Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 22


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Tanyanya. Siang Hwa tersenyum.

   "Nampaknya aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah, taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang kelihatan tenang itu bersembunyi binatang-binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Binatang yang siap mengintai dari bawah untuk menerkam dan menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan rawa."

   "Binatang apakah itu?"

   "Lihat, akan kupancing keluar mereka!"

   Kata Siang Hwa, kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang. Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, amat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Dan gerakan ini memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.

   "Ah, sungguh berbahaya!"

   Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"

   Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya.

   "Kita tidak dapat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu dan mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."

   Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil ala-talat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat dan ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.

   "Hemm, kiranya engkau sudah mempersiapkan segalanya, nona,"

   Kate Hui Song kagum.

   "Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan berhasil, dengan bantuanmu. Mari kita menyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."

   "Baiklah!"

   Kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas permukaan air berlumpur. Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak memiliki ginkang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke dalam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!

   "Jangan sembarangan memukul mereka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau tidak dia akan mengamuk dan berbahayalah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang hebat."

   Hui Song mengangguk-angguk, matanya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain. Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat bahaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.

   "Prakkk!"

   Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!

   "Cepat dayung!"

   Siang Hwa berteriak. Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya.

   Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunakan dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi. Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bareng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.

   "Dayung cepat..."

   Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sinkang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bambu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya! Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak,

   "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"

   Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi penyerbuan binatang-binatang buas itu.

   "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini, untuk mencerai-beraikan mereka!"

   Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar. Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walaupun dia tentu akan memperoleh akal untuk menyelamatkan dirinya. Kini, binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Terdengar suara keras pecahnya kepala binatang itu berkali-kali disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri.

   Bangkai-bangkai itu menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, biarpun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak. Hui Song merasa tidak leluasa kalau menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu dan menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia lalu meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, menghantam lagi dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik. Sebentar saja, belasan ekor buaya telah pecah kepalanya dan terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Biarpun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.

   "Mari, taihiap, kini ada kesempatan untuk melarikan diri!"

   Katanya setelah kini para binatang itu sibuk sendiri saling serang dan memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu. Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biarpun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.

   "Hayaaa... berbahaya juga..."

   Kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan saputangan. Siang Hwa juga menyusuti keringatriya dan memandang kagum.

   "Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat dan membuatku kagum sekali. Memang amat berbahaya tadi, dan sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"

   "Ah, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"

   "Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar dan biarpun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran terakhir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."

   Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah gua kecil yang tertutup batu bundar yang besar.

   "Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, biarpun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami tidak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada gua di belakangnya."

   Hui Song tertarik sekali dan memandang batu besar bulat itu.

   Batu itu memang besar, akan tetapi karena bentuknya bulat, rasanya kalau orang memiliki tenaga sinkang yang sudah cukup kuat, tentu akan mampu mendorongnya sehingga menggelinding atau tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apalagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak berhasil mendorong batu bulat ini ke samping? Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dua orang itu dengan tenaga digabung tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasianya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Maka mulailah dia meneliti dan mendekati batu itu meraba sana-sini dan memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biarpun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut gua, namun ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut gua. Tentu ada alat rahasianya.

   "Taihiap, mari kita mencoba untuk menyatukan sinkang dan mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu gua,"

   Kata gadis itu. Akan tetapi Hui Song menggeleng kepalanya.

   "Nona, kurasa akan percuma saja mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat ia tidak mungkin dipecahkan dan biarpun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong dan digeser. Kalau tidak dapat digeser, itu berarti bahwa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."

   "Bagaimana, taihiap?"

   Gadis itu memandang penuh harapan.

   "Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."

   Mula-mula Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, ia mengerti dan cepat membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam. Tiba-tiba Hui Song berteriak mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itupun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu gua itu!

   "Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!"

   Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang gua itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.

   "Aih, sungguh berbahaya sekali!"

   Kata Siang Hwa. Hui Song mempergunakan tenaga sinkang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang gua mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.

   Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki gua itu. Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu itu dari luar. Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi begitu gua terbuka dan batu tergeser, berjalanlah Alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerakkan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser. Setelah meneliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum.

   "Sungguh hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini."

   Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.

   "Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding gua sebelah kiri. Biar kuukur jarak itu!"

   Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil menghitung dari pintu gua. Setelah dua puluh satu langkah dia berhenti.

   "Tentu di sini tempatnya,"

   Katanya sambil berjongkok dan memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.

   "Ihh... apa ini...?"

   Tiba-tiba gadis itu berteriak.

   "Awas..."

   Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.

   "Trakkk!"

   Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu. Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur! Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa sebagai bekal tadi. Di bawah penerangan sinar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar hitam.

   "Itulah harta karunnya!"

   Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak kecil. Hui Song tersenyum dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.

   "Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."

   Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencongkel-congkel peti itu menggunakan sepotong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.

   "Mengapa begini ringan?"

   Hui Song berkata.

   "Kita buka saja, coba lihat isinya!"

   Kata Siang Hwa tak sabar. Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesuatu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, terganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.

   "Peti kosong..."

   Teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.

   "Mungkin bukan ini, mungkin di tempat lain,"

   Kata Hui Song membangkitkan harapan.

   "Tidak, tidak!"

   Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gambaran peti dalam peta Liangtosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya.

   "Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada orang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"

   "Didahului orang? Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manusia? Mari kita selidiki!"

   Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam gua itu sudah mulai remang-remang, melakukan pemeriksaan dengan hati kecewa dan tegang.

   Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya bagaimana orang itu dapat memasuki gua itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam gua itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan Alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, kalau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang tidak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut gua! Akhirnya usahanya berhasil. Dia menemukan sebuah lubang di lantai gua sebelah kanan, dan ketika dia menyingkirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar gua, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.

   "Ah, orang itu memasuki gua dengan jalan membuat lubang terowongan di bawah batu. Sungguh cerdik sekali!"

   Katanya.

   "Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan perkumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"

   "Apa...? Bagaimana engkau bisa tahu, nona?"

   Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.

   "Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol aseli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Harimau Terbang, sebuah perkumpulan rahasia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mongol yang diukir di atasnya."

   Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas.

   "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."

   "Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului kita, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki gua dengan jalan membuat lubang terowongan kecil itu. Kemudian agaknya terjadi perebutan di sini, dan orang ini tewas sedangkan dia hanya dapat merampas lencana yang agaknya dipakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau lebih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menyerang orang yang datang kemudian membuka tempat penyimpanan peti harta pusaka,
(Lanjut ke Jilid 21)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
Bagaimana pendapatmu, taihiap?"

   Hui Song mengangguk-angguk. Perkiraan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain.

   "Dugaanmu agaknya tepat sekali, nona. Memang hanya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup gua itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi memang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang bagaimana?"

   Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwa dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu,

   Akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan hatta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.

   "Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"

   Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin.

   "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"

   Hui Song mengerutkan alisnya.

   "Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..."

   Dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, walaupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan. Akan tetapi, ucapan gadis itu meyakinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya.

   "Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pemberontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling hebat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat mereka pergunakan untuk membiayai pemberontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan menentang mereka."

   Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hendak membela negara!

   "Nona Gui, aku harus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..."

   Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesuatu, hanya sepasang mata itu yang berkilat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.

   "Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta karun ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"

   Hui Song mengangguk.

   "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."

   "Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan datang sebagai wakil dan utusan Cin-Ling-Pai?"

   Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia teringat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.

   "Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tempat ini sebelum malam tiba, taihiap."

   Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan terus berjalan menuju ke sebelah dalam gua, Hui Song bertanya,

   "Eh, jalan ke mana, nona?"

   "Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, gua ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Seperti yang kau lihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut gua di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan melihat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan gua ini, bukan?"

   Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut gua dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang memasuki gua dari pintu atau mulut gua itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak terang.

   Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam gua gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar gua itu. Dan pemandangan di depan gua itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan gua itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan tetapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Mengerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan nampak puncak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.

   "Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu,"

   Kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing jurang itu. Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sambil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut gua dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang biasanya bersikap manis dan halus itu.

   "Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"

   "Nona, apa artinya ini?"

   Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pedang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.

   "Artinya, engkau harus mampus di sini untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjunlah ke dalam jurang itu."

   "Tapi... bukankah kita sehaluan...?"

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.

   "Ha ha Ha-ha!"

   Kakek gendut yang disebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak.

   "Sehaluan? Ha ha ha..."

   "Nona, apa artinya semua ini?"

   Hui Song membentak kepada Siang Hwa, merasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tiduk lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen mereka.

   "Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Tuon Jitong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Huito Cinjin dan Kangthouw Lomo..."

   Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena merasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama kedua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk.

   "Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"

   "Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?"

   Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Huito Cinjin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kangthouw Lomo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Kiranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini! Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dan ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara berterang begini dari pada menghadapi mereka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya.

   "Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak mengira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap sekarang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"

   "Manusia sombong!"

   Bentak Huito Cinjin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Huito (Pisau Terbang).

   Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya dan juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua sinar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sentilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sampai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya. Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja mengenai lutut lawan.

   Gadis itu terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun bergerak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang. Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius.

   Akan tetapi Hui Song sudah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap. Pada saat itug kembali Huito Cinjin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut sedungkan si gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu! Hui Song meloncat dan hendak menangkap hantaman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.

   "Brettt..."

   Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.

   "Iblis-iblis busuk yang curang!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam gua itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu tiba di luar mulut gua, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kangthouw Lomo dan tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Huito Cinjin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggnnggnya terserempet tendangan yang membuat dia terhuyung. Huito Cinjin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.

   "Sui Cin..."

   Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu. Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi.

   "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"

   Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut gua. Hui Song terkejut.

   "Mari kita kejar..."

   Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut gua itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam gua dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya. Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui Cin, maka diapun menerjang daun pintu itu.

   "Brungggg..."

   Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.

   "Song-ko, kita dapat lari melalui tebing di depan itu!"

   Kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu.

   "Kita dapat meloncat ke sana."

   Hui Song memandang dan menggeleng kepala.

   "Terlalu berbahaya..."

   Dia sendiri merasa sanggup meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin. Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam batin pemuda itu.

   "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana..."

   Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pinto baja.

   "Ha ha ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau kalian harus melakukannya!"

   Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang,

   Jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan oleh tiga orang itu! Karena mereka adalah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan berbahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Huito Cinjin. Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wuyi Lojin telah memperoleh kemajuan pesat, terutama dalam ilmu ginkang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup kembali dari dalam!

   "Memang tidak ada jalan lain,"

   Kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"

   "Tentu saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tidak akan khawatir lagi."

   "Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga engkau dapat memperoleh tempat pendaratan yang aman di sana."

   "Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak lekukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."

   "Baik, Cin-moi."

   "Berhati-hatilah."

   Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil mengerahkan ginkangnya, menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya meluncur seperti seekor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana terdapat banyak lekukan, agak ke bawah. Dengan cekatan tangannya mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, lalu berseru,

   "Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kenanku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!"

   Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak mencapai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai di mana kemampuan ginkang gadis itu.

   "Baik, Song-ko, aku meloncat!"

   Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut gua yang tiba-tiba terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.

   "Cin-moi, awas..."

   Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.

   "Bukkk..."

   Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.

   "Oughhh..."

   Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.

   "Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu..."

   Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sinkang, disalurkannya ke punggung.

   Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sinkang yang amat kuat. Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan. Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar.

   Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan. Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sinkangnya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam kepala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun tertidur pulas. Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas terlentang di depannya.

   Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir kalau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sinkang melawan hawa dingin, dia lalu menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada. Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sinkangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.

   "Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..."

   Bisiknya dengan perasaan hati penuh haru. Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas!

   Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang pera datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang melainkan murid Raja Iblis! Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membiayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja akan dibunuh. Hui Song mengepal tinju dan tersenyum dingin.

   "Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"

   Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu parah. Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.

   "Cin-moi..."

   Panggilnya lirih sambil mendekat. Sui Cin membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya mencelat ke depan, menyerang dengan tendangan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.

   "Bukk..."

   Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.

   "Heiii..."

   Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan Kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.

   "Cin-moi, ingatlah... Cin-moi..."

   "Engkau jahat, kejam, curang..."

   Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sinkang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.

   "Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?"

   Beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.

   Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, Kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wuyi Lojin selama tiga tahun. Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.

   "Sui Cin, ingatlah..."

   Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya.

   Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali. Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu ginkang bimbingan Wuyi Lojin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sinkang yang membuat gadis itu agak kewalahan. Tiba-tiba Sui Cin terhuyung ke belakang dan memegangi kepala dengan tangan kiri. Hui Song menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan kedua matanya dan mengeluh.

   "Aihh... kepalaku... pening..."

   "Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?"

   Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu. Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya dan menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang amat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia mengeluh lagi, memegang kepalanya, lalu ia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.

   "Cin-moi, tunggu..."

   Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, biarpun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apalagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapapun Hui Song telah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu ginkang, namun tentu saja kalau dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bueng Huiteng dari Wuyi Lojin, dalam hal berlomba lari, dia masih kalah jauh.

   "Cin-moi..."

   Teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat. Dia mengejar terus akan tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia sudah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil dan akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.

   "Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?"

   Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Mengenai keselamatan diri gadis itu dia tidak begitu mengkhawatirkan karena biarpun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu kini merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya.

   Dia sendiripun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tidak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakai gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu. Akan tetapi dia bingung ke mana harus mencarinya, sedangkan ada dua macam tugas penting yang harus dilaksanakannya. Pertama, memenuhi pesan Siangkiang Lojin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau sampai harta karun itu terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontakpemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka.

   Maka secara untunguntungan diapun melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, di sepanjang perjalanan bertanya-tanya dan menyelidiki kalau-kalau ada orang melihat Sui Cin lewat di situ. Bagaimana Sui Cin dapat muncul di depan Gua Iblis Neraka dan membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya dan berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah ia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk bahkan sempat membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu, gadis ini lalu diajak pergi oleh Wuyi Lojin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu. Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi dan digembleng ilmu oleh Siangkiang Lojin Si Dewa Kipas,

   Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang siap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu. Mereka kabarnya pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara. Secara kebetulan saja dalam perjalanannya itu ia tiba di dusun Lokcun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Ketika ia lewat di depan kuil kosong, ia melihat dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita tentu saja ia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.

   

Siluman Gua Tengkorak Eps 1 Pendekar Sadis Eps 17 Pendekar Sadis Eps 27

Cari Blog Ini