Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 15


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Dan pada saat itu, Kim Hong Liu-nio telah bergerak dan nampak sinar merah meluncur dan menyerang panglima itu ketika dia menggerakkan sabuk merahnya! Pada saat itu, tujuh di antara sembilan orang pengawal pribadi Kaisar telah bergerak, tombak mereka berkelebatan dan mereka telah mulai menyerang ke arah pangeran mahkota dan Kaisar yang masih berpelukan di atas pembaringan! Akan tetapi Han Houw sudah menerjang dan menyambut mereka dengan pedangnya dan pemuda cilik ini mengamuk hebat, sedangkan di fihak lain Kim Hong Liu-nio sudah mendesak sang panglima pemberontak dengan sabuk merahnya. Barulah para panglima dan pembesar yang berada di situ menjadi geger dan sadar bahwa telah terjadi pemberontakan. Kiranya pemberontakan yang didesas-desuskan itu, yang kemudian hendak dicegah dengan penjagaan ketat,

   Tidak datang dari luar, melainkan dari dalam, bahkan komplotan pemberontak itu telah berkumpul di dalam kamar Kaisar! Panglima Lee Cin dan Lee Siang cepat bergerak pula membantu Han Houw menghadapi tujuh orang pengawal pemberontak. Dengan adanya Kim Hong Liu-nio di situ, bersama juga Han Houw yang biarpun lengan kirinya sudah terluka namun masih mengamuk dan sebentar saja dia telah merobohkan dua orang pengawal pemberontak, maka akhirnya pemberontak itu dapat dihancurkan sebelum menjalar keluar. Dengan sabuk suteranya, Kim Hong Liu-nio berhasil menotok leher dan kedua lengan panglima pemberontak sehingga panglima itu roboh pingsan sedangkan Han Houw yang dibantu oleh dua orang Panglima Lee telah dapat menewaskan tujuh orang pengawal itu.

   "Jangan bunuh panglima khianat itu!"

   Kata Panglima Lee Siang kepada Kim Hong Liu-nio maka wanita inipun tidak bergerak untuk membunuhnya. Dia tahu bahwa tentu panglima ini akan dipaksa mengaku siapa penggerak pemberontakan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan orang muda yang sejak tadi telah berada di situ, yaitu Pangeran Ceng Su Kiat, telah roboh dengan dada tertusuk pedang pendek yang dipegang oleh tangan kanannya. Kiranya pangeran ini telah membunuh diri di situ setelah melihat betapa usaha pemberontakan itu gagal!

   Semua mayat dan panglima yang tertawan itu telah dibawa keluar dengan cepat, dan tempat itu dibersihkan. Akan tetapi Sri Baginda Kaisar minta pindah ke kamar lain mengajak pangeran mahkota yang sudah diobati pundaknya, Han Houw yang juga telah dibalut lengannya, dan ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, Panglima Lee Siang dan para panglima lain. Di dalam kamar ini Sri Baginda Kaisar dan pangeran mahkota menyatakan kekaguman dan terima kasih mereka kepada Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, karena harus diakui bahwa kalau tidak ada mereka, keadaan pangeran dan Kaisar sungguh bisa terancam bahaya maut. Apalagi Pangeran Ceng Hwa, dia tahu betul bahwa serangan tiba-tiba dari panglima tadi tentu akan menewaskannya kalau tidak ada Han Houw yang cepat menangkis dengan mengorbankan lengannya sendiri terluka itu.

   Panglima pemberontak yang tentu saja dijatuhi hukuman mati itu sebelum mati telah mengaku bahwa pemberontakan itu diatur oleh Pangeran Ceng Su Liat. Sesungguhnya bukanlah merupakan pemberontakan umum yang besar-besaran, melainkan hanya merupakan niat untuk membunuh pangeran mahkota agar Pangeran Ceng Su Liat memperoleh kesempatan untuk menggantikan pangeran mahkota kalau pangeran ini tewas. Maka tadi ketika melihat Sri Baginda Kaisar terguling karena serangan jantung, panglima pengkhianat itu mengira bahwa Sri Baginda telah meninggal dunia, maka dia melihat kesempatan baik sekali untuk turun tangan, sesuai dengan perintah Pangeran Ceng Su Liat yang menjanjikan pengampunan bahkan kedudukan tinggi apabila usaha itu berhasil!

   Tentu saja Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio menjadi orang-orang yang berjasa besar di dalam istana Kaisar! Mereka menjadi orang-orang terhormat yang dikagumi, dan karena Ceng Han Houw telah diumumkan oleh Kaisar sendiri sebagai pangeran, maka tentu saja dia diterima di mana-mana dengan terhormat dan Kim Hong Liu-nio yang dikenal sebagai pengasuh atau pengawalnya, juga dikagumi orang karena selain cantik jelita dan bersikap agung pendiam, juga semua orang kagum bahwa wanita cantik ini berhasil menundukkan seorang yang demikian terkenal sebagal seorang panglima yang pandai ilmu silat seperti Panglima Boan yang membantu pemberontakan atau pengkhianatan Pangeran Ceng Su Liat itu.

   Akan tetapi, peristiwa di dalam kamar Kaisar itu membuat penyakit yang diderita Kaisar menjadi makin berat. Perbuatan puteranya sendiri yang hampir saja membunuh pangeran mahkota dan dia sendiri, mendatangkan kedukaan hebat sehingga setelah menderita serangan jantung berkali-kali, akhirnya sebulan kemudiang Kaisar Ceng Tung meninggal dunia! Seluruh istana berkabung, bahkan seluruh rakyat diharuskan untuk berkabung. Setelah ikut hadir dalam pemakaman Kaisar dan ikut pula berkabung, Han Houw yang merasa kehilangan ayah kandungnya dan merasa bahwa tidak ada perlunya lagi baginya untuk lebih lama tinggal di istana Kerajaan Beng. Juga sucinya membujuk kepadanya untuk segera berpamit dan kembali ke utara,

   Karena sucinya merasa tidak enak hati selalu kalau teringat akan ancaman orang-orang kang-ouw kepadanya, seperti yang telah terjadi sebelum mereka memasuki istana, yaitu ketika mereka bertemu dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Han Houw lalu menghadap Pangeran Ceng Hwa untuk mohon diri pulang ke utara. Akan tetapi, Pangeran Ceng Hwa yang merasa suka sekali kepada Han Houw, yang biarpun hanya seorang pangeran kelahiran utara, di daerah setengah liar itu, namun ternyata tidak mengecewakan menjadi seorang Pangeran Beng, karena selain pandai ilmu silat, juga pangeran muda ini cukup luas pengetahuannya yang didapatnya dari kitab-kitab yang dipelajarinya di utara, menahannya. Pangeran Ceng Hwa menahan Han Houw agar suka tinggal di kota raja sampai hari penobatannya sebagai Kaisar pengganti ayah mereka yang telah meninggal dunia.

   "Sebaiknya Kim Hong Liu-nio biar kembali dulu ke utara memberi laporan dan menyampaikan undangan kami kepada Raja Sabutai untuk menghadiri hari penobatan kami sebagai Kaisar."

   Demikian Pangeran Ceng Hwa berkata. Akhirnya diputuskan bahwa Kim Hong Liu-nio akan kembali dulu ke utara dan Ceng Han Houw untuk sementara tinggal di istana. Kim Hong Liu-nio tidak merasa keberatan karena sutenya itu tentu saja akan terjamin keamanannya berada di dalam istana Kerajaan Beng. Maka berpamitlah dia dan berangkatlah wanita perkasa yang cantik jelita itu keluar dari istana, di mana dia hidup terhormat sampai lebih dari satu bulan lamanya.

   Kita tinggalkan dulu keadaan Ceng Han Houw yang tinggal di istana, dan Kim Hong Liu-nio yang melakukan perjalanan kembali ke utara, dan mari kita menengok keadaan Sin Liong untuk memperlancar jalannya cerita. Seperti kita ketahui, Sin Liong kini tinggal di rumah Na-piauwsu, yaitu Na Ceng Han yang gagah perkasa dan ramah sekali itu. Pada waktu itu, tanpa terasa lagi, Sin Liong sudah hampir satu tahun tinggal di dalam rumah keluarga Na. Setiap hari dia berlatih ilmu silat dari Na Ceng Han, bersama-sama dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dia bersahabat akrab sekali dengan dua orang yang disebut sumoi dan suheng itu. Usia Sin Liong kini telah empat belas tahun, sebaya dengan Tiong Pek, sedangkan Bi Cu telah berusia dua belas tahun.

   Bi Cu memang manis sekali. Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun jelas nampak sudah bahwa dia merupakan seorang dara yang amat manis. Dan Sin Liong dapat melihat betapa Tiong Pek selalu bersikap manis kepada Bi Cu, agak berlebih malah, membuktikan bahwa pemuda tanggung itu agaknya amat suka dan mencinta sumoi mereka! Bahkan kadang-kadang nampak Tiong Pek bermanis-manis muka, membujuk rayu, sehingga kalau melihat hal ini, Sin Liong cepat menjauhkan diri karena dia merasa malu sendiri. Diakuinya bahwa Tiong Pek amat ramah dan baik, akan tetapi dia melihat bahwa sikap Tiong Pek terhadap Bi Cu agaknya terlalu mendesak dan selalu mencoba untuk mengambil hati anak perempuan itu.

   Dan dia melihat betapa Bi Cu selalu bersikap hormat dan manis kepada Tiong Pek, bahkan demikianlah sikap Bi Cu kepada seisi rumah keluarga Na. Hal ini dimengerti oleh Sin Liong karena tentu dara kecil itu merasa betapa dia adalah seorang yang menumpang hidup di dalam rumah keluarga Na! Diam-diam Sin Liong merasa kasihan kepada anak perempuan ini karena merasa betapa mereka berdua mempunyai nasib yang hampir mirip. Memang benar bahwa dia tidak seperti Bi Cu, hanya ditinggal mati ibu dan masih mempunyai seorang ayah, akan tetapi dia tidak tahu di mana ayahnya berada dan selamanya belum pernah bertemu dengan ayahnya, sehingga dibandingkan dengan Bi Cu yang kematian ayahnya, agaknya tidaklah begitu banyak bedanya.

   Pada suatu hari, Sin Liong yang sudah selesai melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah itu, ingin sekali berlatih silat dan dia lalu mencari-cari dua orang suheng dan sumoinya itu. Rumah itu nampak kosong karena keluarga wanita sibuk di belakang, di dapur, sedangkan Na-piauwsu sedang pergi ke luar kota untuk mengawal sendiri barang kiriman yang penting. Maka rumah itu kelihatan sunyi. Sin Liong merasa heran mengapa suheng dan sumoinya itu tidak nampak. Padahal, tadi mereka masih kelihatan di ruangan depan. Dia tidak berani memanggil-manggil, karena takut menimbulkan bising dan mengganggu seorang bibi keluarga yang tidur di kamarnya karena bibi tua ini sedang tidak enak badan. Maka dia terus mencari dan akhirnya dia pergi mencari ke kamar Bi Cu. Ketika dia tiba di luar kamar itu, dia mendengar sesuatu di dalam kamar. Dia mendekati pintu kamar dan mendengarkan.

   "Jangan... suheng..."

   Terdengar Bi Cu berkata lirih dan menahan tangis.

   "Sumoi, kenapa kau tidak mau bersikap manis kepadaku? Kurang baik apakan aku kepadamu? Kurang banyakkah budi yang dilimpahkan oleh kami sekeluarga kepadamu?"

   Terdengar Bi Cu terisak.

   "Aku berterima kasih... uh-uhh... aku berterima kasih kepada kalian... tapi... tapi..."

   "Aku tidak akan mengganggumu, aku tidak ingin menyakitimu, aku ingin engkau tahu bahwa aku suka sekali kepadamu, sumoi..."

   Sin Liong tidak dapat menahan lagi ketegangan hatinya dan dia mendorong pintu kamar itu dengan keras. Dia melihat Tiong Pek memegangi kedua tangan Bi Cu dan hendak memaksa untuk merangkul dara cilik itu, sedangkan Bi Cu kelihatan menolak halus. Mereka bersitegang sampai Bi Cu jatuh berlutut di atas lantai dan Tiong Pek berusaha untuk mendekatkan mukanya, untuk mencium wajah yang manis akan tetapi agak pucat ketakutan itu.

   "Tiong Pek!"

   Sin Liong membentak dan mencengkeram baju pundak Tiong Pek sambil menariknya ke belakang. Memang Sin Liong tidak pernah menyebut suheng dan sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, karena memang dia tidak dianggap sebagai murid oleh Na Ceng Han, sungguhpun dia dilatih ilmu silat dan dia selalu berlatih bersama dengan dua orang anak itu. Mereka bertiga itu seperti teman-teman baik, bukan seperti kakak beradik seperguruan. Tiong Pek terkejut sekali dan menengok dengan alis berkerut. Dia melepaskan kedua lengan tangan Bi Cu yang tadi dipegangnya, lalu dia menggerakkan tangan kanannya menangkis ke belakang.

   "Dukk!"

   Tangan itu menyampok tangan Sin Liong yang mencengkeram baju pundaknya sehingga terlepas dan bajunya robek. Tiong Pek meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah menandakan bahwa dia marah sekali. Akan tetapi Sin Liong juga sudah menentang pandang matanya dengan bengis.

   "Sin Liong!"

   Tiong Pek berseru marah sekali.

   "Engkau berani lancang mencampuri urusan orang lain? Sungguh tidak tahu malu engkau hendak menghalangi cinta orang? Apakah engkau merasa iri hati?"

   Diserang dengan kata-kata seperti itu, tiba-tiba saja muka Sin Liong menjadi merah dan dia menjadi bingung.

   "Akan tetapi kau... kau..."

   Sukar baginya untuk melanjutkan karena hatinya masih menilai-nilai apakah artinya perbuatan yang dilakukan Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi.

   "Aku cinta kepada Bi Cu sumoi, kau mau apa? Aku siap untuk bertanding melawan siapapun juga untuk memperebutkan sumoi! Hayo, apakah kau ingin memperebutkan sumoi dengan aku?"

   Pemuda tanggung itu mengepal tinju dan siap untuk berkelahi! Sin Liong menjadi semakin bingung. Kalau tadi dia bersikap kasar terhadap Tiong Pek adalah karena dia melihat seolah-olah Tiong Pek hendak melakukan pemaksaan terhadap Bi Cu, akan tetapi sekarang dia menjadi bingung ketika ditantang dan ditanya apakah dia hendak memperebutkan Bi Cu dengan pemuda itu!

   "Ah, siapa yang akan memperebutkan siapa?"

   Katanya masih bingung, akan tetapi dia dapat menekan dan menenangkan perasaannya, lalu memandang kepada Tiong Pek dengan sikap lebih tenang, sungguhpun kemarahannya belum mereda karena dia melihat Bi Cu kini berdiri dengan kepala menunduk dan masih kadang-kadang menahan isak.

   "Tiong Pek, Bi Cu bukanlah sebuah benda yang boleh diperebutkan siapapun juga. Dalam hal rasa suka... hal itu Bi Cu berhak menentukan sendiri, jangan kau memaksa-maksanya seperti itu."

   "Bi Cu juga cinta kepadaku! Kau mau apa?"

   Tiong Pek yang masih marah itu menyerang lagi dengan kata-katanya yang penuh tantangan. Dia memang marah sekali karena merasa terganggu. Kalau Sin Liong tidak datang mengganggu, tentu dia sudah dapat mencium Bi Cu, hal yang sudah sering kali direnungkan dan diimpikan itu! Mendengar ucapan ini, Sin Liong memandang kepada Bi Cu penuh keraguan. Benarkah itu? Kalau Bi Cu benar mencinta Tiong Pek, kenapa tadi bersikap seperti menentang? Dan apa gerangan yang hendak dilakukah oleh Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi? Sin Liong sudah berusia empat belas tahun, atau hampir, akan tetapi dia belum tahu benar tentang cinta kasih antara pria dan wanita. Melihat Bi Cu menunduk dan kini mukanya tidak sepucat tadi, bahkan menjadi agak kemerahan, dia lalu melangkah menghampiri.

   "Bi Cu, apakah Tiong Pek... eh hendak berlaku jahat kepadamu?"

   Dia tidak tahu bagaimana harus menanyakan urusan tadi. Bi Cu mengangkat muka dan ketika dia bertemu pandang dengan Sin Liong, dia cepat menunduk kembali, jari-jari tangannya bermain dengan ujung rambutnya yang panjang terurai, lalu kepalanya digelengkannya sebagai jawaban pertanyaan Sin Liong tadi.

   "Dan kau... kau... cinta kepada Tiong Pek?"

   Bi Cu menjadi merah sekali mukanya dan kepalanya makin menunduk. Sekali ini dia sama sekali tidak mau menjawab.

   "Bagaimana, Bi Cu? Jawablah, apakah kau cinta kepada Tiong Pek?"

   Sin Liong mendesak. Dara cilik itu mengangkat muka dengan gugup, memandang kepada Sin Liong sebentar, lalu memandang kepada Tiong Pek, dan menunduk kembali tanpa menjawab, hanya ada dua titik air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya yang merah. Melihat ini, kembali timbul rasa kasihan di dalam hati Sin Liong dan teringatlah dia akan percakapan yang didengarnya tadi. Dia kembali menghadapi Tiong Pek dan berkata dengan alis berkerut,

   "Tiong Pek, sungguh tidak patut sekali kalau engkau hendak menggunakan kekerasan. Apakah kau ingin menjadi penjahat hina? Aku tadi mendengar engkau membujuk dan melihat engkau menggunakan kekerasan. Engkau menonjolkan jasa-jasa dan budi keluargamu yang kau limpahkan kepada Bi Cu. Apakah itu kebaikan namanya kalau kau tonjolkan dan kalau engkau minta imbalan dari pertolongan yang kalian berikan kepada Bi Cu?"

   "Sin Liong, kau ini siapa bermulut selancang ini?"

   Tiong Pek marah sekali dan dia menerjang dengan pukulan ke arah mulut Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong cepat mengelak dan ketika Tiong Pek menerjang lagi, dia menangkis dan bersiap untuk melawan. Akan tetapi, sambil menangis Bi Cu cepat melerai dengan meloncat di tengah-tengah antara mereka,

   "Jangan berkelahi... ah, harap jangan berkelahi...!"

   Tentu saja Sin Liong cepat meloncat mundur, dan Tiong Pek juga tidak mendesak setelah melihat Bi Cu menangis sambil melerai itu. Kedua orang pemuda tanggung itu kini memandang kepada Bi Cu yang menangis sesenggukan di tengah-tengah antara mereka, menutupi muka dengan kedua tangannya. Mereka berdua menjadi bingung.

   "Sumoi, jangan menangis, sumoi. Maafkan kalau aku bersalah..."

   Akhirnya terdengar Tiong Pek berkata halus.

   "Aku tadi hanya ingin menciummu... jahatkah perbuatan itu... padahal aku hanya ingin membuktikan cintaku...?"

   Mendengar ucapan itu, diam-diam Sin Liong menjadi jengah dan juga terheran-heran bagaimana Tiong Pek berani bicara terang-terangan seperti itu! Bi Cu menahan isaknya dan tangisnya agar mereda, kemudian terdengar kata-katanya lirih di antara isaknya,

   "Aku tidak tahu... aku tidak tahu apa itu cinta! Aku... aku suka kepada suheng karena suheng baik sekali, dan seluruh keluarga suheng baik kepadaku, menganggap aku seperti keluarga sendiri. Aku berhutang budi besar sekali kepada suheng sekeluarga, akan tetapi... aku tidak tahu tentang cinta, dan aku tidak tahu... jahat atau tidak di... dicium, akan tetapi aku takut sekali..."

   Diam-diam Sin Liong tersenyum. Biarpun usia mereka berdua ini sebaya dengan dia, Bi Cu berusia dua belas tahun dan Tiong Pek empat belas tahun, namun mereka berdua ini seperti anak-anak yang masih kecil saja! Anak-anak kecil yang ingin memasuki permainan orang-orang dewasa!

   "Tiong Pek, kalau engkau tahu bahwa Bi Cu takut, kenapa kau hendak memaksanya? Kalau engkau memang kasihan dan suka kepadanya, tidak mungkin engkau main paksa membikin dia takut dan menangis..."

   Tiong Pek menarik napas panjang, kini dia melihat bahwa dia telah benar-benar membuat Bi Cu berduka, takut dan malu. Baru sekarang dia merasa seolah-olah sadar, setelah gairah aneh yang membuat seluruh tubuhnya panas, membuat dia ingin sekali mencium Bi Cu itu kini mendingin dan lenyap. Baru dia tahu bahwa dia memang bersalah.

   "Maafkan aku, Bi Cu. Kau benar, Sin Liong, aku memang layak dipukul karena telah membikin sumoi ketakutan dan menangis. Sumoi, sekali lagi, kau maafkanlah aku."

   Bi Cu menghapus air matanya dan kini baru dia dapat memandang suhengnya itu dengan senyum yang mulai berkembang mengusir kedukaannya.

   "Tidak mengapa, suheng, kita lupakan saja hal tadi."

   "Seorang yang dapat menyadari kesalahannya sendiri barulah patut disebut orang gagah, Tiong Pek,"

   Kata Sin Liong.

   "Ah, benarkah itu?"

   Tiong Pek berkata girang, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kenakalan.

   "Akan tetapi jangan hal itu membuat engkau keenakan dan setiap kali ingin menjadi orang gagah lalu melakukan kesalahan lebih dulu untuk kemudian disadari!"

   Sambung Sin Liong. Tiong Pek tertawa, Bi Cu juga tertawa dan mereka berbaik kembali. Lenyaplah semua dendam dan kemarahan.

   "Eh, kalau kalian berdua benar-benar sudah memaafkan aku, harus kalian buktikan!"

   Tiba-tiba Tiong Pek berkata.

   "Buktikan bagaimana?"

   Sin Liong menuntut dan memandang tajam. Jangan-jangan bocah nakal ini minta bukti aneh-aneh, seperti cium dari Bi Cu misalnya! Kalau begitu dia tentu tidak akan ragu-ragu untuk menjotosnya!

   "Buktinya adalah bahwa kalian tidak akan mengatakan sesuatu tentang urusan tadi kepada ayah."

   "Kau tahu bahwa aku tidak akan berkata apa-apa kepada paman, suheng,"

   Kata Bi Cu cepat.

   "Akan tetapi aku hanya mau berjanji tidak akan menyampaikan kepada paman Na asal engkaupun berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesat tadi!"

   Kata Sin Liong.

   "Sesat? Ah, memang salah akan tetapi jangan namakan itu sesat, Sin Liong. Baiklah, dengarkan kalian. Aku berjanji tidak akan mencoba untuk mencium Bi Cu kecuali kalau memang sumoi Bi Cu mau kucium!"

   Tentu saja mendengar janji yang seperti itu, seketika wajah Bi Cu kembali menjadi merah sekali.

   "Dasar engkau setan!"

   Sin Liong menegur sambil tertawa dan Tiong Pek juga tertawa. Bi Cu terpaksa ikut pula tertawa dan ketiga orang anak itu lalu memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih sliat) di mana mereka berlatih silat dengan tekunnya.

   Wanita cantik itu melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara. Para penjaga di pintu gerbang itu cepat berdiri dengan sikap menghormat ketika wanita itu berjalan keluar dari pintu gerbang. Bahkan komandan jaga yang bertubuh tinggi besar itu memberi hormat dan berkata,

   "Selamat jalan, lihiap!"

   Wanita itu bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio.

   Semenjak terjadi peristiwa pemberontakan di dalam istana yang bermaksud membunuh pangeran mahkota dan Kaisar dan usaha jahat itu digagalkan oleh Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw, wanita ini menjadi seorang tokoh yang terkenal di kota raja, terutama di lingkungan istana dan di antara para pengawal. Oleh karena itu, ketika dia keluar dari pintu gerbang, semua penjaga memberi hormat, bahkan komandan jaga menghaturkan selamat jalan. Seperti kita ketahui, Kim Hong Liu-nio terpaksa berangkat pulang ke utara seorang diri saja, meninggalkan sutenya di istana karena Pangeran Mahkota Ceng Hwa, calon Kaisar, atau juga saudara tiri dari Han Houw, menahan pemuda tanggung itu untuk tidak meninggalkan istana sampai hari penobatannya sebagai Kaisar. Maka Kim Hong Liu-nio pulang seorang diri untuk melaporkan semua peristiwa yang dialami oleh sutenya itu kepada Raja Sabutai dan Permaisuri Khamila,

   Dan selain itu juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada Raja Sabutai untuk menghadiri hari penobatannya sebagai Kaisar pengganti ayahnya. Hati Kim Hong Liu-nio lega karena sutenya itu berada dalam keadaan aman, maka dia melakukan perjalanan cepat, tidak memperdulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran. Siapa orangnya tidak akan terheran-heran melihat seorang wanita cantik berjalan sedemikian cepatnya seperti terbang saja? Sebentar saja dia sudah keluar dari pintu gerbang itu diikuti oleh pandang mata semua penjaga sampai bayangannya lenyap. Akan tetapi ketika dia tiba di padang rumput di sebelah utara pintu gerbang utara kota raja itu, tiba-tiba dia memandang ke depan dengan alis berkerut karena jauh di depannya dia melihat banyak orang sudah berdiri menghadangnya,

   Dan dari jauh saja dapat dilihat pakaian mereka yang berkembang-kembang dan tangan mereka yang memegang tongkat dengan punggung memanggul buntalan-buntalan kuning. Orang-orang Hwa-i Kai-pang! Dan setelah agak dekat Kim Hong Liu-nio melihat bahwa di antara mereka terdapat mereka yang memanggul buntalan sedikit saja. Ada dua orang yang memanggul tiga buah buntalan kuning, bahkan ada seorang yang memanggul dua buntalan, berarti bahwa di antara mereka itu ada dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga dan bahkan ada seorang tokoh tingkat dua! Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar tegang. Dia maklum bahwa yang menghadangnya adalah tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tinggi! Dan selain tiga orang tokoh yang tinggi tingkatnya itu, dia melihat tokoh-tokoh tingkat empat dan lima yang jumlahnya ada tujuh belas orang!

   Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio adalah murid terkasih dari Hek-hiat Mo-li, dan dia sama sekali tidak pernah mengenal arti takut. Dengan sikap tenang penuh kewaspadaan dia berjalan terus dengan cepat tanpa mengurangi pengerahan gin-kangnya dan sebentar saja dia sudah berhadapan dengan belasan orang yang sengaja menghadang memenuhi jalan itu. Terpaksa Kim Hong Liu-nio berhenti dan memandang mereka dengan sinar mata mengejek, tidak memperdulikan pandang mata belasan orang itu yang ditujukan kepadanya dengan penuh kemarahan. Yang menjadi perhatiah Kim Hong Liu-nio adalah tiga orang kakek di depan itu, yaitu dua orang tokoh tingkat tiga dan seorang yang bertingkat dua, karena dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang bertingkat empat dan lima.

   "Perlahan dulu, nona!"

   Berkata pengemis baju kembang yang memanggul dua buah buntalan kuning di punggungnya. Pengemis ini usianya tentu mendekati enam puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti cecak mati saking kurusnya sehingga tubuh yang tingginya biasa saja itu kelihatan jangkung. Pakaiannya sederhana, akan tetapi bersih dan berpakaian tambal-tambalan dari kain-kain berkembang dan berwarna itu nampak lucu karena banyak merahnya, mungkin menjadi tanda bahwa pemakainya memang mempunyai kesukaan akan warna merah.

   "Hemm, kulihat kalian ini tentulah tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang,"

   Jawab Kim Hong Liu-nio sambil mengerling ke arah tiga orang kakek pengemis yang pernah dikalahkannya tempo hari, yaitu mereka yang bertingkat lima.

   "Apakah kini orang-orang Hwa-i Kai-pang yang tersohor itu telah berubah menjadi segerombolan perampok yang suka menghadang orang lewat di jalan raya?"

   Kakek kurus kering itu tersenyum lebar. Biarpun dia marah sekali, akan tetapi kakek ini dapat menguasai kemarahannya dan menghadapi wanita yang dia dengar amat lihai itu dengan tenang.

   "Andaikata kami menjadi perampok sekalipun, kami tidak akan merampok nyawa orang yang tidak berdosa seperti yang telah kau lakukan kepada seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai."

   Kim Hong Liu-nio sudah tahu mengapa para pengemis itu menghadangnya, maka dengan jujur dan penuh keberanian dia berkata,

   "Memang aku telah membunuh pengemis she Tio itu."

   Mendengar jawaban yang berani itu, para pengemis kelihatan makin marah dan terdengar mereka mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi bising, akan tetapi Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak memperdulikan mereka.

   "Kenapa?"

   Bentak tokoh kedua Hwa-i Kai-pang. Kakek ini berjuluk Lo-thian Sin-kai(Pengemis Sakti Pengacau Langit).

   "Setiap orang merasa kasihan kepada seorang pengemis yang hidup serba kekurangan, akan tetapi kenapa engkau membunuh pengemis tidak berdosa itu?"

   "Karena dia she Tio! Baik dia pengemis maupun seorang raja, karena dia she Tio, maka berjumpa dengan aku dia harus mati! Dia yang she Tio atau yang she Cia dan yang she Yap!"

   Kata Kim Hong Liu-nio dan dia sudah mengeluarkan papan kayu sallb yang bertuliskan nama keluarga Tio, Yap, dan Cia itu.

   "Apa?"

   Lo-thian Sin-kai terbelalak.

   "Kau hendak membunuh semua orang yang memiliki she seperti itu? Jadi engkau membunuh pengemis she Tio itu tanpa ada permusuhan pribadi sama sekali?"

   "Kenalpun tidak aku kepadanya, hanya aku mendengar dia she Tio maka dia harus mati."

   "Iblis betina keji!"

   Terdengar bentakan marah dan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, agaknya sudah tidak dapat menahan kemarahan mereka dan kini mereka berdua sudah menerjang maju, menggerakkan tongkat mereka dari kanan dan kiri menyerang Kim Hong Liu-nio. Yang memaki itu adalah kakek pengemis yang punggungnya agak bongkok.

   "Hutang nyawa bayar nyawa!"

   Bentak kakek pengemis ke dua yang mukanya hitam sekali, agaknya hitam karena bekas penyakit karena melihat leher dan tangannya, sebetulnya dia berkulit putih.

   Kakek bongkok dan kakek muka hitam ini berusia kurang lebih lima puluh tahun dan mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi. Yang punggungnya bongkok itu terkenal dengan julukannya Tiat-ciang Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Besi), sedangkan yang bermuka hitam berjuluk Hek-bin Mo-kai (Pengemis Iblis Muka Hitam). Karena mereka berdua maklum dan mendengar dari tiga orang pengemis tingkat lima betapa lihainya wanita itu, maka mereka maju berbareng dan serentak telah menyerang dengan senjata tongkat mereka. Melihat cara menyambarnya tongkat-tongkat itu maklumlah Kim Hong Liu-nio bahwa dia menghadapi lawan yang cukup tangguh dan cepat dia menggerakkan tubuhnya mengelak ke belakang. Dua sinar hitam dari tongkat itu menyambar dahsyat di dekat tubuhnya.

   "Wuuut! Wuuutt!"

   Ujung-ujung tongkat itu sebelum menyentuh tanah, telah ditahan oleh para pemegangnya dan kelihatan ujung tongkat itu menggetar hebat sampai mengeluarkan suara "wrrrrr!"

   Saking kerasnya sambaran itu dan kini ditahan oleh dua orang kakek pengemis. Kemudian tongkat itu menyambar lagi dan Kim Hong Liu-nio sudah didesak dan dihujani serangan bertubi-tubi yang kesemuanya mengandung tenaga kuat sekali.

   "Hemm, kalian mencari penyakit!"

   Bentak wanita itu dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar merah yang panjang bergulung-gulung dan ternyata wanita ini dengan tenang namun cepat bukan main telah menggerakkan sabuk merahnya dan sambil mengelak dia telah balas menyerang!

   "Wirrrr... syuuuuttt... plakk!"

   Sabuk merah itu hebat bukan main, menyambar dahsyat menyilaukan mata dan hampir saja leher Hek-bin Mo-kai kena totok. Untung dia dapat menangkis dengan cepat dan kini tongkatnya terlibat ujung sabuk merah yang bergerak seperti ular itu. Selagi Hek-bin Mo-kai bersitegang untuk melepaskan tongkat dari libatan sabuk, Tiat-ciang Sin-kai sudah menghantamkan tongkatnya dari samping ke arah kepala wanita itu.

   "Cringgg...!"

   Tiat-ciang Sin-kai terkejut bukan main. Tongkatnya yang menghantam kepala itu ditangkis oleh lengan kecil halus yang bergelang kerincing.

   Anehnya lengan kecil dan gelang-gelang emas kecil itu tidak saja mampu menangkis tongkatnya, malah dia sendiri sampai terhuyung ke belakang saking kuatnya tangkisan itu! Dengan marah dia lalu mengatur keseimbangan tubuhnya dan menubruk lagi, kini tongkatnya menusuk ke arah lambung dari sebelah kanan wanita itu. Pada saat itu, ujung sabuk merah masih melibat ujung tongkat di tangan Hek-bin Mo-kai dan agaknya Kim Hong Liu-nio tidak akan dapat menghindarkan diri dari tusukan tongkat kakek pengemis bongkok. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mengeluarkan bentakan nyaring dan bentakan ini disusul teriakan Hek-bin Mo-kai yang tidak dapat menguasai tongkatnya lagi. Tongkatnya yang terlibat itu terbetot sehingga dia tidak mampu mempertahankan ketika tongkatnya itu bergerak ke kiri.

   "Takkkkk...!"

   Keras sekali pertemuan antara tongkat Hek-bin Mo-kai itu yang menangkis tongkat Tiat-ciang Sin-kai yang menusuk tadi sehingga keduanya merasa betapa telapak tangan mereka nyeri dan senjata mereka itu hampir terlepas dari tangan. Keduanya memang memiliki tenaga yang seimbang dan tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga, yang seorang ingin menarik kembali tongkatnya sedangkan yang ke dua sedang menyerang.

   "Wuuuttt...!"

   Baru saja kedua tongkat itu bertemu tiba-tiba sinar merah menyambar dan tahu-tahu ujung sabuk telah melibat kedua batang tongkat itu dengan eratnya!

   "Iblis jahat...!"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiat-ciang Sin-kai berseru marah dan dia menerjang maju dengan tangan kanannya, mengirim pukulan yang dahsyat. Kakek bongkok ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) maka tentu saja dia memiliki tangan gemblengan yang amat hebat, kuat seperti besi dan ketika dia melancarkan pukulan itu tangannya berubah agak kehitaman! Akan tetapi, melihat datangya pukulan itu, Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mengelak, bahkan dia lalu mengangkat tangan kirinya menerima pukulan itu dengan tangkisan, gerakannya seenaknya saja seolah-olah dia tidak tahu bahwa pukulan itu adalah pukulan ampuh, bukan sembarang pukulan. Melihat ini, giranglah kakek pengemis bongkok itu. Remuk tulang tanganmu sekarang, pikirnya girang, dan dia mengerahkan seluruh tenaga Tiat-ciang-kang ke dalam tangannya itu.

   "Desss...!"

   Hebat sekali pertemuan ke dua tangan itu dan terdengar Tiat-ciang Sin-kai berteriak kesakitan dan tubunya terhuyung ke belakang,

   Dia melepaskan tongkatnya yang masih terlibat menjadi satu dengan tongkat Hek-bin Mo-kai dan pada saat yang sama, Kim Hong Liu-nio membetot sabuknya dengan kuat dan ketika Hek-bin Mo-kai mempertahankan, tiba-tiba dia melepaskan libatan sabuknya sehingga si muka hitam inipun terhuyung seperti temannya! Tiat-ciang Sin-kai menyeringai karena tangan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti patah-patah rasa tulang-tulang tangannya. Dia tidak tahu bahwa wanita cantik yang tadi telah melindungi tangannya yang kecil berkulit halus itu dengan sarung tangannya yang istimewa, yaitu sarung tangan halus dengan warna sama dengan kulitnya. Sarung tangan ini dapat dipakai untuk menyambut senjata tajam, apalagi hanya pukulan tangan kosong, biarpun tangan itu sama kerasnya dengan besi!

   "Wanita kejam, engkau boleh juga!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan si kakek kurus kering, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, telah menerjang dan menyerang Kim Hong Liu-nio dengan tongkatnya. Terdengar suara berdesir-desir dan tongkat yang digerakkan secara istimewa itu telah membentuk lingkaran-lingkaran yang lima buah banyaknya. Itulah Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang amat hebat! Lima lingkaran sinar tongkat itu bergerak-gerak dan dari setiap lingkaran menyambar-nyambar ujung tongkat yang mengeluarkan suara berdesing tanda bahwa tongkat itu yang kelihatan seperti kayu ternyata menyembunyikan benda logam keras di dalamnya dan tenaga yang dipergunakan untuk menggerakkan tongkat itu amat kuatnya!

   "Hemm! Kalian behar-benar hendak memusuhi aku? Majulah!"

   Bentak Kim Hong Liu-nio dan menghadapi ilmu tongkat lawan ini, dia sama sekali tidak merasa jerih, bahkan dia gembira sekali. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang suka sekali akan ilmu silat. Telah banyak dia mengumpulkan dan mempelajari ilmu-ilmu silat dari semua aliran yang ada di dunia persilatan, dan kalau bertemu dengan suatu ilmu baru yang belum dikenalnya, dia merasa gembira sekali dan ingin mengenal serta mempelajarinya. Maka begitu dia melihat ilmu tongkat dari kakek pengemis kurus kering ini, dia melihat ilmu tongkat yang amat hebat sehingga timbul kegembiraannya dan dia cepat menghadapi ilmu tongkat itu dengan kedua tangan kosong sambil mainkan sabuk merahnya.

   Terjadilah kini pertandingan yang amat hebat. Tongkat yang dimainkan oleh Lo-thian Sin-kai memang luar biasa sekali. Ujung tongkat itu nampak menjadi lima buah, seolah-olah kakek kurus itu mainkan lima batang tongkat, dan setiap ujung tongkat membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Sedangkan Kim Hong Liu-nio juga memutar sabuk merahnya sehingga nampak gulungan sinar merah yang amat indah dan kuat menyelimuti dirinya yang menghalau setiap sambaran tongkat. Kadang-kadang wanita perkasa ini menggunakan tangannya untuk menangkis tongkat, karena tangannya telah terlindung oleh sarung tangan mujijat itu, dan kadang-kadang dia membalas dengan serangan kilat,

   Menggunakan ujung sabuknya untuk menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan yang berbahaya. Diam-diam kakek pengemis itu terkejut bukan main. Ketika dia mendengar bahwa tiga orang murid keponakannya, tokoh-tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kai-pang dikalahkan oleh seorang wanita cantik yang telah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, dia mengira bahwa wanita itu adalah seorang wanita kang-ouw yang hanya memiliki kepandaian lumayan saja. Akan tetapi ketika tadi dia melihat dua orang pengemis tingkat tiga dikalahkan, dia merasa penasaran. Dan kini dia terkejut setelah memperoleh kenyataan betapa lihainya wanita ini. Selama lima puluh jurus, nampaknya pengemis tua kurus ktu dapat mendesak wanita itu, buktinya, Kim Hong Liu-nio lebih banyak menghindarkan serangan atau menangkis daripada membalas.

   Karena mengira bahwa jagoan mereka akan menang, maka para pengemis itu hanya menonton saja, mengharapkan dalam waktu singkat wanita itu akan dirobohkan. Padahal, sesungguhnya tidak demikianlah. Kim Hong Liu-nio memang sengaja membiarkan dirinya diserang dan dia hanya mempertahankan diri karena memang dia ingin memancing keluar semua jurus limu tongkat yang menarik hatinya itu. Biarpun dia tidak mungkin dapat menguasai atau menghafal semua gerakan yang dilihatnya dalam pertandingan itu, namun setidaknya dia dapat mengenal ilmu ini dan dapat mengingat inti-intinya yang penting. Setelah lewat lima puluh jurus, dia merasa cukup menonton ilmu tongkat orang, maka kini dia mengeluarkan lengking panjang yang nyaring sekali, kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan terjadilah perubahan hebat dalam pertandingan itu!

   "Wiirrrr... plak-pkakk!"

   "Ahh...!"

   Lo-thian Sin-kai berseru kaget karena hampir saja ubun-ubun kepalanya kena disambar ujung sabuk yang disusul oleh tamparan tangan kilat ke arah ulu hatinya. Untung dia masih sempat mengelak lalu menangkis berkali-kali. Dia dapat selamat dari ancaman maut akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan pada saat itu Kim Hong Liu-nio menerjang maju dan menghujani kakek itu dengan serangan-serangan dahsyat! Baru sekarang tahulah kakek kurus itu bahwa tadi lawannya belum sungguh-sungguh,

   Dan baru sekarang mengeluarkan serangan-serangannya yang dahsyat sehingga repotlah dia memutar tongkatnya untuk membentuk benteng pertahanan melindungi dirinya dari ancaman maut. Semua pengemis terkejut melihat perubahan ini. Jagoan mereka terdesak hebat dan mundur terus. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai berteriak keras dan mereka sudah maju membantu jagoan mereka itu dengan memutar tongkat. Gerakan ini diikuti pula oleh semua pengemis yang sudah mengepung Kim Hong Liu-nio dan mulailah terjadi pengeroyokan yang ketat. Akan tetapi wanita itu tidak menjadi jerih dan sabuk merahnya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, bukan hanya untuk menahan semua tongkat yang menyambar dari sekeliilingnya, akan tetapi juga untuk membagi-bagi totokan.

   Dalam beberapa jurus saja dia sudah merobohkan tiga orang pengemis tingkat lima. Akan tetapi karena dia tidak ingin menanam permusuhan yang hebat dengan perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh ini, Kim Hong Liu-nio tidak membunuh orang, hanya merobohkan mereka untuk membikin mereka tidak dapat mengeroyoknya lagi dengan totokan-totokan di bagian jalan darah yang tidak mematikan. Betapapun juga, Kim Hoing Liu-nio mulai terdesak hebat. Para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, terutama sekali desakan dari Lo-thian Sin-kai yang dibantu Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, amatlah berbahaya baginya sehingga Kim Hong Liu-nio sudah mengambil keputusan untuk kabur dan melarikan diri saja.

   Akan tetapi pengemis itu agaknya maklum akan niatnya ini dan pengepungan dilakukan makin rapat, gerakan tongkat-tongkat mereka menutup semua jalan keluar. Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dari depan dan tak lama kemudian muncullah seorang penunggang kuda. Dia ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang perkasa, berpakaian indah, pakaian seorang panglima pengawal Kim-i-wi yang mentereng, dengan bajunya yang disulam benang emas, kepalanya yang memakal topi berhiaskan bulu burung dewata, dengan tanda pangkatnya di dada kiri yang berkilauan. Melihat wanita cantik itu dikepung oleh para pengemis, panglima itu cepat melompat turun dari pelana kudanya dan sambil mengangkat kedua tangan ke atas dia berteriak-teriak,

   "Tahan senjata...! Hentikan perkelahian...! Para tokoh Hwa-i Kai-pang dengarkan dulu penjelasanku!"

   Lo-thian Sin-kai menoleh dan ketika mengenal panglima itu adalah Lee Siang, Panglima Kim-i-wi yang gagah dan telah dikenalnya, dia lalu meloncat mundur dan berteriak kepada para temannya untuk menahan senjata. Kim Hong Liu-nio juga mengenal panglima itu, ialah panglima pengawal yang pertama kali menerimanya di istana, bahkan yang mengawalnya sampai menghadap Kaisar. Maka diapun menahan gerakannya dan menyimpan kembali sabuk merahnya, lalu mengusap sedikit peluh di dahinya dengan saputangan dan wajahnya menjadi merah ketika dia bertemu pandang dengan panglima yang gagah perkasa itu. Sejak pertemuannya yang pertama dengan Panglima Lee Siang ini, dia memang sudah tertarik dan diam-diam dia mengakui bahwa panglima ini merupakan seorang pria gagah yang pertama kali menarik hatinya dan membuatnya merasa kagum.

   "Locianpwe Lo-thian Sin-kai, harap locianpwe dan para sahabat dari Hwa-i Kai-pang mengetahui bahwa lihiap Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang musuh, sebaliknya malah, dia adalah seorang pendekar wanita yang telah berjasa, telah menyelamatkan mendiang Sri Baginda Kaisar dan pangeran mahkota."

   Lo-thian Sin-kai tentu saja tidak akan memandang kepada Panglima Lee Siang kalau saja tidak mengingat bahwa pria ini adalah seorang panglima pasukan pengawal Kim-i-wi yang amat kuat! Tentu saja akan merupakan bunuh diri bagi perkumpulan Hwa-i Kai-pang kalau berani menentang seorang panglima Kim-i-wi seperti panglima gagah ini. Maka dia menjura dan berkata dengan suara halus,

   "Harap Lee-ciangkun mengetahui bahwa wanita ini telah membunuh seorang di antara anak buah kanni sehingga terpaksa kami menuntut balas."

   Lee Siang terkejut. Dia sudah mendengar akan kesetiakawanan para pengemis, dan dia tahu pula bahwa Hwa-i Kai-pang, adalah perkumpulan pengemis yang paling berpengaruh di daerah kota raja dan mempunyai anggauta yang ribuan orang banyaknya. Dia menoleh kepada Kim Hong Liu-nio dengan pandang mata bertanya. Kim Hong Liu-nio tersenyum kepada panglima yang dikaguminya itu,

   "Lee-ciangkun, harap jangan percaya omongan mereka ini. Benar bahwa aku telah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, akan tetapi pengemis itu kukira bukanlah anggauta Hwa-i Kai-pang karena sama sekali tidak memakai pakaian berkembang. Pula, aku membunuh dia sama sekali bukan karena dia pengemis, bukan pula karena dia ada sangkut pautnya dengan Hwa-i Kai-pang atau kai-pang dari manapun juga, melainkan karena urusan pribadi ying tidak ada sangkut pautnya dengan jagoan-jagoan tukang keroyok dari Hwa-i Kai-pang ini."

   Kata-kata itu sekaligus merupakan tamparan kepada tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga Lo-thian Sin-kai menjadi merah mukanya. Memang memalukan sekali orang-orang seperti mereka ini terpaksa mengeroyok seorang wanita dibantu oleh belasan orang anak buah mereka lagi! Lee Siang merasakan ketegangan yang timbul dari sikap kedua fihak, maka untuk melenyapkan ketegangan itu dia tertawa.

   "Nah, para locianpwe dan sahabat dari Hwa-i Kai-pang telah mendengar penjelasan lihiap Kim Hong Liu-nio bahwa lihiap tidak sekali-kali memusuhi Hwa-i Kai-pang dan peristiwa ini hanya timbul karena salah sangka belaka. Mengingat bahwa lihiap ini adalah sahabat pangeran mahkota, bahkan telah berjasa besar, maka aku percaya bahwa Hwa-i Kai-pang suka menghabiskan perkara ini dan tidak menimbulkan keributan yang hanya akan mengacaukan keadaan!"

   Jelas bahwa di dalam ucapan itu terkandung ancaman bagi Hwa-i Kai-pang dan panglima itu berdiri tegak penuh wibawa! Lo-thian Sin-kai menarik napas panjang.

   "Biarlah sekali ini kami anggap bahwa Kim Hong tidak bermaksud menghina Hwa-i Kai-pang. Kawan-kawan, hayo kita pergi!"

   Kakek ini lalu menjura kepada panglima itu."Lee-ciangkun, maafkan kami dan terima kasih atas peringatanmu."

   Para pengemis itu lalu pergi dari situ meninggalkan Kim Hong Liu-nio yang kini berdiri berhadapan dengan Lee Siang.

   Sejenak mereka saling berpandangan dan jantung wanita itu berdegup tegang ketika dia melihat jelas betapa sepasang mata dari panglima itu memancarkan sinar penuh kagum kepadanya. Dia sendiri merasa terheran-heran. Bagi dia, sudah biasa melihat sinar mata kaum pria ditujukan kepadanya dengan kagum dan penuh gairah seperti itu, dan biasanya hal ini kadang-kadang mendatangkan rasa muak dan marah di dalam hatinya, akan tetapi entah mengapa dia sendiri tidak mengerti mengapa kini jantungnya girang dan bangga yang aneh menyaksikan betapa sinar mata pria ini begitu penuh kagum ketika memandangnya! Setelah sinar mata mereka saling bertaut dan melekat untuk beberapa lamanya, Kim Hong Liu-nio merasa betapa mukanya menjadi panas dan ada perasaan jengah dan malu yang aneh, yang membuat dia tersipu dan cepat-cepat menutupi perasaan ini dengan senyum manis.

   "Ah, kembali Lee-ciangkun yang telah menyelamatkan aku dari keadaan yang tidak enak,"

   Katanya halus, lalu tanpa disadarinya dia menundukkan mukanya, menahan senyum dan dari bawah menyambar sinar matanya dalam kerlingan tajam! Inilah ciri-ciri seorang wanita yang tergerak hatinya oleh seorang pria! Malu-malu, hendak mengelak, hendak menyembunyikan perasaan, akan tetapi tanpa disadarinya senyum dan kerling mata yang menyambar itu mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya! "Ciangkun sudah dua kali menolongku, sebaliknya aku tidak pernah melakukan sesuatu untukmu."

   "Dua kali?"

   Panglima yang merasa senang dan bangga itu pura-pura bertanya. Kim Hong Liu-nio mengangkat muka. Kembali mereka berpandangan dan wanita itu tersenyum. Sungguh, andaikata Ceng Han Houw pada saat itu melihat keadaan sucinya ini, dia tentu akan merasa heran bukan main. Selamanya dia melihat sucinya ini sebagai seorang wanita yang dingin dan keras, jarang tersenyum dan kalau tersenyum, maka senyumnya itu itu boleh jadi merupakan tanda maut bagi lawan. Akan tetapi sekarang, seperti seorang dara remaja yang malu-malu, bersikap memikat, matanya bermain-main dan suaranga halus. Pendeknya, terjadi perubahan yang luar biasa anehnya pada diri wanita ini!

   "Ah, Lee-ciangkun memang selalu merendahkan diri dan tidak mengingat akan jasa sendiri, sebaliknya mengangkat jasa orang lain sehingga tadi menyebut-nyebut tentang jasaku. Kalau tidak ada ciangkun, mana mungkin aku dan sute dapat memasuki istana? Dan tadi, kalau tidak ada ciangkun, mana aku dapat membebaskan diri sedemikian mudahnya dari pengeroyokan pengemis liar itu?"

   Lee Siang tertawa dan memang pria ini amat gagah. Biarpun usianya sudah empat puluh tahun, namun usia ini tidak mengurangi ketampanannya, bahkan membuat dia nampak gagah dan matang, seorang jantan yang menarik hati kaum wanita.

   "Ha-ha, lihiap terlalu memuji. Tanpa adanya akupun, sudah kulihat betapa tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu tidak berdaya menghadapi lihiap. Ah, sudahlah, aku merasa girang kita dapat saling jumpa di sini dan pertemuan ini dapat saling mempererat persahabatan antara kita. Tidak tahu, lihiap hendak pergi ke manakah maka berada di luar pintu gerbang kota raja?"

   "Aku hendak meninggalkan kota raja, sudah mendapatkan ijin dari pangeran mahkota, untuk kembali te utara melaporkan segala peristiwa kepada Sri Baginda raja, juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada Sri Baginda agar dapat hadir di hari penobatan pangeran mahkota nanti."

   "Ahh... lihiap hendak kembali ke utara...?"

   Wajah panglima itu kelihatan kecewa dan terkejut.

   "Karena melaksanakan tugas selama belasan hari, aku tidak tahu akan hal itu dan sekarang, begitu berjumpa, tahu-tahu lihiap sudah akan pergi. Padahal, mengingat akan persahabatan antara kita, sudah sepatutnya kalau aku menjamu kepergian lihiap untuk menghaturkan selamat jalan. Akan tetapi, kuharap saja masih belum terlambat bagiku untuk mengundang lihiap singgah sebentar ke rumahku untuk menerima secawan dua cawan arak ucapan selamat jalan dariku. Marilah, lihiap, aku mengundang lihiap dengan hormat dan sangat, demi persahabatan kita, untuk singgah sebentar di rumahku. Aku tidak ingin melihat lihiap pergi dan kita saling berpisah tanpa kesan, hanya berpamit di tengah jalan seperti ini!"

   Pandang mata panglima itu penuh permintaan, penuh keharuan dan penuh kemesraan dan hati yang dingin dan keras dari wanita itu seketika mencair dan dia mengangguk sambil tersenyum! Dengan girang sekali Panglima Lee Siang lalu menuntun kudanya dan pergilah mereka berdua kembali ke selatan, menuju ke pintu gerbang di mana para penjaga menyambut mereka dengan sikap hormat dan juga dengan penuh keheranan mengapa Kim Hong Liu-nio yang baru saja pergi meninggalkan pintu gerbang kini sudah datang kembali, berjalan bersama Panglima Lee yang duda itu dalam keadaan begitu mesra seperti dua orang sahabat lama. Tak lama kemudian kedua orang ini sudah duduk saling berhadapan di dalam ruangan besar di gedung Panglima Lee.

   Sebuah meja melintang menghalang di antara mereka, meja yang penuh dengan hidangan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap panas dan tercium bau harum arak yang baik. Setelah para pelayan mempersiapkan hidangan-hidangan itu di atas meja, dengan gerak tangannya Panglima Lee Siang lalu memberi isyarat mengusir mereka semua. Kini Lee-ciangkun dan Kim Hong Liu-nio hanya berdua saja di dalam ruangan itu dan Panglima Lee segera menuangkan arak dan mengajak wanita itu minum arak. Tanpa hanyak cakap mereka lalu mulai makan minum. Keduanya merasa canggung! Sungguh amat mengherankan hati mereka sendiri masing-masing mengapa mereka kini tiba-tiba saja menjadi pemalu sekali dan canggung, jantung mereka berdebar seperti dua orang pemuda dan dara remaja saja!

   "Silakan minum demi persahabatan kita lihiap!"

   Kata Lee Siang sambil mengangkat cawan araknya yang sudah dipenuhinya bersama cawan tamunya itu. Sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio mengangkat cawan dan meminumnya.

   "Kini aku yang minta agar ciangkun suka minum sebagai pernyataan terima kasihku atas pertolongan dua kali itu!"

   Kim Hong Liu-nio menuangkan arak ke dalam cawan mereka dan sambil tersenyum Lee Siang meminum habis arak itu.

   "Dan sekarang aku persilakan lihiap minum sebagai ucapan selamat jalan... ah, tidak! Belum! Jangan lihiap pergi dulu...!"

   Kata panglima itu yang sudah mulai merah mukanya. Biarpun Lee Siang juga seorang gagah yang memiliki kepandaian tidak rendah sebagai seorang Panglima Kim-i-wi, akan tetapi, dalam hal minum arak, dia masih kalah kuat dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio yang memiliki tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu. Tiba-tiba panglima itu nampak berduka begitu teringat bahwa wanita itu sebentar lagi akan pergi meninggalkannya.

   "Lihiap, harap jangan pergi sekarang..., harap lihiap menunda keberangkatan itu sampai besok pagi... dan aku mempersilakan lihiap untuk bermalam di sini, dan anggaplah rumah ini sebagai rumah lihiap sendiri..."

   Kim Hong Liu-nio memandang tajam, akan tetapi karena dia tidak melihat sikap kurang ajar ketika panglima itu mengeluarkan kata-kata itu, dia tidak jadi marah dan malah tersenyum. Makin heranlah rasa hatinya. Kalau saja yang mengucapkan kata-kata itu pria lain, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya! Akan tetapi aneh, ucapan itu sama sekali tidak membuat dia marah, bahkan sebaliknya, jantungnya berdebar aneh dan ada rasa girang yang amat besar memenuhi hatinya! Dan rasa girang ini membuat mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi gugup dan untuk menyembunyikan perasaannya itu, dia menoleh ke kiri.

   "Sunyi sekali di ruangan yang besar ini, ciangkun. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa begini sunyi? Di mana keluarga ciangkun? Aku ingin berkenalan dengan mereka."

   "Ahh...!"

   Dan wajah panglima itu menjadi muram sekali. Sejenak dia menunduk tanpa dapat menjawab.

   "Mengapa, ciangkun? Maafkan kalau pertanyaanku tadi menyinggung. Bukan maksudku untuk menyinggung, akan tetapi..."

   "Tidak, engkau tidak bersalah, lihiap. Karena engkau tidak tahu. Ketahuilah bahwa aku hanya tinggal seorang diri saja di gedung ini, tentu saja hanya bersama para pengawal dan pelayanku. Tentang keluarga... ah, aku hidup seorang diri, hidup sebagai seorang duda kesepian. Isteriku telah meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan semenjak itu, aku hidup dalam dunia yang sepi dan... dan baru sekarang inilah, baru saat ini aku merasa... betapa senangnya hidup..."

   "Aihh..., maafkan aku ciangkun."

   Kim Hiong Liu-nio berkata dan tidak dapat melanjutklan kata-katanya lagi. Hatinya terharu dan dia merasa makin malu. Kiranya panglima ini adalah seorang duda, tanpa isteri dan tanpa keluarga!

   "Kim Hong Liu-nio...!"

   Tiba-tiba terdengar suara panglima itu, suaranya menggetar dan agak parau, berbeda sekali dengan tadi, dan dalam menyebutkan nama itu, terdapat kemesraan yang mengejutkan. Wanita itu mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu menyeberang meja, sampai lama mereka saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing. Wanita itu tidak menjawab, melainkan memandang dengan penuh penantian, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum malu-malu seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan didengarnya dari mulut panglima itu.

   "Kim Hong Liu-nio, ketahuilah bahwa aku Lee Siang sejak dahulu suka berterus terang, suka bersikap sebagai laki-laki sejati dan tidak ingin menyimpan rahasia yang akan mendatangkan derita. Oleh karena itu, sebelumnya, maafkanlah kalau aku terlalu terus terang kepadamu karena aku mengenalmu sebagai seorang wanita perkasa yang tentu juga menghargai kegagahan dan kejujuran..."

   "Katakanlah, dan jangan ragu-ragu, ciangkun, akupun suka akan kejujuran..."

   Hampir wanita itu tidak mengenal suaranya sendiri!

   Suaranya menjadi gemetar dan agak parau, padahal belum pernah selama hidupnya dia merasakan ketegangan seperti ini. Dan hampir dia tidak berani menatap wajah panglima yang duduk amat dekat di depannya itu, hanya terhalang sebuah meja yang kecil saja, meja yang kini sudah bersih karena mangkok piring telah disingkirkan oleh pelayan. Wajah yang begitu gagah dan tampannya dalam pandang mata Kim Hong Liu-nio, yang membuat jantungnya berdebar tegang dan membuat dia merasa terheran-heran karena seolah-olah dia telah mengenal wajah tampan itu selama hidupnya! Sebaliknya, panglima itu tanpa pernah berkedip menatap wajah yang cantik manis di depannya itu, terutama sekali titik hitam, tahi lalat di dagu bawah bibir itu, membuat wanita itu kelihatan cantik bukan main.

   "Liu-nio, aku cinta padamu!"

   Ucapan itu dikeluarkan dengan ketegasan seorang panglima perang! Demikian tiba-tiba sehingga Kim Hong Liu-nio cepat mengangkat mukanya dan sejenak mereka berpandangan, pandang mata mereka saling melekat dan agaknya sukar untuk dipisahkan lagi.

   "Aku cinta padamu, dan perasaan ini timbul semenjak pertama kali aku melihatmu di pintu gerbang istana itu. Tadinya kutahan-tahan, mengingat bahwa aku hanyalah seorang panglima kasar yang sudah duda dan engkau seorang pendekar wanita yang berjasa terhadap Sri Baginda, akan tetapi makin lama tidak dapat aku menahannya dan kebetulan sekali kita bertemu di luar dinding kota raja. Maka sebelum terlambat, sebelum engkau pergi, kukatakan ini, Liu-nio, bahwa aku cinta padamu!"

   

Dewi Maut Eps 33 Petualang Asmara Eps 52 Dewi Maut Eps 16

Cari Blog Ini