Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 32


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 32



"Heee, bukankah kalian ini anggauta-anggauta Hwa-I Kai-Pang? Berhenti, Jangan bertempur!"

   Ketika para pengemis itu menengok dan melihat siapa yang bicara, mereka segera meninggalkan lawan, lari-lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Kun Hong mengenal Coa Lo-Kai yang memimpin pasukan itu, segera ia memegang tangannya dan berkata girang,

   "Coa Lo-Kai kau yang datang? Saudara-saudara, bangunlah tak usah berlutut. Coa Lo-Kai ceritakanlah mengapa kalian datang dan mau apa?"

   "Mendengar bahwa Pangcu ditawan Pangeran, mengirim berita ke Hoa-San-Pai lalu membawa teman-teman menyusul sampai ke sini. Syukur Pangcu selamat saja, kami semua telah gelisah bukan main."

   Pasukan yang dikepalai perwira tinggi besar juga sudah sampai di situ dan segera terdengar perwira itu berseru sambil lari mendekati Beng San,

   "Adikku Beng San, apa artinya keributan ini?"

   "Twa-Ko...!"

   Beng San berdiri dan dua orang ini berangkulan. Kiranya perwira ini bukan lain adalah Tan Hok atau Tan-Taijin.

   "Memang aku sedang sial, mendirikan perkumpulan juga memancing datangnya keributan-keributan."

   Tan Hok menoleh dan melihat betapa tujuh orang pengawal Istana sedang mengeroyok dua orang. Ia kaget ketika mengenal bahwa seorang di antara dua yang dikeroyok itu adalah Kakek Song-Bun-Kwi! Segera ia melompat maju dan beseru,

   "Tujuh saudara pengawal harap berhenti dan turun. Tidak boleh kalian membikin ribut di sini!"

   Suara Tan-Taijin amat berpengaruh dan pula dikenal oleh para pengawal, maka segera mereka berlompatan turun dari panggung. Kiranya keadaan mereka payah, hampir kesemuanya sudah menderita luka-luka dan kepala bocor. Di atas panggung, Song-Bun-Kwi berpelukan dengan cucunya, wajah kakek ini berseri-seri, matanya terbelalak dan pipinya yang kiri mengucurkan darah karena tersayat senjata lawan. Ketika tujuh orang pengawal itu melapor bahwa mereka hendak menangkap tiga buronan Pangeran, Tan Hok menegur mereka, malah memperlihatkan sehelai surat keputusan dari Kaisar sendiri bahwa mereka tidak boleh mengganggu anak buah Partai persilatan Hoa-San-Pai. Melihat cap dan tanda tangan Kaisar, tujuh orang itu dengan tubuh gemetaran lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Sudahlah, kalian pulang ke Kota Raja, jangan membikin ribut lagi dan usir para anggauta Ngo-Lian-Kauw yang hendak mengacau itu."

   Terhadap pembesar yang menjadi kepercayaan Kaisar ini, tentu saja tujuh orang pengawal itu mati kutu dan atas perintah Thian It Tosu, orang-orang Ngo-Lian-Kauw lalu meninggalkan tempat itu. Juga anggauta Hwa-I Kai-Pang setelah dijamu lalu disuruh kembali oleh Kun Hong. Para tamu sudah pulang semua, banyak yang tidak sempat berpamit.

   Yang masih tinggal di situ hanyalah Ketua Kun-Lun-Pai, Bun Lim Kwi dan Bun Wan, juga Song-Bun-Kwi yang sekarang sudah "jinak"

   Dan baik kembali, dan Tan Hok. Sebelum mereka beramai diajak ke puncak, tiba-tiba dari lereng gunung berlari-lari beberapa orang menuju tempat itu dan setelah dekat, segera Kun Hong, Hui Cu, dan Li Eng berlari-lari menyambut. Mereka ini bukan lain adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-San-Pai. Liem Sian Hwa Isterinya, Lee Giok ibu Hui Cu, dan Thio Bwee ibu Li Eng. Tokoh-tokoh Hoa-San-Pai ini menyusul ke Thai-San setelah mendengar berita dari anggauta pengemis Hwa-I Kai-Pang bahwa anak-anak mereka di Kota Raja tertawan Pangeran tapi lolos secara aneh. Karena gelisah akan keselamatan mereka, empat orang tua ini menyusul, menyelidik dan akhirnya sampai juga ke Thai-San biarpun sudah agak terlambat.

   Kegembiraan keluarga Thai-San-Pai sukar dilukiskan. Apalagi Beng San, bertemu dengan orang-orang yang dahulu dikenalnya begitu baik, orang-orang Hoa-San-Pai yang mendatangkan banyak peristiwa dalam hidupnya, ia menjadi terharu dan juga gembira. Apalagi karena ia sudah mendengar dari Cui Bi bahwa kedua orang puteranya saling mencinta dengan dua orang gadis Hoa-San-Pai itu, dua orang gadis anak dari Thio Bwee dan Thio Ki, teman-teman lamanya di waktu ia masih kecil! Alangkah akan bahagianya merangkapkan jodoh mereka. Juga pihak Hoa-San-Pai amat gembira melihat anak-anak mereka selamat, malah dapat bertemu dengan orang-orang yang memang sudah lama mereka rindukan.

   Yang nampak kurang gembira adalah Bun Lim Kwi dan puteranya, akan tetapi dalam suasana penuh kegembiraan itu, tiba-tiba buyar dan berubah menjadi suasana penuh duka ketika orang-orang Hoa-San-Pai ini mendengar tentang kematian Kwa Hong yang jenazahnya masih berada di puncak. Tentu saja yang paling berduka adalah Kwa Tin Siong, sebagai Ayah dari Kwa Hong. Beramai-ramai mereka dipersilakan naik ke puncak melalui jalan rahasia dan terowongan. Jenazah Pak-Thian Locu yang lain-lain sudah pula diurus oleh anak buah Thai-San-Pai. Sin Lee menangis mengguguk di depan peti mati ibunya, membuat semua menjadi terharu, terutama Hui Cu yang juga menangis sampai kedua matanya menjadi merah. Song-Bun-Kwi duduk di kursi menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya yang parau dan dalam,

   "Ahhh, kalau sudah menjadi begini, barulah kita semua merasa betapa hidup ini tidak akan langgeng. Sekali waktu akan datang maut merenggut nyawa kita dan kita semua akhirnya akan menjadi mayat, habis sudah semua riwayat. Kalau sudah begini baru kita ingat betapa semua pertikaian, semua keributan dan kegaduhan, musuh-memusuhi, berlumba kepandaian, dan lain-lain itu hanyalah perbuatan orang gila saja."

   Kemudian kakek yang tinggi besar itu berdiri berdongak ke atas dan berseru keras-keras,

   "Betapa banyak sudah aku membunuh manusia, aku dijadikan alat oleh Maut. Apakah Maut akan berterima kasih kepadaku? Tidak, sekali waktu Maut akan merenggut nyawaku pula. Aku menyesal! Ah, Beng San mantuku, sediakanlah sebuah guha kecil untuk aku, aku hendak mengasingkan diri, menghukum diri menebus dosa!"

   Tiba-tiba terdengar suara aneh dari angkasa,

   "Ho-ho, Song-Bun-Kwi, akhirnya kau insyaf juga, tapi terlambat, tanganmu sudah terlampau kotor berdarah. Betapapun juga, keinsyafanmu berguna pula bagi anak keturunanmu, menjadi pengingat dan penyadar!"

   Semua orang kaget memandang ke atas dan tampaklah seekor Burung Rajawali berbulu emas ditunggangi oleh seorang kakek tua renta berpakaian butut. Burung itu menukik ke bawah dan kakek itu meloncat turun.

   "Kim-Tiauw-Ko...!!"

   Sin Lee dan Kun Hong berbareng lari menghampiri Burung itu dan dua orang pemuda ini memeluk leher Burung Rajawali yang bulunya indah seperti emas itu. Mereka saling pandang dan kini mengertilah keduanya mengapa mereka melihat dasar-dasar sama dalam ilmu silat mereka. Burung itupun mengenal Kun Hong dan Sin Lee, dengan mengeluarkan suara girang ia menggosok-gosokkan leher dan kepalanya pada dua pemuda itu. Kemudian Kun Hong berlutut memberi hormat kepada kakek yang bukan lain adalah Sin-Eng-Cu Lui Bok ini,

   "Ha-ha, Sin-Eng-Cu Lui Bok! Kalau saja kemarin kau datang, tentu aku akan menantangmu bertanding!"

   Kata Song-Bun-Kwi sambil tertawa, sikap orang aneh ini sudah berubah pula.

   "Bagus, kau sudah insyaf sekarang, tulang-tulangku yang tua selamat dari gebukanmu."

   Jawab kakek itu. Beng San yang sudah mendengar nama besar Sin-Eng-Cu Lui Bok lalu mempersilakan kakek itu duduk. Akan tetapi kakek itu menolak dan berkata,

   "Kedatanganku hanya untuk bicara sedikit dengan Kun Hong."

   Ia menoleh kepada pemuda itu sambil mengerutkan kening dan berkata,

   "Kun Hong aku tidak hendak mendahului kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Akan tetapi aku minta kepadamu, orang muda yang kukasihi, aku minta kepadamu dengan sangat, sekarang juga kau ikutlah bersamaku. Marilah kita bertapa dan menjauhkan diri dari keruwetan dunia."

   "Tapi... tapi... Susiok, aku..."

   Ia memandang kepada orang tuanya, kepada orang-orang yang dikasihinya dan terutama kepada Cui Bi.

   "Biarlah lain kali aku mengunjungi Susiok."

   Kakek itu berdongak ke udara, menarik napas panjang.

   "Thian Yang Maha Kuasa, kehendak-Mu selalu terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini dapat mengubah kehendak-Mu. Sudahlah, selamat tinggal semua."

   Ia meloncat keatas punggung Rajawali dan Burung ini segera terbang sambil mengeluarkan pekik panjang, agaknya ucapan selamat tinggal pula. Upacara penguburan dilakukan sederhana. Setelah selesai, Beng San dan Isterinya lalu mempersilakan para tamunya untuk makan bersama. Hari itu adalah hari ke tujuh semenjak terjadinya keributan pada hari pendirian Thai-San-Pai itu. Mereka makan minum dengan asyik dan gembira. Para tokoh Hoa-San-Pai mendengarkan penuh keheranan dan ketakjuban ketika mendengar cerita tentang sepak terjang Kun Hong. Terutama sekali Kwa Tin Siong yang mendengar semua hal puteranya itu, ia terheran-heran dan berkali-kali menggeleng kepala.

   "Aku sengaja melarang dia belajar ilmu silat dengan maksud agar dia jangan sampai tersesat seperti encinya. Siapa tahu dia malah mendapatkan ilmu lebih jahat daripada Kwa Hong,"

   Katanya. Song-Bun-Kwi tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Kwa-Sicu mengapa bicara begitu? Tidak ada ilmu yang jahat, tergantung dari orangnya. Kalau ilmu dipergunakan untuk kejahatan, maka menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan, ilmu yang itu juga menjadi ilmu baik. Puteramu benar-benar luar biasa sekali, dan kalau kau berbesan dengan mantuku, ha-ha-ha, akan benar-benar cocok sekali!"

   Kakek ini tertawa bergelak dan minum araknya. Pucat wajah Beng San mendengar omongan mertuanya yang lancang sekali ini. Ia melihat betapa Bun Lim Kwi dan Bun Wan menjadi merah sekali mukanya, maka cepat ia berkata sambil tertawa,

   "Ah, Gak-hu tidak tahu persoalannya maka bicara main-main. Baiknya kuberitahukan kepada semua yang hadir bahwa anakku yang bodoh, Tan Cui Bi, sebetulnya sudah kuikatkan jodoh dengan putera Kun-Lun-Pai, Bun Wan putera dari sahabatku Bun Lim kwi ini."

   Song-Bun-Kwi hanya berkata,

   "Ah-oh-ah-oh"

   Lalu minum araknya lagi untuk menghilangkan ketidak enakan hatinya.

   Akan tetapi muka Kun Hong menjadi pucat seperti mayat. Baiknya pemuda ini cepat dapat menguasai hatinya sehingga mukanya berubah merah lagi. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Cui Bi dan Kong Bu yang sudah tahu akan persoalannya. Li Eng dan Hui Cu memandang paman mereka dengan penuh iba, lalu menoleh kepada Cui Bi dengan marah. Adapun gadis Thai-San-Pai itu tak dapat menahan dua butir air matanya yang meloncat turun ke atas kedua pipinya, tapi cepat diusapnya dan ia menundukkan muka. Keadaan sunyi, tak seorangpun bergerak. Suasana yang mencekam dan tidak menyenangkan ini membuat Beng San cepat-cepat bertindak. Ia berkata lagi, suaranya mengandung keramahan dan kegembiraan paksaan,

   "Ayah mertuaku Song-Bun-Kwi tadi main-main saja. Mana bisa terjadi aku berbesan dengan Ketua Hoa-San-Pai? Ketua Hoa-San-Pai adalah kakek dari anakku Sin Lee, berarti Ayah mertuaku pula. Mana ada mantu berbesan dengan mertua? Gak-hu, katakan bahwa kau tadi hanya main-main saja,"

   Song-Bun-Kwi tertawa bergelak lalu minum araknya. Setelah mengusap mulut dengan ujung lengan baju, ia berkata,

   "Ah, mulut lancang! Aku tidak ingat akan semua itu. Ha-ha, memang aku hanya main-main!"

   Pada saat itu, Bun Wan menggebrak meja di depannya.

   "Ayah, aku tidak dapat menahan lagi!"

   Suaranya serak dan ia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan. Semua orang memandangnya dengan heran dan tak mengerti, karena itu kini semua mata ditujukan kepada Bun Lim Kwi, ketua dari Kun-Lun-Pai yang pendiam itu. Orang setengah tua ini wajahnya mengeras, agak pucat dan ia lalu bangkit berdiri, kedua tangannya dikepalkan dah suaranya jelas membayangkan perasaan yang tertindih.

   "Sepekan sudah kami Ayah dan anak menahan perasaan karena tidak baik mengemukakan urusan ini selagi tuan rumah menjalankan perkabungan. Akan tetapi benar kata anakku, tak mungkin kami berdua dapat menahan-nahan hal ini yang benar-benar amat menindih perasaan kami"

   "Saudara Bun, demi Tuhan, demi persahabatan kita, katakanlah, apa yang telah terjadi?"

   Beng San berkata penuh kegelisahan. Suara Bun Lim Kwi terdengar amat pahit, menyatakan keperihan hatinya ketika ia berkata sambil mengeluarkan segumpal kertas dari sakunya.

   "Memang urusan ini amat menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Akan tetapi saudara Beng San, kita sebagai orang-orang gagah paling suka akan urusan yang terus terang, kita bersama menjunjung nama kehormatan lebih tinggi daripada nyawa. Kun-Lun-Pai boleh dibilang perkumpulan kecil, apalagi ketuanya macam aku ini mana ada harganya? Dapat berbesan dengan Thai-San-Pai benar-benar merupakan kehormatan yang jatuh dari langit, akan tetapi betapapun rendahnya keadaan aku dan anakku, kiranya tak patut menjadi buah tertawaan orang dan bahan permainan dan ejekan."

   "Saudara Bun, bicaralah sejujurnya, demi Tuhan, apa yang kau maksudkan ini?"

   Beng San berseru keras.

   "Sebelum pergi, Siauw-Ong-Kwi menghina kami dan menyerahkan tulisan di kertas ini. Berhari-hari aku menunggu dan menahan, akan tetapi melihat gelagatnya, tak boleh tidak kertas bertulis itu harus kuserahkan kepadamu dan aku harus menginsyafi akan kerendahan kami. Nah, kau terimalah kertas ini, baca dan boleh kalian perbincangkan sendiri. Adapun kami... ah, kami memohon diri, tentang perjodohan, baik kita bicarakan belakangan saja, itupun kalau kau merasa perlu untuk mengajakku bicara, Saudaraku."

   Ketua ini dengan tajam menatap semua orang yang berada di situ, lalu menarik tangan anaknya.

   "Wan-ji, mari kita pulang."

   Ayah dan anak itu bangkit dan menuju ke pintu. Beng San berseru,

   "Saudara Bun, mengapa pergi? urusan, baik kita bicarakan yang betul, Duduklah kembali."

   Akan tetapi melihat calon besannya itu tidak menjawab, terpaksa Beng San berkata kepada Oei Sun yang duduk di luar ruangan.

   "Oei Sun, kau antar tamu kita keluar."

   Ia menyuruh anak muridnya karena kuatir kalau-kalau dua orang tamunya itu akan tersesat jalan dan tidak dapat keluar dari tempat penuh jalan rahasia itu. Kemudian setelah mereka pergi, Beng San mengambil surat di atas meja yang ditinggalkan Bun Lim Kwi itu. Dibukanya surat itu dan seketika wajahnya berubah merah padam hampir menghitam. Li Cu dan Cui Bi maklum akan sifat Ketua Thai-San-Pai ini. Tentu Beng San marah membaca surat itu, maka mereka menanti dengan hati berdebar. Beng San menoleh kepada Cui Bi, suaranya gemetar ketika ia menyerahkan surat itu

   "Cui Bi, apa artinya ini? surat itu melayang di atas meja depan Cui Bi. Tubuh gadis itu mengigil dan ia tidak berani mlnjamah surat itu hanya matanya membaca huruf-huruf besar yang ditulis di situ.

   DI BAWAH SINAR BULAN PURNAMA PUTERI THAI-SAN-PAI DAN PUTRA HOA-SAN-PAI BERSUMPAH SALING MENCINTA MEMBIARKAN KUN-LUN-PAI DITERTAWAI DUNIA.

   Seketika pucat wajah Cui Bi. Kun Hong yang duduk di seberang gadis itu dapat pula membaca tulisan ini, demikian pula yang lain-lain.

   "Kun Hong, apa yang kau lakukan? Betulkah tulisan itu?"

   Kwa Tin Siong membentak kepada puteranya dengan pandang mata tajam.

   "Cui Bi, jawablah, tulisan Siauw-Ong-Kwi itu fitnah ataukah kenyataan?"

   Cui Bi tak dapat menjawab, tiba-tiba ia menelungkupkan mukanya di atas meja dan menangis! Kun Hong sejenak menatap pandang mata Ayahnya, lalu ia bangkit berdiri perlahan dan berkata, suaranya gemetar,

   "Aku bersalah... aku berdosa... telah menggoda Bi-moi... aku siap menerima hukuman..."

   "Brakkk!"

   Cawan arak di depan Kwa Tin Siong melayang menghantam pipi Kun Hong yang kanan sehingga kulit pipinya berlubang dan darah mengucur. Saking marahnya Kwa Tin Siong sudah menyambit muka puteranya dengan cawan itu yang kini jatuh menggeletak di atas meja, berlumuran darah dari pipi Kun Hong.

   "Anak celaka! Kiranya kau mendatangkan cemar lebih hebat dari pada yang diperbuat Hong Hong..."

   Suara Ketua Hoa-San-Pai mengandung isak, mukanya pucat sekali.

   "Tidak... tidak... Hong-Ko tidak bersalah!"

   Tiba-tiba Cui Bi meloncat bangun, mukanya yang pucat penuh air mata.

   "Akulah yang bersalah! Memang aku bersalah karena tidak memberi tahu kepadanya banwa aku telah ditunangkan, ditunangkan dengan paksa oleh orang tuaku. Ayah... ibu... aku... cinta kepada Hong-Ko, sebaliknya diapun mencintaiku. Aku tidak sudi menikah dengan orang lain!"

   Beng San dan Li Cu saling pandang bingung tak tahu harus berbuat berkata apa. Akhirnya Beng San berkata lirih,

   "Kun Hong banyak jasanya kepada kita, malah dia menolong nyawaku... tapi... tapi... tapi ini soal kehormatan dan nama baik..."

   "Ayah, lebih baik aku mati kalau dinikahkan dengan orang lain. Aku dan Hong-Ko saling mencinta, sudah bersumpah..."

   "Brakk!"

   Kun Hong menggebrak meja dan ternyata empat kaki meja itu ambles ke bawah saking hebatnya ia menahan gelora hati dan mempergunakan tenaga dalam tanpa ia sadari.

   "Bi-moi, tak boleh begini! Kau sudah ditunangkan dengan putera Kun-Lun-Pai. Ini menyangkut nama dan kehormatan Kun-Lun-Pai dan Thai-San-Pai, Nama kehormatan yang harus dijaga lebih gigih daripada menjaga nyawa. Apalagi hanya cinta. Bi-moi, tak mungkin aku membiarkan kau melanggar aturan, menyusahkan orang tua, merusak nama Thai-San-Pai, menjadikan permusuhan dengan Kun-Lun-Pai, hanya untuk

   (Lanjut ke Jilid 31 - Tamat)

   Rajawali Emas (Seri ke 02 - Serial Raja Pedang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31 (Tamat)

   memuaskan diriku saja. Tak mungkin! Cintaku tak serendah itu, bukan untuk mementingkan diri sendiri. Kau harus menjaga nama orang tuamu, menikah dengan putera Kun-Lun-Pai."

   "Tidak...! Tidak sudi...! Lebih baik aku mati. Hong-Ko... Hong-Ko...lupakah kau akan sumpahmu? Hong-Ko, tak boleh kau mengorbankan diriku hanya untuk aturan-aturan lapuk. Hong-Ko..."

   Gadis itu tersedu-sedu tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.

   "Kun Hong! Perbuatanmu amat memalukan. Kau benar-benar mencemarkan nama orang-orang tua. Kun Hong, mulai saat ini aku tidak mau mengakui kau Sebagai anak lagi!"

   "Ayah..."

   Kun Hong pucat, memandang Ayahnya, kemudian kepada ibunya yang hanya dapat menunduk dan menangis karena di dalam keadaan segawat itu, menghadapi urusan besar yang menyangkut nama dan kehormatan Hoa-San-Pai, Kun-Lun-Pai, dan Thai-San-Pai, nyonya ini tidak dapat mengeluarkan perasaan hatinya yang penuh cinta kasih dan kasihan kepada putranya. Diam-diam ia membandingkan nasib kedua orang muda itu dengan nasibnya sendiri yang pernah mengalami kehancuran dalam pertunangan dahulu. Dengan tubuh gemetar, wajah pucat dan hati hancur Kun Hong berdiri perlahan dari tempat duduknya, kakinya menggigil ketika melangkah, kata-katanya perlahan seperti orang berbisik,

   "Aku berdosa... aku durhaka... tak patut hadir di sini...,"

   Ia melangkah hendak keluar dari ruangan besar itu.

   "Hong-Ko...!"

   Cui Bi melompat dari tempat duduknya, berlari mengejar, menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, sambil merangkul kedua kakinya, menangis tersedu-sedu.

   "Hong-Ko... jangan tinggalkan aku...!"

   Ia mendongak, mukanya yang pucat penuh air mata, rambutnya awut-awutan, keadaannya mengiris jantung Kun Hong. Kun Hong menunduk, memandang wajah kekasihnya, menelan ludah beberapa kali, menggigit bibir menahan air mata, lalu meramkan mata dan menggeleng kepala keras-keras.

   "Tidak, Bi-moi, tidak boleh...! Kau harus menjaga nama baik keluargamu... aku... aku tidak bisa melanggar aturan, kesopanan dan kesusilaan!"

   "Hong-Ko...,!"

   Tapi dengan cepat Kun Hong mengipatkan kedua tangan Cui Bi, gadis itu tergelimpang, menangis sampai hampir tak dapat bernapas dan Kun Hong melangkah terus keluar.

   "Ayah, ini tak boleh terjadi!"

   Tiba-tiba Kong Bu berteriak kepada Ayahnya.

   "Cui Bi sudah berterus terang kepadaku, dia mencinta Kun Hong dan aku sudah berjanji kepadanya hendak bicara dengan Ayah tentang ini! Batalkan perjodohan dengan Kun-Lun-Pai dan terima Kun Hong sebagai Suami Adik Bi!"

   Beng San merah mukanya, matanya meram dan ia hanya menggeleng-geleng kepalanya, kelihatan betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum.

   Li Cu juga menangis dan menahan-nahan hatinya yang ingin sekali menubruk dan memeluk puterinya. Akan tetapi tentu saja ia menahan hatinya karena dalam urusan ini, puterinya boleh dibilang telah melakukan suatu hal yang amat memalukan! Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Ia teringat akan semua pengalamannya dahulu, betapa iapun bertekad dan melawan Ayahnya sendiri karena cinta kasihnya kepada Beng San. Sin Lee yang juga merasa sayang kepada adik tirinya, mukanya menjadi merah dan matanya meliar. Dia sedang terbenam kedukaan karena kematian ibunya, sekarang menghadapi keadaan Cui Bi, satu-satunya orang di samping Ayahnya yang amat ia kasihi, ia tak kuat menahan. Tiba-tiba ia melengking keras dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari ruangan mengejar Kun Hong. Ia berdiri di depan Kun Hong dengan beringas.

   "Kun Hong! Kau harus berani bertanggung jawab! Kau sudah menjatuhkan hati Cui Bi, tidak boleh kau sekarang meninggalkannya. Apapun yang terjadi, kau harus melanjutkan cinta kasihmu itu, harus menjadi Suami Bi-moi!"

   Kun Hong menggigit bibirnya, kerongkongannya serasa tersumbat. Setelah menghela napas dan menelan ludah berapa kali, barulah ia dapat menjawab,

   "Sin Lee, justeru sebagai orang berani bertanggung jawab, aku menjauhkan diri. Lebih baik aku sengsara daripada melihat nama baik orang-orang tua dan nama baik Bi-moi sendiri hancur ternoda."

   "Kau harus kembali, harus, kataku!"

   Sin Lee membentak dan maju mendorong Kun Hong untuk memaksa pemuda itu kembali ke ruangan. Akan tetapi sekali mengelak serangan itu luput dan Kun Hong sudah melewati tubuh Sin Lee terus berjalan pergi.

   "Kun Hong, tunggu dulu!"

   Tiba-tiba Kong Bu sudah menghadangnya, malah dengan pedang di tangan, sikapnya mengancam!

   "Kau mau apa, Kong Bu?"

   Suara Kun Hong mengerikan, suara tanpa irama, seperti suara dari balik lubang kubur.

   "Kun Hong, tidak ingatkah kau akan sumpahmu dahulu? Bahwa kau mencinta Adik Bi dan bersedia mengorbankan nyawa untuknya? Kenapa sekarang kau malah hendak menghancurkan kebahagiaannya dan meninggalkannya?"

   "Aku tetap cinta padanya, aku tetap bersedia mengorbankan segalanya untuknya. Kong Bu, tak tahukah kau bahwa pengorbanan yang kulakukan ini lebih berat daripada berkorban nyawa?"

   Kini suara itu bercampur sedu-sedan dan di kedua pipi Kun Hong tampak air mata bercucuran.

   "Tidak, kau harus kembali dan minta tangan Bi-moi dari Ayah. Jangan pedulikan pandangan orang lain, kalau pihak Kun-Lun-Pai marah serahkan saja kepadaku!"

   
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bentak Kong Bu. Kun Hong menggeleng kepala.

   "Kau keliru. Aku tidak mau demi cinta kasihku, demi kebahagiaanku, harus mengorbankan hal yang lebih penting lagi. Tidak, Kong Bu, kau kembalilah."

   "Aku akan memaksamu!"

   Kong Bu mengayun pedangnya. Tapi sekali melejit Kun Hong mengelak dan menyentil dengan jari telunjuknya yang tepat mengenai pergelangan tangan Kong Bu, membuat pemuda ini hampir saja melepaskan pcdangnya, sementara itu Kun Hong sudah melewatinya.

   "Hong-Ko... tunggu...! Hong-Ko...!"

   Cui Bi berlari-lari mengejar Kun Hong. Gadis ini tadi melihat sendiri betapa kedua orang kakak tirinya membujuk-bujuk, malah dengan kekerasan, namun semuanya tidak berhasil. Maka ia sendiri lalu berlari mengejar. Mendengar suara kekasihnya ini, Kun Hong berhenti, seakan-akan kedua kakinya terpaku di tanah, tak dapat digerakkan lagi. Ia berhenti berdiri tegak tanpa menoleh, bahkan iapun tidak menunduk ketika Cui Bi sudah berlutut lagi di depannya sambil menangis.

   "Hong-Ko... demi Tuhan, Hong-Ko... jangan tinggalkan aku. Aku... aku takkan kuat menahan, Hong-Ko... aku takkan dapat hidup kalau harus berpisah denganmu dan menikah dengan orang lain... Hong-Ko, kau kasihanilah diriku..."

   Kun Hong meramkan mata, bertunduk pula ia tidak berani. Ia tahu bahwa sekali ia memandang wajah Cui Bi yang amat dikasihi itu, kekerasan hatinya akan hancur dan ia akan melupakan kesopanan, melupakan aturan, melupakan nama dan kehormatan, dan hanya akan memuaskan cinta kasih dan kebahagiaan perasaan hatinya sendiri. Maka seperti orang dalam mimpi ia meramkan mata dan bibirnya berulang-ulang berbisik,

   "Tidak, Bi-moi... tidak... tidak... tidak..."

   Tiba-tiba ia mendengar keluhan panjang.

   "Hong-Ko...!"

   Suara Cui Bi ini sedemikian anehnya dan ia mendengar gadis itu roboh. Kun Hong membuka matanya dan... ia terbelalak, menjerit,

   "Tidak... ah, tidak... jangan, Bi-moi... aduh, Bi-moi...!!"

   Ia menubruk ke depan, menubruk tubuh yang masih hangat itu, yang sudah telentang dengan pedang menembus dada, dengan mata masih terbuka memandangnya penuh permohohan, dengan bibir masih berkomat-kamit memanggil namanya, berbisik-bisik.

   "Hong-Ko... Hong-Ko..."

   "Cui Bi...! Dewiku! Cui Bi, kekasihku... ah, Cui Bi...!"

   Kun Hong menjerit-jerit dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya sambil menangis dan memanggil-manggil. Darah mengalir keluar dari dada dan punggung gadis itu, membasahi baju Kun Hong. Ketika ia memandang melalui air matanya ia melihat Cui Bi tersenyum puas dan bahagia, bibirnya bergerak,

   "Hong-Ko, aku cinta padamu..."

   Dan ucapan ini merupakan, hembusan napas terakhir. Gadis jelita itu mati dalam pelukan kekasihnya, mati dalam keadaan bahagia, terbukti dari bibir yang tersenyum itu. Orang-orang dalam ruangan itu berlari-lari memburu keluar. Segera terdengar pekik dan jerit memilukan, Li Cu menubruk ke depan, merampas tubuh anaknya dari pelukan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu tidak memberikannya.

   "Biar dia kupondong..."

   Katanya sambil berdiri, memondong tubuh itu sambil berjalan lambat-lambat kembali ke ruangan tadi. Langkahnya satu-satu, kaku, matanya memandang lurus ke depan seperti mata patung, mukanya yang tadi dipergunakan untuk mencium dan mendekap gadis itu penuh air mata bercampur darah, tubuh Cui Bi terkulai dalam pondongannya, rambut gadis itu terlepas dan terurai ke bawah, kedua kakinya yang masih lemas tergantung dan bergerak-gerak ketika Kun Hong membawanya berjalan ke ruangan. Li Cu menjerit-jerit, masih mencoba merampas mayat anaknya. Beng San memegang lengannya dan merangkulnya, menuntunnya ke dalam ruangan itu, tapi Li Cu masih menjerit-jerit.

   "Dia anakku...! Kembalikan anakku...! Ah, mana anakku? Ya Tuhan, Kun Hong, kau telah membunuh anakku. Aduhai, Cui Bi... Cui Bi anakku sayang... kenapa menjadi begini? Kun Hong, kau... kau membunuh Cui Bi. Ah, Cui Bi, biji mataku... Cui Bi bangunlah, anakku."

   Beng San merangkul Isterinya.

   "Tenang, kuatkan hatimu..."

   Ia menghibur.

   "Tenang bagaimana? Menguatkan hati bagaimana? Aku kehilangan biji mataku dan harus tenang? Ya, dia lebih berharga daripada biji mataku!"

   Nyonya itu menangis lagi sambil menjerit-jerit, membuat semua orang terharu dan terutama sekali Li Eng dan Hui Cu, Lee Giok dan Thio Bwee. Lee Giok yang masih adik seperguruan Li Cu merangkul Sucinya itu dan membujuk-bujuk sambil menangis. Hui Cu dan Li Eng memeluki mayat Cui Bi yang oleh Kun Hong sudah diletakkan di atas bangku panjang. Sin Lee dan Kong Bu berdiri mematung, pucat dan juga dari kedua mata mereka runtuh beberapa butir air mata. Hanya Song-Bun-Kwi terus menerus menenggak arak, agaknya untuk menguatkan hatinya yang hampir lumer menyaksikan semua itu. Kun Hong telah membaringkan tubuh Cui Bi di atas bangku, lalu berlutut di depan Li Cu.

   "Bibi, memang aku yang menyebabkan kematian Bi-moi. Kau kehilangan biji mata, Bibi? Ah, akupun kehilangan, kehilangan matahari hidupku. Bibi, aku tidak dapat mengganti seorang Cui Bi kepadamu, akan tetapi aku sanggup mengganti dengan biji mata pula, apa artinya biji mata bagiku kalau aku tak dapat melihat matahari lagi. Terimalah ini, Bibi, biji mataku..."

   Sebelum orang lain dapat menduga apa yang hendak dilakukan, Kun Hong menggerakkan jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya, ditusukkan ke matanya dan di lain saat dua biji matanya telah ia korek keluar dan berada di telapak tangannya yang sekarang diangsurkan kepada Li Cu. Semua orang berteriak tertahan. Kun Hong masih berlutut tegak dengan tangan kanan diangsurkan dan di atas telapak tangan itu terdapat dua butir mata yang berlumuran darah. Adapun mukanya yang pucat itu sekarang menjadi mengerikan sekali. Darah bercucuran keluar dari kedua matanya yang sudah berlubang. Li Cu memandang dengan mata terbelalak,

   "Kau... kau... aduh, Kun Hong...!"

   Li Cu memeluk pemuda itu yang terguling dan pingsan! Beng San menarik Isterinya perlahan, lalu menyerahkan kepada Lee Giok, minta supaya diajak ke dalam. Kwa-Tin-Siong dengan muka pucat memegangi lengan Isterinya yang menjerit-jerit sekarang, sebentar memandang kepada puteranya yang menggeletak dengan muka berlumur darah, lalu tidak kuat dia dan membuang muka, memandang lagi dan kalau tidak dipegangi Suaminya tentu ia sudah menubruk anaknya itu. Wajah Kwa Tin Siong seperti Beng San berdiri di depannya, kedua orang ini berpandangan, penuh pengertian, penuh sesal, penuh kedukaan dan akhirnya Beng San lalu membungkuk memondong tubuh Kun Hong yang pingsan itu, dibawa ke dalam untuk dirawat.

   Sunyi di ruangan itu, hanya isak tangis yang terdengar, bahkan kini Song-Bun-Kwi yang tadinya minum terus-menerus sekarang menjatuhkan muka ke atas meja, menutupi muka dengan kedua lengan dan menangis seperti anak kecil, memanggil-manggil nama Isterinya, dan nama anaknya, Bi Goat, yang sudah meninggal. Betapapun janggalnya, namun bukanlah hal yang aneh atau tak mungkin terjadi apabila kita melihat seorang yang menurut penilaian, kita adalah seorang baik, namun mengalami nasib yang amat menyedihkan. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan hal ini merupakan rahasia bagi manusia. Adakalanya, kalau Tuhan menghendaki, seorang yang hidupnya terkenal jahat dapat mengalami hidup yang serba menyenangkan, sebaliknya seorang yang hidupnya terkenal baik dapat mengalami hidup yang sengsara. Tampaknya tidak adil, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian.

   Ada sebab-sebab tertentu yang menjadi rahasia Tuhan, dan Tuhan tetap Maha Adil, Betapapun ganjilnya, manusia wajib menerima, karena baik yang menyenangkan maupun yang sebaliknya, kesemuanya itu tetap adalah karunia Tuhan. Setelah jenazah Cui Bi dimakamkan, Kun Hong tetap dirawat di Thai-San-Pai sampai sembuh. Matanya menjadi buta, tak berbiji lagi. Beng San sendiri yang merawatnya, malah di samping merawatnya, Beng San membisiki semua rahasia Ilmu Silat Im-Yang Kun-Hoat kepada orang muda melatihnya mempergunakan telinga bagai pengganti mata. Kwa Tin Siong dan Isterinya serta semua tokoh Hoa-San-Pai, termasuk Li Eng dan Hui Cu, telah kembail ke Hoa-San setelah mendapat janji dari Beng San bahwa lain waktu Ketua Thai-San-Pai ini akan mengunjungi Hoa-San-Pai untuk membicarakan tentang perjodohan kedua puteranya dengan Hui Cu dan Li Eng.

   Dengan penuh keharuan Liem Sian Hwa memeluk anaknya yang sudah buta itu, minta supaya kalau sudah sembuh anaknya akan segera kembali ke Hoa-San-Pai. Di samping Beng San yang tekun merawat Kun Hong, juga Song-Bun-Kwi seringkali mengajak pemuda itu bercakap-cakap, bergurau dan malah pada suatu hari Song-Bun-Kwi memberi hadiah sebatang tongkat kepada Kun Hong. Ketika Kun Hong menerlma dan memeriksa dengan rabaan tangannya, ternyata tongkat itu bukan sembarang tongkat untuk membantunya mencari jalan, melainkan tongkat yang di dalamnya tersimpan pedang Ang-Hong-Kiam, pedangnya. Ternyata oleh kakek sakti itu, pedang Ang-Hong-Kiam telah diberi sarung pedang berupa tongkat!

   Beberapa bulan kemudian, dikala Hoa-San-Pai merayakan pesta pernikahan yang amat meriah dari Hui Cu dan Li Eng yang menikah dengan Sin Lee dan Kong Bu, Kun Hong juga hadir. Pada malam harinya, malam yang amat bahagia bagi dua pasang pengantin itu, orang-orang mencari Kun Hong akan tetapi orang muda buta ini tidak nampak bayangannya. Kalau kita menengok jauh ke lereng Bukit Hoa-San-Pai, akan terlihatlah bayangan orang buta itu berjalan perlahan, dibantu tongkat pedangnya, meninggalkan Hoa-San, berjalan di bawah cahaya bulan purnama, mulutnya tersenyum-senyum seakan-akan ia ikut merasakan kebahagiaan dua pasang mempelai yang merupakan orang-orang yang amat disayangnya.

   Sampai di sini tamatlah cerita Rajawali Emas ini, dan tiada aral melintang, pengarang cerita ini Kho Ping Hoo, akan menyusun sebuah cerita baru yang berjudul "PENDEKAR BUTA."

   Apakah Pendekar Buta ini Kwa Kun Hong adanya, dan apakah kita akan di bawa jumpa dengan tokoh-tokoh cerita ini, baiklah kita tunggu terbitnya PENDEKAR BUTA dan kita buktikan sendiri.

   TAMAT

   Kota Bengawan, tengah Mei 1967

   dino, http://indozone.net/literatures/literature/422

   25 September 2008 jam 5:52am

   


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini