Pendekar Mata Keranjang 38
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 38
"Nenek tolol! Lihat baik-baik, dia itu seorang pemuda bernama Hay Hay, sama sekali bukan suamimu yang bernama Lauw Kin!"
Ternyata lengkingan suara ini mampu menembus dan pada saat itu Hay Hay juga menyimpan kekuatan sihirnya. Nenek itu memandang heran dan segera menghentikan serangannya. Hay Hay berdiri di atas cabang pohon, mukanya masih agak pucat dan diam-diam dia memaki diri sendiri. Tolol, kiranya nenek ini agaknya bermusuhan dengan suaminya sendiri! Setelah melihat bahwa yang diserangnya mati-matian tadi bukan suaminya melainkan seorang pemuda, nenek itu terbelalak dan kelihatan bingung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hay Hay untuk membujuknya.
"Nenek yang baik, kami tidak mempunyai kesalahan kepadamu, kenapa engkau memusuhi kami? Manusia hidup harus saling tolong-menolong. Kami sedang berada dalam kesulitan, terjatuh dari atas dan tertolong oleh pohon ini, akan tetapi kami tidak dapat naik atau turun dari sini. Tolonglah kami, Nek, siapa tahu, kami juga akan dapat menolongmu kelak."
Nenek itu agaknya berpikir sampai lama, memandang kepada Hay Hay dan Kui Hong, lalu mengangguk-angguk.
"Aku telah salah sangka, kalian jelas bukan musuh, bukan utusan suamiku, akan tetapi kalian lihai. Memang benar, kalian tentu akan dapat menolong aku yang hidup sengsara ini... uhu-hu-huhh... aku yang sengsara, disengsarakan oleh seorang laki-laki yang jahat"
Dan nenek itu menangis sampai sesenggukan. Tangis itu seperti tiada hentinya, dan kedua orang muda di atas pohon itu saling pandang. Karena menanti tangis nenek itu sampai lama akan tetapi tangis itu tak pernah berhenti, Kui Hong kehilangan kesabarannya.
"Sudahlah, Nek, hentikan tangismu itu dan kalau memang engkau dapat, tolonglah kami! Baru kita bicara tentang masalahmu dan aku akan menolongmu!"
Kata Kui Hong sebelum dapat dicegah oleh Hay Hay. Khawatir kalau-kalau nenek itu marah lagi, cepat Hay Hay menyambung sambil mengerahkan ilmu sihirnya untuk menguasai nenek ini.
"Benar, Nek. Percayalah kepada kami. Kami bukan orang jahat dan kalau engkau dapat menolong kami, tentu kami juga akan berusaha menolongmu untuk membalas budimu."
Nenek itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Hay Hay, kemudian ia mengangguk.
"Baik, baik, jangan khawatir. Aku pasti akan menolong katian."
Tiba-tiba tubuh bagian atas dan kepala nenek itu lenyap agaknya ia masuk ke dalam guha. Dua orang muda di atas pohon itu saling pandang lagi, dan tentu saja keadaan ini amat menegangkan bagi mereka. Mereka masih meragukan karena bagaimana mungkin nenek itu akan dapat menolong mereka?
"Nona, dengarlah.."
"Hay Hay, kalau engkau menyebut nona lagi kepadaku, selamanya aku takkan sudi bicara denganmu! Namaku Kui Hong, engkau tahu ini, dan tidak ada tuan-tuan atau nona-nonaan!"
Hay Hay tersenyum, dalam hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi di luar dugaannya gadis ini menyebut namanya ketika melihat nenek dalam guha, dia sudah menduga bahwa gadis itu telah hilang kemarahannya terhadap dirinya dan mulai percaya kepadanya.
"Baiklah, Kui Hong, dan terima kasih. Sekarang dengar baik-baik sebelum ia muncul."
Katanya dengan suara halus dan lirih setengah berbisik.
"Kalau nenek itu nanti benar menolong kita, biar aku yang lebih dahulu ditolongnya, karena aku masih curiga kepadanya. Jangan-jangan ia menolong hanya untuk menjebak kita."
Kui Hong memang kini sudah percaya kepada Hay Hay. Percaya sepenuhnya, terutama sekali mengenai tingkat kepandaian mereka. Ia tahu bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat tinggi ilmunya. Ia sudah melihat sendiri betapa pemuda itu bukan hanya mampu menyambar kerikil itu, bahkan dapat menyelamatkan diri ketika dihujani batu kerikil, hanya dengan bantuan topinya!
Mendengar suara bisikan itu, ia pun mengangguk karena ia sendiri juga belum percaya benar kepada nenek itu dan memang sebaiknya Hay Hay yang lebih dahulu berhadapan dengan nenek itu, yang jelas memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi pula dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya. Pada saat itu, nongollah kembali kepala Si Nenek tadi dan kini ia membawa segulung tali! Melihat tali itu, mengertilah Hay Hay dan wajahnya berubah gembira. Tak disangkanya bahwa nenek itu memiliki gulungan tali yang nampaknya panjang dan kuat itu! Kini dia pun mengerti bagaimana nenek itu akan menolong mereka, yaitu mengajak mereka ke dalam guha itu, akan tetapi bagaimanapun juga, tentu lebih baik daripada di atas pohon yang mencuat keluar dari tebing itu! Akan tetapi Kui Hong cemberut.
"Hemm, tali sebegitu, mana cukup untuk dipakai turun ke bawah?"
Katanya. Mendengar ucapan ini, Si Nenek tertawa, kini suara ketawanya tidak mengejek seperti tadi, walaupun masih kelihatan sama, mulut itu tidak bergigi lagi.
"Mau apa turun ke bawah? Kalau sudah turun ke dasar jurang, tidak ada kemungkinan naik kembali, kecuali menunggang burung rajawali!"
Kata nenek itu dengan suara sungguh-sungguh.
"Akan tetapi sayang tak pernah kulihat selama bertahun-tahun ini seekor pun burung rajawali di daerah ini. Jalan keluar untuk menyelamatkan diri hanyalah melalui guha ini."
"Baiklah, Nenek yang baik. Lekas lontarkan ujung tali itu ke sini!"
Kata Hay Hay.
"Heh-heh, engkau lebih cerdik. Dan engkau pun lihai sekali, orang muda. Aku percaya hanya engkau dan Nona itu yang dapat membantuku menghadapi musuh besarku. Nah, sambutlah tali ini!"
Nenek itu melontarkan ujung tali dan dari perbuatan ini saja sudah dapat dilihat betapa lihainya nenek itu.
Kekuatan lontarannya demikian hebatnya sehingga bagaikan dibawa anak panah saja, ujung tali itu meluncur dengan cepatnya ke arah pohon itu. Dan ternyata ujung tali itu dengan tepat sekali membelit batang pohon itu, melilit seperti seekor ular melilitkan ekornya! Hay Hay cepat menghampiri batang pohon itu dan mengikatkan ujung tali dengan kuatnya pada batang pohon yang besarnya sepinggangnya, cukup kuat untuk menahan berat badannya. Dia memeriksa tali itu dan merasa kagum. Tali itu adalah tali yang amat kuat, dipintal dengan rapi, agaknya dikerjakan oleh tangan yang tekun dan bahannya semacam rumput yang ulet sekali dan sudah kering. Dia tidak tahu dari bahan apa tali itu dibuatnya, namun dia dapat menduga tentu dari semacam rumput yang amat kuat.
"Sudah kuikat kuat, Nek. Tariklah biar tegang!"
Kemudian dia berbisik kepada Kui Hong.
"Kui Hong, kalau nanti engkau menyeberang, jangan berjalan di atas tali. Berbahaya kalau ia melepaskan tali di ujung sana. Bergantung saja seperti yang aku lakukan."
Nenek di guha itu sudah menarik talinya dan kini tali itu menegang, merupakan jembatan tali sehelai dari atas ke bawah, akan tetapi tidak terlalu menurun sehingga kalau saja tidak takut dikhianati nenek itu, akan lebih mudah bagi Hay Hay kalau dia berjalan atau berlari saja di atas tali itu. Akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, sekali nenek itu melepaskan talinya, tubuhnya tentu akan terjatuh ke bawah sana.
"Kui Hong, aku menyeberang lebih dulu, perhatikan!"
Bisiknya kepada nona itu dan dia pun berteriak ke arah guha.
"Aku mulai menyeberang, Nek!"
Dan dia pun memegang tali itu dengan kedua tangannya dan meloncat dari atas cabang pohon. Kini tubuhnya bergantung pada tali itu dan melihat betapa tali itu benar cukup kuat seperti yang diduganya, mulailah dia bergerak maju, menggunakan kedua tangannya merayap maju sambil bergantung. Dengan cara demikian, andaikata nenek itu berlaku curang dan melepaskan tali, tubuhnya akan terjatuh ke bawah, akan tetapi karena dia berpegang kepada tali tentu pohon itu cukup kuat menahan tubuhnya dan dia akan selamat kembali ke pohon tadi. Hal ini dimengerti pula oleh Kui Hong dan dia semakin kagum. Pemuda itu selain lihai, juga cerdik sekali. Nenek yang mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek.
"Orang muda, agaknya engkau tidak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang sambil bergantungan. Hemm, kalau aku bermaksud buruk, biarpun engkau bergantungan, apa Kau kira aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan terjatuh ke bawah? Ingat, kalau sekarang aku menghujankan kerikil kepadamu, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?"
"Aku akan menghindarkan seranganmu begini, nenek yang baik!"
Dan tiba-tiba saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti seorang pemain akrobat tali, atau bermain sulap.
Akan tetapi gerakannya ini lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan amat cepatnya sehingga diam-diam nenek itu terkejut dan kagum. Memang akan sukarlah menyerang pemuda itu karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil berputaran, kedua tangan Hay Hay terus melangkah dan akhirnya dia tiba di mulut guha dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu. Dan Hay Hay terkejut bukan main melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan duduk dan melihat keadaan dua kakinya dalam celana hitam yang terkulai lemas itu, dia dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum ramah.
"Aku percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena engkau membutuhkan bantuanku."
Katanya sambil tersenyum.
"Hi-hik, engkau benar, aku butuh bantuanmu karena engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, gadis itu tidak kubutuhkan bantuannya, karena itu ia lebih baik dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!"
Berkata demikian, cepat bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang dan karena tali penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak dengan suara nyaring karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan di tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi!
"Hei, Nek, engkau memegang ular di tangan kananmu, untuk apakah?"
Pedang itu sudah diangkat, akan tetapi mendengar bentakan itu, gerakannya terhenti di tengah jalan. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung.
"Ular.?"
Dan ia pun mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya dan ia pun menjerit.
"Ihhh.!"
Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai guha.
Saat itu, Hay Hay sudah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedangnya sambil mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak antara pohon dan guha itu hanya tiga puluh meter, dengan "langkah"
Sebanyak lima puluh kaki saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut guha dan melompat ke dalam dengan selamat. Nenek itu sudah memungut kembali pedangnya dan kini ia berdiri, atau lebih tepat lagi duduk karena ia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui Hong. Gadis ini pun terkejut, karena seperti juga Hay Hay, ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya! Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah kedua kakinya, nenek itu berkata.
"Kalian tidak mengira bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku lumpuh, aku tidak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!"
Tiba-tiba nenek itu kelihatan beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Pedang di tangannya lalu dimainkan, menyambar-nyambar ganas.
"Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!"
Pedang itu menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-g:ulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.
"Crakkk!"
Nampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu.
"Seperti inilah dia akan kucincang..!"
Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu kini menjadi puluhan potong! Tiba-tiba seperti permulaannya tadi, ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian kepada pedangnya dan ia pun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, melainkan hanya sepotong batu besar!
"Uhu-hu-huuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara."
Dan tiba-tiba, pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya dan ia sudah memaki marah lagi.
"Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"
"Krekkk!"
Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.
"Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!"
Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar guha, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu. Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan juga kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudahnya dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang amat baik. Akan tetapi dengan amat mudahnya, nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini pun membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu.
"Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami tentu akan suka membantumu, asal saja engkau dapat menunjukkan jalan keluar bagi kami."
Kata Kui Hong agak terharu juga melihat keadaan nenek itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja ia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya.
"Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam guha ini?"
Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis, sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, akan tetapi tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu. Setelah menangis beberapa lamanya, nenek itu menghentikan tangisnya dan berkata, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan Kui Hong tadi.
"Jalan keluar satu-satunya dari jurang ini adalah melalui guha ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, biar kalian sudah berada di dalam guha ini, sampai mati pun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah."
"Tapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)."
Kata Hay Hay.
"Aku melihat bahwa engkau amat lihai, memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau mengenal jalan rahasia itu, kenapa tidak keluar selama ini?"
"Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini, setan itu lebih dahulu membuat kedua kakiku lumpuh? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekalipun, kalau dia tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, jangan harap dapat keluar. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi ke sini."
"Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?"
Tanya Kui Hong penasaran dan ia tidak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon.
"Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri."
"Ahhhh!"
Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran.
"Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?"
Tanya Kui Hong, semakin penasaran dan sebagai seorang wanita, tentu saja segera ia merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu, menentang suami nenek itu yang demikian kejam dan jahatnya. Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lalu menarik napas panjang dan dengan sikap sedih ia menundukkan mukanya.
"Laki-laki mana yang dapat dipercaya di dunia ini? Sebelum didapatkannya seorang wanita, dia merayu dengan kata-kata manis, semanis madu. Akan tetapi setelah wanita berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan dan mencari lain wanita! Dan aku sebagai isterinya, tentu saja merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu. Akan tetapi dia membela wanita itu, dan dia amat lihai. Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!"
"Jahanam keparat laki-laki itu!"
Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya sudah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya.
"Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Akan tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?"
"Guha ini luas sekali, memiliki banyak terowongan, bahkan ada beberapa di antaranya yang menembus ke dinding tebing, menjadi guha kecil lain, di suatu guha kecil-kecil itu terdapat banyak sekali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku dapat makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang ditinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki guha-guha kecil itu dan daging ular lezat sekali. Dan di dalam terowongan terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan ada tanaman di muka guha kecil yang mengeluarkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini."
"Dan Locianpwe masih punya waktu untuk memintal tali itu dan berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"
"Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, banyak waktu luang selama ini, dan aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar dan meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa Pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilih dari semacan rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud untuk menggunakan tali itu keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."
"Nenek yang malang."
Kata Kui Hong.
"Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara."
Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu memancing, menyembunyikan kecurigaannya karena memang aneh melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun masih mampu bicara sedemikian lancarnya. Nenek itu tersenyum menyeringai dan kini melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, mendatangkan kesan aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali.
"Heh-heh, tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak bicara semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, maupun yang mati seperti batu, jamur dan pohon."
"Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batu pun mungkin hidup, siapa tahu?"
Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, pemuda ini sudah memperoleh kembali kejenakaanya.
"Hemm, maksudku yang tidak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu bicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan di tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini."
"Aku siap, Nek! Katakan di mana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!"
Kata Kui Hong lantang.
"Akan tetapi yang penting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, kiranya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."
"Hay Hay, engkau tentu juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?"
Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan agaknya biarpun lumpuh, amat cerdik dan juga lihai ini. Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji, maka janji itu harus ditepatinya, maka Hay Hay mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu di antara kedua matanya, lalu berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.
"Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini, dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga."
Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih,
"Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu.!"
Kemudian ia menundukkan muka dan nampaknya bingung. Melihat ini, Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.
"Hay Hay, permainan apa vang kau lakukan ini?"
Ia merasa tidak senang karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya! Hay Hay tersenyum.
"Kui Hong, aku tidak main-main."
Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata.
"Engkau tahu aku tidak main-main Locianpwe, dan marilah kita berangkat sekarang juga keluar dari sini."
Nenek itu mengangkat mukanya perlahan dan menjawab.
"Aku tahu engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini."
Ia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay. Kui Hong tidak mengerti, permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Namun, ia pun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu.
"Marilah kita berangkat!"
Katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.
"Aku... kakiku... tidak dapat berjalan.."
Kata nenek itu. Agaknya baru Hay Hay dan Kui Hong sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti ia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam guha itu! Kui Hong tersenyum.
"Aih, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!"
Katanya. Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya,
"Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!"
Karena sihirnya itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mentaati kata-kata Hay Hay, dan mendengar ucapan Kui Hong, ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus.
"Ihh! Kau kira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai mati pun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona."
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tak bertulang saja. Ia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.
"Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa ia agar suka kau gendong!"
Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala.
"Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Ia tidak mungkin dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini."
Biar ia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapapun juga, ia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Pula, di lubuk hatinya, dia masih belum percaya kepada wanita ini. Kalau dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, kalau Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tidak boleh dipercaya begitu saja. Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya.
"Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!"
Hay Hay ingin tertawa besar namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya merangkul pundak Kui Hong dan mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong. Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu bergantungan di kedua sisinya. Terpaksa ia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay.
"Mari kita berangkat!"
Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?"
Nenek itu mengangguk.
"Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita."
Kui Hong merasa semakin mendongkol. Sambil mengerling ke arah Hay Hay, sambil bersungut-sungut ia berkata,
"Seenak perutya sendiri saja!"
Dan kembali Hay Hay menahan ketawanya dan mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai di situ.
"Wah, jalan ini buntu, Nek!"
Kui Hong berteriak penasaran.
"Apakah engkau hendak mempermainkan kami?"
Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada di dekat telinganya, maka suara ketawa itu terdengar mengerikan.
"Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!"
Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara bergerit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, satu meter lebarnya dan dua meter tingginya, tepat untuk masuk satu orang. Kui Hong merasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi ia akan bebas di sana! Kegembiraan ini membuat ia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.
"Hati-hati, Nona. Jalan ini selain sempit, gelap, juga menanjak dan licin bukan main. Di bagian yang paling berbahaya di mana engkau harus merangkak atau meloncati lubang, akan kuberitabukan. Karena itu, jangan melangkah terlampau cepat, satu-satu saja."
Berkata demikian, nenek itu mengulur tangan ke kanan, meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu. Hay Hay sudah melepaskan pengaruh sihirnya karena dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa.
"Locianpwe tadi sudah memperkenalkan nama suami Locianpwe yang bernama Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."
Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus.
"Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dahulu memperkenalkan nama kalian walaupun aku sudah tahu dari cara kalian saling panggil nama."
Hay Hay tertawa.
"Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan ia bernama Kui Hong."
"Namaku... Ma Kim Siu."
Kata nenek itu singkat dan Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lain karena nama itu asing baginya.
Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang berguha itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia! Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena ia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu, akan berbahaya sekali. Ketika ia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali ia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Ia sudah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay. Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira.
"Di depan terang!"
Teriaknya, dan ia melangkah lebar .
"Tenanglah, Kui Hong."
Kata nenek itu.
"Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"
Benar saja. Kui Hong kini berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya ada empat meter. Namun, ia yang memiliki gin-kang yang cukup tinggi tingkatnya, dengan mudah sambil menggendong tubuh yang ringan itu, dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay.
"Nah, kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!"
Kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa ia pun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah,ia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu! Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru.
"Aih, terlalu menyilaukan!"
Selama berada di dalam guha, ia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena guha itu menghadap ke barat sehingga tak pernah ia tertimpa sinar matahari siang. Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain daripada bukit di mana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang! Setelah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Ia cepat mengusap kedua matanya dan mulutnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih ia memandang ke sekeliling. Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi ia merasa lelah sekali, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.
"Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat."
Katanya kepada nenek itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, ia akan roboh dan tewas!
"Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!"
Bentak nenek itu.
"Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"
Hay Hay tersenyum dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu.
"Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah dan engkau sendiri pun merasa lelah. Kita perlu beristirahat dan turunlah dari punggung Kui Hong."
Dia mengerahkan kekuatan sihir untuk menalukkan sikap melawan nenek itu. Akan tetapi, sekali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!
"Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hihi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, cepat engkau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kau cinta ini!"
Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh oleh sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!
"Kalau begitu... tadi, di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?"
Tanyanya, melongo.
"Tentu saja, setelah kalian berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku mempercayai omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"
"Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?"
Kui Hong berseru heran.
"Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan...")
"Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enciku."
"Ia... seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!"
Kembali Kui Hong berseru, karena ia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu.
"Memang dan aku ini adiknya."
"Tapi, bagaimana engkau bisa tahu.?"
"Kui Hong, tentu ketika kita bicara di pohon itu, ia sudah lama mengintai dan mendengarkan. Pantas saja begitu muncul ia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, ia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!"
Kata Hay Hay.
(Lanjut ke Jilid 36)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 36
"Hi-hi-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah, sejak dari dalam guha aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, kalau engkau memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan gadis kekasihmu ini akan mampus!"
"Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!"
Kui Hong menjerit marah dan biarpun ia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya, ia tidak takut sedikit pun juga.
"Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabuhi mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh! Pemuda itu mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan kalau engkau banyak tingkah, engkau benar-benar akan kubunuh!"
"Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, di mana tempat bertapa laki-laki yang kau cari itu?"
"Heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja, menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh dari sini. Mudah-mudahan jahanam itu masih berada di sana dan belum mampus!"
Hay Hay melangkah ke depan, menurut petunjuk nenek itu. Diam-diam dia pun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, agar pria itu masih berada di sana dan masih hidup. Karena kalau tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut. Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya amat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seorang yang sudah memiliki sin-kang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apalagi setelah selama puluhan tahun digemblengnya dan dilatihnya di dalam guha, tentu tidak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, dapat dilawannya dengan sin-kangnya.
Memang untuk pertama kalinya, nenek itu terpengaruh karena ia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi, segera ia dapat merasakan dan menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan ia dapat berpura-pura terpengaruh untuk melaksanakan sandiwaranya sehingga kini ia dapat menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera. Memang tidak jauh tempat yang dimaksudkan oleh Kiu-bwe Tok-li itu. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah guha dan nenek itu memberi isarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi ia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian dengan suara melengking nyaring, Kiu-bwe Tok-li berteriak ke arah guha yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter.
"Hek-hiat-kwi, laki-laki berhati binatang, kejam dan tak berperikemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!"
Suara melengking itu bergema sampai jauh dan setelah gaungnya tak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam guha. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak, wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur. Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di, atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
"Kim Siu. Benar engkaukah ini? Masih"
Masih hidup.?"
"Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu, biarpun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!"
Sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri.
"Ah, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian di hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?"
Nenek itu gemetar seluruh tubuhnya, terasa benar oleh Kui Hong, dan ia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi, cengkeraman di tengkuknya, tidak pernah sedikit pun mengendur sehingga ia tidak melihat kesempatan sama sekali untuk membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu.
"Huh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya dia meninggal dunia! Gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ah, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!"
Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong! Akan tetapi Hay Hay bersikap tenang saja, sambil tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dibunuhnya gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia!
"Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!"
Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe.
"Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran begitu saja, yang menyerang orang tanpa tahu sebabnya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak."
"Tapi kau sudah berjanji!"
"Berjanji membantumu, memang. Akan tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!"
"Tak peduli! Kalau Engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!"
Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lalu berkata.
"Locianpwe, sebenarnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, akan tetapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya."
Pria tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang pernah menjadi isterinya itu.
"Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?" .
"Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi engkau masih mampu dan belum mampus di tanganku!"
Sambut nenek itu dengan ketus sekali. Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau begitu. Orang muda siapa pun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi di antara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin hidup dalam dunia hitam, aku mengajak isteriku bertapa di sini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa."
Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang.
"Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat ia tidak senang sehingga sejak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam, ia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku."
"Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!"
Tiba-tiba nenek itu membentak, telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan.
"Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!"
Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main. Kakek itu tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek dipunggungnya itu, melihat betapa sedetik pun nenek itu tidak pernah melepaskan ancamannya pada tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri.
Namun ia terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri Iblis Berdarah Hitam itu. Menurut cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Lembah Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong yang dahulu membunuh Hek-hiat Mo-li yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai perkumpulan yang didirikan di Lembah Naga dan diketahui oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya murid-murid yang terbunuh, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu! Agaknya nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka ia membentak,
"Ada apa kau? Kenapa terkejut?"
Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin kuat. Kui Hong terkejut dan ia tidak membohong ketika berkata.
"Aku terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Bukankah mereka itu yang pernah menyerang Lembah Naga, membunuh banyak orang Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?"
Nenek itu terkekeh.
"Heh-heh, aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal itu, heh-heh!"
"Ya Tuhan..!"
Kakek itu berseru kaget.
"Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Bebaskan Nona itu!"
"Huh, sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat serang dia!"
Akan tetapi Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin.
"Locianpwe, harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya Locianpwe bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li."
Kakek itu nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, lalu menarik napas panjang.
"Baiklah, akan kuceritakan semuanya. Justeru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah yang membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Kedua orang guruku itu menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua kalah oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah tidak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk membunuh mereka. Akan tetapi, pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh Suhu dan Subo bahkan mengampuni mereka, dan menasihati mereka tentang buruknya dendam! Ah, Suhu dan Subo menceritakan hal itu sambil menangis kepadaku, dan aku pun merasa terharu sekali dan seketika terbuka kesadaranku betapa selama itu kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertaubat, lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, aku pun lalu mengajak isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini."
"Huh, menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!"
Teriak Si Nenek penasaran.
"Keputusanku itu agaknya membuat isteriku merasa kesal dan mulailah terjadi kerenggangan antara kami, isteriku bersikap dingin dan marah-marah dan sering kali meninggalkan aku seorang diri."
"Siapa sudi membusuk di dalam guha kotor itu?"
Nenek yang dahulu menjadi isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela.
"Pada suatu hari, ia datang bersama seorang laki-laki."
Kakek itu melanjutkan tanpa mempedulikan celaan isterinya.
"Isteriku dan laki-laki tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, aku pun mengenal arti cinta yang sebenarnya. Oleh karena itu, aku merelakan isteriku kalau memang ia hendak meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku lebih dahulu karena tidak percaya bahwa aku merelakan isteriku dan mereka takut kalau aku kelak akan mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka lalu menyerangku dan berusaha membunuhku."
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ihhh...!"
Kui Hong beerseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi, cengkeraman nenek itu kuat sekali dan begitu ia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali sehingga terpaksa ia menghentikan penyaluran tenaganya.
"Heh-heh, dia tolol, bukan? Dan engkau pun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan kebodohan!"
Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong.
"Locianpwe, sungguh apa yang Locianpwe lakukan itu membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati yang luar biasa."
Kata pula Hay Hay dengan kagum.
"Aih, orang muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu dengan perbuatannya terhadap kedua orang Guruku. Dibandingkan dia, sikapku ini bukan apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka dan terpaksa aku membela diri. Akhirnya, karena aku terancam maut oleh Pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat lihai, terpaksa aku pun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Dalam adu tenaga itulah, dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi, aku tidak mau melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa Pukulannya yang beracun. Melihat kekasihnya pingsan dan terluka, ia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku. Kucari ke mana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa di sini dengan tekun. Dan ini hari ia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak membunuhku."
Mendengar cerita itu, Hay Hay mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li.
"Tok-li, benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?"
"Benar atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!"
"Akan tetapi, kalau yang dlceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi lumpuh? Padahal, dalam perkelahian itu engkau tidak terluka oleh suamimu!"
Kata Hay Hay.
"Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku memenuhi permintaanmu, ceritakanlah dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh dan tinggal puluhan tahun dalam guha itu, dan mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?"
"Pertanyaan itu tepat, Kim Siu, apakah yang telah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini."
"Sama saja! Engkaulah penyebabnya!"
Bentak nenek itu.
"Engkau telah melukainya secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam guha di tengah tebing itu. Dia menyuruh aku membawanya ke sana. Setelah tiba di dalam guha itu, aku berusaha merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku selamanya menemaninya di dalam guha itu, maka tiba-tiba dia lalu menyerangku dengan Pukulan dahsyat yang membuat kedua kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan dapat keluar dari dalam guha itu tanpa bantuan orang lain."
"Ih, betapa kejamnya orang itu!"
Kui Hong berseru, jijik.
"Bocah tolol! Dia melakukan itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga terakhir untuk membuat aku lumpuh agar aku tidak meninggalkannya lagi. Dia melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku."
Nenek itu lalu menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan tenggelam dalam perasaan masing-masing.
"Lalu, di mana dia? Ketika kami memasuki guha, kami tidak melihatnya."
Kata Hay Hay.
"Pengerahan tenaga dahsyat yang dipergunakannya untuk melumpuhkan kedua kakiku itu membuat lukanya semakin parah. Akhirnya, dalam waktu beberapa bulan saja dia meninggal dunia dalam pelukanku, dan aku hidup sendirian di sana, penuh dendam kepada keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmu, dalam keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin berkobar."
"Semoga Tuhan mengampuni dosa kita semua."
Kakek itu mengeluh.
"Sudahlah, Kim Siu, turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimanapun juga, engkau adalah isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari kuusahakan untuk mengobati kakimu sampai sembuh."
Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum kepada kakek itu. Tak dapat disangsikan lagi. Cinta kasih kakek itu sungguh murni! Akan tetapi, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu membentak.
"Tidak! Engkau harus mampus di tanganku. Engkaulah yang menyebabkan aku kehilangan dia, dan menyebabkan aku selama puluhan tahun menderita sengsara! Hay Hay, cepat maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau membantah, gadis ini akan mampus!"
Dan tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu menyeringai karena nyeri. Hay Hay tidak melihat jalan lain.
"Baiklah! Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!"
Hay Hay lalu maju, menyerang kakek itu yang cepat mengelak ketika melihat betapa cepat dan kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda ini terpaksa menaati perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan dan dijadikan sandera. Perih rasa hatinya. Dia maklum karena dapat menduga bahwa tentu pemuda dan gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam guha, akan tetapi sebagai balas jasa, nenek itu malah menyandera dan memaksa mereka membantunya. Bagaimanapun juga, puteri Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa suhu dan subonya terhadap keluarga Cia!
Suhu dan subo telah membunuh isteri Cia Han Tiong, dan kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatka seorang gadis keturunan keluarga Cia, biarpun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa suhu dan subonya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu akan dibebaskan. Akan tetapi, dia tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya, pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya dan tenaganya, sehingga tidak akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah sehingga menerima Pukulan maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan.
Maka, dia pun kini menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah terjadi perkelahian sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dan Hay Hay! Bagaimanapun juga, Hek-hiat-kwi adalah seorang yang sejak mudanya berkecimpung dalam dunia persilatan, maka seperti para tokoh persilatan pada umumnya, dia pun memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat apabila bertemu lawan yang pandai! Kini, berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini, timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biarpun dia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri Ketua Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian pemuda ini!
Sebaliknya, penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Ketika pemuda ini melihat gerakan kakek itu, merasakan kekuatan yang terkandung dalam kedua lengannya, dia pun merasa gembira dan ingin menguji sampai di mana kelihaian kakek itu. Inilah sebabnya maka kedua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian yang mati-matian! Demikian hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabuhi! Setelah bertanding dan merasa puas melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru merasa puas dan dia pun kini ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan nyawanya.
Asmara Berdarah Eps 6 Siluman Gua Tengkorak Eps 5 Asmara Berdarah Eps 17