Asmara Berdarah 27
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"
"Tidak, aku hanya seorang diri..."
"Tapi, arak seguci besar cukup untuk sepuluh orang..."
"Jangan cerewet! Bawa arak itu dan aku akan membayarnya!"
Bentak Ci Kang marah. Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan. Pelayan itu membungkuk-bungkuk pergi dan Ci Kang mendengar pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang mengejutkan hatinya. Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan orang-orang dari golongan hitam!
Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar. Ci Kang melirik sambil lalu dan dia melihat bahwa pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan mereka menggunakan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam. Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya semakin kesal. Keadaan dirinya membuat dia merasa mendongkol dan juga murung dan sedih. Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, walaupun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat.
Dia dibesarkan di antara para datuk sesat. Dia tidak menyukai cara hidup demikian sehingga dia menentang ayahnya sendiri, bahkan hampir dibunuh ayahnya karena tidak menuruti kehendak ayahnya. Di dunia golongan kotor, dia tidak dapat hidup dan dimusuhi. Kemudian, setelah digembleng selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lokai dan dia mulai hidup baru, di antara golongan bersih, diapun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung? Pada saat itu muncul tiga orang berpakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Melihat mereka, pemilik atau kuasa kedai yang bertubuh gendut dan bermuka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.
"Eh, kalian bertiga ada keperluan apakah?"
Tegur pemilik kedai dengan ramah.
"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi..."
Kata seorang di antara mereka.
"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagi antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"
"Belum, toako dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkankan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kamipun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hidup dari minta-minta saja. Kami ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai Alat-alatnya. Kalau twako sudi menolong kami untuk sekali ini dan kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya kami tentu akan mampu mencukupi diri sendiri..."
Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedai itu, seolah-olah dia ingin agar semua percakapan itu didengar oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang memperhatikan.
"Baiklah, kami akan membantu dan membelikan Alat-alat pertanian untuk kalian. Nah, pulanglah dulu, dan malam nanti saja kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."
"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami."
Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri. Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justeru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi mengapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Sungguh suatu keadaan yang amat aneh dan tidak sewajarnya! Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkukbungkuk dengan ramah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata,
"Harap sicu sudi memaafkan bahwa pelayan kami agak terlambat karena gangguan para petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan dibimbing."
Jelaslah bagi Ci Kang bahwa si gendut kuasa kedai ini memang sengaja memancing percakapan dengan dia. Dia tidak dapat menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera menyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mangkok lagi. Dia mau minum sepuasnya, biarpun dia bukan seorang pecandu arak, akan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya! Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan hampir dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Dia kini menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, masuk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, masuk golongan putih dimusuhi pula karena tidak dipercaya.
"Sialan! Manusia tiada guna!"
Gerutunya dalam hati sambil menenggak lagi araknya. Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian seperti seorang pemburu dengan jubah kulit harimau, dan melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang yang gagah perkasa.
"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal."
Kembali terdengar suara si gendut. Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tanpa menjawab atau berkata sesuatu. Kalau melihat kerut di antara alisnya, sepatutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. Akan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.
"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu adalah seorang di antara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bukan? Sicu, kapankah diadakannya pertemuan itu dan di mana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiapan dagangan saya. Pada hari itu tentu akan banyak para pendekar lewat di sini dan..."
"Plakk!"
Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gendut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya, dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat menghindarkannya lagi.
"Aduhh..."
Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.
"Eh, kenapa kau memukul orang...?"
Dua orang pelayan cepat menghampiri untuk melerai, akan tetapi tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kakinya bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itupun terpelanting roboh. Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng seperti harimau, diapun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang ke arah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya sehingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.
"Wuuuttt..."
Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai.
Akan tetapi, ketika Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, terdengar suara "krekk!"
Dan lengan kanan si gendut itu patah. Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang mencengkeram rambut orang itu dan menekan kepala itu ke bawah. Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, terkejut bukan main melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya dapat memandang penuh kekhawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu, berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan. Tiba-tiba seorang di antara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri.
Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana namun bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan dia sejak tadi duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan dari pada seorang ahli silat. Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas dan menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih menjambak rambut si gmdut yang hanya mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang mengandalkan sedikit kepandaian?"
Sepasang alis hitam tebal yang seperti sayap burung geruda terbentang itu bergerak-gerak dan sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih tentulah kawan golongan hitam yang menyamar menjadi penguruspengurus kedai ini, pikirnya.
"Habis, kau mau apa?"
Diapun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu. Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa.
"Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"
Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan.
Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena sejak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar. Akan tetapi, dia selalu menentang kejahatan, dan setelah dia digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lokai, dia sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dan sabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu. Akan tetapi, penolakan dan penentangan para pendekar terhadap dirinya membuat hatinya kesal dan murung dan mudah marah. Kini, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.
"Kau mau membelanya? Nih, terimalah!"
Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan. Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Kalau mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan terpelanting pula. Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting. Ketika dia memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.
"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!"
Si baju putih itu dengan cepat melangkah maju dan menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedeng minum araknya. Tiba-tiba Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawan. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat kerena memang dia mengerahkan sinkangnya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, sedikitnya mematahkan tulang lengan lawan.
"Dukkk..."
Akibat benturan dua lengan itu membuat keduanya mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya.
Tubuh pemuda baju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biarpun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia sedang duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan! Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walaupun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana dan agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak. Teringatlah dia betapa si gendut tadi berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini diapun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!
"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kau pergunakan untuk kejahatan!"
Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat. Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka diapun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang lalu membalas dengan tendangan. Terjadilah perkelahian yang amat hebat dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu segera meninggalkan meja masing-masing, menjauh akan tetapi menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada baju putih!
"Pemburu dari mana dia?"
Terdengar orang bertanya-tanya.
"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"
"Dia telah memukuli Coutwako, pengurus kedai yang baik hati!"
"Tentu dia penjahat!"
Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semua ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat? Akan tetapi dia tidak perduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang telah tertipu oleh sikap penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam.
Dan diapun merasa penasaran sekali. Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga si baju putih ini dapat menandinginya, juga dalam ilmu silat pemuda ini agaknya dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik. Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan kemarahannya dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lokai selama ini. Sebelum dia menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.
"Manusia jahat! Terimalah ini..."
Tiba-tiba si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang. Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan kedua tangan disilangkan dan didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar kepadanya seperti badai mengamuk! Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini menyerangnya dengan ganas sekali. Maka diapun cepat mengerahkan sinkangnya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapakan terbuka ke depan. Kembali dua tenaga raksasa saling bentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, lebih dulu hawa pukulan itulah yang saling beradu.
Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan biarpun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser. Terkejutlah dia. Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah banyak pengalamannya tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang dipergunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya. Jangan-jangan pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, melainkan seorang pendekar yang juga tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat! Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut ketika melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi dapat ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.
"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!"
Pemuda baju putih itu berseru marah dan kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, apalagi melihat serangan bertubi-tubi yang amat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Semua orang agaknya menganggap dia yang jahat! Cepat dia mengelak beberapa kali lalu meloncat ke belakang sambil berteriak,
"Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya pura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"
Pemuda baju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah.
"Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!"
Dan diapun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.
"Wuuuttt... dukk!"
Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar dan terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.
"Sobat, engkau masih belum percaya? Lihat, ke manakah mereka itu? Mereka telah lari setelah aku membuka kedok mereka!"
Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu menengok dan diapun tidak melihat seorangpun di antara enam pengurus kedai tadi.
"Kebakaran... Kebakaran..."
"Pembunuhan... Rampok... rampok..."
Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba di bagian belakang kedai itupun dimakan api. Asap sudah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di dalam kedai tinggal Ci Kang dan si pemuda baju putih.
Akan tetapi keduanya segera sadar bahwa di luar tentu terjadi Hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka seperti orang berlomba, ke dua orang muda itu meloncat keluar kedai. Dan memang keadaan di dusun kecil itu kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang berlarian simpang siur dengan panik. Ci Kang melihat betapa enam orang pangurus kedai tadi, dengan belasan orang lain yang jelas terdiri dari golongan sesat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar. Tentu saja Ci Kang menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang sudah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakari rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu.
Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok. Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok mereka. Akan tetapi, dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocarkacir dan jatuh bangun. Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tak berdaya, mematahkan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pincang.
Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya betapa tidak baiknya melakukan pembunuhanpembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap penjahat, cukup kalau menundukkan dan sekedar memberi hukuman saja agar mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama sekali tidak boleh dibunuh. Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali dengan kebiasaan hidup di lingkungan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka akan kejahatan dan kekerasan karena dia sudah muak hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan.
Tiba-tiba Ci Kang terkejut oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berobah merah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggiriskan sekali. Sudah ada tujuh atau delapan orang penjahat termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, berserakan menjadi mayat. Pemuda itu menurunkan tangan mautnya dan tidak memberi ampun kepada para penjahat. Masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan tewas di tangan si pemuda baju putih kalau dia tidak mencegahnya. Cepat dia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang goloknya sudah terlempar, dia menubruk dan menangkis.
"Dukkk..."
Untuk ke sekian kalinya kembali dua lengan yang mengandung tenaga kuat itu saling bertemu, menggetarkan tubuh kedua pihak. Pemuda baju putih itu mengerutkan alisnya dan matanya memandang terbelalak kepada Ci Kang.
"Gilakah kau?"
Bentak pemuda itu kepada Ci Kang.
"Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, engkau muncul melindungi mereka!"
Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.
"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"
Pemuda itu mengerutkan alisnya.
"Kau perduli apa?"
Dan diapun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam dan terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit dan roboh berkelojotan.
"Kau kejam..."
Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.
"Kau kini membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!"
Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang. Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, diapun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Kerena masing-masing kini sudah yakin akan kelihaian lawan, maka merekapun berkelahi lebih seru dan lebih hebat dari pada tadi, masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang hebat. Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah sejak tadi melarikan diri.
Sebagian besar dari rumahrumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa akan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang. Entah berapa lama perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Sudah hampir seratus jurus berlalu dan keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan! Mendengar suara ini, seketika dua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang sudah terbakar bagian belakangnya.
"Tolong...! Toloooonggg...! ahh, tolonglah aku..."
Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.
"Brakkkkk..."
Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok.
Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang terbelenggu kedua tangannya pada tiang rumah sedang meronta-ronta ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu! Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana akan tetapi justeru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya semakin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ia meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan! Melihat munculnya dua orang itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.
"Ah, tolonglah saya..."
Ia memohon. Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu, yang mulai terbakar, runtuh ke bawah mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih itu sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lalu meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.
"Braaakkkk..."
Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan diapun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu, dia melihat pemuda baju putih sudah menutunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.
"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang telah terjadi."
Kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik. Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masaknya, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana namun rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.
"Saya menghaturkan terima kasih kepada jiwi taihiap... yang sudah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."
"Sudahlah,"
Kata pemuda baju putih.
"Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau beraaa dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu."
Pada waktu itu, dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.
"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah dan ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... dan saya berada di sini karena mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari ke mana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."
Ia menengok ke kiri di mana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Siapakah pemimpin para perampok itu, nona?"
Ci Kang bertanya.
"Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?"
Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar. Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan.
"Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu akan semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini terancam kekuasaan para penjahat..."
"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu,"
Kata Ci Kang.
"Akupun ingin bertemu dengan ayahmu, nona,"
Kata pula pemuda baju putih itu. Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek.
"Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"
Pemuda itu tersenyum pahit.
"Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega kalau melihat ia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."
"Sialan!"
Ci Kang membentak.
"Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"She mu?"
Tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.
"Tidak perlu kuperkenalkan."
Ci Kang memang tidak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lojin atau Si Iblis Buta.
"Namaku Sun,"
Kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan she nya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan she nya pula.
Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh dan ayahnya mengampuni musuh-musuh itu. Dalam keadaan penasaran dan penuh duka dan dendam ini, dia bertemu lalu diambil murid oleh Gobi Sanjin dan digembleng selama tiga tahun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah oleh rasa dendam atas kematian ibunya, membuat Cia Sun menjadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat dan dia menganggap sebagai tugasnya untuk menentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!
Seperti juga Ci Kang yang disuruh oleh gurunya, Ciu-sian Lokai untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun diutus oleh Gobi Sanjin untuk pergi ke tempat itu. Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk kaum sesat membuat orang-orang sakti dan para pendekar berusaha menentangnya dan mereka akan mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Setelah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, dua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara di mana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon rindang.
"Jauhkah rumahmu dari sini, nona?"
Tanya Cia Sun yang masih belum percaya benar kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.
"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan sebut nona padaku, namaku Hwa dan biasa disebut Hwa Hwa saja."
Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab.
Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Biarpun Cia Sun sampai saat itu belum pernah bergaul rapat dengan wanita, namun dia mengenal kerling yang tajam memikat, kerling yang membayangkan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura. Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis saja.
"Di sinikah engkau dan orang tuamu tinggal?"
Ci Kang bertanya ketika mereka tiba di depan rumah.
"Bekerja apakah orang tuamu?"
Kiranya diapun, seperti Cia Sun, mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang serem seperti ini. Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang.
"Kalau melihat pakaian taihiap, agaknya pekerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu kami memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini."
Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung kuno.
"Marilah, harap jiwi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bahwa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi mengacau dusun."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biarpun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mereka berada dalam sebuah perahu yang sama. Maka, biarpun hanya sedikit, terdapat suatu kepentingan bersama di antara mereka dan setelah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur. Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tidak terawat. Banyak bagian yang sudah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.
"Mari silakan, jiwi taihiap. Saya kira ayah dan ibu sedang bersamadhi di dalam kamar samadhi,"
Kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah ruangan yang pintunya kecil. Mendengar ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersamadhi, tentu orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau tidak tentu orang-orang yang saleh. Mereka melewati pintu kecil itu dan memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh. Kamar itu tidak berjendela, dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup babut tipis yang sudah lapuk, dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi cukup bersih keadaannya. Di dekat dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam keadaan bersamadhi.
Dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua orang pemuda itu merasa heran dan terkejut. Kakek itu berpakaian serba polos putih kuning, rambutnya putih semua riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya jangkung dan wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan ketampanan, akan tetapi wajah itu nampak bekitu dingin, agak kehijauan kulitnya dan matanya terpejam. Sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Adapun nenek itu juga mempunyai keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana kedodoran maupun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan. Rambutnya lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut wajah wanita inipun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin seperti topeng.
"Silakan duduk, jiwi taihiap dan maaf, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa kita duduk di atas lantai,"
Kata Hwa Hwa dengan ramahnya. Cia Sun dan Ci Kang yang sudah terlanjut masuk, lalu duduk di atas lantai berbabut itu, bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam apa adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan saja, demikian mereka berpikir. Setelah dua orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu, sampai di ambang pintu menoleh dan berkata sambil tersenyum,
"Maafkan, saya akan mempersiapkan minuman untuk jiwi..."
Sebelum dua orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah ditutup dari luar oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu berbuat dari pada besi yang kokoh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih terdapat kakek dan nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersikap tenang saja dan kini mereka berdua memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba kakek dan nenek itu membuka matanya dan terkejutlah dua orang pendekar muda itu melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan kehijauan! Terkejutlah Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang memiliki tenaga sinkang amat kuat, kalau tidak demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu. Akan tetapi keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya, tentu saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu yang bicara seolah-olah tanpa menggerakkan bibir.
"Berlutut..."
Dua orang pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biarpun mereka menduga bahwa kakek itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan perintah itu. Mereka hanya memandang tajam, menentang dua pasang mata hijau yang mencorong itu. Kini, nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi mendesis dan menusuk jantung.
"Kalau murid kami sudah membawa kalian ke sini, tentu kalian bukan orang-orang biasa dan ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang muda, berilah hormat kepada Ongya!"
Dua orang muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan ratu,
Dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja Iblis itu Ongya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jitong. Kini Cia Sun dan Ci Kang memandang penuh perhatian dan merekapun baru sadar bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui untuk menguasai dunia! Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para pendekar dan orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan berbahaya itu. Dan kini, tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada di sebuah ruangan tertutup!
"Apakah jiwi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?"
Dengan hati tabah, sedikitpun tidak gentar suaranya Ci Kang bertanya. Nenek itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walaupun mulutnya tidak tertawa.
"Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!"
Katanya. Akan tetapi, seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang sudah meloncat berdiri. Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang suami isteri iblis ini, dan mereka tahu bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama sekali tidak merasa takut, walaupun mereka sudah mendengar betapa lihainya kakek dan nenek ini.
"Inilah penghormatanku!"
Kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk bersila itu.
"Dan ini bagianku!"
Bentak Ci Kang, secepat kilat diapun menyerang ke arah si nenek. Serangan dua orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka berdua yang maklum akan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan sinkang dan menyerang sekuat tenaga. Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.
"Bresss..."
Tubuh dua orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai! Pada saat itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian di mana kakek dan nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos dan jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila di atas lantai, bagian yang tidak terbuka.
"Desss..."
Kini empat pasang tangan itu bertemu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya, kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main.
Benturan tangan mereka dengan tangan pemuda-pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan terguncang hebat! Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka. Mereka mempergunakan ginkang dan tidak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar lubang itu dengan kaki lebih dulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tiba-tiba tempat di mana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali! Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat hidung.
"Asap beracun..."
Cia Sun berseru dan keduanya segera menahan napas dan meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar di mana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi dan tidak ada pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas yang kini menjadi langit-langit bagi mereka itu.
"Bress! Bress!"
Akan tetapi lantai itu terlalu kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja kekuatan ini ada batasnya. Betapapun saktinya kedua orang muda itu, jantung mereka harus berdenyut terus dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni melalui pernapasan.
Akhirnya Cia Sun dan Ci Kang tidak kuat bertahan lagi dan merekapun terpaksa menyedot asap itu dan tubuh mereka terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum mereka kehilangan kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis atau Pangeran Toan Jitong. Ketika Cia Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah, Cia Sun yang siuman mendapatkan dirinya telah berada di atas pembaringan sebuah kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia berusaha membebaskan jalan darahnya ketika terpaksa usaha ini dihentikannya karena ada langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang telah menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan mata melotot.
"Hemm, perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!"
Bentak Cia Sun. Siang Hwa tersenyum manis dan menghampiri, lalu duduk di tepi pembaringan dan membelai pundak yang nampak karena baju di bagian pundak Cia Sun robek ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa bulu-bulu tubuhnya meremang ketika jari-jari tangan yang berkulit halus itu menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia menggerakkan pundaknya untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.
"Hihik, pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku kaki tangan mereka, akan tetapi mereka adalah kaki tanganku, para pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau kenapa suhu dan subo tidak langsung saja membunuhmu? Akulah yang minta ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau tidak dibunuh..."
"Hemm, apa maksudmu?"
Cia Sun bertanya, merasa heran mendengar bahwa murid kedua iblis itu mintakan ampun untuknya. Tiba-tiba Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main akan tetapi dia tidak mampu meronta atau mengelak, apalagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh totokan.
"Sun-koko, tidak dapatkah engkau menebak? Aku cinta padamu..."
Aku cinta padamu, karena itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Kalau engkau mau membalas cintaku, kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang amat dipercaya. Ah, koko, marilah kita hidup bahagia bersamaku..."
Siang Hwa mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang amat memikat. Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang terbius.
"Ci Kang... di mana dia?"
Gadis itu tersenyum manis dan karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi kejahatan yang mengerikan.
"Sun-koko, temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula. Karena itu, marilah kita mengecap kebahagiaan, mari kita menikmati hidup berdua..."
Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi ia terkejut dan mengeluh.
"Aihhh..."
Ia merasa betapa bibir itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.
"Iblis betina, perempuan tak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu
(Lanjut ke Jilid 26)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
kali mati dari pada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"
Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandang matanya membayangkan kekecewaan besar.
"Sun-koko, pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, haruskah mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."
"Sudahlah! Sampai mati aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, kalau aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tidak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar suara lirih, terdengar dari jauh akan tetapi jelas sekali.
"Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Bocah dari Lembah Naga itu mana mau diajak bekerja sama? Bunuh saja, akan tetapi siksa dulu!"
Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya diam-diam mengikuti usaha muridnya untuk membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.
"Baik, subo,"
Kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berobah kelam,
"Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati tenggelam, mati perlahan-lahan!"
Setelah berkata demikian, kedua tangan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, kini mencengkeram pundak pemuda itu dan menariknya turun dari pembaringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu. Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dia diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan belakang yang berada di tempat yang agak tinggi, akan tetapi setelah gadis itu menyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di dalam bangunan terdapat sebuah anak tangga yang menurun. Kemudian, sesampainya di sebuah ruangan sempit, Siang Hwa melepaskan cengkeramannya dan dengan pengerahan tenaga, ia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang berada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lubang.
"Nah, mampuslah kau di situ!"
Kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan dan tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit. Dia hanya mengangkat kepala agar tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.
"Bukk!"
Agak nyeri rasanya akan tetapi dia tidak terluka. Kiranya sumur itu tidak sangat dalam, kurang lebih dua meter saja dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.
"Ah, kau juga?"
Tiba-tiba terdengar suara teguran. Cia Sun terkejut dan menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat bahwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu! Cia Sun tidak memperdulikan orang ini. Bagaimanapun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran. Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andaikata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu mcloncatloncat.
"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah sejak tadi aku menyelidiki dan semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."
Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Ci Kang agaknya sudah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, hanya robek saja bajunya, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!
Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengokpun tidak, seolah-olah tidak perduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat! Seperti telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jitong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara. Gedung itu adalah sebuah istana kuno yang dahulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi.
Dan kaisar yang masih ingat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jitong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran Toan Jitong. Maka pangeran pelarian itupun tinggal di dalam istana tua itu. Istana itu selain kokoh kuat juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan, karena para pengawal kaisar selalu siap dengan mereka yang menentang kaisar, mata-mata musuh ataupun pengacaupengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jitong diperbaiki dan disempurnakan menjadi tempat-tempat jebakan yang berbahaya. Ketika dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jitong sudah berusia tiga puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu,
Dia memperdalam ilmu-ilmunya dengan menghubungi pertapapertapa dan orang-orang pandai. Pintar sekali pangeran ini mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Di dalam perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di Pegunungan Gobisan, gadis Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Gadis itu selain cantik juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk sesat dan tak seorangpun di antara para datuk itu ada yang mampu mengalahkannya! Nama Raja dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat.
Akan tetapi, pangeran ini tinggi hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kaum sesat walaupun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka di dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat. Dalam usia setengah tua, Raja dan Ratu Iblis baru kembali ke istana di utara itu dan tinggal di situ. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup seperti raja kecil di tempat sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi dasar watak Pangeran Toan Jitong aneh dan jahat seperti iblis, bahkan mendekati kegilaan, dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak laki-laki.
Pendekar Sadis Eps 39 Pendekar Sadis Eps 28 Pendekar Sadis Eps 27