Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 2


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Tanahnya ditutupi rumput hijau tebal dan amat subur dan di sana-sini terdapat pohon-pohon raksasa. Karena bagian itu menonjol dan paling tinggi, maka dapat menampung lebih banyak sinar matahari maka nampak segar dan paling subur. Pagi-pagi sekali, dua sosok bayangan orang sudah nampak berlari-lari memasuki hutan itu. Kalau ada yang melihat mereka, tentu akan merasa heran dan ngeri. Orang-orang yang berani memasuki daerah itu tak salah lagi tentu segolongan perampok dan orang jahat yang menjadi pelarian. Mereka adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang memondong seorang anak laki-laki, bersama seorang wanita. Mereka memang Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang membawa lari Siangkoan Hay. Mereka memilih tempat itu untuk beristirahat karena mereka maklum bahwa di tempat itu mereka akan merasa aman, tidak akan ada orang yang berani mengganggu mereka.

   Akan tetapi, suami isteri iblis ini sama sekali tidak mengira bahwa jauh di belakang mereka ada sepasang suami isteri yang tidak kalah kejamnya melakukan pengejaran dan selalu membayangi mereka sejak mereka melarikan diri dari Nan-king membawa anak laki-laki itu. Mereka ini adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Setelah tiba di atas bukit kecil itu, K wee Siong dan Tong Ci Ki menghentikan lari mereka dan membawa Hay Hay menuju ke bawah sebatang pohon besar yang berada di puncak bukit. Di bawah pohon itu nampak bersih dan agaknya mereka sudah pernah di tempat itu, dan tempat itu memang menjadi tempat mengaso bagi mereka yang berani melalui daerah rawan ini. Tempat itu yang paling tinggi, bersih terlindung oleh pohon besar dan rumput yang tebal itu masih bertilamkan daun-daun kering yang lunak, enak untuk duduk maupun untuk tidur.

   Kwee Siong menurunkan tubuh Hay Hay yang sejak tadi dipondongnya, dan cara dia menurunkan tubuh itu, dengan hati-hati dan lembut, menunjukkan bahwa dia tidak bersikap keras terhadap anak itu. Hal ini pun dirasakan oleh Hay Hay, apalagi ketika tiba-tiba laki-laki jangkung kurus itu mengusap tengkuknya dan dia pun seketika dapat bergerak maupun mengeluarkan suara kembali, maka Hay Hay menjadi berani dan dia pun segera bangkit berdiri dari keadaan rebah miring. Semenjak dia diculik dari dekat peti-peti jenazah itu, dia merasa terkejut dan juga diam-diam marah sekali. Apalagi ketika dia melihat betapa dua buah peti mati itu setelah diraba oleh Si Jangkung lalu mengeluarkan darah. Dia merasa ngeri dan tidak mengerti. Kalau ayah ibunya memang sudah mati, kenapa dari kedua petinya keluar darah menetes-netes? Ketika dia dilarikan dalam keadaan tidak mampu bergerak maupun bersuara.

   Hay Hay membayangkan semua peristiwa yang dialaminya, sejak malam yang mengerikan itu. Ketika ayah ibunya menjenguknya malam-malam itu, dia merasa curiga dan menduga bahwa melihat wajah ayah bundanya yang tegang, tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Dia seorang anak pemberani. Maka, ketika ayah ibunya keluar lagi, diam-diam dia pun lalu cepat meninggalkan kamarnya dan berindap-indap menuju ke belakang rumah. Dan dia pun melihat apa yang telah ditemukan ayah ibunya, bangkai-bangkai binatang dan mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah keluarganya! Dia lalu lari pula mencari-cari dan akhirnya dia melihat ayah ibunya berhadapan dengan laki-laki dan perempuan yang keadaannya mengerikan, seperti dua sosok mayat hidup. Akan tetapi yang amat menarik perhatiannya adalah percakapan yang terjadi antara ayah ibunya dan dua orang aneh itu.

   Dua orang itu agaknya memperebutkan dia! Dan biarpun dia tidak dapat mengerti sepenuhnya akan maksud perbantahan empat orang itu, namun dia mendengar betapa laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam itu mengaku dia sebagai anak mereka! Seminggu lagi mereka akan datang untuk mengambilnya dan sebulan kemudian akan membunuh ayah ibunya! Melihat bangkai-bangkai dan mayat-mayat tadi sudah mengguncang perasaan Hay Hay! kini mendengar perbantahan itu, dia menjadi semakin bingung. Benarkah dia bukan anak kandung ayah ibunya, melainkan anak kandung sepasang manusia seperti mayat hidup ini? Dia merasa semakin ngeri dan bingung. Mereka datang untuk mengambilnya! Ingatan ini saja yang mengejarnya dan anak ini pun lari meninggalkan rumahnya.

   Sebagai seorang anak laki-laki yang lincah dan suka berkeliaran. Hay Hay mengenal tempat-tempat yang amat tersembunyi dan ketika ayah ibunya mencari-carinya, dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil. Dia seringkali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, orang takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena tertutup oleh semak-semak. Tidak mengherankan apabila orang-orang lihai seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak berhasil menemukan putera mereka itu. Siapa yang menyangka anak itu akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati katak dan belut-belut? Pula, Siangkoan Leng dan isterinya menduga bahwa anak mereka diculik orang, bukan melarikan diri.

   Hay Hay tinggal di bawah jembatan sampai tiga hari. Hanya kalau perutnya merasa amat lapar saja dia keluar di waktu malam gelap dan mendatangi kawan-kawannya, minta makanan dan teman-teman itu pun, seperti biasanya anak-anak kecil yang suka akan petualangan, merahasiakan tempat sembunyinya dan setia kawan padanya. Pada hari ke empat, ketika dia masih tidur nyenyak, seorang kawannya datang menjenguknya dan mengguncang-guncang tubuhnya, membangunkannya dengan berita, bahwa ayah ibunya telah meninggal dunia dan telah dilayat orang! Mendengar berita hebat itu, Hay Hay lupa akan segala kengerian dan dia pun berlari pulang. Dapat dibayangkan betapa sedih dan bingungnya ketika dia melihat dua buah peti mati di ruangan depan. Apalagi ketika ada seorang tetangga yang mengenalnya ketika dia baru memasuki pekarangan. Tetangga itu merangkulnya dan mengeluh.

   "Kasihan kau, Hay Hay. Masih begini kecil ditinggal mati ayah ibu secara mendadak..."

   Hay Hay tanpa ragu-ragu lagi. Ayah ibunya telah mati dan telah dimasukkan peti mati! Dia lalu menghampiri, berlutut di depan kedua peti dan menangislah dia dengan hati sedih dan bingung. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa dia telah melarikan diri sehingga dia tidak tahu mengapa ayah ibunya mati dan apa yang menyebabkan kematian mereka. Kemudian muncul dua orang yang membuatnya merasa serem itu dan dia pun dibuat tidak dapat bergerak maupun bersuara sehingga ketika dia dipondong dan dibawa pergi, dia tidak mampu melawan sama sekali. Sehari semalam dia dibawa pergi dan mereka hanya berhenti untuk makan minum.

   Akan tetapi Hay Hay tidak pernah mau makan dan minum. Tiap kali dibebaskan dari totokan, dia segera bertanya apa yang telah terjadi dengan ayah ibunya kepada orang-orang itu. Akan tetapi mereka tidak pernah mau bicara dan memaksa kalau dia tidak mau makan. Dia hanya ditotok lagi dan dibawa pergi lagi. Bagaimanapun juga, suami isteri yang seperti mayat hidup atau iblis itu tidak pernah bertindak kasar terhadap dirinya. Sebaliknya malah, mereka mencoba membujuknya dengan
(Lanjut ke Jilid 02)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
kata-kata manis agar dia mau makan atau minum. Namun selalu ditolaknya. Ketika pagi hari itu mereka berhenti di puncak bukit dan dia diturunkan lalu dibebaskan dari totokan, Hay Hay langsung bangkit berdiri dan memandang kepada suami isteri itu dengan mata terbelalak penuh penasaran, kemarahan dan keberanian.

   "Sebetulnya, apakah yang telah kalian lakukan? Di mana ayah ibuku, dan apa yang telah terjadi dengan mereka?"

   Dua orang itu saling pandang dan agaknya dalam bertukar pandang itu mereka juga bertukar pikiran karena Kwee Siong mengangguk dan membiarkan isterinya yang bicara dengan anak itu.

   "Sin-tong..."

   "Namaku bukan Sin-tong, namaku Siangkoan Hay dan biasa disebut Hay Hay!"

   Kata Hay Hay dengan sikap angkuh karena hatinya penuh kemengkalan terhadap mereka. Wanita itu tersenyum. Memang manis sekali wajahnya kalau tersenyum walaupun usianya sudah mendekati setengah abad, akan tetapi karena muka itu pucat seperti mayat dan hanya kedua matanya saja yang nampak hidup dan indah, maka kemanisan wajah itu mengandung keseraman.

   "Anak baik, namamu sekarang ini adalah palsu. Engkau disebut Sin-tong (Anak Ajaib) dan belum diberi nama, karena itu kusebut Sin-tong padamu. Ketahuilah bahwa yang bernama Siangkoan Leng itu bukan ayahmu, dan Ma Kim Li itu bukan ibumu!"

   Hal ini sudah didengarnya malam itu ketika dua orang ini berbantahan dengan ayah ibunya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu mudah. Dia seorang anak cerdik yang biasanya berwatak lincah jenaka, dan walaupun saat itu dia merasa berduka dan bingung, namun dia tidak kehilangan kecerdikan dan keberaniannya yang memang luar biasa.

   "Bukan anak kandung mereka akan tetapi anak kalian, begitukah? Hemm, jangan harap aku dapat mempercayai keterangan itu. Kalau aku bukan anak mereka, bagaimana sejak bayi aku berada bersama mereka?"

   "Karena engkau memang diculik oleh mereka sejak engkau berusia dua bulan, mereka datang membawa bayi mereka yang berpenyakitan, menukarkan bayi mereka dengan engkau, membunuh dua orang, tiga dengan bayi mereka sendiri dan melarikan engkau ke utara, ke Nan-king."

   Hay Hay mengerutkan alisnya.

   "Membunuh bayi mereka sendiri dan menukarnya bayi itu dengan aku? Tidak mungkin Ayah dan Ibu melakukan perbuatan seperti itu!"

   "Anak baik, tentu engkau tidak mengenal benar siapa adanya orang-orang yang kau anggap sebagai ayah dan ibu kandungmu itu."

   "Tentu saja aku mengenal mereka! Ayahku bernama Siangkoan Leng dan ibuku bernama Ma Kim Li. Mereka adalah ahli-ahli pengobatan dan berdagang obat-obatan, mereka orang-orang yang baik dan suka menolong orang, mengobati orang, kalau perlu mengobati otang-orang miskin tanpa bayar."

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Si Tangan Maut Kwee Siong tertawa dan Hay Hay memandang kepada wajah orang itu dengan mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Orang itu benar-benar memiliki muka seperti kedok. Ketika tertawa, hanya mulutnya saja ternganga dan mengeluarkan suara bergelak itu, akan tetapi bagian lain dari muka itu sama sekali tidak ikut tertawa.

   "Sin-tong, ketahuilah bahwa ayah dan ibumu itu bukanlah orang tua kandungmu dan mereka adalah tokoh-tokoh yang terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Setelah pada tujuh tahun yang lalu menukarkan anak kandung mereka yang berpenyakitan denganmu, membunuh dua orang yang mengasuhmu dan juga membunuh anak mereka sendiri untuk menghilangkan jejak mereka lalu membawamu lari ke Nan-king dan untuk menyembunyikan diri, mereka pura-pura berdagang obat. Akan tetapi kami akhirnya dapat menemukan mereka dan telah menghukum mereka. Mereka kini telah tewas, ha-ha-ha!"

   Diam-diam anak itu terkejut dan masih ragu-ragu, sukar untuk dapat mempercaya keterangan dua orang yang seperti mayat hidup itu, akan tetapi juga mulai meragukan keaslian ayah ibunya.

   "Kalau benar aku ini anak kalian, kenapa kalian membiarkan aku diculik orang?"

   "Kami sedang pergi dan engkau hanya berada dengan seorang pengasuh yang ditemani seorang nikouw ketika mereka datang membawamu dan..."

   Tiba-tiba saja Kwee Siong berhenti bicara dan telah meloncat berdiri diikuti isterinya. Juga Hay Hay terkejut bukan main ketika secara tiba-tiba saja datang angin besar yang membuat daun-daun kering yang berserakan di bawah pohon itu beterbangan! Dan tiba-tiba saja, ketika daun-daun yang tadinya beterbangan dan menutupi pandangan mata itu turun kembali ke atas tanah bersama debu yang tadi mengepul tinggi, terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ, hanya beberapa meter dari mereka, telah berdiri seorang kakek berkepala botak!

   Kakek itu tubuhnya bundar seperti bola karet, kepalanya bundar, perutnya bundar bahkan kaki dan tangannya itu seperti bundar-bundar saking gemuknya. Matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya, semua berbentuk bundar. Karena gemuk dan berkulit kuning, dia seperti seekor babi raksasa yang berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan memakai pakalan! Pakaiannya kedodoran, celana yang lebar dan jubah yang terbuka bagian depannya, sehingga nampak dada dan perut yang penuh daging, kulit yang kuning mulus tanpa rambut seperti tubuh seorang bayi. Sukar menaksir berapa usia kakek ini, dan melihat mukanya yang selalu menyeringai dan matanya yang lebar itu selalu bercahaya, mukanya selalu berseri, orang akan menduga bahwa kakek ini seorang yang peramah dan baik hati.

   "Heh-heh-heh-heh, ada orang-orang yang tidak tahu diri, berani sekali mengotori tempat ini."

   Kakek itu memandang kepada Kwee Siong, Tong Ci Ki dan Hay Hay bergantian, lalu melanjutkan.

   "Hayo kalian bersihkan tempat ini, sapu bersih daun-daun ini setelah itu cepat pergi tinggalkan tempat ini!"

   Semua ini diucapkan dengan wajah masih berseri dan ramah sehingga amat berlawanan. Mukanya saja nampak tersenyum mecnyeringai dan ramah, akan tetapi isi kata-katanya memerintah dan bahkan mengandung nada mengancam. Suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan itu adalah dua orang tokoh hitam yang amat terkenal di daerah pantai selatan. Mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan sudah biasa pula dihormati dan ditakuti orang. Hal ini mendatangkan suatu watak sombong dan memandang rendah orang lain. Oleh karena itu, biar pun kemunculan kakek bulat itu tadi mengejutkan hati mereka, setelah melihat bahwa kakek itu nampaknya tidak mengesankan dan tidak menakutkan, apalagi mendengar ucapannya yang mereka anggap sebagai penghinaan, suami isteri itu menjadi marah sekali.

   "Tua bangka bermulut lancang! Engkau sudah bosan hidup rupanya!"

   Si Jarum Sakti Tong Ci Ki membentak marah dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah dada dan perut yang tidak terlindung itu. Kakek gendut itu agaknya tidak tahu akan serangan itu, atau memang tidak sempat mengelak atau menangkis. Selain sambitan jarum itu amat cepat dan jarak mereka tidak terlalu jauh, juga kakek gendut itu tentu saja amat lamban gerakannya, mengingat tubuhnya yang gendut.

   Jelas nampak betapa belasan batang jarum halus berwarna hitam itu menyambar dan mengenai leher, dada dan perut yang tak terlindung baju itu. Nampak jelas betapa jarum-jarum hitam itu menancap di kulit leher, dada dan perut, akan tetapi kakek botak gendut yang sedang tersenyum itu seperti tidak pernah merasakan dan senyumnya tidak pernah putus, bahkan berkedip pun tidak! Tentu saja Tong Ci Ki terbelalak dan mulutnya ternganga, tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Jarum-jarum hitamnya itu adalah senjata rahasia yang ampuh, mengandung racun yang dapat mencabut nyawa lawan yang terkena jarum itu seketika. Akan tetapi, kini jarum-jarumnya menancap di tubuh itu seperti menancap batang pohon saja! Kwee Siong yang juga marah sekali, menyusul serangan isterinya itu dengan terjangan dahsyat.

   Dia juga terkejut melihat betapa jarum-jarum yang dilepas isterinya itu tepat mengenai tubuh lawan akan tetapi kakek gendut itu tidak roboh, maka dia pun mempercepat serangannya dan tangannya yang kanan menyambar ke arah kepala kakek botak itu. Kembali kakek itu tidak mengelak atau menangkis, hanya memandang dengan mulut tersenyum menyeringai saja, bahkan matanya berkedip-kedip lucu. Akan tetapi, ketika tangan yang menampar itu, tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuatnya, menyambar dekat, tinggal beberapa senti lagi dari kepala botak itu, tiba-tiba saja tangan itu menyeleweng seperti terpeleset oleh sesuatu yang licin dan sama sekali tidak mengenai kepala itu, hanya menyerong ke samping dan lewat beberapa senti jauhnya dari kepala itu.

   "Aihh...!"

   Si Tangan Maut Kwee Siong berseru kaget setengah mati. Dia dan isterinya memandang dengan mata terbelalak ketika kakek itu mengeluarkan suara ketawa dan jarum-jarum yang menancap pada tubuhnya itu runtuh semua ke atas tanah. Kulit tubuhnya yang tadi tertusuk jarum itu sama sekali tidak nampak terluka. Jarum-jarum itu tidak meninggalkan bekas, seolah-olah tadi hanya menempel saja dan tidak menancap. Suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan itu selain terkejult dan heran, juga merasa penasaran dan marah sekali.

   Orang-orang seperti mereka ini selalu memandang diri sendiri terlalu tinggi dan tidak menghargai orang lain, maka setiap kali mereka gagal, tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa penasaran dan kemarahan. Mereka lalu tiba-tiba saja menjatuhkan diri bertiarap di atas tanah, bergulingan dari dua jurusan menuju ke arah kakek gendut dan setelah dekat, keduanya menggerakkan tubuh serentak menyerang dari bawah dengan Pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Pukulan mereka itu datang dari kanan kiri dan menghantam ke arah tubuh gendut kakek itu yang masih saja tersenyum-senyum seperti seorang dewasa menghadapi kenakalan dua orang anak kecil. Suami isteri yang tadinya bergulingan dan bertiarap itu, ketika memukul tubuh mereka mendadak meloncat ke atas dan tenaga Pukulan yang bertolak dari tanah itu amatlah kuatnya.

   "Desss! Desss!"

   Dua Pukulan itu seperti berlumba mengenai tubuh kakek gendut dari kanan kiri. Seperti juga tadi, kaKek itu sama sekali tidak mengelak, hanya berdiri tegak dengan kedua kakinya terpentang lebar dan agaknya membiarkan dua Pukulan dari kanan kiri itu mengenai tubuhnya.

   Hanya ketika Pukulan itu tiba, dia mengembangkan kedua lengannya, kemudian setelah Pukulan mengenai tubuhnya, dia mengibaskan kedua tangannya yang jari-jarinya juga bulat-bulat itu ke bawah, seperti orang mengusir dua ekor lalat yang mengganggu saja layaknya. Dan akibatnya, tubuh yang menerima Pukulan itu tidak bergoyang sedikit pun, sebaliknya, dua tubuh yang sedang meloncat sambil memukul dari bawah tadi, kini terpelanting dan berguling-guling di atas tanah. Suami isteri itu merasa tubuh mereka panas seperti disambar petir. Ketika mereka dapat menguasai tubuh dan hendak meloncat bangun, kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan angin yang kuat menyambar, membuat dua orang suami isteri itu roboh kembali setiap kali mereka mau bangkit!

   Tentu saja dua orang itu terkejut setengah mati. Setelah mengerahkan seluruh tenaga dan mencoba untuk bangkit dengan segala cara dan akal namun selalu dirobohkan kembali oleh Pukulan jarak jauh dari kakek itu, akhirnya keduanya baru yakin benar bahwa sesungguhnya mereka berdua itu berhadapan dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, yang tingkat kepandaiannya beberapa kali lebih tinggi daripada tingkat mereka. Maklumlah mereka bahwa bagaimanapun juga, mereka tidak akan mampu menandingi kakek itu dan kalau kakek itu menghendaki, agaknya dengan mudah kakek itu akan mampu membunuh mereka. Oleh karena ini, Si Tangan Maut Kwee Siong lalu berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu, diturut oleh isterinya walaupun dengan segan.

   "Kami berdua seperti buta, tidak mengenal Locianpwe yang sakti sehingga berbuat kurang ajar, harap Locianpwe sudi memaafkan kami."

   Demikian Kwee Siong berkata, tanpa malu-malu lagi karena selain di situ tidak ada orang yang menyaksikan kekalahan mereka kecuali Hay Hay yang hanya berdiri dan menonton dengan mata terbelalak kagum, juga mereka harus mengubah sikap untuk mencari keselamatan diri.

   Kakek itu hanya tertawa dan pada saat itu, kembali suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan itu terkejut karena tiba-tiba saja ada angin yang menyambar kuat. Nampak bayangan orang berkelebat lalu bayangan itu membuat gerakan berputar, dan timbullah angin berpusing, angin puyuh yang menerbangkan daun-daun pohon dan makin lama angin itu berpusing makin cepat dan makin banyak pula daun-daun beterbangan ikut dalam pusingan yang kuat itu. Setelah angin puyuh itu mereda dan daun-daun sudah turun kembali, nampak di situ seorang kakek tinggi besar yang berkulit hitam. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, nampak makin kuat karena kulit muka, leher dan tangannya yang hitam kasar. Wajahnya penuh dengan alis tebal, kumis dan jenggot lebat hitam dan muka itu membayangkan kegalakan dan kekejaman yang amat keras.

   Pakaiannya sederhana namun kuat dan ringkas, sepatunya dari kulit tebal dan berlapis besi di bawahnya, sungguh keadaan kakek ini menjadi kebalikan keadaan kakek gendut yang nampaknya halus dan ramah itu. Tiba-tiba kakek hitam itu melangkah lebar ke arah semak-semak belukar yang agak jauh dari situ. Tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li suami isteri yang yang sejak tadi melakukan pengintaian dan menanti kesempatan baik untuk merampas kembali anak mereka, menjadi terkejut ketika melihat kakek tinggi besar itu melangkah lebar dan tahu-tahu berada di depan mereka yang sedang bersembunyi. Celaka, pikir mereka. Sepasang suami isteri Guha Iblis itu saja tadi seperti anak-anak kecil yang tidak berdaya terhadap kakek gendut, dan kini muncul lagi kakek tinggi besar yang aneh ini.

   Agaknya, dengan adanya mereka, merampas kembali anak mereka merupakan hal yang kecil sekali kemungkinannya. Paling perlu menyelamatkan diri lebih dulu, pikir mereka dan tanpa banyak cakap, Siangkoan Leng memegang tangan isterinya untuk diajak meloncat pergi dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, begitu meloncat, keduanya terpelanting dan roboh terbanting. Seolah-olah ada tenaga tidak nampak yang menarik mereka dari samping dan ketika terjatuh, Siangkoan Leng melihat bahwa kakek tinggi besar itu hanya menggerakkan tangan kiri saja, dari mana tenaga yang membuat mereka terpelanting tadi. Karena panik, Siangkoan Leng menjadi nekat. Dia membuat gerakan meloncat sambil melengking, diikuti oleh isterinya. Itulah ilmu yang mereka andalkan dan karena mereka melakukan penyerangan berbareng, maka hebat bukan main daya serang mereka berdua.

   Dari atas, kanan kiri, mereka menerkam ke arah kakek hitatn dengan kedua tangan terbuka dan membentuk cakar, dari mana keluar tenaga yang amat kuat. Kakek tinggi besar hitam tidak mengeluarkan suara apa-apa, berdiri tegak dan tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan menyambut. Hanya mengibas saja kedua tangan yang besar itu ke arah dua orang lawannya dan tubuh dua orang suami isteri itu pun terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah! Sebelum Sjangkoan Leng dan Ma Kim Li sempat bergerak, tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah tiba di dekat mereka, dua tangan yang besar itu menyambar tengkuk dan bagaikan dua ekor kelinci saja, dua orang itu sudah diangkat oleh Si Kakek Hitam yang melangkah lebar mendekati kakek gendut lalu melemparkan Siangkoan Leng dan Ma Kim-Li ke atas tanah!

   "Pak-kwi-ong, kau dimata-matai orang sampai tidak tahu. Sungguh ceroboh!"

   Si Tinggi Besar muka hitam mengomel. Kakek gendut yang disebut Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) itu sejak tadi tersenyum menyeringai saja dan kini dia tertawa bergelak

   "Ha-ha-ha, Setan Hitam, kedatanganmu pun aku sudah tahu sebelumnya, apalagi dua ekor tikus itu!"
Ma Kim Li yang merasa sudah terlanjur memasuki tempat berbahaya itu, segera menghampiri Hay Hay dan berkata.

   "Hay Hay, Anakku..."

   Mari ikut Ibu, Nak."

   Akan tetapi, Hay Hay yang sedang mengalami Pukulan-Pukulan batin dan kebingungan itu mendadak saja merasa asing terhadap ibunya sendiri dan ketika ibunya memanggilnya, dia malah mundur sambil memandang dengan muka agak pucat. Melihat ini, Ma Kim Li menghampirinya. Akan tetapi tiba-tiba Tong Ci Ki yang tadinya berlutut di depan kakek gendut, bangkit berdiri dan menerjang ke arah Ma Kim Li sambi1 membentak,

   "Jangan ambil lagi anak itu!"

   Ma Kim Li marah dan menyambut dengan serangan. Pukulannya meluncur ke arah dada Tong Ci Ki. Wanita baju hitam ini mengelak dan membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan. Melihat isteri mereka berkelahi, Siangkoan Leng dan Kwee Siong tidak tinggal diam. Mereka menyerbu dan keduanya juga sudah berkelahi dengan sengit. Melihat empat orang itu berkelahi, dua orang kakek itu saling pandang. Si Kakek Hitam hanya mengerutkan alisnya, akan tetapi Si Kakek Gendut tertawa-tawa.

   "Wah, bocah-bocah kurang ajar ini memang terlalu sekali! Di depan kakek-kakek buyut mereka masih berani berkelahi tanpa minta ijin lebih dulu."

   Dia mengomel, kemudian dia mengeluarkan suara memerintah.

   "Hayo kalian berempat berlutut semua!"

   Dan kedua tangannya bergerak-gerak seperti orang menggapai dan akibatnya luar biasa. Empat orang yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja roboh terguling. Mereka terkejut bukan main.

   Mereka itu, baik suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan, maupun Lam-hai Siang-mo, keempatnya telah diberi julukan "iblis"

   Yang menunjukkan bahwa mereka sudah berada di tingkat puncak dari dunia hitam, menjadi datuk-datuk golongan sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi kenapa sekarang mereka seperti anak-anak kecil yang tidak bisa apa-apa dan amat lemah saja? Dan yang lebih mengejutkan lagi, kakek gendut itu tak pernah menyentuh mereka, hanya dengan hawa Pukulan saja mampu merobohkan mereka! Karena maklum bahwa mereka semua sama sekali tidak akan mampu menandingi dua orang kakek itu, maka mereka lalu menjatuhkan dirinya berlutut. Mereka memiliki jalan pikiran yang sama. Kini mereka berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka sebaiknya tidak melawan dan bahkan minta pertimbangan mereka!

   "Harap Locianpwe maafkan kami..."

   Demikian terdengar suara lirih dari mulut mereka. Melihat betapa dua orang yang tadinya dianggap ayah bundanya, juga musuh mereka, yaitu suami isteri yang menculiknya, kini nampak tak berdaya sama sekali, seperti orang-orang yang lemah saja, kehilangan kegalakan mereka, terhadap dua orang kakek aneh ini, tiba-tiba saja Hay Hay memperoleh pikiran untuk mengorek rahasia tentang dirinya dari mereka berempat. Kalau saja dua orang kakek itu mau membantunya! Maka dia pun cepat berlari menghampiri dua orang kakek itu yang kini sudah duduk bersila di atas batu-batu di puncak itu, berdampingan, dan dia berkata dengan suara lantang.

   "Ji-wi Locianpwe yang baik. Karena aku masih kecil dan tidak mampu bertindak sendiri, maka aku mengharap Ji-wi suka membantuku untuk mencari rahasia tentang diriku. Akan tetapi kalau Ji-wi menolak, berarti aku salah menilai orang."

   Kedua orang kakek itu kembati saling pandang dan kakek hitam memancarkan sinar mata berkilat tanda marah kepada anak kecil itu, sedangkan kakek gendut masih tersenyum lebar, akan tetapi alisnya berkerut juga ketika dia mendengar ucapan anak itu.

   "Salah menilai bagaimana?"

   Tanya kakek gendut.

   "Aku menilai bahwa Ji-wi tentu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah berkedudukan tinggi sekali, penuh wibawa dan adil, maka tentu Ji-wi akan mau membantuku. Kalau tidak berarti penilaianku salah dan ternyata Ji-wi juga hanya dua orang kakek usil dan suka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa itu untuk mengganggu orang yang lebih lemah saja."

   Hay Hay memang pandai bicara, lincah dan cerdik. Akan tetapi sikap dan ucapannya sekarang ini bahkan membuat suami isteri yang selama ini mengaku orang tuanya menjadi khawatir bukan main.

   "Kepandaian yang tidak seberapa katamu!"

   Bentak kakek hitam tinggi besar. Selama hidupnya belum pernah ada orang berani memandang rendah kepadanya, dan kini seorang anak kecil berusia tujuh tahun berani mengatakan dia dan Pak-kwi-ong sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa.

   "Ya, tidak seberapa. Coba Ji-wi lihat. Sebatang pohon yang tidak mampu bergerak dapat menghasilkan daun hijau, bunga indah dan buah. Apakah Ji-wi mampu membuat semua itu? Kalau tidak dapat berarti Ji-wi kalah oleh sebatang pohon saja. Dan lihat kupu-kupu itu. Apa Ji-wi dapat terbang seperti mereka? Berarti Ji-wi kalah oleh kupu-kupu kecil saja. Apakah semua ini bukan membuktikan bahwa kepandaian Ji-wi tidak seberapa? Kalau dipakai menolongku masih ada gunanya, sebaliknya kalau hanya untuk main sombong-sombongan, apa gunanya?"

   Dua orang kakek itu bangkit berdiri dan memandang kepada anak kecil itu dengan mata terbelalak. Mereka seolah-olah mendengar suara seorang yang lebih tinggi kedudukannya dan kepandaiannya daripada mereka!

   "Kau siapa!"

   Bentak kakek hitam. Hay Hay menggeleng kepalanya.

   "Aku sendiri pun bingung, Locianpwe. Menurut dua orang yang memeliharaku sejak kecil ini, yang mengaku sebagai ayah ibuku, aku bernama Siangkoan Hay, anak mereka. Akan tetapi menurut mereka berdua itu, yang menculik aku, katanya aku bukan anak mereka dan namaku itu palsu, bahwa aku adalah Sin-tong.."

   "Sin-tong...? Ha-ha, sungguh menarik!"

   Kakek gendut terkekeh dan memandang dengan penuh perhatian kepada Hay Hay. Akan tetapi kakek hitam yang berjuluk Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur) itu tidak banyak bicara lagi. Dengan matanya yang mencorong aneh itu dia memandang suami isteri penghuni Guha Iblis Pantai Selatan.

   "Coba ceritakan tentang anak ini. Kalau membohong tebusannya nyawa kalian!"

   Biarpun merasa terhina dan rendah sekali diperlakukan seperti itu, namun suami isteri ini mengenal orang yang jauh melebihi mereka, maka sikap yang menghina itu pun mereka telan saja. Bahkan mereka mengharapkan untuk mendapat bantuan dan dukungan kakek sakti itu untuk dapat mempertahankan Hay Hay yang telah mereka rampas dari tangan Siangkoan Leng dan isterinya.

   "Heh-heh, kalian juga harus menceritakan yang sebenarnya tentang anak ini!"

   Kata pula Pak-kwi-ong kepada Lam-hai Siang-mo.

   "Anak itu adalah anak tunggal kami, Locianpwe, dan namanya Siangkoan Hay..."

   Kata Siangkoan Leng.

   "Bohong! Dia berbohong, Locianpwe!"

   Bantah Kwee Siong.

   "Tidak perlu cekcok, kau ceritakan lebih dulu yang sebenarnya."

   Kini kakek hitam Tung-hek-kwi berkata keren.

   "Yang lain diam saja!"

   Si Tangan Maut Kwee Siong lalu bercerita dan merasa dirinya remeh sekali terhadap dua orang kakek sakti itu.

   "Tujuh tahun yang lalu, suami isteri pendekar Pek melarikan diri dari Tibet ketika isteri pendekar itu mengandung tua. Mereka terpaksa melarikan diri karena ramalan diantara para pimpinan Lama menyatakan bahwa anak yang dikandung itu adalah calon Dalai Lama, calon seorang suci dan setelah terlahir tentu akan diambil dan dibawa ke dalam kuil untuk dididik.."

   "Nanti dulu!"

   Bentak Tung-hek-kwi.

   "Kau maksudkan pendekar Pek yang mana? Apakah pendiri dari Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di barat?"

   "Kalau tidak keliru, muridnya atau puteranya, Locianpwe. Mungkin puteranya karena dia terkenal dengan nama warga Pek."

   "Teruskan!"

   "Berita, itu segera tersiar luas dan terkenallah bahwa ada Sin-tong yang akan terlahir. Hal ini tentu saja amat menarik perhatian. Dan pada suatu malam, ketika suami isteri pendekar itu menyembunyikan diri dalam kuil setelah anak mereka terlahir, baru berusia dua bulan, datanglah Lam-hai Siang-mo ini dan mereka pun mempunyai seorang anak yang sebaya. Anak mereka itu berpenyakitan dan agaknya, mendengar berita tentang Sin-tong, mereka lalu membunuh seorang nikouw dan pengasuh anak itu, kemudian menculik Sin-tong dan meninggalkan anak mereka sendiri sebagai gantinya setelah mereka membunuh anak itu dan merusak mukanya agar tidak dikenal orang dan disangka Sin-tong yang terbunuh. Kami tiba di tempat kejadian itu dan setelah memeriksa luka dan jarum-jarum yang berada di tubuh para korban, kami dapat menduga bahwa pembunuhnya tentulah Lam-hai Siang-mo. Kami lalu melakukan pencarian dan setelah tujuh tahun, baru kami berhasil menemukan mereka. Kami lalu merampas kembali Sin-tong dan kami bawa lari sampai di sini dengan maksud untuk mengembalikannya kepada orang tuanya yang sesungguhnya..."

   "Benarkah cerita itu?"

   Bentak Tung-hek-kwi bengis kepada Lam-hai Siang-mo. Suami isteri ini tidak berani menyangkal lagi karena memang cerita itu benar.

   "Memang benar, akan tetapi mereka itu membohong kalau mengatakan bahwa mereka akan membawa Hay Hay kepada pendekar Pek. Mereka bohong! Yang jelas, mereka tentu akan membawa Hay Hay kepada para pendeta Lama untuk memperoleh ganjaran!"

   Ma Kim Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Tong Ci Ki dan suaminya penuh geram.

   "Mereka adalah penghuni-penghuni Guha Iblis Pantai Selatan, mana mungkin mau membantu pendekar Pek?"

   Mendengar percakapan mereka itu, sejak tadi Hay Hay memandang kepada orang tuanya dengan mata terbelalak dan tanpa disadarinya lagi, kedua matanya itu basah. Akan tetapi dia tidak menangis. Tidak, dia malah mengepal kedua. tinjunya, menekan perasaannya yang terguncang. Kiranya benar bahwa dia bukan anak Siangkoan Leng dan Ma Kim Li! Dia bukan she (nama ke-turunan) Siangkoan, melainkan she Pek! Putera pendekar Pek! Dengan tabah dia lalu melangkah maju menghadapi suami isteri yang tadinya dianggap ayah bundanya. Mereka itu tidak pernah memperlihatkan sikap mereka kepadanya, akan tetapi harus diakuinya bahwa mereka pun tidak pernah bersikap kasar. Mereka itu menyayangnya dengan cara mereka sendiri!

   "Benarkah bahwa aku bukan anak kandung kalian dan bukan she Siangkoan, melainkan she Pek?"

   Dia bertanya kepada suami isteri itu tanpa menyebut ayah atau ibu. Ma Kim Li mengangguk.

   "Benar, Hay Hay, akan tetapi kami menyayangmu seperti anak kandung kami sendiri. Hal ini tentu kau tahu."

   Hay Hay adalah seorang anak yang selain cerdik, juga amat keras hati sehingga dia bukan anak cengeng dan tidak mudah dikuasai perasaannya. Kini dia memandang kepada wanita yang biasa dipanggil ibu itu dengan sinar mata dingin.

   "Anak kandung sendiri kalian bunuh dan rusak mukanya untuk ditukarkan dengan aku, anak orang lain. Apa sebabnya kalian sampai hati melakukan hal itu?"

   Lam-hai Siang-mo tidak menjawab.

   "Apa sebabnya?"

   Anak itu mendesak. Dua orang itu tetap tidak mengeluarkan suara jawaban. Dengan tiga langkah lebar saja Tung-hek-kwi sudah menghampiri mereka dan kedua tangannya menyambar Suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) itu berusaha mengelak atau menangkis, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu mereka kehilangan tenaga dan tengkuk mereka sudah dicengkeram, tubuh mereka diangkat dan kakek tinggi besar hitam itu membanting.

   "Bresss...!"

   Tubuh suami isteri itu terbanting keras sampai mereka terguling-guling.

   "Masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Sin-tong?"

   Bentak kakek itu. Siangkoan Leng dan isterinya terkejut sekali dan kesakitan, mereka mengangguk-angguk dan cepat Ma Kim Li berkata kepada anak yang biasanya dianggap anak sendiri yang disayangnya.

   "Anak kandung kami...berpenyakitan dan kami ingin menukarkan dia dengan anak yang sehat, kami bunuh dua orang itu agar tidak membuka rahasia kami dan kami rusak muka anak kandung kami agar tidak dikenal lagi."

   "Bohong!"

   Tiba-tiba terdengar Tong Ci Ki berseru "Kalau hanya ingin memperoleh anak sehat, kenapa justru dipilihnya Sin-tong, putera keluarga pendekar Pek yang banyak dibicarakan orang itu? Mereka tentu mempunyai keinginan yang sama dengan kami, yaitu ingin memperoleh pahala dengan menyerahkan anak itu kepada para pendeta Lama di Tibet."

   Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar ini, Hay Hay kembali mendesak wanita yang pernah menjadi ibunya.

   "Benarkah begitu?"

   Sambil melirik ke arah kakek tinggi besar yang galak dan sakti itu, Ma Kim Li menjawab.

   "Benar, Hay Hay. Pada mulanya memang kami ingin menukarkan engkau dengan para pimpinan pendeta Lama di Tibet yang memiliki banyak benda-benda indah tak ternilai harganya, akan tetapi kami lalu merasa suka kepadamu dan menganggap engkau sebagai anak kandung kami sendiri."

   Kini Hay Hay memandang kepada empat orang itu bergantian dan di dalam hatinya dia merasa heran dan juga ngeri membayangkan betapa empat orang ini merupakan orang-orang yang amat jahat. Tak disangkanya ada orang-orang demikian jahatnya, terutama sekali dua di antara mereka adalah orang-orang yang selama ini dianggap sebagai ayah ibunya! Diam-djam ia merasa lega dan bersyukur bahwa dua orang yang demikian jahatnya itu bukan ayah dan ibu kandungnya.

   "Kalian adalah orang-orang yang amat jahat!"

   Akhirnya dia berkata.

   "Kalian yang menjadi penghuni Guha Iblis Pantai Selatan telah membunuh empat orang pelayan keluarga Siangkoan, juga semua binatang peliharaan, kemudian kalian membunuh pula dua orang di dalam peti mati yang menggantikan mereka ini!"

   Berkata demikian, dia menuding ke arah Kwee Siong dan Tong Ci Ki penuh teguran. Suami isteri itu hanya menundukkan muka saja tidak berani menjawab, takut kalau harus berurusan dengan kakek hitam tinggi besar atau kakek gendut yang luar biasa lihainya itu. Kini Hay Hay memandang kepada suami isteri yang pernah menjadi orang tuanya.

   "Dan kalian tidak kalah jahatnya, pantas berjuluk Lam-hai Siang-mo. Kalian telah membunuh dua orang wanita yang tak berdosa, bahkan membunuh anak kandung sendiri! Betapa kejinya itu. Dan tentu kalian yang memasukkan tubuh dua orang tidak berdosa ke dalam peti mati itu menggantikan tubuh kalian, sehingga mereka yang tewas menggantikan kalian."

   Siangkoan Leng sudah sejak tadi kehilangan rasa sayangnya kepada Hay Hay yang bersikap memusuhinya itu. Dia tersenyum sinis dan menjawab,

   "Memang benar, bahkan kami juga membunuh empat orang murid kami yang bertugas menjaga peti. Semua itu kami lakukan agar tidak membuka rahasia kami. Hay Hay, itu bukan kejam atau jahat, melainkan cerdik sekali!"

   "Kalian berempat ini orang-orang jahat dan kalau sekiranya aku memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu kalian sudah kubasmi habis!"

   Kembali Hay Hay berkata dengan nada suara gemas.

   "Heh-heh-heh-heh, Sin-tong. Apakah engkau ingin agar empat orang ini dibunuh? Aku akan melakukannya untukmu dengan mudah saja! Empat ekor tikus ini memang sudah sepatutnya kalau dibunuh!"

   Kakek gendut yang berjuluk Pak-kwi-ong itu berkata sambil tertawa-tawa. Empat orang itu bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah datuk-datuk kaum sesat di daerah pantai selatan. Mereka belum pernah bertemu dengan orang-orang seperti dua orang kakek ajaib itu, dan mereka sudah maklum akan kehebatan dua orang kakek itu yang tidak akan dapat mereka tandingi. Akan tetapi dibunuh begitu saja? Mereka tentu akan melawan sekuat tenaga dan akan melindungi nyawa sendiri selama mereka masih hidup!

   Dan agaknya mereka berempat memang memiliki kecerdikan atau kelicikan yang sama, karena kini begitu mereka mendengar ucapan kakek gendut, mereka bangkit berdiri dan seperti dikomando saja, empat orang itu sudah menyerbu ke arah Hay Hay untuk menangkap anak itu! Ditubruk oleh empat orang yang lihai itu dari semua jurusan, tentu saja Hay Hay tidak mampu menghindarkan diri. Bahkan dua orang kakek sakti itupun sama sekali tidak menyangka bahwa empat orang itu melakukan hal itu, maka anak itu sudah dapat ditangkap oleh Kwee Siong dan Siangkoan Leng. Dan anehnya, dalam sekejap mata saja, empat orang yang tadi yang bermusuhan karena memperebutkan Hay Hay itu, kini dalam keadaan terancam oleh pihak yang lebih kuat, mereka mendadak dapat bersatu!

   "Heh-heh-heh, tikus-tikus pecomberan! Berani kalian melakukan itu? Hayo lepaskan atau harus kuhancurkan dulu kepala kalian yang tidak berharga itu?"

   Bentak si gendut Pak-kwi-ong, masih dengan senyum, akan tetapi sinar matanya mencorong penuh ancaman maut.

   "Ji-wi Locianpwe, jangan bergerak! Sekali bergerak atau melakukan hal-hal yang mencurigakan, kami akan lebih dulu membunuh anak ini sebelum membela diri dan melawan mati-matian sebelum kami semua mati!"

   Bentak Siangkoan Leng yang sudah menaruh telapak tangannya menempel di ubun-ubun kepala Hay Hay. Hay Hay sama sekali tidak merasa takut, hanya marah dan juga semakin heran melihat betapa orang yang selama ini dianggap ayahnya itu kini mengancam untuk membunuhnya! Timbul rasa penasaran di dalam hatinya dan dia pun berteriak, tidak peduli bahwa dia telah dicengkeram dan diancam oleh empat orang lihai itu.

   "Ji-wi Locianpwe, jangan dengarkan gertak sambal mereka! Biar mereka membunuhku, aku tidak takut. Akan tetapi Ji-wi hajarlah mereka sampai mereka itu lenyap dari permukaan bumi. Mereka ini orang-orang jahat yang perlu dibasmi!"

   Akan tetapi dua orang kakek itu kini nampak ragu-ragu dan saling pandang. Tung-hek-kwi yang memandang kakek gendut itu bertanya.

   "Kau.. tidak turun tangan?"

   Si Kakek Gendut masih menyeringai, akan tetapi dia menggeleng kepala.

   "Mana bisa? Dia.. dia itu Sin-tong, sayang kalau terbunuh."

   Lalu dia memandang kepada empat orang yang masih siap siaga sambil mengancam Hay Hay itu.

   "Eh, sebenarnya apa kehendak kalian?"

   "Kami ingin pergi membawa anak ini dan sedikit saja Ji-wi membuat gerakan mencurigakan, kami akan bunuh anak ini lebih dulu."

   Kata Kwee Siong dan mereka berempat itu tanpa menanti jawaban sudah mulai menggiring dan menyeret Hay Hay meninggalkan puncak bukit itu. Dua orang kakek itu, yang memiliki kesaktian jauh lebih tinggi dibandingkan empat orang itu, hanya saling pandang dan tidak mampu berbuat sesuatu. Tentu saja mereka itu akan dapat dengan sekali gerakan tangan membunuh empat orang itu, akan tetapi mereka maklum bahwa tak mungkin mereka dapat mencegah empat orang itu lebih dahulu membunuh Hay Hay, dan karena inilah keduanya menjadi ragu-ragu, bahkan tak berdaya melakukan sesuatu ketika empat orang itu hendak meninggalkan tempat itu.

   Akan tetapi, baru saja empat orang itu pergi beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar suara melengking yang mengandung getaran amat kuat sehingga seolah-olah menusuk telinga dan menggetarkan jantung. Hay Hay yang mula-mula roboh tak sadarkan diri, sedangkan empat orang yang mengepungnya itu pun tiba-tiba menjadi pucat dan mereka berempat itu maklum bahwa suara itu merupakan serangan melalui tenaga khikang yang amat dahsyat. Mereka cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang mereka untuk melindungi diri mereka. Karena serangan tiba-tiba melalui suara itu, sejenak keempat orang ini lupa akan pengamatan mereka terhadap Hay Hay. Dan pada beberapa detik itu, mendadak nampak sesosok bayangan seperti seekor burung raksasa menyambar ke arah mereka.

   Empat orang itu, tadi hanya melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi saja, dan mereka sedang mengalami kekagetan karena datangnya serangan suara yang bukan datang dari dua orang kakek sakti itu. oleh karena itu, begitu ada bayangan seperti burung raksasa ini menyambar ke arah mereka, empat orang itu terkejut bukan main. Mereka sedang melawan pengaruh suara melengking, dan kini disambar oleh burung raksasa, yang mendatangkan angin sambaran amat dahsyat, Tentu saja mereka terkejut dan berusaha untuk membela diri. Akan tetapi, sambaran angin dari sayap "burung raksasa"

   Itu sedemikian kuatnya sehingga mereka itu terdorong ke belakang dan pada saat itu, mahluk itu sudah menyambar turun dan tahu-tahu tubuh Hay Hay telah dipondongnya dan dibawa melompat agak jauh dari situ.

   Ketika empat orang yang hendak melarikan Hay Hay itu kini terbebas dari pengaruh suara melengking yang tiba-tiba sudah terhenti dan mereka memandang, ternyata di situ telah muncul dua orang aneh lainnya. Seorang kakek berpakaian pengemis dengan baju kembang-kembang dan bertambal-tambal akan tetapi bersih, tubuhnya kurus dan tingginya sedang saja, kakinya memakai sepatu butut, rambutnya kusut dan awut-awutan, demikian pula kumis dan jenggotnya, akan tetapi sepasang matanya tajam bukan main. Di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak) yang berpinggang, dan di tangannya nampak sebatang suling yang panjangnya ada tiga kaki, terbuat dari kayu hitam. Kakek ini muncul seperti dari dalam bumi saja, dan begitu muncul dia tersenyum menyeringai, dan wajahnya selalu berseri gembira seperti orang yang selalu merasa geli akan keadaan sekelilingnya.

   Dan tak jauh dari situ, telah muncul pula seorang kakek tinggi besar yang berkepala gundul. Kakek inilah yang tadi disangka burung raksasa oleh Siangkoan leng dan Kwee Siong bersama isteri mereka. Kakek yang memakai jubah seorang pendeta lama, jubahnya lebar berkotak-kotak merah dan kuning dan tadi ketika kakek itu meloncat seperti terbang, jubahnya ini berkembang seperti sepasang sayap. Kakek pendeta lama ini berwajah alim, alisnya tebal dan pandang matanya lembut, mukanya bulat dan kedua telinganya amat panjang. Kini tangan kirinya menggandeng tangan Hay Hay sedangkan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh, mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa.

   Tentu saja Siangkoan leng, Ma Ki li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki terkejut dan merasa gentar bukan main. Baru saja mereka bertemu dengan dua orang kakek yang luar biasa lihainya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dan sekarang muncul pula dua orang kakek yang juga memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka sendiri. Kakek berpakaian pengemis itu dengan suara sulingnya telah membuat mereka kerepotan dan mereka maklum betapa saktinya kakek yang dapat mengeluarkan suara yang memiliki daya serang sedemikian kuatnya. Juga pendeta raksasa itu jelas memiliki kepandaian luar biasa, karena sekali gebrakan saja sudah dapat merampas Hay Hay dari tangan mereka. Kini anak itu yang sudah terbebas pula dari pengaruh suara suling, telah berdiri digandeng kakek pendeta Lama itu, memandang kagum kepada penolongnya.

   Karena maklum bahwa berdiam di tempat itu lebih lama merupakan bahaya besar bagi mereka, sepasang suami isteri Guha Iblis dan sepasang suami isteri Laut Selatan segera menggerakkan tubuh mereka berlompatan dan melarikan diri turun dari atas puncak itu. Empat orang kakek aneh yang berkumpul di puncak bukit itu, agaknya sudah tidak mempedulikan lagi kepada mereka yang melarikan diri. Biarpun Siangkoan Leng dan Kwee Siong bersama isteri mereka itu merupakan tokoh-tokoh besar di antara kaum sesat, namun agaknya bagi empat kakek sakti itu mereka tidak lebih hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak ada artinya dan karena itu, begitu mereka melarikan diri, mereka pun tidak mempedulikan sama sekali, bahkan sudah melupakan mereka karena mereka lebih tertarik akan pertemuan antara mereka berempat itu.

   Sungguh aneh sekali. Siangkoan Leng bersama isterinya dan Kwee Siong bersama isterinya, empat orang yang tadinya saling bermusuhan itu, kini melarikan diri bersama-sama turun dari bukit secepatnya seperti orang-orang yang dikejar setan saja. Dan ketika mereka sudah berada jauh dari bukit itu, mereka berhenti di sebuah hutan dan lenyaplah semua perrnusuhan yang tadinya berada di dalam batin mereka. Agaknya, peristiwa di puncak bukit tadi, bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih lihai, membuka mata mereka bahwa mereka itu sebenarnya bukan apa-apa. Apalagi karena Hay Hay yang menjadi perebutan di antara mereka itu kini terjatuh ke tangan orang yang jauh lebih lihai, maka mereka kini sudah melupakan semua permusuhan di antara mereka agaknya!

   "Bukan main... sungguh gila mereka itu! Belum pernah aku bertemu dengan orang-orang selihai mereka!"

   Kata Kwee Siong sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, menggunakan sehelai saputangan hitam. Wajah isterinya yang biasanya memang sudah amat pucat seperti mayat itu, kini nampak kehijauan.

   "Mereka itu bukan manusia lagi..."

   Kata pula isterinya yang masih merasa tegang dan gentar. Siangkoan Leng menarik napas panjang.

   "Ah, setelah bertemu dengan mereka, baru aku tahu bahwa apa yang kita miliki ini tidak ada artinya sama sekali. Kita masih harus belajar banyak! Dan kita saling gempur sendiri..hemm, betapa bodohnya..."

   "Engkau benar, Siangkoan Leng. Kini tidak ada artinya lagi bagi kita untuk saling bermusuhan. Bahkan bersatu pun kita masih tidak mampu menandingi mereka, apalagi kalau kita saling bermusuhan sendiri. Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk bisa merampas kembali Sin-tong?"

   Siangkoan Leng menggerakkan pundaknya.

   "Apa lagi yang dapat kita lakukan? Kita tidak mengenal mereka, kecuali dua orang kakek pertama yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Entah siapa jembel tua yang amat lihai dengan suara sulingnya itu. Dan aku pun tidak mengenal siapa adanya pendeta yang merampas Hay Hay itu."

   "Pendeta itu jelas seorang pendeta Lama dari Tibet. Entah dia mewakili para pimpinan Dalai Lama atau tidak, kita tidak tahu. Dan pengemis Jembel itu.....hemm, jangan-jangan dia itulah yang dikenal seperti tokoh dongeng dari Pulau Hiu!"

   Kata Kwee Siong.

   "Apa? Majikan Pulau Hiu yang berjuluk Ciu-sian Sin-kai (Pengemis Sakti Dewa Arak)? Benarkah tokoh dongeng itu masih hidup?"

   Kata Ma Kim Li dengan mata terbelalak.

   "Wah, kalau benar dia, berarti tokoh-tokoh dongeng yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa itu, kini bermunculan di dunia ramai!"

   Kata Tong Ci Ki.

   "Bukankah Pengemis Sakti itu termasuk kelompok tokoh yang dinamakan Pat Sian (Delapan Dewa)?"

   "Kabarnya begitu."

   Jawab suaminya.

   "Akan tetapi karena mereka itu disebut sebagai tokoh dongeng karena tidak pernah keluar sejak puluhan tahun, tidak ada yang memperhatikan lagi. Dan sekarang agaknya seorang di antara mereka muncul, dan mungkin yang tiga orang itu pun termasuk kelompok Delapan Dewa. Kalau benar demikian, benar-benar kita berempat ini mengalami kesialan luar biasa. Ah, semua gagal. Apa yang dapat kita lakukan sekarang?"

   "Satu-satunya jalan bagi kita untuk membalas semua penghinaan ini adalah mengadu domba di antara mereka. Sebaiknya kita kabarkan kepada para pimpinan Dalai Lama di Tibet akan Hay Hay... maksudku Sin-tong. Mereka tentu tidak akan tinggal diam kalau menemukan jejak Sin-tong. Juga kita kabarkan kepada keluarga pendekar Pek. Mereka pun tentu tidak akan tinggal diam. Dan harus kita ketahui bahwa keluarga Pek yang menjadi pendiri dan pimpinan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) tidak boleh dibuat main-main. Kita adu dombakan mereka."

   Kata Siangkoan Leng.

   "Baik sekali itu. Mari kita membagi-bagi tugas."

   Kata Kwee Siong dan mereka pun lalu berunding seperti empat orang sahabat baik. Sungguh lucu dan aneh sekali. Baru beberapa saat yang lalu, mereka akan dengan segaja senang hati saling serang dan saling bunuh, dengan kebencian luar biasa. Akan tetapi sekarang, mereka berunding seperti empat orang sahabat baik.

   Memang demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang menimbulkan permusuhan. Sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, mencari bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu.

   Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahaya yang keemasan. Masih nampak sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan bau daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, namun kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Di bawah puncak, nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur semalam, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi.

   Di angkasa nampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dilatarbelakangi langit biru yang makin lama semakin menjadi muda warnanya menuju keputihan. Keindahan terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya dapat dinikmati hanya dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan dan dipenuhi kebisingan pikiran yang resah. Di dalam batin yang bebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati terbuka sehingga dapat menampung sinar cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang. Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih dan dapat menikmati keindahan yang nampak di manapun juga!

   Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga, keindahan terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri dengan segala kecondongan dan seleranya, keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat. Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih, akan melihat keindahan. keindahan itu yang berada di manapun juga.

   Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin seperti itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanyalah yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan nampak buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini. Tidak ada cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja, dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin.

   

Siluman Gua Tengkorak Eps 7 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3 Siluman Gua Tengkorak Eps 1

Cari Blog Ini