Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 36


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 36



"Aku harus mengumpulkan para murid..."

   "Nanti dulu!"

   Ayahnya mencegah.

   "hal itu belum perlu, pula kalau kita memanggil mereka semua ke sini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang di antara mereka, sebaiknya para murid kepala..."

   Tiba-tiba dua orang murid Cin-Ling-Pai masuk dengan tergesa-gesa, ke dalam ruangan itu. Muka mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya,

   "Ada apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"

   "Subo... celaka, subo... celaka..."

   Kata seorang di antara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.

   "Tenanglah! Ada apa? Apa yang terjadi?"

   Bin Mo To membentak tak sabar.

   "Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas..."

   "Apa?"

   Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali.

   "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"

   Dengan suara patah-patah, dua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.

   "Di mana mereka sekarang?"

   "Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."

   Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-Ling-Pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang berjasa dan menjadi tamu terhormat. Ketika memeriksa keadaan lima jenazah itu, hati Bin Biauw terharu, akan tetapi juga terkejut. Lima orang murid itu adalah murid-murid kepala yang sore tadi masih bicara dengan ia dan suaminya. Dan kini ia merasa yakin bahwa mereka itu dibunuh karena tadi telah melaporkan kepada guru mereka tentang Raja dan Ratu Iblis yang dibantu Cap-sha-kui. Sudah pasti ini sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk mengejar akan tetapi tidak melihat siapapun di atas genteng.

   Bayangan itu lihai dan lima orang murid inipun tewas oleh orang yang lihai sekali. Lima orang itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaiannya sudah lumayan tingginya. Akan tetapi, mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh mereka tidak terluka parah, hanya di kepala mereka ada bekas telapak jari tangan menghitam! Mereka itu terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang murid ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun. Bin Mo To juga memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya.

   "Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?"

   Gumamnya kepada diri sendiri.

   "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tidak akan mengganggu anak buah Cin-Ling-Pai? Kita sudah berjasa besar dan mereka masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?"

   Kakek itu menjadi marah, mengepal tinju dan mukanya berobah merah. Melihat sikap ayahnya ini, Bin Biauw berbisik,

   "Hemm, kiranya ayah memang sudah bersekutu dengan mereka?"

   "Anakku, aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan untuk mencari kedudukan. Tak kusangka mereka sekeji ini..."

   Para anggota Cin-Ling-Pai sudah mendengar akan adanya kaum sesat yang membantu pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa penasaran sekali. Apalagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini, mereka merasa marah dan ingin mengamuk.

   "Subo, apa yang harus kami lakukan?"

   "Subo, di mana suhu?"

   "Subo, haruskah kita berdiam diri saja?"

   Lontaran-lontaran penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung.

   "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

   Tanyanya kepada ayahnya. Kakek itupun merasa bingung dan gelisah. Baru dia merasa menyesal sekarang telah bermain api, telah menyeret anak dan mantunya, bahkan sebagian besar anggauta Cin-Ling-Pai yang pada waktu itu dapat dihubungi, untuk bersekutu dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu Iblis. Kesetiaan orang-orang seperti mereka itu memang sama sekali tidak boleh dipercaya. Andaikata pemberontakan berhasil sekalipun, belum tentu mantunya akan bisa memperoleh kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari orang-orang golongan hitam itu.

   "Tidak ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu."

   Jawaban ini cocok dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid Cin-Ling-Pai.

   "Kuminta kalian jangan bertindak sendiri-sendiri dengan ceroboh. Kita harus menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang selanjutkan akan kita lakukan."

   "Akan tetapi, subo. Kalau kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh selagi kita berada di sini."

   "Subo, ke manakah perginya suhu?"

   Kembali suara-suara terdengar di antara para murid Cin-Ling-Pai yang marah itu.

   "Suhu kalian sedang melakukan penyelidikan ke Sanhaikoan..."

   ".... dan menjadi tawanan di sana!"

   Tiba-tiba terdengar suara wanita memotong.

   "dan kalian orang-orang Cin-Ling-Pai yang hendak berkhianat, menyerahlah dari pada harus kubasmi semua!"

   Bin Biauw dan Bin Mo To cepat membalikkan tubuh dan mereka melihat betapa yang bicara itu adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!

   "Kalian sudah dikepung, melawanpun percuma!"

   Kata Sim Thian Bu dengan suara mengejek. Wajah Bin Mo To menjadi merah sekali.

   "Apa maksud kalian?"

   Bentaknya dengan kedua tangan dikepal.

   "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam menduduki Cengtek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah berani!"

   Sim Thian Bu tertawa.

   "Ha ha ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau adalah segolongan dengan kami, akan tetapi orang-orang Cin-Ling-Pai itu jelas bukan! Karena engkau bergabung dengan Cin-Ling-Pai, engkau pun harus menyerah!"

   Tung-hai-sian yang sekarang bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya. Mantunya yang pergi menyelidiki ke Sanhaikoan sudah diketahui musuh dan tentu terjebak. Cin-Ling-Pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-Ling-Pai.

   "Serbu keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita kembali ke Cin-ling-san!"

   Teriaknya dengan penuh geram. Suaranya nyaring melengking dan para anggota Cin-Ling-Pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu tumbuh semangat dan merekapun bergerak mencabut senjata masing-masing dan menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu. Siang Hwa dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Ia sendiripun sudah mencabut pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.

   "Cringgg..."

   Dan Bin Biauw terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek dan balas menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia sudah terdesak hebat. Bagaimanapun juga, ia adalah isteri ketua Cin-Ling-Pai dan sedikit banyak sudah menerima banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biarpun tingkat ilmu pedangnya kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, ia membela diri mati-matian dan terjadilah perkelahian yang amat seru. Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itupun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu.

   Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Cengtek, diapun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran. Akan tetapi sekali ini, dia terpaksa bertanding mati-matian dan lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek dan lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik dari pada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa. Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali,

   "Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat..."

   Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas dan kedua tangannya mendekap dada di mana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika ia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.

   "Ayah... lari..."

   Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling dan tak bergerak lagi.

   Bin Mo To terkejut bukan main dan hal ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar dan mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya beberapa detik saja sesudah puterinya tewas. Sementara itu, para murid Cin-Ling-Pai sejak tadi sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru yang berat sebelah, antara puluhan orang Cin-Ling-Pai melawan ratusan orang perajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Biarpun para anak murid Cin-Ling-Pai melawan dengan gagah berani, namun jumlah lawan terlampau banyak.

   Setiap orang Cin-Ling-Pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat. Ketika Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejarkejar para perajurit. Keadaan yang kacau timbul dari kejarkejaran ini memberi kesempatan kepada para murid Cin-Ling-Pai untuk berusaha meloloskan diri. Akan tetapi, banyak di antara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota. Ada belasan orang saja yang akhirnya dapat lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka di tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja orang-orang Cin-Ling-Pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Cengtek!

   Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-Ling-Pai itu? Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-Ling-Pai itu ke Sanhaikoan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Cengtek telah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang. Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang sedang memata-matai orang-orang Cin-Ling-Pai, cepat mengirim utusan ke Sanhaikoan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-Ling-Pai itu ke Sanhaikoan sudah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!

   Cia Kong Liang yang memiliki watak keras dan gagah perkasa itu memasuki Sanhaikoan pada keesokan harinya setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tak pernah berhenti. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat. Biarpun hari masih amat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak perduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tak dapat ditahannya lagi dan diapun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Merekapun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.

   "Aku ingin bertemu dengan Ji-ciangkun,"

   Katanya dengan tenang.

   "Katakan ada urusan penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"

   Setelah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-Ling-Pai itu segera dipersilakah masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, di situ telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-Ling-Pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.

   "Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi sekali pangcu sudah mencariku, ada unusan penting apakah?"

   Tanyanya ramah akan tetapi tegas. Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, baru dia berkata,

   "Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi sebuah hal yang teramat penting memaksaku malam-malam meninggalkan Cengtek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."

   Panglima itu tersenyum ramah.

   "Ah, kalau begitu tentu penting sekali urusan itu. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"

   Sambil memandang tajam Cia Kong Liang melontarkan pertanyaannya,

   "Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"

   Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran.

   "Sungguh mengejutkan pertanyaan pangcu ini dan aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga keisar yang sudah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Sekarang melihat keadaan pemerintah demikian lalim, beliau turun gunung."

   "Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"

   Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya.

   "Aku tidak memperhatikan perkara itu, pangcu, dan andaikata benarpun, apa bedanya?"

   "Apa bedanya?"

   Cia Kong Liang berseru marah.

   "dia adalah seorang raja datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain dari golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"

   Ji-ciangkun mengerutkan alisnya.

   "Aku tahu atau memang dapat menduga. Akan tetapi apa salahnya? Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh kaisar lemah dan pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang pangeran aseli..."

   "Ji-ciangkun! Aku... kami dari Cin-Ling-Pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam! Para penjahat itu akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"

   Panglima Ji memandang dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali.

   "Cia-pangcu, sikap dan kata-katamu sungguh aneh. Lalu apa yang akan kau lakukan karena aku bersekutu dengan mereka?"

   "Ji-ciangkun, engkau harus mengusir mereka semua dan tidak menggunakan tenaga mereka untuk perjuangan!"

   Wajah panglima itu menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan.

   "Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah engkau hendak melarang dan mengatur apa yang kulakukan? Kalau aku tetap bekerja sama dengan mereka, engkau mau apa?"

   "Brakkk..."

   Cia Kong Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di depannya sehingga empat kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!

   "Ji-ciangkun, engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"

   Panglima itupun bangkit berdiri dan memandang marah.

   "Orang she Cia, engkau orang yang sombong dun angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-Ling-Pai bagiku? Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu. Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasiarahasia pertahanan kami!"

   Tiba-tiba terdengar suara dengusan dan disusul suara wanita,

   "Ketua Cin-Ling-Pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"

   Cia Kong Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis dan Ratu Iblis sudah berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap menakutkan, seperti dua mayat hidup saja wajah mereka yang kehijauan. Dan di belakang mereka nampak puluhan orang perajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka. Sekilas pandang saja tahulah ketua Cin-Ling-Pai itu bahwa dia telah terkepung dan tidak mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Diapun dapat menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apalagi ditambah puluhan orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri melawan musuh yang sekian banyaknya itu?

   Pikirannya bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan meloncat ke arah Ji-ciangkun! Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua Cin-Ling-Pai itu menyerangya, dia lalu menyambutnya dengan pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang! Akan tetapi, dengan mudahnya ketua Cin-Ling-Pai itu menangkap pergelangan lengan kanan lawan dan sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima itu menjadi lemas tak mampu melawan lagi! Cia Kong Liang menelikung lengan itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya. Ketika dia mencabut Hongcukiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka Hongcu"kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil menempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan,

   "Kalau ada yang menyerangku, panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"

   Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Ratu Iblis mengejek.

   "Heh heh , pangcu, kau boleh bunuh panglima tujuh kali dan kami masih mampu mengangkat yang lain delapan kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami? Setiap waktu kami dapat mengangkat penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia, akan tetapi tetap engkau tidak akan mampu lolos dari kami!"

   Cia Kong Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan pemberontak itu bukan Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara itu. Menyandera Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnyapun tidak ada artinya. Bahkan kalau mungkin dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka diapun membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.

   "Nah, ciangkun, harap jangan bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam mereka?"

   Setelah terbebas dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali tanda kemarahan.

   "Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan Toan Ongya, mana mungkin kita berhasil? Menyerahlah saja!"

   Tentu saja Cia Kong Liang menjadi marah. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis sudah menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa harapan untuk lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat.

   "Baiklah Raja Iblis, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"

   Cia Kong Liang meloncat dan pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, tiba-tiba Ratu Iblis mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya sudah berada di tangan, bergerak menangkis serangan ketua Cin-Ling-Pai itu.

   "Tranggg..."

   Keduanya meloncat ke belakang dan memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan kedua batang pedang itu tadi membuat tangan mereka tergetar. Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang menyerang lagi dengan dahsyatnya, disambut oleh Ratu Iblis yang memutar pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan dapat dialakkan atau ditangkis. Lewat belasan jurus, tiba-tiba Ratu Iblis membentak nyaring dan kini bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan,

   Akan tetapi rambutnyapun sudah berobah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong Liang. Pendekar ini terkejut sekali dan maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuhnya dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk lambung, diapun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan kini tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut itu. Rambut itu membuyar dan hilang tenaganya ketika bertemu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan main. Dengan sendirinya ia tidak memandang rendah lawan dan dapat menduga bahwa orang yang telah menjadi ketua Cin-Ling-Pai tentu lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya selihai itu! Maka iapun mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan liar,

   Sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan dengan telapak tangan terbuka. Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu didorongkan ke depan dan Cia Kong Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah tubuhnya. Cepat diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya masih terus merupakan gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang seimbang. Cia Kong Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak mampu mengalahkan, apalagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju!

   Dia membentak dan kini gerakan pedangnya berobah sama sekali karena dia mainkan Ilmu Pedang Siangbhok Kiamsut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat. Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghunjam ke arah dada lawan. Nenek itu cepat menangkis, akan tetapi ketika kedua pedang bertemu, pedang Hongcukiam itu membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras ketika pedang di tangan nenek itu patah menjadi dua potong! Jurus Ilmu Pedang Siangbhok Kiamsut tadi memang hebat dan pedang di tangan ketua Cin-Ling-Pai itu adalah sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh dari pada pedang si nenek. Akan tetapi pada saat itu, rambut itu menyambar dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan kedua tangan nenek itu sudah menubruk dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.

   Biarpun Cia Kong Liang sudah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja lengannya kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya hampir terampas itu, tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat hebat dari samping dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya. Dia cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu Iblis dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di tangan Raja Iblis yang menimangnimangnya dan memeriksanya tanpa memperdulikan dirinya. Cara Raja Iblis tadi merampas pedang saja sudah membuktikan betapa saktinya iblis itu. Akan tetapi Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, malah merasa penasaran dan marah sekali. Sambil mengerahkan tenaga, diapun meloncat ke depan, menyerang Raja Iblis sambil membentak,

   "Kembalikan pedangku!"

   Akan tetapi, Ratu Iblis yang sudah kehilangan pedang pula, meloncat dan menyambut serangan ketua Cin-Ling-Pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.

   "Desss..."

   Tubuh keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih jauh dan ia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, sedangkan tubuh pendekar itu tetap tegak.

   "Ji-ciangkun, tangkap dia!"

   Tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah dan terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.

   "Kepung dan tangkap pengkhianat ini!"

   Bentaknya. Mendengar bentaken Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi marah sekali dan tahulah dia bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Betapa bodohnya! Dia telah membawa nama Cin-Ling-Pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-Ling-Pai menjadi antek-antek Raja Iblis!

   "Majulah jangan dikira aku takut!"

   Bentaknya dan diapun mengamuk ketika dikepung oleh banyak sekali perajurit pengawal. Akan tetapi, jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh seorang perajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba perajurit itu berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa perajurit itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Percuma melawan, menyerah saja untuk saat ini!"

   Di dalam suara itu terkandung nasihat dan juga bujukan dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa perajurit ini tentu bermaksud baik, maka diapun
(Lanjut ke Jilid 34)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 34
berhenti meronta dan membiarkan dirinya ditelikung dan dibelenggu.

   "Bunuh saja dia!"

   Terdengar Ji-ciangkun berkata.

   "Kalau tidak tentu mereka akan menyusahkan saja di kemudian hari."

   "Tidak, masukkan saja dalam tahanan dan jaga keras jangan sampai lolos. Lain waktu kita bisa membutuhkan dia,"

   Terdengar Raja Iblis berkata dan tubuh ketua Cin-Ling-Pai lalu diseret oleh beberapa orang perajurit pengawal, dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan dijaga oleh selosin orang perajurit pengawal. Cia Kong Liang mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi perajurit yang tadi berbisik kepadanya sudah lenyap menyelinap di antara banyak perajurit di situ. Gerakan para pemberontak yang telah menduduki Sanhaikoan dan Cengtek, tentu saja amat mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang Panglima golongan tua yang sejak dahulu setia terhadap pemerintah, oleh karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa Sanhaikoan diduduki oleh panglima yang memberontak ini,

   Pemerintah di kota raja masih merasa ragu-ragu untuk dapat percaya. Mungkin ada pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Cengtek dengan pimpinan pasukan Sanhaikoan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan lebih dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup jauh. Penyelidikan dilakukan dan terkejutlah kaisar dan para pembantunya ketika mendengar bahwa bukan hanya Sanhaikoan diduduki, bahkan Cengtek juga sudah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini memperluas kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun. Setelah mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, seorang panglima muda yang cerdik berkata,

   "Menurut penyelidikan dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di dunia kang-ouw. Dan pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam sendiri. Setelah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah, barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang sudah kita persiapkan secara rahasia."

   Kaisar dan para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman, untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.

   Sementara itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan amat kuat yang terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka agar mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan. Untuk bertempur, mereka itu tidak perlu dilatih lagi karena setiap anggota pasukan dari suku bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, biasa menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggangpenunggang kuda yang mahir, pemanah-pemanah yang terlatih dan orang-orang yang berani mati.

   Karena nampaknya pihak pemerintah selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak berapa kuat, Yelu Kim lalu merencanakan penyerbuan ke Cengtek. Apalagi setelah ia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-Ling-Pai yang tadinya membantu pemberontak. Dianggapnya telah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Cengtek itu tidak sekuat Sanhaikoan yang menjadi pusat pemberontak di mana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat. Kekuatan Cengtek hanya beberapa ribu orang pasukan dan setelah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim lalu mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan kepada para pemberontak yang menduduki Cengtek. Kota itu akan diserbu dari delapan jurusan penjuru angin!

   Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, kemudian jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantu yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada saat para pembantu menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, maka mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting. Kebakaran ini yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru, yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali. Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasatnya sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Cengtek tanpa ada yang mengetahuinya.

   Para komandan di Cengtek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak perajurit pasukan suku bangsa utara! Setelah Cin-Ling-Pai dihancurkan, kota Cengtek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Di antara beberapa orang datuk sesat yang membantu dua orang ini melakukan penjagaan di Cengtek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kuibo, dan Tho-tee-kwi, tiga di antara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu. Empat orang tokoh lain tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Huithian Sukwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis! Kaum pemberontak itu bukanlah pejuang-pejuang sejati, melainkan segerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu mereka lakukan demi mengejar kesenangan.

   Oleh karena itu, setelah Cin-Ling-Pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula. Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Dan tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan? Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggu, baik dengan ucapan-ucapan ataupun dengan sentuhan-sentuhan.

   Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang. Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar. Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, kalau sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur. Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang.

   "Si cantik datang mengunjungi kita!"

   Serunya dan para penjaga yang jumlahnya selosin orang itupun keluar semua. Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai. Wanita muda itu agaknya tidak perduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuan ini keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar tadi.

   "Aih, manis, perlahan dulu..."

   Kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat. Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka biarpun ia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.

   "Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!"

   Kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.

   "Aih, kenapa terburu-buru amat?"

   "Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."

   "Siapa sih namamu, manis?"

   "Berapa usiamu?"

   "Di mana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"

   Dengan sikap ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.

   "Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar,"

   Katanya membujuk.

   "Ha ha ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!"

   Kata kepala jaga sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.

   "Pajak? Pajak apa?"

   Tanya gadis itu.

   "Orang lain harus membayar uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm, engkau tahu sendiri, nona."

   "Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan,"

   Gadis itu mendesak. Kepala jaga itu menyeringai lebar.

   "Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar makanan, melainkan lapar wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."

   "Ihhh!"

   Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

   "Sudah kusangka! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini..."

   Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.

   "Bresss..."

   Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya di belakangnya. Dia mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.

   "Perempuan keparat! Tangkap dia..."

   Akan tetapi gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan diapun mengaduh-aduh kesakitan. Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak,

   "Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap ia hidup-hidup, kita permainkan ia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"

   Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin! Seperti kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena ia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, ia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis.

   Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Cengtek, ia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu di antara empat pintu gerbang pada saat penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui dan menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu. Andaikata para penjaga itu mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, menggunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andaikata mereka mempergunakan senjata tajam sekalipun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini. Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini!

   Mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka patah atau retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu terbakar pula. Ia melihat datangnya puluhan orang perajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya, membacoki rantai itu sehingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itupun putus! Kini daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai itu putus.

   Ketika puluhan orang perajurit menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk, menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Ia sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada teman temannya bergerak. Memang pada saat yang sama, di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim, yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang bekerja seorang diri saja. Tiba-tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh Sui Cin sambil mengamuk itupun tiba. Terdengar suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota dan nampaklah api berkobar tinggi. Ternyata teman-teman yang menyelundup ke dalam itu kini sudah mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting.

   Tentu saja ada di antara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan. Melihat ini Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan iapun mempergunakan ilmu ginkangnya untuk melompat dan melarikan diri memasuki kota Cengtek, meloncat ke atas wuwungan rumah rumah orang dan lenyap dari kejaran para penjaga. Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran. Dan pada saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, dan dari delapan penjuru pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu.

   Kacau balaulah pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa. Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang hujan panah dari luar tembok. Penyerbuan di waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu Kim. Pasukannya mempunyai sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat keadaan musuh. Sebaliknya, pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung karena pihak musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak musuh sama sekali tidak membawa obor.

   Mereka bahkan tidak tahu siapakah musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai dapat mendesak masuk melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng! Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tak dapat disangkal adalah dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan tidak berpengalaman, maka menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung. Dan seperti ahli-ahli silat, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan perkelahian antar perorangan di mana ilmu silat memegang peran yang menentukan kalah menang.

   Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka diserbu secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, pertahanan mereka akhirnya bobol dan terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati. Sebelum melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa perkumpulan Cin-Ling-Pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri membantu pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu Cengtek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-Ling-Pai berjasa besar. Kemudian iapun mendengar bahwa orang-orang Cin-Ling-Pai kini bertugas sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan Cengtek.

   Oleh karena itu, ketika ia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik yang berada di dalam maupun di luar sudah mulai bergerak, ia lalu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari. Ketika ia mendengar akan hal Cin-Ling-Pai, ia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali. Benarkah orang-orang Cin-Ling-Pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sukar untuk dipercaya. Bukankah Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman? Dan biarpun ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-Ling-Pai yang mereka anggap angkuh dan sombong, namun merekapun mengakui bahwa ketua Cin-Ling-Pai adalah seorang pendekar yang lihai dan gagah perkasa. Mana mungkin kini pendekar itu bersama murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui?

   "Tidak mungkin..."

   Katanya pada diri sendiri, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan ketika ia melihat berkelebatnya dua orang dari dalam sebuah gedung di bawah. Ketika dua orang itn berdiri di bawah penerangan, ia segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu! Melihat dua orang musuh besar yang dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat ia melompat ke bawah sambil berseru marah,

   "Jahanam-jahanam busuk hendak lari ke mana kalian?"

   Memang dua orang itu nampaknya sudah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.

   Siang Hwa dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya mencabut pedang dan ketika mengenal Sui Cin, merekapun marah dan tanpa banyak cakap lagi keduanya menyerang Sui Cin. Gadis ini cepat mengelak. Dua orang yang melihat betapa gadis ini bertangan kosong dan sendirian saja, mempercepat serangan mereka, dengan penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin. Akan tetapi, Sui Cin telah menguasai Ilmu Bueng Huiteng dari Wuyi Lojin, gerakannya cepat bagaikan beterbangan saja dan dua pedang di tangan Siang Hwa dan Thian Bu tidak dapat menyentuhnya. Dua orang lawan itu terkejut melihat kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Biarpun Sui Cin mampu mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun ia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.

   Untung baginya bahwa dua orang lawannya itu nampak gugup. Pertempuran telah memasuki kota dan mereka itu tergesa-gesa hendak melarikan diri. Munculnya Sui Cin merupakan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat melarikan diri. Maka mereka menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus mengerahkan ilmu ginkangnya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung sinar pedang itu. Tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah nampak Hui Song dan Siang Wi! Siang Wi sudah menggunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu. Munculnya dua orang muda ini tentu saja amat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu. Apalagi ketika melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang pedang dari Siang Wi itupun tidak boleh dipandang rendah.

   "Lari..."

   Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya mendesak Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong itu mundur. Keduanya meloncat dan lari ke dalam gelap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa girang sekali dapat bertemu di situ.

   "Cin-moi, engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu di sini!"

   Kata Hui Song sambil memegang tangan gadis itu. Sui Cin membiarkan saja tangannya digenggam sejenak oleh pemuda itu, kemudian sambil melirik kepada Siang Wi ia melepaskan tangannya.

   "Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan pemberontak!"

   "Nanti dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada di sini,"

   Kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran. Sui Cin menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda inipun sudah mendengar tentang Cin-Ling-Pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!

   "Sejak tadi akupun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-Ling-Pai yang..."

   "Jadi engkau sudah tahu pula, Cin-moi?"

   Hui Song bertanya kaget.

   "Jadi... benarkah berita tentang..."
"Aku sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Akupun tidak melihat adanya orang Cin-Ling-Pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam dan aku tidak mengenal mereka..."

   "Tunggu..."

   Tubuh Hui Song berkelebat dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang perajurit pemberontak yang menggigil ketakutan namun tidak mampu bergerak itu. Hui Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah dan meminjam sebatang pedang dari Siang Wi, lalu menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.

   "Hayo ceritakan di mana adanya orang-orang Cin-Ling-Pai!"

   Bentak Hui Song. Orang itu sudah amat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan lalu "diterbangkan"

   Orang tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat orang-orang Cin-Ling-Pai, dia mengira bahwa pemuda ini mencari musuh-musuhnya, maka dengan memberanikan hati diapun menjawab.

   "Orang-orang Cin-Ling-Pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..."

   Dia tidak mampu melanjutkan karena Hui Song telah menendangnya sehingga perajurit itu pingsan.

   "Bagus!"

   Hui Song berseru gembira.

   "Biarpun ayah mengajak saudara-saudara Cin-Ling-Pai ke sini, ternyata bukan untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam penjara!"

   Sui Cin ikut pula dengan kakak beradik seperguruan itu dan merekapun berloncatan ke atas genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan penjara di dalam kota benteng itu.

   Penjara itu hanya dijaga oleh belasan orang saja karena sebagian besar para penjaga sudah menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan kini mereka sudah ikut membantu pasukan untuk mempertahankan kota Cengtek dari serbuan pasukan-pasukan suku bangsa utara. Karena hanya ada belasan orang penjaga, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa membuang banyak waktu sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-Ling-Pai yang diborgol di dalam sebuah kamar tahanan besar. Para murid Cin-Ling-Pai gembira bukan main melihat munculnya Hui Song dan mereka segera merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya amat gagah dan bukan merupakan orang-orang cengeng.

   "Aih, kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?"

   Tanyanya dengan alis berkerut.

   "Sute... ah, sute... kami telah mengalami malapetaka! Sedikitnya empat puluh orang saudara Cin-Ling-Pai tewas..."

   "Hemm, itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan menuntut pengorbanan, mengapa kalian menangis?"

   Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.

   "Aih, sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."

   "Apa...?"

   Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua itu, terutama sekali ibunya, tewas pula dan beberapa lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak mendengar subonya tewas.

   Beginilah keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah, pandaipandai kita menghibur dan menasihatinya dengan kata-kata yang indah. Hal ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang menimpa itu. Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah ke mana perginya segala nasihat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam ke dalam kedukaan dan kemarahan. Ketika tadi melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis dan mendengar mereka melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih menghibur dan mengatakan bahwa perjuangan mereka merlukan pengorbanan. Akan tetapi begitu mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Perlahan-lahan muka yang amat pucat tadi berobah merah oleh dendam.

   "Siapa yang membunuh mereka?"

   Pertanyaan ini keluar dengan datar.

   "Sukong tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa,"

   Jawab murid Cin-Ling-Pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu. Mendengar siapa pembunuh ibu dan kakeknya, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal tinju.

   "Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka..."

   Tiba-tiba ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan hangat namun dengan cengkeraman yang mengandung teguran.

   "Song-ko, mereka itu korban-korban perjuangan."

   Lirih saja ucapan ini, akan tetapi langsung terasa oleh hati Hui Song dan diapun menoleh, memandang kepada Sui Cin dan menggunakan punggung tangan untuk menghapus dua titik air mata yang tergantung di pelupuk matanya. Dia menarik napas panjang dan mengangguk.

   "Engkau benar, Cin-moi,"

   Bisiknya kembali dan sesaat kemudian pemuda perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya, memandang kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih merubungnya.

   "Semua ini adalah pengorbanan untuk perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, di mana ayahku?"

   "Sebelum kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu telah pergi meninggalkan Cengtek untuk melakukan penyelidikan ke Sanhaikoan, dan sejak itu tidak pernah kembali."

   Hui Song mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara itu masih tardengar ramai sekali dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-Ling-Pai, sudah berlarian keluar untuk mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja memihak para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh pertempuran.

   "Sebetulnya, apa yang telah terjadi? Mengapa kalian berada di sini? Mengapa ayah berada di sini? Ceritakan dengan singkat!"

   "Suhu telah terbujuk dan membawa kami ke sini untuk membantu pemberontak. Suhu tadinya mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai tujuan perjuangan yang murni, untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Kemudian ternyata bahwa pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali dan suhu pergi ke Sanhaikoan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum sesat, maka mereka telah bertindak lebih dahulu, kami diserbu dan kami melakukan perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas, kami ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."

   

Pendekar Sadis Eps 27 Siluman Gua Tengkorak Eps 5 Pendekar Sadis Eps 15

Cari Blog Ini