Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 7


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




   
"Perlahan dulu, tukang dapur!"

   Hek Mo-ko membentak dan bersama Pek Mo-ko, ia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biarpun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama. Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam melihat dua orang kawannya didesak. Ia melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum ia dapat membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan sepasang Pedang.

   Temyata bahwa Bi Sian-Li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-Te Sam-Kauwcu telah turun tangan! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya daripada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin telah terdesak hebat, terkurung oleh sepasang Pedang dan keselamatannya terancam sekali! Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid Thian-Te Sam-Kauwcu saja yang maju, pihaknya telah terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-Kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-Te Sam-Kauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya takkan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.

   

   "Maju...! Serbu dan rampas Kitab dan Pedang!"

   Hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lin-pai dan Kun-Lun-Pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing. Hek-Te-Ong tertawa bergelak.

   "Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan hidup seorang juga! Kalau kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!"

   Pihak Mo-Kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguhpun hatinya amat mendongkol.

   

   "Benar-benarkah Kwan Cu berubah menjadi seorang pengecut yang tak tahu malu?"

   Pikirnya. Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi.

   "Tar! Tar! Tar!"

   Dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-Kauw roboh menjerit dan bergulingan untuk menghadapi maut! Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su berbisik dekat telinganya,

   "Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kau robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat wanita yang berbaju biru memegang Pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!"

   Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng, maka sekali ia melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.

   

   "Jahanam An, mampuslah kau!"

   Cambuknya menyambar hebat, mengeluarkan bunyi yang keras sekali. An Kai Seng yang diserang secara mendadak, kaget bukan main. Ia bukan seorang lemah dan cepat Pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan. Pedang An Kai Seng dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung cambuk menotok jalan darahnya satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan roboh tak bernapas lagi.

   "Perempuan jahat, kau berani mencelakai suamiku!"

   Wi Wi Toanio menjerit dan mengirim tikaman dengan Pedang. Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya. Gemas mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri musuh besamya,

   Yakni An Kai Seng keturunan An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayun cambuk hendak memberi pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang ke belakang dan di depannya berdirilah Hek-Te-Ong dengan senjatanya yang aneh di tangan, yakni sebuah penggada kepala biruang! Sambaran senjata ini saja sudah dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mo-Kauw ini. Akan tetapi Sui Ceng memang tak pemah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan ekor ular dan ia menyerang Hek-Te-Ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya. Diam-diam Hek-Te-Ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini, akan tetapi karena memang ia telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin,

   Ia dapat menghadapi Bu Sui Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng. Sementara itu, Kiang Liat yang tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya tingkat kepandaiannya menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua pihak berperang tanding tanpa memilih jago, segera mencabut Pedangnya dan menyerbu. Ia paling benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pemah mengganggunya. Apalagi kalau ia teringat akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti Siluman ini pemah berjanji untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok Pok Sianjin.

   

   "Eh, bocah she Kiang, kau masih belum mampus?"

   Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat mengejek dan Pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat. Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biarpun Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun Kiam-Hoat dari orang muda ini tak boleh dibilang lemah. Pek Hoa Pouwsat gemas sekali. Dicabutnya sehelai saputangan dari saku bajunya. Melihat saputangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.

   

   "Locianpwe, awas saputangan beracun itu...!"

   Katanya. Akan tetapi terlambat, sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat mengebutkan saputangannya. Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang,

   "Perempuan keji!"

   Dan tiba-tiba saputangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat, terdengar suara "tak!"

   Dan patahlah Pedang di tangan kiri perempuan itu! Pek Hoa Pouwsat menjadi pucat dan ia melompat jauh ke belakang, mulutnya memaki-maki,

   

   "Bu Pun Su, lain kali kubunuh kau..."

   Memang Bu Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio, terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk konde untuk mempengaruhinya, ia takkan berdaya.

   Maka cepat-cepat Bu Pun Su pergi dan mengintai dengan hati gelisah. Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, ia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio. Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lalu menerjang maju. Pertama-tama ia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja menjadi korban saputangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat. Setelah itu, ia lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-Kauw beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa melihat siapa yang merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su Pendekar Sakti.

   

   "Tahan semua senjata! Thian-Te Sam-Kauwcu, kalau kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!"

   Mendengar ini dan melihat betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Hek-Te-Ong lalu memberi aba-aba untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali. Mereka yang terluka, baik dari pihak Mo-Kauw maupun dari anak-anak buah Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai, ditolong oleh kawan-kawannya dan ditarik ke belakang untuk diobati.

   

   "Bu Pun Su, kenapa kau baru muncul?"

   Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su. Pendekar itu tersenyum, mengejapkan mata kepadanya.

   "Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,"

   Kata Bu Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-Te Sam-Kauwcu yang berdiri tegak dengan muka merah.

   

   "Bu Pun Su, kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat dan pemimpin,"

   Kata Hek-Te-Ong.

   

   "Hek-Te-Ong, tenang dulu! Kau dan dua orang Sutemu dari Barat mengacau di Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-Kauw yang bodoh dapat kalian tipu sehingga mereka mudah saja kalian jadikan boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja bahkan kalian telah mengganggu Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai, mencuri Kitab dan Pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung jawab."

   

   "Apa kehendakmu?"

   Tanya Hek-teong.

   

   "Tidak banyak, hanya dua macam. Pertama kau hanya mengembalikan Kitab kepada Siauw-Lim-Pai dan Pedang kepada Kun-Lun-Pai, disertai pernyataan maaf atas kekurangajaranmu. Kedua, kau dan dua orang Sutemu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke Barat tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan di sini."

   

   "Ha-ha-ha, kau sombong sekali. Apa kau kira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan suara Suling?"

   Bu Pun Su tersenyum dan mencabut Suling yang terselip di pinggangnya.

   "Suling ini memang biasa untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi adakalanya dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-Te-Ong, daripada kita semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan tetapi kalau jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!"

   

   "Manusia sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!"

   Yang berkata demikian adalah Pek-In-Ong tokoh ke dua dari Mo-Kauw yang tinggi kurus seperti tengkorak. Dengan senjatanya sepasang Roda yang lihai sekali, Pek-In-Ong langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya berpUtaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.

   

   "Bagus, aku pemah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,"

   Kata Bu Pun Su yang dengan amat sederhana dan mudah mengelak dari serangan orang. Pek-In-Ong mendesak terus dan sepasang Rodanya menyambar-nyambar mencari lowongan, siap untuk mencabut nyawa Bu Pun Su.

   Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari Kitab sakti Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, dan pendekar ini telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat. Oleh karena itu, dengan mudah saja ia dapat melihat setiap gerakan Roda lawan, tahu ke mana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk menghindarkan diri. Selain ini, di dalam tubuhnya mengalir Sin-kang (Hawa Sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam Sin-kang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apalagi setelah selama ini ia bertapa tekun bersamadhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka ia memiliki kekuatan lahir batin yang menakjubkan.

   

   Biarpun senjatanya hanya sebatang Suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap kali Roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan Suling, Roda itu terpental kembali dan beberapa kali Roda itu akan menghantam kepada Pek-In-Ong sendiri. Para tokoh yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguhpun mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, namun kembali mereka terheran-heran dan kagum sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang Suling bambu dapat mempermainkan Pek-In-Ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-In-Ong memiliki kepandaian yang amat tinggi! Pek-In-Ong sendiri terheran-heran.

   Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan Roda-Rodanya dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi sia-sia belaka, bahkan ketika ia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang Rodanya yang susul-menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat Sulingnya. Tepat sekali Suling itu masuk ke dalam Roda, diputar-putamya Suling itu sehingga Rodanya ikut berputar lalu Roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-In-Ong! Pek-In-Ong terkejut, cepat mengulur tangan menyambut Rodanya sendiri. Akan tetapi ia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini mengibaskan tangannya dan... Roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-In-Ong yang terjengkang.

   

   "Plak!"

   Kaki kanan Pek-In-Ong terkena pukulan Rodanya sendiri.

   

   "Aduh... aduh...!"

   Semua orang hampir tak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-In-Ong berloncat-loncatan dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan main sakitnya. Setelah berloncat-loncatan beberapa kali meringis-ringis, Pek-In-Ong roboh pingsan! Hek-Te-Ong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah. Matanya menjadi merah seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk beracun.

   

   "Semua mundur jauh-jauh!"

   Teriaknya kepada kawan-kawannya. Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi ada beberapa orang anak buah Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba terbatuk-batuk dan roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!

   

   "Keji sekali kau, Hek-Te-Ong!"

   Seru Bu Pun Su marah, dan ia lalu menggerakkan kedua lengan, melakukan pukulan Pek-In Hoat-Sut yang mengeluarkan uap putih dan segera semua bubuk berwama itu terusir kembali menghantam ke arah rombongan Hek-Te-Ong sehingga orang-orang Mo-Kauw itu menjadi kocar-kacir!

   

   "Bu Pun Su mampuslah kau!"

   Teriak Hek-Te-Ong dan senjatanya menyambar laksana kilat. Menghadapi senjata penggada kepala biruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia menyelipkan Sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang Pedang yang berkilauan cahayanya. Inilah Pedang Pusaka Liong-Coan-Kiam, Pedang Pusaka yang ia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!

   

   Sambaran senjata di tangan Hek-Te-Ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini. Bu Pun Su pernah mengamuk ketika ia dahulu di waktu muda menghadapi Kam Ki Sianjin dan kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi tandingan yang benar-benar tangguh. Kepandaian Hek-Te-Ong masih mengatasi kepandaian Ang-Bin Sin-Kai bahkan masih lebih ganas dan berbahaya daripada kepandaian Kiu-bwe Coan-li dan yang lain-lain! Namun, Bu Pun Su sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan, ilmu silat Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng sudah mendarah daging kepadanya.

   Gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa Sin-kang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah melindungi seluruh anggauta tubuh. Bahkan dalam menghadapi Hek-Te-Ong, pendekar sakti ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-Kauw ini. Seratus jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-Te-Ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya, dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini ia barengi dengan pukulan penggadanya, disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai! Manusia biasa saja mana mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari yang semuanya dapat merampas nyawa ini?

   Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada keduanya. la maklum bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu dengan tenaga Khi-kang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, kemudian tangan kirinya menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai mengenai dada dan perutnya. Akan tetapi, Pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan. Dalam satu detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-Te-Ong tepat menendang perut dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, sebaliknya tubuh Hek-Te-Ong terpental ke belakang. Penggada itu terkena babatan Pedang, putus bagian leher kepala biruang dan kepala biruang itu sendiri meluncur ke bawah amat cepatnya dan...

   Terdengar suara keras kepala biruang itu mengenai kepala Pek-In-Ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-In-Ong pecah bersama kepala biruang itu. Melihat ini, Hek-Te-Ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng seperti binatang buas, ia menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor biruang menerkam. Bu Pun Su tak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan Pedangnya. Cepat ia membanting Pedang sehingga menancap di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan. Dua pasang tangan yang amat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti mengadu tenaga Lwee-kang, karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa Lwee-kang yang disalurkan.

   

   "Krek... krek... krek...!"

   Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-Te-Ong menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu roboh dengan jari-jari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah tidak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok. Ternyata bahwa dalam adu tenaga Lwee-kang tadi, ia terkena pukulan hawa Lwee-kangnya sendiri yang membalik karena tidak dapat menahan Sin-kang yang mengalir keluar dari jari-jari tangan Bu Pun Su. Bu Pun Su menarik napas panjang.

   "Siancai... siancai..."

   Katanya perlahan.

   "Hek-Te-Ong dan Pek-In-Ong binasa karena kehendak Tuhan""

   Cheng-Hai-Ong berdiri pucat. Ia marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apalagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja dan ia lalu maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.

   

   "Bu Pun Su, kau telah menewaskan kedua orang Suhengku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu mengadu nyawa."

   "Aku tahu dan aku bersedia, Cheng-Hai-Ong,"

   Jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk membunuh orang.

   "Kedua Suhengku mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu. Apalagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?"

   Bu Pun Su tersenyum dingin,

   "Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima."

   

   "Bagus!"

   Tiba-tiba sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-Hai-Ong lenyap, berganti dengan sikap yang gembira dan sinar mata yang kejam! "Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, kiranya takkan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Bu Pun Su, aku disebut orang Cheng-Hai-Ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit kepandaian yang kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air daripada di atas bumi. Oleh karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air sungai ini!"

   Ia menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat datam. Biarpun di dalam hatinya Bu Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya demikian licik dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun nampak rasa gelisah atau takut. Ia bahkan tersenyum dan berkata,

   

   "Cheng-Hai-Ong, aku sama sekali tidak ingin mencelakai siapapun juga. Sekarang kedua Suhengmu telah tewas karena kesalahan mereka sendiri. Kalau kau mengembalikan Kitab dan Pedang secara sukarela kemudian kau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu kami, juga melepaskan Mo-Kauw dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan menantangku, tidak tahu kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk bertempur?"

   Cheng-Hai-Ong sebenamya memang gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biarpun ia yakin bahwa di dalam air, ia akan lebih unggul akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, biarpun di dalam air atau di lautan api sekalipun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh. Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,

   

   "Bu Pun Su, pertama-tama aku menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat siapa di antara kita yang lebih pandai."

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawab agar tidak memberi kesempatan membantah kepada Bu Pun Su, orang ke tiga dari Thian-Te Sam-Kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam Sungai Yalu Cangpo. Semua orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk melihat.

   Mereka menjadi kagum sekali dan di sana-sini terdengar seruan memuji. Memang kepandaian Cheng-Hai-Ong hebat. Lain orang kalau ingin terapung di air, tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat sebagian tubuh saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian dengan Cheng-Hai-Ong. Entah bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja! Lutut itu bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak secara istimewa sehingga tubuhnya dapat tegak di permukaan air, dan tangan kanan Cheng-Hai-Ong sudah memegang senjatanya yang luar biasa, yakni rantai dengan ujungnya tengkorak manusia! Orang ini tertawa mengejek sambil memandang ke arah Bu Pun Su!

   

   "Bu Pun Su, beranikah kau turun ke sini?"

   Tantangnya dengan nada suara mengejek.

   

   "Kwan Cu, jangan kena terjebak oleh tipu muslihatnya!"

   Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian dengan suara keras dan mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-Hai-Ong, ia membentak keras.

   "Cheng-Hai-Ong, manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam air. Kami bukan sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana kami sudi melayanimu di air, kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke darat dan kau boleh mencoba rasanya cambukku ini sebelum bangkaimu kulemparkan ke dalam air."

   Bu Pun Su tersenyum.

   "Air Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama masih ada nelayan, kita takut apakah?"

   Tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, ke air sungai yang demikian lebar dan dalam! Semua orang melongok ke bawah, kawan-kawan Bu Pun Su amat khawatir karena mereka belum pernah mendengar bahwa pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo, bahkan pihak Mo-Kauw yang menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak berani bernapas. Apakah yang mereka lihat? Bu Pun Su telah melompat dan tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak sukar sama sekali, tersenyum-senyum dan enak saja menghadapi Cheng-Hai-Ong yang menjadi pucat. Ini tak mungkin, pikir Cheng-Hai-Ong.

   Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa berdiri tanpa bergerak di permukaan air seperti sehelai daun kering, adalah hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, ia masih percaya karena seorang yang ginkangnya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya dapat melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak? Kemudian, tiba-tiba Cheng-Hai-Ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu. Ketika ia dan Suheng-Suhengnya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan air, akan tetapi tidak kelihatan siapapun juga. Apakah tak mungkin ada orang pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah membantu Bu Pun Su dan menyangga kedua kakinya?

   

   "Jahanam, jangan main sembunyi, keluarlah kalau laki-laki!"

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru Cheng-Hai-Ong dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun Su! Bu Pun Su menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.

   

   "Kong Hwat, kau lawanlah dia ini, sama-sama setan air!"

   Kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi. Terdengar suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su "berdiri"

   Di atas air, muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi sepasang matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja dari rambutnya tidak menetes-netes turun air sungai, tentu orang akan melihat air matanya bercucuran!

   

   "Dia Nelayan Cengeng!"

   Seru Sui Ceng dan ia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah tahu bahwa Nelayan Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini? Adapun Cheng-Hai-Ong ketika melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su, menjadi marah sekali. Ia menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi, tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap lagi ke bawah permukaan air. Tiba-tiba nampak Cheng-Hai-Ong meronta-ronta dan memaki-maki.

   Senjatanya bergerak memukul ke bawah, akan tetapi tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian, dua orang "setan air"

   Itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat. Bu Pun Su memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo. Dua orang kenalan lama itu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su hendak menghadapi orang-orang Mo-Kauw yang dipimpin oleh Thian-Te Sam-Kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan sukarela ikut ke tempat itu. Akan tetapi ia tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari sungai, mendayung perahu kecilnya,

   Kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggauta Mo-Kauw mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang. Sementara itu, orang-orang Mo-Kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka telah tewas, menjadi marah sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga kembali terjadi perang tanding hebat antara orang-orang Mo-Kauw melawan orang-orang Siauw-Lim dan Kun-Lun. Adapun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-Kauw yang berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat dan tokoh-tokoh Siauw-Lim dan Kun-Lun.

   

   Pertandingan ini tidak seimbang. Setelah Thian-Te Sam-Kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak Mo-Kauw kalah jauh, apalagi kalau Bu Pun Su ikut membantu kawan-kawannya. Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah sungai. Pergumulan di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-Hai-Ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini antara dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan. Sebetulnya, kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-Hai-Ong masih lebih unggul dan kiranya Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini memang cerdik.

   Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat, melainkan menanti di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tak usah takut terhadap siapapun juga. Biarpun kini ia menghadapi Cheng-Hai-Ong yang lihai, namun ternyata setelah mereka bertanding di dalam air, Cheng-Hai-Ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu. Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga Lwee-kang tidak begitu ampuh lagi setelah orang berada di dalam air, apalagi segala macam senjata rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-Hai-Ong, sama sekali jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan kekuatan bertahan napas.

   

   Dalam hal ini pun Cheng-Hai-Ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Kalau mereka berdua bertanding kekuatan menahan napas di dalam air kiranya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan tetapi, setelah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya hampir kehabisan napas diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang. Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini ujungnya ia masukkan mulut dan pipa alang-alang yang panjang itu timbul di permukaan air ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya. Kemudian, dengan leluasa ia dapat berganti hawa dan bernapas melalui pipa kecil itu! Dengan akal ini, tidak heran apabila tak lama kemudian, ia dapat menggempur dada Cheng-Hai-Ong dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat!

   Cheng-Hai-Ong yang napasnya memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang. Kong Hwat sendiri cepat naik dan menyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari tempat itu. Para anggauta Mo-Kauw melihat pula tubuh Cheng-Hai-Ong yang sudah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka makin kalut. Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa. Tiba-tiba terdengar pekik nyaring,

   "Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!"

   Seorang wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su. Pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,

   

   "Semua kawan tahan senjata!"

   Bun Sui Ceng yang lain-lain heran sekali dan melompat mundur. Beberapa orang Siauw-Lim dan Kun-Lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tidak mau mundur karena selagi mereka menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti? Tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di depan mereka dan tahu-tahu senjata di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Terpaksa mereka melompat mundur dengan kaget, dan makin heranlah mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!

   

   "Wi Wi, lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih akan dapat mentaati permintaanmu."

   Kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.

   "Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu pergilah!"

   Kata Bu Pun Su dengan suara kaku dan muka pucat. Semua orang menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia melangkah maju dan cambuknya berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah Wi Wi Toanio! Akan tetapi, sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Darah mengucur dari kulit yang pecah terkena cambuk!

   

   "Ayaaa...!"

   Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali.

   "Kwan Cu, apakah kau sudah gila?"

   Ia memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam.

   "Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini..."

   Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apalagi suaminya sudah meninggal dan perlu diurus.

   Dapat menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekali, karena ia maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-Kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang. Hek Pek Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu? Setelah pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tak dapat menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,

   

   "Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-Kauw itu perlu dibasmi, mengapa kau bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?"

   

   "Thian-Te Sam-Kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-Kauw. Sebelum muncul Thian-Te Sam-Kauwcu, antara kita dan pihak Mo-Kauw memang tidak ada permusuhan sesuatu, mengapa kita harus terlalu mendesak?"

   Kata Bu Pun Su. Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-Lim-Si serta Kun-Lun-Pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan Pedang telah dapat dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-Te Sam-Kauwcu, sudah tewas. Mengapa harus memperbesar permusuhan dengan Mo-Kauw yang sebetulnya hanya diperalat oleh Thian-Te Sam-Kauwcu? Maka setelah mengambil benda Pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-Lim-Si dan Kun-Lun-Pai lalu meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggauta-anggauta yang terluka.

   

   Berturut-turut Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio. Bu Pun Su tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan kadang-kadang menundukkan mukanya. Memang di antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau terbayang (baca kisah Pendekar Sakti).

   

   "Sui Ceng, kau ternyata masih keras hati seperti dulu. Sebetulnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!"

   

   "Kwan Cu,"

   Kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi kepada bekas tunangannya, yakni The Kun Beng.

   "kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dahulu sudah beku terhadap laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah mahluk yang tak dapat dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri."

   Tentu saja Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini tidak terasa lagi olehnya.

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Ang I Niocu (Seri ke 02 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Memang Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kau anggap sebagai hukuman atas perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi melukai hati Kwan Cu... benar-benar kau telah berdosa!"

   Kata-kata ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya. Mendengar kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit.

   "Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji lagi..."

   Sui Ceng dan Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.

   

   "Sui Ceng kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio. Isteri dari An Kai Seng. Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu laki-laki tunggal yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang aneh tadi."

   Kemudian ia menceritakan betapa ia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang amat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan perhubungan dengan isteri orang!

   

   "Nah, sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk Lu Kwan Cu sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!"

   Setelah berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih bergema dari tempat jauh.

   Setelah meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai kepada isterinya, juga amat rindu kcpada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka! Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang suatu apa. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat di mana kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, ia merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapapun dan tahu-tahu ia akan tidur di atas pembaringan di dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ?

   

   Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang dan ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri? Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang-kadang amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil! Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, sebaliknya seorang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata "tidak adil"

   Dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya. Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak.

   

   Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap "sengsara"

   Atau "menderita"

   Dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tak dapat diubah pula oleh siapapun juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik. Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang akan menghancurkan hidupnya sendiri!

   

   Kiang Liat tak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah, Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya. Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!

   

   "Ceng Si, kau dan Cia Sun benar-benar keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Mengapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan dia, sebaliknya kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi kau minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Darimana aku bisa mendapatkan uang itu?"

   Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia menahan napas, mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Semenjak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap isterinya?

   

   "Nyonya muda mengapa begitu pelit? Kalau tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi menikah dengan Siucai miskin itu? Di waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani Siucai bekas kekasih nyonya muda itu."

   

   Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan tetapi baiknya ia dapat menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan. Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dahulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya. Akan tetapi kalau ia ingat betapa semua perhiasan isterinya tak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ah, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si, tadi? Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat ia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri,

   Kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan kadang-kadang ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu! Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar Kota seperti orang gila, terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan susut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore! Tukang kuda di belakang gedungnya kaget setengah mati ketika pagi-pagi sekali ia melihat majikannya menyerbu kandang kuda, tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda dan membalapkan kuda itu keluar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian ia berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!

   

   "Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wangwe!"

   Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika.

   "Eh, pagi-pagi kau mengapa bicara yang bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!"

   Kata Bi Li marah.

   

   "Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wangwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wangwe... pakaiannya kusut, mukanya seperti tidak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin..."

   Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?

   

   "Kiu Pek-pek, coba kau ajak kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!"

   Katanya, kemudian Bi Li masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya. Ketika memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat dapat mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dahulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya.

   Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun. Memang Cia Sun sekarang sudah makmur keadaannya. Uang dan perhiasan yang diperasnya dari Bi Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya! Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan.

   Semalam isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan tentu saja seperti biasanya, begitu mendapat uang, Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah Barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya! Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya. Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barangkali pagi ini baru pulang? Biarpun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat. Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,

   "Selamat pagi, Kiang-Wangwe. Berkat kebaikan Wangwe, sekarang Siauwte telah memperoleh banyak kemajuan."

   Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.

   

   "Jahanam keparat!"

   Serunya dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tidak menghiraukan lagi dua orang yang kini berhadapan dalam keadaan tegang itu.

   

   "Ampun Wangwe. Apa dosaku maka Wangwe datang-datang marah kepada Siauwte?"

   Cia Sun berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun. Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh Siucai ini tanpa bertanya-tanya lagi. Akan tetapi ia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,

   

   "Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?"

   Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar pertanyaan ini.

   

   "Apa...! Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin..."

   Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.

   

   "Hayo mengaku terus terang!"

   Kiang Liat membentak lagi.

   "Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!"

   Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, Siucai yang bersifat pengecut ini dalam usahanya membersihkan dan menolong diri, bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li.

   "Ampun, Kiang Wangwe, sesungguhnya Siauwte... Siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu"

   Yaa... sesungguhnya adalah Song-Siocia yang mendesak Siauwte, yang menyatakan cinta, memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw..."

   Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangan. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang dapat ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya. Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya. Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok.

   

Pendekar Sakti Eps 11 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 15 Pendekar Sakti Eps 32

Cari Blog Ini