekang dari Yok-

   (Lanjut ke Jilid 28)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28

   ong ini kabarnya sesumber dengan Lweekang dari Pendekar Sakti, nenek moyang perguruan kita."

   Beng San mengangguk-angguk dan tidak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu Cui Bi berlari masuk membawa arak hangat.

   "Hong-Ko, ini araknya!"

   Katanya penuh kegembiraan dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mesra. Akan tetapi ketika melihat semua orang berada di situ dan semua orang termasuk ibu dan Ayahnya, memandangnya, ia menjadi sadar dan dengan malu-malu ia meletakkan mangkok arak di atas meja, lalu menghampiri Ayahnya.

   "Ayah, kau sudah sembuh betul?"

   Ia memeluk Ayahnya.

   "Bi-ji, Ayahmu sudah selamat, hanya tinggal memulihkan tenaga saja berkat pertolongan Kwa Kun Hong Hiante. Dan kau sendiri, ah... Cui Bi, karena melihat kau dalam cengkeraman manusia iblis Giam Kin itulah yang membuat Ayahmu ini sampai menderita luka-luka. Bagaimana kau bisa selamat, anakku? Apakah kedua orang kakakmu itu yang menolongmu?"

   "Ayah belum tahukah kau, Ayah? Yang menolongku adalah Hong-Ko ini juga! Kalau tidak lekas-lekas dia datang, sekarang aku sudah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, daging dan kulitku tentu sudah habis..."

   Sampai di sini Cui Bi menangis, ngeri mengingat semua pengalamannya. Kun Hong merasa makin tidak enak, ia memang pemalu dan tidak suka menghadapi pujian-pujian. Ia cepat mengambil arak hangat dan diangsurkan kepada Beng San, katanya,

   "Arak hangat ini baik sekali untuk Paman, harap suka minum dan selanjutnya, untuk waktu tiga hari sebaiknya minum obat yang akan saya buat resepnya. Maafkan, Paman, saya hendak membuat resep di luar dan mengaso."

   Saking herannya mendengar keterangan Cui Bi tadi, Beng San menerima mangkok arak hangat sambil memandang dengan bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda yang lemah-lembut itu, biarpun ia sudah dapat menduga dari sinar matanya bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, dapat menolong puterinya dari tangan Giam Kin manusia iblis Si Raja Ular Kecil! Ia lalu minum araknya, dan memberi tanda kepada Kong Bu dan Sin Lee sambil berkata,

   "Anak-anakku, kalian mendekatlah..."

   Kong Bu dan Sin Lee dengan terharu lalu melangkah maju dan berlutut pula dekat Cui Bi di depan tempat tidur.

   Melihat betapa orang tua, dan anak-anaknya itu berkumpul di situ diam-diam Hui Cu dan Li Eng saling mengangguk dan cepat keluar dari kamar itu, mencari Kun Hong yang ternyata sedang berjalan-jalan di dalam taman menghirup hawa udara segar. Dua orang gadis ini menggandeng tangan Kun Hong di kanan kiri dan keduanya tiada hentinya memuji-muji dengan bangga sampai akhirnya Kun Hong membentak mereka disuruh diam. Adapun di dalam kamar itu tampak pemandangan yang amat mengharukan. Bergantian Beng San memeluk dan membelai kepala puteranya, kemudian mereka semua mendengarkan penuturan Cui Bi tentang pertolongan Kun Hong. Mendengar cara Kun Hong menolong Cui Bi, kembali mereka semua tertegun dan ragu-ragu. Kalau melihat cara mengusir ular-ular itu mempergunakan api, adalah cara orang biasa, bukan cara seorang ahli silat tinggi.

   "Aneh sekali anak itu,"

   Beng San berkata.

   "sepak terjangnya penuh keberanian, memiliki kepandaian ilmu pengobatan yang luar biasa pula, akan tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia pandai ilmu silat"

   Pernahkah kalian melihat dia memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang ahli silat kelas tinggi?"

   Cui Bi menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan lawan berat dan betapa Kun Hong secara aneh sekali berani menantang dan mempermainkan Kang Houw yang secara aneh memukuli batu sampai seratus kali, kemudian bagaimana pemuda itu menantang dan dikeroyok oleh Tok Kak Hwesio dan Toat-Beng Yok-Mo akan tetapi akhirnya dua orang tokoh itu saling gebuk sendiri. Mendengar ini Beng San mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala seperti tidak percaya akan semua penuturan aneh itu.

   Demikianlah, kalau di luar kamar dalam taman dua orang gadis Hoa-San-Pai memuji-muji paman mereka, adalah di dalam kamar itu Beng San yang baru saja bebas dari ancaman maut, bergembira ria, bercakap-cakap dengan anak-anaknya dan mendengarkan penuturan mereka seorang demi seorang. Pada hari yang ditentukan, hari ke lima belas bulan itu, pagi-pagi sekali Beng San telah menampakkan diri. Mukanya masih agak pucat, tubuhnya masih agak lemah karena biarpun sudah sehat kembali namun tenaganya belum pulih seluruhnya. Namun ia kelihatan gagah tenang seperti biasa. Keluarnya pendekar ini diiringkan para anak muridnya yang mengangkat panji-panji dan benda-benda pusaka yang akan dijadikan lambang dari Partai baru ini.

   Beng San berpakaian sederhana, pedangnya tergantung di punggung, hanya kelihatan gagangnya saja yang menojol di atas pundak. Sikapnya tenang dan keren, tidak merendah dan malu-malu seperti di waktu mudanya. Langkahnya tegap dan pribadinya membayangkan wibawa besar. Di sebelah kirinya berjalan Li Cu. Nyonya ini biarpun sudah mengandung tiga bulan, tidak kelihatan kegendutan perutnya, pakaiannya ringkas, mukanya tetap cantik jelita biarpun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Sinar matanya tajam menyapu ke kanan kiri, ke arah para tamu. Gagang pedang yang sama dengan pedang Beng San tampak di belakang pundaknya. Nyonya ini membayangkan sifat yang berani, keras hati namun lemah lembut.

   Yang menarik perhatian semua orang, terutama para tamu muda, adalah tiga orang gadis yang berjalan di belakang nyonya Ketua Thai-San-Pai ini. Mereka ini adalah Cui Bi, Li Eng, dan Hui Cu. Tiga orang gadis remaja ini kelihatan cantik-cantik manis, masing-masing mempunyai kelebihan sendiri, akan tetapi ketiganya nampak gagah dan bersemangat, jelas membayangkan kepandaian ilmu silat tinggi. Di belakang Beng San berjalan dua orang muda yang tampan gagah, yang berjalan sambil membusungkan dada, mengangkat dada tinggi-tinggi dan kepala tegak dengan mata memandang lurus ke depan, dua orang muda yang membayangkan kekuatan hebat. Mereka ini adalah Kong Bu dan Sin Lee. Di belakang dua orang muda ini, kelihatan Kun Hong yang kelihatan lemah lembut dan semua orang tentu mengira dia seorang pemuda pelajar yang lemah.

   Pedang Ang-Hong-Kiam dia simpan di balik jubahnya sehingga tidak kelihatan dari luar, langkahnya lambat dan lebar, bibirnya tersenyum akan tetapi pandang matanya serius, seperti pandang mata orang-orang yang sudah tergembleng oleh pengalaman dan derita hidup. Memang Kun Hong merasa agak kuatir, juga Li Cu. Kun Hong mengusulkan tadi agar hari pendirian ini ditunda dan diundurkan. Kesehatan pamannya itu biarpun sudah tidak menguatirkan lagi, namun tenaga dalamnya belum pulih sama sekali sehingga kalau menghadapi orang pandai, bisa-bisa akan celaka. Dan Kun Hong sudah dapat meramalkan bahwa dalam pertemuan itu sudah pasti orang-orang jahat akan maju mempergunakan kesempatan ini untuk mengacau. Mendengar ini, Li Cu juga membujuk Suaminya supaya menunda dan mengundurkan hari itu. Akan tetapi dengan bersikeras Beng San menolak.

   "Pendirian sebuah Partai tidak boleh dibuat main-main. Kita sudah mengumumkan dan orang-orang gagah dari semua penjuru membanjir datang, bagaimana dapat ditunda lagi? Apalagi kalau alasannya hanya karena aku kurang sehat. Hemm, pendirian ini lebih penting daripada keselamatanku. Biarlah mereka yang bermaksud buruk maju, aku masih ada kekuatan untuk melawannya."

   "Tidak usah Ayah maju, aku sendiripun sanggup mewakilinya memberi hajaran kepada manusia-manusia iblis!"

   Seru Cui Bi dengan muka gemas karena ia teringat kepada Giam Kin dan ingin sekali berhadapan dengan manusia licik itu.

   "Ibu tidak usah kuatir, aku Kong Bu tidak percuma berada di samping Ayah,"

   Kata Kong Bu penuh semangat.

   "Akupun tidak akan membiarkan orang menghina Ayah!"

   Kata Sin Lee.

   "Paman dan Bibi, kalau membolehkan kami berdua juga sanggup untuk mewakili Paman menghadapi orang-orang yang hendak mengacau,"

   Kata Li Eng dan Hui Cu mengangguk membenarkan. Mendengar ucapan orang-orang muda yang penuh semanget ini, Beng San tertawa gembira,

   "Nah, ke mana semangatmu yang dulu-dulu?"

   Ia menegur Isterinya.

   "Sikap mereka ini mengingatkan aku akan semangatmu dahulu. Dahulupun kau bersemangat seperti bocah-bocah ini."

   Mereka tertawa dan Li Cu hilang kekuatirannya. Ia cukup maklum akan kelihaian dua orang anak tirinya, juga maklum bahwa selain Cui Bi, Li Eng cukup boleh diandalkan. Apalagi di situ ada dia sendiri, takut apalagi? Juga tidak semua tamu memusuhi mereka, banyak juga teman-teman baik yang tentu takkan membiarkan Thai-San-Pai dikacau orang jahat. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan hal ini tidak mau ia sembunyikan.

   "Bukannya aku hilang semangat,"

   Katanya kemudian.

   "Akan tetapi yang agak berat dilawan adalah Tosu itu. Entah siapa dia? Gerakan tangannya menunjukkan tenaga Lweekang yang hebat sekali."

   Beng San mengerutkan kening,

   "Ah, kau maksudkan Suheng dari Siauw-Ong-Kwi yang bernama Pak-Thian Locu itu? Memang dia hebat. Hemm, tak usah kuatir, aku sanggup menghadapinya."

   Padahal diam-diam Beng San harus mengakui bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tak mungkin ia dapat memandang rendah kepada kakek itu. Ia boleh mengandalkan ilmu pedangnya, akan tetapi dalam hal tenaga, ia kalah jauh. Kalau di waktu sehat saja ia sudah kalah lihai dalam tenaga dalam, apalagi sekarang. Tenaganya belum ada enam puluh prosen kembali. Tapi kekuatiran ini ia tekan saja di dalam hatinya dan tidak diperlihatkan keluar. Setelah rombongan tuan rumah ini tiba di tempat yang sudah disediakan, yaitu di belakang panggung, Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya. Dengan rapi dan teratur anak murid Thai-San-Pai berbaris mendekati panggung.

   Beberapa orang naik ke panggung dengan gaya loncatan khas Thai-San-Pai, ringan dan gesit tapi tanpa kelihatan mengerahkan tenaga. Beberapa orang ini mengatur meja sembahyang yang sejak tadi memang sudah dipasang di sudut panggung. Dengan hormat mereka menyalakan lilin, mengatur meja sembahyang lalu berdiri di kanan kiri merupakan barisan penghormatan. Beng San melangkah maju, terus tubuhnya melayang ke atas panggung seperti seekor Burung terbang, menghampiri meja, memasang hio dan melakukan sembahyang dengan khidmat. Dengan suara lantang pendekar ini mengucapkan sumpah dan mohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya Thai-San-Pai dapat berdiri kokoh kuat dan para murid tidak menyeleweng dari peraturan-peraturan yang disumpahkan itu.

   Setelah Beng San selesai bersembahyang, sebagai sumpah anggauta, Li Cu dan Cui Bi meloncat ke atas panggung. Ibu dan anak ini gerakannya ringan seperti bulu terbawa angin saja, kemudian mereka lalu bersembahyang. Kemudian datanglah giliran para anggauta yang jumlahnya tiga puluh tujuh orang itu melakukan sembahyang dan selesailah sudah upacara sembahyangan ini. Kini tiba giliran para tamu untuk memberi selamat kepada Thai-San-Pai dan menyampaikan bingkisan-bingkisan sebagai tanda mata. Bukan main gembiranya suasana di saat itu. Apalagi ketika berbondong-bondong datang rombongan sahabat-sahabat Ketua Thai-San-Pai, terjadilah gelak tawa, wajah berseri-seri dan berisiklah orang bercakap-cakap.

   Betapa takkan girang hati Beng San menerima sahabat-sahabat lama dari Partai-Partai persilatan besar Go-Bi-Pai, Kong-Thong-Pai, Siauw-Lim-Pai dan bahkan yang membuat ia bergembira sekali adalah hadirnya Ketua Kun-Lun-Pai sahabat lamanya yang bernama Bun Lim Kwi bersama puteranya, Bun Wan. Tentu saja sahabat dan calon besan ini mendapat penyambutan hangat sekali dan Suami Isteri Thai-San-Pai ini diam-diam merasa makin gembira melihat calon mantu mereka, Bun Wan. Pemuda itu ternyata gagah sekali, dengan tubuh tinggi besar dan tegap, alisnya hitam berbentuk golok, matanya penuh kejujuran dan kesetiaan, gerak-geriknya membayangkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, patut menjadi putera ketua Kun-Lun-Pai, dan calon mantu Ketua Thai-San-Pai.

   Akan tetapi, ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah tunangannya, Cui Bi membuang muka dan bersembunyi di belakang para anak murid Thai-San-Pai. Ia diam-diam harus mengakui bahwa tunangannya itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi karena hatinya telah terampas oleh pemuda Hoa-San-Pai yang sederhana itu, mana ia mau memandangnya? Ketika ibunya menarik tangannya depan, terpaksa ia memberi hormat "calon Ayah mertuanya"

   Tanpa sepatah kata-kata pun, lalu dan bersembunyi lagi. Di pihak Bun Lim Kwi yang sekarang sudah kelihatan setengah tua dan masih gagah, ia tertawa terbahak-bahak menyaksikan sikap calon menantunya yang malu-malu itu. Sikap demikian adalah wajar maka ia tidak merasa tersinggung malah tertawa bergelak.

   Adapun Bun Wan yang mengerling ketika gadis itu tadi memberi hormat kepada Ayahnya, merasa jantungnya berdebar... Bukan main tunangannya itu! Cantik jelita seperti bidadari, melampaui segala yang pernah ia impikan. Diam-diam ia memberi selamat kepada diri sendiri atas kemujuran ini. Cui Bi diam-diam gelisah sekali melihat betapa akrab pergaulan antara orang tuanya dan Ketua Kun-Lun-Pai itu dan ia tetap bersembunyi sampai tamu-tamu yang disambut hangat ini sudah dipersilakan duduk kembali ke daerah kursi kehormatan. Hidangan berupa arak dan daging mulailah dikeluarkan dan keadaan menjadi makin meriah. Dengan amat singkat Beng San membuka pertemuan itu sambil berdiri di atas panggung dan suaranya lantang terdengar jelas karena semua orang menghentikan percakapan mereka untuk mendengarkan.

   "Cuwi sekalian yang terhormat. Saya selaku Ketua Thai-San-Pai, menghaturkan banyak terima kasih dan selamat datang atas kunjungan dan perhatian saudara sekalian sebagai saksi dari pendirian Partai baru yang kami dirikan, yaitu Thai-San-Pai. Terima kasih pula kami ucapkan atas pemberian selamat dan bingkisan-bingkisan, semoga hal ini akan mempererat persaudaraan antara kita dan semoga Thian yang akan membalas segala kebaikan saudara sekalian. Kepada para saudara yang datang dengan kandungan hati yang tulus ikhlas kami persilakan menikmati hidangan sekedarnya. Adapun mereka yang mengandung maksud lain, segala rasa penasaran yang terpendam, sekaranglah kiranya terbuka kesempatan bagi mereka itu untuk mengeluarkannya agar disaksikan oleh semua tamu yang terhormat."

   Setelah berpidato singkat ini, Beng San kembali ke tempat duduknya.

   Kata-katanya terakhir itu singkat saja, namun langsung menikam mereka yang memang datang bukan mengandung niat baik, terbukti dari adanya orang yang membunuh anak murid Thai-San-Pai, mereka yang berusaha mati-matian untuk memecahkan jalan rahasia, dan mereka yang telah menculik Cui Bi dan mengeroyoknya. Ia terpaksa mengeluarkan pernyataan ini karena dari atas panggung tadi ia masih belum melihat tokoh-tokoh yang mengeroyoknya dua hari yang lalu, juga tidak kelihatan adanya Giam Kin. Dari tempat ia duduk, sepasang mata Beng San yang amat tajam itu menyapu para tamu dan terlihatlah jelas olehnya kini betapa di antara para tamu itu terdapat bekas-bekas lawan dan orang-orang yang selama ini menganggapnya sebagai musuh. Diam-diam pendekar ini menggolongkan para tamunya menjadi tiga golongan.

   Pertama-tama tentu saja golongan sahabat baik yang datang khusus untuk memberi selamat dan ikut bergembira dengan pendirian Thai-San-Pai, mereka ini antara lain adalah Kun-Lun-Pai, Hoa-San-Pai, tokoh-tokoh Pek-Lian-Pai dan beberapa tokoh kang-ouw yang dikenalnya baik. Golongan ke dua adalah golongan yang selama ini memusuhinya dan di antara golongan ini ia mengenal beberapa Tosu Ngo-Lian-Kauw, orang-orang Bu-Eng-Pai yang dipimpin oleh seorang wanita tua yang ia kenal, yaitu Ang Kim Nio. Juga ia melihat adanya tokoh-tokoh Bajak sungai dari Huang Ho yang tentu tidak senang hati mereka semenjak Ho-Hai Sam-Ong terbunuh oleh Li Cu. Ada pula Koai-Sin-Kiam Oh Tojin yang dulu membantu kakak kandungnya yang jahat, Tan Beng Kui, dan masih banyak lagi orang-orang dari golongan jahat.

   Ia menduga bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok kemarin dulu, tentu bersembunyi dan nanti juga akan muncul kalau sudah tiba saatnya. Orang-orang itu memang termasuk tokoh-tokoh aneh, tidak seperti kebanyakan. Adapun golongan ke tiga adalah yang tidak mudah diraba bagaimana nanti sikapnya. Dalam golongan ini termasuk para wakil Siauw-Lim-Si, dan sungguhpun Siauw-Lim-Pai tidak langsung memusuhinya, namun ia melihat dua orang di antara mereka adalah Hek Tung Hwesio dan Pek Tung Hwesio yang dahulunya dianggap telah melarikan diri dari Siauw-Lim-Pai dan menjadi musuh mendiang Cia Hui Gan. Malah pernah dua orang ini dikalahkah oleh Li Cu (baca Raja Pedang). Juga guru silat Kota Raja Lai Tang si pongah itu, sukar dijajaki isi hatinya, dan masih banyak orang-orang aneh dari Selatan yang tidak dikenalnya namun yang jelas memiliki kepandaian tinggi.

   Suasana makin menegang ketika para tamu sudah minum arak dan minuman keras ini agaknya membuat mereka mulai terlepas bicaranya dan keadaan makin berisik. Namun keadaan tuan rumah dan orang-orang muda yang menemaninya itu tetap tenang-tenang saja, seakan-akan tidak tahu akan perbuatan ini. Beng San maklum bahwa perkumpulan yang baru didirikannya itu hanya mempunyai tiga puluh lebih orang anggauta, tak boleh dibilang kuat menghadapi bahaya. Akan tetapi ia percaya kepada diri sendiri, apalagi di situ ada Isterinya yang lihai dan terutama sekali karena sekarang ada Cui Bi yang ia tahu lebih lihai dari ibunya, terdapat pula anaknya yang baru tiba, Sin Lee, Kong Bu.

   Ia maklum bahwa dua orang puteranya ini adalah bocah-bocah gemblengan, malah ia boleh mengandalkan tenaga murid-murid Hoa-San-Pai terutama Li Eng. Hui Cu belum begitu tinggi ilmunya sedang Kun Hong tetap merupakan tokoh penuh rahasia bagi Beng San, Pemuda ini sama sekali tidak pernah. mau mengaku bahwa ia memiliki kepandaian tinggi, dan karena Beng San merasa berhutang nyawa, maka pendekar ini tidak berani untuk mencoba-coba. Biarpun masih amat muda, sikap Kun Hong seperti seorang yang sudah tua, membuat orang tidak berani main-main kepadanya. Di samping kekuatan keluarga sendiri yang cukup membesarkan hati ini, di situ masih banyak sahabat-sahabat yang kiranya takkan berpeluk tangan kalau melihat Thai-San-Pai diganggu penjahat.

   Terutama sekali tentu saja, calon besan dan calon mantunya Bun Lim Kwi dan Bun Wan. Cuma seorang saja yang kadang-kadang membuat Beng San berdebar, yaitu Pak-Thian Locu. Kalau kakek itu nanti muncul, tidak ada orang lain yang boleh diandalkan untuk menghadapinya kecuali dia sendiri. Kakek itu terlampau lihai, dan tingkatnya sudah tinggi sekali sehingga dia sendiripun masih ragu-ragu apakah akan dapat mengatasinya. Beberapa orang tamu sudah mulai mabuk dan tiba-tiba Lai Teng guru silat pongah yang tinggi besar itu berdiri dari bangkunya. Agaknya teman-temannya semeja berhasil menghasutnya dan kini ia berdiri dengan kaki terpentang dan ia bertepuk tangan beberapa kali untuk menarik perhatian. Setelah semua orang memandangnya, ia berkata dengan suara nyaring,

   "Heiii! Thai-San-Pai ini Partai macam apa sih? Perkumpulan para pengejar huruf, pengejar konde, ataukah perkumpulan orang-orang gagah? Kalau ketuanya seorang ahli silat tinggi, seorang Raja Pedang, kenapa perayaan ini begini adem? Membosankan!"

   Ucapan ini terang merupakan penghinaan yang sengaja dikeluarkan untuk memancing keributan. Akan tetapi Beng San dan keluarganya hanya memandangnya dengan sikap tenang-tenang saja. Terdengar pekik sorak di sana-sini, terutama dari mereka yang memang ingin segera menyaksikan keributan terjadi di tempat itu. Ada suara dari sudut berseru,

   "Lai-Kauwsu, kau berjuluk Si Cakar Naga, di Kota Raja siapa yang tidak pernah mendengar nama besarmu? Tapi di sini, jangan kau main-main. Apa kau berani memperlihatkan kepandaianmu di panggung? Jangan-jangan kau akan diketawai Thai-San-Pai!"

   Semua orang menengok untuk melihat Si Pembicara, akan tetapi tidak ada yang tahu betul siapa yang menguacapkan suara tadi. Hanya orang-orang pandai di antara tamu dan tentu saja pihak tuan rumah yang tahu bahwa suara ini dikeluarkan oleh seorang pandai yang mempunyai ilmu khikang tinggi sehingga dapat memindahkan arah suaranya.

   Orang yang pandai dengan ilmu ini, biarpun ia berdiri di sebelah barat, suaranya dapat terdengar seperti datang di sebelah Timur. Beng San maklum bahwa orang yang memusuhinya mulai "membakar"

   Suasana. Namun ia tenang saja dan memang sudah siap menghadapi segala kericuhan yang disengaja oleh para lawannya. Sebagai sebuah Partai baru, Thai-San pai harus memperlihatkan keangkerannya, harus dapat menjaga nama dan keadaan yang sekarang ia hadapi ini merupakan ujian berat namun baik sekali. Lai Tang Si Cakar Naga menengok juga akan tetapi karena tidak dapat melihat orang yang mengeluarkan kata-kata itu, ia segera melihat ke arah panggung dan kemarahannya sudah meluap.

   "Siapa takut diketawai dan siapa berani menertawai aku?"

   Tubuhnya melayang dan ia sudah naik ke atas panggung yang memang disediakan itu. Ketika melayang ke atas papan panggung itu, tubuhnya seperti daun kering saja, amat ringan dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara. Menyaksikan Ginkang yang cukup hebat ini, para tamu yang muda dan yang tidak begitu tinggi tingkat ilmunya, segera bertepuk tangan riuh-rendah memuj. Lai Tang yang, disoraki ini "mendapat hati."

   Sambil petantang-petenteng ia berkata ke arah rombongan tuan rumah.

   "Tidak ada Partai baru didirikan tanpu diuji. Thai-San-Pai adalah Partai baru, tapi siapa pernah mendengar tentang ilmu silat Thai-San-Pai? Dalam perayaan semacam ini, sudah sepatutnya Thai-San-Pai memperlihatkan isinya. Biarlah aku menjadi orang pertama untuk belajar kenal dengan kelihaian ilmu siiat Thai-San-Pai!"

   Kong Bu bergerak dari bangkunya, juga Sin Lee mengepal tinju, akan tetapi Beng San. memberi isyarat kepada dua orang puteranya itu untuk menahan diri dan bersikap sabar, Kemudian ia menggapai kepada Oei Sun, murid kepala yang berdiri di rombongan para murid Thai-San-Pai. Isyarat ini cukup dapat dimengerti oleh Oei Sun yang dengan langkah tenang lalu menghampiri panggung, kemudian setelah menjura ke depan Beng San dan Li Cu, murid kepala ini lalu melompat ke atas panggung, menghadapi Lai Tang sambil tersenyum dan memberi hormat.

   "Lai-Kauwsu, atas perkenan ketua kami, saya diwajibkan melayani Kauwsu yang datang sebagai tamu dan kami Thai-San-Pai sebagai tuan rumah wajib melayani semua kehendak tamu. Harap Kauwsu ketahui bahwa Thai-San-Pai di dirikan bukan sekali-kali bermaksud untuk menjagoi, terlebih-lebih pula sama sekali bukan didirikan dengan maksud mencari permusuhan dengan orang atau pihak manapun juga."

   "Ha-ha-ha!"

   Lai Tang tertawa bergelak.

   "Kalau begitu, apakah Thai-San-Pai merupakan sebuah perkumpulan yang mengajar seni tari, ataukah kebatinan, apakah perkumpulan bermain judi? Apakah Thai-San-Pai bukan perkumpulan silat?"

   Merah muka Oei Sun mendengar ejekan ini, namun mulutnya masih tersenyum ramah dan tenang.

   "Lai-Kauwsu, sudah tentu saja guru kami mendirikan sebuah perkumpulan silat dan Thai-San-Pai adalah perkumpulan silat karena ketua seorang ahli silat yang sudah dikenal oleh seluruh dunia. Akan sama sekali bukan perkumpulan silat yang mendidik murid-muridnya menjadi pongah dan sombong, dan semua anak murid Thai-San-Pai mempelajari ilmu silat hanya untuk memenuhi kehendak guru dan memenuhi sumpah Thai-San-Pai, yaitu mempergunakan kepandaian ilmu silat untuk memberantas kejahatan dan kelaliman, menegakkan kebenaran dan keadilan, mengabdi kebajikan, bukan untuk menjadi jagoan yang berlagak tengik!"

   Lai Tang merasa disindir dan matanya melotot.

   "Bagus sekali! Kalau begitu ingin sekali aku menguji ilmu silat Thai-San-Pai, apakah sudah cukup tinggi untuk membuat anak muridnya menjadi pendekar. Silahkan ketuanya maju, biar aku Lai Tang mohon sedikit pelajaran."

   Oei Sun juga sudah marah.

   "Lai-Kauwsu, aku Oei Sun adalah murid Thai-San-Pai dan Suhu sudah memerintahkan aku untuk melayanimu. Kalau kau sebagai tamu menghendaki pertandingan untuk menguji ilmu silat, silakan, aku bisa melayanimu."

   "Ah, begitukah? Nah, kau terimalah seranganku ini!"

   Lai Tang serta-merta menerjang dengan serangannya dan agaknya guru silat ini hendak mencapai kemenangan dalam waktu singkat karena begitu menerjang ia telah mainkan ilmu silatnya yang paling diandalkan dan yang membuat ia dijuluki Si Cakar Naga, yaitu ilmu silat yang ia namakan Liong-Jiaw-Kang (Ilmu Cakar Naga). Ilmu silat ini dimainkan dengan kedua tangan terbuka, dan jari-jari tangan dipergunakan untuk mencengkeram sedangkan pukulan ditekukan oleh pangkal tangan. Disertai tenaga Lweekang yang kuat, Ilmu Liong-Jiaw-Kang ini memang berbahaya sekali karena selain memukul, kedua tangan itu dapat mencengkeram atau menangkap, Pada hakekatnya ilmu Liong-Jiaw-Kang ini tiada bedanya dengan Ilmu Eng-Jiaw-Kang,

   Akan tetapi dasar Lai Tang orangnya sombong, ia mengadakan perubahan pada ilmu Silat Eng-Jiaw-Kang ini dan menganggap bahwa ilmu silat ini adalah ciptaannya, malah ia memakai julukan Si Cakar Naga segala! Oei Sun adalah murid pertama dari Beng San. Biarpun bakatnya tidak amat baik, namun karena ketekunannya mempelajari ilmu silat selama belasan tahun, bahkan selama dua puluh tahunan ini, tentu saja ilmu silatnya sudah cukup tinggi. Beng San dan Li Cu memang tidak melihat bakat baik pada dirinya, namun Oei Sun memiliki kejujuran, kesetiaan dan keteguhan hati, dan Suami Isteri ini menemukan Oei Sun ketika pemuda ini di suatu dusun untuk menbela penduduk di situ, mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok, padahal ia sama sekali tidak tahu ilmu silat.

   Sifat gagah dan jiwa ksatria inilah yang menarik hati Beng San dan Oei Sun tidak mempunyai sanak keluarga, lalu diajak ke Thai-San dan diberi pelajaran ilmu silat. Oei Sun amat setia dan ia malah sampai sekarang tidak pernah berIsteri. Tentu saja Beng San tidak menurunkan ilmu-ilmu seperti Im-Yang Sin-Hoat atau ilmu silat Isterinya Sian-Li Kun-Hoat kepada Oei Sun, hanya puteri mereka saja yang mewarisi kedua ilmu ini, namun Beng San mengajarnya Thai-San Kun hoat yang ia ciptakan bersama Isterinya. Dalam Ilmu Silat Thai-San Kun-Hoat ini terkandung beberapa pukulan-pukulan penting dari kedua ilmu silat di atas. Melihat datangnya penyerangan Lai Tang yang cepat dan bertubi itu, Oei Sun dengan tenang menggeser kaki ke belakang dan beberapa kali ia mengelak dengan cepat sambil memperhatikan gaya permainan lawan.

   Memang beginilah sikap anak murid Thai-San-Pai, kalau diserang lawan, tidak buru-buru membalas melainkan menangkis atau mengelak beberapa kali sambil memperhatikan gaya lawan untuk mencari kelemahannya. Pada hakekatnya, dasar ilmu silat Lai Tang tidaklah hebat, maka setelah mengelak lima kali saja Oei Sun sudah dapat mengetahui kelemahan lawan. Cengkeraman yang merupakan pokok penyerangan itu dilakukan dengan tangan bergerak dari depan dada sehingga siku lengan itu menjulur ke depan dan inilah kelemahah Lai Tang. Setelah mengelak dan menangkis beberapa belas jurus lamanya, Oei Sun mencari kesempatan. Pada saat ia mengelak dari cengkeraman tangan kanan, tangan kiri Lai Tang sudah siap, lengannya ditekuk dengan tangan kedepan dada. Saat itu Oei Sun cepat memukul ke depan, tepat pada siku kiri Lai Tang, mengarah jalan darah pada sambungan siku.

   "Aduh...!"

   Lai Tang terhuyung mundur, mukanya pucat dan tangan kanannya memegangi siku kiri yang terlepas sambungannya oleh pukulan tadi! Oei Sun menjura sambil tersenyum,

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Terima kasih bahwa Lai-Kauwsu sudah suka mengalah kepadaku."

   "Keparat jangan sombong, aku belum kalah!"

   Teriak guru silat kasar Ini dan tangan kanannya tahu-tahu telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya. Biarpun lengan kirinya sudah lumpuh karena sambungan sikunya terlepas ia masih dapat bergerak cepat dan goloknya menyambar ke arah leher Oei Sun. Semua orang terkejut melihat gerakan golok yang amat cepat datangnya, namun Beng San yang menonton dari kursinya hanya tersenyum tenang saja. Muridnya itu biarpun kurang berbakat, namun cukup teliti dan terlatih sehingga kalau hanya menghadapi seorang lawan kasar macam Lai Tang saja pasti takkan memalukan.

   "Eh, Lai-Kauwsu hendak main-main dengan senjata?"

   Seru Oei Sun sambil menundukkan kepala dan menggeser ke kiri, tangan kanannya bergerak dan tercabutlah sebatang pedang dari pinggangnya. Ketika golok lawannya menyambar lagi dari samping, ia menangkis sambil menyelinap maju dan tahu-tahu pedangnya sudah melanjutkan tenaga tangkisan atau benturan itu merupakan tusukan ke arah lambung. Lai Tang dapat menangkis pula dan bertandinglah dua orang ini dengan seru. Harus dipuji juga keuletan Lai Tang. Lengan kiri yang lumpuh itu menghambat gerakan-gerakannya tak mau menyerah mentah-mentah dan goloknya yang digerakan dengan tenaga besar menyambar-nyambar ganas. Namun menghadapi ilmu pedang Oei Sun, jelas bahwa ia kalah setingkat.

   Ilmu pedang Thai-San-Pai yang dimainkan Oei Sun adalah pecahan dari Im-Yang Kiam-Hoat dan Sian-Li Kiam-Hoat, hebatnya bukan kepalang, juga amat indah ditonton. Belum sampai dua puluh jurus pandang mata Lai Tang menjadi kabur, kepalanya pening dan melihat lawan seakan-akan sudah berubah menjadi banyak sekali. Baiknya Oei Sun sebagai murid Beng San, bukanlah seorang kejam. Ketika mendapat kesempatan baik, ia berhasil menggurat pergelangan tangan kanan Lai Tang sehingga guru silat pongah ini sambil berteriak melepaskan goloknya dan darah bercucuran dari luka di pergelangan tangan, luka yang tidak berbahaya tapi cukup mengeluarkan banyak darah. Oei Sun sudah menyimpan pedangnya membungkuk untuk memungut goiok lalu menyerahkannya kepada Lai Tang sambil berkata,

   "Terima kasih bahwa Lai-Kauwsu sudah mengalah dua kali kepadaku."

   Lai Tang menerima goloknya memandang dengan mata mendelik, mendengus sekali lalu meloncat turun dari panggung, diiringi sorak sorai tamu yang memuji-muji Oei Sun. Di tengah sorak sorai itu, sebelum Oei Sun meloncat turun kelihatan bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang Tosu tua sudah berdiri di atas panggung menghadapi Oei Sun. Pendeta ini berjubah kuning ringkas, dan di punggungnya tampak gagang sebuah pedang. Sambil tersenyum ia menjura dan berkata,

   "Kepandaian Sicu hebat, tidak kecewa menjadi murid Thai-San-Pai. Lebih-lebih ilmu pedang tadi, amat indah dilihat sungguhpun kegunaannya belum tentu sehebat keindahannya! Sicu, maukah kau memperlihatkan ilmu pedang Thai-San-Pai kepada Pinto (aku)?"

   Melihat Tosu ini, Beng San mengerutkan alisnya. Ia mengenal Tosu itu yang bukan lain adalah Koai-Sin-Kiam Oh Tojin, dahulupun pernah membantu Tan Beng Kui, kakaknya.

   Dari julukannya saja, Koai-Sin-Kiam (Pedang Sakti Aneh), dapat diduga bahwa Tosu ini adalah seorang ahli pedang dan seingat Beng San muridnya itu takkan menang menghadapi Tosu ini yang lebih tinggi tingkatnya. Akan tetapi, melihat bahwa muridnya itu tidak menolak tantangan Tosu itu, sudah tentu saja ia tidak dapat menyuruh muridnya mundur sebelum mereka bergerak. Ia hanya memandang dengan alis berkerut. Adapun Oei Sun, sebetulnya dia adalah seorang yang cukup mempunyai kesabaran. Andaikata dia yang dihina orang kiranya ia takkan mudah menjadi marah. Akan tetapi ucapan Tosu itu tadi merupakan penghinaan bagi Thai-San-Pai, merupakan ucapan memandang rendah ilmu pedang Thai-San-Pai, maka ia menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk menjaga nama baik Suhunya dan Partainya. Iapun balas memberi hormat dan berkata,

   "Tentu saja sebagai tamu Totiang berhak meminta sesuatu dan sudah menjadi kewajiban tuan rumah untuk melayanimu. Akan tetapi, siapakah Totiang ini, hendaknya sudi memberi nama yang benar agar aku, Oei Sun murid Thai-San-Pai, dapat terbuka mata dan mengenalnya."

   "Ha-ha-ha-ha, kau orang muda yang pandai merendah, Oei-Sicu. Bagus, karena sikapmu inilah kau akan selamat dari tanganku. Ketahuilah, Pinto adalah Oh Tojin, bergelar Koai-Sin-Kiam. Seperti kau ketahui, dari julukan Pinto itu sudah sepatutnya Pinto tertarik akan ilmu pedang. Nah, pergunakanlah pedangmu untuk menyerang, agar Pinto dapat merasai kelihaian ilmu pedang Thai-San-Pai!"

   Tanpa banyak cakar lagi Oei Sun mencabut pedangnya.

   "Harap Totiang suka mengeluarkan pedang Totiang"

   "Ha-ha-ha!"

   Tosu itu tertawa dengan sikap jumawa sekali.

   "Sudah kukatakan tadi, sikapmu menolongmu. Pinto tidak perlu menggunakan pedang karena sekali menggunakan pedang, tentu kau celaka. Jangan ragu-ragu, kau pergunakanlah pedangmu."

   Oei Sun mendongkol sekali.

   "Totiang sendiri yang minta, harap jangan menyesal. Lihat pedang!"

   Pedangnya berkelebat menyambar dan Tosu itu dengan gerakan yang baik dan cepat sekali telah berhasil menghindarkan diri. Oei Sun menyerang terus dengan hati-hati, namun benar-benar Tosu di depannya ini tidak dapat dipersamakan dengan Lai Tang yang sombong tadi. Gerakan Tosu ini ringan sekali dan berdasarkan ilmu silat yang tinggi. Geseran-geseran kakinya teratur dan biarpun bertangan kosong, belum pernah pedang Oei Sun dapat menyentuh bajunya.

   "Hemmm, Oei Sun terlalu sungkan, kalau ia bersungguh melakukan serangan maut, Tosu badut itu tentu akan repot,"

   Kata Li Cu yang duduk di sebelah kiri Suaminya. Beng San mengangguk.

   "Memang, mendengar bahwa Tosu itu tidak akan mencelakakannya, cukup membuat Oei Sun sungkan, melukainya juga. Kesalahan besar, terhadap orang yang begitu tinggi hati harus memberi hajaran. Betapapun juga, Oei Sun bukanlah lawannya."

   Tosu itu benar-benar mempermainkan lawannya. Sambil mengelak dan meloncat ke sana ke mari, mulutnya terus mengoceh.

   "Ah, jurus ini seperti jurus Hoa-San-Pai. Orang muda, sudah banyak ku ketahui tentang ilmu pedang, banyak yang kelihatannya indah dan bagus tapi tidak berisi, seperti misalnya ilmu pedang Hoa-San-Pai itu. Memang bagus dipandang, tapi kalau dipergunakan dalam pertempuran, tidak ada gunanya."

   Ia mengelak ke kiri dan menyambung.

   "Seperti jurusmu.. ini, apa gunanya. Lihat inilah gerakan istimewa yang disebut Udang Sakti Mencapit Ikan!"

   Pada saat itu, pedang Oei Sun menyambar dari atas ke bawah membacok pundaknya. Oh Tojin miringkan tubuh dan pada saat pedang itu menyambar di dekat tubuhnya, tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu punggung pedang benar-benar telah di "capit"

   Oleh dua buah jari tangannya yang telah ditekuk. Hebatnya, betapapun Oei Sun berusaha membetot kembali pedangnya, ia tidak, berhasil karena capitan atau jepitan kedua jari tangan yang ditekuk itu benar-benar amat kuat seperti jepitan baja!

   "Ha-ha-ha, inilah jurus saktiku, Oei-Sicu. Tangan kirimu masih bebas, apakah kau hendak memukul? Bisa, tapi jagalah capit saktiku,"

   Kata Tosu itu sambli tertawa-tawa.

   Oei Sun tentu saja tidak mau mengalah secara demikian. Biarpun pedangnya sudah dijepit dan tak dapat ia tarik kembali, namun ia belum boleh dibilang kalah. Mendengar tantangan ini, ia lalu menggerakkan tangan kirinya memukul bukan ke arah tubuh Tosu itu melainkan ke arah tangan yang menjepit pedangnya. Usaha ini ia lakukan agar tangan itu suka melepaskan jepitannya dan pedangnya dapat terlepas. Akan tetapi sekarang Tosu itu menggerakkan tangan kirinya pula dan...

   "capp"

   Lengan tangan Oei Sun pada pergelangannya kena dijepit pula sehingga sekarang Oei Sun tak dapat menggerakkan kedua lengannya sama sekali! Jepitan pada pergelangan itu mengakibatkan rasa nyeri yang menusuk jantung.

   "Ha-ha, Oei-Sicu, apakah kau belum menerima kalah?"

   Oei Sun adalah murid seorang pendekar sakti, mana bisa dia menyerah kalah sebelum roboh? Ia menggeleng kepala, lalu kaki kanannya bekerja, menendang keras ke depan. Tapi tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang dan karena kakinya sedang menendang, otomatis ia terjengkang dan roboh, pedangnya masih dalam jepitan tangan Tosu lihai itu yang tertawa-tawa bergelak. Sekali tangan kanannya bergerak, pedang yang dijepit itu sudah menancap ke atas papan panggung sampai setengahnya! Oei Sun merayap bangun, berdiri dan menjura kepada Tosu itu,

   "Aku Oei Sun mengaku kalah, tingkat Totiang lebih tinggi daripadaku."

   Setelah berkata demikian, Oei Sun mengerahkan tenaga mencabut pedangnya dan meloncat turun, memberi hormat kepada Suhunya dengan wajah muram. Beng San hanya menegurnya singkat,

   "Lain kali jangan terlalu sungkan berhadapan dengan lawan, Oei Sun!"

   Murid itu mengangguk dan berdiri di pinggiran. Pada saat itu, Li Eng sudah di depan Beng San dan berkata,

   "Paman, aku akan menghadapi Si Sombong itu!"

   Anehnya, ia berlari-lari menghampiri panggung berdua dengan Hui Cu. Beng San tidak keberatan, namun terheran-heran dan ingin mencegah dua orang gadis itu naik bersama.

   Apa maksud Li Eng? Apakah hendak mengeroyok? Adanya Beng San memberi persetujuan, karena ia maklum akan isi hati gadis itu. Tadi Oh Tojin menyebut-nyebut dan memburuk-burukkan nama Hoa-San-Pai, sudah sepatutnya kalau gadis itu membela nama baik perguruannya dan ia maklum bahwa dengan kepandaiannya itu, Li Eng sudah pasti akan dapat mengatasi Oh Tojin. Akan tetapi, kalau gadis itu hendak maju berdua mengeroyok Oh Tojin, ah, hal itu amat memalukan Hoa-San-Pai! Sebelum ia sempat mencegah, dua orang gadis itu sudah melompat ke atas panggung dengan gerakan ringan dan cepat, khas gerakan Hoa-San-Pai. Pada saat itu, para tamu sedang bersorak dan bertepuk tangan memuji Oh Tojin. Tosu ini setelah mendengar Pujian orang, menjadi girang sekali dan lagaknya dibuat-buat. Ia menjura ke empat penjuru dan berkata nyaring,

   "Tidak ada harganya untuk dipuji! Pinto belum memperlihatkan kepandaian karena menghadapi seorang lemah, mana ada kesempatan memperlihatkan kepandaian aseli?"

   Akan tetapi tepuk tangan makin bergemuruh dan ia mengira bahwa orang-orang itu memuji-muji dia, tidak tahunya yang disoraki adalah gerakan dua orang gadis muda yang cantik-cantik dan yang gerakannya benar-benar mengagumkan itu. Ia cepat menoleh, memandang dan senyumnya melebar.

   "Aha, kiranya Thai-San-Pai mempunyai pula murid-murid wanita yang cantik dan pandai! Tentunya kalian lebih pandai daripada Oei Sun tadi. Akan tetapi kalian maju berdua, ini bagus sekali. Memang sepatutnya... bagus sekali kalian maju berdua jadi berimbang dan agar jangan dikatakan bahwa aku orang tua mau menang sendiri. Ha-ha-ha!"

   Li Eng tertawa-tawa dan Hui Cu yang pendiam hanya berdiri tegak. Tadi memang Li Eng yang membisikkan akalnya untuk menggoda Tosu ini. Sebenarnya ia tidak setuju, akan tetapi karena ia maklum akan kenakalan Li Eng dan pula memang ia mendongkol mendengar betapa Tosu ini menghina Hoa-San-Pai, di samping kepercayaannya akan kelihaian Li Eng, maka ia menuruti kehendak adiknya itu.

   "Eh, Tosu tua yang bernama Oh Tojin berjuluk Koai-Sin-Kiam! Kami berdua ini juga menjadi tamu-tamu Thai-San-Pai dan kami naik ke sini karena kau tadi menyingung nama Hoa-San-Pai, perguruan kami!"

   "Ha-ha-ha, anak murid Hoa-San-Pai, ya? Aha, kalian naik mau apakah? Jangan main-main, biarpun ilmu pedang Thai-San-Pai yang diperlihatkan bocah tadi tidak berapa hebat, akan tetapi kalau ditandingi dengan ilmu pedang Hoa-San-Pai saja kiraku belum tentu kalian akan dapat mengalahkan."

   Tosu itu memotong ucapan Li Eng.

   "Bukan begitu, Totiang. Kami berdua tadi mendengar ocehanmu tentang keburukan ilmu pedang Hoa-San-Pai yang hanya indah dilihat tetapi tidak ada gunanya. Apakah betul begitu anggapanmu?"

   Oh Tojin gelagapan mendengar pertanyaan ini. Sebetulnya ia berani mencela Hoa-San-Pai, karena ia tidak melihat adanya tokoh-tokoh Hoa-San-Pai di tempat itu. Sekarang muncul dua orang gadis muda ini yang mengaku sebagai murid Hoa-San-Pai, sedangkan ia sudah terlanjur mengeluar kata-kata mencela ilmu pedang Hoa-San-Pai, terpaksa ia tidak dapat mundur lagi.

   "Kalau betul begitu, kalian mau apakah? Apakah kalian bisa membuktikan bahwa ucapanku tadi tidak benar?"

   Tantangnya sambil pringas-pringis. Li Eng tersenyum, bukan main manisnya kalau dia tersenyum sambil mainkan kedua matanya itu.

   "Totiang, tentang keburukan ilmu pedang Hoa-San-Pai, kami sendiri tidak akan menyombong dan aku yang muda tidak berani membantah. Akan tetapi gerakanmu tadi ketika menjepit pedang Oei-Enghiong agaknya tidak menang hebatnya dengan jurus Hoa-San-Pai yang bernama Kepiting Sakti Mencapit Ikan!"

   Tosu itu melengak.

   "Tidak bisa jadi! Ilmu mencapit dengan dua buah jari itu adalah ciptaanku, mana bisa Hoa-San-Pai memiliki ilmu seperti itu? Dan bukan kepiting melainkan udang sakti. Jangan kau main-main!"

   "Hi-hik, siapa main-main? Kau mau bukti? Lihatlah! Eh, Enci Hui Cu, kau cabut pedangmu dan bacok aku seperti yang dilakukan Oei-Enghiong tadi!"

   Kata Li Eng kepada Hui Cu. Mau tidak mau Hui Cu menahan ketawanya sehingga ia tersenyum-senyum lalu mencabut pedangnya dan dengan gerakan perlahan dan lambat sekali ia membacok ke arah Li Eng. Dengan lagak dibuat-buat seperti lagak Tosu tadi, Li Eng mengelak dan ketika pedang itu begitu lambat menurun di dekatnya ia lalu mencapit pedang itu dengan kedua jari tangannya yang ditekuk. Gerakannya begitu persis dengan gerakan Tosu tadi, akan tetapi karena baik bacokan maupun jepitan dilakukan perlahan dan lambat sekali, terang bahwa dua orang gadis cantik itu mempermainkan Si Tosu. Meledaklah suara ketawa para tamu, bahkan para tokoh-tokoh besar yang melihat pertunjukan ini tidak dapat menahan ketawa mereka. Benar-benar seorang bocah yang nakal sekali, pikir mereka. Li Cu tak dapat menahan ketawanya, menutupi mulut dengan saputangannya, sedangkan Beng San tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Cui Bi terkekeh-kekeh memegangi perut, juga Sin Lee dan Kong Bu terbahak-bahak. Hanya Kun Hong yang menggeleng-geleng kepala sambil menggerutu.

   "Kurang ajar sekali dia... kurang ajar sekali..."

   Sementara itu, Oh Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Anak setan, apakah kau sengaja hendak menghina Pinto?"

   "Aih-aih, siapa menghina, keledai tua? Siapa yang tadi mengatakan bahwa Hoa-San-Pai memiliki ilmu pedang yang tiada gunanya? Kau yang menghina perguruan kami, sekarang kau berbalik Bilang kami yang menghina. Hemm, sungguh tak tahu malu, Tosu bau hidung kerbau!"

   Memang Li Eng nakal dan pintar bicara, hal ini sudah pernah dialami oleh Kong Bu yang pada saat itu hampir terpelanting dari kursinya saking tertawa bergelak-gelak melihat lagak kekasihnya mempermainkan Tosu sombong itu.

   "Perempuan sombong, bocah setan apakah kau berani menghadapi pedangku?"

   Sambil berkata demikian Oh Tojin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkan pedangnya supaya cahayanya berkilau tertimpa sinar matahari. Li Eng memperlihatkan sikap ketakutan.

   "Wah-wah, Enci Hui Cu, lebih baik kau lekas turun panggung, jangan-jangan keserempet pedang. Pedang tajam di tangan orang mabuk yang tidak mampu main pedang, benar-benar lebih berbahaya daripada di tangan seorang yang baru belajar."

   Sambil tersenyum-senyum saking gelinya Hui Cu melayang turun dari atas panggung lalu menghampiri kembali tempat duduknya, disambut tertawa lebar, semua orang yang duduk di pihak Thai-San-Pai. Juga para tamu tadi terpingkal-pingkal menyaksikan ini, sehingga tempat itu benar-benar menjadi meriah seakan-akan di situ terdapat pertunjukan lawak-lawak yang pandai mengocok perut. Kemarahan Oh Tojin tak dapat ditahannya lagi.

   "Bocah setan, kau bersiaplah menghadapi pedangku. Hemm, kalau aku tidak bisa memberi hajaran kepadamu, jangan sebut aku Koai-Sin-Kiam lagi!"

   "Eh, betulkah? Nah, biarlah kau berkenalan dengan ilmu pedang Hoa-San-Pai yang kelihatan indah tapi tak berguna ini. Awas pedang!"

   Tosu itu tercengang, juga para tamu karena gadis itu mengancam "Awas pedang"

   Akan tetapi belum kelihatan memegang pedang. Tiba-tiba, belum juga hilang keheranan Oh Tojin, tahu-tahu di depan mukanya berkelebat sinar seperti kilat diikuti hawa pedang yang dingin menyambat hidungnya!

   

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini