Pendekar Lembah Naga 18
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Dua orang kakek pengemis itu terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu telah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting seperti disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, menjadi marah sekali.
"Bocah sombong, sambut ini!"
Bentaknya dan dia menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, melainkan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya amat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!"
Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dia hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat menggunakan tongkatnya ditekan di atas tanah sehingga dia dapat memulihkan keseimbangan tubuhnya.
Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja dan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kai-pang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu diam saja dan membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Oleh karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu.
"Seorang gagah selalu mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kai-pang ternyata berlindung kepada anak buahnya!"
Merahlah wajah ketua Hwa-i Kai-pang mendengar ucapan ini. Memang sejak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena diapun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu. Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat tiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, kini gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju.
"Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?"
Mei Lan tersenyum.
"Bagus, sudah kutunggu-tunggu ini, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!"
"Sambutlah, gadis sombong!"
Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak.
"Trakk!"
Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu! Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka diapun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah,
Maka begitu menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sin-kangnya sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw-sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh,
Untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Namun, gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang yang dingin sekali, nampak uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan. Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu sliat di dunia kang-ouw.
Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Lebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw-sin-ciang itu, diberi nama demikian karena kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw-sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan sin-kang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan,
Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya. Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus kakek itu menjadi terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar biasa sekali! Gin-kang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang telah mengurung rapat. Dan lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya, belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw-sin-ciang seperti ini!
Diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini lihai bersama adiknya atau sutenya yang juga lihai bukan main! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini. Kekalahan itu tentu akan menghancurkan nama besarnya. Biarpun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan sucinya, Lie Seng menghadapi lawan yang lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu seperti seekor kucing mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong dan membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung atau terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apalagi membunuh mereka.
Akan tetapi, begitu dia melihat sucinya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kai-pang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu amat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi sucinya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main. Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai daripada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat dua ini sudah menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itup tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya.
"Plakkk...!"
Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua. Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh sehingga dua orang inipun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan! Biarpun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih dapat berseru kepada para pengemis lainnya,
"Maju semua! Keroyok dia...!"
Dan bergeraklah semua anggauta Hwa-i Kai-pang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng!
"Hemm, kalian benar-benar jahat!"
Lie Seng berseru dan pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka ini lalu mengamuk pula, tidak memperdulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit karena dihajar oleh ketua Hwa-i Kai-pang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggauta kai-pang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa. Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat. Melihat betapa sutenya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para anggauta Hwa-i Kai-pang, Mei Lan berkata mengejek,
"Jembel-jembel busuk benar-benar tak malu!"
Dan diapun lalu menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan lenyaplah bentuk tubuh dara ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kai-pang itu. Inilah Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun Hoat Tosu! Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan biarpun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya.
"Brettt...!"
Angin itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika!
(Lanjut ke Jilid 17)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
"Uhhh...!"
Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang urusan dan permusuhan, apalagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah kocar-kacir dan dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru nyaring,
"Semua saudara pengemis, mundur!"
Dan dia mendahului meloncat dan melarikan diri. Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apalagi melihat ketua mereka melarikan diri.
Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu lalu meninggalkan gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang terluka atau pingsan. Sebentar saja sunyilah di depan kuil kosong itu, tidak nampak seorangpun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie Seng, namun tidak seorangpun tewas karena pemuda ini tidak membunuh, hanya merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena pening. Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kepada suaminya dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh dan pingsan!
"Ahh...!"
Mei Lan dengan sekali loncatan saja sudah menyambar tubuh pemuda itu sehingga kepala Kwi Beng tidak sampal terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya. Memang keadaan pemuda ini lebih parah daripada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu bukanlah seorang yang kejam karena kalau memang dikehendakinya tentu dengan mudah kakek itu dapat membunuh dua orang, kakak beradik kembar itu. Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan lalu mengobati kakak beradik kembar itu dan perlahan-lahan Kwi Beng siluman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang berlutut, Kwi Beng memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh dengan macam perasaan haru. Akhirnya, Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali dan dia lalu bangkit duduk memegangi kepalanya.
"Bagaimana rasanya kepalamu?"
Tanya Mei Lan. Gadis ini biasanya lincah jenaka dan tidak pernah sungkan terhadap siapapun, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa kini setelah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa, yang membuatnya merasa agak malu-malu.
"Tidak apa-apa... agak pening sedikit. Agaknya engkau telah menolongku ketika aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ah, seperti baru kemarin saja engkau menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu..."
"Kalian berdua sungguh terlalu berani menentang Hwa-i Kai-pang."
Mei Lan menegur.
"Pangcu itu lihai sekali. Sebetulnya apakah yang telah terjadi dan bagaimana saaudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?"
Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis dan Kwi Beng menarik napas panjang berulang kali. Kemudian Kwi Beng yang mewakili adiknya yang tidak mampu bicara karena menangis dan berduka itu, bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan.
"Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya. Iparku itu hanya berpamit kepada isterinya untuk pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima itu, sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku dibunuh oleh pangcu Hwa-i Kai-pang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang."
Kwi Beng berhenti bercerita dan menarik napas panjang, berduka teringat akan kematian iparnya sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda.
"Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kai-pang dan menantangnya?"
Mei Lan bertanya. Kwi Beng mengangguk.
"Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja. Sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tidak pernah bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, dan iparku itu bukannya membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kai-pang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tidak sengaja membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku hendak melindungi Kim Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak bersalah."
Mei Lan mengerutkan alisnya.
"Hemm, kurasa dia tidak berbohong."
Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan heran.
"Tidak berbohong? Jembel tua itu...!"
Kwi Eng berseru, penasaran. Mei Lan membuat gerakan dengan tangan menyabarkan.
"Harap kalian berdua ingat bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua sudah dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya? Tidak, dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian saudara Tio Sun perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio, yang dimusuhi oleh ketua Hwa-i Kai-pang itu?"
Kwi Eng menjawab,
"Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee, wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap Kaisar, bahkan penyelamat nyawa Kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai."
Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari penuturan suaminya.
"Ahh...!"
Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia mengangguk-angguk.
"Urusan menjadi makin berbelit. Dan mengapa pula Kim Hong Liu-nio bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kai-pang?"
"Kabarnya, wanita itu telah bentrok dengan seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga anggauta perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh semua anggauta Hwa-i Kai-pang di luar pintu gerbang di utara. Pada waktu itulah Lee-ciangkun menyelamatkannya,"
Kata pula Kwi Eng.
"Hemm, urusan dendam-mendendam!"
Mei Lan kembali mengangguk-angguk.
"Kini kita mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara pangcu Hwa-i Kai-pang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai akan tetapi timbul kesalahfahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit hati."
"Akan tetapi, jembel tua itu telah membikin sengsara kehidupan adikku yang kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin kami dapat mendiamkannya saja?"
Bantah Kwi Beng penasaran.
"Dan iparku tewas bukan karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang mendamaikan. Bukankah itu menimbulkan penasaran sekali?"
Mei Lan yang merupakan seorang gadis muda berusia dua puluh lima tahun itu menarik napas panjang dan keluarlah kata-kata yang padat dan penuh pengertian,
"Penasaran selalu timbul kepada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi orang bijaksana memandang persoalan sebagaimana kenyataannya tanpa dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri. Urusan ini menyangkut fihak-fihak yang berpengaruh, Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang berpengaruh sekali dan tentu mempunyai banyak sekutunya. Di lain fihak, kalau benar Kim Hong Liu-nio itu adalah utusan Raja Sabutai bahkan penyelamat jiwa Kaisar, maka tentu saja diapun memiliki kedudukan yang kuat dan pengaruhnya besar. Maka, jika kalian berdua tidak berkeberatan, marilah kalian ikut bersama kami ke Cin-ling-san. Kami hendak menghadap Cia-locianpwe, kongkong dari sute Lie Seng dan mengingat bahwa Cia-locianpwe mengenal pula ketua Hwa-i Kai-pang, maka tentu nasihat beliau amat berharga untuk dipertimbangkan."
"Baik, aku setuju. Mari kita ikut pergi ke Cin-ling-san, Eng-moi,"
Kata Kwi Beng seketika. Dengan cepat seperti tanpa dipikirkannya lagi dia sudah menyetujui, karena memang hatinya membisikkan bahwa dia tidak ingin berpisah dengan gadis cantik yang amat lihai itu, yang sejak tadi telah begitu menarik hatinya! Di lain fihak, setelah mendengar ajakannya sendiri, Mei Lan juga terheran dan bahkan terkejut mengapa dia mengajak kedua orang kembar itu untuk melakukan perjalanan bersamanya ke Cin-ling-san! Mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini, dan dia tahu bahwa dia tidak ingin berjauhan dari pemuda tampan dan gagah yang mengagumkan hatinya itu!
Berangkatlah empat orang muda yang gagah perkasa itu menuju ke Cin-ling-san, dan di dalam perjalanan ini tumbuh perasaan yang mesra di dalam dada Kwi Beng dan Mei Lan. Hal ini tentu saja dimengerti pula oleh Kwi Eng yang diam-diam, dalam kedukaannya kehilangan suami tercinta, merasa girang dan senang sekali kalau kakak kembarnya itu mungkin dapat berjodoh dengan seorang gadis seperti Yap Mei Lan yang demikian gagah perkasa. Lie Seng yang juga sudah cukup dewasa itupun dapat merasakan adanya kemesraan antara sucinya dan pemuda bermata kebiruan dan berambut kekuningan itu, akan tetapi karena dia seorang pendiam yang tentu saja merasa sungkan kepada sucinya, dia pura-pura tidak tahu saja.
Ui-eng-piauwkiok dengan tandanya berupa bendera piauwkiok yang dasarnya merah dengan lukisan seekor burung garuda kuning sudah amat terkenal di seluruh Propinsi Ho-pei sebagai perusahaan ekspedisi yang boleh dipercaya. Tentu saja setiap perusahaan apapun dapat maju atau mundur, jatuh atau bangun tergantung dari kebijaksanaan sang pimpinan. Dan dalam hal ini, Na Ceng Han termasuk seorang yang pandai berusaha di samping kejujuran dan kegagahannya yang membuat perusahaan ekspedisinya sampai terkenal dan dipercaya orang. Na-piauwsu memang pandai bergaul dan hubungannya luas sekali dengan para tokoh dunia persilatan, baik dengan golongan pendekar atau golongan putih maupun dengan golongan hitam atau kaum perampok dan bajak.
Karena hubungannya yang luas inilah maka barang-barang yang dikawal oleh perusahaannya tidak pernah diganggu penjahat karena hampir semua golongan liok-lim dan kang-ouw merasa enggan untuk mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu yang mereka kenal sebagai seorang yang ringan tangan dan suka membantu itu, selain ini, juga setiap orang pendekar tentu akan membantu kalau mendengar betapa piauwsu ini diganggu orang. Akan tetapi, biarpun Na Ceng Han tidak pernah memusuhi orang lain, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada orang lain yang memusuhinya! Kita ini hidup di dalam dunia di mana masyarakat telah diracuni oleh iri hati! Di segala lapangan nampak jelas iri hati ini yang hampir mengotori setiap orang manusia. Na Ceng Han tidak terluput dari incaran mata orang lain yang mengandung iri hati seperti itu, bahkan juga mengandung dendam.
Yang mengincar dari jauh itu adalah mata Ciok Khun, juga seorang piauwsu yang tinggal di kota Kun-ting itu. Ciok Khun adalah piauwsu yang membuka piauwkiok yang bernama Gin-to-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Golok Perak). Nama ini diambil dari senjatanya yang terkenal, yaitu sebatang golok dari perak. Bendera piauwkioknya berdasar hitam dengan lukisan sebatang golok putih. Sudah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing di dalam kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk sejak kecil. Di waktu manusia masih menjadi kanak-kanakpun para orang tua dan gurunya sudah selalu menekankan agar dia "tidak kalah"
Dari orang lain, penekanan yang memupuk jiwa persaingan itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita sadari bahwa kita telah menanamkan benih-benih yang menimbulkan sengketa dan kekerasan dalam diri anak-anak kita! Sejak kecil,
Setiap orang anak telah dirangsang oleh orang tua, guru-guru, dan masyarakat yang menerima hal itu sebagai kehormatan dan kebudayaan, untuk menonjolkan dirinya sendiri, agar tidak kalah oleh siapapun juga. Di dalam kelas saja sudah terdapat penekanan ini berupa angka-angka tertinggi untuk nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang pintar dan celaan-celaan bagi yang bodoh, penghormatan-penghormatan bagi yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi yang miskin, memandang tinggi bagi yang berkedudukan tinggi dan memandang rendah kepada yang berkedudukan rendah. Inilah, yang membentuk jiwa seseorang sehingga seperti keadaan kita sekarang ini! Kita bersaing dalam apapun juga. Dalam perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam semua kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apapun juga, tidak mungkin tidak menimbulkan kekerasan dan konflik,
Biarpun dengan seribu macam alasan kita mau memperhalus persaingan dengan tambahan kata "sehat". Persaingan sehat! Mana mungkin ini? Persaingan itu sendiri adalah sama sekali tidak sehat! Keinginan menonjolkan diri agar "tidak kalah"
Oleh orang lain ini menimbulkan persaingan, menimbulkan konflik, menimbulkan iri hati. Iri hati timbul karena perbandingan, kalau kita membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, dan segala macam lebih lagi. Hidup akan menjadi sesuatu yang lain sama sekali dari pada sekarang ini kalau tidak ada perbandingan, tidak ada persaingan, tidak ada keinginan menonjolkan diri. Dapatkah kita hidup bebas dari persaingan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu berbantahan dengan kata-kata kosong belaka.
Penghayatan dapat dilakukan kalau kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri, mengenal keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri untuk bersaing dan menang! Demikianlah, tanpa disadari sendiri oleh Na Ceng Han, diam-diam terdapat seorang yang amat membencinya, bukan hanya terdorong oleh iri hati dan persaingan dalam perusahaan yang sama sifatnya, melainkan juga kebencian yang terdorong oleh dendam dan sakit hati! Ciok Khun ini sebelum menjadi piauwsu, tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tentu saja hubungannya dengan para penjahat di dunia liok-lim lebih erat dibandingkan dengan hubungan Na-piauwsu dengan mereka. Dan setelah Ciok Khun menjadi piauwsu, dia melihat kesempatan-kesempatan baik. Bukan hanya dia dapat mengawal barang-barang dengan aman karena tidak akan diganggu teman-temannya,
Atau, bekas rekan-rekannya, melainkan juga dia dapat bersekongkol dengan para penjahat itu untuk memeras para pengirim barang yang dipercayakan kepadanya! Beberapa kali sudah terjadi apabila ada kiriman barang-barang berharga yang dikawalnya, Ciok Khun bersekutu dengan teman-temannya dan di tengah jalan teman-temannya itu mengganggu dan merampas barang-barang yang berharga di bawah pengetahuan si pemilik barang sendiri. Kalau sudah begitu, Ciok Khun menawarkan jasa-jasa baiknya dan barang-barang itu tentu akan dapat diambilnya kembali asal si pemilik barang suka "menyogok"
Para perampok yang dikenalnya itu. Padahal, yang mengatur kesemuanya itu tentu saja adalah Ciok Khun sendiri! Praktek-praktek pemerasan seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang seperti Ciok Khun yang memang tadinya adalah seorang perampok,
Melainkan dilakukan oleh kebanyakan orang yang memiliki kedudukan atau juga yang memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya. Betapa banyaknya dapat dilihat, semenjak jaman kuno sampai sekarang, orang-orang yang bertugas menjadi penjaga dan pelindung keselamatan, bahkan melakukan pemerasan kepada mereka yang dijaga atau dilindungi keselamatannya! Justeru penjagaan atau perlindungan itulah yang dijadikan sebagai jalan untuk melakukan pemerasan. Keadaan seperti ini sungguh amat mengherankan dan menyedihkan namun kenyataannya memang demikianlah. Dan kesemuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan apapun juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri. Jadi sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan kita sendirilah,
Masing-masing harus berubah seketika! Tanpa adanya perubahan dalam diri masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling atau masyarakat akan dapat berubah. Biarpun diatur bagaimana juga, selama diri kita tidak berubah, maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk saling memperebutkan kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul pelbagai bentuk kemaksiatan dan kejahatan baru. Kalau kita sudah berubah, maka akan terjadilah perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan, pendeknya segala macam antar hubungan akan mempunyai arti yang lain sama sekali. Mengapa Ciok Khun menaruh dendam dan sakit hati terhadap Na-piauwsu? Kalau dia merasa iri hati, hal itu sudah jelas karena dalam hal persaingan pekerjaan sebagai piauwsu, Ciok Khun kalah jauh.
Para pedagang besar dan para pembesar lebih suka mengirimkan barang-barang berharga mereka di bawah lindungan bendera Ui-eng-piauwkiok daripada dilindungi oleh bendera Gin-to-piauwkiok. Akan tetapi, dendam dan sakit hati di hati Ciok Khun timbul karena urusan pribadi, yaitu karena pernah Na-piauwsu menentang praktek-prakteknya yang memeras seorang pedagang yang mengirim barangnya di bawah perlindungannya. Na-piauwsu yang menghentikan pemerasan itu dan yang dengan terang-terangan mendatanginya dan menegurnya karena pedagang itu adalah seorang kenalan baik dari Na-piauwsu yang datang menceritakan pemerasan yang ditimpakan kepadanya itu. Ciok Khun tidak berani menentang secara berterang dan pada lahirnya dia menurut, akan tetapi diam-diam timbul ganjalan di dalam hatinya, melahirkan dendam dan setiap hari dia mencari kesempatan untuk dapat membalas kepada Na-piauwsu yang dianggapnya musuh besarnya itu.
Hanya karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak akan mampu menandingi Na-piauwsu, maka dia masih belum turun tangan dan menanti saat sampai bertahun-tahun lamanya. Kesempatan yang dinanti-nantikan itu akhirnyapun tibalah. Dia berkenalan dengan seorang yang bernama Lu Seng Ok, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang memiliki kepandaian tinggi. Lu Seng Ok ini adalah seorang bekas tokoh Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang karena ketahuan telah melakukan kejahatan dengan jalan minta-minta secara paksa kepada para penghuni sebuah dusun. Hwa-i Kai-pang, biarpun hanya merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi memiliki peraturan keras terhadap para anggautanya. Mereka dilarang untuk melakukan pencurian atau perampokan,
Maka perbuatan Lu Seng Ok yang menjadi tokoh tingkat tiga itu dianggap perampokan dan diapun dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang oleh ketua Hwa-i Kai-pang sendiri. Setelah keluar dari perkumpulan itu, tentu saja Lu Seng Ok menjadi seorang penjahat yang suka mempergunakan kekerasan dan ilmu silatnya yang tinggi. Akhirnya, bertemulah Lu Seng Ok dengan Ciok Khun dan menjadi sahabat baik. Pada suatu malam yang gelap dan sunyi. Hujan turun sejak sore tadi, dan biarpun kini hujan tinggal rintik-rintik kecil, namun hawa yang dingin membuat orang merasa enggan untuk keluar dari pintu, apalagi air hujan membuat jalan di luar rumah menjadi becek dan berlumpur. Toko-toko sudah tutup sejak tadi ketika hujan turun deras karena dibukapun percuma saja, tidak ada pembeli, bahkan jalan-jalan sunyi tidak ada orang lewat.
Hawa udara yang sejuk nyaman membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar mereka, dan membuat orang merasa betah tinggal di rumah. Di rumah keluarga Na juga sudah sepi sekali. Na Ceng Han dan isterinya sudah memasuki kamar, bercakap-cakap dan mereka berdua membicarakan tentang diri Sin Liong yang sudah satu setengah tahun berada di rumah mereka. Suami isteri ini merasa suka kepada Sin Liong yang tahu diri dan rajin membantu pekerjaan rumah dan juga rajin sekali berlatih silat dan belajar membaca dan menulis, mendalami kitab-kitab kuno, dan selain kerajinan ini, juga Sin Liong adalah seorang anak yang patuh dan tidak banyak bicara. Para pembantu rumah tangga, juga para piauwsu yang berada di kantor, semua sudah beristirahat di tempat masing-masing.
Bhe Bi Cu sudah tidur di dalam kamarnya, sedangkan Na Tiong Pek, putera tunggal Na-piauwsu, sejak sore tadi memanggil Sin Liong ke dalam kamarnya dan mengajak anak itu bermain catur. Kini, Tiong Pek sudah rebah di atas pembaringan sedangkan Sin Liong masih membaca kitab di kamar Tiong Pek. Suasana amat sunyi dan dari celah-celah jendela kamar itu dapat terdengar hembusan angin malam yang kadang-kadang mengeluarkan bunyi yang menyeramkan, seperti iblis meniup-niup di luar rumah, di antara pohon-pohon yang gelap. Dan kalau saja pada saat itu ada penghuni rumah keluarga Na yang mengintai keluar, mungkin dia akan dapat melihat keadaan yang menyeramkan di sekitar rumah keluarga Na itu. Beberapa bayangan orang berkelebat cepat dan sebentar saja ada bayangan tujuh orang berada di sekitar tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan bayangan-bayangan gelap.
Suara angin yang bertiup keras pada daun-daun pohon di luar rumah menyelimuti suara golok seorang di antara mereka yang mencokel daun pintu sehingga terbuka dan bagaikan bayangan-bayangan iblis mereka itu berloncatan masuk dari pintu samping yang telah mereka bongkar. Ternyata bahwa mereka itu adalah tujuh orang laki-laki yang bermuka bengis dan di tangan mereka tampak golok atau pedang yang berkilauan tertimpa sinar api lampu yang tergantung di tempat itu. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bermuka bengis, dengan alis tebal dan dia memegang sebatang golok yang berkilauan putih. Inilah Si Golok Perak Ciok Khun sendiri yang memimpin penyerbuan diam-diam itu. Di sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya kecil seperti tikus dan orang ini memegang sebatang toya baja yang kelihatan berat sekali,
Orangnya tinggi kurus dan mukanya seperti tikus dengan sepasang mata yang agak menjuling itu sudah membayangkan adanya watak yang culas dan curang. Orang ini bukan lain adalah Lu Seng Ok, bekas tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari perkumpulan itu. Adapun lima orang lainnya adalah para pembantu Ciok Khun, yaitu para piauwsu dari Gin-to-piauwkiok. Mereka ini ada yang memegang golok, akan tetapi ada pula yang berpedang, sesuai dengan kepandaian masing-masing. Malam itu memang dipergunakan oleh Ciok Khun untuk melaksanakan niatnya yang sudah ditahan-tahan sampai bertahun-tahun, yaitu melampiaskan dendamnya kepada Na Ceng Han! Dan tentu saja dia dibantu oleh sahabat barunya, yaitu Lu Seng Ok yang diandalkannya untuk dapat menandingi Na-piauwsu yang lihai.
"Lepaskan api sekarang!"
Bisik Ciok Khun setelah mereka semua berhasil membongkar daun pintu dan menyelinap masuk. Sebelumnya memang telah mereka rencanakan untuk melepaskan api agar mengacaukan keadaan dan memancing keluar Na Ceng Han, juga untuk membuat bingung dan berpencaran para piauwsu yang berada di situ. Dua orang anak buahnya yang bertugas untuk melepas api mengangguk lalu berpencar ke kanan kiri dan mereka lalu mengeluarkan alat-alat untuk menimbulkan kebakaran, yaitu minyak, kain dan api. Sebentar saja terjadilah kebakaran di kanan kiri. Api menjilat-jilat dan asap mengepul tinggi.
"Api...! Kebakaran...!"
Terdengar teriakan seorang pelayan yang lebih dulu melihat api. Kamar Na Ceng Han terbuka dan piauwsu itu dengan mata terbelalak berseru,
"Di mana kebakaran?"
Akan tetapi dia segera meloncat kembali ke dalam kamarnya ketika ada sinar senjata berkelebat. Ketika dia meloncat ke dalam dan memandang ternyata yang menyerangnya adalah Ciok Khun yang tadi begitu melihat munculnya musuh besar ini telah menerjang dengan golok peraknya.
"Ah, kiranya engkau, penjahat keji!"
Bentak Na Ceng Han sambil meloncat ke dekat pembaringan dan menyambar pedangnya. Isterinya yang sudah tidur terkejut dan turun dari pembaringan, mukanya pucat ketika melihat ada dua orang asing di dalam kamarnya.
"Lu-twako, inilah dia orangnya!"
Kata Ciok Khun kepada laki-laki yang memegang toya. Biasanya, ketika masih menjadi tokoh Hwa-i Kai-pang Lu Seng Ok tentu saja bersenjata sebatang tongkat seperti semua tokoh perkumpulan pengemis itu.
Akan tetapi setelah dia dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang dan tidak lagi berpakaian pengemis, tentu saja diapun tidak mau mempergunakan tongkat dan sebagai gantinya dia lalu membeli sebatang toya baja yang kokoh kuat dan berat itu. Mendengar seruan Ciok Khun, Lu Seng Ok sudah menggerakkan toyanya dan berdesirlah angin yang kuat ketika toya itu menyambar ke arah kepala Na Ceng Han! Na Ceng Han marah sekali. Tak pernah disangkanya bahwa Ciok Khun, kepala dari Gin-to-piauwkiok yang dia tahu adalah bekas perampok dan melakukan pemerasan kepada para pengirim barang itu, akan berani melakukan penyerbuan secara pengecut seperti perampok-perampok. Cepat dia menggerakkan pedangnya menangkis serangan toya dari orang tinggi kurus yang tidak dikenalnya itu.
"Tranggg...!"
Bunga api berpijar dan terkejutlah Na Ceng Han karena tangkisan itu membuat pedangnya terpental dan telapak tangannya terasa nyeri. Tahulah dia bahwa orang yang memegang toya ini lihai dan memiliki tenaga yang kuat bukan main.
"Siapakah kau? Mengapa engkau memusuhi aku?"
Bentaknya dengan heran sambil memandang tajam. Lu Seng Ok tertawa mengejek.
"Orang she Na, siapa adanya aku tidak perlu kau ketahui, diberitahukan juga apa artinya karena engkau akan mampus!"
Toyanya menyambar lagi dengan amat dahsyat sehingga Na Ceng Han cepat meloncat ke belakang, kemudian menggerakkan pedangnya untuk membalas dengan tusukan kilat. Akan tetapi, ternyata pemegang toya itu lihai sekali dan dengan mudah dapat pula mengelak. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat antara Na-piauwsu dan bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Ciok Khun juga tidak tinggal diam dan dia sudah menerjang maju membantu kawannya mengeroyok Na-piauwsu.
"Ihhh... tolooonggg...!"
Nyonya Na berteriak ketika melihat api dari pintu kamarnya dan melihat suaminya dikeroyok dua. Dia teringat kepada puteranya dan kepada Bi Cu maka saking khawatirnya, nyonya ini menjerit-jerit di atas pembaringannya untuk memanggil para pembantu suaminya yang berada di kamar. Mendengar jeritan ini, Ciok Khun cepat meloncat dan goloknya digerakkan dengan cepat. Melihat ini, Na Ceng Han membentak keras,
"Orang she Ciok, jangan ganggu isteriku!"
Namun terlambat sudah. Golok itu sudah membacok.
"Crokkk...!"
Dada dan leher nyonya itu terobek, darah menyembur keluar dan tubuh nyonya itu roboh menelungkup, dari pinggang ke bawah masih berada di atas pembaringan, akan tetapi dari pinggang ke atas berada di bawah pembaringan, tergantung dan darah membasahi lantai di bawahnya.
"Jahanam keji...!"
Na Ceng Han terbelalak melihat isterinya terbunuh dan dia meloncat meninggalkan Lu Seng Ok, tidak memperdulikan lagi kepada lawan bertoya ini karena saking marahnya, dia hanya melihat Ciok Khun dan pedangnya menyambar. Akan tetapi kemarahannya yang meluap ini mencelakakan dia. Karena dia hanya memandang kepada Ciok Khun, dan tidak memperdulikan lawan yang lebih lihai itu, ketika dia meloncat, toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dan menyodok punggungnya.
"Dukkk...!"
Tubuh Na Ceng Han yang sedang meloncat dan menyerang Ciok Khun itu terhuyung dan saat itu dipergunakan oleh Ciok Khun untuk membalik dan menggerakkan goloknya yang baru saja membunuh nyonya Na itu untuk membacok!
Na Ceng Han merasa punggungnya nyeri bukan main dan melihat bacokan golok, dia mencoba untuk miringkan tubuhnya, akan tetapi biarpun dia berhasil mengelak dari bacokan golok itu sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, dari belakangnya kembali toya yang berat itu menyambar, kini membabat ke arah kedua kakinya. Na Ceng Han masih sempat meloncat ke atas, membalikkan tubuh dan pedangnya meluncur untuk membalas serangan musuh. Akan tetapi pada saat itu, golok Ciok Khun membacok dari belakang, sedangkan toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dari depan. Na-piauwsu sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya oleh hantaman toya pada punggungnya tadi, maka gerakannya menjadi kaku dan lambat.
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia dapat menangkis toya, akan tetapi golok Giok Khun mengenai bahu kirinya sampai hampir putus! Dia terguling roboh dan ketika terguling, tangan kanan yang memegang pedang bergerak. Pedang itu meluncur ke arah Lu Seng Ok di depannya. Bekas tokoh Hwa-i Kai-pang ini terkejut dan menangkis dengan toyanya, akan tetapi demikian cepatnya luncuran pedang itu sehingga biarpun tertangkis, masih saja meleset dan mengenai pangkal pahanya, menyerempet merobek celana dan kulit sehingga pangkal paha itu berdarah. Akan tetapi, Ciok Khun sudah meloncat ke depan dan sekali goloknya berkelebat, leher Na-piauwsu terbacok hampir putus. Darah muncrat-muncrat membasahi lantai kamar dan tubuh Na Ceng Han tidak bergerak lagi, tewas seperti juga isterinya yang telah mendahuluinya.
"Keparat...!"
Lu Seng Ok mengomel sambil memeriksa luka di pangkal pahanya, akan tetapi hatinya lega karena luka itu tidak hebat.
"Mari kita bantu teman-teman di luar!"
Kata Ciok Khun dengan wajah berseri. Hatinya lega sekali karena dia telah berhasil membunuh musuh besarnya itu bersama isterinya. Mereka berdua cepat berloncatan keluar. Ternyata lima orang piauwsu dari Gin-to-piauwkiok sedang bertempur melawan tiga orang anak yang dibantu oleh tujuh orang piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok. Ketika para piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok melihat munculnya Ciok Khun dan seorang pemegang toya yang lihai, yang dalam beberapa gebrakan saja telah merobohkan dua orang piauwsu Ui-eng-piauwkiok, maka mereka menjadi jerih dan segera melarikan diri!
Hanya tiga orang anak itu yang masih terus melawan dengan gigih dan nekat. Tiga orang anak kecil itu adalah Sin Liong, Na Tiong Pek, dan Bhe Bi Cu. Sin Liong mempergunakan senjata sebatang toya sedangkan Na Tiong Pek bersenjata pedang, juga Bhe Bi Cu memegang sebatang pedang. Ketika tadi Sin Liong yang masih membaca kitab di dalam kamar Tiong Pek mendengar ribut-ribut, dia cepat berlari keluar dan dia melihat kebakaran-kebakaran itu. Cepat dia menyambar sebatang toya dan membantu para pelayan untuk memadamkan api, memukuli barang-barang yang terbakar agar tidak menjalar naik. Sedangkan Tiong Pek yang juga terkejut karena baru saja akan pulas, cepat berlari ke luar dan dia melihat beberapa orang asing yang berada di halaman belakang.
Maka dia lalu menggerakkan pedangnya menyerang. Tak lama kemudian muncul Bi Cu yang segera membantu suhengnya. Akan tetapi, dua orang di antara para piauwsu Gin-to-piauwkiok tentu saja memandang rendah kepada dua orang anak itu dan mereka ini hanya menghadapi mereka dengan tangan kosong sambil mentertawakan. Melihat ini, Bi Cu lalu menjerit minta tolong, maksudnya minta tolong kepada paman Na dan para piauwsu lainnya. Yang pertama kali muncul adalah Sin Liong! Anak ini mendengar jerit Bi Cu cepat berlari ke ruangan belakang dan segera dia membantu dan menyerang seorang musuh dengan toyanya. Akan tetapi, lima orang pembantu Ciok Khun adalah orang-orang pilihan yang memiliki kepandaian, maka tentu saja Sin Liong bukanlah lawan seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar.
Dengan mudah saja Sin Liong ditampar dan ditendang sampai berkali-kali roboh. Akan tetapi anak ini tidak pernah mengenal takut. Dia bangun kembali dan biarpun bajunya sudah robek-robek, dia tetap menyerang terus. Demikian pula dengan Tiong Pek dan Bi Cu yang terus memutar pedang mereka dengan nekat. Akhirnya muncullah tujuh orang piauwsu Ui-eng-piauwkiok dan terjadilah pertempuran kecil yang hebat itu. Sayangnya, para piauwsu ini menjadi jerih melihat munculnya Ciok Khun dan Lu Seng Ok, dan mereka segera melarikan diri untuk minta bantuan dan melaporkan kepada para penjaga keamanan kota. Tinggal Sin Liong, Tiong Pek, dan Bi Cu yang tidak pernah mau menyerah, apalagi melarikan diri! Ciok Khun yang sudah berhasil membunuh musuh besarnya, segera berkata,
"Mari kita pergi, jangan layani anak-anak!"
Dia bersama Lu Seng Ok sudah mendahului meloncat keluar, dan lima orang pembantunya sudah berlarian keluar pula.
"Penjahat-penjahat busuk, kalian hendak lari ke mana?"
Sin Liong membentak dan anak ini cepat mengejar, diikuti pula oleh Tiong Pek dan Bi Cu. Setelah tiba di depan rumah, kembali Sin liong, Tiong Pek, dan Bi Cu menyerang tiga orang di antara mereka yang menjadi marah.
"Kalian ini anak-anak setan, sudah bosan hidupkah?"
Bentak seorang diantara mereka yang cepat memukul ke arah kepala Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong mengelak dan menggerakkan toyanya untuk balas menyerang. Tiong Pek juga meloncat seperti seekor burung garuda, pedangnya digerakkan menusuk seorang di antara mereka pula. Demikian pula Bi Cu juga menyerang seorang musuh.
"Cepat robohkan mereka, jangan main-main. Kita harus lekas pergi!"
Ciok Khun berseru karena dia tidak ingin orang-orang melihat bahwa dialah yang menyerbu rumah Na-piauwsu.
"Baik!"
Kata tiga orang pembantunya yang menghadapi tiga orang anak itu dan kini mereka memperlihatkan kepandaian. Terdengar teriakan bergantian, tiga kali berturut-turut dari tiga orang itu roboh dengan tubuh berkelojotan, lalu diam dan tewas! Ciok Khun dan Lu Seng Ok terkejut setengah mati.
Juga tiga orang anak itu terkejut karena mereka sendiri tidak tahu mengapa tiga orang lawan mereka itu tiba-tiba saja roboh dan berkelojotan lalu mati! Bahkan Bi Cu menjadi ngeri melihat bekas lawannya berkelojotan itu, dia melempar pedang dan menutupi kedua mata dengan tangan mengira bahwa pedangnyalah yang membunuh orang itu. Akan tetapi Lu Seng Ok tadi melihat menyambarnya sinar merah dan tahulah dia bahwa ada orang yang datang membantu fihak tuan rumah. Cepat dia membalik dan benar saja dugaannya. Di situ telah berdiri seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seorang wanita yang berdiri tegak sambil tersenyum, sinar lampu di depan rumah yang muram itu hanya menggambarkan garis muka yang manis, yang memiliki sepasang mata jeli dan tajam, dan tangan wanita itu mempermainkan sehelai sabuk merah yang sebagian masih mengikat pinggangnya yang kecil ramping!
Dia tidak mengenal wanita itu, akan tetapi maklum bahwa wanita itu adalah seorang pandai, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu memutar toya bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Pada saat itu, Ciok Khun yang melihat betapa dua orang pembantunya tewas, menjadi marah sekali dan diapun segera memutar goloknya menyerang dan mengeroyok. Akan tetapi, wanita cantik itu dengan tenang-tenang saja menyambut serangan mereka berdua sambil tersenyum dan membentak dengan suara halus.
"Kalian dua orang jahat tak tahu malu yang suka menyerang anak-anak kecil layak mampus!"
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak, sabuk merah berubah menjadi sinar merah menyambar-nyambar dan terdengar pekik mengerikan ketika dua orang penyerang itupun roboh dan tewas!
Semua piauwsu dari Gin-to-piauwkiok menjadi terkejut bukan main. Kepala mereka dan pembantu mereka yang lihai itu dalam segebrakan saja roboh dan tewas! Tentu saja nyali mereka terbang dan mereka berusaha untuk melarikan diri, akan tetapi para piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok tentu saja tidak membiarkan mereka lari dan sisa tiga orang piauwsu dari Gin-to-piawkiok itu akhirnya roboh dan tewas semua oleh pengeroyokan para anak buah Ui-eng-piauwkiok. Ketika semua orang mencari-cari wanita cantik yang menolong mereka tadi mereka melongo karena wanita itu telah lenyap dan bersama dia lenyap pula Sin Liong! Tiong Pek dan Bi Cu memanggil-manggil Sin Liong, akan tetapi pada waktu mereka berdua masih mencari-cari, terdengarlah jerit-jerit dan tangis di sebelah dalam rumah.
Mereka dan para piauwsu yang sudah merasa terheran-heran mengapa Na-piauwsu tidak muncul dalam keributan itu, cepat lari masuk dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika melihat bahwa Na-piauwsu dan isterinya ternyata telah tewas dalam keadaan yang amat mengerikan! Tiong Pek dan Bi Cu menubruk mayat-mayat itu sambil menjerit-jerit menangis, dan gegerlah di dalam rumah keluarga Na itu. Siapakah adanya wanita cantik yang lihai sekali dan yang telah menyelamatkan tiga orang anak dari ancaman maut di tangan para piauwsu Gin-to-piauwkiok itu? Dia bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Seperti kita ketahui, dengan bantuan Panglima Lee Siang, wanita ini berhasil membunuh Tio Sun, seorang di antara musuh-musuh besar gurunya yang harus dibunuhnya dengan jalan meminjam nama Hwa-i Kai-pangcu.
Pada waktu keluarga Tio bertangis-tangisan dan berkabung, Kim Hong Liu-nio dan Panglima Lee Siang merayakan kemenangan dan hasil siasat mereka itu dengan pesta dalam kamar di mana mereka berdua saling mencurahkan rasa kasih sayang antara mereka. Akan tetapi tetap saja Kim Hong Liu-nio masih bertahan dan tidak mau menyerahkan diri sebelum semua musuhnya terbasmi habis, yaitu tinggal dua orang lagi, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Panglima Lee Siang tidak berani memaksa karena hal itu membahayakan keselamatan wanita yang dicintanya,
Maka diapun berjanji akan membantu dan menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana adanya dua orang musuh besar itu. Setelah mencurahkan kasih sayang mereka dengan mesra namun terbatas, dan saling berjanji untuk bersetia sampai kelak terbuka kesempatan bagi mereka untuk menjadi suami isteri, pergilah Kim Hong Liu-nio ke utara untuk melapor kepada Raja Sabutai tentang segala yang dialaminya dan tentang keadaan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw kepada raja dan permaisuri yang mendengarkan dengan hati gembira. Akan tetapi, Raja Sabutai masih merasa sangsi dan curiga untuk berkunjung ke selatan. Di dalam istana Kaisar, satu-satunya orang yang dipercayanya hanyalah Kaisar Ceng Tung seorang,
Dan kini Kaisar itu telah meninggal dunia, maka dia merasa sangsi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Juga para menteri pembantunya menasihatkan agar raja ini jangan lengah dan membiarkan dirinya terancam bahaya jika mengunjungi selatan. Oleh karena itu, Raja Sabutai tidak datang menghadiri hari penobatan Kaisar baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan mengutus Kim Hong Liu-nio untuk kembali ke selatan, membawa barang sumbangannya kepada Kaisar dan mewakilkan kehadirannya kepada puteranya, pangeran Oguthai. Sebelum berangkat, Kim Hong Liu-nio menghadap subonya, Hek-hiat Mo-li, menceritakan tentang hasilnya membunuh seorang di antara musuh-musuh itu, yaitu Tio Sun. Nenek tua renta itu terkekeh senang, dia berkata,
"Bagus, muridku. Hanya sayang bahwa yang kau bunuh itu adalah orang yang paling lemah di antara musuh-musuhku. Kau harus cepat mencari yang dua orang lagi itu. Dan aku sendiri akan ikut pergi ke selatan, muridku, karena aku sangsi apakah engkau akan mampu menanggulangi mereka. Giranglah hati Kim Hong Liu-nio karena dengan bantuan subonya, dia merasa yakin akan dapat dengan cepat membunuh dua orang musuh besar yang lain itu sehingga dia akan dapat segera bebas untuk melangsungkan pernikahannya dengan Panglima Lee yang telah menjatuhkan hatinya itu. Maka berangkatlah guru dan murid itu meninggalkan utara. Raja Sabutai ketika mendengar bahwa Hek-hiat Mo-li hendak merantau ke selatan untuk mencari musuh-musuh besarnya, merasa tidak tega karena gurunya itu sudah tua sekali,
Maka dia lalu mengutus seorang panglima membawa sepasukan pilihan yang mengawal nenek itu secara diam-diam, dengan menyamar. Jumlah pasukan yang membantu nenek ini ada selosin orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Setelah menghadiri perayaan di istana Ketika Kaisar Ceng Hwa dinobatkan sebagai Kaisar baru, Kim Hong Liu-nio lalu mulai dengan penyelidikannya mencari musuh-musuh besar gurunya. Subonya sendiri yang sudah tua itu tentu saja tidak ikut mencari hanya menanti di dalam sebuah gedung di kota raja, menanti sampai muridnya berhasil menemukan musuh-musuh besar itu. Dalam usaha mencari jejak musuh-musuhnya ini, Kim Hong Liu-nio dibantu oleh kekasihnya, Panglima Lee Siang yang menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki di mana adanya pendekar Cia Bun Houw dan pendekar wanita Yap In Hong.
Demikianlah, pada hari itu, secara kebetulan Kim Hong Liu-nio lewat di kota Kun-ting, di sebelah selatan kota raja dalam penyelidikannya dan dia melihat keributan yang terjadi di dalam rumah keluarga Na-piauwsu. Wanita ini pada hakekatnya bukanlah orang jahat, bahkan dia condong untuk bersikap sebagai pendekar wanita yang tidak suka menyaksikan penindasan. Dia dapat bersikap kejam hanya terhadap musuh-musuhnya, atau musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya, sesuai dengan sumpahnya. Maka begitu melihat tiga orang anak kecil diserang oleh orang-orang dari Gin-to-piauwkiok, dia menjadi marah dan segera turun tangan menghajar, bahkan membunuh Ciok Khun, Lu Seng Ok, dan tiga orang anak buah mereka itu. Kemudian, dalam keributan itu, Kim Hong Liu-nio yang sudah berhasil membunuh Ciok Khun dan Lu Seng Ok, melihat Sin Liong dan wanita ini terkejut bukan main! Anak setan itu masih hidup!
Padahal dia telah memasukkan racun Hui-tok-san ke tubuh anak itu. Dan anak itu dahulu telah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang yang kejam, maka dia menyangka bahwa anak itu tentu telah tewas. Akan tetapi, sekarang dia melihat bocah itu masih segar bugar! Dan anak ini menurut pengakuannya adalah putera Cia Bun Houw, tokoh utama yang menjadi musuh besar subonya. Tentu saja hati wanita itu meniadi girang sekali. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan bocah ini yang tentu akan dapat menunjukkan jalan ke tempat musuh besarnya she Cia itu! Maka, dia tidak lagi memperdulikan segala keributan di tempat itu dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah menangkap Sin Liong dan menotok bocah itu sebelum Sin Liong mampu berteriak atau bergerak, kemudian sekali berkelebat lenyaplah wanita itu bersama Sin Liong dari situ!
Dewi Maut Eps 22 Petualang Asmara Eps 52 Petualang Asmara Eps 35