Pendekar Mata Keranjang 18
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Kakek itu tidak melanjutkan, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah telaga dengan pandang mata penuh arti.
"Kau maksudkan... mahluk halus penunggu telaga?"
Tanya Sui Cin.
"Ssst....."
Kakek itu berbisik.
"Nyonya sudah tahu, tak perlu dibicarakan lagi...."
Dan dia pun pergi dengan tergesa-gesa. Hampir Sui Cin tertawa bergelak melihat sikap dan bicaranya, akan tetapi karena Kui Hong kelihatan ketakutan dan gadis itu sudah memandang ke kanan kiri, ia pun diam saja.
"Mari kita kembali ke penginapan."
Katanya dan Kui Hong hanya mengangguk. Di dalam perjalanan menuju ke penginapan yang berada tak jauh dari telaga, di tepi sebelah sana, Sui Cin berkata.
"Tak kusangka kiranya pemuda itu adalah seorang pendekar pembela kaum lemah. Sungguh mengagumkan sekali."
"Hemm, belum tentu, Ibu."
"Belum tentu bagaimana?"
"Siapa tahu dia itu... dia itu...."
Kui Hong tidak melanjutkan melainkan menuding ke telaga seperti yang dilakukan oleh kakek yang menceritakan mereka tentang perkelahian tadi sehingga Sui Cin tertawa. Setelah mereka tiba di dalam kamar penginapan Kui Hong masih nampak takut dan ngeri.
"Ibu, katakanlah, sebetulnya setan dan siluman itu ada ataukah tidak?"
"Bagaimana aku tahu?"
Jawab ibunya dengan suara wajar, bukan bergurau lagi.
"Kenapa Ibu tidak tahu?"
"Anakku yang baik, kalau Ibu mengatakan tidak tahu, itu berarti Ibu jujur dan tidak mengada-ada. Memang Ibu tidak tahu, karena Ibu sendiri belum pernah bertemu dengan setan, walaupun sejak muda dahulu, Ibu ingin sekali dapat bertemu dengan setan."
"Ihh! Ibu ini aneh-aneh saja! Ingin bertemu dengan setan?"
"Benar, kalau dapat bertemu kan dapat kita ajak dia bercakap-cakap menceritakan hal-hal yang belum pernah kita ketahui, tentang dunia setan, tentang kehidupannya dan lain-lain. Menarik sekali, bukan? Dan kalau Ibu sudah bercakap-cakap dengan setan sendiri, barulah aku dapat menjawab pertanyaan setan itu ada atau tidak. Selama ini yang kuketahui tentang setan hanyalah melalui dongeng dalam buku atau mendengarkan cerita orang. Dan yang mendongeng kepadaku itu pun tentu mendengar pula dari lain orang, dari mulut ke mulut. Belum tentu di antara seribu orang yang mendongeng tentang setan itu pernah melihat atau bertemu sendiri dengan setan yang sesungguhnya."
"Kalau begitu, apakah ada setan yang palsu? Dan mengapa banyak orang mengatakan mereka pernah melihat setan, bahkan tempat ini angker tempat itu gawat menjadi tempat yang dihuni mahluk halus?"
"Tentu saja, karena yang biasa dilihat orang-orang itu adalah penglihatan khayal sendiri yang timbul dari rasa takut. Orang yang takut tentu akan dapat melihat benda-benda aneh dan menakutkan, yang sesungguhnya hanya benda biasa saja. Sebatang pohon akan nampak seperti setan raksasa di waktu malam bagi orang yang sudah ketakutan akan setan. Kalau batin sudah takut, sudah kacau balau, tentu saja panca indera juga menjadi lemah dan kacau. Setan-setan yang nampak karena khayal inilah yang ku maksudkan bukan mahluk halus yang sesungguhnya, melainkan hanya pantulan dari setan yang sudah digambarkan di dalam benak sendiri. Rasa takut seperti itu adalah suatu kebodohan, bukan? Takut akan sesuatu yang sama sekali tidak kita ketahui! Kenapa mesti takut? Kepercayaan akan setan membuat orang menjadi takut dan tahyul!"
"Tapi, apakah Ibu sendiri tidak percaya akan adanya setan?"
Ceng Sui Cin tersenyum.
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak tahu apakah setan itu ada ataukah tidak. Kalau kukatakan ada, buktinya aku belum pernah bertemu dengannya. KaJau kukatakan tidak ada, bagaimana mungkin kalau aku tidak tahu akan keadaannya? Siapa tahu dia ada namun tidak nampak? Jadi, lebih tepat kalau kukatakan tidak tahu saja."
"Tapi Ibu tidak takut?"
Ibunya menggeleng kepala.
"Tentu saja tidak. Kenapa mesti takut kepada setan yang belum pernah kutemui?"
"Kabarnya, setan itu amat jahat. Bukankah orang-orang jahat dinamakan setan, iblis dan siluman?"
"Yang jahat adalah manusianya, ini jelas. Apakah setan itu jahat atau tidak, aku pun tidak tahu. Mungkin saja orang jahat itu digerakkan setan, akan tetapi yang nampak adalah orang itu sendiri. Orang yang jahat inilah yang harus kita hadapi dengan hati-hati, mereka inilah yang berbahaya, bukan setan-setan yang tidak nampak. Sudahlah, Kui Hong, perlu apa kita bicara tentang setan-setan? Yang lebih menarik bagiku bukan cerita dan dongeng tukang perahu tentang setan, melainkan pemuda itu sendiri. Dia amat menarik hati. Sudah kusangka bahwa dia bukan orang biasa. Kepandaiannya memainkan musik, membuat sajak yang indah, kemudian cerita tentang dia menggulingkan perahu para kongcu kurang ajar. Ternyata memang benar dan kita melihat sendiri betapa dia membela gadis penyanyi itu dari tekanan seorang kongcu hidung belang."
"Sayang dia tidak menanggapi ketika kutantang. Aku ingin mencoba sampai di mana kelihaiannya."
Kata Kui Hong penasaran.
"Hushhh, jangan begitu, Kui Hong! Kita harus selalu melihat dan mempertimbangkan baik-baik dengan siapa kita berhadapan. Bukan asal ada orang pandai ilmu silat lalu kita tantang untuk mengadu ilmu! Bukan itu tujuan mempelajari ilmu silat, anakku. Kalau kita berhadapan dengan orang jahat dan kuat yang melakukan penindasan terhadap kaum lemah, boleh kita turun tangan menentangnya seperti yang dilakukan pemuda peniup suling itu. Akan tetapi kalau bertemu dengan seorang pendekar, tidak sepantasnya kalau kita menantangnya. Kecuali tentu saja kalau kita ditantang untuk mengadakan pi-bu (adu silat) yang berdasarkan persahabatan, bukan perkelahian."
"Aku juga tidak memusuhinya, Ibu, setelah tahu bahwa dia seorang pendekar. Hanya ingin menguji sampai di mana kepandaiannya."
Mereka tiba di kamar dan malam itu Kui Hong agak gelisah tak dapat tidur karena pikirannya masih membayangkan setan-setan, juga kadang-kadang nampak wajah pemuda peniup suling itu yang membuatnya penasaran. Tiba-tiba telinganya yang terlatih dan tajam itu mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng, seperti suara seekor kucing yang berjalan dengan lembut. Sebagai seorang ahli silat tinggi, Kui Hong merasa curiga dan ia pun sudah siap siaga, dengan seluruh urat syaraf menegang. Ketika ia melihat bayangan berkelebat di luar jendela kamar yang gelap itu, bulu tengkuknya tiba-tiba meremang karena ia teringat akan setan-setan. Jangan-jangan iblis yang lewat di depan jendela tadi, gerakannya demikian cepat dan bayangan itu pun makin lama semakin membesar!
Kalau menghadapi lawan manusia, betapa pun lihainya, Cia Kui Hong takkan mundur setapak pun. Akan tetapi kalau harus melawan siluman, hliihhh, belum apa-apa bulu tengkuknya sudah meremang, tengkuknya terasa dingin dan jantungnya berdebar, tubuhnya agak gemetar! Matanya terbelalak memandang bayangan yang makin membesar di luar jendela. Dari kertas yang menempel jendela, dapat nampak bayangan itu, bayangan seorang lak-laki tentu karena tubuhnya nampak tegap, bukan seperti tubuh wanita walaupun bayangan itu tentu saja tidak nampak jelas. Karena rasa takut akan bayangan yang disangkanya iblis itu, yang muncul dari dalam pikiran Kui Hong sendiri karena sarat dengan gambaran-gambaran tentang iblis, Kui Hong seketika kehilangan kegagahannya dan ia pun menyentuh kaki ibunya.
"Ibu, Ibu, bangunlah..."
Bisiknya. Sui Cin adalah seorang pendekar wanita. Ketidakwajaran sedikit saja sudah cukup untuk membuatnya tergugah dari tidurnya dan begitu sadar, ia pun sudah bangkit duduk dengan cepat.
"Ada apa?"
Bisiknya kembali.
"Lihat...!"
Kui Hong menunjuk ke arah jendela.
"Srttt... srttt..!"
Nampak sinar merah kecil meluncur dari tangan pendekar ini ke arah jendela dan ternyata ia telah menyerang bayangan itu dengan jarum-jarum merahnya yang amat lihai. Jarum- jarum kecil Itu meluncur dan menembus kain dan kertas jendela, menyerang langsung bayangan yang berdiri diluar jendela, bayangan yang nampak sebentar besar sebentar kecil.
"Hemm..!"
Terdengar seruan kaget dan bayangan itu pun lenyap! Sekali melompat, Sui Cin telah berada di dekat jendela, membukanya dan meloncat keluar, dikuti oleh Kui Hong. Akan tetapi tidak nampak seorang pun di luar, dan lampu gantung yang berada di ruangan luar kamar itu bergoyang-goyang. Melihat betapa orang yang diserang ibunya itu selain dapat menyelamatkan diri, juga menghilang demikian cepatnya, kembali Kui Hong bergidik.
"Dia tentu iblis, Ibu..."
Katanya dan suaranya gemetar. Sui Cin mengerutkan alisnya. Percuma kalau mengejar atau mencoba untuk mencari orang tadi karena tentu sudah bersembunyi dan menghilang dan kalau ia mengejar, tentu hanya akan menimbulkan keributan yang tidak menguntungkan saja. Ia lalu mendekati jendela dan meneliti ke bawah. Di bawah sinar lampu gantung, ia melihat jelas bekas sepatu di bawah jendela, menginjak lantai yang berdebu.
"Dia bukan setan, melainkan manusia biasa. Lihat telapak sepatunya di sini."
Katanya. Kui Hong juga memeriksa tapak kaki itu.
"Aih, betapa bodohku, Ibu. Kalau aku tadi tidak takut setengah mati dan langsung menerjang keluar, mungkin aku dapat menangkapnya. Akan tetapi... hiiih, kenapa bayangannya dapat membesar mengecil seperti itu? Kalau bukan setan....."
Sui Cin tersenyum.
"Permainan sinar lampu, Kui Hong. Masuklah dan kau lihat bayanganku di balik jendela."
Kui Hong melompat masuk kamar, menutupkan daun jendela dan ketika ia melihat, benar saja, bayangan ibunya menjadi kecil, kemudian membesar, persis seperti bayangan orang tadi. Ibunya masuk.
"Mengertikah engkau? Lampu itu tergantung di sana. Kalau orang itu mundur dari jendela mendekati arah lampu, tentu saja bayangannya menjadi besar dan kalau dia menjauhi lampu, menghampiri jendela, bayangannya mengecil."
Ingin rasanya Kui Hong menampar kepalanya sendiri.
"Betapa tololnya aku, Ibu! Sungguh mati, tadi kusangka dia seorang iblis. Untung aku tidak mengompol saking seram dan takutku!"
Gadis itu cekikikan teringat akan ulahnya sendiri.
"Nah, itulah. Jangan mudah membiarkan batin dicengkeram rasa takut! Takut timbul karena keraguan dan ketidakmengertian. Kalau ada sesuatu, selidiki saja dulu agar tidak menimbulkan keraguan dan ketakutan. Rasa takut memang membuat batin menjadi tumpul dan orang dapat melakukan hal yang lucu-lucu, aneh-aneh dan tolol sekali."
"Tapi, siapakah orang itu, Ibu?"
"Aku tidak tahu. Jelas seorang laki-laki, dan tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup baik. Kalau tidak, tentu dia sudah terkena serangan jarum-jarumku tadi. Mungkin seorang pencuri biasa yang memiliki sedikit kepandaian. Serangan jarum itu pun tidak terlalu berbahaya karena sudah menembus kain dan kertas jendela, dan aku pun tidak bermaksud mencelakai orang yang belum diketahui jelas kesalahannya."
"Akan tetapi dia telah mengintai kamar ini!"
"Mungkin, akan tetapi siapa tahu dia kebetulan hanya lewat saja? Sudahlah, sebaiknya mulai sekarang kita berhati-hati dan kau tidurlah."
Malam itu terlewat tanpa suatu gangguan lagi dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, mandi, sarapan pagi lalu berkemas karena mereka hendak melanjutkan perjalanan ke tenggara, menuju ke lautan selatan di mana terdapat Pulau Teratai Merah, tempat tinggal Pendekar Sadis dan isterinya, yaitu ayah dan ibu Ceng Sui Cin. Karena puterinya ingin melakukan perjalanan secepatnya, Sui Cin lalu membeli dua ekor kuda di tempat itu dan mereka lalu menunggang kuda mereka membalap menuju ke selatan. Menjelang senja, mereka sudah tiba di luar kota Siang-tan dan di jalan yang sunyi ini, di luar sebuah rawa, tiba-tiba bermunculan belasan orang laki-laki menghadang di tengah jalan dan ada pula yang memasang tali melintang setinggi dada. Melihat ini, terpaksa Sui Cin dan puterinya menahan kendali kuda mereka karena kalau mereka menerjang terus, kuda mereka akan tersangkut tali dan dapat menyebabkan kuda mereka terjungkal.
"Hemm, mau apa kalian menghadang perjalanan kami?"
Bentak Kui Hong marah dan ia sudah meloncat turun, membiarkan kudanya terlepas dan ia menghampiri mereka yang menghadang di tengah jalan. Dua orang itu memandang kepada dua orang wanita ini dan mereka pun terbelalak penuh kagum.
"Ha-ha, ada dua ekor domba mulus dan gemuk memasuki perangkap. Kawan-kawan, malam ini kita berpesta pora sampai kenyang!"
Kata seorang di antara mereka.
"Ha-ha-ha, dan mereka membawa dua ekor kuda yang bagus dan mahal."
"Dan lihat pakaian mereka, lihat perhiasan yang berada di leher dan sanggul mereka!"
"Dan dua buntalan besar itu banyak isinya!"
Maklumlah Sui Cin dan Kui Hong bahwa mereka berhadapan dengan perampok! Khawatir kalau-kalau puterinya membunuh orang, Sui Cin juga
(Lanjut ke Jilid 17)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
melompat turun dan berkata.
"Kui Hong, kau pegangi kendali dua ekor kuda kita. Biar aku menghadapi mereka, siapa tahu mereka mengerti akan bayangan semalam."
Kui Hong merasa kecewa bahwa ia tidak boleh turun tangan sendiri menghajar perampok itu, akan tetapi ia tidak berani membantah perintah ibunya. Ia lalu memegangi kendali dua ekor kuda agar tidak melarikan diri sambil melihat betapa dengan sikap tenang ibunya maju menghampiri orang-orang yang kasar itu.
"Heh-heh, yang muda seperti bunga sedang mekar, yang lebih tua seperti buah yang sudah masak. Keduanya cantik menarik, heh-heh!"
Kata orang tinggi besar muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin perampok.
"Kawan-kawan, tangkap mereka jangan sampai terluka, yang muda berikan aku, yang tua biar untuk kalian semua."
Wajah Sui Cin sudah menjadi merah sekali karena marah, akan tetapi, dengan tenang ia maju terus.
"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, hendak merampok dua orang wanita yang sedang melakukan perjalanan. Apakah seorang di antara kalian semalam melakukan pengintaian di kamar hotel kami?"
Mendengar pertanyaan ini, orang-orang itu saling pandang, lalu Si Tinggi Besar muka hitam tertawa, diikuti pula oleh anak buahnya.
"Manis, kalau aku mengintai kamarmu semalam, apa Kau kira aku sudah melepaskanmu pula hari ini? Ha-ha-ha!"
"Plakk!"
Tamparan tangan Sui Cin itu cepat bukan main, sampai tidak terlihat oleh kepala perampok itu. Demikian cepatnya dan tahu-tahu tangan kiri itu sudah menampar pipi kanan Si Kepala Rampok yang merasa seperti disambar petir saja.
"Auhhh..!"
Tubuhnya terpelanting dan dia pun roboh, memegangi pipi kanan dengan kedua tangan. Pipi itu telah menjadi biru dan bengkak, mulutnya berdarah karena selain bibir kanannya pecah, juga semua giginya di bagian kanan telah copot! Hebat bukan main tamparan Sui Cin itu yang merasa marah karena ia telah dihina dengan kata-kata yang kotor. Melihat kepala mereka dipukul roboh, sebelas orang perampok menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing, mengepung Sui Cin dan Kui Hong. Cadis ini berdiri tenang saja, masih memegangi kendali dua ekor kuda yang mulai nampak ketakutan karena sikap belasan orang itu. Si Kepala Perampok sudah bangkit lagi dan setelah kepalanya tidak pening lagi, dia pun mencabut goloknya.
"Bedebah, tangkap mereka! Serahkan perempuan ini kepadaku dulu, akan kuhancurkan ia sampai minta-minta ampun kepadaku."
Akan tetapi, dua belas orang itu bagaikan macan-macan ompong saja bagi Sui Cin. Tentu saja orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga dan kenekatan itu sama sekali bukan merupakan lawan yang tangsuh bagi Sui Cin. Siapa yang berani maju menyerangnya, tentu akan terpelanting terkena tamparan atau tendangan kakinya yang gerakannya amat cepat itu. Namun Sui Cin tidak mau membunuh orang dan tenaga yang dipergunakan dalam Pukulan dan tendangan itu terbatas. Juga mereka yang menubruk ke arah Kui Hong kecelik. Dengan kedua kakinya, gadis ini menendang kanan kiri dan mereka yang terkena tendangan tentu roboh tersungkur. Selagi para perampok itu kacau balau karena Pukulan Sui Cin dan tendangan ibu dan anak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Hentikan semua itu!"
Para perampok berhenti dan ketika mereka menoleh dan melihat seorang pemuda yang datang menuntun seekor kuda putih, tiba-tiba saja mereka semua, dipimpin oleh Si Muka Hitam, menjatuhkan diri dengan muka berubah ketakutan.
"Can Kongcu (Tuan Muda Can), harap ampunkan kami.."
Kepala perampok itu meratap sambil berkali-kali bersoja (memberi hormat dengan merangkap kedua tangan) kepada pemuda itu.
Sui Cin dan Kui Hong juga memandang dan mereka terkejut ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda peniup suling yang mereka jumpai kemarin di Telaga Tung-ting! Mudah mengenal kembali pemuda ini, karena selain wajahnya yang tampan dan matanya yang mencorong itu mudah diingat, juga suling di ikat pinggangnya dan yang-kim di punggungnya mudah dikenal. Pemuda itu tidak mempedulikan para perampok yang berlutut mohon ampun padanya. Dia menoleh kepada Sui Cin dan Kui Hong dan agaknya baru dia mengenal lagi dua orang wanita ini. Cepat dia melepaskan kendali kuda yang dipegangnya dan menjura dengan sikap hormat kepada ibu dan anak itu.
"Ah, kiranya Ji-wi yang diganggu oieh tikus-tikus kecil ini. Selamat bertemu kembali, Bibi yang terhormat dan Adik yang manis."
Wajah Kui Hong menjadi merah dan ia mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda tampan itu, tidak nampak tanda bahwa pemuda itu main-main atau menggodanya atau berkurang ajar dengan sebutan adik manis tadi, maka ia pun tidak menjadi marah-marah.
"Mereka ini berlutut kepadamu, apakah engkau ini kepala perampoknya?"
Dara yang lincah dan galak ini mengejek, dan kalau benar dugaannya itu, tentu akan diserangnya pemuda ini, karena kini ia tidak akan dipersalahkan ibunya. Kalau pemuda ini kepala perampok, tentu ia boleh menyerang dan bahkan merobohkannya, walaupun ibunya selalu melarang agar ia jangan membunuh orang. Mendengar pertanyaan itu, pemuda tadi tersenyum dan diam-diam Sui Cin merasa tertarik sekali. Ketika tersenyum, lenyaplah keangkeran dan wibawa yang ada pada pemuda itu, terganti keramahan dan kebaikan hati yang membayang lewat senyuman itu.
"Nona, mereka ini adalah tikus-tikus busuk yang tidak kukenal, akan tetapi bukan salahku kalau mereka kenal dan takut kepadaku karena memang di daerahku ini aku dikenal sebagai pembasmi tikus -tikus. Nah, karena tikus-tikus ini berkeliaran di daerahku dan telah mengganggu Bibi dan engkau Nona, katakanlah, apa yang harus kulakukan terhadap mereka?"
"Bunuh saja mereka!"
Bentak Kui Hong. Pemuda itu nampak terkejut, akan tetapi dia mengangguk.
"Baiklah, aku akan membunuh mereka."
Para perampok itu segera berseru mohon ampun dengan wajah ketakutan dan melihat betapa pemuda itu agaknya betul-betul hendak membunuh mereka atas perintah Kui Hong, Sui Cin berseru,
"Tahan! Jangan bunuh mereka, kalau hendak membunuh pun, bukan karena permintaan anakku!"
Lalu kepada Kui Hong ia berkata.
"Kui Hong, engkau tidak boleh menyuruh dia membunuh orang!"
"Aku tidak menyuruh siapa-siapa, dia tadi bertanya dan aku menjawab, bukan berarti aku suruh dia membunuh. Mau membunuh atau tidak, adalah urusannya dan tidak ada sangkut pautnya denganku!"
Jawab Kui Hong. Pemuda itu tersenyum.
"Nah, tikus-tikus busuk, Nona kalian telah memberi ampun, tidak lekas menghaturkan terima kasih dan menggelinding pergi?"
Si Muka Hitam itu dengan diikuti oleh para anak buahnya lalu berlutut dan bersoja kepada Kui Hong dan Sui Cin, mohon ampun, kemudian mereka pergi sambil memapah teman-teman yang terluka babak belur terkena tamparan dan tendangan tadi. Setelah mereka pergi, pemuda itu lalu menjura kepada Sui Cin.
"Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali. Tempat ini merupakan daerahku, maka sedikit banyak aku bertanggung jawab atas peristiwa perampokan ini. Lain kali akan kubersihkan semua perampok. Bibi yang gagah perkasa, perkenalkanlah, aku bernama Can Sun Hok."
Melihat sikap orang yang ramah dan sopan, Sui Cin juga balas menjura.
"Namaku Ceng Sui Cin dan ini puteriku bernama Cia Kui Hong."
"Ah, Bibi dari keluarga Cia? Aku pernah mendengar tentang keluarga Cia yang menjadi pimpinan Cin-ling-pai, apakah...?"
"Ketua Cin-ling-pai adalah Kakekku!"
Kata Kui Hong cepat-cepat, agak merasa bangga bahwa nama keluarganya terdengar dan dikagumi sampai sejauh ini.
"Ah, saya telah bersikap kurang hormat!"
Tiba-tiba pemuda yang bernama Can Sun Hok itu menjura sampai dalam.
"Harap Locianpwe dan Nona sudi memaafkan kalau tadi saya bersikap kurang hormat karena tidak mengenal. Nama besar keluarga Cia sudah lama saya dengar dan saya kagumi, terimalah hormat saya."
Dan kembali dia menjura kepada Sui Cin dan Kui Hong. Sui Cin merasa canggung juga mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu.
"Ah, Can Kongcu bersikap terlalu sungkan. Engkau sendiri juga seorang pendekar yang gagah perkasa, harap jangan sebut Locianpwe kepadaku dan kepada Kui Hong."
"Ah, mana saya berani selancang itu?"
Kata Can Sun Hok.
"Engkau ini kenapa begini banyak rewel dan banyak sungkan-sungkan? Ibuku sudah memerintahkan demikian, dan biarlah aku yang menyebutmu Toako!"
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Kui Hong yang kini terbalik merasa suka kepada pemuda itu yang selalu memperlihatkan keramahan dan kesopanan. Mendengar ucapan itu, Can Sun Hok tersenyum lagi dan mengangguk-angguk.
"Saya tidak bermimpi apa-apa semalam, akan tetapi ternyata kini memperoleh kehormatan yang amat besar! Baiklah, Bibi, dan engkau Adik Kui Hong, aku yang sudah yatim piatu seolah-olah kini memperoleh keluarga lagi. Aih, kalau Bibi dan Adik merasa kasihan kepada saya dan sudi menerima undangan saya, maka saya persilakan Ji-wi (Anda Berdua) singgah di rumahku yang terletak di Siang-tan, kota di depan itu. Tak mungkin kita berpisah begini saja setelah Thian telah mempertemukan kita di tempat yang tak terduga-duga."
Karena perjalanan mereka malam itu memang tiba di siang-tan dan harus bermalam di tempat itu, Sui Cin tidak merasa keberatan.
"Terima kasih, Kongcu..."
"Aih, Bibi! setelah aku tidak sungkan lagi, kenapa Bibi masih menyebut Kongcu kepadaku? Namaku adalah Can Sun Hok, harap Bibi suka menganggap aku sebagai keponakan sendiri saja."
Sui Cin tersenyum dan merasa semakin suka kepada pemuda yang ramah ini.
"Baiklah, Sun Hok, kami menerima undanganmu danterima kasih kuucapkan. Akan tetapi, karena engkau hidup sebatang kara, apakah kehadiran kami tidak akan merepotkanmu?"
"Tidak sama sekali, Bibi. Aku mempunyai banyak pelayan di rumah."
"Ha, engkau seorang yang kaya rupanya!"
Kui Hong berseru.
"Akan tetapi tidak mengapa, yang kubutuhkan hanya agar engkau suka melayani aku untuk pi-bu."
"Hah?"
Sun Hok terbelalak.
"Pi-bu?"
"Ya, adu silat secara persahabatan. Tidak mengapa, bukan? Aku mendengar bahwa engkau dapat menggulingkan perahu, dan aku melihat engkau merobohkan tukang pukul di tepi Telaga Tung-ting, aku ingin sekali mencoba ilmu kepandaianmu!"
"Kui Hong! Bersikaplah sopan dan ramah, jangan kurang ajar!"
Sui Cin membentak puterinya.
"Tidak mengapa, Bibi. Adik Kui Hong ini lucu sekali, aku suka padanya. Akan tetapi, Adikku, mana aku berani mengadu ilmu dengan cucu Ketua Cin-ling-pai? Jangan-jangan belum sampai sepuluh jurus aku sudah akan keok!"
"Apa itu keok?"
Kui Hong bertanya, karena memang ia tidak pernah mendengar istilah itu.
"Ayam itu kalau diadu dan kalah, bukankah lalu mengeluarkan bunyi keok-keok? Nah, keok berarti kalah."
Kui Hong tertawa geli dan merasa lucu sekali. Mereka lalu menunggang kuda masing-masing dan mengikuti Sun Hok yang mengajak mereka ke rumahnya. Sui Cin mengambil keputusan untuk melihat keadaan rumah pemuda itu. Kalau terlalu merepotkan, ia akan mengajak puterinya untuk bermalam dirumah penginapan saja.
Akan tetapi, apa yang dilihatnya sungguh jauh di luar dugaannya. Sebuah rumah gedung yang besar sekali, seperti istana dan pantasnya menjadi rumah seorang bangsawan dan hartawan besar! Dan kedatangan mereka disambut oleh tiga orang pelayan pria yang mengurus tiga ekor kuda itu. Ketika pemuda itu mengajaknya masuk ke rumah gedung itu, dua orang pelayan wanita yang berpakaian serba bersih menyambut mereka dan memberi hormat dengan ramah. Bukan hanya Sui Cin yang terheran-heran, bahkan Kui Hong kini juga memandang dengan takjub. Ketika mereka memasuki ruangan depan, dinding itu penuh dengan lukisan-lukisan sajak berpasangan yang serba indah, lantainya mengkilat putih dan perabot-perabot rumah juga terdiri dari barang-barang mewah dan serba indah dan mahal!
"Can-toako.. Ini... ini rumahmu sendiri?"
Kui Hok bertanya heran. Sun Hok tersenyum.
"Benar, Adik Kui Hong. Ini rumahku, peninggalan dari Ayahku yang menerima warisan dari Kakekku pula. Kakekku adalah bekas gubernur di Ning-po, juga dia seorang pangeran..."
"Ah, kiranya engkau seorang bangsawan!"
Kata Sui Cin kaget.
"Bukan bangsawan, Bibi, melainkan keturunan bangsawan saja. Mendiang ayahku sudah tidak memegang jabatan walaupun kakekku adalah seorang bekas gubernur dan seorang pangeran. Dan aku sendiri... ah, agaknya aku hanya kebagian menghabiskan warisan mereka saja."
Tiba-tiba muncul seorang nenek dan dua orang tamu itu terkejut. Kalau para pelayan yang lain nampak rapi dan bersih, nenek ini kelihatan menakutkan. Seorang nenek yang usianya sudah tua sekali, sedikitnya tentu tujuh puluh tahun, mukanya bopeng penuh bekas cacar, hitam dan matanya lebar menakutkan. Wajahnya tentu akan menakutkan seorang anak-anak, bahkan Kui Hong juga terbelalak memandang, teringat akan dongeng tentang setan dan iblis. Nenek ini agak bungkuk, pakalannya serba hitam dan memegang sebatang tongkat.
"Kongcu baru pulang?"
Tanya nenek itu, tanpa mempedulikan dua orang tamunya.
"Benar, Lo-bo, dan kau beritabukan kepada pelayan agar mempersiapkan sebuah kamar besar untuk dua orang tamu terhormat ini, juga persiapkan air hangat untuk mandi, kemudian hidangan yang cukup untuk kami makan malam. Lo-bo, ini adalah Bibi Ceng Sui Cin dan puterinya, Adik Cia Kui Hong."
Nenek itu kelihatan terkejut, memandang kepada dua orang tamunya, sejenak matanya terbelalak dan mencorong, kemudian ia menunduk dan membungkuk sebagai tanda hormat.
"Selamat datang, Toanio dan Siocia!"
Katanya dan ia pun membalikkan badan, terseok-seok berjalan pergi dibantu tongkatnya. Melihat betapa dua orang tamunya kelihatan terkesan oleh kemunculan nenek itu, Sun Hok cepat berkata menjelaskan,
"Ia adalah Wa Wa Lo-bo, seorang pembantu yang setia, yang telah menjadi pembantuku sejak aku masih bayi. Karena kesetiaannya, maka aku merasa kasihan kepadanya dan membiarkan ia hidup di sini sampai selamanya untuk membalas budinya. Ialah yang dulu mengasuh dan merawat aku sejak aku bayi."
Mereka lalu diajak memasuki ruangan dalam, sebuah ruangan yang lebih indah lagi, penuh dengan gorden-gorden sutera yang serba indah. Mereka duduk berhadapan di kursi dan meja yang diukir indah.
"Kita menanti di sini dulu sambil menanti dipersiapkannya kamar Ji-wi dan juga keperluan mandi. Setelah mandi kita makan bersama di ruangan makan."
Kata Can Sun Hok, nampaknya gembira sekali menerima dua orang tamunya ini.
Diam-diam Sui Cin memperhatikan tuan rumah yang masih muda tapi kaya raya ini. Seorang pemuda yang usianya masih kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tegap. Pakaiannya sederhana, tidak sesuai dengan keadaan rumah gedung yang mewah seperti istana itu. Wajahnya yang tampan itu penuh wibawa, pendiam dan bengis, akan tetapi adakalanya, seperti sekarang ini, nampak halus perangainya dan ramah sikapnya. Yang masih membuat Sui Cin menduga-duga adalah tentang ilmu silatnya. Sukar menaksir sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Dan mempelajari keadaan pemuda ini timbul suatu gagasan dalam pikiran Sui Cin. Pemuda ini sungguh merupakan seorang pemuda yang baik, dan agaknya tidak akan mengecewakan kalau menjadi calon jodoh puterinya!
Cukup tampan, kaya raya, lihai dan berperangai baik, bahkan jelas seorang pendekar melihat sepak terjangnya baru-baru ini. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa diam-diam Kui Hong juga memperhatikan pemuda itu dan puterinya itu mempunyai pendapat sendiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, akan tetapi aneh dan sinar matanya yang kadang-kadang mencorong itu mencurigakan, pikir Kui Hong! Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi Kui Hong mempunyai perasaan tidak suka kepada pemuda ini! Seorang yang menyembunyikan sesuatu, seorang yang palsu, pikir Kui Hong. Tak lama kemudian, Sui Cin mulai menyelidiki keadaan pemuda itu secara tidak langsung, dengan pertanyaan-pertanyaan yang nampaknya sepintas lalu saja,
"Sun Hok, sungguh janggal sekali menyebutkan namamu begitu saja seolah-olah kita masih ada hubungan keluarga, padahal engkau adalah seorang pemuda yang kaya raya. Akan tetapi, melihat usiamu, yang tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, tentu orang tuamu juga belum tua benar. Akan tetapi, kenapa engkau telah menjadi seorang yatim piatu? Apa yang telah terjadi dengan orang tuamu?"
Pemuda itu menarik napas panjang dan menundukkan mukanya, kelihatan berduka sehingga ibu dan anak itu semakin tertarik dan menanti penuh perhatian.
"Ah, memang nasibku sejak masih bayi amat buruk, Bibi. Ibu kandungku meninggal dunia sejak aku berusia tiga tahun, kemudian ketika aku berusia belasan tahun, ayah kandungku meninggal pula karena sakit. Aku sejak kecil, sejak berpisah dari Ibu dirawat dan diasuh oleh Wa Wa Lo-bo, bahkan setelah Ayah meninggal, Wa Wa Lo-bo yang terus mendidikku, memanggilkan guru-guru baca tulis, bahkan mencarikan sastrawan-sastrawan terpandai dengan bayaran mahal untuk mendidik aku "
"Hemm, pantas sekali engkau demikian pandai membuat sajak!"
Kata Kui Hong kagum.
"Dan siapakah yang telah mengajarkan ilmu silat padamu? Engkau tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali dan tentu gurumu seorang tokoh persilatan yang amat terkenal!"
Kata Sui Cin memancing. Pemuda itu kembali menarik napas panjang dan jelas nampak bahwa dia tidak suka membicarakan tentang hal itu agaknya.
"Bibi yang baik, aku mempelajari ilmu silat hanya sebagai suatu bekal untuk suatu tujuan. Aku berusaha menyembunyikan kepandaian silatku, dengan maksud untuk kelak kupakai melaksanakan tujuan itu, akan tetapi ternyata tidak lepas dari pengamatan Bibi yang amat tajam. Sesungguhnya, aku... aku agak merasa kikuk dan canggung untuk bicara soal ilmu silat, karena sesungguhnya, ilmu silatku belum berapa tinggi dan masih jauh daripada cukup untuk pelaksaan tujuan yang kupendam sejak aku kecil itu, Bibi!"
"Hemm, untuk tujuan balas dendam, bukan?"
Pemuda itu tiba-tiba meloncat dari kursinya dan memandang kepada wajah nyonya itu dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.
"Bagaimana Bibi... bisa mengetahuinya...?"
Tanyanya gagap. Sui Cin tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Duduklah dan jangan kaget, jangan pula khawatir orang muda. Tidak sukar untuk menduga demikian. Engkau kehilangan Ayah dan Ibu sejak masih kecil dan aku menduga bahwa kematian mereka, atau satu di antara mereka tentu karena dibunuh orang. Dan engkau menyembunyikan ilmu silatmu, dengan maksud tertentu dan karena kuhubungkan dengan dugaan bahwa orang tuamu mungkin dibunuh orang, maksud apalagi kalau bukan balas dendam?"
Pemuda itu memandang kagum.
"Ahh, sungguh, luar biasa sekali ketajaman pikiran Bibi! Kalau begitu, Bibilah tempat aku bertanya. Sudah lama aku dibikin pusing oleh keadaanku ini. Bibi yang terhormat, bolehkah aku bertanya dan sukalah Bibi memberi nasihat kepadaku yang seperti orang dalam gelap ini, maukah Bibi memberi penerangan kepadaku?"
Sui Cin tersenyum lagi. Pemuda ini sungguh membuat ia merasa suka sekali, demikian penuh rahasia, akan tetapi juga demikian rendah hati dan ramah.
"Tanyalah, orang muda, kalau aku dapat memberi nasihat tentu akan kubantu memikirkan masalah apa yang memusingkan hatimu."
"Begini, Bibi Ceng, terus terang saja, mendiang Ibu kandungku adalah seorang yang pernah melakukan kejahatan, bahkan terkenal jahat sekali, seorang tokoh sesat kata orang-orang dunia persilatan. Nah, biarpun aku sendiri tak pernah melihat buktinya, setelah mendengar bahwa Ibu kandungku adalah seorang yang amat jahat, lalu apa yang harus kulakukan? Baikkah kalau aku berbakti kepadanya?"
Pertanyaan itu mengejutkan hati Sui Cin. Tentu saja, walaupun hatinya ingin sekali tahu siapa gerangan ibu kandung pemuda ini, ia tidak berani bertanya karena hal itu bukanlah urusannya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengannya.
Dan pertanyaan itu pun membuat ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukannya andaikata ia sendiri yang demikian? Dan bagaimana ia harus menjawab? Keraguan ini timbul karena Sui Cin merasa bahwa ibu kandungnya sendiri dahulu pun merupakan seorang tokoh sesat, bahkan seorang datuk sesat! Ibunya, yang bernama Toan Kim Hong, dahulu sebelum menikah dengan ayahnya terkenal sebagai datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), seorang datuk sesat yang seolah-olah menjadi raja di antara orang-orang jahat! Ah, pikirnya, kini ibunya telah menjadi orang baik-baik, bahkan menjadi seorang pendekar. Jadi, kalau ibu kandung pemuda ini dahulunya jahat, tak boleh dikatakan bahwa selamanya akan menjadi jahat. Hanya bedanya, ibu kandung pemuda ini telah meninggal dunia!
"Can Sun Hok, tidak ada yang abadi di dunia ini."
Jawabnya.
"Orang yang tadinya disebut baik, belum tentu baik selamanya dan yang jahat belum tentu jahat selamanya. Terhadap seorang ibu, tentu saja seorang anak haruslah berbakti apa pun kata orang terhadap ibunya, baik maupun buruk. Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban utama seorang anak."
"Ibuku telah meninggalkan aku sejak bayi, Bibi, meninggalkan aku dalam asuhan Nenek Wa Wa Lo-bo bersama ayahku yang tidak tahu bagaimana caranya mendidik anak. Kemudian ibuku terbunuh orang. Nah, bagaimana pendapat Bibi? Haruskah aku membalas dendam kematian ibuku. Mencari pembunuh ibuku itu dan membalas dengan membunuhnya demi kebaktianku terhadap ibuku?"
Bagaimanapun juga, Sui Cin tidak berani langsung menyatakan pendapatnya karena ia menghadapi urusan orang lain. Ia membayangkan andaikata ibu kandungnya dibunuh orang, dengan alasan apa pun juga, sudah pasti ia akan mencari pembunuh ibunya itu dan membalas dendam! Walaupun ia mempunyai pandangan sendiri tentang cara berbakti, akan tetapi sanggupkah ia menahan sakit hatinya kalau terjadi musibah menimpa dirinya seperti yang telah menimpa diri pemuda ini?
"Bagaimana pendapat Ayahmu?"
Tanyanya untuk mencari waktu. Pemuda itu menarik napas panjang.
"Ketika hal itu terjadi, aku baru berusia tiga tahun. Setelah aku mengerti, Ayah selalu menghindari pertanyaanku tentang ibuku dan aku tahu bahwa ayah agaknya membenci atau setidaknya dia tidak suka kepada Ibu. Biarpun dia tidak pernah mengatakan sesuatu, aku hampir yakin bahwa ayah tidak peduli tentang kematian Ibu dan tentu tidak setuju kalau aku membalas dendam. Ketika aku berusia dua belas tahun, ayahku meninggal dunia karena sakit."
"Ah, sungguh malang sekali nasibmu, Can-toako."
Kata Kui Hong sambil memandang dengan sinar mata mengandung iba. Kiranya pemuda yang pandai dan kaya raya ini hanya pada luarnya saja nampak hidup senang, padahal nasibnya amat buruk.
"Jadi, semenjak berusia dua belas tahun, engkau hanya hidup berdua saja dengan Nenek Wa Wa Lo-bo itu?"
Tanya Sui Cin, teringat akan nenek yang wajahnya menyeramkan tadi.
"Bukan sejak dua belas tahun, bahkan sejak lahir boleh dibilang Nenek Wa Wa Lo-bo itulah yang merawat dan kemudian mendidik aku. seingatku, ketika masih amat kecil sekalipun, yang mengasuh aku selalu adalah nenek itu. Mungkin sejak kecil mendiang ibu tidak peduli kepadaku."
Wajah pemuda itu nampak diliputi awan duka.
"Dan ia pula yang memanggil guru-guru yang pandai untuk mendidik dan mengajarmu. Apakah ia pula yang memanggil seorang guru silat, dan siapakah ahli silat yang telah mendidikmu, Sun Hok?"
"Dalam segala ilmu kepandaian, Nenek Wa Wa Lo-bo selalu mencarikan guru yang terbaik dengan bayaran mahal. Akan tetapi tentang ilmu silatku yang tidak ada artinya ini, hanya mengenal satu dua Pukulan, semua dilatih oleh Nenek Wa Wa sendiri."
"Aihhhh..!"
Sui Cin terkejut dan memandang terbelalak.
"Kalau begitu nenek itu tentu lihai bukan main."
Ia mengingat-ingat namun tak pernah rasanya mendengar nama tokoh kang-ouw yang bernama Wa Wa Lo-bo.
"Akan tetapi rasanya belum pernah aku mendengar nama besarnya."
"Nenek Wa Wa memang tak pernah berurusan dengan dunia kang-ouw. Dan ia sejak dahulu adalah pengasuh mendiang ibuku, yang sengaja ditinggalkan ibu untuk mengasuh dan merawatku."
Sun Hok yang sejak tadi membiarkan percakapan membelok ke arah lain, kini bertanya lagi.
"Akan tetapi, Bibi Ceng, aku masih menanti jawabanmu tentang maksudku membalas dendam untuk berbakti kepada mendiang ibuku."
"Hemm, sebelum aku menjawab, katakan dulu bagaimana pendapat nenek yang menjadi pengasuh dan juga gurumu itu? Mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?"
Sun Hok menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
"Sudah berulang kali kutanyakan kepada nenek Wa Wa siapa nama pembunuh ibuku, akan tetapi ia selalu tidak mau mengaku, dan mengatakan bahwa belum tiba saatnya bagiku untuk memusingkan diri tentang balas dendam karena ilmu kepandaianku masih jauh daripada mencukupi. Akan tetapi aku tidak pernah bertanya tentang kebaktian kepadanya, Bibi, karena ia hanya pandai ilmu silat akan tetapi dalam hal pengertian hidup tentu saja tak banyak dapat diharapkan darinya. Karena itu, kepada Bibilah aku memandang dan mengharapkan keterangan yang jelas. Haruskah aku membalas dendam demi kebaktianku kepada mendiang ibu, Bibi Ceng?"
Kini Ceng Sui Cin tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi tadi dia sudah memperoleh cukup waktu untuk mempertimbangkan jawabannya.
"Sun Hok, aku tidak ingin mempengaruhi batinmu karena aku tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi, sesungguhnyalah bahwa balas dendam bukan berarti berbakti. Balas dendam lebih merupakan penyaluran kemarahan dan kebencian yang ditujukan kepada pihak lain yang dianggap telah merugikan diri sendiri. Balas dendam timbul karena kebencian, bukan karena keinginan berbakti. Berbakti mempunyai sifat mendatangkan kebaikan, bukan bersifat merusak. Engkau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa menurut yang kau ketahui, mendiang ibumu pernah menjadi seorang tokoh sesat yang melakukan kejahatan. Nah, kalau ia meninggal karena melakukan kejahatan, maka bagaimanakah pendirianmu? Kalau engkau hendak membela ibumu, bukankah berarti engkau membela kejahatannya, bahkan membantu dan menambah kejahatannya? Andaikata ibumu masih hidup, kebaktianmu dapat diwujudkan dengan menasihati dan menyadarkan ibumu daripada penyelewengan dan kesesatan. Akan tetapi beliau sudah meninggal dunia. Menurut pendapatku, kalau engkau mau berbakti, jalan satu-satunya yang paling baik adalah mencuci namanya yang ternoda dengan kejahatan itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Seluruh dunia kang-ouw yang melihat dan mendengar bahwa engkau, putera ibumu, menjadi seorang pendekar budiman, tentu akan dapat memaafkan semua kesalahan ibumu yang lalu. Nah, bukankah hal itu merupakan kebaktian yang paling tepat?"
Sun Hok mengangguk-angguk.
"Sudah banyak aku mempelajari kitab-kitab agama dan filsafat dari guru-guru sastraku, dan memang semua pelajaran itu sejalan dengan apa yang Bibi nasihatkan tadi. Terima kasih atas petunjukmu, Bibi Ceng. Aku pun sudah mencoba untuk berbuat baik dengan menentang kejahatan, membela si lemah tertindas. Akan tetapi, perasaan tak enak dan penasaran di dalam hatiku tak pernah mau lenyap sehingga kadang-kadang aku menjadi gelisah, bingung dan mudah dihinggapi kemarahan. Aku mencoba untuk menghibur perasaan ini dengan nyanyi, musik, minum arak dan pelesir di tempat-tempat indah. Namun belum juga mau lenyap kegelisahan ini."
Percakapan mereka terhenti dengan munculnya Nenenk Wa Wa Lo-bo. Kemunculannya demikian tiba-tiba. Tahu-tahu nenek itu telah berada di ambang pintu ruangan itu sehingga mengejutkan Sui Cin dan Kui Hong karena mereka sama sekali tidak mendengar bunyi langkahnya. Nenek itu dengan sikap dingin akan tetapi hormat, membungkuk dan berkata dengan suara lirih namun jelas.
"Kamar dan air untuk Toanio dan siocia telah dipersiapkan, Kongcu."
Agaknya nenek itu hanya menghadap dan melapor kepada Sun Hok, sikapnya bukan seperti seorang guru terhadap murid, melainkan sebagai seorang pelayan terhadap majikannya. setelah berkata demikian, nenek itu menoleh, bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan wanita.
"Antarkan Toanio dari siocia ke kamarnya."
Katanya lalu dia membungkuk lagi kemudian pergi. Sun Hok agaknya tidak merasa aneh atau tersinggung atau malu akan sikap nenek itu. Dia tersenyum ramah kepada dua orang tamunya.
"Bibi Ceng, Adik Hong, silakan kalau hendak mandi dan mengaso. Kita berternu lagi nanti di ruangan makan."
Sui Cin dan Kui Hong mengangguk, dan mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti pelayan wanita itu menuju ke kamar mereka yang sudah dipersiapkan untuk mereka. Mereka melalui lorong-lorong dan semakin kagum saja karena keadaan dalam rumah besar menyerupai istana itu benar-benar amat mewah dan indah, juga amat luasnya karena di bagian tengahnya terdapat sebuah taman yang penuh dengan bunga indah dan sebuah kolam ikan yang dihiasi dengan arca-arca yang amat indahnya. Mereka memperoleh sebuah kamar besar yang menghadap ke kolam ikan, dan hawa dalam kamar itu sejuk bukan main karena memperoleh hawa segar yang langsung masuk dari dalam taman. Setelah mandi dan rnengenakan pakaian bersih, ibu dan anak itu merasa segar dan enak.
"Ibu, ketika mengunjungi Pulau Teratai Merah, aku masih kecil dan aku sudah lupa lagi keadaan di sana. Akan tetapi aku masih ingat bahwa rumah di sana lebih bagus daripada yang di Cin-ling-san. Kalau dibandingkan dengan rumah Can-toako ini, mana lebih indah, Ibu?"
Tanya Kui Hong. Ibunya tersenyum.
"Rumah kakek dan nenekmu di Pulau Teratai Merah juga indah dan besar, akan tetapi agaknya tidak semewah ini. Maklumlah, Can Sun Hok menerima harta peninggalan kakeknya yang pernah menjadi gubernur, tentu perabot-perabot rumahnya serba indah, kuno dan mahal!"
"Semua di sini serba indah. Can-toako juga orangnya ramah, halus dan baik budi. Juga para pelayannya nampak rapi, kecuali... hemm, Nenek itu sungguh membuat aku merasa serem, Ibu."
"Memang wajahnya menyeramkan dan sikapnya dingin, agaknya banyak rahasia tersimpan di dalam hatinya. Jelas ia lihai bukan main. Sayang aku belum pernah mendengar namanya sehingga aku tidak tahu orang macam apakah adanya nenek itu. Betapapun juga, menghadapi orang seperti itu, kita harus tetap waspada dan hati-hati, Kui Hong."
Ketika mereka diundang untuk makan malam di ruangan makan, kembali mereka berdua kagum karena hidangan makan yang disuguhkan banyak macamnya dan rata-rata lezat. Can Sun Hok juga sudah berganti pakaian, akan tetapi tetap saja pakaiannya sederhana, sungguh tidak cocok dengan keadaan rumahnya yang mewah. Hal ini membuat Sui Cin menjadi semakin kagum dan suka kepada pemuda ini. Ia sendiri adalah seorang yang sejak mudanya berpakaian sembarangan, bahkan nyentrik walaupun ia puteri Pendekar sadis yang juga kaya raya. Pemuda ini biarpun keturunan bangsawan dan kaya raya, bahkan memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang tinggi, namun demikian rendah hati, sama sekali tidak sombong.
Dan watak rendah hati ini saja sudah merupakan modal yang cukup kuat untuk menjadl seorang baik-baik, pikir Sui Cin. Makin condong hatinya untuk mengharapkan perjodohan antara puterinya dan pemuda aneh ini. Akan tetapi, nenek itu tidak nampak pula di ruangan makan, padahal ada sebuah kursi lagi dan di atas meja telah disediakan pula mangkok kosong dan cawan kosong. Jelaslah bahwa para pelayan telah menyediakan tempat untuk siapa lagi kalau bukan untuk nenek yang biarpun menjadi pengasuh dan pembantu, juga menjadi guru pemuda itu. Namun, nenek yang agaknya biasa makan bersama Sun Hok, sekali ini tidak nampak. Hal ini membuat Sui Cin menjadi curiga, akan tetapi demi sopan santun, ia pun tidak bertanya apa-apa kepada tuan rumah tentang nenek yang menarik perhatiannya itu
Dalam waktu makan malam itu pun Can Sun Hok bersikap ramah terhadap kedua orang tamunya. Nampak jelas betapa pemuda ini kagum dan hormat kepada Sui Cin, dan juga kagum dan suka kepada Kui Hong. Sehabis makan, Sun Cok mempersilakan tamu-tamunya untuk beristirahat. Sun Hok sendiri tidak segera tidur, melainkan memasuki taman besar yang berada di belakang rumahnya. Berbeda dengan taman kecil yang berada di tengah-tengah bangunan, dikelilingi kamar-kamar dan ruangan, taman yang berada di belakang rumah ini luas sekali. Sun Hok duduk termenung di dekat kolam besar menyerupai danau kecil, di atas bangku sambil memandang ke arah bulan muda yang sudah menghias angkasa. Dia termenung, memikirkan percakapannya dengan nyonya yang dikaguminya itu, terutama tentang dendam dan kebaktian.
"Hemm, agaknya kata-kata manis beracun itu telah mulai menyusup ke dalam hatimu, Kongcu."
Tiba-tiba terdengar suara lirih dan dingin. Sun Hok maklum bahwa pengasuhnya juga gurunya dalam ilmu silat, yang datang. Dia menoleh dan benar saja, Nenek Wa Wa Lo-bo telah berdiri di belakangnya.
"Ah, kebetulan engkau datang, Lo-bo. Mari duduk, aku ingin bicara padamu."
"Hemm, aku pun ingin bicara padamu, Kongcu."
Kata nenek itu sambil duduk di ujung bangku.
"Aku mau bicara tentang kematian ibu kandungku dan membalas dendam."
"Tepat sekali, aku pun ingin bicara tentang kematian ibumu."
Mendengar ini, Sun Hok girang bukan main. Nenek ini, walaupun sudah sering kali dia bertanya, tak pernah mau bercerita tentang kematian ibunya, tentang siapa pembunuh ibunya.
"Ah, Lo-bo yang baik... aku siap mendengarkan!"
Katanya dengan gembira karena akhirnya nenek itu akan membuka rahasia yang selalu menggelisahkan hatinya itu. Dia ingin sekali mendengar bagaimana ibunya tewas dan siapa pula pembunuhnya.
"Nah, dengarlah baik-baik!"
Kata nenek itu dengan suara datar.
"Ibumu sejak muda sudah menjadi seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi bernama Gui Siang Hwa. Karena ia cantik jelita dan ahli soal penggunaan racun, maka ibumu itu dijuluki orang Siang-tok Sian-li (Bidadari Racun Harum). Ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi, ia yang demikian cantik jelita dan lihai, pernah tergila-gila kepada ayah kandungmu! Ayahmu itu sejak muda sudah menjadi seorang pemuda bangsawan kaya raya yang tidak ada gunanya, hanya tampan pesolek dan suka mengejar wanita cantik. Memuakkan sekali!"
Nenek itu terhenti, agaknya masih penasaran mengapa gadis secantik Gui Siang Hwa yang sejak kecil telah menjadi asuhannya karena sejak muda ia menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis, sampai mau menyerahkan diri kepada seorang pemuda lemah seperti Can Koan Ti.
"Lalu bagaimana, Nek?"
Sun Hok mendesak.
"Ayahmu itu, Can Koan Ti, seperti semua laki-laki macam dia, sebentar saja sudah jemu dengan ibumu. Ketika ibumu melahirkan engkau, Can Koan Ti sudah bermain gila dengan banyak wanita semenjak ibumu mengandung. Maka, ibumu tak tahan melihat itu dan semenjak engkau lahir, akulah yang ditugaskan mengasuh dan merawatmu, sedangkan ibumu sendiri pergi meninggalkan Can Koan Ti."
"Terima kasih atas semua kebaikanmu, Lo-bo."
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Sun Hok dengan suara sungguh-sungguh sambil memandang wajah yang tua dan amat buruk itu. Dia tahu benar, dapat merasakan betapa nenek ini amat sayang kepadanya.
"Hah, aku tidak butuh terima kasih, Kongcu!"
Nenek itu mengibaskan tangannya, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menjadi basah. Ia memang sayang sekali kepada pemuda yang sejak bayi diasuhnya itu, bahkan merasa bahwa pemuda itu seperti anaknya sendiri, seperti darah dagingnya sendiri! "Baik Kulanajutkan ceritaku. Aku merawatmu di rumah ayahmu, melihat ayahmu berfoya-foya dengan wanita-wanita cantik tanpa mempedulikan dirimu. Akhirnya, dia terkena penyakit yang menyeretnya ke lubang kubur. Engkau menjadi pewaris tunggal dan aku dengan sekuat tenaga dan kemampuan berusaha mendidikmu sebagaimana mestinya, seperti yang dikehendaki ibumu."
"Dan engkau memang telah melaksanakan tugasmu dengan baik sekali, terlalu baik sekali. Terima kasih, Lo-bo."
"Hushh, sudahlah. Dengar sekarang. Ibumu adalah seorang petualang yang gagah perkasa dan ketika ia membantu petualangan suhu dan subonya, sepasang suami isteri sakti yang menjadi raja dan ratu di dunia kang-ouw, ketika engkau berusia tiga tahun, ibumu tewas..."
Aku sudah melakukan penyelidikan dan ibumu ternyata tewas karena dikeroyok oleh pasukan perajurit kerajaan, setelah dijatuhkan oleh seorang pendekar wanita."
Berkerut alis Sun Hok yang tebal dan dia pun mengepal tinju.
"Kenapa engkau tidak pergi membunuh wanita itu, Lo-bo?"
"Aihh, engkau bicara enak saja! Kalau ibumu saja sampai kalah, apalagi aku! Aku menggemblengmu sampai sekarang engkau telah menguras semua ilmuku. Sekarang kepandaianmu setingkat dengan kepandaianku, tidak ada yang tidak kau kuasai apa yang menjadi milikku, bahkan engkau menang tenaga. Akan tetapi, dengan kepandaian kita berdua sekalipun, tidak akan mudah mengalahkan pendekar wanita itu. Engkau harus memperdalam illmumu dan..."
"Aku tidak takut! Sekarang pun aku tidak takut, dan kalau engkau tidak berani, jangan turut-turut, biar aku sendiri yang menghadapinya. Siapa wanita itu dan di mana tempat tinggalnya?"
"Aku tahu, bahwa engkau tentu akan nekat membalas dendam kalau kuberitabukan ketika engkau berkali-kali menanyakan hal itu, akan tetapi karena kuanggap kepandaianmu belum cukup, aku selalu merahasiakan. Sekarang pun tentu masih kurahasiakan kalau saja Thian tidak menolong kita. Akan tetapi agaknya Thian menyetujui niat kita membalas dendam, karena sekarang terbuka kesempatan bagi kita untuk membalas dendam itu tanpa mengeluarkan banyak tenaga!"
"Apa maksudmu, Lo-bo?"
"Perempuan itu, musuh besar kita itu, pembunuh ibu kandungmu itu, ia telah mengantarkan sendiri nyawanya kepada kita. Kita tinggal mencabutnya saja, untuk membalas dendam itu!"
Nenek itu nampak gembira dan sepasang matanya mencorong.
"Lo-bo, apa artinya ini?"
Sun Hok memandang dengan mata terbelalak.
"Heh-heh, anak bodoh. Pembunuh ibu kandungmu itu, pendekar wanita itu bernama Ceng Sui Cin!"
"Bibi Ceng...!"
Sun Hok melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak dan wajahnya berubah pucat.
"Benar, tamu kita! Ia kini mengajak puterinya seperti dua ekor tikus memasuki perangkap. Inilah saatnya bagi kita, setelah terbuka kesempatan baik ini. Ia adalah puteri Pendekar sadis di Pulau Teratai Merah, dan menantu dari Ketua Cin-ling-pai. Kalau ia sudah kembali ke satu di antara dua tempat itu, tidak mudah bagi kita untuk mencari dan membunuhnya. Sekaranglah saatnya, selagi mereka tidur. Aku akan membunuhnya sekarang juga!"
"Lo-bo, jangan...!"
Sun Hok berkata kaget.
"Hemm, engkau ini kenapakah, Kongcu? Ia telah menyebabkan kematian ibu kandungmu, ia musuh besarmu, juga musuh besarku karena ibumu bagiku seperti anakku sendiri yang kuasuh sejak bayi! Sejak mereka kaubawa datang tadi dan mengaku nama mereka, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuhnya. Aku tidak berani menggunakan racun dalam makanan atau minuman, selain takut kalau engkau sendiri terkena racun karena engkau makan bersama mereka, juga aku khawatir ia yang lihai sekali itu akan tahu bahwa makanan atau minuman diracun sebelum ditelannya. Kalau begitu, akan gagal usahaku membalas dendam. Sekarang, setelah mereka tidur, aku akan masuk kamar mereka dan membunuh mereka. Mereka kuberi kamar di mana terdapat pintu rahasianya sehingga aku dapat masuk tanpa mereka dengar."
"Jangan, Lo-bo. Engkau tidak boleh membunuh mereka!"
Sun Hok berkata dengan suara tegas dan gemetar karena tegangnya.
"Kita tidak boleh membunuhnya!"
Masih bergema di dalam telinga Sun Hok tentang nasihat Ceng Sui Cin kepadanya tadi tentang dendam dan kebaktian. Jelas bahwa ibu kandungnya memang seorang tokoh hitam atau kaum sesat, seorang petualang yang demikian kejamnya untuk meninggalkan anak sendiri dalam asuhan seorang bujang dan tidak pernah ditengoknya lagi. Juga ayahnya seorang mata keranjang yang tidak mempedulikan anaknya, hanya mengejar kesenangan melalui wanita-wanita cantik saja. Kalau dia hendak berbakti, demikian nasihat Ceng Sui Cin, dia harus melakukan perbuatan-perbuatan baik, menjadi pendekar budiman agar tercuci bersih noda yang menempel di nama orang tuanya.
"Kongcu, pikirlah baik-baik. Ia adalah musuh besarmu! Kenapa sih engkau ini? Aihhh, mengerti aku sekarang. Engkau telah tergila-gila kepada gadisnya itu!"
"Lo-bo, jangan bicara yang bukan-bukan!"
"Heh-heh, engkau tidak mungkin dapat membohongi seorang tua renta seperti aku, Kongcu. Engkau telah jatuh cinta kepada Nona itu, maka engkau merasa keberatan untuk membunuh mereka. Akan tetapi hal itu dapat kita atur, Kongcu. Kita bunuh ibunya dan membiarkan anaknya hidup dan engkau boleh memilikinya sampai engkau merasa bosan baru ia dibunuh..."
"Lo-bo, apakah engkau sudah gila?"
Teriak Sun Hok marah sekali, juga terkejut dan heran bagaimana nenek yang biasanya bersikap halus kepadanya itu, yang sama sekali tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda jahat, kini dapat mengajukan usul yang demikian mengerikan. Membunuh ibunya dan memperkosa puterinya sampai bosan baru dibunuh! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Sejak kecil, oleh guru-guru sastra dan kitab-kitab yang dibacanya, dia telah banyak mengetahui tentang baik buruk dan tentang kejahatan-kejahatan yang tak boleh dilakukan manusia, tentang kebajikan-kebajikan dan bagaimana seharusnya sikap hidup seorang kuncu (budiman). Karena itu, mendengar usul nenek itu, dia bergidik dan merasa ngeri sekali.
Pendekar Sadis Eps 39 Siluman Gua Tengkorak Eps 2 Siluman Gua Tengkorak Eps 8