Pendekar Lembah Naga 21
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
"Saya tidak mengenalnya. Ketika keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio."
"Ehhh?"
"Ahhh?"
"Heiii...?"
Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka.
"Sungguh aneh sekali! Mengapa justeru she-she dari kita yang dimusuhinya?"
Tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.
"Dan she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?"
Tanya pula Yap In Hong.
"Ahhh, sekarang aku ingat...!"
Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata.
"Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!"
"Akan tetapi mereka itu sudah mati!"
Kata Yap In Hong.
"Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku."
Dia bicara kepada Bun Houw. Bun Houw mengangguk-angguk.
"Kalau memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas telah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biarpun terluka parah akan tetapi dia diselamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia itu murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam kepada kita."
Bun Houw mengerutkan alisnya dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian. Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.
"Kiranya begitu... ilmunya lihai sekali dan setelah menggunakan Thi-khi-i-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati,"
Katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu. Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Dengan hati terharu dia mendengar dari Bun Houw ketika dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dan pengakuan puteranya itu yang bicara dengan nada suara duka mengejutkannya.
"Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"
Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak.
"Apa katamu? Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?"
Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat.
"Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jina? Biarpun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana berani kami melakukan hubungan yang akan menjadi perjinaan?"
Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu seperti ditusuk pedang rasanya. Terbukalah kini matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.
"Houw-ji... kau maafkan aku... ah, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kau maafkanlah aku, anakku..."
Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru.
"Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah,"
Jawab Bun Houw lirih.
"Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ah, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kau panggil In Hong ke sini!"
Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata,
"In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tak tahu diri yang kukuh sehingga aku telah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian sebelum aku mati..."
"Gak-hu...!"
In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut "ayah mertua"
Dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata. Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegirangan dan juga perasaan malu-malu. Bun Houw juga berlutut di samping isterinya dan berkata,
"Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah."
Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, sungguhpun Bun Houw tidak bermaksud demikian. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah.
"Ayahmu bersalah, ayahmu terlalu mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ah, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang telah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..."
Selain mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka dapet menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sesungguhnya, juga pendekar sakti tua Cia Keng Hong mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi "lampu hijau". Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.
"Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apabila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian masih cukup muda untuk menikmati hidup, dan sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku telah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua."
Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka ketika mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata inipun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia. Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggauta Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu, Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tidak sebaiknya kalau Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggauta yang kini tinggal terpisah-pisah. Kakek itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Sebaiknya kalau kita menganggap dunia manusia adalah anggautanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggauta perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, mendirikan perkumpulan-perkumpulan terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!"
Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka itu menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan memiliki pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.
Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu. Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke tepi jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai bicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu.
"Kun Liong, apa yang kau pikirkan?"
Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih nampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik.
"Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kau pikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu."
Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi agak kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.
"Lalu, bagaimana pendapatmu?"
Giok Keng bertanya, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sesungguhnya, tanpa bertanyapun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong. Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar daripada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan, agar mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal serumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, akan bersama-sama menikmati kesenangan, bersama-sama menanggung penderitaan, benar-benar merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati.
"Kau tahu betapa akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?"
Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu berkata,
"Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di manapun, asal kita berdua, apa bedanya?"
Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya.
"Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Kalau engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, akupun tidak akan menolak tinggal di sana."
Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dahulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat (baca Kisah Dewi Maut). Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi.
"Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke manapun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?"
Kun Liong menggenggam tangan itu dia mengangguk.
"Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Akupun akan merasa tidak enak kalau mereka tidak diberi tahu lebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu?"
"Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa kini memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek itu segera menyatakan persetujuannya. Dan dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan. Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan,
Bahkan diam-diam dia merasa girang karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan di wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit lalu pergi, dia mengikuti bayangan mereka dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan. Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tidak seorangpun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya! Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku sebelum ayahnya pergi akan keadaan dirinya, akan tetapi anak ini duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan.
"Eh, kenapa kau menangis?"
Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika tadi dia melawan dorongan hatinya, menggigit bibirnya, ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya.
"Menangis? Apakah saya menangis, locianpwe?"
Tanyanya sambil menggerakkan tangan mengusap dua titik air mata itu. Kakek itu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali anak ini. Hidup sebatangkara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan kekejaman ini.
"Sin Liong, jangan khawatir. Setelah engkau memiliki sin-kang yang diwariskan oleh Kok Beng Lama kepadamu, setelah engkau memiliki Thi-khi-i-beng, dan dalam waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau dapat menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke manapun sebagai seorang pendekar, seperti anak-anakku itu."
Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum kepada kakeknya ini, amat menghormatnya, dan amat sayang kepada kakeknya yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang sangat baik kepadanya.
"Terima kasih, locianpwe, terima kasih..."
Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau memperdulikan tentang segala macam upacara dan sebutan, dan karena diapun tahu bahwa Sin Liong adalah seorang anak yang aneh sekali, maka diapun tidak pernah menegurnya. Baginya tidak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, karena pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka matanya bahwa segala macam upacara dan sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Yang penting baginya adalah tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan.
Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini menjadi kagum dan gembira bukan main. Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang amat sukar itu tidak mudah dikuasai oleh Ciauw Si. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar amat luar biasa sekali. Segala macam pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit,
Mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasainya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan ketika dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seolah-olah gaya ilmu silat memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar. Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk memulihkan tenaganya. Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Hal ini dianggapnya bahwa usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong.
"Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh belakangan, Sin Liong."
Demikianlah kakek itu berkata dan dia lalu mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan, seperti San-in-kun-hoat, Thai-kek-sin-kun, Siang-bhok-kiam-sut dan banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu telah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya. Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong telah berhasil menghafal semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri kelak.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan tokoh-tokohnya yang terkenal sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Akan tetapi semenjak Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai seperti kehilangan pamornya (baca cerita Dewi Maut). Apalagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua anak murid atau anggauta Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Betapapun juga, masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka itu.
Para anggauta atau lebih tepat lagi bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab sepenuhnya kalau ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara tentang Sin Liong, hanya samar-samar kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang paling berbakat! Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa semenjak dia pulang ke Cin-ling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong bersamadhi seorang diri di dalam kebun di belakang pondoknya. Bersamadhi setiap matahari timbul dan matahari tenggelam merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu,
Dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggauta Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong sedang berada di kebun. Dan pada senja hari itu, ada belasan orang bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san kini merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan. Di antara mereka terdapat beberapa orang bekas anggauta golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dahulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu.
Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai hawa sin-kang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula menggerakkan hawa sin-kang itu di seluruh tubuhnya sehingga biarpun semua ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh. Kakek Cia Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah sebatang pohon yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja.
Dia bersamadhi dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini tenggelam di dalam samadhinya, dan biarpun kini kesehatannya sudah pulih kembali, namun tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu. Diapun sudah tidak berminat lagi untuk memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam ketenangan batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran. Kini tidak ada lagi kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya, bahkan telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dengan wanita yang dipilihnya. Diapun sudah memberi dorongan kepada puterinya untuk menikmati kehidupan bersama pria yang dicintanya. Dan diapun merasa lega bahwa dia bertemu dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong sehingga dia dapat menurunkan semua kepandaiannya.
Dalam diri Sin Liong dia melihat bakat yang ada pada dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya, Bun Houw, bakat Sin Liong bahkan masih menang setingkat. Maka hatinya sudah puas dan kakek ini merasa sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan tenteram. Tidak ada lagi duka dan persoalan yang mengikat batinnya, maka samadhinya demikian mendalam, membuat dia lupa segala. Kakek itu yang sudah bebas dari kekhawatiran, tidak tahu bahwa pada saat dia tenggelam dalam samadhinya itu tiba-tiba muncul dua orang yang mendaki puncak dan dengan gerakan yang cepat sekali memasuki taman di belakang pondoknya. Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka hitam yang memegang sebatang tongkat.
Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li! Seperti telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini, telah berhasil menewaskan seorang di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio Sun. Sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah berhasil dibunuhnya. Ketika dia sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai putera Cia Bun Houw menurut pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek tua itu. Memang sudah lama dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu dari gurunya, akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang tadinya terlalu mengandalkan kehebatan ilmu kepandaiannya sendiri, mula-mula memandang rendah.
Baru setelah dia bentrok dengan Cia Keng Hong, dia terkejut setengah mati dan merasa jerih, meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio lalu menceritakan kepada gurunya tentang pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan mengatakan pula betapa lihainya pendekar tua itu. Mendengar ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan memperkuat diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan lamanya guru dan murid ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benar-benar kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san dan pada senja hari itu mereka memasuki kebun di mana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk bersamadhi seorang diri.
Ketika Kim Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu melihat betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersamadhi itu mengepul uap putih yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa makin jerih. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa girang sekali melihat uap putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh besarnya sedang dalam keadaan "kosong", maka dengan mukanya yang hitam berubah beringas, nenek ini lalu meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung kakek itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi berani dan diapun meloncat dan dengan tangan kanannya dia memukul pula ke arah tengkuk kakek itu.
"Blukk! Plakkk!"
Hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai punggung dan tengkuk Cia Keng Hong hampir berbareng akan tetapi kedua orang penyerang gelap itu terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li patah menjadi dua potong sedangkan Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan kanannya panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur. Ketika menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan samadhi yang amat mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya sudah amat tinggi, apalagi karena dia telah menguasai Thi-khi-i-beng dengan sempurna, maka tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri dan begitu pukulan-pukulan itu tiba, tenaga sin-kangnya sudah bergerak dan menolak dan mengejutkan kedua orang lawannya, namun sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di dalam tubuhnya!
Pukulan tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan main dan takkan dapat tertahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuatpun. Jangankan pukulan itu diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar, bahkan andaikata diterimanya dalam keadaan sadar sekalipun, tentu dia akan terluka hebat. Akan tetapi hal ini tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, maka mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi makin jerih, akan tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah marah bertemu dengan seorang di antara musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan tongkatnya. Tubuh Cia Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu dan dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu terhuyung ke belakang.
(Lanjut ke Jilid 20)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan sin-kang yang hebat, dan hal ini makin membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi parah. Dia maklum akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan kekuatan sin-kangnya dia tidak akan dapat membikin jerih dua orang lawan tangguh ini, dan untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama dengan luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong mengeluarkan suara melengking dahsyat dan kembali kedua tangannya mendorong ke arah dua orang lawannya dan kembali guru dan murid itu terhuyung ke belakang, biarpun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan diri. Suara melengking itu mengejutkan belasan orang anggauta Cin-ling-pai yang sedang berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin Liong.
Mereka semua menjadi terkejut dan cepat-cepat mereka berlarian menuju ke kebun di belakang. Ketika melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang bertanding dan dikeroyok oleh seorang wanita cantik dan seorang nenek tua bermuka hitam, mereka terkejut sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan tanpa ada perintah dari guru besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh Cin-ling-pai itu tertegun dan meragu, tiba-tiba terdengar gerengan seperti suara seekor monyet besar atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan dengan pukulan kedua tangannya. Semenjak dia kecil, Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang disayangnya dibunuh orang tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu.
Pertama-tama dia melihat ibu kandungnya dibunuh orang, biang monyet yang memellharanya dibunuh orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang. Kini, melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apalagi mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi yang sudah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya. Dia menyerang seperti seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini mendorong keluar semua tenaga sin-kang yang mengeram di dalam tubuhnya. Melihat Sin Liong, wanita itu mengenalnya dan tentu saja memandang rendah, bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan kirinya.
"Desss...! Ihhhh...!"
Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia meloncat bangun, mukanya pucat dan matanya terbelalak.
Tak disangkanya betapa pertemuan tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia terlempar, dan hampir saja dia celaka! Melihat betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para anggauta Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia Keng Hong. Pendekar ini menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan gerakan istimewa dia menangkis hantaman nenek itu, dan membarengi dengan tamparan tangan kirinya. Itulah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun yang tidak disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi pundaknya kena ditampar sehingga diapun terlempar dan jatuh bergulingan seperti halnya Kim Hong Liu-nio tadi.
Akan tetapi baik nenek muka hitam ini maupun Kim Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang luar biasa, kekebalan yang bukan hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan mampu bertahan terhadap pukulan sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan inilah yang dahulu membuat mendiang kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li amat sukar dilawan dan barulah pendekar Cia Bun Houw berhasil membunuh Pek-hiat Mo-ko dan Yap In Hong berhasil melukai Hek-hiat Mo-li setelah mereka berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan nenek itu (baca cerita Dewi Maut). Cia Keng Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan di telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka tidak mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawan ini.
Apalagi hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sin-kang pula sehingga keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi. Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi lawan. Kini para anggauta Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek dan wanita cantik itu, dan Sin Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang dibencinya. Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main, kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu mulai merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggauta Cin-ling-pai yang roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori belaka dari ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja dalam ilmu silat masih kalah jauh dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena dihantam sampai bergulingan.
Akan tetapi diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan saja anak itu tidak sampai tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering kali tangannya melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi-i-beng yang amat ditakutinya itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya untuk melepaskan diri terhadap ilmu mujijat itu, tentu dia sudah kena ditempel dan disedot sampai tenaganya habis oleh anak ini! Setelah berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia dan muridnya takkan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera Cin-ling-pai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu yang bernama Yap Kun Liong tentu dia dan muridnya akan celaka.
"Mari kita pergi!"
Bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh, pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul gurunya. Sin Liong yang marah sekali sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggauta Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah,
"Jangan kejar...!"
Sampai lama Sin Liong dan para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah lenyapnya dua orang musuh itu, kemudian para bekas anggauta Cin-ling-pai itu sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu.
"Kong-kong...!"
Teriakan itu mengejutkan semua orang.
Mereka menengok dan melihat Sin Liong menangis di depan kakek yang telah duduk bersila kembali di atas batu itu. Semua bekas anggauta Cin-ling-pai berlari menghampiri dan terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu ternyata telah tak bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar musuh-musuh yang amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek ini melepaskan napas terakhir sambil duduk bersila. Pukulan-pukulan dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan jantung dan melukai isi dada dan perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar biasa saja kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jerih hati musuh-musuhnya. Akan tetapi justeru perlawanannya itu membutuhkan pengerahan tenaga dan dalam keadaan luka hebat dia mengerahkan tenaga,
Maka hal ini tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah dan yang mencabut nyawanya setelah dia duduk bersila. Sin Liong yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam kedukaannya dia sampai lupa diri dan menyebut kakek itu "kong-kong"
Karena dia memang merasa amat sayang kepada kong-kongnya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya mati, dia berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil. Belum pernah selamanya dia menangis seperti itu. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis dan setelah berhenti menangis, dia hanya diam saja seperti patung, ketika melihat para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis lalu mengangkat jenazah itu, bersama empat orang anggauta Cin-ling-pai lainnya, membawanya masuk ke dalam pondok.
Sampai semua jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan dengan peti jenazah bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para anggauta itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Akan tetapi dia hanya duduk bersila di dekat peti jenazah kongkongnya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya duduk bersila seperti sebuah arca. Setiap kali terdengar orang menangis dan berkabung, para keluarga empat orang anggauta Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong datang dan menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dan Yap In Hong, lalu Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama. Riuh rendah tangis mereka di depan peti mati.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai uniuk mengabarkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang yang kenal baik dengan ketua Cin-ling-pai, kong-kong dari Lie Seng. Akan tetapi, ketika mereka akhirnya tiba di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cin-ling-pai telah tewas. Setelah bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dan isterinya bercakap-cakap dengan empat orang itu. Sebenarnya, kalau saja tidak terjadi hal yang menyedihkan berhubung dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu akan menggembirakan sekali, Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, dan Lie Seng adalah keponakan dari Bun Houw.
Bahkan, Souw Kwi Eng pernah ditunangkan dengan Cia Bun Houw (baca Dewi Maut)! Akan tetapi, mereka semua sedang berkabung dalam kedukaan, maka tentu saja tidak ada suasana gembira dalam pertemuan mereka. Hanya In Hong yang merangkul keponakannya yang dia duga tentu sudah memiliki kepandaian hebat setelah digembleng oleh Kok Beng Lama itu. Tiba-tiba Souw Kwi Eng menangis lagi, kini tangisnya tidak seperti ketika menangis di depan peti mati kakek Cia, bahkan dia menangis dengan penuh kedukaan sehingga mengejutkan Bun Houw dan In Hong. Yap In Hong yang tidak lagi cemburu kepada bekas tunangan suaminya ini karena dia sudah tahu bahwa wanita peranakan barat ini sudah menikah dengan Tio Sun, segera mendekatinya dan memegang pundaknya.
"Adik Kwi Eng, sudahlah, jangan engkau terlalu berduka...!"
Dia menghibur. Kwi Eng mengangkat muka memandang dan tiba-tiba dia merangkul leher In Hong dan tangisnya makin mengguguk. Di antara tangisnya In Hong mendengar kata-kata yang membuatnya terbelalak dan terkejut sekali,
"...bagaimana... takkan berduka... kalau... kalau suamiku dibunuh orang...?"
Tentu saja bukan hanya In Hong yang terkejut mendengar ini, juga suaminya, Cia Bun Houw kaget bukan main. Mereka tadi melihat betapa nyonya muda yang cantik jelita ini memakai pakaian berkabung, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa nyonya muda ini karena sudah mendengar akan kematian kakek Cia yang amat dikaguminya, memang sengaja mengenakan pakaian berkabung. Siapa kira, nyonya muda ini berkabung karena kematian suaminya yang dibunuh orang!
"Siapa yang membunuh Tio-twako? Siapa?"
Bun Houw berseru dengan penasaran sekali. Ayahnya baru saja dibunuh orang, dan kini dia mendengar bahwa Tio Sun dibunuh orang pula. Dengan panjang lebar Souw Kwi Beng mewakili saudara kembarnya, menceritakan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang dalam suatu pertempuran gara-gara seorang wanita bernama Kim Hong Liu-nio.
"Iparku itu hanya ingin mendamaikan antara Panglima Lee Siang dan ketua Hwa-i Kai-pang,"
Demikian dia menutup ceritanya.
"akan tetapi siapa kira, ketua Hwa-i Kai-pang mengira bahwa iparku itu membela wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu sehingga terjadi pertempuran dan iparku tewas..."
"Kim Hong Liu-nio...?"
Bun Houw bangkit berdiri dan mengepal tinjunya.
"Kiranya perempuan itu pula yang menjadi gara-gara?"
Kini giliran empat orang itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng, dan Souw Kwi Beng yang mendengar betapa kakek Cia juga tewas oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!
"Dan semua ini adalah gara-gara bocah itu!"
Tiba-tiba Bun Houw berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Liong yang masih duduk seperti arca di dekat peti jenazah dengan muka pucat. Mendengar kata-kata ayah kandungnya yang menuding kepadanya itu, Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Semua mata kini ditujukan kepadanya.
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mendiang ayah bentrok dengan Kim Hong Liu-nio karena menolong bocah itu!"
Bun Houw berkata penuh penyesalan.
"Dan bocah itu pula yang bercerita kepada kami bahwa Kim Hong Liu-nio memusuhi orang-orang she Tio, Yap dan Cia. Sebelum muncul bocah itu kita semua hidup tenteram dan tidak pernah terjadi permusuhan dengan siapapun. Bocah ini benar-benar mendatangkan sial!"
Yap In Hong menyentuh lengan suaminya yang sedang dicekam kedukaan dan kemarahan itu, lalu dia menghampiri Sin Liong dan bertanya,
"Sin Liong, menurut keterangan para anggauta Cin-ling-pai nenek itu berwajah hitam. Engkau yang mengenal Kim Hong Liu-nio, tentu engkau tahu pula siapa nenek yang datang bersama wanita itu? Apakah benar dia itu Hek-hiat Mo-li?"
Yap In Hong ini pernah bertanding dengan Hek-hiat Mo-li, bahkan berhasil melukai nenek yang kebal itu karena dia tahu di mana letak kelemahannya. Akan tetapi sebelum dia sempat membunuh nenek iblis itu, keburu datang Raja Sabutai yang menyelamalkan nenek yang juga guru raja itu. Kini dia bertanya kepada Sin Liong, selain untuk memperoleh keyakinan, juga untuk menghentikan suaminya memarahi anak itu. Sin Liong yang sejak tadi mengalami tekanan batin, merasa berduka sekali, penasaran dan juga marah-marah mendengar ayah kandungnya sendiri memaki dan menyalahkannya, tidak menjawab, bahkan tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yap In Hong itu. Dia hanya bersila sambil menundukkan mukanya, alisnya berkerut, bibirnya dikatupkan keras-keras.
"Kalau dia tidak bisa bicara lagi, biar saja tak usah ditanya!"
Bun Houw yang masih merasa marah karena terdorong kedukaan dan penyesalan, berkata lagi.
"Tak perlu mendapatkan keterangan anak sial itupun sudah jelaslah bahwa nenek muka hitam itu pasti Hek-hiat Mo-li orangnya. Dan perempuan itu tentu muridnya. Setelah selesai pemakaman jenazah ayah, aku akan mencarinya dan membunuh mereka!"
"Tidak perlu!"
Tiba-tiba Sin Liong yang sejak tadi diam saja, kini membentak dengan suara yang amat lantang sehingga mengejutkan semua orang. Seperti sebuah gunung berapi yang sudah ditahan-tahan sekian lamanya dan kini meletus, Sin Liong bangkit berdiri, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sakti, kedua tangannya dikepal dan dia berkata.
"Akulah yang akan membalas kematian kong-kong! Akulah yang akan mencari musuh-musuh besar itu dan membunuh mereka. Aku tidak mengharapkan bantuan para pendekar. Para pendekar yang hebat-hebat hanya namanya saja pendekar, duduk di tempat tinggi, mabok kemuliaan dan nama besar seolah-olah mereka itu adalah dewa-dewa di sorga, bukan manusia! Padahal, namanya saja pendekar-pendekar mulia, akan tetapi perbuatannya banyak yang rendah dan hina, di balik nama-nama besar itu tersembunyi perbuatan kotor!"
"Bocah lancang mulut...!"
Bun Houw membentak akan tetapi isterinya menyentuh lengannya.
"Ssttt...!"
Kata In Hong berbisik sambil memandang kepada Sin Liong dengan mata penuh kagum dan tertarik. Bocah itu bukan sembarang bocah dan dia melihat sesuatu yang aneh pada mata bocah itu, dan dia merasa seolah-olah dia sudah mengenal anak ini, entah di mana dan kapan.
"Para pendekar merasa bahwa mereka itu orang-orang paling mulia, paling suci, paling terhormat dan paling tinggi, paling hebat! Semua itu hanya untuk menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang kotor dan tidak bertanggung jawab! Biarlah aku seorang yang akan membalas dendam, aku yang akan mencari mereka itu dengan taruhan nyawaku, jangan ada yang turut campur!"
Setelah mengeluarkan kata-kata sebagai peluapan rasa marah dan penasarannya itu, Sin Liong terisak sekali lalu duduk bersila lagi di dekat peti jenazah, menunduk dan apapun yang akan dilakukan orang kepadanya, jangan harap dia akan mau membuka mulut lagi.
Dia sudah menyampaikan isi hatinya yang penuh penasaran. Ketika dia bicara, dia teringat akan ibu kandungnya yang ditinggalkan ayah kandungnya, maka dia bicara tentang perbuatan kotor para pendekar yang dikatakan tidak bertanggung jawab! Tentu saja dia tujukan ucapan itu kepada ayah kandungnya. Dan dia memang menaruh dendam kepada Kim Hong Liu-nio, lebih dari pada mereka semua, karena wanita itu telah membunuh ibu kandungnya di depan matanya, dan membunuh pula kong-kongnya. Semua orang bengong menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Sin Liong itu. Yap In Hong masih memegang lengan suaminya, mencegah suaminya marah-marah, karena amat tidak baik marah-marah di depan peti jenazah ayah mertuanya itu. Pada saat semua orang masih bengong memandang kepada Sin Liong, tiba-tiba terdengar jerit tertahan,
"Ayahhhh...!"
Dan berkelebatlah sesosok bayangan orang. Bayangan ini adalah Cia Giok Keng yang begitu tiba di situ terus menjatuhkan diri berlutut di depan mati jenazah ayahnya, memeluki peti dan menangis tersedu-sedu, kemudian dia tentu akan terguling roboh kalau tidak cepat-cepat Yap Kun Liong menyambar tubuh yang pingsan itu. Kembali hujan tangis di tempat itu karena semua orang yang menyaksikan ini mulai menangis lagi. Sin Liong telah dilupakan orang yang tenggelam dalam kedukaan dan keharuan itu. Ternyata Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong yang belum berhasil menemukan Lie Ciauw Si, mendengar berita tentang kematian kakek Cia dari suara di dunia kang-ouw.
Mereka cepat-cepat kembali ke Cin-ling-san dan di sepanjang jalan Cia Giok Keng sudah menangis sedih, dihibur oleh Yap Kun Liong. Maka begitu tiba di depan peti jenazah, wanita ini lalu menjerit dan menangis, kemudian roboh pingsan. Suasana di situ diliputi keharuan dan kedukaan. Cia Giok Keng menangis tersedu-sedu ketika dia telah siuman kembali dan dia berangkulan dengan Cia Bun Houw. Dua orang inilah yang merasa paling terpukul dengan kematian ayah mereka, dan kini pendekar sakti Cia Bun Houw tak dapat lagi menahan tangisnya melihat encinya, apalagi dia teringat betapa dia telah pernah marah dan meninggalkan ayahnya sampai belasan tahun sehingga kematian ibunyapun tidak diketahuinya. Sekarang, baru saja dia pulang dan berbaik kembali dengan ayahnya, merasakan betapa ayahnya sesungguhnya amat mencintanya, baru saja berjumpa satu kali dengan ayahnya,
Kini ayahnya telah mati dibunuh orang, atau setidaknya, meninggal akibat pertempuran melawan orang lain. Dia mengerti bahwa sebenarnya ayahnya tidaklah langsung dibunuh orang, melainkan bertempur melawan guru dan murid itu dan menurut cerita para anggauta Cin-ling-pai, ayahnya tidak kalah, bahkan membikin jerih musuh-musuh yang melarikan diri. Akan tetapi dia tahu bahwa ayahnya memang telah tua dan lemah, telah banyak berkurang tenaganya sehingga ketika menghadapi dua orang yang tangguh itu, ayahnya terluka dan tewas. Pada saat itu, di antara para tamu yang mulai berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dalam peti, muncul orang laki-laki tua yang aneh sekali bentuk tubuhnya. Melihat wajahnya, jelaslah bahwa laki-laki ini sudah tua sekali, seorang kakek yang memang sukar ditaksir berapa usianya,
Akan tetapi tentu sudah tua sekali karena mukanya yang kurus itu penuh keriput, matanya agak juling dan kepalanya gundul pelontos dan halus kulitnya, hanya ada sedikit rambut kering yang tumbuh di padang tandus, tumbuh di atas kepala, di tengah-tengah menutupi ubun-ubun. Kepalanya besar dan bulat, tapi kurus, dengan dua buah daun telinga yang tebal dan lebar. Alisnya tebal, sudah bercampur uban, bengkak-bengkok di atas sepasang matanya yang juling. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sekali, agaknya memang tidak dapat ditutup baik-baik sehingga balik bibirnya selalu nampak. Gigi bawahnya sudah habis dan gigi atasnya tinggal beberapa buah saja, berderet jarang. Kepala dan wajah itu biarpun amat buruk dan menyeramkan, namun belumlah aneh kalau dibandingkan dengan bentuk tubuhnya dari leher ke bawah.
Kakek yang kelihatan sudah tua sekali ini ternyata memiliki bentuk tubuh seperti kanak-kanak yang baru sepuluh tahun usianya! Tubuh itu kecil pendek, dengan dua tangan yang kecil dan dua kaki bersepatu yang kecil pula. Siapakah adanya kakek aneh itu? Semua orang yang hadir di situ tidak ada yang mengenalnya. Padahal, kakek ini sesungguhnya adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, yang datang dari barat dan telah lama merantau di dunia utara, di balik tembok besar. Kakek ini bernama Ouwyang Bu Sek! Di dalam cerita Petualang Asmara, terdapat seorang tokoh yang merupakan datuk kaum sesat yang ditakuti orang dan yang berjuluk Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) dan datuk ini bernama Ouwyang Kok, seorang datuk dari utara. Datuk ini tewas di tangan Cia Keng Hong.
Kakek cebol aneh ini adalah seorang keponakan dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok itu. Dia masih muda ketika mendengar bahwa pamannya telah terbunuh oleh seorang pendekar bernama Cia Keng Hong. Akan tetapi karena putera tunggal pamannya itu yang bernama Ouwyang Bouw juga terbunuh oleh suci dari Pek Hong Ing (mendiang nyonya Yap Kun Liong), maka pamannya itu tidak mempunyai orang lain lagi kecuali dia untuk membalaskan kematiannya. Dia adalah keponakan pamannya itu dan akan kecewalah dia sebagai seorang keturunar keluarga Ouwyang, keluarga yang terkenal sebagai keluarga pandai, kalau dia tidak menuntut balas. Akan tetapi, dia tahu betapa lihainya pendekar Cia Keng Hong, bahkan pendekar ini mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang lihai.
Inilah yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek harus menahan diri sampai bertahun-tahun lamanya, bahkan sampai puluhan tahun lamanya karena dia harus memperdalam kepandaiannya lebih dulu. Sampai puluhan tahun lamanya dia merantau ke barat dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari para pertapa aneh di Pegunungan Himalaya dan di Tibet. Baru setelah dia merasa bahwa kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi daripada tingkat mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dia berani meninggalkan barat sebagai seorang kakek aneh dan pergi ke Cin-ling-san mencari musuh besar keluarga Ouwyang itu. Akan tetapi, betapa menyesal, kecewa dan juga mendongkol rasa hatinya ketika dia tiba di puncak Cin-ling-san, dia menemukan musuh besarnya itu telah berada di dalam peti mati!
Pada waktu itu, semua keluarga dari bekas ketua Cin-ling-pai sedang berduka dan dibangkitkan kembali kedukaan dan keharuan mereka oleh kedatangan Cia Giok Keng. Mereka sedang bertangisan sehingga tidak ada yang memperhatikan kedatangan kakek cebol itu. Akan tetapi Sin Liong yang sejak tadi memandang ke arah para keluarga yang bertangisan itu, melihat kakek ini di antara para tamu dan dia merasa terkejut dan tertarik sekali. Keanehan bentuk tubuh kakek ini sungguh amat menonjol di antara para tamu sehingga dia diam-diam memperhatikan ketika kakek itu seperti para tamu yang lain menghampiri peti dengan langkah-langkah yang pendek dan lucu. Akan tetapi, tidak seperti para tamu lain yang memberi penghormatan kepada jenazah dengan hio menyala di tangan, tamu aneh ini hanya berdiri tegak di depan peti jenazah dan tiba-tiba dia mengeluarkan kata-kata yang cukup lantang.
"Cia Keng Hong, engkau sungguh seorang pengecut besar! Setelah susah payah puluhan tahun aku mempelajari ilmu dan kini datang berkunjung, engkau melarikan diri melalui kematian. Huh, kalau tidak merusak tubuhmu dalam peti, hatiku selamanya akan merasa penasaran!"
Mendengar ini, semua orang terkejut dan terutama sekali Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng sudah meloncat berdiri dan menengok ke arah tamu aneh itu dengan sinar mata berapi karena marahnya. Akan tetapi, sebelum mereka sempat bergerak, tiba-tiba terdengar suara gerengan aneh seperti seekor binatang buas yang marah, disusul teriakan,
"Jangan ganggu jenazah kakekku!"
Penyerangan yang dilakukan oleh Sin Liong menyusul teriakannya itu mengejutkan Ouwyang Bu Sek. Tak disangkanya bahwa anak yang tadi bersila di dekat peti mati, tiba-tiba saja meloncat dan menerkamnya seperti seekor binatang buas. Ouwyang Bu Sek melihat betapa anak itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa, pukulan dalam terkamannya itu mendatangkan angin berdesir menuju arahnya. Dia kagum dan kaget, juga girang menghadapi anak yang mengaku cucu dari musuh besarnya itu. Kalau tidak dapat membalas kepada Cia Keng Hong, kini dapat menangkap cucunya juga sudah baik, pikirnya. Maka dia mendiamkan saja anak itu menyerangnya, kemudian setelah terkaman datang dekat, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya menangkap pundak Sin Liong.
Dewi Maut Eps 22 Dewi Maut Eps 40 Dewi Maut Eps 33