Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 12


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Orang ke tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah satu-satunya orang dari kelima jago dari Santung yang tidak pernah memusuhi keluarga Kwee dulu, akan tetapi karena ia juga menjadi anggauta Santung Ngo-Hiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara seperguruannya. Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di rumah keluarga Kwee dulu, maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek! Demikianlah, kelima Santung Ngo-Hiap itu dan kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,

   "Eh, dua anjing Pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?"

   Sambil berkata demikian, ia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Juga para Perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, pada bergerak mendekati panggung hingga Cin Hai dan Kwee An seakan-akan hendak dikeroyok oleh puluhan orang Perwira Sayap Garuda itu! Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir.

   "Hem, hm, tidak kusangka bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para Perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha, kalian majulah!"

   Sambil berkata demikian, tangannya bergerak dan tahu-tahu Pedang Pusaka Liong-Coan-Kiam telah berada di tangannya! Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut Pedangnya yang juga bukan Pedang sembarangan. Mereka telah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa. Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang,

   "Tahan!"

   Dan tahu-tahu Hwesio yang tinggi kurus ini telah berada di atas panggung, mendahului semua Perwira dan ia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.

   "Tidak malukah kalian?"

   Tegurnya kepada semua Perwira yang bergerak maju.

   "Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar? Cuwi-Ciangkun, jangan kau bikin malu kepada pinceng!"

   Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasihat para Perwira dan terkenal sebagai seorang yang amat disegani dan ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua orang pemuda, masakan para Perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali! Ia telah melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan ia maklum bahwa di antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, sedangkan pemuda yang ke dua itu tidak berbahaya. Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua Perwira menahan gerakan mereka dan hanya berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam. Beng Kong Hosiang tertawa.

   "Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa hingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?"

   "Aku bernama sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,"

   Jawab Cin Hai dengan suara tenang karena ia belum kenal siapa sebetulnya Hwesio tua ini.

   "Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang namanya telah disebut tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!"

   "Hem, mereka itu dibunuh karena mereka telah memberontak dan berani menghina Perwira-Perwira Kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah berani mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatanmu ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum kalian!"

   "Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!"

   Berkata Kwee An dengan marah karena ia dapat menduga bahwa Hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di kalangan Perwira Sayap Garuda.

   "Ha, ha, ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-Ciangkun, marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!"

   Beng Kong Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau kalau pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja memanggil Lauw Tek yaitu saudara tertua dari Santung Ngo-Hiap atau Perwira yang pada saat itu hadir di situ. Ia maklum bahwa kepandaian Lauw Tek cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya! Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh dan melompat ke atas panggung menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,

   "Dulu kau masih kuberi ampun hingga jiwamu tidak sampai melayang, apakah karena itu kau merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?"

   Kwee An mengenal orang ini sebagai seorang di antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan Pedangnya dan menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan sambil tersenyum menyindir Lauw Tek menggerakkan Pedangnya menangkis dan mereka berdua lalu bertempur hebat.

   "Ha, ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!"

   Kata Beng Kong Hosiang dan ia mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah Kin-Hun-Hiat di dada Cin Hai. Sambaran ini hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan tahu-tahu Pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh Liong-Coan-Kiam. Hwesio ini terkejut sekali karena ia tidak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi ia berlaku lambat.

   Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, akan tetapi ternyata pemuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri? Ia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan ke arah muka lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya ialah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang Pedang untuk merampas Pedang lawan itu!

   Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak diteruskan dan kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai menggerakkan lengan tangannya dan Pedangnya menyabet ke bawah hingga tak ampun lagi ujung lengan baju itu terbabat putus! Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia mengira bahwa dalam satu dua gebrakan saja ia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita rugi karena ujung lengan baju yang merupakan senjata baginya itu telah terbabat putus!

   Dengan muka terheran-heran ia mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu setelah dilipat menjadi pendek dan dapat diselipkan di pinggangnya. Sambil membentak hebat, Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh sekali seperti seorang petani mencangkul tanah, akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir dan balas menyerang dengan Pedangnya. Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan dan kepandaiannya untuk mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang betul-betul lihai itu. Melihat permainan Pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,

   "Eh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim-San-Pai?"

   Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu Pedangnya. Ia menahan senjatanya dan membentak,

   "Kalau aku benar murid Kim-San-Pai kau mau apakah?"

   Lauw Tek tertawa menghina.

   "Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu dan mampus di ujung senjataku!"

   Setelah berkata demikian ia mendesak makin hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak hebat. Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-San-Pai.

   Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu. Ketika itu, Santung Ngo-Hiap masih tinggal di Santung dan menjadi jago yang ditakuti karena selain lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Santung dan mendengar tentang keadaan Santung Ngo-Hiap, lalu sengaja menantang pibu kepada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tidak tahan mendengar betapa di Santung ada Santung Ngo-Hiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang. Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari Santung Ngo-Hiap kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu, akan tetapi secara licik kelima jago Santung itu lalu mengeroyok hingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri.

   Semenjak itu, Santung Ngo-Hiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu. Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-San-Pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini. Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi, biarpun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan Pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya. Pada saat itu, dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru,

   "Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!"

   Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Ia lalu mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek. Eng Yang Cu adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan pakaiannya seperti seorang Tosu, juga berwarna putih. Senjatanya adalah Pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.

   "Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!"

   Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas. Para saudaranya seketika melihat kedatangan musuh lama ini, lalu datang menyerbu hingga kini pertempuran lebih hebat lagi.

   Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Kwee An yang melihat betapa pihak lawan mengeroyok, tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan Pedangnya lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan kedatangan Suhunya itu. Sementara itu, dengan ilmu Pedang campuran dari Liong-San Kiam-Hoat, Ngo-lian Kiam-Hoat, dan Sianli-Kun-Hwat yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tidak berdaya. Setiap gerakan dan serangan Hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya ilmu Pedang Cin Hai yang campur aduk telah membingungkan Hwesio itu. Hanya tenaga Lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya hingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.

   Ketika melihat kedatangan Suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan Pedangnya kini disertai tenaga Khikang yang luar biasa. Inilah tenaga Khikang yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya tempur luar biasa sekali karena seluruh tenaga Lweekang, Gwakang dan Ginkang dipersatukan merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar. Khikang semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang bulat hingga sangat melelahkan tubuh, ia sendiri akan mendapat celaka oleh karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka jarang sekali ia keluarkan kepandaian ini. Untuk menggunakan tenaga Khikang ini, paling lama ia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja. Akan tetapi, akibatnya hebat sekali.

   Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga Hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan pingsan. Melihat kehebatan ini, para Perwira menjadi terkejut sekali dan permainan Santung Ngo-Hiap menjadi kacau balau hingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan Pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua Perwira mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan sendiri. Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam, lalu sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggauta Santung Ngo-Hiap dan kedua saudara Tan Song dan Tan Bu.

   Eng Yang Cu yang tidak tahu mana musuh-musuh besar muridnya, hanya menggerakkan senjata untuk melindungi kedua pemuda itu. Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu dan serangan pemuda ini disertai kegemasan yang meluap hingga kedua saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni orang tua ini dan hanya menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung Pedang Liong-koan-kiam! Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu telah dapat dirobohkan, tiba-tiba Cin Hai melintangkan Pedangnya yang masih berlumuran darah dan ia berteriak.

   "Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa. Orang-orang yang telah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanyalah enam orang yang telah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja demikianpun Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!"

   Akan tetapi, di antara sekalian Perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walaupun hati mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu! Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para Perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi. Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke Istana.

   Keadaan menjadi kalut sekali, karena semenjak Kanglam Chit-Koai mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-Hiong-Koan ini, tak pernah ada orang yang berani mengganggu mereka. Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh seorang Tosu tua telah membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang Perwira telah binasa! Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali. Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia lalu memerintahkan barisan pengawal untuk mengejar dan mengepung, akan tetapi pada saat itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok Kota Raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan. Cin Hai diperkenalkan oleh Kwee An kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum kepada Cin Hai.

   "Sie-Taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu sungguh-sungguh membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah Suhumu yang mulia?"

   Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama Suhunya karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tidak suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,

   "Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su."

   "Ah!"

   Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini.

   "Tak heran apabila kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhumu walaupun mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe itu, akan tetapi setelah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas."

   Kemudian Eng Yang Cu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke Kota Raja hendak mencari Santung Ngo-Hiap yang telah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.

   "Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena Hwesio itu pun cukup lihai hingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,"

   Kata Cin Hai terus terang.

   "Kwee An, musuh-musuhmu telah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-Taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu."

   "Musuh belum terbalas semua, Suhu, kata Kwee An. Masih ada dua orang musuh besar yang memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip Perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya."

   Eng Yang Cu terkejut.

   "Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada Suhengnya, akan tetapi Hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-Taihiap ini, pasti ia akan terbalas!"

   Kemudian, setelah memberi nasihat dan pesanan kepada muridnya agar berlaku hati-hati dan agar supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, Tosu pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.

   "Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto takkan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka,"

   Katanya. Kwee An merasa terharu atas pembelaan Suhunya itu dan menghaturkan terima kasih dan selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan Guru Kwee An itu.

   "Suhumu itu berhati mulia sekali, Saudara An,"

   Katanya dan ia teringat kepada Suhunya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah Suhunya itu masih berada di Gua Tengkorak?

   "Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke Kota Raja dan mampir di Tiang-An mencari Boan Sip, ternyata ia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke Kota Raja. Akan tetapi, di Kota Raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?"

   Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab,

   "Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke Kota Raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar takkan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para Perwira."

   Mereka lalu menanti sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki Kota Raja di waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.

   "Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Santung Ngo-Hiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, ia agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita tentang tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya."

   Dengan mempergunakan kepandaian Ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah dapat melompati tembok Kota di bagian yang tidak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam Kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman Perwira she Ma itu, yaitu di dalam sebuah gedung besar yang kuno. Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah Perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang telah berdiri di situ dengan tangan memegang sebatang Pedang terhunus dan tajam berkilat!

   "Hm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?"

   Bentaknya sambil menggerakkan Pedang.

   "Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatanganmu berdua!"

   Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan Pedangnya dan Kwee An cepat menangkis. Kedua Pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.

   "Sobat, tahan dulu,"

   Katanya.

   "Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?"

   "Kalian diam-diam memasuki Kota Raja dan mencari rumah kediaman Ma-ciankun. Masih hendak bertanya mengapa aku menanti dengan Pedang di tangan di sini? Aku adalah anak dari Ma-Ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas di Kota Raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kau hadapi dulu anaknya!"

   Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya telah menyerang lagi kepada Kwee An.

   Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan Pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian. Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu Pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu Pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah daripada kepandaian Ma-Ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh hingga gerakannya seperti seekor Naga yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An! Juga Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu dan tak dapat mendesak!

   "Sobat, kita datang bukan bermaksud buruk!"

   Kwee An berkata sambil menahan serangan orang akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya. Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng,

   "Hoa-ji, jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!"

   Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh Ayahnya mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah keren.

   "Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku ada keperluan apakah?"

   Kwee An membalas hormatnya dan berkata,

   "Harap Lo-Enghiong suka memaafkan kami. Sebenarnya kami berdua tidak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena tidak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-Enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, kedua musuh besarku yang masih belum terbalas itu."

   Wajah Ma Keng In memerah.

   "Hm, kalian orang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata kepadaku! kau kira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Biarpun kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tidak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri."

   Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,

   "Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku hingga mentertawakan sikapku yang bodoh?"

   "Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-Ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi mengapa kau sudi menjadi anggauta Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip adalah orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau telah melakukan sesuatu yang adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini tiada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggauta Sayap Garuda, akan tetapi adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi daripada kami? Kalau kau menolak untuk memberitahukan tempat tinggal mereka, itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!"

   Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak dan ia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga mempunyai pemandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,

   "Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan kalau ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan kepadamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi kalau kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu dan Boan-Ciangkun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan Utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang Perwira lain telah berangkat ke Utara meninggalkan Kota Raja."

   Cin Hai menjura dan berkata,

   "Terima kasih banyak, Ma-Ciangkun. Kau memang benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."

   Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan Kota Raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu. Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!

   "Eh, eh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?"

   Kwee An menegur tidak senang.

   "Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!"

   Jawab pemuda itu ketus.

   "Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-San di sebelah Utara!"

   Kwee An merasa mendongkol dan penasaran.

   "Mengapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke Utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?"

   Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata,

   "Aku akan menunggu di sana!"

   Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.

   "Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan Ayahnya."

   Cin Hai menegur dengan suara menyesal.

   "Siapa takut dia?"

   Jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali karena tadi ia benar-benar tidak dapat mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menentangnya apakah ia harus mundur? "Dan lagi kita hendak melewati Pai-San. Kalau kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan diterwakan oleh seorang kanak-kanak?"

   Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu! Setelah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun tentang rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-San. Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di situ subur. Hal ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-Kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai Huang-Ho, karena sungai Liong-Kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang besar itu.

   Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air. Setelah dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus bagaikan tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biarpun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu dapat menggerakkan perahu dengan lajunya, hingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya. Tiba-tiba terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi bunyi riak air.

   "Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang anggur dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk! Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang berserakan tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!!"

   Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di Istananya yang disebut Istana Hua Cin.

   Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan Raja yang tahunya hanya bersenang-senang belaka tidak mempedulikan keadaan rakyatnya yang sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa Patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk membuat syair itu. Syair ini semenjak dulu dilarang oleh semua Kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina Kaisar, dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apalagi menyanyikannya, karena apabila terdengar oleh kaki tangan Kaisar, tak ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai Pemberontak dan dijatuhi hukuman keras. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tahulah seorang yang luar biasa dan berilmu tinggi.

   "Bagus sekali syair itu, seakan-akan kulihat Tu Fu menjelma kembali."

   Dengan suara keras Cin Hai memuji. Ketika itu perahu kecil tadi telah tiba di depan mereka dan nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.

   "Hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?"

   Tanyanya.

   "Kenal? Dia sahabat baikku di alam mimpi!"

   Jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.

   "Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar untuk memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia yang akan merasa bahagia biarpun dalam hujan karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa? Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku, biarlah gubukku ini hancur lebur, biarlah aku mati kedinginan, aku akan mati dengan mata meram dan jiwa tenteram!"

   Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah gembira sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya di pundak pemuda itu. Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan, dan ketika ia memeluk Cin Hai kedua tangannya merangkul.

   Cin Hai merasa seakan-akan ia ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Ia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa diam-diam Kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya. Maka ia lalu menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang hebat ini. Ia hampir tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya. Akhirnya Kakek nelayan itu melepaskan pelukannya dan Cin Hai merasa lega sekali. Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya dan ia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut peluh itu. Kakek nelayan itu setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri dan wajah gembira, lalu berpaling kepada pemuda baju biru yang sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka.

   "Eh, anak nakal, pemuda inikah yang kau maksudkan? Ah, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!"

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An,

   "Bukan dia, Suhu, yang inilah!"

   Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka tercengang, karena setelah melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa pemuda ini benar-benar berwajah tampan sekali dan sikapnya pendiam dan agung! Ma Hoa lalu melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,

   "Hem, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!"

   Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu melolos Pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia. Kwee An berdiri bingung karena ia merasa jerih juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan tenang ini. Ia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan Kakek nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,

   "Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!"

   Cin Hai maklum bahwa Kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka ia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah Kakek itu. Ma Hoa ketika melihat Kwee An berdiri bengong, lalu membentak,

   "Tidak lekas mengeluarkan senjatamu? Apakah kau takut?"

   Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia mencabut senjatanya dan berkata,

   "Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?"

   Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungKan-Sungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis dan membalas menyerang. Sebentar saja keduanya bertempur seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya. Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Ia tak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi ia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai.

   Dan yang lebih mengherankannya lagi, Ma Hoa biarpun sikapnya congkak sekali, akan tetapi di dalam pertempuran itu agaknya tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Ini dapat dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut! Kwee An tak pantas disebut murid Kim-San-Pai yang lihai kalau ia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul kepandaiannya, akan tetapi karena berkali-kali Ma Hoa memperlambat gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba kepandaiannya saja. Oleh karena itu, ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat dan memutar Pedangnya sedemikian rupa hingga sinar Pedangnya bergulung-gulung,

   Akan tetapi ia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda lawannya itu. Sungguh suatu pertempuran yang hebat dan indah dipandang. Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya ia telah merasa khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena kalau ia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, itu berarti bahwa mereka telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya. Laginya, ia merasa suka sekali kepada Kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan tamasya alam yang indah di situ telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak terasa pula ia mengeluarkan Suling Bambunya.

   Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali hingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih bermain Pedang. Cin Hai memang pandai sekali menyuling. Ketika suara lengking Sulingnya melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain Pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka lebih indah. Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati Kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena inilah, maka ia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!

   Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu terpengaruh oleh suara Sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua ratus jurus lebih! Ia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan Sulingnya. Keadaan menjadi sunyi setelah suara Suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanya riak air. Keadaan yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu hingga dengan sendirinya mereka lalu melompat mundur. Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi aneh sekali. Sekarang Kwee An tidak mempunyai perasaan penasaran karena tidak dapat mengalahkan pemuda itu bahkan ia memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.

   "Bagus, bagus!"

   Tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi kembang gula.

   "Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?"

   Katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.

   "Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He, anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, Ha, ha!"

   Kakek nelayan yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.

   Kwee An merasa bingung dan tidak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan Sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang-kadang sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia menjadi mengerti! Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula! Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagaikan kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani berkata-kata lagi.

   "Bukankah cocok sekali mereka?"

   Lagi-lagi Kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai.

   "Aku yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-Ciangkun takkan mampu menolak seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?"

   Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura,

   "Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan tentang perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhunya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi."

   "Ah, jangan banyak upacara lagi!"

   Kata Kakek nelayan.

   "Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti ia suka kepadamu?"

   Kwee An memandang wajah Kakek itu dengan heran. Mulutnya tidak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung penuh pertanyaan, yaitu bagaimana Kakek ini dapat menduga demikian? Agaknya Kakek nelayan ini dapat membaca pikiran orang karena setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,

   "Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?"

   Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat Suhunya yang selalu bersikap terus terang dan jujur, akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saia ia merasa malu sekali orang membicarakan tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu meninggalkan mereka!

   "Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Kalau dia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!"

   Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokoh-tokoh luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat maupun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari Suhunya, maka mereka berdua lalu memperlihatkan sikap menghormat sekali.

   "Locianpwe, harap kau orang tua sudi maafkan Teecu yang bodoh. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam soal perjodohan, bukan Teecu menampik, akan tetapi harus Teecu minta nasihat Suhu terlebih dahulu."

   "Eh, siapa Suhumu yang beradat kukuh dan kuno itu?"

   Tanya Nelayan Cengeng.

   "Suhu adalah Eng Yang Cu."

   "Oh, Tosu dari Kim-San itu? Ha, ha, aku sudah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-San-Pai, akan tetapi tak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!"

   "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe, akan tetapi sungguh, Teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!"

   Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya dan tanah di mana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!

   "Apa katamu? Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!"

   Kini Cin Hai buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena ia cukup mengenal adat Kwee An yang biarpun pendiam akan tetapi keras hati dan tak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.

   "Locianpwe, sesungguhnya Saudara Kwee An sama sekali tidak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar dan dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan sekarang sedang melakukan perjalanan dengan Teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu."

   Cin Hai lalu dengan singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   tentang peristiwa yang menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa sangat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.

   "Jadi musuh-musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang Perwira? Ah, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!"

   Katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,

   "Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya telah maju pesat karena ia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi Hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa Hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam air?"

   Cin Hai menggeleng kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa ia hanya dapat berenang sedikit saja.

   "Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi Hwesio itu, baik di darat maupun di air!"

   Cin Hai dan Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu Pedang yang disebut Hai-Liong-Kiam-Hwat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang, sedangkan untuk Cin Hai,

   Nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan karena kepandaian pemuda itu katanya sudah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air. Karena Cin Hai memang telah memiliki Lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja ia dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja. Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke Utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu,

   Sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan! Ketika gadis itu meloncat ketuar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya. Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggangnya serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang Pedang yang tergantung di pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An. Nelayan Cengeng melebarkan kedua matanya ketika melihat pakaian muridnya itu.

   "Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu hendak pergi melanjutkan perjalanan."

   Memang orang tua ini terlalu sekali. kejujurannya yang luar biasa hingga ia menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu telah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.

   "Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan Pedangmu!"

   Biarpun ia keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada Suhunya yang menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala ia bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar ia melolos Pedangnya dan diberikan kepada Suhunya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya akan terdengar menggigil. Nelayan Cengeng gembira, lalu ia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah,

   "Kwee An, terimalah Pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan Pedangmu kepada tunanganmu!"

   Dengah sikap menghormat, Kwee An menerima Pedang itu, kemudian ia mencabut Pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada Kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,

   "Saudaraku, engkau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus Kau berikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?"

   Nelayan Cengeng itu memandang dengan heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena ia tertawa bergelak dan berkata,

   "Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!"

   Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan kedua orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan Pedang itu. Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka dan tidak melihat ia mengangsurkan Pedang, maka gadis itu tidak menerima Pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa ia menggerakkan bibirnya memanggil,

   "Moi"

   Eh"

   Siocia, kau terimalah Pedang ini!"

   Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar Pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung Pedang dan ia lalu tertunduk kembali!

   "Ah, salah... salah...!"

   Cin Hai menggoda terus.

   "Saudara An, kau harus memanggil Moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil Koko, ini baru benar!"

   Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Ia bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan.

   "Benar, benar...! Bagus..."

   Ma Hoa tak dapat menahan lagi jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu lari ke perahunya mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.

   "Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekas kembali!"

   Kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak pergi. Kwee An dengan mulut cemberut lalu berkata kepada Cin Hai,

   "Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!"

   Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat ia dapat menekan perasaannya dan berkata,

   "Aah, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?"

   Kwee An tak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke Utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di pinggir Sungai Liong-Kiang itu! Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.

   Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok hingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biarpun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An. Dari mereka ini kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini telah bertukar nama karena ia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari pada para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.

   

Pendekar Sakti Eps 3 Dara Baju Merah Eps 11 Pendekar Sakti Eps 36

Cari Blog Ini