Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 9


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Akan tetapi apabila ia teringat akan kematian Kakeknya, ia lalu mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga Ayah Bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini. Seperti telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari amat pesatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang lalu dengan cepatnya sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua! Memang aneh kalau direnungkan, apabila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan maupun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu? Kita semua tidak merasa dan sungguhpun masa kanak-kanak kadangkala masih suka di depan mata,

   Peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja! Siapa bilang kalau hidup ini lama? Benarkah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat! Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili telah berusia delapan belas tahun dan ia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira suka tertawa, bermata kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan Ibunya, Lin Lin, di waktu muda!

   "Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!"

   Kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya. Lin Lin yang biarpun sudah berusia hampir empat puluh tahun masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.

   "Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?"

   Cin Hai tertawa karena ia sudah maklum bahwa isterinya ini biarpun di mulutnya mengomel namun di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat. Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas.

   "Betapapun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah ia kelak menikah?"

   "Hal itu tak perlu tergesa-gesa,"

   Jawab suaminya dengan tenang.

   "ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!"

   Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat alangkah indahnya gerakan Sianli San-Hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang ia mainkan itu!"

   Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang amat indah dan cepat dan gerakan Sianli San-Hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat ini. Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

   Anak gadisnya ini benar-benar mengagumkan dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi mantunya. Ia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, ia belum dapat memilih seorang calon mantu yang cukup sesuai dan cocok. Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya, ia lalu menengok dan berlari-lari menghampiri Ayah Ibunya. Dengan sikap manja ia duduk di dekat Ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan saputangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.

   "Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan kepadaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri."

   "Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,"

   Kata Cin Hai. Lili merengut.

   "Aah, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga seringkali merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!"

   Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh.

   "Lili, dulu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, Ayah dan Ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu."

   Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras,

   "Aku tidak takut! Aku bukan puteri Ayah dan Ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat? Bukankah Ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang dipelajari dengan susah payah tak akan ada artinya kalau tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan mempergunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah Pendekar namanya!"

   Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini seringkali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!

   "Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Sosomu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan ke sana."

   Lili makin cemberut.

   "Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin mempergunakan kepandaian yang kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku... aku akan minggat!"

   Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.

   "Hush, Lili! Jangan kau berkata begitu!"

   Lili memandang kepada Ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata memperingatkan,

   "Ibu, lupakah kau bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!"

   Lin Lin tak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).

   "Lili,"

   Kata Cin Hai menolong isterinya.

   "Ibumu lain lagi. Ketika itu Ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha membalas dendam kepada musuh-musuh yang telah membasmi keluarga Ibumu."

   "Apa bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam kepada keparat Bouw Hun Ti!"

   Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata.

   "Ah, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang, Kalau Beng-ko lain lagi. Dia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-San dan boleh merantau sesuka hatinya! Ah, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki!"

   Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala daripada Ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain. Hebat bisik hatinya, anak ini malah lebih gagah dan bersemangat daripada Ayahnya!

   "Sudahlah, Lili jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!"

   Kata Cin Hai.

   "Baiklah, kami akan merundingkan hal ini."

   Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.

   "Bagaimana baiknya?"

   Tanya Lin Lin dengan gelisah "Kalau ia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?"

   "Berbahaya sih tidak,"

   Jawab suaminya setelah berpikir keras.

   "Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tidak hanya kepandaian silat tinggi saja yang dapat menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya daripada kepandaian silat lawan."

   "Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!"

   Kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran. Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya.

   "Melarang pun tidak benar. Anak itu lebih keras kepala daripada engkau!"

   "Hm, jadi aku keras kepala, ya? Mengapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?"

   Cin Hai tertawa.

   "Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini, kita sudah cukup tua bukan anak-anak lagi."

   "Kau yang mulai!"

   "Begini saja baiknya. Mulai sekarang kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw agar terbuka matanya terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau ia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita memberi perkenan kepadanya untuk merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-An takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, ia takkan berani pergi terlalu jauh."

   Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik terpaksa Lin Lin menyatakan persetujuannya. Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Ia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan Hek-To (jalan hitam, yaitu para penjahat). Sampai hampir dua pekan ia menerima wejangan dan nasihat, memperhatikan semua cerita dari Ayah Bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Kemudian ia mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-Hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Ho-nan dan memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-An yang terletak di sebelah Utara Sungai Huang-Ho.

   Lin Lin yang amat sayang kepada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasihat-nasihat agar dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang amat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili, dan gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan obat-obat untuk menjaga diri. Pedangnya Liong-Coan-Kiam, pemberian Ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal. Sepatunya berkembang dan ia nampak cantik jelita dan gagah sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.

   "Ayah, Ibu, aku berangkat!"

   Katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.

   "Hati-hatilah di perjalananmu,"

   Kata Cin Hai.

   "Sampaikan salam kami kepada Kwee Pekhu sekeluarga,"

   Pesan Lin Lin. Kemudian berangkatlah Lili. Ia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke Utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya. Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-An sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh Ayah Ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasihat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal Pekhunya (uwaknya) di Tiang-An. Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sesungguhnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti!

   Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-An hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi! Oleh karena inilah maka ia lalu membelok ke Barat setelah keluar dari Kota Shaning! Bukan Tiang-An yang ditujunya, melainkan Tong-Sin-Bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin! Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam Kelenteng besar dalam hutang Kelenteng milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-Kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng! Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu, akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin biarpun Raja Iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut! Keadaan Lili yang demikian mewah pakaiannya, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang.

   Akan tetapi melihat cara ia naik kuda dan melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai ilmu silat dan tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya. Hanya satu kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke Kota Lok-Yang. Di Kota ini terdapat seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-Bin-Liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-Tong-Pai, berwatak sombong dan berlagak tinggi. Kebetulan sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-Yang, ketika Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, melompat turun dan memanggil seorang pelayan. Seorang pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,

   "Kau urus baik-baik kudaku sewaktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!"

   Pelayan itu tersenyum dan mengangguk dengan hormat.

   "Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu baik-baik."

   Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.

   "Kuda yang bagus!"

   Tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang memuji kudanya. Orang ini bukan lain adalah Lok Ceng sendiri.

   Melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang menghampirinya. Restoran itu besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira. Ketika Lili memasuki restoran itu, hampir semua mata menengok memandang kagum. Akan tetapi Lili tidak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini biasa saja. Ibunya telah menasihatinya untuk bersikap dingin dan jangan mempedulikan hal ini.

   "Lili, kau seorang gadis muda yang cantik manis,"

   Kata Ibunya memberi nasihat.

   "Akan banyak sekali gangguan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, kalau mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kau hiraukan mereka. Asal mereka tidak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar, anggap saja mereka itu sebagai patung-patung hidup yang tak perlu dilayani."

   Oleh karena itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandangnya dengan kagum bahkan orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti kepadanya, dianggapnya sebagai lalat saja! Akan tetapi, pada saat ia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu.

   Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat! Diam-diam Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini, apalagi ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali. Akan tetapi pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu ia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili sedang makan! Ia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang amat menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan terdengarlah ia berkata keras,

   "Kudanya besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!"

   Semua orang yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan makannya.

   Melihat betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok Ceng menjadi makin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa haha-hihi ia lalu menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu dan memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua orang diam-diam tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu. Semenjak tadi Lili menahan sabarnya, karena ia selalu masih teringat akan nasihat Ibunya agar menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di depannya tentu saja ia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.

   "Lalat kuning sungguh menjemukan!"

   Ia lalu menunda makanannya dan dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga Khikang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba memercik ke arah Lok Ceng dan tak dapat terelakkan lagi mengenai bajunya!

   Semua orang terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu telah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng! Akan tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga Khikang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya. Oleh karena itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biarpun ia tahu bahwa dirinya dimaki "lalat kuning", ia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang melawan apabila diganggunya, daripada seorang gadis yang akan tersenyum-senyum melayani gangguannya.

   "Aku ingin sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang manis!"

   Katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini. Mendengar ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili maklum bahwa kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga khikang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar. Lili sudah kehabisan kesabarannya.

   "Lalat kuning, kau lapar dan ingin makan daging? Nah, ini makanlah!"

   Secepat kilat tangannya menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu telah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit! Suara tertawa dari para tamu tadi tiba-tiba tak terdengar lagi dan mereka kini memandang dengan muka pucat.

   Belum pernah ada orang yang berani menghina Oei-Bin-Liong Lok Ceng sedemikian hebatnya! Sementara itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya pedas dan tak dapat dibuka sehingga ia menjadi gelagapan dan mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan mukanya. Keadaannya amat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka karena sungguhpun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada dalam keadaan demikian lucunya, akan tetapi mereka tidak berani memperdengarkan suara ketawa. Kini kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena marah dan berminyak karena siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.

   "Gadis liar, apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-Bin-Liong Lok Ceng?"

   Ia membentak dan melangkah maju.

   "Eh, eh, cacing muka kuning!"

   Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing.

   "Apakah kau masih belum kenyang?"

   Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini lain masakan penuh kecap berwarna merah yang masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng.

   Si Naga Muka Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak memasuki kedua matanya. Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga kedua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap membuat ia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot! Kini para tamu di restoran itu terpakga mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis, sambil mencak-mencak sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan. Lok Ceng memaki-maki dan kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan kini mengamuk hebat.

   Beberapa kali ia membacok ke kanan kiri dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan ke mana-mana. Para tamu yang tadinya menahan ketawa, menjadi ketakutan dan segera mereka menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam. Akan tetapi, Lili tidak mau membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biarpun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di depan si pengamuk itu.

   "Gadis liar, kupenggal lehermu!"

   Teriak Lok Ceng.

   "Manusia tak tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!"

   Lili balas membentak dan dengan gerak tipu Sianli-Jip Pek-To (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu Silat Sianli-Utauw, ia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat masuk diantara gotok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke arah iga lawannya.

   "Duk!"

   Dengan tepat sekali jari tangannya mengirim Tiam-Hwat (totokan) yang mengenai jalan darah Hong-Twi-Hiat dengan jitu sekali. Terdengar Lok Ceng memekik kerasa dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya!

   Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti mengapa Lok Ceng berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan mata berseri-seri ia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng, sehingga Lok Ceng kini memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir di sepanjang hidungnya! Semua orang yang merasa lebih heran daripada lucu itu, tak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong, bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.

   "He, aku mau membayar! Mana pelayan?"

   Teriak Lili. Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.

   "Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!"

   Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu. Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.

   "Eh, Siocia..."

   Kata pelayan ini.

   "Bagaimana dengan Oei-Bin-Liong? Tubuhnya kaku dan ia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami."

   Lili tertawa geli.

   "Biarlah, bukankah ia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?"

   "Akan tetapi... tentu ia akan marah dan... bagaimana kalau ia mati?"

   Lili berkata dengan sungguh-sungguh,

   "Jangan kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek ia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali."

   Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan Lok-Yang. Setelah melakukan perjalanan dengan cepat selama dua pekan akhirnya sampailah Lili di tempat yang menjadi tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-Sin-Bun. Ia lalu memilih rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Kudanya ia serahkan kepada pelayan untuk dirawat baik-baik. Tanpa bertanya kepada orang lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah, oleh karena di dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung yang besar dan mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika ia bertanya kepada pelayan, Hotel di mana ia bermalam juga milik dari Ban Sai Cinjin yang kaya raya dan berpengaruh besar.

   "Nona datang dari mana dan apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?"

   Lili tersenyum dan maklum bahwa semua pekerja di dalam Hotel ini adalah anak buah Ban Sai Cinjin, maka ia menjawab,

   "Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong yang tertarik melihat keadaan di dusun ini yang amat ramai."

   Pada senja hari itu diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian yang ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa musuh besarnya itu tentu berada di Kelenteng yang dulu pernah dilihatnya dengan Sin-Kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Tong-Sin-Bun itu. Akan tetapi sebelum menuju ke hutan itu, ia sengaja menyelidiki dulu gedung besar tempat tinggal Ban Sai Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat ke atas pagar tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua berjalan keluar dari gedung itu dengan tindakan cepat.

   Lili cepat bersembunyi di tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan terkejutnya ketika ia melihat pemuda itu. Tak salah lagi, pemuda itu tentulah Thio Kam Seng, anak laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh Suhunya, Sin-Kai Lo Sian, atau yang boleh juga disebut Suhengnya, karena mereka keduanya pernah menjadi murid Sin-Kai Lo Sian. Lili menjadi girang sekali dan hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat menahan keinginannya ini karena teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari gedung Ban Sai Cinjin. Hal ini benar-benar aneh sekali. Kam Seng pernah hampir dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana sekarang ia bisa keluar masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu?

   Hal ini menimbulkan kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan lalu diam-diam mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan cepat menuju ke hutan di mana terdapat Kelenteng besar kepunyaan Ban Sai Cinjin. Bagaimanakah Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-San dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-Kai Nyo Tiang Le. Sesungguhnya, Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dulu ketika ditolong oleh Sin-Kai Lo Sian, ia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sesungguhnya tidak demikian halnya.

   Thio Kam Seng ini adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun adalah Sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Cin Hai, Si Pendekar Bodoh. Pada waktu hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan seorang gadis yang dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan isterinya ini telah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka ia mempunyai banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang ia dapatkan karena ketampanannya maupun yang ia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari rumah orang tua gadis itu!

   Setelah Song Kun tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin hidup terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia merasa malu, dan hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka ia masih mempertahankan hidupnya. Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang anak laki-laki yang ia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya ini. Betapapun juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan Ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa Ayahnya telah tewas dalam tangan seorang Pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!

   Dalam keadaan yang amat miskin, Kui Lin hidup berdua dengan puteranya. Mereka terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, dan akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik. Ternyata ia mempunyai otak yang cerdik sekali, dan agaknya kecerdikan Ayahnya menurun kepadanya. Ia dapat berpura-pura bodoh dan jarang bicara, padahal segala sesuatu ia perhatikan betul-betul. Cerita Ibunya tentang Ayahnya yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan ia tak dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya. Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia tertolong oleh Sin-Kai Lo Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya ia diajak pergi oleh Mo-Kai Nyo Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.

   "Kita harus mencari Suhumu,"

   
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Mo-Kai Nyo Tiang Le.

   "Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus melatih diri baik-baik, akan kuajarkan ilmu silat-ilmu silat tinggi kepadamu agar kelak kau tak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar Bodoh sekalipun!"

   Diam-diam Kam Seng merasa girang sekali, telah lama ia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh Ayahnya, adalah Ayah Lili yang menjadi Sumoinya.

   Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-San. Saking terharu dan sedihnya tak berdaya membalas dendam, dulu ia telah menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkannya menangis. Kini mendengar ucapan Mo-Kai Nyo Tiang Le Supeknya, ia menjadi girang sekali dan mulai hari itu ia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-Kai Nyo Tiang Le. Bertahun-tahun Kam Seng pergi merantau dengan Mo-Kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh Propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tak bertemu dengan Sin-Kai Lo Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang telah menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.

   Terpaksa Mo-Kai Nyo Tiang Le mewakili Sutenya mendidik Kam Seng yang sesungguhnya menguntungkan pemuda itu, karena kepandaian Pengemis Iblis ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-Kai Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, berpindah-pindah dari Barat ke Timur, dari Utara ke Selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat sekali. Ia telah mewarisi kepandaian Mo-Kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-Hong Kun-Hwat (Ilmu Silat Kitiran Angin) dan ilmu melepas senjata rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan Tongkat dari Pengemis Iblis ini pun telah ia warisi dengan baik sekali.

   "Supek,"

   Kata Kam Seng pada suatu hari setelah Supeknya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-Kai Lo Sian.

   "Apakah tidak bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin? Bagaimana kalau kita mencari di sana?"

   Supeknya mengangguk-angguk.

   "Mungkin dugaanmu ini benar juga. Aku pun telah mempunyai dugaan demikian."

   Ia menghela napas.

   "Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya amat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana dengan nasib Sute. Kita berangkat ke dusun Tong-Sin-Bun."

   Mereka lalu menuju kembali ke Barat dan tiba di dusun itu di waktu malam.

   "Supek, biarlah Teecu menyelidiki ke kuil itu."

   "Kau hati-hatilah, Kam Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai,"

   Kata Mo-Kai Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.

   "Jangan kuatir, Supek. Tak percuma selama ini Teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek."

   Pemuda ini lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Ia melihat Kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang besar dan mewah. Melihat keadaan Kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, ia menghela napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri. Semenjak ia pergi ikut dengan Supeknya belum pernah ia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan kotor sekali.

   Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau ia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi Supeknya tentu melarangnya, dan ia merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan Supeknya berpakaian kotor penuh tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda! Kam Seng menanti sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena ia tidak melihat seorang pun keluar dari Kelenteng itu, ia lalu memberanikan diri dan menghampiri Kelenteng itu. Dengan ginkangnya yang sudah terlatih baik dengan mudah ia lalu melompat ke atas genteng. Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan Ginkangnya agar genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.

   Ketika ia mengintai ke bawah, ia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Ia mengenal dua orang diantara mereka yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang Tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikianpun jenggotnya. Kam Seng merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut Suheng (kakak seperguruan) kepada Tosu ini. Sungguh mengherankan bahwa seorang yang usianya lebih tua

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   daripada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh disebut-sebut.

   "Memang Pendekar Bodoh lihai sekali,"

   Ia mendengar Tosu itu berkata sambil menganggukkan kepalanya.

   "Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertiannya tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau ia dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah mempelajari ilmu silat dunia Barat yang mempunyai gerakan berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga kalau menghadapi Pendekar Bodoh, belum tentu pinto takkan dapat merobohkannya!"

   "Supek berkata benar,"

   Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata.

   "Bagaimanapun juga, Pendekar Bodoh bukan tidak dapat dilawan! Pernah Teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau kepandaian Suhu saja sudah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko karena dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak dapat menundukkan Pendekar Bodoh!"

   Ketika Ban Sai Cinjin menyedot Huncwenya dan hendak menjawab tiba-tiba Tosu itu menengok ke arah genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus,

   "Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!"

   Bukan main kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali.

   Kalau orang-orang di bawah ini yang demikian lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tidak sekali-kali boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya kalau ia bisa berkawan dengan mereka untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali Supeknya, Mo-Kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa kepandaian Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi daripada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan Tosu yang menjadi Suheng Kakek berHuncwe itu demikian tingginya, ia mendapat sebuah pikiran baik sekali. Mendengar ucapan Tosu itu, makin yakinlah ia bahwa Tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu menjawab,

   "Maafkan Teecu yang muda berlaku lancang!"

   Setelah berkata demikian, ia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-Liong-San-Hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruang itu memandang dengan kagum. Melihat seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju, dan bertanya,

   "Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau melakukan pengintaian di Kelentengku?"

   Kam Seng menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,

   "Tadi Teecu mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan pribadi antara Teecu dan Pendekar Bodoh, maka hati Teecu tertarik sekali dan ingin Teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa Teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang dapat mengalahkan Teecu dalam sepuluh jurus, Teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman di sini. Kalau Totiang tidak dapat mengalahkan Teecu dalam sepuluh jurus, jangah harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!"

   Kata-kata ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan ia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,

   "Macammu hendak menantang Supek?"

   Pukulan tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-Kai Lo Sian maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini. Akan tetapi, Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh.

   Ia telah mewarisi kepandaian Mo-Kai Nyo Tiang Le dan kepandaiannya sekarang mungkin sudah lebih tinggi daripada Sin-Kai Lo Sian! Ia maklum bahwa dalam hal tenaga Lweekang tak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya. Dengan lengan kanan, ia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu silat Soan-Hong-Jiu (Kepalan Kitiran Angin). Bouw Hun Ti merasa terkejut sekali karena sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu mendatangkan angin yang hebat dan berbahaya sehingga terpaksa ia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Ketika pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!

   "Bagus...!"

   Kata Tosu itu yang sesungguhnya adalah Suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu. Wi Kong Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan adalah seorang Pertapa di Hek-Kwi-San dan dijuluki Toat-Beng Lo-Mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa). Oleh karena merasa kuatir menghadapi musuh-musuh yang tangguh, Ban Sai Cinjin menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk Suhengnya itu yang kemudian ternyata berhasil baik. Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan ia lalu berdiri dari bangkunya.

   "Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya."

   Ia melangkah maju menghadapi Kam Seng.

   "Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?"

   Semenjak dulu, Kam Seng tak pernah menyebut-nyebut nama Ayahnya di depan siapapun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada diantara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tidak merasa ragu-ragu untuk memberitahukan nama Ayahnya, bahkan ia pun merubah pula shenya yang biasanya Thio itu menjadi Song.

   "Teecu bernama Kam Seng, she Song, Ayah Teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan Ayah Teecu itu bernama Song Kun."

   Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin saling pandang dengan terkejut sekali.

   "Apa? Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-Ho Sian-Kiam?"

   Tanya Wi Kong Siansu dengan heran.

   "Entahlah, karena Ayah telah tewas sebelum Teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari Ibuku yang sekarang telah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang Teecu ketahui, yaitu bahwa Ayah Teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!"

   "Benar, benar!"

   Wi Kong Siansu mengangguk-angguk.

   "Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu, anak muda!"

   Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Ia telah maklum sampai di mana tingkat kepandaiannya, apabila diukur dengan kepandaian Supeknya Nyo Tiang Le. Sungguhpun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian Supeknya itu,

   Namun dari latihan-latihan dengan Supeknya ia dapat menaksir bahwa Supeknya itu tak mungkin akan dapat merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh Tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaian Tosu ini dan tidak ragu-ragu untuk mengkhianati Supeknya! Setelah Tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa seji (sungkan) lagi Kam Seng lalu menyerang dengan Ilmu Silat Soan-Hong Kun-Hwat yang paling lihai. Ia hendak mendahului menyerang agar supaya Kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk menyerangnya. Kalau saja ia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biarpun tidak dapak merobohkan Tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus Kakek itu tak dapat mengalahkannya!

   Wi Kong Siansu agaknya maklum akai isi pikirannya ini, maka sambil tersenyun Kakek yang amat lihai ini tidak memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lain. Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan telah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu ia mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng. Pemuda ini terkejut sekali karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa lengannya, tulang lengannya terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan baja keras sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir saja ia menjadi korban dalam segebrakan saja! Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian setelah berdiri ia lalu menyerang lagi.

   Serangan dalam jurus ke dua ini dilakukan dengan gerak tipu yang amat lihai. Ia melakukan serangan dari tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang mengarah kepala, tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung sedangkan kaki kanan menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar! Inilah gerak tipu yang disebut Sam-In Koan-Goat (Tiga Awan Menutup Bulan). Gerakan tiga macam pukulan ini dilakukan susul menyusul sehingga hampir boleh dibilang berbareng datangnya, dan karena yang diarah oleh ketiga pukulan ini adalah anggota-anggota tubuh yang berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan Sam-In Koan-Goat ini. Satu saja di antara ketiga pukulan itu mengenai sasaran, cukup untuk mengantar nyawa orang ke tempat asal!

   "Bagus...!"

   Seru Wi Kong Siansu melihat kehebatan serangan ini. Dengan amat tenang Kakek ini melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama-tama ia melangkah ke kanan sambil menundukkan kepala menghindarkan diri dari pukulan ke arah kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil menangkis pukulan ke arah lambungnya, sedangkan tendangan yang mengarah pusarnya itu tidak dielakkan, bahkan ia lalu mengangkat kakinya menyambut tendangan itu dengan tendangan pula.

   Sungguh mengherankan. Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat datangnya sedangkan Kakek itu hanya mengangkat sedikit saja kakinya untuk menyambut tendangan pemuda itu akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam Seng berseru kaget dan tubuhnya terlempar ke belakang tiga tombak lebih! Masih baik bahwa ia mempunyai Ginkang yang sempurna sehingga ia dapat berjungkir balik dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun dengan kaki terlebih dulu! Bukan main kagumnya hati Kam Seng. Ia maklum bahwa Tosu ini benar-benar jauh lebih lihai daripada Supeknya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tosu itu.

   "Kalau Totiang sudi menerima Teecu sebagai murid, Teecu akan merasa bahagia sekali."

   Wi Kong Siansu tertawa bergelak.

   "Sayang kau ditinggal Ayahmu dan tidak bertemu dengan guru yang baik. Kalau ada Ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali lipat lebih pandai daripada sekarang."

   Ban Sai Cinjin lalu maju dan mengebulkan Huncwenya.

   "Song Kam Seng, kau tadi bilang bahwa kau mempunyai rahasia yang hendak dituturkan. Apakah rahasia itu? Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang betul kau putera Song Kun, kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara kami dengan Ayahmu dahulu terdapat perhubungan yang baik sekali."

   "Sesungguhnya amat malu untuk menuturkan keadaan Teecu,"

   Kata Kam Seng sambil menundukkan kepalanya dan masih berlutut di depan Wi Kong Siansu.

   "Semenjak kecil Teecu telah ditinggal mati Ibu, dan Ayah bahkan telah meninggalkan Teecu sebelum Teecu terlahir. Teecu berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati mengandung dendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya? Kemudian, Teecu bertemu dengan Mo-Kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat kepada Teecu. Sungguhpun kemudian Teecu ketahui bahwa Mo-Kai Nyo Tiang Le dan juga Sin-Kai Lo Sian adalah kawan-kawan segolongan dengar Pendekar Bodoh sehingga hati Teecu merasa segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, akan tetapi terpaksa Teecu pertahankan juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu silat dari siapapun juga daripada tidak berkepandaian sama sekali. Nah, kebetulan sekali hari ini Teecu dibawa oleh Mo-Kai Nyo Tiang Le yang sedang berusaha mencari Sin-Kai Lo Sian. Dia menyangka bahwa Sutenya itu tentu telah mendapat celaka dari Ban Sai Cinjin, maka ia lalu menyuruh Teecu mengadakan penyelidikan ke sini!"

   Ban Sai Cinjin tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha! Mo-Kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa yang kutakuti terhadap orang seperti dia itu?"

   "Teecu juga maklum akan hal ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe sudi menerima, Teecu ingin tinggal di sini mempelajari ilmu silat dan kemudian bersama Cu-wi ikut menyerbu dan membalas hukum kepada Pendekar Bodoh."

   Ban Sai Cinjin agaknya masih ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong Siansu sambil berkedip Sutenya itu, berkata kepada Kam Seng,

   "Anak muda, kami percaya bahwa kau memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui keadaan seseorang? Mo-Kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak memusuhi Sute dan menyuruh kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah kalau sikapmu ini hanya sandiwara belaka agar kau dapat menyelamatkan diri dari kami? Kalau kau sekarang bisa memancing Mo-Kai Nyo Tiang Le datang ke sini, tanpa mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan kemudian di depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah kami akan percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum mengetahui betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid."

   "Baiklah, harap Cu-wi suka menanti sebentar. Malam ini juga Teecu akan membawa Mo-Kai Nyo Tiang Le datang ke tempat ini!"

   Setelah berkata demikian, Kam Seng memberi hormat dan melompat keluar dari ruangan itu. Ban Sai Cinjin hendak menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi Suhengnya berkata,

   "Anak itu memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan gerak matanya dan bentuk bibirnya? Sama benar dengan Song Kun. Dan andaikata sikapnya tadi hanya untuk menyelamatkan diri untuk seorang pemuda macam dia, kita takut apakah?"

   Sementara itu, Kam Seng cepat kembali ke tempat Supeknya yang masih menantinya. Hatinya girang sekali. Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-Kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurunya masih mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apalagi dia? Pendekar Bodoh menurut Supeknya ini mempunyai banyak orang-orang pandai. Isteri Pendekar Bodoh sendiri adalah murid Bu Pun Su dan memiliki kepandaian yang amat tinggi. Masih ada lagi Ang I Niocu dan suaminya Lie Kong Sian yang terhitung kakak seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi iparnya dan isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang memiliki kepandaian tinggi karena nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang lihai!

   Bagaimana ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh seorang diri saja? Bahkan Supeknya amat menghormat Pendekar Bodoh maka tak mungkin Supek atau Suhunya memperkenankan ia berlaku kurang ajar terhadap Pendekar Bodoh. Kini, pertemuan dengan Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu yang amat tinggi kepandaiannya, menimbulkan pengharapan baru di dalam hatinya. Ia tadi tidak melihat Hok Ti Hwesio, Hwesio kecil jahat murid Ban Sai Cinjin yang dulu hendak membelek perutnya, akan tetapi ia pun tidak takut. Andaikata Hok Ti Hwesic mengenalnya, ia rasa masih dapat melayani Hwesio itu, dan apalagi kalau ia sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, tentu Hek Ti Hwesio tidak berani mengganggunya.

   "Bagaimana, Kam Seng? Apakah kau melihat Suhumu di sana? Dan apakah Ban Sai Cinjin berada di sana pula?"

   "Teecu rasa Suhu berada di sana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi Teecu tidak berani turun dan berlaku sembrono, karena di sana Teecu melihat ada murid-murid Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua menyerbu ke sana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun Ti!"

   Girang sekali hati Mo-Kai Nyo Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka ia cepat berdiri dan mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu. Kam Seng mengajak Supeknya melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi, akan tetapi baru saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng ia mendengar suara Bouw Hun Ti tertawa di bawah genteng.

   "Pengemis kelaparan Nyo Tiang Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling? Kalau kau kelaparan tak perlu kau mencuri makanan di sini, turunlah ada makanan anjing tersedia untukmu!"

   Bukan main marahnya Mo-Kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini. Ia memang seorang pemarah yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi, ia lalu melayang turun, diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak lantai ruangan itu, Mo-Kai Nyo Tiang Le terkejut sekali melihat Ban Sai Cinjin dan seorang Tosu tua muncul dari balik pintu. Ban Sai Cinjin mengebulkan asap Huncwenya dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-Kai Nyo Tiang Le bahwa ia harus melawan mati-matian. Terdengar Tosu yang tak dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng,

   

Pendekar Bodoh Eps 14 Pendekar Bodoh Eps 35 Dara Baju Merah Eps 6

Cari Blog Ini