Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 2


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Pada saat itu, wajah Han Le berubah dan tiba-tiba Pengemis sakti ini berseru keras sekali, wajahnya berseri girang dan juga sepasang matanya terheran-heran.

   "Suheng"! Kau di sini"??"

   Kiang Liat memandang ke arah gurunya memandang, namun tidak melihat sesuatu. Tiba-tiba dari jurusan itu, yang tidak ada apa-apa, terdengar suara yang halus sekali, namun menusuk telinga karena mengandung tenaga luar biasa dan pengaruh besar.

   

   "Sute, siapa anak muda itu?"

   

   "Dia adalah Kiang Liat, muridku!"

   Tiba-tiba debu mengebul dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, agak lebih tua daripada Han Le, berpakaian kusut sederhana namun tidak menyembunyikan kegagahan dan ketampanannya, telah berdiri di situ. Kiang Liat memandang dengan mulut ternganga, karena ia yang telah memiliki kepandaian tinggi, bagaimana sampai tidak dapat melihat dan mengikuti gerakan orang ini? Ibliskah dia? Ketika laki-laki itu memandangnya, Kiang Liat hampir menundukkan mukanya. Demikian tajam pandangan mata itu menusuk matanya sendiri.

   

   "Sute, kau kan tidak menurunkan Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng?"

   Tanya orang itu. Han Le berubah mukanya dan kelihatan gugup.

   "Hanya sedikit, Suheng, bagian permainan Pedang dan Lwee-kang untuk memperkuat ilmu Pedangnya sendiri, yakni ilmu Pedang dari keluarga Kiang yang tersohor."

   

   "Hm, Sute Han Le, betapapun juga, kau telah berlaku sembrono sekali. Kau harus tahu bahwa ilmu kita itu berbahaya kalau dipergunakan oleh orang yang beriman lemah. Sekarang kau sudah menurunkan kepadanya, biarpun sedikit hal itu sudah berarti bahwa selamanya kau dan aku harus selalu menyelidiki dan menjaga jangan sampai orang mempergunakannya tidak pada tempatnya!"

   Han Le memandang kepada Suhengnya dengan mata penuh keheranan, apalagi ketika ia kini melihat wajah Suhengnya kusut, matanya sayu dan kerut-merut pada wajah Suhengnya itu menunjukkan jelas bahwa Suhengnya telah mengalami penderitaan batin hebat selama ini. Sudah belasan tahun ia tidak bertemu dengan Suhengnya dan kini Suhengnya benar-benar telah berubah. Adatnya menjadi keras dan aneh. Akan tetapi, ia merasai kebenaran ucapan Suhengnya itu dan ia mengangguk-angguk. Orang itu lalu menghadapi Kiang Liat yang memandang kepadanya dengan perasaan tak senang. Sebelum orang itu bicara, Kiang Liat mendahului, bertanya kepada Han Le,

   "Suhu, mohon memberi penerangan kepada teecu, siapakah adanya Lo-Enghiong yang baru datang ini."

   

   "Bocah bodoh, dia inilah supekmu. Dia Suhengku bernama Lu Kwan Cu, berjuluk Bu Pun Su, ahli silat nomor satu di dunia ini!"

   Kiang Liat terkejut sekali. Tadi ia sudah menduga-duga ketika mendengar suhunya menyebut Suheng kepada orang ini, akan tetapi ia masih penasaran dan sangsi, karena melihat orangnya, Bu Pun Su ini tidak begitu hebat sungguhpun kedatangannya tadi seperti Siluman saja.

   

   "Kiang Liat, berapa lama kau belajar kepada suhumu?"

   Kiang Liat sudah menjatuhkan diri berlutut dan kini menjawab,

   "Hanya satu tahun, Supek, karena menurut perjanjian memang teecu hanya boleh belajar satu tahun."

   

   "Perjanjian?"

   Lu Kwan Cu atau Bu Pun Su menoleh kepada Han Le. Han Le tertawa dan menceritakan tentang pertaruhan setahun yang lalu. Bu Pun Su mengerutkan keningnya yang tebal dan sudah mulai memutih.

   

   "Tidak baik bagi seorang pemuda memiliki kesombongan dan terlalu keras. Orang-orang muda selalu mendatangkan keributan di dunia, terdorong oleh nafsunya sendiri tanpa mengingat akibat dari perbuatan yang ditunggangi oleh nafsu. Berdirilah kau!"

   Kiang Liat berdiri, hatinya tidak enak.

   

   "Cabut Pedangmu!"

   Kiang Liat ragu-ragu dan melirik ke arah Han Le, akan tetapi gurunya memberi isarat dengan matanya agar pemuda itu menurut saja. Maka ia pun lalu mencabut keluar Pedangnya, Pedang Pusaka keturunan keluarga Liang, memegang Pedang itu lurus ke atas menempel jidat, tanda menghormat dan tidak mempunyai maksud buruk terhadap orang di depannya. Akan tetapi Bu Pun Su tidak peduli kepadanya dan memerintah terus,

   "Serang aku dengan Pedangmu!"

   Inilah keterlaluan, pikir Kiang Liat. Ia tidak mau berlaku kurang ajar dan lancang, maka bagaimana ia brani menyerang orang yang diperkenalkan kepadanya sebagai supeknya?

   

   "Hayo serang, bodoh!"

   Bu Pun Su membentak lagi dan bentakannya demikian berpengaruh sehingga di dalam tubuh Kiang Liat seakan-akan timbul aliran tenaga yang membuat ia otomatis bergerak! Pedangnya menyambar, menusuk ke arah muka supeknya itu.

   Namun ia segera ingat bahwa ia terlalu kurang ajar kalau menyerang dengan sungguh-sungguh, maka selanjutnya ia mengendurkan gerakannya dan hanya memperlihatkan tipu-tipu serangan yang indah untuk membuktikan kepada supeknya bahwa gurunya tidak memiliki murid secara sembarangan dan bahwa ia sebetulnya juga "berisi!"

   Akan tetapi ia melihat Bu Pun Su sama sekali tidak menggerakkan kedua kaki, setapak pun tidak pindah dari tempat berdirinya semula. Kedua ujung lengan baju orang sakit itu bergerak-gerak ke depan dan bukan main hebatnya! Dari sepasang tangan yang bersembunyi di dalam lengan baju itu keluar tenaga luar biasa sehingga angin tangkisannya saja selalu menahan Pedangnya. Pedangnya selalu terpental kembali seakan-akan terbentuk pada benda yang amat keras.

   

   "Jangan sungkan-sungkan, serang sungguh-sungguh!"

   Kembali Bu Pun Su membentak dan kali ini Kiang Liat menyerang dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena ia mendengar perintah ini, juga karena hatinya merasa penasaran sekali. Bagaimana orang dapat membikin semua serangan Pedangnya tidak berdaya hanya dengan hawa tangkisan belaka? Inilah aneh, seperti sihir atau dalam mimpi saja. Ia mengerahkan seluruh Lwee-kangnya dan mengeluarkan tipu-tipu silat yang paling

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Ang I Niocu (Seri ke 02 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   lihai. Ia mainkan Pedangnya dengan ilmu Pedang keluarga Kiang, ditambah dengan gerakan-gerakan halus dari ilmu silat yang ia pelajari dari Han Le.

   

   Betul saja bahwa ilmu Pedangnya memang hebat. Buktinya, Bu Pun Su kini tidak dapat menghadapinya dengan hawa tangkisan belaka, melainkan orang sakti itu bergerak ke sana ke mari dengan amat lambat. Namun, betapapun lambatnya gerakan kaki orang sakti itu, tak pernah Pedang di tangan Kiang Liat mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju Bu Pun Su saja tidak dapat! Setelah Kiang Liat menyerang sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba pemuda ini merasa telapak tangan yang memegang Pedang sakit sekali sehingga ia terpaksa melepaskan Pedangnya. Ketika ia memandang, Pedangnya itu telah terampas oleh gulungan ujung lengan baju Bu Pun Su! Bu Pun Su sekarang tersenyum dan mengembalikan Pedang yang diterima oleh Kiang Liat dengan muka merah.

   

   "Harap Supek tidak mentertawakan kebodohan teecu dan mohon petunjuk,"

   Kata Kiang Liat merendah. Kini ia merasa tunduk dan takut sekali kepada orang sakti ini yang benar-benar luar biasa sekali ilmu kepandaiannya. Bu Pun Su sekarang tertawa dan berpaling kepada Han Le,

   "Ah, Sute. Benar-benar matamu awas sekali. Dalam setahun sudah dapat menggerakkan Pedang seperti itu, ah, kalau dia mempelajari semua ilmu dari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, aku sendiri takkan mampu melawannya. Kiang Liat, kulihat biarpun kau mempergunakan Pedang seluruhnya atas dasar ilmu silat Pedang dari keluarga Kiang, namun isinya mengandung tenaga rahasia dari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng. Oleh karena itu, kau memang sudah menjadi murid kami. Hal ini tak boleh kau anggap main-main. Sekali saja kau menyeleweng dan mempergunakan ilmu untuk melakukan kejahatan, biarpun kau berada di tempat yang selaksa li jauhnya, aku sendiri akan mencarimu dan mencabut nyawamu agar ilmu dari kami tidak dipergunakan untuk kejahatan. Mengerti?"

   

   "Teecu bersumpah takkan tunduk terhadap godaan iblis dan nafsu jahat!"

   Kata Kiang Liat sambil mengedikkan kepalanya. Ia benar-benar marah karena ketidak-percayaan supeknya kepada dirinya ini.

   

   "Bagus, akan kita lihat bersama. Kalau benar-benar kau tidak mengecewakan menjadi murid kami, kelak kalau ada jodoh aku sendiri akan menambah satu-dua ilmu pukulan kepadamu. Sute, mari kita pergi dari sini, aku ada urusan penting sekali untuk dibicarakan!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari pemandangan mata Kiang Liat.

   

   "Muridku, berhati-hatilah dan kau cari Song Lo-Kai. Sampai bertemu kembali kalau ada jodoh!"

   Han Le juga berkata kemudian melompat dan lenyap untuk menyusul Suhengnya yang luar biasa itu. Seperginya kedua orang sakti itu, Kiang Liat lalu berlutut ke arah mereka menghilang. Kemudian ia berdiri dan menarik napas berulang-ulang.

   "Hebat"

   Tadinya kukira bahwa kepandaian Suhu sudah tidak ada taranya di muka bumi ini. Tidak tahunya kepandaian Supek Bu Pun Su bahkan jauh lebih tinggi lagi! Aah, sayang sekali aku hanya mendapat kesempatan satu tahun. Kalau aku bisa menjadi murid Supek, alangkah senangnya""

   Kemudian, setelah menyimpan Pedangnya, sambil membawa sebatang ranting seperti suhunya, Kiang Liat pergi meninggalkan tempat itu dan menuju ke dusun Sui-Chun di mana tinggal Song Lo-Kai. Diam-diam ia merasa tidak enak dan sungkan-sungkan, karena kepergiannya ini adalah untuk menghadapi Song Lo-Kai yang mengusulkan pernikahan, padahal ia sama sekali belum memikirkan persoalan pelik ini. Namun, ada juga sedikit keinginan tahu melihat macamnya cucu perempuan dari Song Lo-Kai! Song Lo-Kai tinggal di Sui-Chun, kini menjadi seorang hartawan yang hidup berdua dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-Kai sesuai dengan sebutannya, yakni Lo-Kai atau Pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan Pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-Si Kai-Pangcu.

   Semenjak cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular, kakek she Song ini telah berubah pendiriannya. Tadinya ia memang tidak mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan suka hidup bebas sebagai Pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia, dan Bi Li hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu. Kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta terpendam di sebuah guha rahasia. Ia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini, maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan besar. Kejadian inilah yang membuat ia ditangkap oleh Cap-Si Kai-Pang dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat. Song Bi Li ternyata seorang gadis yang amat cantik, berwajah ayu manis bertubuh langsing. Kulitnya putih halus, pipinya kemerahan.

   Selain cantik jelita, juga ia amat cerdas sehingga dengan mudah ia dapat menguasai kepandaian tulis dan baca, bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah. Di samping ini, ia pun terkenal di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus. Pendeknya di dalam Kota Sui-Chun, tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau pandainya sehingga ia terkenal sebagai kembang Kota Sui-Chun. Lebih lagi setelah kakeknya menjadi kaya-raya, pakaiannya bagus-bagus, menambahkan kecantikannya. Dua tahun yang lalu, ketika ia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar yang dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang dan untuk pertama kalinya gadis yang baru berusia tujuh belas tahun di waktu itu, mengalami godaan asmara. Waktu itu masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang gedung kakeknya.

   Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak pohon-pohon yang tak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami bunga-bunga yang indah. Bi Li memang sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur sendiri cara bagaimana kebun itu akan ditanami bunga-bunga, di mana harus membuat kolam dan sebagainya. Kakek Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada cucunya. Bi Li dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di rumah gedung itu. Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di dusun, tidak saja untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin agar cucunya mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang cantik juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak itu menjadi majikannya.

   

   "Ceng Si, di ujung Barat itu harus didirikan bangunan kecil untuk dapat beristirahat, di depannya digali empang dan dipasangi jembatan melengkung. Di ujung Timur harus digali empang ikan emas dan diisi tanaman bunga teratai. Kembang Botan ditanam di sebelah sini dan kembang Cilan disebelah sana. Kau nanti jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan kalau ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,"

   Kata Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil terpelihara.

   

   "Baik, Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, dimaksud Kakek Song), tukang kebun akan datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di sini."

   

   "Jangan ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang tengahnya saja, biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan Yang-Liu (Cemara) itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kering. Yang lain boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi pagar dan banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan habis dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku."

   

   "Memang benar, Siocia (Nona). Belum kalau ada maling masuk,"

   Kata Ceng Si. Ceng Si menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi segera ketawanya terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan.

   "Aduh, dia benar-benar datang, Siocia""

   Bi Li terkejut dan bertanya,

   "Kau bilang ada maling"?"

   Sambil berkata demikian, ia membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang. Ternyata benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu melalui pagar yang sudah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa laki-laki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.

   

   "Dia tidak kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak bekerja di sini?"

   

   "Stt, kau terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun? Dia bukan maling dan bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang Kongcu (tuan muda) dan orangnya begitu"

   Begitu tampan!"

   

   "Hush, genit kau"!"

   Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa yang datang itu adalah seorang pemuda yang tampan dan ganteng, berpakaian seperti seorang Siucai (Pelajar), sikapnya halus dan sopan.

   Bi Li dahulu tinggal bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona hartawan dan bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang bertemu dengan laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk. Juga ia tidak takut karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di situ dengan pelayannya, sungguhpun mereka merasa curiga ketika memandang kepada pemuda ini. Ia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya ia lupa lagi bilamana dan di mana. Pemuda itu menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Ia nampak ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika ia memandang kepada Bi Li, sungguhpun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.

   

   "Kau siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?"

   Bi Li menegur, suaranya ketus dan matanya bersinar marah. Pemuda itu nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia menjura dengan hormat, lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,

   "Song-Siocia, benar-benarkah kau lupa kepadaku? Benar-benarkah, setelah kini kau menjadi kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin yang menjadi penghuninya?"

   Bi Li makin marah.

   "Aku tidak kenal padamu, lekas pergi dari sini, kalau Kong-kong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!"

   Pemuda itu berdiri tegak dan tersenyum duka.

   "Jangankan dipukul, dibunuh pun aku rela. Kong-kongmu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kong-kongnya?"

   "Siapakah kau? Mengapa kau begini kurang ajar?"

   Bi Li memandang dengan alis dikerutkan.

   

   "Nona, lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di dusun kita?"

   Pemuda itu berkata. Bi Li memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.

   "Ah, kau... kau Cia-Siucai..."

   Katanya gagap. Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih tinggal di dusunnya.

   Ketika itu, kedua orang tuanya secara berturut-turut telah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusun itu. Ketika jenazah ayah bundanya dirawat di dalam kuil, satu-satunya kuil di dusun itu di mana sebagian besar orang-orang yang meninggal diurus dan disembahyangi, banyak orang dusun datang. Di antara mereka, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja kembali ke dusun setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di Kota Raja. Pemuda ini adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan Cia-Siucai. Bi Li tahu bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-Siucai, memuji-mujinya karena bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu, juga ia amat pandai membuat sajak. Tulisan-tulisan pada lian yang digantung di kuil, tulisan yang amat indah itu semua adalah buatan Cia Sun.

   Ketika itu, Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi tergila-gila. Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang sedang menjalani upacara sembahyang, seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan penuh air mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal mati oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak dihibur oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-Kai, Kong-kongnya. Cia Sun demikian tergila-gila sehingga ketika ia terlalu banyak minum arak, tanpa pedulikan apa-apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di atas tembok kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat. Bi Li sampai sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena melihat ribut-ribut ia pun membaca tulisan itu yang berbunyi demikian :

   

   Layu pucat Teratai Putih,

   Kehilangan sinar matahari.

   Mengembang di empang tanpa kawan

   Hati siapa takkan rawan?

   Nona suci hidup seorang diri

   Hati siapa takkan perih?

   Kasihan kumelihatnya.

   Hancur pilu hati dibuatnya.

   Apakah dayaku, si bodoh hina ini

   Untuk menghibur Teratai suci?

   

   Sajak itu tentu saja dengan amat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang berada di situ memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim-piatu dan bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu bertemu dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta. Akan tetapi, Song Lo-Kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tak pernah bertemu muka kembali. Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan peristiwa itu. Akan tetapi siapa kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu muncul dihadapannya, dengan jalan menerobos kebun! Sementara itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, ia menjadi girang sekali dan wajahnya yang tampan berseri-seri.

   "Aduh, terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkar diriku yang hina ini, Nona Song..."

   

   "Siapa bilang?"

   Bi Li membentak marah.

   "Cia-Siucai, kau lancang sekali! Kau masuk ke sini tanpa permisi dan kau mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?"

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   
"Kedatanganku hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku cinta kepadamu..."

   

   "Tidak! Kurang ajar, pergi kau dari sini!"

   Bi Li membelalakkan matanya yang indah dan mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora hatinya. Cia Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.

   "Song-Siocia, kakekmu sudah menghinaku, sudah menolak pinanganku, kau masih mengusirku pula?"

   Suara ini terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang mendengar ini menjadi pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya. Adapun Bi Li ketika melihat pemuda itu, tiba-tiba berlutut di depannya, dan mengeluarkan kata-kata itu, menjadi makin bingung.

   

   "Cia-Siucai, jangan kau begini! Apa sih yang kau kehendaki?"

   

   "Nona, Kong-kongmu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau sudah bertunangan dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku tidak mau menjadi seorang yang tidak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah kepadaku secara terus terang, Nona apakah betul kau sudah menjadi tunangan orang lain? Betulkah kau sudah bertunangan?"

   

   "Kau peduli apakah dengan itu? Hal itu bukan urusanmu, Cia-Siucai. Sudahlah, kau lebih baik lekas-lekas pergi dari sini."

   

   "Jawab dulu, Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain? Kalau benar demikian, aku Cia Sun bersumpah takkan mau mengganggumu lagi."

   Bi Li tak dapat menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini ia ketahui benar, karena memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan siapapun juga. Akan tetapi, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja tentang pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan. Ceng Si melihat keraguan nonanya maka ia yang mewakili Bi Li menjawab,

   "Sesungguhnya Siocia belum bertunangan Cia-Siucai. Sudahlah, harap kau sudi meninggalkan tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk sekali bagi Siocia?"

   Mendengar ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan ia masih tetap berlutut.

   "Penasaran! Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku? Memang ia membohong dan menolak pinanganku? Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak akan dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-Siocia..."

   Mendengar ini, Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda yang masih berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.

   

   Bi Li tiba di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kong-kongnya tidak ada di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena memang belum memanggil pelayan-pelayan lain. Hatinya berdebar, tidak karuan rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang. Entah mengapa, mengingat betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun yang menjadi rebutan dan mimpi para gadis dusun itu kini bertekuk lutut kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar menggirangkan hatinya. Akan tetapi ia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini yang membuat dia menjadi kebingungan. Tak lama kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.

   "Siocia, bagaimana ini baiknya?"

   Kata pelayan muda dan cantik itu sambil meremas-remas tangan.

   "Dia tidak mau pergi""

   

   "Tidak mau pergi"? Habis bagaimana baiknya"?"

   Bi Li memandang kepada Ceng Si dengan bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.

   

   "Siocia, dia harus dikasihi. Dia betul-betul mencinta kepada Siocia dengan sepenuh hati dan nyawa. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut di sana sampai mati kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian ia bilang kepadaku, Siocia."

   

   Kini air mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga bingung, ditambah rasa takut. Kalau sampai kong-kongnya atau orang lain tahu akan halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger? Bukankah orang lain akan menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya? Sampai lama ia tidak menjawab. Ah, Bi Li memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum pernah mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja terjadi ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya. Begitu ia pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti bisikan mesra,

   

   "Siucai, mengapa kau begitu lemah? Bangunlah, urusan ini dapat diatur bagaimana baiknya. Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu..."

   Mula-mula Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang cantik itu, kemudian setelah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan suara hati Ceng Si. Ia menjadi girang sekali dan memeluk pundak Nona pelayan itu sambil berkata,

   

   "Nona manis yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan kepadaku yang malang ini?"

   Ceng Si pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,

   "Cih, tak tahu malu! Baru saja Siocia pergi, sudah berubah hatinya dan hendak membujuk aku, benar-benar lelaki tidak setia!"

   Cia Sun cepat menjura dan berkata dengan suara memohon,

   "Nona yang baik, siapa orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis? Kasihanilah aku, aku benar-benar lebih baik mati kalau Siociamu tidak mempedulikan aku. Bantulah aku, bujuk Siociamu agar ia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan aku berjanji, kelak kalau aku berhasil menjadi suami Siociamu, kau lah orang pertama yang akan menjadi Ji-Hujin (Nyonya Ke Dua)!"

   Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit,

   "Benar-benarkah janjimu ini? Atau hanya bujukan kosong belaka?"

   

   "Demi langit dan bumi, aku bersumpah kelak kalau aku berhasil menjadi suami Nona Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona... eh, siapa namamu?"

   Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit,

   "Benarkah itu? Namaku, eh, Ceng Si,"

   Jawabnya cepat-cepat.

   

   "Ceng Si nama yang manis."

   Kemudian ia berdongak ke arah langit dar melanjutkan sumpahnya.

   "Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai Ji-Hujin! Nah, langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi Siociamu dan bujuk agar supaya ia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi sedikit tanda mata."

   

   "Baiklah, akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan menuntut balas!"

   Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi Li. Demikianlah, semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar dari Ceng Si bahwa Cia Sun masih berutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi amat terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga ia rela mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.

   

   "Habis, apa yang harus kulakukan, Ceng Si?"

   Kemudian ia bertanya, minta nasihat pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini. Berbeda dengan Bi Li, dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini lebih mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun.

   Ia sudah dapat menduga ke mana maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan Siocianya yang memang amat cantik itu, akan tetapi disamping ini mengandung maksud yang lebih besar, yakni hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-Loya yang kaya-raya! Aku harus berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga Siocia menerimanya dan kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun menyia-nyiakannya, maka akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar Siocia menjadi isterinya agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan kelak akan menjadi nyonya ke dua, akan menjadi Ji-Hujin (Nyonya Ke Dua). Kedudukan nyonya kedua pada masa itu memang cukup tinggi jauh lebih tinggi daripada kedudukan nyonya ke tiga, empat atau ke lima. Apalagi kalau bandingkan dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!

   

   "Siocia, apakah"

   Apakah Siocia juga"

   Suka kepadanya?"

   Wajah Bi Li menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata terbuka lebar. Maksudnya hendak marah, namun ia tidak dapat, karena wajah Ceng Si memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, dan ia sedang bingung dan membutuhkan pertolongan pelayan ini.

   

   "Aku tidak tahu, Ceng Si, aku... tidak tahu..."

   

   "Siocia, Cia-Kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan saja, tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!"

   

   "Aduh, bagaimana kalau Kong-kong datang dan melihat dia di sana?"

   Bi Li ketakutan.

   

   "Apalagi kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-bukan."

   Ceng Si menambah kebingungan Siocianya dengan maksud agar nona majikannya itu terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasihatkan.

   

   Benar saja, mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena bingung dan cemas.

   "Ceng Si, apakah yang harus kuperlakukan? Tolonglah aku, Ceng Si!"

   Pelayan muda yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun maupun Bi Li sudah minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak ia pasti tercapai cita-citanya, menjadi Ji-Hujin yang kaya dan terhormat!

   

   "Siocia, tidak baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula membiarkan dia begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia menghibur hatinya dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!"

   

   "Memberi apa, Ceng Si? Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?"

   Ceng Si berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna kalau memberi barang yang berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari batu giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal itu terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Ia masih belum tahu akan isi hati Cia Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.

   

   "Lebih baik Siocia memberikan saputangan Siocia itu, agar ia merasa bahwa Siocia menaruh kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar ia mau pergi dari kebun."

   Bi Li tentu saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat saputangannya yang tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi tidak ada jalan lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi, lebih celaka lagi!

   

   "Baiklah, kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau pergi."

   

   Ceng Si dengan girang menerima saputangan itu dan membawa benda itu ke kebun, di mana Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding, akhirnya Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak. Demikianlah. Ceng Si menjalankan siasatnya dengan licin sekali. Sampai kebun itu berubah menjadi taman indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan ini mengadakan hubungan dengan Cia Sun. Dengan amat cerdiknya Ceng Si menjaga sedemikian rupa sehingga Bi Li memberi benda-benda tanda mata, membalas surat-surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan Bi Li yang bagaikan seekor lalat terjebak dalam sarang laba-laba berani bersumpah bahwa dia hanya akan bersuamikan Cia Sun! Sampai dua tahun perhubungan ini berjalan diam-diam.

   Memang betul bahwa Bi Li tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis ini teguh menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, namun di dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun. Tentu saja Cia Sun menjadi besar hati, karena biarpun ia pernah ditolak lamarannya oleh Kakek Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak kakek itu meninggal dunia, akhirnya dialah yang akan menjadi suami Bi Li dan menguasai semua harta benda yang besar itu! Akan tetapi, tiba-tiba setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari Kakek Song pulang bersama seorang pemuda yang tampan dan gagah, yang berpakaian sebagai seorang Pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi Li diperkenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya!

   

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kiang Liat setelah berpisah dari suhunya, langsung menuju ke dusun Sui-Chun. Ia sengaja tidak mau pulang dulu ke kotanya di Sian-Koan dan sengaja memakai pakaian seperti Pengemis untuk melihat apakah Kakek Song dan cucunya masih tidak berubah pendiriannya melihat dia sudah menjadi seorang Pengemis. Tidak tahunya, baru saja ia tiba di luar dusun Sui-Chun, ia telah disambut oleh Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini menanti dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan pemuda yang pernah menolongnya itu sudah tiba. Maka begitu melihat Kiang Liat, ia segera berlari menghampiri bersama pelayan-pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan segala kehormatan.

   

   "Kian Taihiap, sudah tiga hari Lohu menanti di sini. Bagus sekali, kau kelihatan, sehat-sehat saja dan lebih gagah!"

   

   "Akan tetapi, aku telah menjadi Pengemis yang miskin, Lopek."

   

   "Ha-ha-ha, dahulu pun aku seorang Pengemis yang lebih miskin daripadamu, Taihiap. Sudah lupa lagikah kau akan hal itu? Marilah, kita bicara di rumah."

   Diam-diam Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tidak berubah sama sekali. Memang ia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan tetapi ia belum melihat bagaimanakah macamnya cucu perempuan kakek ini yang bendak dijodohkan dengan dia? Rumah gedung tempat tinggal kakek itu, sungguhpun untuk di Sui-Chun termasuk paling baik namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di Kota Sian-Koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika memasuki gedung ini.

   

   "Suruh Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang muliai!"

   Kata Song Lo-Kai dengan girang kepada seorang pelayan perempuan. Berdebar hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari dalam, kemudian mulut pintu tersingkap dan muncullah seorang bidadari dalam pandangan pemuda ini. Ia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang Liat ketika ia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik.

   Ia memandang wajah yang cantik jelita itu, yang bibirnya tersenyum manis dengan ramah-tamah, wajahnya yang ayu berseri-seri dan sepasang matanya bersinar-sinar. Memang Bi Li sudah pernah diceritakan oleh kong-kongnya bahwa ketika menghadapi bencana maut kong-kongnya telah ditolong oleh seorang pendekar muda. Tentu saja kini mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kong-kongnya ia harus menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagah. Kiang Liat menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada, memandang bagaikan dalam mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk, timbullah rasa sungkan dan malu kepada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya menjura memberi hormat.

   

   "Bi Li, mengapa kau diam saja terhadap, tuan penolongku? Tidak saja Tuan penolong, dia pun calon suamimu, Nak!"

   Setelah berkata demikian, kakek ini mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas hendak menitikkan air mata saking terharu dan girangnya. Mendengar ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan kedua kakinya terjeblos ke dalam jurang. Kagetnya bukan main dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan tetapi ia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh terus lari ke dalam kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya keluar. Bagi anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan malu, maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.

   

   "Lopek, sungguhpun aku sebatang kara yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah di Sian-Koan. Biarlah aku pulang lebih dulu, baru kemudian aku akan mengirim wakil untuk membicarakan urusan perjodohan ini."

   Kakek Song mengerutkan keningnya dengan khawatir.

   "Akan tetapi kau"

   Kau sudah setuju, bukan?"

   Kiang Liat menjadi merah mukanya, tak dapat menjawab, maka ia hanya menganggukkan kepalanya dengan pasti! Kakek Song tertawa bergelak, lalu dengan suara keras ia memberi perintah pada para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat bagi calon mantunya.

   

   Setelah minum arak dan menerima hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek Song, Kiang Liat lalu berpamit dan sebgai tanda mata, ia meninggalkan Pedangnya. Dengan hati girang pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke Kota tempat tinggalnya. Ia disambut dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang sudah seperti neneknya sendiri saja. Kiang Liat girang karena melihat rumahnya tidak berubah dan tidak terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya. Ia lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali ia bercerita tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-Chun. Inang pengasuhnya girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu mengurus hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-Chun tentang ketetapan hari pernikahan! Sementara itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan menyatakah tidak mau menikah.

   

   "Anak bodoh, usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi? Apakah kau mau menunggu kakekmu mati?"

   Akhirnya Kakek Song berkata lemas. Bi Li menubruk kakeknya.

   "Tidak demikian Kong-kong, akan tetapi aku"

   Belum suka menikah..."

   

   "Bi Li, jangan kau membikin bingung dan susah hati kong-kongmu. Perjodohan ini sudah kujanjikan kepada Kian-Taihiap setahun yang lalu. Sebentar kalau utusannya datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan baik kau tak boleh berkeras kepala lagi kecuali kalau kau suka melihat kong-kongmu mampus saking jengkel dan susah."

   Bi Li tak dapat menjawab hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak. Pada saat itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada Kakek Song untuk keluar. Kakek ini terheran akan tetapi ia menurut saja. Akhirya mereka bicara di dalam ruangan belakangnya dan tak seorang pun pelayan lain boleh mendekati mereka.

   

   "Ceng Si, ada apakah? Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!"

   Kakek Song berkata kurang senang. Ceng Si berlutut.

   Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mohon beribu ampun Lo-ya. Sesungguhnya saya sudah berusaha banyak untuk mencegah terjadi hal ini, akan tetapi apa mau dikata, sebelum saya menjadi pelayan di sini, hal itu sudah terjadi."

   

   "Hal ini, hal itu, apa maksudmu? Bicaralah yang jelas!"

   Kakek Song membentak dengan hati kurang enak.

   

   "Siocia tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan hati sendiri."

   

   "Apa? Kau tahu akan hal ini dan tidak memberitahukan kepadaku? Berani betul kau membiarkan Siociamu merusak nama baik keluarganya? Jahanam benar..."

   Wajah Kakek Song menjadi pucat sekali.

   

   "Tidak demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Biarpun Siocia sudah mempunyai pilihan hati, namun Siocia tak pernah bertemu dengan dia, hanya berkirim-kiriman saja dan sebagainya."

   

   "Bedebah"!"

   

   "Kalau Loya benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi mempertimbangkan keadaan Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka mendengar penuturan saya dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia pindah ke sini, memang diantara Siocia dan pemuda itu sudah ada pertalian batin yang erat. Mereka saling mencinta dan saling bersumpah takkan menikah dengan orang lain. Adapun menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda terpelajar yang amat sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya tidak kalah oleh Kiang-Taihiap. Siocia pasti akan hidup berbahagia selama hidupnya kalau Loya membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-Taihiap dan sebaliknya menjodohkan Siocia dengan pilihan hatinya sendiri."

   

   "Cukup, tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa? Siapakah adanya jahanam yang berani menggoda cucuku itu? Hayo katakan siapa dia?"

   

   "Dia adalah seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-Hiang."

   Kakek Song termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. Kemudian ia menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur Siocianya.

   

   "Katakan kepada Siociamu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik,"

   Katanya. Kakek ini teringat akan pemuda she Cia yang pernah melamar Bi Li, dan menurut penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, ia sudah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang gagah agar kelak dapat melindungi cucunya itu. Kakek Song sendiri adalah seorang ahli silat dan biarpun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu akan manfaat kegagahan pada jaman itu. Apalagi sekarang ia telah menjodohkan cucunya kepada Kiang Liat seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolongnya dan yang amat dikaguminya, apalagi karena pemuda itu kini menjadi murid dari seorang sakti.

   

   "Sungguh menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana ia masih berani mengganggu Bi Li? Ada maksud apakah sebenarnya dengan pemuda she Cia itu?"

   Demikian Kakek Song berpikir-pikir.

   Kemudian ia mendapatkan akal. Ia maklum akan keadaan keluarga Cia yang miskin, maka didatangilah rumah keluarga Cia di dusun Lee-Hiang. Ia disambut oleh Janda Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah dan penuh penghormatan, sebagaimana biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun yang miskin. Kakek Song minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia dapat menduga bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li, sedangkan ia belum mendapat berita apa dari Ceng Si selama beberapa hari ini. Hatinya gelisah sekali, namun ia menghadap Kakek Song dengan sikap sopan dan memberi hormat sebagaimana mestinya.

   

   "Kedatanganku ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan cucuku,"

   Kata Kakek Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun. Tentu saja Nyonya Cia tidak tahu akan kelakuan puteranya maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.

   

   "Cia-Hujin, seperti kau tentu masih ingat, pinangan puteramu terhadap cucuku sudah kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba untuk berhubungan dengan cucuku. Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai sekarang, kuperingatkan agar puteramu ini jangan sekali-kali berani menghubunginya. Ingat bahwa ia sudah bertunangan."

   

   "Hal itu tidak betul,"

   Cia Sun memotong.

   "Aku mendengar bahwa Song Siocia belum bertunangan."

   

   "Hemm, begitukah?"

   Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol sekali.

   "Itu hanya dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kian di Kota Sian-Koan dan dalam beberapa pekan ini pun akan dilangsungkan pernikahannya. Oleh karena itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apabila kau mencoba untuk berlaku tidak patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan kekerasan atau akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu. Sebaliknya, kalau kau berjanji tak mengganggu dan mendekatinya lagi, orang she Song akan berterima kasih sekali dan takkan melupakan kebaikan ini. Nah, biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian sehingga tak perlu keluar rumah."

   Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak dan meletakkan itu di atas meja yang reot di depan Nyon Cia. Nyonya janda Cia terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih dan berkata kepada Kakek Song,

   "Song-Loya, harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan. Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi ke sana. Terima kasih banyak atas hati Song-Loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima kasih kepada Song-Loya."

   Cia Sun menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa menjura dan mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi puas dan segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya. Cia Sun menjatuhkan diri di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya. Hancurlah cita-citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh harta benda itu!

   

   "Anakku, bagaimana sih kau ini? Song-Siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana katak bisa mencapai bulan? Kau benar-benar lancang dan sembrono sekali berani mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa Song-Loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya daripada marah kepada kita, ia memberi peringatan dengan halus dan malah memberi uang begini banyak."

   Namun Cia Sun masih terbenam dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang sekantung ini dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya? Ia memutar-mutar otak mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri,

   

   "Hanya Ceng Si yang akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku... kekasihku... sebenarnya kau lah yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku merasa tak berdaya..."

   

   Adapun Kakek Song yang pulang ke rumah gedungnya, diam-diam menyuruh beberapa orang pelayan untuk mengamat-amati dan menjaga agar jangan sampai ada orang luar bisa masuk ke dalam taman dan agar supaya mengusir setiap orang muda yang mendekati tembok sekitar gedung dan pekarangannya. Dengan penjagaan ini, maka baik Cia Sun maupun Ceng Si sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk saling bertemu atau menyampaikan berita. Sementara itu, sepekan kemudian, datanglah utusan dari Sian-Koan, dan Kakek Song terkejut bercampur girang bukan main, juga ia merasa heran sekali. Utusan yang datang itu adalah seorang setengah tua yang berpakaian mewah, datangnya membawa sebuah kereta penuh dengan barang-barang berharga. Tadinya Kakek Song mengira bahwa yang datang ini tentulah seorang saudagar kaya, akan tetapi ia menjadi melongo ketika tamu ini memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Kiang di Sian-Koan!

   

   "Saya datang atas perintah dari Kiang-Kongcu untuk membawa sekedar hadiah bagi Song-Siocia, dan juga untuk membicarakan tentang hari pernikahan,"

   Kata utusan itu. Ketika barang-barang hadiah itu dibongkar, semua orang terheran-heran dan kagum bukan main. Lima belas kayu kain Sutera yang paling halus dan mahal dan yang jarang sekali dilihat oleh orang-orang seisi rumah, lima buah barang ukiran dari perak yang amat indahnya, untuk hiasan dinding kamar, empat peti besar terisi kain-kain untuk muili, kelambu, dan lain-lain keperluan rumah tangga, sekantung uang emas dan sekantung pula uang perak,

   Kemudian yang terakhir, sebuah hiasan rambut terbuat dari emas dan dihiasi batu kemala yang amat indahnya, berbentuk seekor kupu-kupu yang hinggap di atas setangkai bunga Cilan. Jangankan para pelayan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak dan menahan napas, bahkan Kakek Song sendiri sampai melongo. Hanya orang yang kaya-raya, yang jauh lebih kaya daripada dirinya sendiri, yang akan dapat mengirimkan hadiah kepada calon pengantin seroyal ini. Ia segera menjamu tamu itu dan dari tamu ini ia mendapat keterangan bahwa Kiang-Kongcu adalah ahli waris satu-satunya dari keluarga Kiang yang amat terkenal kekayaannya. Juga ia mendengar bahwa nenek moyang Kiang Liat adalah orang-orang ternama belaka, bangsawan-bangsawan tinggi yang bernama besar. Maka bukan main girangnya hati Kakek Song mendengar ini.

   Mereka mengobrol sambil minum arak dan makan hidangan yang mahal, kemudian utusan itu menyampaikan pesan dari Kiang-Kongcu tentang hari pernikahan yang akan dilangsungkan dalam bulan itu juga. Sementara itu, Ceng Si yang cerdik segera mendengar bahwa pemuda she Kiang yang dahulu berpakaian sebagai orang Pengemis itu, ternyata seorang pemuda yang kaya-raya, lebih kaya dari pada keluarga Song sendiri! Apalagi setelah ia melihat barang-barang hadiah yang dibawa oleh utusan keluarga Kiang, hatinya berdebar dan matanya yang indah itu berseri-seri. Diam-diam ia meremas-remas tangan sendiri dan mengatur siasat. Kemudian ia berlari menuju ke kamar Bi Li, diikuti oleh para pelayan yang memanggul barang-barang hadiah itu, karena Kakek Song memberi perintah agar supaya barang-barang itu langsung dibawa ke kamar Bi Li.

   

   "Siocia, Kionghi!"

   Ceng Si berseru sambil memeluk nona majikannya.

   

   "Ceng Si, apakah kau gila? Aku lagi berduka, kau datang-datang memberi selamat."

   

   "Kionghi, Siocia! Tidak tahunya, pemuda she Kiang yang kelihatan seperti Pengemis itu, ternyata adalah seorang pangeran!"

   

   "Apa katamu? Seorang pangeran?"

   Bu Li menggerakkan alis karena terheran-heran.

   

   "Lihat saja, lihat saja barang-barang hadiahnya!"

   Pintu terbuka dan mengalirlah barang-barang itu memasuki kamar. Bi Li juga kagum sekali melihat benda-benda mahal itu, apalagi melihat hiasan rambut yang indah sekali itu, ia benar-benar amat suka, hanya merasa malu untuk menjamahnya. Ia hanya duduk dan melihat satu demi satu semua benda itu yang diambil dari tempatnya oleh Ceng Si. Gadis pelayan ini sambil memamerkan benda-benda itu, tiada hentinya bercakap-cakap.

   

   "Siocia, kau benar-benar berbahagia sekali. Memang orang baik selalu mendapat perlindungan dengan Thian. Siapa kira pemuda berpakaian tambalan itu ternyata adalah seorang yang kaya-raya, yang jauh lebih kaya daripada Song-Loya sendiri? Lihatlah, begini indah dan mahalnya barang-barang ini."

   

   "Ceng Si, aku bukan seorang yang haus akan benda-benda indah dan mahal."

   

   "Akan tetapi orangnya pun amat gagah dan tampan! Siocia, terus terang saja, kalau diingat-ingat, Kiang-Kongcu itu malah lebih tampan daripada... pemuda she Cia itu. Dan tentu saja jauh lebih gagah, ingat saja, ia pernah menolong nyawa Song-Loya!"

   

   "Ceng Si!"

   Bi Li membentak dan mukanya menjadi pucat.

   "Aku bukan seorang yang begitu mudah lupa akan sumpah sendiri!"

   

   "Siocia, dalam hal ini kita harus jangan menurutkan perasaan dan nafsu sendiri. Ingatlah dan pertimbangkan masak-masak. Memang betul Siocia sudah bersumpah, namun semua itu dilakukan dalam keadaan melamun dan tidak sadar. Siocia bersumpah tidak di depan Cia-Kongcu dan hubungan kalian juga hanya dengan surat-surat sajak belaka. Sebaliknya, cobalah pikir baik-baik. Pemuda hartawan dan gagah perkasa she Kian itu, pertama-tama dia sudah menolong nyawa kong-kongmu, kedua kalinya dia memang patut menjadi suami Siocia karena ia memang tampan dan gagah sekali, ketiga kalinya, ia seorang hartawan besar, jadi seribu kali lebih cocok dari pada Cia-Siucai yang miskin itu."

   

   "Ceng Si...! Aku... aku kasihan kepadanya, juga karena ia tidak berdaya dan miskin."

   Berseri wajah Ceng Si, memang inilah yang dinanti-nanti.

   "Kalau begitu, Siocia, mudah saja untuk menolongnya! Dia miskin, membutuhkan uang. Kalau Siocia selalu memberi sesuatu yang berharga kepadanya, bukankah itu berarti sudah menolongnya?"

   

   "Ceng Si, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau aku sudah menjadi isteri orang lain, bagaimana aku sudi dan berani mengadakan hubungan dengan laki-laki lain?"

   

   "Mudah saja Siocia. Kalau aku Ceng Si yang bodoh selalu menjadi pelayan pribadi Siocia, selalu berada di samping Siocia, apa sih sukarnya? Kalau Siocia masih selalu menolong pemuda she Cia itu, pendeknya mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan kalau perlu membiayai dia melanjutkan pelajarannya, di Kota Raja, bukankah itu berarti bahwa Siocia mempunyai pribudi yang tinggi?"

   Bi Li berpikir dan ia berkali-kali menarik napas panjang.

   "Akan tetapi aku khawatir sekali, Ceng Si. Surat-suratku banyak yang berada di tangannya! Kalau kelak... orang yang menjadi suamiku mengetahui akan hal ini, bukankah ini akan mendatangkan malapetaka hebat!"

   Di dalam hatinya, Ceng Si tersenyum seperti iblis. Akan tetapi pada wajahnya yang manis itu, tersungging senyum manis yang penuh hiburan.

   "Jangan khawatir, Siocia. Akulah yang akan minta kembali semua tulisan-tulisan itu."

   Akhirnya Bi Li dapat dibujuk dan dihibur. Gadis ini mengeluarkan surat-surat dari Cia Sun yang tadinya disimpannya, menyerahkan semua surat itu kepada Ceng Si dengan perintah agar semua surat ini dibakar. Ceng Si memang melakukan perintah ini, akan tetapi tidak semua surat dibakarnya, ada beberapa helai yang diam-diam ia sembunyikan dan simpan. Dua helai surat dari Cia Sun ini merupakan senjataku yang paling ampuh terhadap Song-Siocia, pikirnya. Kita tunda dulu dan membiarkan nona Song Bi Li melamun tentang pernikahannya yang dihadapi, dan mari kita mengikuti peristiwa lain yang amat hebat.

   

Pendekar Sakti Eps 35 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 15 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 21

Cari Blog Ini