Siluman Gua Tengkorak 3
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?"
Kim Hong terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, berpakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus dan kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekalipun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak. Tapi kakek itu jelas orang tosu, bukan orang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya.
"Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?"
Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak memandang Kim Hong penuh perhatian.
"Pemilik kuda ini? Ahh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggunya di dalam hutan?"
Kim Hong mengangguk dan memandang tajam.
"Totiang, ke mana perginya sahabatku itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?"
"Ah, ah, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu..."
"Ada apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!"
Kim Hong tertarik sekali dan juga merasa khawatir.
"Kemarin siang kongcu yang menjadi sahabatmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Guha Tengkorak."
Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong akan tetapi mengandung rasa takut.
"Lanjutkanlah, totiang."
Kim Hong mendesak tak sabar.
"Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar melainkan tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto dan akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah guha besar di sana. Pinto memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang menanti di dalam hutan, dan kalau pinto bertemu dengan nona agar pinto memberitahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan diapun memasuki guha. Pinto menunggu di luar guha sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..."
Kim Hong mengerutkan alisnya.
"Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?"
Tosu itu nampak terkejut.
"Ah, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Kalau pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki guha, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Guha-guha itu merupakan guha-guha keramat yang tak pernah di datangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk guha takkan dapat keluar kembali. Mana pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu."
"Hemm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Guha Tengkorak? Di situkah sarangnya?"
Tosu itu menggeleng kepala.
"Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa malapetaka di dalam guha itu..."
"Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!"
Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya.
"Apa...? Nona... nona hendak menyusul ke sana?"
"Benar, akan saya susul dia ke dalam guha! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki guha menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?"
"Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!"
"Totiang tidak usah masuk, biar aku sendiri yang masuk!"
Kata Kim Hong agak jengkel melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat menduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah.
"Tapi itupun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam guha dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok..."
"Susiok? Siapa dia?".
"Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada."
Kim Hong tidak mau mempercaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang penting ia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu.
"Tidak, totiang, aku mau mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri."
Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-geleng kepalanya diapun berkata,
"Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mempunyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi sekarang pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Guha Tengkorak."
Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukan seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan gin-kang yang lumayan. Maka, di tengah perjalanan mendaki tebing iapun tidak dapat menahan keinginan tahunya.
"Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Guha Tengkorak? Ada apanya sih di sana?"
Pendeta itu berhenti dan berpegang pada batu karang yang menonjol.
"Aih, apa, sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?"
Lalu dia berjalan lagi dan sekali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu sengaja memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya. Kim Hong tentu saja menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau ia mau, ia dapat bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi ia tidak mau memamerkan kepandaian dan iapun bergerak mengikuti tosu itu saja. Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di depan mereka terbentang dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan guha-guha yang bentuknya menyeramkan, karena banyak di antara guha guha itu yang bentuknya seperti tengkorak manusia.
"Inikah Guha Tengkorak...?"
Kim Hong ber-tanya, seperti kepada diri sendiri ketika melihat kakek itu berhenti bergerak dan memandang ke arah dinding karang yang tinggi dan panjang itu. Memang tempat itu amat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar sekali didatangi. Tempat yang patut menjadi tempat sembunyi sebangsa siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari pengejaran.
"Lalu di guha yang manakah temanku itu masuk?"
"Di guha yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ah, berbahaya sekali, nona."
"Bagaimana totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?"
Kim Hong bertanya secara tiba-tiba dan menatap tajam wajah kakek itu.
"Bukankah kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi? Bagaimana kalau nona juga tidak keluar lagi?"
"Sudahlah, lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi, di guha itu masuknya?"
"Benar, nona. Dan pinto akan menanti di sini..."
Kim Hong sudah berloncatan menuju ke guha yang ditunjukkan oleh kakek itu.
Sebuah guha yang bentuknya seperti tengkorak dan kelihatan hitam gelap karena sinar matahari tidak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sin-kangnya dan memasuki guha itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya. Akan tetapi kkhawatirannya itu tidak terbukti. Di dalam guha itu tidak ditemukan apa-apa. Guha yang lebar dan dalam, akan tetapi kosong dan penyelidikannya terbentur pada dinding-dinding batu guha itu. Tidak terdapat terowongan atau pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ ia tidak menemukan jejak Thian Sin. Dengan kecewa iapun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menanti di tempat yang tadi. Melihat ia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri.
"Siancai... siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona keluar dalam keadaan selamat!"
"Totiang, benarkah temanku itu masuk ke dalam guha ini?"
"Benar, nona."
"Tapi, tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Guha biasa dan tidak ada jalan tembusan. Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?"
"Aih, nona, di tempat seperti ini...apakah yang tidak mungkin? Siapa tahu akan rahasianya. Yang dapat membantu dan menerangkan nona pinto rasa hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke sana menjumpainya."
Hati Kim Hong mulai tertarik. Kalau ia sendiri harus mencari tanpa adanya jejak sama sekali, mana mungkin? Tempat ini penuh dengan guha-guha dan daerah ini berbatu-batu, tidak nampak sedikitpun jejak Thian Sin.
Pemuda itu lenyap secara aneh di dalam guha yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong kepadanya? Dan kakek ini menjanjikan bantuan melalui seorang susioknya yang pandai ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik. Ada dua kemungkinan yang menguntungkan baginya, pertama, siapa tahu kalau-kalau paman guru dari pendeta ini benar-benar sakti dan dapat memberitahu di mana adanya Thian Sin, ke dua, andaikata pendeta ini berbohong, tentu ada sebabnya dan tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Thin Sin. Inilah agaknya jejak satu-satunya yang harus ditelusurinya dan dihadapinya, walaupun bukan tidak mungkin ia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin, ia sanggup manghadapi bahaya yang bagaimanapun juga besarnya.
"Baiklah, totiang. Tentu saja aku mau memperoleh bantuan untuk dapat menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari totiang itu..."
"Nama pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Adapun susiok pinto itu adalah seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, akan tetapi tentu saja nona boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah, nona."
Kim Hong mengikutinya dan diam-diam ia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah menanyakan namanya atau nama Thian Sin? Sikap ini menunjukkan sikap tidak perduli, akan tetapi di lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar mereka ke guha dan juga kini berusaha untuk menolong dengan membawanya kepada susioknya. Ini menunjukkan sikap yang sangat perduli. Dan bilamana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Dan sebaiknya kalau iapun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi di balik layar.
Gubuk kecil itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan Kim Hong pada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang sore.
"Harap nona menanti sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar suka menerima nona". Kim Hong mengangguk,
Akan tetapi ketika tosu itu memasuki pintu depan pondok, ia cepat mempergunakan gin-kangnya untuk menyelinap mendekati pondok dan memasukinya dari belakang. Pondok itu kecil akan tetapi panjang dan ketika ia mendengar suara orang bercakap-cakap dari ruangan dalam, ia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap, hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang seperti mencorong di dalam gelap. Pendeta itu, yang dapat dikenal dari pakaiannya yang seperti jubah kebesaran, duduk bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti arca yang menyeramkan karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan.
"Susiok, harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu mengantar seorang nona yang sedang menghadapi kegelisahan besar karena ia kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk memberi petunjuk kepadanya."
"Siancai... siancai... siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu menentang siluman-siluman Guha Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena engkau telah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba menolongnya. Suruh ia masuk."
Setelah melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya berdebar heran. Bagaimana kakek itu dapat mengetahui bahwa ia dan Thian Sin menentang siluman-siluman Guha Tengkorak? Melihat sikap Siok Cin Cu ketika menghadap tadi, keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai berkurang dan mulailah ia percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ketika tosu itu muncul, Kim Hong berlagak seperti sedang melihat-lihat keadaan di bawah bukit. Ia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si tosu, bagian bawah dari daerah Guha Siluman dapat nampak sehingga setiap ada orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat ini.
"Nona, sungguh beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk."
Kim Hong mengangguk dan mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu masuk, ia melihat betapa rumah itu di sebelah dalamnya gelap karena semua jendela tertutup. Hanya ada sedikit sinar yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu remang-remang.
"Silahkan, nona,"
Bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong, Kim Hong masih bersikap waspada. Seorang pendekar harus tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan kewaspadaannya, demikianlah pelajaran yang ditekankan di dalam hatinnya sejak dahulu oleh orang tuanya. Maka, biarpun ia mulai percaya kepada Siok Cin Cu yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari manapun juga datangnya. Ia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu.
"Ah, selamat datang, nona. Silahkan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak mempunyai kursi dan meja, terpaksa duduk diatas lantai saja. Silahkan."
Sosok tubuh itu berkata
tanpa bergerak.
"Terima kasih, locianpwe,"
Jawab Kim Hong yang duduk duduk bersimpuh di atas lantai dan mempergunakan tangannnya menekan lantai sambil mengerahkan sin-kangnya untuk melihat apakah lantai itu aseli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan.
"Sekarang katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?"
Diam-diam Kim Hong memuji kakek itu. Biarpun ia tidak akan melihat dengan jelas, ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu? Bagaimanapun juga, kakek ini tidak sombong, biarpun sudah jelas tahu apa yang menjadi kesulitannya, namun kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya menyombongkan pengetahuannya.
"Locianpwe, saya mencari seorang sahabat saya yang hilang ketika dia memasuki sebuah guha dan saya tidak lagi menemukan jejaknya. Mohon pertolongan locianpwe untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu."
Hening sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama, kakek itu menjawab.
"Hemm, bukankah sahabatmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi, she-nya Ceng?"
Diam-diam Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat! "Dan engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?"
Kim Hong makin terkejut dan makin tertarik.
"Benar, locianpwe,"
Jawabnya dan kini ia mulai percaya bahwa ia memang berhadapan dengan seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan ia mulai memelihara harapan bahwa kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberitahukan di mana adanya Thian
(Lanjut ke Jilid 03)
Siluman Gua Tengkorak (Seri ke 07 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Sin.
"Kalau begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apa yang dapat nampak olehmu?"
Kim Hong mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar seperti lampu yang amat terang dan menyilaukan mata.
"Engkau merasa silau, nona? Kalau silau, pejamkan matamu sejenak. Nah... begiulah, pejamkan mata dan terasa enak bukan? Enak untuk tidur. Engkau mulai mengantuk, maka tidurlah, nona. Di sini aman, aku akan melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak."
Kim Hong tadinya tidak tahu bahwa ia telah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan begitu ia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau melihat sinar menyilaukan, ia seakan-akan telah membiarkan semangatnya dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir!
Ketika suara itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, otomatis iapun memejamkan matanya dan mendengar suara menyuruhnya tidur, ia seperti tidak dapat lagi menahah rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu! Akan tetapi, Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tenaga sin-kang amat kuat, juga ia telah hidup berdua bersama Ceng Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi ia sudah mulai mengerti akan seluk-beluknya. Oleh karena itu, ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhinya dan membelenggunya,
Ia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkangnya untuk memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan tetapi, saat ia masih sedang bersitegang melepas diri dari keadaan tidak sadar itu, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak Kim Hong telah ditotok orang. Dara perkasa ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir, maka biarpun nalurinya yang amat kuat itu membuat ia berusaha mengelak, namun tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh. Pada saat itu, ia sudah diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian jari tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Ia tertotok dan tidak mampu bergerak lagi!
"Bagus!"
Katanya menekan kemarahannya.
"Ternyata engkau adalah Siluman Guha Tengkorak!"
Akan tetapi yang menjawabnya hanya suara ketawa saja dan tanpa dapat melawannya, Kim Hong melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam dan kemudian ia dipondong orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok Cin Cu, karena orang ini memiliki gin-kang yang jauh lebih lihai dari pada tosu itu. Kim Hong tidak tahu ke mana ia dibawa. Dari dalam karung hitam itu ia tidak dapat melihat sesuatu dan ia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Setelah lewat waktu cukup lama, akhirnya ia dikeluarkan dari dalam karung dan dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan terbelenggu kaki tangannya!
Ternyata kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan pintunya dari besi, ada lubang-lubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar tahanan yang amat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang terdapat di bagian atas pintu besi, ia dapat melihat ada orang di luar pintu. Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak! Tentu saja Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu telah tewas bersama kudanya di dasar jurang? Akan tetapi, ia dapat menenangkan dirinya dan mengertilah ia bahwa Siluman Guha Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja. Hari telah menjadi malam dan kamar itu hanya menerima cahaya lampu yang berada di luar kamar, melalui lubang-lubang angin dan jeruji pintu besi. Kim Hong mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari ia berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan.
Setelah pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sin-kang ia dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja ia bangkit dan hendak mencari jalan keluar, terdengarlah suara mendesis-desis dan ia melihat asap putih menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin. Begitu mencium asap ini tahulah ia bahwa asap itu adalah asap yang mengandung racun bius! Maka iapun cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi tindakan ini hanya memperpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya ia terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan. Malam telah larut ketika ia siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap dan ia merasakan kepalanya agak pening, dan kaki tangannya sudah terbelenggu lagi, bahkan kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Ada suara di pintu dan ketika ia menengok, ia melihat orang bertopeng tengkorak di luar pintu.
"Nona, sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu berat. Asap bius itu tak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik."
Setelah berkata demikian, orang itu
meninggalkan pintu.
Kim Hong maklum bahwa ia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan iapun tahu bahwa pada saat itu ia tidak berdaya dan tidak mungkin meloloskan diri dengan kekerasan. Asap bius yang sewaktu-waktu dapat masuk melalui lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan biarpun tidak nampak adanya penjaga, ia tahu bahwa ada penjaga-penjaga bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya. Celaka, pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, ia mencela diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka iapun lalu memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali.
Ke manakah perginya Ceng Thian Sin? Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar. Pemuda itu sudah pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang telah dijanjikannya kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal itu. Seperti telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu, Thian Sin lalu membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee Sin.
Jejak itu membawanya ke daerah Guha Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di mana terdapat tebing Guha Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana adanya Guha Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah guha itu terdapat di atas tebing, maka diapun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit. Ketika dia tiba di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan pandang mata heran.
"Maaf totiang kalau saya mengganggu ketenteraman tempat ini,"
Kata Thian Sin sambil menjura dengan hormat. Tosu itu membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada.
"Siancai...! Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!"
Jawab tosu itu yang bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu kepada Kim Hong.
"Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan apakah gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?"
"Maaf, totiang. Saya mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Guha Tengkorak. Saya mencari tempat itu."
Tosu itu tidak memperhatikan perobahan pada wajahnya, namun pandang matanya bersinar dan tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian Sin.
"Guha Tengkorak...?"
"Benar, apakah totiang mengetahui tempat itu?"
Kakek itu mengangguk lalu memandang kepada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu.
"Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?"
"Tempat seperti itu? Apa yang totiang maksudkan? Ada apakah dengan tempat itu?"
Thian Sin balas bertanya. Tosu itu nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu."
Jawaban yang teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang pintar ini tidak ada gunanya berputar lidah, maka diapun lalu berkata,
"Sesungguhnya saya hendak menyelidiki Guha Tengkorak dan hendak mencari Siluman Guha Tengkorak, totiang."
Kini tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya mendengar disebutnya Siluman Guha Tengkorak. Akan tetapi dia menentang pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas panjang.
"Siancai... jangan-jangan kongcu menyangka bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan sebutan Siluman Guha Tengkorak!"
Thian Sin diam-diam kagum akan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia tersenyum ramah dan berkata,
"Baru saja aku mendengar nama itu, totiang, tentu saja aku tidak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena totiang juga mengenal nama itu, maka aku mohon petunjuk totiang di mana kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal? Apakah di Guha Tengkorak dan di mana letak guha itu?"
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek itu kembali menghela napas.
"Siapa yang tidak mendengar namanya, kongcu? Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya? Baru kurang lebih sebulan lamanya, pasukan keamanan bersama banyak pendekar telah datang ke sini dan mereka mencari di daerah tebing Gu-ha Tengkorak akan tetapi tidak berhasil menemukan apa-apa."
Thian Sin mengangguk-angguk.
"Ah, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?"
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru setelah pasukan itu mencari di daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang. Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tidak seorangpun tahu. Maka, pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya, kongcu."
Thian Sin memandang tajam.
"Kenapa berba-haya, totiang?"
"Pinto sudah mendengar berita dari pasukan itu bahwa orang ini amat lihai, ilmu kepandaiannya seperti dewa... dan guha-guha itu merupakan tempat berbahaya, kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi."
"Aku tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan kalau memang benar Siluman Guha Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah ikut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya."
Kakek itu memandang kepada Thian Sin dari kepala sampai ke kaki, kemudian mengangguk-angguk.
"Ah, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai di tempatnya. Akan tetapi tak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana, pinto akan segera kembali."
"Terima kasih, totiang,"
Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia menambatkan kuda di belakang kuil. Berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirya Thian Sin berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan guha yang menyeramkan, guha-guha yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang amat sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya.
"Guha-guha itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya,"
Kata tosu itu dengan suara datar dan terdengar dingin.
"Lalu kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?"
"Itulah, mungkin karena desas-desus bahwa orang yang mereka cari-cari itu kelihatan memasuki gua itu,"
Kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah guha, nomor tiga dari kiri yang juga mirip tengkorak bentuknya.
"Nomor tiga dari kiri itu?"
"Betul. Nah, sudahlah, pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama pinto?"
Thian Sin memaksa tersenyum.
"Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jerih atau takut setelah mendengar cerita totiang atau setelah melihat tempat ini, totiang salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Guha Tengkorak dan aku yakin pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat tinggalnya."
Pemuda perkasa itu melihat betapa pandang tosu itu sinar seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya.
"Siancai, semoga kongcu tidak menemui halangan apapun."
Dan tosu itupun lalu membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing. Setelah tosu itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat sekali menghampiri guha-guha di sebelah kiri.
Dia memeriksa guha-guha itu, dari guha pertama sampai lima buah guha banyaknya dan mendapatkan kenyataan bahwa guha ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam. Dia lalu memasuki guha ke tiga ini, sebuah guha yang dalamnya tidak kurang dari dua puluh meter dan lebarnya ada empat meter. Guha ini merupakan ruangan yang cukup luas akan tetapi tentu saja tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal karena lantainya terdiri dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin mendalam makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di lautan. Dengan amat waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin memeriksa guha ini. Dipandang sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walaupun guha itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh amat tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal.
Akan tetapi Thian Sin memeriksa ruangan yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak mendekat dan meraba, sukar untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera masuk, melainkan memeriksa dengap seksama. Kalau memang tempat ini pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pasukan tidak menemukan terowongan ini. Ketika dia memeriksa dengan meraba-raba di bagian ambang pintu terowongan jantungnya berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup terowongan itu. Jelaslah bahwa terowongan ini merupakan pintu rahasia yang belum lama dibuka orang. Kalau pintu itu dikembalikan di tempatnya, maka akan lenyap dan dinding di sudut itu akan lenyap dan dinding di balik batu itu ada terowongannya.
Dan tentu saja, sedikitpun tidak orang yang nampaknya menjadi satu dengan dinding guha. Penemuan yang kebetulan saja? Ataukah umpan jebakan? Apapun juga, inikah jalan satu satunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman itu sampai dapat! Setelah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu memasuki terowongan yang gelap itu. Terowongan itu cukup besar walaupun dia harus memasukinya dengan tubuh agak membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di ruangan depan guha itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang sengaja dibuat orang. Ketika dia melangkah maju dengan hati-hati di tempat yang remang-remang dan semakin gelap itu, kurang lebih duapuluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya!
Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu kepada dirinya. Suara keras itu diikuti kegelapan yang menelan dirinya dan tahulah Thian Sin bahwa ada alat rahasia menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan! Dia menahan senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut terowongan mencoba membuka pintu itu. Tidak, biarpun dia telah terjebak, dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apapun juga! Maka Thian Sin dengan sikap tenang sekali melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan yang gelap itu, melaju terus dan mencurahkan seluruh panca inderanya untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya. Lantai terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang rapi.
Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak yang ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu li! Akan tetapi diapun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah Guha Tengkorak, karena biarpun jauh, terowongan itu berlika-liku. Dengan merentangkan kedua lengannya, dia dapat mengukur lebar sempitnya terowongan itu, juga tinggi rendahnya langit-langit karena dia harus selalu menjaga agar jangan sampai kepalanya terbentur batu karang yang bergantungan dari langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti, meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia tiba di tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi bertemu dengan batu. Karena keadaan tetap gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak,
Melainkan berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang walaupun tadi dia merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak cepat dan kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadipun sudah berhenti lagi. Thian Sin menduga bahwa tentu terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti ketika pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Dan kaki serta tangan kirinya itu menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan kirinya adalah dinding batu yang dingin dan dan keras, sedangkan di sebelah depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia.
Dia telah terkurung! Mendadak tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan dari situlah datangnya cahaya terang itu. Agaknya sinar matahari dapat memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini. Agak silau juga mata Thian Sin sehingga terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Biarpun dia memejamkan kedua matanya, namun dia mengetahui dari pengaruh bahwa di luar jeruji besi itu terdapat sedikitnya sepuluh orang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka itu datang mendekat.
Ketika dia membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah di dada mereka dan muka mereka semua memakai topeng tengkorak! Dengan sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri mempergunakan kekerasan. Dia benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah dan menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia berdiri di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum lebar.
"Ha-ha, kiranya Siluman Guha Tongkorak yang disohorkan orang itu tiada lain, hanyalah sekumpulan tikus gunung yang hebatnya cuma mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!"
Belasan pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat tanda bahwa mereka marah mendengar ucapan ini yang amat merendahkan dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir, berkata, suaranya halus namun penuh mengandung ancaman.
"Orang muda, engkau sudah tertawan dan nyawamu berada di telapak tangan kami, akan tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapapun orangnya yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan bicara denganmu, maka engkau selamat. Sekarang menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau akan diampuni. Akan tetapi kalau engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh".
Orang itu memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin. Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka bersiap-siap menyerang kalau Thian Sin menggunakan kekerasan. Thian Sin tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Kalau dia menghendaki, kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan ini tidaklah bijaksana. Mereka ini hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi.
Diapun dapat menduga bahwa yang bicara itu adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu. Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu dicatatnya sebagai tanda atau ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng inipun kepalanya agak miring ke kiri! Dan andaikata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin saja dia akan menggagalkan semua usahanya.
"Kepala kalian ingin bicara denganku? Baiklah, akupun ingin bicara dengan dia!"
Katanya dan dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang. Belenggu itu berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu agaknya tahu akan tugasnya. Setelah membelenggu kedua pergelangan tangannya, dia lalu menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin. Pendekar Sadis melihat dia tahu akan hal ini, akan tetapi dia tidak bergerak dan pura-pura tidak tahu saja.
"Tukk!"
Dua jari tangan itu dengan tepat menotok bagian di mana terdapat jalan darah tiong-cuhiat dan biasanya, totokan di tempat ini akan membuat orang yang ditotoknya roboh pingsan. Akan tetapi, orang bertopeng itu mengeluarkan seruan kaget ketika dua jari tangannya bertemu dengan kulit yang membungkus daging lunak, agaknya tanpa urat darah di situ, lunak sekali membuat totokannya itu meleset seperti menotok agar-agar saja! Dan orang yang ditotoknya itu, sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak pingsan, apa lagi pingsan,
Bahkan mengedipkan matapun tidak, seolah-olah totokannya tadi seperti seekor lalat yang hinggap saja! Tentu saja orang bertopeng itu bukan hanya terkejut, melainkan juga malu dan penasaran sekali. Kalau dia tidak memakai topeng, tentu akan nampak betapa wajahnya berobah merah bukan main. Karena merasa betapa kulit daging tawanan itu tadi melunak lembek sekali, dia menduga bahwa orang ini mungkin tidak memiliki kepandaian apa-apa, atau memiliki ilmu melembekkan daging sehingga jalan darah yang ditotok itu dapat meleset ke sana-sini kalau ditotok. Cepat dia menggerakkan lagi tangan kanannya dan kini dua jari tangannya itu menotok dengan pengerahan tenaga keras pula untuk melawan tenaga lembek lawan. Sekali ini, dia memilih jalan darah di belakang pundak, yaitu jalan darah hong-hu-hiat.
"Tukkk...!"
Sekali ini, orang bertopeng itu tak dapat menahan teriakannya, teriakan kesakitan karena dua buah jari tangannya itu seperti akan patah-patah tulangnya.
Totokannya dengan pengerahan tenaga tadi bertemu dengan kulit yang sedemikian kerasnya, seperti kulit baja tulen saja sehingga dua jari tangannya terasa nyeri bukan main. Kini orang kedua yang bertubuh tinggi besar itu menghampiri Thian Sin. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan tangan kirinya sudah bergerak ke depan dan jari-jari tangannya sudah menotok ke arah dada Thian Sin. Gerakannya mantap dan kuat. Melihat gerakan ini, tahulah Thian Sin bahwa orang tinggi besar ini menggunakan Ilmu Totok Tiam-hwe-louw, yaitu ilmu totok dari perguruan Siauw-lim-pai! Seperti juga tadi, dia pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam mengerahklan sin-kang ke arah dada yang ditotok.
"Dukk!"
Dan orang tinggi besar itupun meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya karena jari tangannya bertemu dengan benda keras yang panas sekali! Beberapa orang lain maju dan menotok tubuh Thian Sin, mempergunakan bermacam cara, namun semuanya gagal. Dan Thian Sin sendiri menjadi terkejut. Orang-orang ini ternyata terdiri dari berbagai aliran perguruan silat, dan beberapa orang di antaranya adalah murid dari partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai dan Thian-san-pai. Tentu saja hal ini membuat dia merasa heran bukan main.
"Hemm, orang muda, agaknya engkau memiliki Ilmu I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Akan tetapi di depan kami tiada gunanya engkau berlagak,"
Kata orang pertama atau orang yang diduga oleh Thian Sin tentu tosu itu. Kini orang ini menggerakkan tangan menotok dengan cara aneh, yaitu tanpa memilih jalan darah. Thiant Sin tahu bahwa ini adalah Ilmu Totok Coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai! Sekali ini Thian Sin ingin memperlihatkan kelihaiannya, juga ingin memberi pelajaran kepada orang yang memandang rendah kapadanya ini, maka begitu totokan tiba, dia sengaja melontarkan tenaga sin-kang dari tempat yang ditotok,
"Dukkk!"
Orang yang menotok itu mengaduh dan melangkah mundur, memegangi tangannya yang tadi menotok karena buku-buku tulang jari tangannya terasa remuk dan salah urat! Semnua orang bertopeng yang berada di situ siap dengan anak panah mereka. Thian Sin melihat hal ini dan diapun berkata,
"Aku sudah membiarkan diriku dibelenggu, kenapa kalian masih menghinaku? Kalau aku tidak ingin bertemu dengan pimpinan kalian, apakah semudah ini kalian dapat membelengguku? Nah, tidak perlu main-main dengan totokan lagi, mari bawa aku kepada pimpinan kalian!"
Sepasang mata di balik topeng itu memandang ragu dan agaknya kini mereka semua baru tahu bahwa tawanan muda itu sesungguhnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahwa sejak tadi telah mempermainkan mereka dengan membiarkan mereka menotoknya berganti-ganti! Pemimpin kelompok itu lalu memberi isyarat dan tanpa banyak cakap lagi Thian Sin lalu diiringkan keluar dari tempat itu. Seorang anggauta sebagai petunjuk jalan berjalan di depan, diikuti oleh Thian Sin yang dibelenggu kedua tangannya. Di belakang Thian Sin berjalan si pemimpin yang menodongkan pedangnya di tengkuk tawanan itu dan di belakangnya berbaris sepuluh orang anak buah yang menodongkan anak panah.
Sementara itu, dari lampu-lampu yang dipasang di sepanjang lorong terowongan, maklumlah Thian Sin bahwa hari telah berganti malam. Jalan terowongan itu makin menaik dan dia melihat banyak sekali kamar-kamar di kanan kiri, ada yang kosong akan tetapi ada pula yang isi karena dia mendengar suara orang-orang, laki-laki dan wanita, dari dalam kamar-kamar itu. Akhirnya dia tiba di sebuah ruangan yang luas sekali dan melihat dindingnya yang dari batu dan langit-langitnya yang juga dari batu, dia menduga bahwa tentu dia masih berada di bawah tanah, biarpun tanah pegunungan kerena dia tentu telah mendaki cukup tinggi sekarang. Ruangan itu diterangi cahaya banyak lampu, dan di situ telah berkumpul banyak orang.
Dengan pandang matanya, Thian Sin menyapu ruangan itu dan diam-diam dia merasa heran. Di situ berkumpul sedikitnya dua puluh lima orang, akan tetapi orang-orang biasa dan rata-rata mereka berpakaian sebagai orang-orang hartawan, bahkan ada yang sikapnya seperti orang berpangkat, dan ada beberapa orang pula yang sikapnya seperti seorang ahli silat atau pendekar! Mereka semua memandang kepadanya dengan sinar mata orang memandang seorang penjahat atau seorang pengacau! Ada pula belasan orang lagi yang berpakaian seperti siluman tengkorak, berdiri dan berjaga di sekitar tempat itu. Di belakang ruangan itu terdapat anak tangga menuju ke atas, lebar dan lantainya ditutup permadani merah.
Akan tetapi kini yang menjadi perhatian Thian Sin adalah seorang laki-laki yang memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya. Jubah yang serupa dengan yang dipakai oleh para anggautanya, akan tetapi ada perbedaan potongannya, karena yang dipakai orang ini agak longgar seperti jubah pendeta dengan lengan baju yang panjang dan lebar, dan kalau para anggauta itu mengenakan ikat pinggang putih, orang ini memiliki ikat pinggang yang keemasan. Topeng yang menutupi mukanya juga topeng tengkorak, akan tetapi kalau para anggauta itu topengnya nampak jelas, orang ini seolah-olah tidak bertopeng, melainkan mukanya memang muka tengkorak, kulit membungkus tulang belaka! Dan sepasang matanya mencorong menakutkan.
Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini menggunakan topeng dari kulit tipis, akan tetapi dia harus mengaku dalam hati bahwa orang ini merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan karena dari pandang matanya itu berpancar kekuatan yang dia tahu kekuatan ilmu hitam atau sihir! Mereka yang mengiringkan Thian Sin kini berhenti dan Thian Sin dibiarkan berdiri di tengah ruangan. Pemuda ini berdiri tegak dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang. Suasana dalam ruangan itu seperti sedang pesta atau menjamu tamu-tamu, dan agaknya perjamuan itu baru akan dimulai. Dia merasa betapa dia telah mengganggu sebuah perjamuan, karena dia melihat kemarahan dan kejengkelan pada wajah orang-orang yang hadir di situ. Tiba-tiba yang memakai jubah dan topeng siluman itu bangkit dari tempat duduknya dan ternyata tubuhnya cukup jangkung.
"Ahh, kita telah kedatangan seorang tamu kehormatan! Cu-wi yang hadir hendaknya melihat baik-baik, bukankah benar bahwa tamu kita ini adalah Pendekar Sadis atau Sang Pangeran Ceng Thian Sin?"
Thian Sin terkejut bukan main. Dia mengerling ke arah para hadirin dan melihat beberapa orang di antara mereka mengangguk-angguk membenarkan. Dia telah dikenal orang! Tentu mereka itu adalah orang-orang penting dan setelah kini dia memperhatikan mereka, dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat pembesar-pembesar yang pernah dilihatnya di kota raja! Diapun menanti dengan hati tegang, tidak dapat menduga dengan siapa dia sebenarnya berhadapan dan dengan perkumpulan macam apa pula. Siluman itu kini berkata langsung kepadanya,
"Orang muda yang gagah, tidak kelirukah dugaan kami bahwa engkau adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Thian Sin merasa tidak perlu untuk menyembunyikan diri lagi maka diapun mengangguk. Kini terdengar para hadirin saling berbisik dan suasana menjadi tegang. Agaknya kenyataan yang telah diakui oleh orangnya bahwa tempat itu kedatangan Pendekar Sadis, merupakan hal yang mengejutkan mereka. Akan tetapi, siluman itu melangkah maju dan menjura.
"Ah, selamat datang, Ceng-taihiap. Selamat datang! Hayo cepat lepaskan belenggunya dan kalian minta maaf!"
Katanya kepada dua belas orang yang tadi mengawal Thian Sin.
"Tidak perlu repot-repot!"
Thian Sin berkata dan sekali dia menggerakkan kedua lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya, terdengar suara "krekk! krekkk!"
Dan belenggu rantai besi pada kedua tangan itu patah-patah dan runtuh ke atas lantai. Karena semua orang memandang dengan hati tegang dan suasana amat sunyinya, maka ketika belenggu itu jatuh ke atas lantai batu, terdengar suara nyaring berdenting. Siluman Tengkorak itu tertawa, suaranya terdengar lebih nyaring dari pada denting rantai belenggu.
"Hebat, Ceng-taihiap memang hebat. Silahkan duduk!"
"Terima kasih!"
Kata Thian Sin dan dia menerima bangku yang disodorkan oleh seorang di antara para anggauta Siluman Tengkorak, lalu duduk menghadapi ketua siluman yang sudah duduk pula itu.
"Ingin sekali saya mendengar apa artinya semua ini. Mengapa penyambutan terhadap saya seperti ini?"
Thian Sin mulai membuka kartunya, tentu saja dengan maksud untuk memancing pembukaan kartu lawan dan untuk melihat apa yang tersembunyi dalam hati pihak lawan. Siluman itu tersenyum dan wajahnya nampak menyeramkan. Kini Thin Sin merasa yakin bahwa orang itu memakai topeng terbuat dari pada kain atau karet tipis, tidak sehalus topeng yang pernah dipakai oleh Kim Hong ketika menyamar sebagai nenek Lam-sin, akan tetapi juga tidak sekasar yang dipakai para anak buah Siluman Tengkorak itu.
Pendekar Sadis Eps 29 Pendekar Lembah Naga Eps 61 Pendekar Sadis Eps 16