Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 11


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Kalau saja Lili tidak sayang kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, dapat dipastikan bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan dapat dirobohkan. Akan tetapi, karena Lili menghadapinya dengan kipas tertutup, maka pertempuran berjalan sengit dan ramai sekali. Namun masih saja Lili selalu berada di pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan dan perkembangan serangan lawan dan dapat mendahuluinya. Berbeda dengan ketika melawan Hok Ti Hwesio, Lili tidak mau mengejeknya dan tidak mau mempermainkannya pula, karena tidak terkandung kebencian di dalam hatinya terhadap Kam Seng, hanya penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu tersesat.

   Setelah bertempur hampir lima puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai mendesak Kam Seng. Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili dapat berkelahi demikian kuatnya dengan hanya bersenjata sebuah kipas kecil? Ia mengerahkan ilmu silat yang ia pelajari dari Mo-Kai Nyo Tiang Le, akan tetapi sia-sia belaka. Kipas Lili benar-benar hebat sekali dan selalu ujung gagang gading itu mengancam jalan darahnya. Pada saat pedangnya berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang mementalkan gagang gadingnya dan membalas dengan totokan ke arah iga, terpaksa Kam Seng menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau Lapar Mengintai Korban.

   Dengan amat cepatnya, ia lalu menggerakkan pedang menyapu pergelangan kaki gadis itu. Menghadapi serangan ini, Lili memperlihatkan kepandaiannya yang mengagumkan. Ia tidak melompat ke atas untuk menyelamatkan kakinya, bahkan ia lalu memapaki datangnya pedang ini dengan gerakan kaki yang disebut gerak tipu Dewa Bumi Menginjak Ular. Kaki kanannya dengan kecepatan luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah dapat menyambut permukaan pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, ia menekan dan menggerakkan tenaga Lweekang pada kakinya yang terus menindih dan menginjak pedang itu di atas tanah! Kam Seng terkejut sekali. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka.

   Pedangnya itu seakan-akan terjepit dan tertindih oleh batu karang yang berat sekali sehingga tak dapat terlepas dari tindihan kaki Lili yang memandangnya sambil tersenyum! Kemudian, gagang kipas gading di tangan Lili menyambar turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng. Melihat datangnya totokan yang amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal yang membuatnya mendapat malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu ia melepaskan gagang pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Ia dapat menghindarkan diri dari totokan, akan tetapi ia harus melepaskan pedangnya yang berarti bahwa ia telah kalah! Dengan muka merah ia melompat bangun dan berdiri menundukkan muka akan tetapi diam-diam ia amat mengagumi gadis puteri musuh besarnya itu.

   "Hebat..., hebat...!"

   Kata Wi Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih menginjak pedang. Sekali Tosu tua ini mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung lengan baju melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular. Lalu ia membetot keras akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi merah ketika merasa bahwa pedang itu tak dapat terbetot dari injakan kaki Lili! Ia terkejut dan diam-diam ia kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu benar-benar hebat. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu menggunakan tenaga Thai-San-Cui, karena hanya dengan ilmu pengerahan tenaga ini sajalah betotannya dapat tertahan. Kakek ini tersenyum-senyum, kemudian sambil berseru,

   "Lepas!"

   Ia lalu mengerahkan tenaga Im-yang-cui. Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga membetot semata, karena ujung bajunya itu membetot dengan terbalik, yaitu bahkan mendorong pedang itu ke depan, kemudian ditengah-tengah dorongannya ini, ia lalu menarik keras.

   Inilah tenaga Im-Yang-Cui yang sifatnya bertentangan, akan tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng maka kehebatannya pun luar biasa sekali. Lili maklum bahwa ia tidak dapat mempertahankan injakannya lagi, maka ia tiba-tiba melepaskan tenaga injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu Ibu jari dan jari kedua, lalu jari-jari kakinya itu menggunakan gerakan menyentik pedang itu! Memang gadis ini selain nakal, juga banyak akal dan lihai sekali. Sungguhpun jari kakinya tersembunyi di dalam sepatu kain, namun tenaganya dapat berkurang karenanya, dan masih dapat melakukan gerakan yang lihai ini. Pedang itu yang terbetot oleh ujung lengan baju Wi Kong Siansu, ditambah dengan tenaga menyentik dari jari kaki Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan terbang menuju ke arah leher Tosu itu!

   Kini Wi Kong Siansu yang maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak mau "kalah muka"! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, ia lalu merendahkan tubuh dan membuka mulutnya. Pedang itu, dengan tepat sekali memasuki mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu oleh gigi si Kakek yang lihai! Semua orang memandang dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu bergoyang-goyang seakan-akan pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili sendiri pun merasa kagum dan terkejut karena makin maklum bahwa ia kini menghadapi seorang Tosu yang berilmu tinggi sekali. Dengan tenang Wi Kong Siansu mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian tersenyum-senyum kepada Lili lalu berkata,

   "Siancai... Sungguh seorang gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau masih begini muda, akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan telah mewarisi kepandaian Swie Kiat Siansu! Tidak percuma kau menjadi puteri Pendekar Bodoh! Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding melawan seorang kanak-kanak seperti kau. Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin mengacau rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah Ayahmu yang datang ke sini."

   "Totiang, kau tidak ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin bertempur dengan kau? Sudah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan dengan kau, dan juga aku tidak butuh sesuatu dari Kam Seng atau kepala gundul itu! Aku hanya perlu mencari manusia busuk bernama Bouw Hun Ti untuk kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya!"

   Pada waktu itu, Bouw Hun Ti tidak berada di Kelenteng itu, bahkan tidak ada pula di dusun Tong-Sin-Bun, oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu telah pergi jauh ke Utara. Bouw Hun Ti memang seorang yang amat cerdik dan hati-hati. Biarpun ia telah berhasil mengundang datang Wi Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya namun ia masih berkhawatir juga.

   Setelah berunding dengan Suhu dan Supeknya itu dan mendapat persetujuan, ia lalu berangkat ke Utara untuk mengunjungi tiga orang sahabat baiknya yang berilmu tinggi yaitu yang disebut Hailun Thai-Lek Sam-Kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Ketiga orang ini adalah orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu sebuah Kota di daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk mereka datang dan bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ia mempunyai harapan besar untuk mendapat bantuan ketiga orang ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang bernama Balaki dan yang dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke Selatan (baca cerita Pendekar Bodoh). Mendengar ucapan Lili yang menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong Siansu tertawa.

   "Ah, sungguh kau sombong sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan demikian mudahnya menyerahkan lehernya untuk kau sembelih! Pula, pada saat ini, murid keponakanku itu tidak berada di sini."

   "Bohong!"

   Seru Lili marah.

   "Totiang, kau ingatlah. Sungguhpun aku tidak ingin bermusuhan dengan kau orang tua, akan tetapi kalau kau menyembunyikan dan membela keparat Bouw Hun Ti, terpaksa aku berlaku kurang ajar!"

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari Kelenteng disusul dengan mengebulnya asap hitam dan berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk yang berpakaian mewah.

   Ban Sai Cinjin telah datang sambil membawa Huncwenya yang mengebulkan asap hitam, tanda bahwa ia telah siap untuk bertempur! Bagaimanakah orang ini bisa datang ke Kelenteng itu pada waktu malam gelap? Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko besar di dusun Tong-Sin-Bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula rumah penginapan di mana Lili bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini pula. Para pengurus Hotel ketika menyaksikan kecantikan Lili, segera memberi laporan kepada Ban Sai Cinjin yang mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia amat girang mendengar bahwa di Hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita, dan penuturan pengurus rumah itu bahwa gadis ini nampaknya berkepandaian tinggi, bahkan makin menggembirakan hatinya.

   "Ha-ha-hi-hi! Itulah yang selama ini kucari-cari,"

   Katanya.

   "Aku sudah bosan dengan gadis-gadis yang lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah layu dan rontok. Aku menghendaki bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!"

   Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana perginya, dan ditunggu-tunggu belum juga kembali mulai curigalah hati Ban Sai Cinjin. Di dusun sekecil Tong-Sin-Bun, orang dapat melancong ke manakah? Apalagi seorang gadis muda! Ia teringat akan penuturan pengurus Hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan karena Ban Sai Cinjin merasa bahwa ia mempunyai banyak musuh yang mendendam sakit hati kepadanyaa maka ia lalu berlaku waspada. Digantinya tembakau pada Huncwenya dan ia lalu berlari cepat menuju ke Kelenteng di tengah hutan itu, benar saja, ia melihat gadis cantik jelita itu berada di dalam Kelentengnya dan mengucapkan ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti. Ia lalu tertawa dan melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,

   "Nona, kau mencari Bouw Hun Ti? Ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku mewakilinya menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu, tentu kau tak kuperbolehkan mendiami kamar Hotelku yang kecil itu, akan kusediakan kamar besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!"

   Melihat munculnya orang tua itu, maklumlah Lili bahwa ia harus melawan mati-matian, karena ia tahu akan kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.

   "Hemm, aku tahu siapa kau ini. Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher muridmu Bouw Hun Ti, untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya di waktu aku masih kecil dan terutama sekali untuk membalasnya karena ia telah membunuh Kakekku, yaitu Yo Se Fu!"

   "Mudah saja, mudah. Marilah kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun Ti, kita makan minum untuk menghormat kedatanganmu!"

   Lili maklum bahwa orang tua ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tak boleh gegabah, apalagi di situ terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi Suheng dari orang tua mewah ini, maka kalau tidak diserang, lebih baik jangan mencari penyakit sendiri.

   "Ban Sai Cinjin, kata-katamu sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa mau meladeni orang seperti kau? Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada di sini, sudahlah!"

   Ia lalu menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba Ban Sai Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.

   "Ha-ha-hi-hi, enak saja kau mau pergi dari sini! Kau datang ke Kelentengku tanpa kupanggil, dan kau datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau berlaku sesuka hatimu? Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani membuka mulut besar hendak membunuh muridku. Siapakah adanya kau yang sombong ini?"

   "Suhu, dia adalah puteri dari Pendekar Bodoh dan tadi dia pun hampir saja membunuh Teecu!"

   Tiba-tiba Hok Ti Hwesio berkata sambil menudingkan jarinya ke arah Lili dengan pandangan marah. Hwesio muda ini ingin sekali Suhunya membalaskan hinaan yang ia alami tadi. Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ini. Kalau gadis ini sudah dapat mengalahkan Hok Ti Hwesio, itu tandanya bahwa kepandaian gadis ini tak boleh dibuat gegabah. Ia menengok kepada Kam Seng dan Wi Kong Siansu dengan heran.

   "Ada Suheng dan Kam Seng di sini, bagaimana dia bisa mengganggu Hok Ti?"

   Kam Seng buru-buru berkata,

   "Teecu juga sudah kena dikalahkan oleh Nona ini."

   "Hem, hem, lihai juga,"

   Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk.

   "Baiknya Suheng belum turun tangan, biarlah aku yang meringkus bocah ini!"

   Sambil berkata demikian, dengan gerakan yang tak terduga-duga, Ban Sai Cinjin mengulurkan tangan kirinya hendak menangkap pundak Lili. Gadis itu cepat mengelak dan menggunakan kipasnya yang masih terpegang untuk mengebut dan menotok pergelangan tangan yang diulur itu. Ban Sai Cinjin hanya tersenyum-senyum saja dan sama sekali tidak mau mengelak. Kakek ini telah memiliki kekebalan yang melebihi Hok Ti Hwesio dan ia tidak takut akan segala totokan biasa saja.

   "Awas, Sute!"

   Seru Wi Kong Siansu yang maklum bahwa Sutenya memandang rendah kepada gadis muda itu. Akan tetapi sudah terlambat, karena ujung gagang kipas di tangan Lili dengan tepat telah menotok jalan darah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin.

   Kakek ini mengerahkan kekebalannya, akan tetapi ia segera menjerit karena kaget dan kesakitan dan alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa lengan kirinya menjadi lumpuh! Bukan main hebatnya totokan yang dilancarkan oleh kipas Lili ini, sehingga ia dapat mematahkan kekebalan Ban Sai Cinjin dan masih dapat menembusi kulit tebal itu untuk mencari sasarannya. Sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin melompat ke belakang dan cepat ia menggunakan tangan kanannya untuk mengetok dan mengurut lengan kirinya dan dengan cepat ia dapat membebaskan lengan kirinya dari pengaruh totokan yang lihai itu! Lili juga terkejut dan kagum sekali. Totokannya tadi berbahaya dan dapat menewaskan seorang lawan, akan tetapi Kakek itu tidak dapat roboh dan bahkan dapat memulihkan kembali jalan darahnya dengan cepat.

   "Kurang ajar!"

   Teriak Ban Sai Cinjin dengan marah sekali sehingga mukanya jadi pucat yang merah itu berubah menjadi pucat sekali.

   "Kau ganas dan liar, harus mampus di tanganku!"

   Cepat seperti harimau menerkam ia lalu menubruk maju dan menggerakkan Huncwenya mengetok kepala Lili dengan gerakan yang cepat sekali. Lili tidak mau berlaku lambat dan tiba-tiba nampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika gadis ini mencabut pedangnya, yaitu Liong-Coan-Kiam pemberian Ayahnya! Terdengar bunyi keras,

   "Trang...!!"

   Ketika Huncwe itu beradu dengan pedang dan bunga api berpijar indah. Ilmu silat Ban Sai Cinjin benar-benar hebat, ganas dan kuat sekali. Huncwe di tangannya menyambar-nyambar, diliputi uap hitam yang menyeramkan dan berbau tidak enak sekali. Akan tetapi, pedang Liong-Coan-Kiam di tangan Lili, bergerak dengan indahnya pula. Sedikit pun Huncwe lawannya tak dapat mendekati tubuhnya, karena ke mana saja Huncwe itu berkelebat, selalu terhalang oleh sinar pedang yang agaknya secara otomatis mengikuti gerakan lawannya. Tubuh gadis itu ketika bersilat pedang bergerak dengan lincah dan indah bagaikan orang sedang menari, begitu lemah gemulai, namun demikian kuatnya.

   Benar-benar mengagumkan dan kini Wi Kong Siansu sendiri memandang dengan mata terbelalak, bukan saja saking kagumnya, akan tetapi juga karena heran dan bingung. Belum pernah ia menyaksikan Ilmu Pedang sehebat dan seaneh ini! Inilah limu pedang Liong-Cu Kiam-Sut, ciptaan Pendekar Bodoh. Ilmu Pedang Liong-Cu Kiam-Sut ini berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, Ilmu Pedang sederhana yang aneh dan lihai sekali yang diciptakan oleh Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh (baca cerita Pendekar Bodoh). Oleh karena Ilmu Pedang ini ciptaan Ayah Lili sendiri dan tak pernah diturunkan kepada orang lain, tentu saja Ilmu Pedang ini jarang sekali terlihat di dunia persilatan, berbeda dengan ilmu-Ilmu Pedang cabang persilatan besar seperti Go-Bi Kiam-Hwat, Kun-Lun Kiam-Hwat, dan lain-lain yang banyak dimainkan oleh para muridnya.

   Kalau dilihat Lili sedang mainkan pedang ini, agaknya ia lebih mahir daripada Ayahnya sendiri, yaitu dalam hal kelincahan dan keindahan gerakan. Akan tetapi, sesungguhnya tentu saja ia tidak dapat menandingi Ayahnya, terutama sekali dalam kematangan gerakan dan pengalaman pertempuran. Kini menghadapi seorang lawan berat seperti Ban Sai Cinjin, biarpun Ilmu Pedangnya berhasil membingungkan lawan dan membuat Huncwe maut di tangan Ban Sai Cinjin tak banyak berhasil, namun pertempuran ini membuat gadis itu menjadi letih sekali. Tiap kali senjatanya beradu dengan senjata lawan, ia merasa urat-uratnya tergetar dan pertempuran kali ini telah memaksa ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga. Ia memang tak usah khawatir akan terkena senjata lawan, akan tetapi sebaliknya, sukarlah pula baginya untuk dapat merobohkan lawan tangguh ini.

   Huncwe itu benar-benar lihai sekali dan memiliki gerakan yang serba aneh dan tak terduga. Ban Sai Cinjin menjadi gemas dan marah luar biasa. Perasaan ini timbul dari rasa malu dan penasaran. Benar-benarkah dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut juga Si Golok Malaikat, orang yang sudah puluhan tahun malang-melintang di kalangan kang-ouw dan jarang sekali menemui tandingan, kini tidak berdaya merobohkan seorang bocah yang belum ada dua puluh tahun usianya? Dan seorang bocah perempuan pula, yang berkulit halus, bermata bintang, berbibir merah semringah, dan nampak lemah? Jarang ada seorang lawan, seorang kang-ouw yang bagaimana tangguh pun, dapat melawan Huncwenya lebih dari dua puluh jurus. Akan tetapi gadis manis ini telah melawannya sampai lima puluh jurus dan sedikit pun ia belum dapat menjatuhkannya!

   "Bangsat perempuan, kau harus mampus!"

   Tiba-tiba Ban Sai Cinjin berseru marah dan kini tangan kirinya yang tadi tidak ikut menyerang, lalu dikepal-kepal dan kepalan tangan itu tak lama kemudian berubah menjadi kemerah-merahan! Thio Kam Seng atau lebih benar Song Kam Seng, terkejut sekali melihat kepalan Susioknya ini. Celaka, pikirnya, kini Lili berada di pinggir jurang maut! Ia maklum bahwa kalau kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin sudah menjadi kemerah-merahan, itu tandanya bahwa Kakek ini telah mengerahkan tenaga Ang-Tok-Jiu (Tangan Merah Beracun)! Jangankan sampai terkena pukul, baru tersambar oleh angin pukulan tangan Ang-Tok-Jiu ini saja, lawan dapat roboh menderita luka hebat yang dapat membawanya ke lubang kubur!

   Harus diakui bahwa Lili adalah seorang gadis yang boleh dikata masih hijau pengalamannya dalam hal pertempuran dan jarang sekali ia bertempur menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, ia adalah puteri dari sepasang suami isteri Pendekar besar. Ayahnya, Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh, adalah seorang ahli silat yang jarang tandingannya, sedangkan Ibunya, Kwee Lin atau Lin Lin, juga memiliki kepandaian yang amat tinggi. Lebih-lebih lagi karena baik Ayah maupun Ibunya telah mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran dan terutama sekali Ayahnya telah seringkali menghadapi akal-akal dan ilmu-jimu jahat dan kejam yang dimiliki golongan Hek-To (jalan hitam, penjahat). Maka seringkali gadis ini didongengi oleh Ayah Bundanya, juga tentang Ang-Se-Jiu (Tangan Pasir Merah) dan Ang-Tok-Jiu ia pernah mendengar dari Ayahnya.

   Ia tidak mengira bahwa Kakek ini memiliki ilmu yang jahat ini, maka setelah melihat kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin berubah merah, cepat ia menyelipkan kipasnya di saku bajunya dan ia pun lalu menggerak-gerakkan tangan kirinya lalu mengerahkan tenaga Khikangnya, bergerak-gerak ke kanan kiri sehingga tak lama kemudian dari seluruh lengan kirinya mengebullah uap putih. Inilah Ilmu Silat Pek-In Hoat-Sut, ilmu turunan dari Sucouwnya (Kakek guru) yang bernama Bu Pun Su! Pada saat Huncwe Ban Sai Cinjin melayang ke arah pelipisnya, ia menangkis dengan pedangnya dan secepat kilat Ban Sai Cinjin menonjok ke arah dadanya dengan langan kiri yang mengandung tenaga Racun Merah itu!

   Angin pukulan itu telah lebih dulu menyambar dan dengan tenang akan tetapi waspada dan cepat sekali Lili lalu menangkis pula dengan tangan kiri. Hebat sekali tenaga pukulan Angtok-jiu dan tenaga tangkisan Pek-In Hoat-Sut ini. Orang tak melihat dua lengan tangan itu beradu, akan tetapi tubuh kedua orana itu terpental mundur sampai dua tindak ke belakang! Ban Sai Cinjin menjadi pucat saking kagetnya melihat betapa gadis muda itu dapat menangkis pukulan mautnya sedemikian lihainya. Adapun Lili juga terkejut sekali dan buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya ketika merasa betapa seluruh urat pada tangan kirinya terasa kesemutan! Ini adalah tanda bahwa betapa pun hebatnya ilmu silat Pekin-Hoat-Sut, namun dalam hal tenaga dalam, ia masih kalah terhadap Kakek ini. Pengalaman ini membuat ia berlaku hati-hati sekali.

   Berkali-kali Ban Sai Cinjin melancarkan serangan, pukulan Ang-Tok-Jiu, karena Kakek ini pun maklum bahwa ia masih menang tenaga dan kalau ia menyerang bertubi-tubi, ada harapan ia akan melukai gadis itu. Akan tetapi kini Lili menangkis dengan cerdik sekali. Ia menggunakan tangkisan dari ilmu pukulan Pek-In Hoat-Sut dari samping, dengan cara menyampok tenaga serangan lawan dari samping, tidak mengadu tenaga seperti tadi. Oleh karena ini, selalu apabila pukulan Ang-Tok-Jiu datang, ia tidak perlu mengadu tenaganya, dan hanya menyampok dari samping sambil mengelak saja. Dengan demikian tenaga pukulan lawan yang hebat itu tidak langsung datangnya dan tidak demikian telak menghantamnya. Wi Kong Siansu makin kagum saja, demikian pula Ban Sai Cinjin diam-diam kagum sekali kepada puteri Pendekar Bodoh ini.

   Tadinya ia tidak ingin mempergunakan kelicikan dalam pertempuran ini, karena ia segan untuk merobohkan lawannya yang masih muda dan wanita pula ini dengan ilmu hitam. Namun, karena tahu bahwa ia tidak mudah dapat merobohkannya, dan hal ini akan lebih memalukannya lagi, tiba-tiba ia lalu menyedot Huncwenya dan sekali ia berseru keras, dari mulutnya menyembur keluar asap hitam yang amat berbahaya menuju ke muka Lili! Gadis itu terkejut sekali. Sungguhpun asap itu masih jauh dari mukanya, namun ia telah mencium baunya yang amat memuakkannya dan ia cepat melempar tubuhnya ke belakang, melakukan gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang membuat gerakan poksai (salto) sampai tiga kali dan turun beberapa tombak jauhnya dari lawannya. Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. Ia maklum bahwa lawannya takut kepadanya, maka ia berseru,

   "Nona manis, kau hendak lari ke mana?"

   Lalu ia menyedot Huncwenya pula dan kesempatan itu ia pergunakan untuk membuka kantong tembakau yang tergantung pada Huncwenya dan mengisi mulut Huncwe itu dengan tembakau baru. Ia mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya dengan asap mautnya! Lili maklum bahwa sungguhpun hawa Pek-In Hoat-Sut dari tangan kirinya akan dapat menolak asap hitam itu buyar terkena hawa Pek-In Hoat-Sut, asap yang ringan itu masih akan dapat menyerangnya.

   Asap macam ini tidak menyerangnya mengandalkan tenaga tiupan, melainkan mengandalkan kejahatan racun yang dikandungnya. Maka ia lalu melepaskan tenaga Pek-In Hoat-Sut dari lengan kirinya dan sebagai gantinya ia lalu mengeluarkan kipasnya. Sekali ia menggerakkan jari tangan kirinya, kipasnya ini telah terkembang dan dipegangnya seperti hendak mengipas tubuhnya. Ban Sai Cinjin belum tahu gadis ini telah mewarisi Ilmu Silat San-Sui San-Hwat (Ilmu Kipas Bukit dan Air) yang lihai dari Swie Kiat Siansu, maka tanpa memperhatikan kipas ini, ia lalu menyerbu lagi dengan sekaligus mengeluarkan tiga serangannya. Tangan kirinya memukul dengan Ang-Tok-Jiu, tangan kanan menggerakkan Huncwe menotok leher, dan dari mulutnya menyemburkan asap yang hitam dan tebal ke arah muka lawannya!

   Lili merasa girang melihat lawannya tidak memperhatikan kipasnya dan gadis yang cerdik ini mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya yang amat lihai ini. Ia menanti datangnya serangan dengan amat tenang dan sengaja berlaku agak lambat untuk menarik perhatian lawan. Untuk menghindarkan diri dari tiga serangan itu, ia mempergunakan Ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, berkelit ke kanan sambil merendahkan tubuh, karena maklum bahwa asap hitam itu tidak akan turun ke bawah. Ia sengaja menanti untuk memancing lawannya. Benar saja, Ban Sai Cinjin melihat keadaan gadis yang agaknya lambat gerakannya ini, menjadi girang dan mengira bahwa gadis itu telah terkena racun asap hitamnya, maka ia melanjutkan serangan dengan mencengkeram ke bawah dan mengayun Huncwenya.

   Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba kipas di tangan kiri Lili dikebutkan ke arah uap hitam yang tebal tadi sehingga uap itu melayang ke arah muka Ban Sai Cinjin! Tentu saja sebelumnya, Ban Sai Cinjin telah mempergunakan obat penawar untuk menolak pengaruh asap hitam dari Huncwenya sendiri sehingga serangan asap yang membalik ke mukanya ini tidak membahayakannya sama sekali. Akan tetapi bukan itulah kehendak Lili. Kebutan kipasnya ini bermaksud membuat asap hitam itu menutupi pandang mata lawannya dan maksudnya ini memang berhasil baik. Betapapun juga, Ban Sai Cinjin tidak berani menghadapi racun asap tembakaunya sendiri dengan mata terbuka. Untuk sesaat sambil meniup ke arah asap itu ia meramkan matanya dan dengan tak terduga-duga sekali, tiba-tiba ia merasa pangkal lengan kirinya sakit sekali!

   Ternyata bahwa tadi ketika ia sedang menghadapi asap yang membalik itu, secepat kilat Lili mengelak dari serangan kedua tangannya, bergerak sambil menggeser kaki ke kanan dan dari samping ia mengirim totokan dengan kipasnya yang dapat tepat sekali mengenai pangkal lengan kiri lawannya! Tubuh Ban Sai Cinjin terhuyung ke belakang dan tiba-tiba ia merasa datangnya angin dingin ke arah leher dan lambungnya! Ia maklum akan bahaya maut itu. Ternyata bahwa lambungnya telah diserang oleh pedang Liong-Coan-Kiam dengan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah sedangkan lehernya telah diserang oleh sepasang gagang kipas dengan gerakan Gunung Thai-San Menimpa Kepala! Ban Sai Cinjin mengeluarkan keringat dingin dan cepat ia menjatuhkan diri ke belakang, akan tetapi gerakan kipas ke arah lehernya itu luar biasa cepatnya,

   "Krek!"

   Terdengar suara dan pundaknya masih terkena gagang kipas itu. Ban Sai Cinjin menjerit dan maklum bahwa tulang pundaknya telah terlepas sambungannya! Lili tidak niau memberi hati dan terus mendesak dengan serangan yang lebih hebat lagi. Agaknya nyawa Ban Sai Cinjin terpaksa akan meninggalkan raganya tak lama lagi. Akan tetapi, tentu saja Wi Kong Siansu tidak mau tinggal diam melihat Sutenya terancam bahaya maut.

   Cepat bagaikan seekor burung gagak menyambar bangkai, ia melompat ke belakang gadis itu dan mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan bajunya! Lili sedang mengerahkan tenaga dan perhatiannya untuk menewaskan Kakek mewah yang dibencinya itu. Sungguhpun ia mendengar angin pukulan Wi Kong Siansu dari belakang dan mencoba untuk mengelak, ia tetap terlambat. Gerakan Wi Kong Siansu luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jalan darah Kim-To-Hiat di punggungnya telah kena tertotok oleh ujung lengan baju Tosu itu. Lili mengeluh perlahan, kipas dan pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya dengan lemas tak berdaya terkulai ke atas lantai! Ban Sai Cinjin dengan meringis-ringis telah dapat bangun kembali dan melihat keadaan Lili yang sudah roboh oleh Suhengnya, ia masih dapat tertawa terbahak-bahak.

   "Bagus, Suheng, bagus! Kau telah dapat merobohkan kuda betina liar ini!"

   Matanya berkilat penuh dendam terhadap Lili dan ia bergerak perlahan maju menghampiri gadis muda itu. Lili masih dapat memandang lawannya ini dan pikirannya masih berjalan terang, akan tetapi seluruh tubuhnya sudah lemas tak dapat digerakkan lagi. Gadis ini maklum akan bahaya yang akan menimpa dirinya dan sinar ketakutan terbayang pada matanya. Gadis ini tidak takut akan mati, akan tetapi ia maklum bahwa terjatuh ke dalam tangan manusia Iblis seperti Ban Sai Cinjin ini, nasibnya akan jauh lebih mengerikan daripada kematian! Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba bayangan tubuh Kam Seng berkelebat dan pemuda ini tahu-tahu telah mendahului Ban Sai Cinjin menyambar tubuh Lili yang terus dipeluk dan dipondongnya!

   "Kam Seng! Kau lepaskan dia!"

   Ban Sai Cinjin berseru keras dengan mata melotot. Kam Seng memandang kepada Susioknya. Hatinya bimbang ragu. Di lubuk hatinya ada perasaan cinta besar terhadap gadis ini, sungguhpun perasaan itu tertutup kabut kebenciannya karena kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, musuh besarnya! Kalau gadis jelita ini harus mati, maka dialah yang berhak membunuhnya, bukan orang lain. Apalagi ia merasa ngeri dan jijik memikirkan akan gadis jelita ini di tangan Susioknya. Maka ia lalu memandang kepada Suhunya dan berkata,

   "Suhu, maukah Suhu memberikan puteri musuhku ini kepada Teecu?"

   Wi Kong Siansu adalah seorang Kakek yang tajam pandangan matanya. Karena pengalamannya, ia dapat merasa bahwa muridnya yang tersayang tentu jatuh hati dan tertarik oleh kecantikan gadis ini. Ia pun dapat melihat sinar mata dahsyat dari mata Sutenya, maka ia lalu berkata kepada Sutenya,

   "Sute, berikan gadis ini kepada Kam Seng. Kau tentu masih ingat bahwa Ayah gadis ini adalah musuh besar dari Kam Seng dan biarkanlah ia melepaskan sakit hati dan dendamnya kepada puteri musuh besarnya!"

   Ban Sai Cinjin memandang marah, akan tetapi ia lalu tertawa.

   "Baik, baik, Suheng. Kau yang merobohkannya, maka kau pula yang berhak menentukan nasibnya. Akan tetapi awaslah kalau gadis ini sampai terlepas, Kam Seng. Dia lihai sekali dan kau takkan dapat menguasainya!"

   Wi Kong Siansu juga tertawa.

   "Sute, kau sudah tua. Kam Seng lebih muda, maka kau tentu tahu akan kehendak hatinya melihat gadis cantik ini. Biarlah, dia melampiaskan dendamnya dan biar dia pula yang menghabiskan nyawa musuhnya ini. Hati-hati, Kam Seng, jangan sampai dia terlepas!"

   Juga Hok Ti Hwesio berkata Kam Seng sambil menyeringai,

   "Sute, kalau kau sudah selesai dengan dia berikanlah kepadaku. Aku perlu jantungnya untuk obat!"

   Kemudian Hwesio ini berjalan masuk ke Kelenteng. Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin juga berjalan masuk untuk mengobati lukanya. Ong Tek, putera pangeran yang semenjak tadi menyaksikan segala peristiwa ini dengan dada berdebar dan muka pucat, lalu pergi pula ke dalam kamarnya sambil menarik tangan Tan-Kauwsu. Kini Wi Kong Siansu tinggal berdua dengan Kam Seng yang masih memondong tubuh Lili yang lemas.

   "Muridku, kau tentu mencinta gadis ini, bukan?"

   Bukan main terkejutnya hati pemuda itu mendengar ucapan Suhunya. Untuk beberapa lama ia tidak mau dan tak dapat menjawab, akan tetapi akhirnya ia menjawab juga dengan perlahan,

   "Suhu lebih waspada dan awas. Sesungguhnya, sakit hati Teecu terhadap Ayah gadis ini amat besar, oleh karena itu, Teecu hendak menjadikannya sebagai isteri di luar kehendaknya ataupun kehendak orang tuanya. Hal ini akan dapat Teecu pergunakan untuk membalas penghinaan dan sakit hati, kalau tak terkabul cita-cita Teecu menewaskan Pendekar Bodoh."

   Wi Kong Siansu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Salah... salah..., muridku. Aku mengerti akan maksudmu, akan tetapi apakah kau kira akan mudah saja menjadikan gadis ini sebagai sekutu kita? Biarpun kau dapat memaksanya menjadi isterimu, akan tetapi apa kau kira dia akan tunduk begitu saja? Kau jangan memandang rendah gadis ini. Dia benar-benar lihai sekali. Lebih baik kau tamatkan saja riwayatnya agar kelak kita tidak mengalami gangguan dari padanya."

   Tosu ini membicarakan tentang mati hidup seorang gadis bagaikan bicara tentang seekor domba saja! Memang, bagi Wi Kong Siansu, urusan-urusan dunia sudah tidak masuk hitungan pula dan mati hidup baginya hanya urusan kecil.

   "Akan Teecu pikir-pikir dulu, Suhu,"

   Kata Kam Seng dan ia lalu membawa Lili ke dalam kamarnya. Di ruang dalam, ia bertemu dengan Ong Tek yang menghadangnya dan pemuda tanggung ini berkata,

   "Suheng... hendak kau apakan gadis ini?"

   Wajah Kam Seng berubah merah.

   "Kau tak usah tahu, Sute. Kau masih kecil dan belum tahu urusan. Gadis ini adalah musuh besarku, Ayahnya dulu telah membunuh Ayahku."

   "Ah...!"

   Hanya demikian seruan Ong Tek yang segera berlari kembali ke dalam kamarnya. Akan tetapi sebelum memasuki kamarnya ia merasa pundaknya dipegang orang. Ketika ia menengokg ternyata Hok Ti Hwesio yang memegangnya.

   "Ong-Sute, jangan kau turut campur dengan urusan itu. Seng-Sute sedang berpesta-pora, mendapat keuntungan besar, mendapat hadiah seorang bidadari jelita. Kau tentu tidak tahu...! Ha-ha-ha!"

   "Tidak... tidak!"

   Ong Tek menjadi pucat dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Suheng, besok pagi juga aku akan pergi dari sini. Aku mau pulang saja ke Kota Raja! Tak tertahan olehku semua kejadian yang mengerikan ini. Tak kusangka sama sekali bahwa kalian demikian... demikian..."

   "Apa maksudmu, Sute?"

   Hok Ti Hwesio memandang tajam.

   "Mengapa kalian begitu kejam terhadap seorang gadis seperti dia?"

   Sambil berkata demikian, Ong Tek lalu melompat ke dalam kamarnya dan menutupkan pintunya keras-keras, terdengar ia menangis dan berkata-kata dengan Tan-Kauwsu utusan dari Kota Raja itu. Hok Ti Hwesio termenung sambil mengerutkan jidat. Kemudian ia lalu mencari Suhu dan Supeknya untuk menceritakan sikap dari putera pangeran ini. Sementara itu, dengan dada berdebar keras, Kam Seng memondong tubuh Lili ke dalam kamarnya, menutup daun pintu dan melemparkan tubuh Lili ke atas pembaringannya. Gadis itu terbanting ke atas pembaringan dengan tubuh lemas dan rebah telentang tak berdaya.

   Hanya sepasang matanya saja yang masih bertenaga dan kini ditujukan kepada Kam Seng dengan tajam berapi-api! Ia telah mendengar semua percakapan tadi dan tahu akan maksud pemuda ini. Yang membuatnya terheran-heran adalah ketika mendengar bahwa Kam Seng adalah musuh besar Pendekar Bodoh, bahwa Ayahnya telah membunuh Ayah pemuda ini! Sungguh-sungguh mengherankan, akan tetapi keheranannya ini tersapu habis oleh kebenciannya terhadap pemuda ini. Ia maklum bahwa ia tidak berdaya sama sekali. Telah dicobanya untuk membebaskan diri daripada totokan Wi Kong Siansu, akan tetapi sia-sia saja. Ia maklum dengan hati penuh kengerian bahwa ia telah berada di dalam tangan Kam Seng dan takkan dapat melawan sedikitpun juga. Akan tetapi masih ada semangat di dalam hatinya yang tidak karuan rasanya itu, yaitu semangat membalas dendam.

   Biarlah, pikirnya, dan tunggulah saja! Kalau aku sampai terlepas daripada totokan ini, akan kuhancurkan kepalamu sampai menjadi bubur! Sementara itu, Kam Seng duduk menghadapi Lili dengan wajah sebentar merah sebentar pucat. Ia menatap wajah dan tubuh Lili tanpa berkedip. Seribu satu macam pikiran teraduk di dalam hatinya. Pikirannya menjadi pening. Berkali-kali ia telah mengulurkan tangan hendak meraba muka gadis, itu, akan tetapi selalu ditariknya kembali. Pandang mata Lili yang bagaikan dua sinar api itu terasa menusuk matanya. Hatinya penuh gairah kalau ia melihat wajah yang manis hidung yang kecil bangir, apalagi bibir yang luar biasa indah dan manisnya itu. Akan tetapi sepasang mata Lili merupakan dua pedang mustika yang membuat ia senantiasa tak enak pikiran.

   "Dia musuh besarku!"

   Demikian bisik hatinya.

   "Aku boleh membunuhnya, menghinanya! Ayahku dulu terbunuh oleh Ayahnya!"

   "Akan tetapi ia dan Sin-Kai Lo Sian pernah menolongku!"

   Bisik lain suara hatinya.

   "Dan aku... aku cinta kepadanya. Alangkah baiknya kalau ia bisa menjadi isteriku untuk selamanya!"

   "Sekarang pun kau bisa mengambilnya menjadi isterimu!"

   Bisik suara pertama.

   "Siapa tahu kalau ia akan dapat tunduk terhadapmu dan membalas cintamu. Setidaknya malam ini kau akan menjadi suaminya!"

   Terdorong oleh bisikan ini, Kam Seng mengulurkan tangan kanan untuk beberapa lama jari-jari tangannya membelai rambut Lili yang halus. Belaian ini penuh dengan kasih sayang, akan tetapi tiba-tiba ia menarik kembali tangannya ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Lili. Demikianlah, sampai lewat tengah malam Kam Seng berada dalam keadaan ragu-ragu. Nafsu dendamnya mendorongnya untuk membunuh Lili, untuk menghinanya, untuk melampiaskan sakit hatinya terhadap Ayah gadis itu. Akan tetapi lain kekuasaan menahan kehendaknya ini, kekuasaan cinta. Kekuasaan ini membuat ia tidak tega untuk menyakiti Lili baik menyakiti hati maupun raganya. Akhirnya ia tidak kuat pula menghadapi pandangan mata Lili. Ia mencabut pedangnya dan ia hendak membebaskan gadis ini dari siksaan lebih lanjut. Hendak dibunuhnya gadis ini dan habis perkara!

   "Lili,"

   Katanya sambil berdiri dengan pedang di tangan.

   "Aku akan membunuhmu, dan sebelum itu hendaknya kau ketahui bahwa kau adalah puteri musuh besarku! Ayahku bernama Song Kun dan menjadi kakak seperguruan Ayahmu, akan tetapi Ayahmu telah membunuhnya! Ayahmu telah membunuh Ayahku dan karena itulah aku hidup sengsara. Karena itulah Ibuku terlunta-lunta dan aku menjadi yatim piatu, menjadi pengemis untuk bertahun-tahun lamanya! Karena itu kau harus mati! Kau harus berterima kasih kepadaku karena kau terhindar dari penghinaan, terhindar dari penghinaan Susiok, dan... dan... aku pun tidak sampai hati menghinamu! Aku... aku kasihan kepadamu!"

   Ia berhenti sebentar dan dilihatnya air mata mengalir turun dari sepasang mata indah dan jelita itu.

   "Lili, bersedialah untuk mati,"

   Katanya sambil mengangkat pedangnya. Dari kedua mata gadis itu tidak nampak rasa takut sedikit pun, bahkan sinar berapi-api tadi telah padam, bibirnya agak tersenyum. Lili memang merasa lega bahwa ia tidak akan menjadi kurban penghinaan dan ia menghadapi kematian dengan amat tabahnya. Kam Seng mengayun pedangnya ke atas dan... tiba-tiba ia menurunkan pedangnya kembali, bahkan pedang itu terlepas ke atas lantai! Ia lalu meramkan mata dan menubruk Lili, lalu... mencium jidat gadis itu satu kali. Dilemparkannya tubuhnya ke belakang, terduduk di atas bangku yang tadi didudukinya. Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Terdengar elahan napas berkali-kali.

   "Ah, Lili... aku... aku tidak tega membunuhmu... aku... aku cinta kepadamu!"

   Sinar mata Lili mulai berapi-api lagi. Untuk ciuman pada jidatnya itu saja ia dapat membunuh Kam Seng kalau dapat. Keadaan menjadi sunyi kembali. Kam Seng duduk seperti tadi, menghadapi Lili, tak tahu harus berbuat apa! Betapa pun bencinya kepada Pendekar Bodoh, hatinya tidak tega untuk mengganggu atau membunuh gadis ini.

   "Lili... Lili... aku tidak sanggup membunuhmu... tanganku gemetar... bagaimana aku sanggup membunuh gadis yang kucinta dengan seluruh jiwaku? Tidak, Lili, tidak! Aku takkan membunuhmu, akan tetapi... aku pasti hendak mencari Ayahmu, aku harus membalas sakit hatiku terhadap Pendekar Bodoh...!"

   Demikian keluh kesah yang keluar dari mulut Kam Seng sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Pada saat itu, terdengar suara senjata-senjata beradu di ruang depan dibarengi teriakan Hok Ti Hwesio,

   
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Supek... tolong...! Supek, lekas bantu...! Lekas bantu merobohkan gadis setan ini...!"

   Mendengar seruan ini, Kam Seng melompat bangun. Kalau Hok Ti Hwesio sampai minta tolong kepada Suhunya, yaitu Wi Kong Siansu, dan tidak minta tolong kepada Suhunya sendiri, berarti bahwa tentu terjadi malapetaka hebat dan datang musuh yang tangguh. Ia hendak melompat keluar dari kamarnya, akan tetapi ia teringat kepada Lili dan merasa khawatir bahwa kalau ia meninggalkan gadis itu seorang diri, jangan-jangan gadis yang dikasihinya itu akan diganggu oleh Hok Ti Hwesio atau Ban Sai Cinjin. Ia merasa ragu-ragu sebentar, lalu menghampiri Lili dan berkata,

   "Lili, aku hendak membebaskanmu. Ketahuilah, bahwa perbuatanku ini hanya terdorong oleh rasa cinta kasih terhadapmu, dan ketahuilah pula bahwa pada suatu hari aku pasti akan membalas dendamku pada Ayahmu yang sudah membunuh Ayahku!"

   Setelah berkata demikian, Kam Seng lalu menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lili. Ia telah belajar ilmu silat dari Wi Kong Siansu, maka ia tahu pula bagaimana harus membuka totokan dari Suhunya itu. Setelah menotok pundak gadis itu, ia lalu melompat keluar sambil membawa pedangnya, langsung menuju ke ruang depan dari mana terdengar suara senjata beradu.

   Biarpun pengaruh totokan yang menghentikan jalan darahnya telah lenyap dan jalan darahnya telah terbuka kembali, namun Lili masih merasa lemas dan hanya dapat bergerak perlahan. Ia segera mengumpulkan semangat dan mengatur pernapasannya untuk melancarkan kembali jalan darahnya. Ia melihat betapa kipas dan pedangnya telah ditaruh di atas meja dalam kamar itu oleh Kam Seng. Hatinya merasa tidak karuan dan ia telah mengalami ketegangan hebat selama dibawa di dalam kamar Kam Seng. Kini ia merasa terharu, marah, malu, dan juga diam-diam ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu. Ada sedikit rasa girang di dalam hatinya bahwa sungguhpun pemuda itu telah menggabungkan diri dengan orang-orang jahat, namun pada dasarnya hati pemuda itu tidaklah kejam dan jahat. Masih ada kegagahan dalam lubuk hati Kam Seng. Ia teringat akan Supeknya Song Kun, karena ia pernah ia diceritakan tentang halnya Song Kun ini oleh Ibunya.

   Setelah kesehatannya pulih kembali, Lili lalu mengambil senjata-senjatanya dan melompat keluar di mana kini suara senjata masih beradu ramai sekali. Ketika ia tiba di ruang luar, di bawah sinar lampu ia melihat seorang gadis cantik manis yang memiliki gerakan lincah sekali, sedang bertempur dikeroyok tiga oleh Ban Sai Cinjin, Song Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio! Sungguh mengagumkan sekali betapa gadis cantik manis itu menghadapi lawannya sambil tersenyum-senyum dan mainkan kedua tangannya yang tak memegang senjata. Ginkangnya sungguh hebat dan mengagumkan, bagaikan seekor kupu-kupu bermain di antara tiga bunga itu menyambar-nyambar di antara tiga gulungan sinar senjata di tangan tiga pengeroyoknya.

   "Goat Lan...!"

   Lili berteriak girang ketika ia mengenal wajah manis yang tersenyum-senyum itu.

   "Hai, Lili, anak nakal! Kau di sini?"

   Gadis itu dalam menghadapi desakan lawan-lawannya masih sempat berjenaka.

   "Goat Lan, jangan khawatir. Mari kita basmi tiga anjing busuk ini!"

   Lili lalu mencabut keluar kipas dan pedangnya, lalu menyerbu dan menyerang Ban Sai Cinjin. Ia merasa segan dan sungkan untuk menyerang Kam Seng, maka ia sengaja memilih Ban Sai Cinjin dan membiarkan Goat Lan menghadapi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin sudah merasai kelihaian Lili, bahkan tadi sore pundaknya telah terluka hebat oleh gadis ini. Dalam keadaan sehat ia masih belum dapat mengalahkan Lili, apalagi sekarang pundaknya masih belum sembuh benar, tentu saja ia merasa amat gelisah. Kalau saja ia tidak sedang terluka, tadipun Goat Lan tidak nanti dapat mempermainkannya begitu mudah. Dan ia maklum bahwa belum tentu ia kalah oleh Lili kalau saja tadi sore ia tidak bertempur dengan main-main dan memandang rendah.

   Terpaksa ia menggigit bibir, dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang selain berkepandaian amat tinggi, juga telah mengenal banyak sekali taktik perkelahian dan mempunyai banyak tipu-tipu curang. Pengalamannya luas sekali dan tenaga Lweekangnya sudah mendekati batas kesempurnaan. Oleh karena itu biarpun ia sudah terluka masih amat sukarlah bagi Lili untuk dapat merobohkan Kakek mewah ini. Sebaliknya, jangan harap bagi Ban Sai Cinjin untuk mengalahkan puteri Pendekar Bodoh yang memiliki ilmu kipas dan Ilmu Pedang yang luar biasa sekali. Berbeda dengan pertempuran antara Lili dan Ban Sai Cinjin yang berjalan seru dan seimbang pertempuran antara gadis cantik manis dan kedua pengeroyoknya, Kam Seng dan Hok Ti Hwesio, berjalan berat sebelah.

   Ketika tadi dikeroyok tiga, gadis itu masih dapat melayani dengan senyum simpul, apalagi sekarang. Biarpun kepandaian Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sudah jauh lebih tinggi daripada kepandaian silat para ahli silat biasa, namun bagi gadis manis itu mereka berdua ini masih merupakan ahli-ahli silat kelas rendah saja! Bagaimanakah gadis itu yang ternyata adalah Kwee Goat Lan, dapat tiba-tiba muncul di situ? Dan mengapa tahu-tahu sudah dikeroyok oleh Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio pada saat Lili tertawan dalam kamar Kam Seng? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dalam percakapan antara Ong Tek putera pangeran dan Hok Ti Hwesio, pemuda cilik dari Kota Raja itu merasa amat muak dan tidak senang melihat peristiwa yang terjadi di dalam kuil di mana ia belajar silat kepada Ban Sai Cinjin.

   Betapapun juga, Ong Tek adalah seorang pemuda bangsawan yang semenjak kecil dididik dengan pelajaran-pelajaran kesopanan dan juga ia telah banyak membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat segala macam pelajaran tentang kebajikan. Ia menjadi terkejut dan juga kecewa melihat dengan kedua mata sendiri betapa jahat adanya orang-orang yang selama ini ia hormati dan junjung tinggi. Maka ia lalu masuk ke dalam kamarnya sambil menangis, lalu ia memaksa kepada Tan-Kauwsu, utusan dari Ayahnya itu, untuk pada malam hari itu juga meninggalkan kuil dan pulang ke Kota Raja. Sikap pemuda bangsawan ini membuat Hok Ti Hwesio menjadi curiga dan cepat Hwesio ini menjumpai Suhunya. Ketika Ban Sai Cinjin mendengar keadaan muridnya dari Kota Raja itu, ia pun mengerutkan alisnya.

   "Sungguh berbahaya,"

   Katanya perlahan.

   "Kalau anak itu pulang dan menceritakan segala peristiwa yang terjadi kepada Ayahnya dan para pembesar, nama kita akan hancur dan tercemar."

   "Mengapa pusing-pusing, Suhu? Kalau Sute tidak mau menurut kehendak kita dan bahkan hendak merusak nama kita, lebih baik kita lenyapkan dia dan guru silat itu, habis perkara!"

   Ban Sai Cinjin menjadi ragu-ragu.

   "Enak saja kau bicara! Apa kau kira Ong Tek itu orang biasa saja yang boleh kita perbuat sesuka kita! Kalau ia sampai lenyap, apa kau kira Pangeran Ong tidak akan mencari dan menimbulkan huru-hara yang akan menyulitkan kita?"

   Hok Ti Hwesio tersenyum

   "Apa sih bahayanya seorang putera bangsawan macam Ong Tek? Sedangkan menghadapi orang-orang besar seperti Pendekar Pek-Hio-To Lie Kong Sian, Mo-Kai Nyo Tiang Le, Sin-Kai Lo Sian, kita masih dapat membereskan mereka tanpa banyak ribut dan tak seorang pun mengetahui, apalagi seorang manusia macam Ong Tek dan seorang guru silat seperti orang she Tan itu? Suhu, mengapa kita tidak mau meminjam nama puteri Pendekar Bodoh untuk melenyapkan mereka? Kita siarkan bahwa yang menewaskan Ong Tek dan Tan-Kauwsu adalah puteri Pendekar Bodoh, bukankah ini baik sekali?"

   Ban Sai Cinjin berseri wajahnya.

   "Kau benar! Kau memang cerdik sekali, Hok Ti!"

   Ia memuji.

   "Kita lenyapkan kedua orang itu, kemudian kita bikin puteri Pendekar Bodoh seperti Lo Sian. Ha-ha-ha-ha! Akan lenyap jejak mereka dan tak seorang pun mengetahuinya."

   Pada saat itu, terdengar tindakan kaki dua orang yang berlari keluar dari Kelenteng itu.

   "Nah, itu mereka agaknya hendak melarikan diri pada malam hari ini juga. Kita harus bertindak cepat sebelum Supek mengetahui!"

   Kata Hok Ti Hwesio yang merasa takut kepada Supeknya, Wi Kong Siansu yang pada saat itu sudah berada di dalam kamarnya. Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio lalu melompat keluar dan mereka melihat Ong Tek diikuti oleh Tan-Kauwsu yang menggendong buntalan pakaian putera pangeran itu.

   "Ong Tek, kau hendak pergi ke manakah?"

   Ban Sai Cinjin membentak. Melihat Suhunya datang bersama Hok Ti Hwesio, Ong Tek menjadi terkejut dan sinar ketakutan membayangi wajahnya yang tampan.

   "Suhu... Teecu hendak... hendak pulang ke Kota Raja bersama Tan-suhu. Teecu... merasa rindu kepada Ayah dan Ibu...!"

   "Hemm, kau hendak lari dari kami, ya? Bagus, murid macam apa kau ini? Tidak boleh, kau tidak boleh pergi! Kau tentu hendak membuka mulut besar di Kota Raja tentang kami, ya?"

   "Tidak... tidak, Suhu... tidak!"

   Kata Ong Tek dengan muka pucat ketika melihat Suhunya melangkah maju dengan Huncwe mengancam di tangan.

   "Kau murid durhaka. Kau harus diberi hajaran!"

   Tan-Kauwsu melompat maju.

   "Jangan kau berani mengganggu Ong-Kongcu, Ban Sai Cinjin! Ingat, dia adalah putera Pangeran Ong!"

   Ban Sai Cinjin tertawa bergelak.

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   "Haha-ha. Segala tikus busuk seperti kau berani pula ikut campur bicara! Apa kau kira aku takut kepada segala macam pangeran? Biar kepada Kaisar sendiri pun aku tidak takut!"

   Ia lalu melangkah maju dan mengayun Huncwenya ke arah kepala guru silat she Tan itu! Serangan ini hebat dan cepat sekali, akan tetapi Tan-Kauwsu sungguhpun tidak memiliki ilmu silat yang dibandingkan dengan kepandaian Ban Sai Cinjin, namun ia telah banyak merantau dan telah memiliki pengalaman yang banyak dalam pertempuran. Cepat ia mengelak ke belakang akan tetapi hawa pukulan Huncwe itu masih membuatnya terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat Ban Sai Cinjin hendak mengejar untuk mengirim pukulan maut, tiba-tiba dari atas genteng menyambar turun sesosok bayangan manusia yang begitu cepat gerakannya sehingga nampak bagaikan seekor burung garuda menyambar.

   "Manusia setan!"

   Seru bayangan itu dengan suaranya yang nyaring dan merdu.

   "Kau benar-benar kejam!"

   Dan tiba-tiba Huncwe di tangan Ban Sai Cinjin yang sudah dipukulkan ke arah kepala Tan-Kauwsu itu terpental mundur oleh tenaga pukulan dari atas! Ketika Ban Sai Cinjin yang merasa terkejut sekali itu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang gadis yang cantik manis dengan dua lesung pipit di sepasang pipinya. Gadis ini cantik dan jenaka sekali, sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi, mulutnya tersenyum lebar sehingga giginya yang rata dan putih berkilau bagaikan mutiara itu nampak berkilat. Ban Sai Cinjin tercengang karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa seorang gadis muda dapat menahan Huncwenya dengan tangan kosong saja! Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi seorang gadis muda yang menjadi murid orang sakti. Gadis cantik itu tersenyum manis.

   "Kau tentu yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut. Hemm, pantas saja kau disebut Huncwe Maut, karena hampir saja kau membunuh orang lagi."

   Ia lalu menengok ke arah Ong Tek dan Tan-Kauwsu, lalu berkata kepada Ong Tek.

   "Aku sudah mendengar bahwa kau adalah seorang putera pangeran. Entah bagaimana kau bisa tersesat dalam neraka dunia ini, akan tetapi itu bukan urusanku. Lebih baik kau lekas melanjutkan niatmu pergi dari sini. Lebih cepat lebih baik. Jangan takut, boneka besar pengusir burung di sawah ini serahkan saja kepadaku!"

   Ong Tek memandang tajam, agaknya untuk mengukir wajah gadis penolongnya itu dalam ingatannya, kemudian ia mengangguk memberi hormat dan segera pergi, diikuti oleh Tan-Kauwsu.

   "Ong Tek, jangan kau berani pergi dari sini!"

   Seru Hok Ti Hwesio yang segera mencabut pisaunya dan menyambitkan pisau terbangnya itu ke arah Ong Tek! Pisau itu terbang lewat di dekat gadis itu yang dengan tenang mengulur tangan dan sekali tangannya bergerak, pisau itu telah disampok ke bawah sehingga pisau itu kini meluncur ke bawah dan menancap di atas lantai!

   "Hemm, Hwesio gundul, sudah banyak aku mendengar tentang Hwesio-Hwesio gundul yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-penjahat rendah dan yang mencemarkan nama para Pendeta Buddha! Agaknya kau yang paling rendah diantara mereka semua!"

   Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan dan melihat sikap gadis itu.

   Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang dengan Huncwenya. Juga Hok Ti Hwesio lalu menubruk kembali pisaunya, mencabutnya dari lantai dan maju menyerang. Ban Sai Cinjin yang biasanya amat sayang kepada gadis cantik, biarpun harus diakui bahwa dara di hadapannya ini memiliki kecantikan yang amat menggiurkan dan jarang terdapat, kini sama sekali tidak terguncang hatinya, bahkan ingin sekali ia membunuh gadis ini. Demikianlah, Ban Sai Cinjin dan muridnya lalu menyerang hebat kepada gadis manis itu yang melayani mereka dengan tangan kosong. Sungguh hebat ilmu Ginkang dari gadis itu. Dengan lincahnya ia dapat mengelakkan dari sambaran Huncwe dan pisau lawannya, bahkan ia masih sempat memaki-maki, mentertawakan dan membalas serangan mereka dengan pukulan-pukulan yang tidak boleh dipandang ringan.

   Ban Sai Cinjin terkejut sekali melihat sepak terjang gadis ini. Diam-diam ia mengeluh dalam hatinya. Selamanya hidup, belum pernah ia mengalami malam sesial ini. Berturut-turut telah datang dua orang gadis yang aneh dan lihai sekali! Kalau saja ia tidak terluka pundaknya oleh pukulan kipas dari Lili sore tadi, tentu ia akan dapat menyerang lebih baik terhadap gadis yang baru datang ini. Ia dapat melihat betapa gadis itu mempergunakan Ilmu Silat Bi-Ciong-Kun (Kepalan Menyesatkan) yang menjadi pecahan Ilmu Silat Tangan Kosong Kwan-Im-Siu-Ban-Po (Dewi Kwan Im Menyambut Selaksa Musuh)! Akan tetapi pergerakan kedua tangan gadis ini aneh, agak berbeda dengan ilmu silat tersebut, dan yang membuatnya diam-diam harus mengakui dan mengagumi adalah ilmu ginkang dari gadis ini.

   Ilmu meringankan tubuhnya mengingatkan ia kepada empat besar di dunia dan terutama sekali kepada Bu Pun Su! Akan tetapi, gadis yang kini tertawan dalam kamar Kam Seng dan yang menjadi cucu murid Bu Pun Su sendiri, agaknya tidak sehebat ini ilmu Ginkangnya! Melihat betapa ia dan gurunya sama sekali tak berdaya, bahkan telah dua kali ia menerima pukulan tangan halus akan tetapi antep itu, Hok Ti Hwesio mulai berteriak-teriak memanggil Supeknya minta bantuan! Hanya berkat ilmu kebalnya yang hebat, ia terhindar dari malapetaka ketika tangan gadis itu berhasil memukulnya sampai dua kali. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar oleh Kam Seng yang berada di dalam kamarnya menghadapi Lili yang tertawan.

   

Pendekar Sakti Eps 37 Pendekar Sakti Eps 33 Pendekar Bodoh Eps 37

Cari Blog Ini