Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 10


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Bagus, bagus, Kam Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto suka menjadi Suhumu. Tentu saja Mo-Kai Nyo Tiang Le menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.

   "Kam Seng! Apakah artinya ini?"

   Akan tetapi sebelum pemuda itu menjawab, Ban Sai Cinjin sudah menegur Pengemis Iblis itu,

   "Orang she Nyo! Kau datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu demikian kasar? Sebetulnya, apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?"

   "Ban Sai Cinjin, semenjak dulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka memberi keterangan tentang Suteku Lo Sian. Di manakah dia?"

   Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara menghina.

   "Apa kau kira aku menjadi bujang pengasuh dari Lo Sian? Kau carilah sendiri, di sini tidak ada sutemu yang gila itu!"

   "Gila...? Suteku tidak gila..."

   Kata Mo-Kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam. Merahlah wajah Ban Sai Cinjin karena tanpa disengaja ia hampir saja membuka rahasianya. Memang Lo Sian telah menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.

   "Kau dan Sutemu memang orang-orang tidak waras, kalau sehat bagaimana malam-malam datang ke tempat tinggal orang lain mencari Sutemu?"

   Mo-Kai Nyo Tiang Le merasa segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan di situ masih ada Tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih merasa heran mendengar percakapan antara Tosu itu dengan Kam Seng, maka ia pikir lebih baik mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.

   "Sudahlah, aku tak mau mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!"

   Katanya mengajak pemuda itu. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan sama sekali jawaban yang ia dengar dari mulut pemuda itu,

   "Tidak, aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama Suhuku yang baru Wi Kong Siansu!"

   Barulah Mo-Kai Nyo Tiang Le tahu bahwa Tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat terkenal. Ia terkejut sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.

   "Apa katamu? Kam Seng, apa artinya ini? Apakah kau sudah gila?"

   Pemuda itu memandangnya tajam.

   "Tidak, Mo-Kai Nyo Tiang Le, kau lah yang gila kalau kau kira akan dapat memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian tidak karuan, makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau, pergilah dari sini!"

   Marahlah Mo-Kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan ini. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda yang biasanya pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang ajar.

   "Kam Seng...! Kau murid durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, terpaksa aku harus binasakan kau lebih dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!"

   Tiba-tiba Kam Seng tersenyum.

   "Hm, Mo-Kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku. Aku adalah putera dari Ang-Ho Sian-Kiam Song Kun, dan aku telah bersumpah untuk membalas kematian Ayahku kepada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau tidak mau lekas pergi dari sini? Aku masih mengingat akan sedikit kebaikanmu yang telah menurunkan sedikit ilmu silat tak berarti kepadaku. Kalau kau tidak lekas pergi, jangan menganggap aku keterlaluan kalau terpaksa turun tangan melawan dan mengusirmu!"

   Serasa meledak dada Mo-Kai Nyo Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan terbakar dan rambutnya yang tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.

   "Murid durhaka! Manusia berhati rendah!"

   Akan tetapi, Kam Seng dengan marah sekali telah mengeluarkan beberapa butir Thi-Tho-Ci dan mengayun senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-Kai Nyo Tiang Le sambil berseru,

   "Kau pergilah!"

   Dengan amarah yang meluap-luap Mo-Kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjata-senjata rahasia itu dengan gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh beberapa senjata-senjata rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu melancarkan serangannya yang hebat yaitu pukulan Soan-Hong-Jiu yang dilakukan dengan tenaga penuh ke arah bekas muridnya itu!

   Kam Seng maklum akan kelihaian pukulan ini, akan tetapi karena ia tahu pula bahwa mengelak dari pukulan ini selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya dan melakukan gerakah pukulan yang sama. Biarpun jarak di antara mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan Soan-Hong-Jiu dari Mo-Kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam Seng. Pemuda ini juga melakukan pukulan Soan-Hong-Jiu dengan tenaga Khikang sepenuhnya untuk menangkis. Dua angin pukulan bertemu dan akibatnya Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya menimpa dinding di belakangnya! Namun tangkisannya itu menyelamatkan jiwanya, karena sedikitnya telah membentur tenaga pukulan bekas Supeknya dan ia hanya terlempar saja tanpa menderita luka.

   "Kau harus mampus!"

   Mo-Kai Nyo Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas muridnya untuk memberi pukulan maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan tersenyum mengejek.

   "Wi Kong Siansu! Jangan kau ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan antara guru dan muridnya sendiri!"

   Teriak Mo-Kai Nyo Tiang Le marah sekali. Wi Kong Siansu tertawa bergelak.

   "Mo-Kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi! Ia telah menyatakan tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa dia kini telah menjadi murid pinto! Apakah kau kira pinto dapat berpeluk tangan saja melihat murid pinto hendak dibinasakan olehmu?"

   Saking marahnya Mo-Kai Nyo Tiang Le menjadi nekat.

   "Bagus!"

   Teriaknya "Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Toat-Beng Lo-Mo!"

   "Ha-ha! Majulah, mari kita main-main sebentar!"

   Jawab Tosu itu.

   Nyo Tiang Le menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, Tosu yang berilmu tinggi itu dengan tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya. Toat-Beng Lo-Mo Wi Kong Siansu ini melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang yang menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah. Setiap sambaran ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali. Mo-Kai Nyo Tiang Le terkejut ketika menyaksikan betapa angin pukulan Soan-Hong-Jiu yang dipergunakannya selain terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan baju itu dan maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga Lweekang dan Khikang, ia masih kalah setingkat! Oleh karena merasa percuma saja melawan Tosu lihai ini, Mo-Kai Nyo Tiang Le membuat gerakan mengalah, yaitu melompat mundur beberapa tindak sambil berkata,

   "Toat-Beng Lo-Mo, kepandaianmu benar-benar mengagumkan! Perkenankan aku pergi membawa muridku yang murtad!"

   Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar tubuh Kam Seng yang berdiri di sudut akan tetapi Wi Kong Siansu telah mendahuluinya dan kembali menghadang di depannya.

   "Mo-Kai! Jangan kau lanjutkan kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan pinto takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan muridku, terpaksa pinto harus turun tangan!"

   Mo-Kai Nyo Tiang Le menjadi makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat menangkan Tosu ini, akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah menurunkan kehormatannya dengan rendah sekali. Bagi seorang gagah, soal kehormatan lebih penting dan lebih mahal daripada nyawa. Muridnya berlaku khianat dan durhaka, sudah menjadi haknya untuk menghukum murid itu. Kalau ada orang lain yang menghalanginya, itu berarti penghinaan yang amat besar. Sambil berseru keras, Mo-Kai Nyo Tiang Le lalu mencabut tongkatnya yang tadi diselipkan di ikat pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher Tosu itu dengan gerak tipu Sian-Jin Tit-Lou (Dewa Menunjukkan Jalan).

   "Bagus!"

   Seru Wi Kong Siansu yang segera mengebut dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lalu mengibaskan lengan baju kanan ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu Burung Elang Menyambar Ayam.

   Nyo Tiang Le cepat mengelak dan ia lalu memutar tongkatnya dengan hebat sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan kitiran, berubah menjadi gulungan sinar yang amat kuat dan dapat berkelebatan ujungnya menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu Tongkat dari Hoa-san-pai yang lihai sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan maut! Akan tetapi Wi Kong Siansu adalah tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman dan kepandaiannya tinggi sekali. Ia telah tahu akan ilmu Tongkat Hoa-san-pai ini, maka biarpun ia tidak menggunakan senjata, kedua ujung lengan bajunya sudah cukup untuk memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le. Nampaknya ia hanya menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja,

   Akan tetapi angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung Tongkat Mo-Kai menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu. Setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang tangguh, bahkan gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-Kai Nyo Tiang Le berseru keras dan tubuhnya bergulingan ke atas lantai sambil melakukan penyerangan hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu Tongkat Hoa-san-pai yang paling lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan Mustika! Toat-Beng Lo-Mo Wi Kong Siansu terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat dan berbahaya ini. Ujung Tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi dengan tubuh lawannya yang bergulung-gulung dan mengejarnya ke mana juga ia melompat.

   Ia telah mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu meringankan tubuh dari Mo-Kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian penyerangan ini sungguh mengatasi dugaannya! Ketika ia melompat untuk mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya, tiba-tiba Mo-Kai Nyo Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang amat tak terduga merubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar Bunga, langsung menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati Tosu itu! Serangan ini amat cepat dan tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi. Akan tetapi Wi Kong Siansu benar-benar mengagumkan. Ia amat tenang dan tidak menjadi gugup. Dengan ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung Tongkat itu dan lengan baju sebelah kanan untuk menyabet pula sehingga kain ini kini melibat Tongkat lawannya.

   Sekarang dua ujung lengan baju itu telah membelit tongkat, tak dapat dilepaskan lagi. Melihat kesempatan baik ini, dengan girang Nyo Tiang Le lalu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka ia memukul kepala Tosu itu dengan pukulan Soan-Hong-Jiu yang hebat! Kalau pukulan ini mengenai kepala Tosu itu biarpun ia amat kuat dan lihai, agaknya ia akan mendapat luka di dalam kepala dan nyawanya takkan dapat diselamatkan lagi. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat cepatnya, Tosu itu menarik kepalanya ke bawah lalu melakukan serangan dengan kepalanya itu, diserudukkan ke arah dada Nyo Tiang Le, di bawah lengan kiri yang memukulnya! Nyo Tiang, Le terkejut sekali, menahan napas dan mengumpulkan Lweekangnya pada dada untuk menyambut benturan kepala yang tak dapat dielakkan ataupun ditangkis lagi itu.

   "Duk...!!"

   Tubuh Nyo Tiang Le terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu nampak pucat dan terhuyung-huyung. Akan tetapi pada saat itu dapat mengatur napasnya kembali sedangkan Nyo Tiang Le setelah terguling sambil muntah darah merah dari mulut, ternyata juga dapat melompat berdiri lagi! Akan tetapi pada saat itu, dari sebelah kanannya menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia terkejut dan mengelak cepat, akan tetapi terlambat! Terdengar suara "Tak!"

   Ketika kepala Huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepalanya. Seketika itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan matanya gelap. Tiba-tiba ia berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak dan ia lalu melompat keluar di dalam gelap, terus melarikan diri! Ban Sai Cinjin tertawa terbahak-bahak.

   "Ia telah terluka di dalam otaknya, sekarang ia hanya kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh dan mampus!"

   Kam Seng terkejut sekali mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sesungguhnya ia tidak mengira bahwa Supeknya akan mengalami nasib sehebat itu. Tadinya ia hanya bermaksud untuk melepaskan diri dari Mo-Kai Nyo Tiang Le untuk berguru kepada Tosu itu dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas dendam. Juga Toat-Beng Lo-Mo Wi Kong Siansu menghela napas panjang dengan menyesal.

   "Sute, mengapa kau menewaskannya? Permusuhan akan menjadi makin hebat."

   Ban Sai Cinjin tersenyum.

   "Suheng, pengemis itu terlalu menghina kita, dan orang jahat dan berbahaya seperti dia sudah sepatutnya dilenyapkan agar kelak tidak menimbulkan kepusingan."

   Kam Seng lalu berlutut di depan Wi Kong Siansu dan berkata,

   "Suhu, betapapun juga, Mo-Kai Nyo Tiang Le pernah melepas budi kepada Teecu, apakah Teecu boleh mengubur jenazahnya?"

   Tosu itu nampak girang.

   "Bagus, Kam Seng. Sikapmu menyenangkan hatiku, karena boleh kuharapkan kesetiaanmu kepadaku kelak. Kau susullah dia, kurasa takkan jauh dari sini kau akan dapat menemukannya."

   Kam Seng lalu melompat keluar dan mengejar ke arah Nyo Tiang Le tadi melompat pergi. Benar saja, di tempat yang tak jauh dari Kelenteng itu ia mendapatkan tubuh Supeknya itu telah tak bernyawa lagi, rebah di atas tanah dalam keadaan terlentang! Kedua mata pengemis Iblis itu terbuka dan di bawah sinar buIan, mata itu seakan-akan memandangnya dengan penuh penyesalan, mulut yang telah biru itu seakan-akan berbisik,

   "Murid durhaka!"

   Ia bergidik dan cepat mempergunakan saputangan untuk menutupi muka itu, lalu ia menggali lubang di tanah dekat tempat itu untuk mengubur jenazah Supeknya. Demikianlah, semenjak saat itu, Kam Seng menjadi murid Wi Kong Siansu dan menerima latihan ilmu silat yang tinggi sehingga kepandaiannya maju pesat sekali. Ketika Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin yang kini telah menjadi seorang Hwesio muda yang cakap tiba di Kelenteng itu, Hwesio muda ini memandang kepada Kam Seng dan berkata,

   "Sute, agaknya aku pernah melihat mukamu, entah di mana."

   Kam Seng tersenyum dan menekan debar jantungnya.

   "Tak bisa jadi, Suheng. Selama hidupku baru sekali ini aku bertemu dengan kau."

   Karena Kam Seng pandai membawa diri dan amat menghormat kepada semua orang sebagai orang baru, ia amat disuka.

   Selain Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin masih mempunyai seorang murid lain yang usianya baru empat belas tahun, yaitu putera seorang pangeran dari Kota Raja. Pangeran itu maklum akan kelihaian Ban Sai Cinjin, maka ia lalu memberikan puteranya untuk dididik oleh Kakek lihai ini. Anak muda ini datang dua bulan setelah Kam Seng berada di Kelenteng itu dan namanya adalah Ong Tek. Sebelum berguru kepada Ban Sai Cinjin, Ong Tek pernah mempelajari ilmu silat dari Panglima Kerajaan, sehingga ilmu silatnya pun sudah lumayang juga. Kam Seng memberi banyak petunjuk kepada Sutenya yang dikasihinya ini, sebaliknya Ong Tek juga memberi pelajaran ilmu surat kepada Suhengnya ini. Hubungan mereka amat erat karena dengan lain-lain orang yang berada di situ, terutama dengan Hok Ti Hwesio, kedua anak muda ini kurang merasa cocok. Dengan amat tekun dan rajin, Kam Seng berlatih ilmu silat dari Suhunya yang baru dan tanpa terasa lagi, setahun telah lewat dengan amat cepatnya.

   Demikianlah riwayat Kam Seng yang terlihat oleh Lili. Tentu saja Lili merasa terheran-heran melihat betapa Kam Seng dan orang tua yang berjenggot pendek itu ternyata menuju ke Kelenteng di mana dulu Kam Seng akan dibelek perutnya oleh Hwesio cilik murid Ban Sai Cinjin! Sebetulnya, Kam Seng baru saja datang dari dusun Tong-Sin-Bun, ke rumah Ban Sai Cinjin untuk menjemput orang setengah tua yang menjadi utusan dari Pangeran Ong. Utusan ini adalah seorang guru silat yang dulu pernah pula mengajar Ong Tek di Kota Raja dan kini ia menerima tugas dari Pangeran Ong untuk menengok puteranya serta membawa segala macam barang kiriman berupa pakaian, uang dan lain-lain. Kedatangan Kam Seng dan guru silat disambut oleh Ong Tek dengan girang sekali. Anak muda ini berlari menghampiri guru silat itu dan sambil memegang tangannya, ia bertanya,

   "Tan-Kauwsu, apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?"

   "Baik, Kongcu, semua baik. Taijin dan Hujin hanya berpesan agar supaya Kong-cu belajar dengan rajin di sini."

   Mereka bertiga lalu masuk ke ruang dalam, di mana terdapat Wi Kong Siansu dan Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin tidak berada di situ, karena Kakek mewah ini lebih banyak bermalam di dusun Tong-Sin-Bun. Semenjak Wi Kong Siansu tinggal di Kelentengnya itu, Ban Sai Cinjin tidak merasa leluasa kalau tinggal bermalam di situ pula.

   Ia merasa malu kepada Suhengnya karena ia memiliki kesukaan yang menjadi pantangan bagi kakak seperguruannya, yaitu misalnya berminum minuman keras, main judi dengan kawan-kawannya, atau bergurau dengan perempuan-perempuan penyanyi. Mata Lili yang tajam masih dapat mengenal Hok Ti Hwesio sebagai Hwesio kecil yang dulu hampir membelek perut Kam Seng, maka makin heranlah ia melihat betapa kini Kam Seng dapat bersahabat dengan Hwesio itu! Juga ia heran sekali ketika mendengar Kam Seng menyebut "Suhu"

   Kepada Tosu tua yang duduk di situ! Di manakah adanya Suhu Sin-Kai Lo Sian dan Supek Mo-Kai Nyo Tiang Le? Demikian dara perkasa ini bertanya seorang diri dengan penuh rasa bingung. Lili mendengarkan guru silat she Tan itu bercerita tentang keadaan di Kota Raja dan hatinya berdebar keras ketika guru silat itu berkata,

   "Agaknya keturunan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya telah mulai datang dan mengacau pula di sekitar Kota Raja."

   Tidak hanya Lili yang mengintai dari atas genteng yang tertarik oleh penuturan ini, bahkan semua orang di bawah genteng juga tertarik sekali.

   "Seorang pemuda keturunan Pendekar Bodoh atau entah kawan-kawannya karena menurut cerita Kam Thai-Ciangkun, penjahat itu pandai ilmu-ilmu silat Pendekar Bodoh, telah mengacau di Kota Tatung dan membunuh putera Kepala Daerah Tatung, yaitu Gui Kongcu. Bahkan pemuda jahat itu telah melarikan seorang gadis bangsa Haimi yang tadinya hendak menjadi bini muda Gui Kongcu!"

   Kam Seng amat tertarik dan bertanya,

   "Tan-Kauwsu, siapakah namanya? Dan apakah ia benar-benar putera Pendekar Bodoh? Apakah namanya Hong Beng, Sie Hong Beng?"

   Guru silat itu menggeleng kepalanya.

   "Entahlah, tentang namanya aku tidak tahu. Hanya, menurut penuturan Kam-Ciangkun, pemuda jahat itu lihai sekali. Kam-Ciangkun sudah terkenal memiliki kepandaian tinggi sekali, akan tetapi ia mengaku bahwa pemuda pengacau itu ilmu silatnya benar-benar tinggi, hampir sama dengan Pendekar Bodoh!"

   Tentu saja Lili merasa heran dan juga tertegun mendengar cerita ini. Siapakah pemuda itu? Benarkah Hong Beng Kakaknya? Boleh jadi, karena ia mendengar dari Ayah Ibunya bahwa Kakaknya itu pun telah meninggalkan perguruan dan kini menuju pulang setelah merantau dulu untuk meluaskan pengalaman. Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan ketika Lili memandang ke bawah, ia melihat bahwa yang tertawa itu adalah Hok Ti Hwesio, kepala gundul muda itu. Hok Ti Hwesio tertawa menyeringai dengan sikap menghina dan berkata,

   "Ha-ha-ha, mengapa orang selalu menyebut-nyebut nama Pendekar Bodoh dan menganggapnya seakan-akan seorang dewata? Mengapa orang agaknya memuji-muji musuh dan memperkecil semangat sendiri? Urusan Pendekar Bodoh, serahkan saja kepadaku, siapa yang takut kepadanya? Tunggulah sampai aku bertemu dengan dia!"

   Semua orang tahu bahwa Hok Ti Hwesio ini selain sombong seperti gurunya juga amat lihai. Ia telah mempelajari, tidak saja ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Ia memiliki ilmu kebal yang luar biasa, bukan ilmu kebal yang timbul karena tenaga Lweekang, akan tetapi ilmu kebal yang dipelajari oleh pengaruh sihir. Sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan, untuk memperoleh ilmu ini, ia tidak segan-segan untuk makan jantung manusia.

   Selain itu, ia amat terkenal dengan kepandaiannya melempar dan mainkan pedang kecil atau pisau belati yang disebutnya sendiri "Hui-Kiam" (Pedang Terbang). Pedang kecil ini dapat ia lontarkan dengan cepat dan yang aneh, pedang ini dapat mengejar sasarannya dan dapat terbang kembali seakan-akan bersayap. Tentu saja pedang itu tidak dapat terbang sebagaimana nampaknya, melainkan karena kepandaiannya melempar yang terlatih baik dan karena bentuk pedang itu agak bengkok, ditambah dengan pengerahan tenaga yang tepat maka pedang itu seakan-akan dapat terbang kembali. Ketika Lili mendengar ucapan Hwesio muda ini, timbul kemarahannya. Hampir saja ia melompat turun untuk mengamuk dan menampar mulut Hwesio yang menantang-nantang Ayahnya itu, akan tetapi ia teringat akan nasihat Ayahnya yang berkata,

   "Lili, kelemahan yang paling membahayakan diri kita sendiri, adalah rasa takut dan nafsu marah. Kalau kau takut dan marah, maka kau takkan dapat berlaku tenang dan mutu permainan silat akan menjadi turun serta keadaan menjadi lemah sekali. Oleh karena itu, baik dalam keadaan bagaimana juga kau harus dapat menguasai hatimu, dan dapat membebaskan diri dari rasa takut dan nafsu marah."

   Aku tidak boleh marah, pikirnya dan setelah dengan susah ia dapat menekan hawa amarah yang mengalun di dalam dadanya, Lili lalu memandang kembali ke bawah. Ia mendengar Tan-Kauwsu masih banyak menceritakan keadaan Kota Raja dan melihat kepala Hok Ti Hwesio yang gundul plontos dan mengkilap tertimpa sinar tujuh batang lilin yang dipasang di atas meja, timbullah keinginan di hati Lili untuk mempermainkannya. Memang gadis ini mempunyai watak seperti Ibunya, jenaka, nakal dan suka mempermainkan orang yang dibencinya.

   Di atas genteng itu terdapat banyak tanah lumpur yang terjadi dari debu dan air hujan. Ia lalu menggaruk lumpur ini dari celah-celah genteng dan membuat beberapa butir pel lumpur sebesar kacang. Lili bekerja dengan hati-hati sekali sehingga tidak menimbulkan suara sama sekali, kemudian ia meletakkan sebutir pel lumpur atau tanah liat itu di atas telapak tangan kiri, lalu menggerakkan jari tengah dan Ibu jari kanan untuk menendang atau menyelentik pel itu ke bawah. Ia tidak berani menggunakan tangan menyambit karena kalau ia lakukan hal ini, tentu angin tenaga sambitannya akan terdengar dari bawah oleh telinga orang-orang yang berkepandaian tinggi itu. Ketika pel tanah liat itu terkena tendangan jari tengah, benda kecil ini meluncur turun dengan amat cepat menuju ke arah kepala Hok Ti Hwesio yang gundul licin dan mengkilap.

   "Plok!"

   Pel tanah liat itu dengan tepat sekali mengenai kepala Hok Ti Hwesio dan menjadi gepeng serta melengket di kulit kepalanya!

   Akan tetapi tubuh Hwesio muda itu tidak bergerak sedikit pun juga, seakan-akan serangan ini tidak terasa olehnya. Hal ini amat mengejutkan hati Lili, oleh karena ia maklum bahwa tenaga selentikannya ini cukup untuk membuat tanah liat itu melubangi batang pohon! Demikian keraskah batok kepala Hwesio itu? Sebaliknya, Hok Ti Hwesio juga terkejut sekali. Ia tidak merasa terlalu sakit, akan tetapi cukup merasa pedas kulit kepalanya. Yang membuat ia amat terkejut adalah kelihaian serangan ini. Mengapa ia tidak mendengarnya sama sekali? Bagaimana orang dapat menyambit sesuatu tanpa mengeluarkan suara? Dan lagi, kalau memang betul yang menyambitnya seorang manusia yang berada di atas genteng, mengapa ia dan yang lain-lain tidak mendengarnya? Mungkin pendengaran telinganya kurang tajam, akan tetapi Wi Kong Siansu tentu akan mendengarnya!

   Maka ia lalu meraba kepalanya dan mengira bahwa yang jatuh di atas kepalanya itu hanya tai cecak yang kebetulan jatuh di atas kepalanya. Juga Kam Seng dan Wi Kong Siansu mendengar suara "Plok"

   Tadi, akan tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu hanya mengira bahwa itu adalah suara buah busuk yang jatuh di atas tanah di luar Kelenteng. Benda hitam kecil ke dua meluncur cepat, disusul dengan yang ke tiga dan ke empat. Tiba-tiba Hok Ti Hwesio berseru keras dan mencabut pisau belatinya dengan marah sekali. Kali ini ia merasa sakit sekali pada hidung dan kedua telinganya. Dengan tepat sekali tiga pel tanah liat kecil itu menghantam hidung dan kedua daun telinganya. Tak salah lagi, ini tentu perbuatan seorang manusia. Tak mungkin binatang cecak bisa melempar tai demikian kebetulan!

   "Bangsat rendah, kalau kau memang berani, turunlah!"

   Bentaknya sambil mendongakkan kepalanya memandang ke arah genteng. Akan tetapi malang baginya, karena ia berseru sambil menengadah sebutir pel tanah liat yang tidak kelihatan dan tidak terdengar menyambarnya, tahu-tahu telah memasuki mulutnya dan tak tertahan pula terus masuk ke tenggorokan turun ke perut!

   "Kurang ajar! Keparat!!"

   Hok Ti Hwesio menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat ia telah melompat keluar dan langsung naik ke genteng, sedangkan Wi Kong Siansu, Kam Seng, Tan-Kauwsu dan Ong Tek memandang kelakuan Hwesio itu dengan heran. Ketika tiba di atas genteng, Hok Ti Hwesio memandang ke sana ke mari akan tetapi ia tidak melihat bayangan seekor kucing pun di atas genteng. Dengan mendongkol dan juga heran sekali ia melompat turun dan kembali ke dalam ruang itu. Ia berpikir bahwa kalau memang benar ada orang mengganggunya, tentu orang itu melakukan hal itu karena marah mendengar ia tadi menantang Pendekar Bodoh, maka dengan suara keras ia berkata,

   "Kalau yang datang tadi Pendekar Bodoh atau konco-konconya, maka ternyata bahwa Pendekar Bodoh dan konco-konconya hanyalah pengecut-pengecut besar yang berani menyerang dengan sembunyi! Kalau ia berani turun ke sini, dalam beberapa jurus saja tentu pisauku ini akan menembus lehernya!"

   Baru saja ucapannya habis, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari atas,

   "Bangsat gundul bermulut besar!"

   Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah sekali. Semua orang terkejut melihat gadis ini, karena bagaimanakah seorang dara muda remaja memiliki Ginkang yang sedemikian tingginya sehingga kedatangannya sampai tidak terdengar sama sekali? Yang lebih terkejut adalah Kam Seng, karena sekali memandang saja ia mengenal gadis ini sebagai Lili!

   "Lili...!"

   Ia berseru perlahan dengan mata terbelalak. Kalau orang melihat sinar matanya, di situ akan terbayang kasih sayang yang besar, tercampur kebencian yang mengejutkan. Memang, semenjak dahulu ketika tertolong oleh Sinkai Lo Sian, Kam Seng merasa kagum dan suka sekali kepada Lili. Ia kagum akan kecantikan dan kejenakaan gadis ini, sehingga dulu seringkali ia diam-diam memandang kepada gadis itu dengan pikiran melamun. Akan tetapi, di samping rasa kasih sayangnya ini, ia mangandung kebencian hebat sekali mengingat bahwa dara jelita ini adalah puteri dari musuh besarnya, Pendekar Bodoh! Seruan perlahan ini terdengar juga oleh Lili, maka ia menengok dan tersenyum manis.

   "Kukira tadi bukan Kam Seng yang berada di sini, akan tetapi ternyata benar-benar kau! Mengapa kau berada di sini? Di manakah Suhu dan Supek?"

   Tanyanya sambil memandang tajam. Sinar matanya berkelebat seakan-akan menembus dada Kam Seng sehingga pemuda itu merasa tak enak hati sekali dan mukanya berubah merah. Sementara itu, Wi Kong Siansu dan yang lain-lain juga sudah bangkit dari tempat duduknya, dan Hok Ti Hwesio bertanya kepada Kam Seng,

   "Sute, siapakah perempuan ini?"

   Tiba-tiba timbul sebuah pikiran yang baik dalam otak Kam Seng. Ia memang mempunyai perasaan tidak suka kepada Hok Ti Hwesio yang kini menjadi Suhengnya, dan ia ingin mengadu Hwesio ini dengan Lili agar dengan demikian ia dapat mengadukan dua orang yang termasuk dalam daftar musuhnya.

   "Suheng, kau tadi mencari Pendekar Bodoh. Nah, inilah puterinya yang bernama Sie Hong Li atau Lili!"

   Lili makin terheran mendengar ucapan Kam Seng ini.

   "Dan Si Gundul ini kalau tidak salah tentulah si tukang membelek perut, bukan? Apakah dia sekarang menjadi Suhengmu, Kam Seng?"

   Makin merahlah muka Kam Seng mendengar hal ini.

   "Lili..."

   Katanya perlahan.

   "Sekarang tidak ada hubungan antara kau dan aku lagi, aku... aku sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, yaitu Suhuku yang baru ini!"

   Lili tersenyum mengejek.

   "Siapa bilang bahwa kau dan aku pernah ada hubungan? Dari dulu pun kita tidak mempunyai hubungan sesuatu!"

   Sementara itu, Hok Ti Hwesio tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Bagus, hendak kulihat sampai di mana kelihaian anak dari Pendekar Bodoh!"

   Sambil berkata demikian, ia lalu menyerang dengan pisau belatinya, menusuk ke arah dada Lili yang berdiri dengan tenang. Melihat tusukan ini, Lili tertawa mengejek dan sambil mengelak gesit ia mentertawakan Hwesio itu.

   "Tukang sembelih babi! Bagaimana kau berani berlagak di depan nonamu?? Apakah kau masih ingin merasai pel tanah liat lagi? Masih kurang kenyangkah yang tadi itu?"

   Sambil berkata demikian, tangan Lili terayun dan ia melemparkan dua butir pel lagi yang masih dipegangnya. Dengan cepat sekali dua butir pel itu menyambar ke arah sepasang mata Hok Ti Hwesio! Bukan main kagetnya Si Kepala Gundul ini, ketika melihat dua titik hitam berkelebat menyambar matanya. Ia cepat menundukkan mukanya, akan tetapi serangan dua butir pel tanah liat itu benar-benar cepat sekali.

   "Tak! Tak!"

   Bagaikan dua buah pelor besi, dua butir pel tanah liat itu melesat di atas kepalanya yang gundul, sungguhpun tak dapat melukai kulitnya yang kebal, namun cukup mendatangkan rasa sakit!

   "Perempuan liar, kau harus mampus!"

   Serunya marah dan ia lalu maju lagi menyerang dengan cepat, menggunakan gerak tipu yang disebut Coan-Jiu Ciong-Kiam (Lonjorkan Lengan Sembunyikan Pedang). Gerakan ini merupakan serangan yang berbahaya sekali, karena ia melakukan serangan dengan pukulan tangan kanan sambil menyembunyikan pedang kecil itu di bawah lengannya.

   
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pedang kecil ini siap untuk diputar dan ditusukkan apabila pukulan itu dapat dielakkan lawan. Akan tetapi, Lili yang sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari Ayah Ibunya, bahkan sudah menerima ilmu silat warisan dari Swie Kiat Siansu yang diturunkan melalui Ayahnya, tentu saja hanya mentertawakan serangan ini. Ia maklum bahwa pedang kecil yang tersembunyi di bawah lengan itu akan melakukan serangan lanjutan, maka ia lalu memutar kedudukan kakinya, mengelak sambil mainkan Ilmu Silat Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang indah sehingga tubuhnya seakan-akan sedang menari-nari menghadapi serangan lawannya. Mulutnya yang kecil manis itu tiada hentinya tersenyum dan sambil menggerakkan tubuh mengerling tajam ke arah lawannya, ia menyindir,

   "Tikus gundul! Tiada guna kau maju memperlihatkan kebodohanmu! Suruhlah Bouw Hun Ti si keparat itu keluar untuk kuambil kepalanya!"

   Hok Ti Hwesio makin marah, apalagi ketika ia mendengar Wi Kong Siansu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu,

   "Itulah Ilmu Silat Sianli Utauw yang lihai dari Ang I Niocu! Hok Ti, kau mundurlah karena kau takkan menang menghadapi Nona ini!"

   Hanya seorang saja di dunia ini yang ditakuti dan ditaati oleh Hok Ti Hwesio, yaitu gurunya, Ban Sai Cinjin. Biarpun ia menghormati Supeknya ini, namun di dalam kemarahan dan rasa penasarannya terhadap Lili ucapan Supeknya itu bahkan menambah kemarahannya.

   "Biarlah, Supek. Masa Teecu tidak dapat mengalahkan perempuan liar ini?"

   Ia lalu maju lagi dan kini mengirim serangan maut bertubi-tubi.

   Pisau belati di tangannya menyambar-nyambar cepat sekali dan karena Ginkangnya memang sudah tinggi, sedangkan pisau itu kecil dan ringan, ditambah tenaga Lweekangnya yang sudah baik, maka tubuhnya lenyap berubah menjadi segunduk bayangan yang mengurung tubuh Lili dari segenap jurusan. Lili sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari Ayahnya, bahkan biarpun belum sempurna seperti Ayahnya, namun dara jelita yang gagah perkasa ini sudah mengerti pula tentang dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, maka dengan enaknya ia menghadapi serangan-serangan Hok Ti Hwesio. Ia melihat Hwesio itu menyerangnya dengan gerak tipu Tiang-Ging King-Thian (Pelangi Panjang Melengkung di Langit) dan pedang kecil itu menyambar di atas kepalanya, sedangkan kaki kanan Hwesio itu menendang dengan cepatnya sambil mengerahkan tenaga Kim-Kong-Twi (Tendangan Sinar Emas).

   Melihat gerakan pedang dan kaki yang menendang, Lili dapat menduga bahwa lawannya tentu memancingnya untuk mengetakkan tendangan itu dengan gerak lompat Kim-Le Coan-Po (Ikan Gabus Terjang Ombak) atau Cian-Liong Seng-Thian (Naga Sakti Naik ke Langit) agar tubuhnya naik ke atas sehingga pedang kecil yang berkelebat di atas kepalanya itu dapat menyerangnya dengan gerak tipu Liong-Ting Thi-Cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga). Ia maklum pula akan berbahayanya serangan beruntun ini, akan tetapi dasar Lili memang berhati tabah, berwatak nakal jenaka, dan sudah memiliki perhitungan yang tepat maka dengan sengaja seakan-akan tidak tahu bahaya, ia segera melompat ke atas mengelakkan serangan tendangan lawan dengan Ilmu Lompat Cian-Liong Seng-Thian!

   Hok Ti Hwesio menjadi girang sekali melihat pancingannya berhasil dan benar saja, seperti yang sudah diduga oleh Lili, pedang kecil di tangannya lalu menyambar dari atas, memapaki kepala Lili dengan gerakan Liong-Ting Thi-Cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga)! Satu hal yang tidak terduga oleh Lili, yaitu sambil melakukan serangan berbahaya ini, tangan kiri Hok Ti Hwesio tidak tinggal diam dan maju memukul ke arah dada gadis itu dengan pukulan yang mengandung tenaga Thiat-Ciang-Kang (Pukulan Tangan Besi)! Kam Seng yang melihat bahaya mengancam gadis cantik yang diam-diam menjatuhkan cinta kasihnya itu, hampir saja berseru ngeri karena bagaimanakah orang dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan sehebat itu? Akan tetapi Lili berlaku tenang. Ia mengangkat tangan kirinya ke atas dan menggerakkan tangannya itu secara luar biasa sekali ke arah pedang lawan sehingga terdengar suara,

   "Cring...!!"

   Dan ternyata ia telah berhasil menangkis pedang lawannya itu dengan gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya! Adapun pukulan ke arah dadanya itu ia sambut dengan tangan kanannya, dengan telapak tangan dari jari-jari yang dikembangkan!

   "Ah... tangan kanan itu sudah terang mainkan Pek-In Hoat-Sut akan tetapi tangan kiri itu... apakah itu yang disebut Kong-Ciak Sin-Na, ilmu-ilmu lihai dari Bu Pun Su?"

   Terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum. Akan tetapi, orang lain tidak memperhatikan ucapan ini karena memang lebih tertarik melihat akibat dari dua gerakan gadis yang lihai itu.

   Hok Ti Hwesio tadi merasa kaget setengah mati ketika menyaksikan betapa gadis muda itu dapat menangkis pedangnya hanya dengan gelang di tangannya! Akan tetapi kekagetannya itu tidak berarti apabila dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi ketika pukulan tangan kirinya bertumbuk dengan telapak tangan gadis itu! Ia tidak merasa bahwa kepalan tangannya sudah bertemu dengan telapak tangan kanan lawannya, akan tetapi dari telapak tangan itu mengebul uap putih dan ia merasa lengan kirinya seakan-akan hendak patah! Rasa sakit menusuk-nusuk tulang lengannya yang kiri, dan ia tahu bahwa itu adalah akibat membaliknya tenaga pukulannya sendiri! Sambil berseru keras Hwesio ini melompat ke belakang dan cepat menggunakan gagang pedangnya untuk menotok urat lengan kirinya dan dengan cara demikian ia membuyarkan tenaga sendiri yang membalik karena tangkisan gadis secara istimewa tadi!

   "Perempuan liar! Jangan lari!"

   Teriak Hok Ti Hwesio dengan keras dan marah, suatu sikap untuk menutup rasa malunya dan untuk memperbesar semangatnya.

   Ia menubruk maju lagi dan kini ia bersilat lebih hati-hati. Diam-diam ia merasa penasaran dan sedih sekali sehingga ingin sekali ia menangis berkaok-kaok saking jengkelnya. Bagaimanakah dia, Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin, yang semenjak masih kecil dengan rajin dan tekunnya mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, bahkan telah memiliki kekebalan dan ilmu kesaktian yang berdasarkan ilmu hitam, sudah "Bertapa"

   Mencari kesaktian dari mahluk halus, bermalam di tanah pekuburan, kini dengan pedang di tangan tidak berdaya menghadapi seorang gadis yang bertangan kosong? Saking jengkelnya, ia tidak ingat lagi akan pengalamannya yang tadi. Kalau Hok Ti Hwesio tidak begitu jengkel dan penasaran, tentu telah terbuka matanya bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripadanya.

   "Hemm, tikus gundul! Binatang rendah macam kau inikah yang hendak melawan Ayah? Ha, kau perlu diberi rasa sedikit!"

   Setelah berkata demikian, Lili mengubah caranya bersilat dan kini ia mainkan Sianli Utauw bagian yang paling cepat.

   Tubuhnya seakan-akan lenyap berubah menjadi sinar kemerahan dari bajunya yang berkembang merah itu, dan pandangan mata Hok Ti Hwesio menjadi pening. Seringkali ia menyaksikan gurunya atau Supeknya bersilat dengan hebat, akan tetapi belum pernah melihat yang secepat ini. Ia lalu mengamuk dan menggunakan pedang kecilnya menyambar ke arah bayangan tubuh lawannya, akan tetapi tiap kali pedangnya menyerang, ia merasa hanya mengenai angin saja karena lawannya sudah dapat mengelak lebih dulu. Dan sebagai imbangannya, terdengar suara "Tok!"

   Karena kepalanya telah kena diketok oleh jari tangan Lili. Beberapa puluh jurus mereka bertempur dan entah sudah beberapa belas kali terdengar suara "Tak-tok! tak-tok!"

   Karena selalu tangan atau kaki Lili berkenalan dengan kepala yang gundul klimis itu. Gadis ini benar-benar merasa kagum dan heran.

   Ketokan, pukulan, dan tendangannya itu dilakukan dengan tenaga Lweekang yang penuh dan kuat sekali, jangankan baru kepala orang, biarpun kepala patung batu akan pecah atau retak terkena serangan ini. Bagaimanakah Hwesio ini dapat menerima semua pukulan itu dengan adem saja, seakan-akan yang hinggap di kepalanya hanyalah lalat-lalat belaka? Sebaliknya, Hok Ti Hwesio menjadi demikian mendongkol, malu, penasaran dan marah sehingga tak terasa lagi dari kedua matanya keluar dua titik air mata yang besar-besar! Bukan main gemasnya karena kepalanya dibuat main bola oleh gadis ini, dan biarpun ia dapat menahan pukulan itu, namun tetap saja ia merasa sedikit puyeng! Wi Kong Siansu khawatir kalau-kalau murid keponakan ini akan mendapat luka di dalam otaknya akibat pukulan-pukulan lihai itu, maka ia segera membentak,

   "Hok Ti! Mundur kau...!"

   Kali ini Hok Ti Hwesio tidak membangkang, karena di dalam suara Supeknya terdengar perintah yang amat keras. Pula, tadinya ia ingin mengadu nyawa karena merasa malu mengundurkan diri mengaku kalah setelah ia tadi bersumbar, kini ia melihat kesempatan baik karena Supeknya yang memerintahnya mundur!

   Dengan gerak lompatan Naga Hitam Berjungkir Balik ia melompat ke belakang, membuat poksai (salto) tiga kali dan tiba-tiba ketika tubuhnya masih berjumpalitan itu, pisau belati yang berada di tangannya telah ia lontarkan ke arah Lili! Inilah keistimewaan Hok Ti Hwesio. Pedang kecil atau pisau belati itu menyambar dengan cepatnya, merupakan sinar putih yang mengkilap menuju ke arah leher Lili yang sama sekali tidak menyangkanya. Akan tetapi, dengan tenang sekali dan masih tersenyum, Lili mengangkat tangan kiri ke depan leher dan dengan gerak tipu Kwan-Im-Siu-Koai-To (Dewi Kwan Im Menyambut Golok Siluman) ia telah dapat menangkap Hui-Kiam (pedang terbang) itu dan berbareng pada saat itu juga, ia mengirim pulang pedang itu dengan melontarkannya ke arah perut Hok Ti Hwesio disusul suara ejekannya,

   "Nah, makanlah pisau penyembelih babimu ini!"

   Baru saja tubuh Hok Ti Hwesio melompat turun, pisaunya telah terbang menyambar perutnya yang kecil karena jarang makan itu. Ia terkejut sekali dan tidak sempat mengelak atau menangkis, maka ia lalu mengerahkan kekebalannya ke tempat yang terserang itu dan "Bret!"

   Hanya pakaiannya sajalah yang terobek oleh pisau itu, akan tetapi kulitnya lecet pun tidak!

   "Terlalu enak bagimu!"

   Lili berseru penasaran dan sambil melangkah maju dua tindak, ia melancarkan pukulan Pek-In Hoat-Sut ke arah Hwesio itu dengan kedua lengannya!

   "Celaka!"

   Seru Wi Kong Siansu dan Tosu ini dari tempatnya lalu menggerakkan ujung kedua lengan bajunya menangkis serangan angin pukulan yang dilancarkan oleh Lili ini. Akan tetapi, masih tetap saja sebagian tenaga pukulan ini menyerang Hok Ti Hwesio sehingga Hwesio itu terpental menubruk dinding di belakangnya yang terpisah tiga tombak lebih dari padanya! Kalau saja pukulan ini tidak tertahan oleh angin tangkisan Wi Kong Siansu tak dapat diharapkan Hok Ti Hwesio akan dapat bernapas lagi. Biarpun ia kebal, akan tetapi pukulan Pek-In Hoat-Sut menembus semua kekebalan dan merusak tubuh bagian dalam. Kini Hok Ti Hwesio juga terluka, akan tetapi tidak parah dan tidak membahayakan jiwanya, namun cukup membuat ia duduk mengeluh panjang pendek dan berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk memulihkan lukanya.

   "Ganas, ganas...!"

   Kata Wi Kong Siansu sambil memandang kepada Lili.

   "Tak kusangka bahwa Pek-In Hoat-Sut dari Bu Pun Su yang budiman dan penuh hati welas asih itu kini dipergunakan oleh cucu muridnya secara demikian kejam!"

   Lili tersenyum manis dan menjura kepada Wi Kong Siansu, lalu berkata,

   "Wi Kong Siansu, aku yang muda sudah seringkali mendengar namamu yang besar sebagai seorang yang berkepandaian tinggi. Ucapanmu tadi memang kuakui ada benarnya akan tetapi agaknya kau orang tua telah menjadi pikun dan lupa akan ejekan orang-orang jaman dahulu yang berbunyi : peluh orang lain berbau busuk, akan tetapi kotoran sendiri berbau sedap! Tadi mudah saja kau

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   mencela aku yang muda, bahkan membawa nama Sucouw Bu Pun Su. Akan tetapi, bukankah tikus gundul itu murid keponakanmu sendiri? Mengapa kau tidak mencelanya sama sekali? Apakah kau anggap bahwa perbuatannya terhadap aku tadi cukup pantas?"

   Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. Ia tidak tahu bahwa Lili memang semenjak kecil gemar berkelahi dan karena seringkali bertengkar, maka ia menjadi pandai berdebat! Apalagi karena ia seringkali mendengar Ayahnya memberi nasihat dengan segala macam ujar-ujar kuno, maka ujar-ujar yang kiranya dapat ia pergunakan untuk "Memukul"

   Lawan, telah hafal di dalam kepalanya. Dengan kata-katanya yang lantang itu, gadis ini sama sekali tidak memandang muka Wi Kong Siansu sehingga Tosu itu menjadi penasaran sekali. Ia merasa ditantang!

   "Hemm, Nona muda, biarpun kau puteri Pendekar Bodoh, tak selayaknya kau bersikap begini sombong di hadapan Toat-Beng Lo-Mo! Agaknya Ayahmu hanya memberi didikan ilmu silat saja kepadamu, sama sekali tidak memberi pelajaran tentang tata susila dan sopan santun!"

   Kembali Lili tersenyum lebih manis lagi. Makin manis senyum gadis ini makin berbahayalah dia, karena itu adalah tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya dan berada dalam keadaan yang amat waspada.

   "Totiang, orang-orang dahulu yang lebih tua daripadamu telah menyatakan bahwa manusia dihormat oleh sesamanya bukan karena keputihan rambutnya (usia tua), melainkan karena keputihan hatinya (budiman)."

   Mulai bersinar pandang mata Wi Kong Siansu.

   "Bocah lancang mulut! Apakah kau mau menyatakan bahwa kau anggap aku seorang jahat?"

   "Tidak ada sangka-menyangka dalam hal ini, Totiang,"

   Kata Lili sambil mengerling ke arah Kam Seng dengan pandangan mengejek.

   "Ayah pernah berkata bahwa burung gagak hanya akan berkawan dengan mayat, sedangkan burung Hong hanya berkawan dengan burung sorga! Aku tidak berani menyatakan atau menyangka bahwa Totiang dan orang-orang lain jahat pula, akan tetapi aku berani menyatakan bahwa orang-orang yang bernama Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio yang keduanya tinggal di tempat ini juga adalah binatang-binatang rendah yang harus dimusnakan dari muka bumi ini!"

   Ucapan ini terasa bagaikan tamparan pedas di muka Wi Kong Siansu, akan tetapi terhadap Kam Seng merupakan ujung pedang yang menikam di ulu hatinya. Mukanya yang tadi merah sekarang berubah menjadi pucat. Wi Kong Siansu berkata lagi,

   "Hemm, kau masih kanak-kanak akan tetapi mulutmu jahat sekali. Sikapmu menantang padaku, akan tetapi aku masih malu untuk menghadapi seorang anak kecil seperti kau. Kam Seng, kau wakili aku dan coba kau uji kepandaian Nona ini!"

   Kam Seng tak berani membantah. Gurunya sudah tahu bahwa sebelum ia datang di tempat itu, ia adalah Suheng dari gadis ini, maka kalau sekarang ia memperlihatkan sikap ragu-ragu dan membantah, tentu gurunya akan menaruh hati curiga kepadanya. Pula, Lili adalah anak dari musuh besarnya yang harus pula ia balas, sungguhpun cara membalas dendam terhadap Lili telah ada rencana lain dalam otaknya! Ia amat sayang kalau nona yang begini cantik manis sampai terbinasa. Akan lebih baik kalau ia dapat mengambil nona ini menjadi isterinya! Bukan karena cinta kasih murni, akan tetapi hanya untuk mempermainkan anak musuh besarnya! Sambil menekan debar jantungnya, Kam Seng melangkah maju dan mencabut pedangnya.

   "Lili,"

   Katanya dengan suara tenang.

   "kau telah berani menghina Suhu. Cabutlah pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat apakah kepandaianmu sesuai dengan kesombonganmu ini!"

   Lili tidak menjawab, bahkan lalu menatap pemuda itu dan memandang dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Ia melihat pemuda ini sekarang nampak tampan dan gagah, mukanya putih terawat, rambutnya tersisir rapi dan diikat ke atas. Pakaiannya bersih dan terbuat dari sutera mahal, baju warna merah dengan leher kuning emas dan celana warna biru. Alangkah jauh bedanya dengan Kam Seng yang dulu itu! Dulu hanya seorang pengemis kelaparan dan kurus kering, berpakaian compang-camping dan kotor.

   "Hemm, Kam Seng, kau benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat! Pakaianmu semewah keadaan dalam ruangan ini! Hanya sayangnya, tidak semua keadaan di luar mencerminkan keadaan di dalam! Banyak kutemui keindahan luar yang hanya menjadi kedok daripada kebobrokan di sebelah dalam!"

   Suara ini dikeluarkan dengan bibir masih tersenyum simpul, seakan-akan ia adalah seorang dewasa yang memberi nasihat kepada seorang anak kecil.

   "Sudahlah, Lili, jangan banyak cakap lagi,"

   Jawab Kam Seng dengan muka kemerah-merahan.

   "Tidak ada gunanya bertanding kata-kata, cabutlah pedangmu!"

   "Lagakmu seperti orang gagah saja!"

   Lili masih menyindir dan dengan gerakan perlahan ia mengeluarkan sebuah kipas dari dalam bajunya, membuka kipas itu lalu mengipasi tubuhnya yang tidak gerah! Bagi pandangan orang lain dan juga Kam Seng, agaknya sikap Lili ini memandang rendah sekali kepada lawannya. Bahkan Kam Seng tidak mengira bahwa gadis itu akan menghadapinya dengan kipas di tangan!

   "Lili lekas kau keluarkan pedangmu aku tidak mau menyerang orang bertangan kosong!"

   Ucapan ini sengaja dikeluarkan dengan keras untuk memberi tamparan kepada Hok Ti Hwesio yang dibencinya. Akan tetapi, Lili hanya tersenyum dan mengipasi tubuhnya makin cepat lagi.

   "Untuk menghadapi seekor lalat, cukup dengan sehelai kipas!"

   Katanya.

   Tidak seperti Kam Seng dan orang-orang lain, Wi Kong Siansu memandang kepada kipas di tangan Lili itu dengan penuh perhatian. Bukan kipasnya yang menarik perhatiannya, melainkan cara jari tangan gadis itu memegang kipas itu. Orang lain kalau memegang kipas tentu gagangnya digenggam di telapak tangan di antara empat jari dan Ibu jari. Akan tetapi Lili memegang kipas itu dengan gagang dijepit antara Ibu jari dan telunjuk, sedangkan tiga jari tangan yang lain lurus dan tegang! Berdebarlah dada Tosu ini karena pegangan ini mengingatkan ia akan jago tua di Utara, yaitu Swie Kiat Siansu, ahli Kipas Maut! Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Bagaimana gadis ini bisa menjadi murid Swie Kiat Siansu?

   "Kam Seng, jangan pandang ringan kipas itu, kau seranglah!"

   Katanya kepada muridnya. Lili diam-diam memuji ketajaman mata Tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut dan memperhatikan kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih kekuningan seperti tulang. Ia dapat menduga bahwa kalau kipas ini dipergunakan sebagai senjata, tentu gagang kipas itu terbuat daripada gading yang keras. Layar atau permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi telah digambari gunung dan sungai dan ditulisi syair pula. Ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai senjata? Akan tetapi karena Suhunya telah menyuruhnya menyerang, ia lalu bergerak maju.

   "Awas pedang!"

   Teriaknya dan menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-Seng-Kan Goat (Bintang Mengejar Bulan), sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya.

   Bagaikan sebuah bintang, ujung pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar terus kemana saja sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh pedangnya adalah pundak kanan Lili. Dengan memilih sasaran pundak kanan, Kam Seng hendak menyatakan bahwa dia tidak berniat jahat atau menewaskan gadis itu. Dengan menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada Lili untuk mengelak. Akan tetapi, ternyata Lili sama sekali tidak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini dengan senyum mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapapun juga, tidak bisa membatalkan serangannya karena hal ini akan membikin marah Suhunya dan biarpun hanya pundak, kalau terkena pedangnya tentu akan terluka hebat juga! Serangannya ini amat cepat dan dilakukan dengan tenaga Lweekang sepenuhnya.

   Ketika ujung pedang Kam Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup pundak, tiba-tiba gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas lalu mengubah gerakan kipasnya dan kini ia mengebut ke arah pedang Kam Seng yang ujungnya sudah mendekati pundaknya. Kam Seng hampir mengeluarkan seruan keras saking kagetnya. Gerakan sederhana dengan kipas di tangan luar biasa sekali dibarengi penyerangan luar biasa sekali. Sekaligus kipas itu telah melakukan tiga gerakan yang luar biasa. Muka kipas menangkis ujung pedang, kebutannya mendatangkan angin yang menyambar mukanya sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari gading itu cepat sekali melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang!

   "Lihai sekali...!"

   Terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum.

   "Aku berani bertaruh bahwa ini tentulah Ilmu Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!"

   Sementara itu Kam Seng yang lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan mukanya menjadi pucat. Karena tadi memandang rendah hampir ia terkena totokan dalam segebrakan saja.

   Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi Kong Siansu yang ternyata dapat mengenal ilmu silatnya demikian cepatnya. Kam Seng berlaku hati-hati dan kini ia tidak berlaku seji (sungkan) lagi. Ia mengerahkan kepandaiannya dan menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang Hek-Kwi Kiam-Sut, yaitu Ilmu Pedang ciptaan Toat-Beng Lo-Mo Wi Kong Siansu yang amat ganas dan selain kuat juga amat cepat gerakannya. Diam-diam Lili kagum juga melihat Ilmu Pedang ini. Sayang ia telah berkumpul dengan orang-orang jahat, pikirnya, kalau ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu ilmu sitatnya akan amat berguna. Sama sekali Lili tidak tahu bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari pendidikan Mo-Kai Nyo Tiang Le. Hanya Ilmu Pedangnya ini memang pelajaran dari Wi Kong Siansu.

   Agaknya pemuda ini merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini. Lili maklum bahwa ilmu kepandaian Kam Seng lebih baik dan lebih berbahaya daripada Hok Ti Hwesio. Perbedaan yang amat mencolok antara kedua orang ini ialah bahwa Hok Ti Hwesio mendasarkan kepandaiannya untuk daya tahan, tubuhnya kebal, pertahanannya kuat, bahkan batok kepalanya pun dapat menahan pukulan maut. Sebaliknya, Kam Seng mendasarkan kepandaiannya pada daya serang. Serangannya berbahaya dan cepat, tidak memberi banyak kesempatan kepada lawan. Akan tetapi, daya tahannya tidak sekuat Hok Ti Hwesio. Ilmu Kipas Maut yang ia warisi dari Swie Kiat Siansu adalah semacam ilmu silat yang luar biasa sekali, dan disebut ilmu silat San-Sui San-Hwat (Ilmu Kipas Gunung dan Air).

   Kipas yang dulu dipergunakan oleh Swie Kiat Siansu adalah kipas yang layarnya terbuat daripada kulit harimau, akan tetapi sebagai seorang gadis, Lili tidak suka mempergunakan kipas yang buruk rupa. Ia sengaja membuat kipas yang kecil dan indah bentuknya, dengan layar dari kain tebal yang dilukisi dan ditulisi syair. Dengan demkian, kipasnya ini tidak saja dapat dipergunakan untuk senjata, akan tetapi juga dapat dipakai untuk pemantas dan untuk mencari angin sejuk. Lukisan di atas kipasnya ini indah sekali dan syairnya ditulis sendiri oleh Ayahnya, maka Lili merasa sayang sekali kepada kipas ini. Dalam perkelahian menghadapi lawan, baru kali ini ia mempergunakan kipas ini, maka ia berlaku amat hati-hati agar jangan sampai lukisan pada kipas itu menjadi rusak. Maka ia lalu menutup kipasnya, dan hanya menggunakan gagangnya saja untuk menghadapi Kam Seng.

   Hal ini tidak saja memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali menjatuhkan lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi tiga kali lipat lebih berbahaya, karena gagangnya berubah menjadi dua di kanan kiri yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok. Permukaan kipas dapat dipergunakan untuk mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin kipasannya saja dapat membingungkan lawan. Dengan menutup kipas itu, maka senjata ini hanya merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau mengirim serangan totokan. Sebelum berguru kepada Wi Kong Siansu, terlebih dulu Kam Seng telah mendapatkan gemblengan dari Mo-Kai Nyo Tiang Le dan ia telah banyak menderita sehingga ia menjadi tekun sekali melatih Lweekang, maka Ilmu Pedangnya kini sama sekali tak dapat dibilang rendah tingkatnya.

   

Pendekar Bodoh Eps 13 Pendekar Bodoh Eps 3 Pendekar Bodoh Eps 14

Cari Blog Ini