Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 23


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan menang. Andaikata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek, akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya, membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali dan kakek cebol ini hanya mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang mengandalkan sin-kangnya untuk menangkis. Namun dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk balas menyerang. Betapapun juga, setelah mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek kena dihantam oleh telapak tangan Kim-liong-ong pada pundaknya.

   "Desss...!"

   Biarpun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah.

   Pada saat itu terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan nampak berkelebat sesosok tubuh yang dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Liong. Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya tiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia cepat meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu dan langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sin-kang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat mengelak.

   Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia sudah meloncat bangun lagi, kini kakek ini mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak terluka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil aneh itu. Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biarpun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini masih mentah. Maka ketika dia melihat Sin Liong mendesak, dan menghantam, dia sengaja mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya.

   "Plakk...! Aahhhhh...!"

   Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sin-kang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan bocah itu!

   Dia berusaha untuk menarik kembali tangannya sambil mengerahkan sin-kang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sin-kang, makin banyak tenaganya membanjir keluar! Melihat wajah temannya yang terbelalak matanya dan pucat mukanya itu, Hek-liong-ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka diapun menerjang dan menghantamkan kepalan tangannya ke arah Sin Liong. Pada waktu itu, Sin Liong telah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.

   "Plakkk!"

   Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itupun menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun. Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah memiliki kepandaian yang hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata,

   "Sute, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!"

   Akan tetapi celaka, makin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak,

   "Lepaskan!"

   Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itupun sudah disimpannya kembali dan dua orang yang tadi melekat kepadanya terlempar beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek. Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat dua orang temannya sudah terluka dan dirobohkan dia lalu menjura.

   "Lain kali kita bertemu kembali,"

   Katanya dan dia lalu menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu. Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak memandang ke arah menghilangnya Lam-hai Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri, lalu dia merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak dan sesenggukan sehingga Sin Liong menjadi bingung sekali.

   "Locianpwe, kenapa kau menangis? Kenapa...?"

   Tanyanya berkali-kali dan dia membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main. Akhirnya dapat juga dia bicara.

   "Ah, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek diselamatkan oleh seorang anak-anak..."

   Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab.

   "Dan mengingat betapa aku menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak memperdulikannya dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia menyelamatkan nyawaku, hati siapa takkan terharu?"

   Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja.

   "Locianpwe, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."

   Kakek itu melompat dan berjingkrak.

   "Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"

   "Nama saya Sin Liong..."

   "Hebat! Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"

   Sin Liong terkejut.

   "Saya... saya... bukan she Cia!"

   "Habis she apa?"

   "Saya... saya tidak tahu, locianpwe."

   "Justeru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kong-kongmu..."

   "Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kong-kong..."

   "Kalau bukan kong-kongmu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi-i-beng? Yang kau pergunakan tadi adalah Thi-khi-i-beng, bukan? Hayo kau coba terima ini!"

   Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin Liong. Bukan main kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang cepat dan kuat ini. Otomatis dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia "minum"

   Tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.

   "Plakk!"

   Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika tenaga sin-kangnya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat melepaskan sin-kangnya dan ternyata daya lekat itupun lenyap. Memang demikianlah keistimewaan Thi-khi-i-beng.

   Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi-i-beng itu tidak menggunakan tenaga sin-kang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sin-kang tersedot, sukarlah untuk membebaskan diri, karena baik menyerang maupun berusaha menarik tangan tentu dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja. Ouwyang Bu Sek yang bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi-i-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi-i-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan sin-kangnya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggauta tubuhnya yang melekat.

   "Memalukan! Memalukan sekali!"

   Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin Liong.

   "Apa yang memalukan, locianpwe?"

   "Kau!"

   "Saya...?"

   "Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat ini sebutan itu harus kau buang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau menghinaku, tahu?"

   "Eh? Ini... ini... locian..."

   Sin Liong menghentikan sebutan itu.

   "Lalu saya harus menyebut apa?"

   "Aku adalah suhengmu, mau sebut apa lagi?"

   "Suheng?"

   Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suhengnya? Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suhengnya?

   "Ya, sute, aku adalah suhengmu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

   "Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"

   "Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau telah menjadi pencuri yang menemukan kalau menggunakan Thi-khi-i-beng untuk menyedot dan mencuri tenaga sin-kang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."

   "Tapi, lo... eh, ssuu... heng..."

   Sukar sekali bagi Sin Liong untuk menyebut suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu akan memusuhinya kalau dia berani menyebut locianpwe lagi.

   "Aku tidak bermaksud mencuri tenaga orang. Memang demikianlah sifat Thi-khi-i-beng, menyedot tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang..."

   "Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri sin-kang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sin-kang. Mulai sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenaga orang. Huh, seperti perempuan cabul saja!"

   Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan tidak menjawab.

   "Aku adalah suhengmu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau ikut bersamaku melakukan upacara pengangkatan guru kepada guru kita Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

   Sin Liong tidak membantah pula dan dia lalu mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa terheran-heran. Benarkah kakek ini mempunyai seorang guru yang tinggal di tempat terpisah? Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!

   Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan guha-guha kecil, kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah guha kecil yang lebarnya hanya satu meter, guha kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali. Kakek itu merangkak masuk dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat diletakkannya peti hitam itu di atas batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.

   "Sute, cepat kau berlutut memberi hormat,"

   Dia berbisik. Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat diapun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, lalu terdengar dia berkata,

   "Suhu, teecu membawa sute datang menghadap suhu dan perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."

   Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya.

   "Cepat kau tiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."

   Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia meniru kakek itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya sendiripun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa. Kakek itu sekali lagi memeriksa dan setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti.

   "Kriyeeettt...!"

   Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya mengembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!

   "Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja."

   Aneh sekali ular yang "berdiri"

   Dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah kuning saking tuanya.

   "Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Ben Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlalu tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu dan engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."

   Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas lalu membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang amat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Akan tetapi kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat.

   "Aku telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini."

   Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam guha, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi guha rahasia itu.

   "Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?"

   Tanyanya.

   "Ha-ha, itu akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan biarpun orang memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."

   "Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"

   "Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!"

   Kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar guha di depan batu dan kakek itu berkata.

   "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi membimbing agar sute dapat mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil."

   Sin Liong hanya meniru saja ketika suhengnya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.

   "Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."

   Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhunya merasa senang dan lain-lain?

   "Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya."

   "Heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."

   "Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku tentang suhu itu."

   Sin Liong merasa tertarik sekali. Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di depannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.

   "Guru kita, yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang sudah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi,"

   Kakek itu mulai bercerita dengan suara sungguh-sungguh.

   "Selama lebih dari tiga ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puneak Pegunungan Himalaya..."

   "Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?"

   Kakek itu mengangguk.

   "Ya, sampai sekarang."

   Sepasang mata Sin Liong terbelalak.

   "Tidak mati?"

   Kakek itu tersenyum.

   "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Tapi dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah memiliki tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Kalau sudah ada kontak, biar di sinipun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke manapun dalam sekejap mata."

   "Bagaimana caranya?"

   "Melalui alam pikiran, melalui getaran perasaan."

   Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu. Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar, hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia,

   Pendeknya yang lain daripada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, Ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta, kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini, sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi di waktu kita bernapas, di waktu jantung kita berdenyut, di waktu rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggauta tubuh kita hidup. Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam sinar matahari, bulan dan bintang,

   Dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita! Kita sudah buta akan semua itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi. Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan memang mungkin saja terjadi. Apapun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terujud, sungguhpun ujud itu bukan merupakan kenyataan melainkan hanya merupakan gambaran angan-angan belaka,

   merupakan pemantulan daripada khayal kita sendiri. Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah suatu ujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, Telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain. Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, Akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini adalah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka.

   Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat "bertemu"

   Dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, sungguhpun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat "bercakap-cakap"

   Dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat pula "bercakap-cakap"

   Di dalam batin kita, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan? Betapapun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang amat tinggi, dan mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek. Dan memang Sin Liong memiliki bakat yang baik sekali,

   Terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong. Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, Maka tempat ini dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang "bengcu"

   Baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan para partai yang banyak terdapat di selatan. Para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat pada waktu itu adalah golongan hina atau rendah.

   Sebaliknya malah, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri! Betapapun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, Maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri dapat berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib.

   Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai maupun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi dan tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya. Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendeknya orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan.

   Dan sekali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya oleh karena perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa terancam kedudukan mereka oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat kepada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka. Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi pohon-pohon dan tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat. Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang,

   Maka perkumpulan itupun tidak menyediakan meja kursi dan para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu. Ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam samadhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang daripada bersamadhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon. Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Lucunya, seperti hampir dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain!

   Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, Yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin "lain daripada yang lain"

   Sehingga muncullah sikap bermacam-macam. Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering karena kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana! Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang di "pasang"

   Agar menarik perhatian belaka.

   Kesederhanaan yang berteriak lantang.

   "lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?"

   Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang kemelut, pergantian Kaisar tua yang meninggal oleh Kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian amat besar, tidak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar. Semenjak pagit para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil partai persilatan, wakil-wakil perkumpulan dan golongan, juga perorangan, memenuhi tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu membawa bendera dan tanda perkumpulan masing-masing.

   Juga terdapat kegembiraan besar karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan berkumpul, dan di antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja menjadi gembira karena dapat saling jumpa. Di antara para wakil-wakil partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda berusia delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak kecoklatan, sikapnya gagah sekali akan tetapi tarikan dagunya membayangkan ketinggian hati seorang jagoan muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi dan seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai daripada dia! Ketika dia memperkenalkan diri, semua orang memandang kepadanya dengan agak segan karena pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari Cin-ling-pai!

   "Ahhh, taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai? Silakan duduk di tempat kehormatan...!"

   Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang berkata dengan hormat dan sebutan "sicu"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berubah menjadi "taihiap". Demikian angkuhya pemuda itu lalu duduk di "tempat kehormatan"

   Yang sebenarnya hanyalah bangku-bangku kayu biasa, hanya diletakkan di belakang panggung dan di tempat yang agak tinggi. Sin Liong yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang amat banyak dan tidak seorangpun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian sederhana ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah wakil Cin-ling-pai.

   Dia cepat menyusup di antara orang banyak dan duduk tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san. Sin Liong kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di tempat tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suhengnya untuk mewakili suhengnya yang sudah tua dan malas pergi di tempat pertemuan itu. Karena dia hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan diapun menyusup di antara banyak tamu. Dia tentu hanya dianggap seorang pengikut dari sekian banyaknya rombongan yang datang. Tentu saja Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama Kwee Siang Lee.

   Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal pula. Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang sudah memiliki tingkat lumayan, sedangkan ibunya adalah seorang wanita dari Tibet bernama Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk mencari Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia Bun Houw tidak lagi mencintanya lalu mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee Tiong sehingga mereka berdua lalu menikah di Cin-ling-san (baca cerita Dewi Maut). Kwee Siang Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu, adalah anak tunggal suami isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini sama sekali bukanlah seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan itu.

   Seperti kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan pendiri Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya tinggal bekas-bekas anggautanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san atau bahkan banyak yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh. Ketika itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia tiba di daerah itu dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang berdarah panas dan menganggap bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa kepandaiannya telah boleh diandalkan untuk mewakili perkumpulan kebanggaannya itu, maka dia ingin mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili perkumpulan itu secara pribadi!

   Setelah matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang. Tempat kehormatan yang berada di dekat panggung itupun sudah penuh dengan para tokoh besar di dunia persilatan bagian selatan. Tak lama kemudian, fihak penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru. Mereka berdua itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua pertama dan Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau wakil ketua dari perkumpulan itu. Setelah menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua, dengan suara lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata,

   "Seperti cu-wi (anda sekalian) ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas dan kini telah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang bengcu baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya kita kini mengajukan calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi memilih seorang yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan berani untuk diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua dari perkumpulan kami sendiri!"

   Orang tinggi besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru, disambut tepuk sorak para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi tempat itu dan tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka. Sin Liong memandang penuh perhatian. Wakil ketua dari perkumpulan itu bertubuh tinggi besar, mukanya penuh bopeng, dan kepalanya yang botak itu mengkilap agak kebiruan. Melihat julukannya, Tiat-thouw (Kepala Besi) dapat diduga bahwa kepala yang botak itu tentu ampuh sekali.

   "Para calon dipersilakan naik untuk memperkenalkan diri,"

   Kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban yang memberi isyarat kepada Tong Siok untuk kembali ke tempat duduknya di fihak tuan rumah.

   Gu Kok Ban sendiri, seorang kakek berusia empat puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka pucat, masih berdiri di situ menanti datangnya calon-calon untuk diperkenalkan. Tidak banyak tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu bukanlah hal yang remeh dan hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sajalah yang patut menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai calon sudah merupakan hal yang membuat jerih para calon lain karena mereka merasa tidak akan mampu menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok! Akan tetapi tentu saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan ingin kalau tokoh dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu,

   Segera mengajukan tokoh yang mereka pilih sebagai calon. Pertama-tama yang melayang ke atas panggung dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan. Dari pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah seorang pengemis tua yang memegang sebatang tongkat butut dan mukanya tertawa-tawa penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang tokoh yang amat terkenal di selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang Tiat-thouw-pang sendiri menjadi tercengang karena mereka tidak menyangka bahwa kakek tokoh pengemis ini akan muncul menjadi calon bengcu! Padahal biasanya, kaum pengemis itu seperti "tahu diri"

   Dan tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguhpun pada setiap pemilihan mereka hadir dan mereka juga ikut menentukan pilihan.

   Akan tetapi baru sekarang mereka mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan mereka sendiri. Kakek ini adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) yang biarpun tidak secara resmi menjadi "raja pengemis"

   Namun telah diakui sebagai datuk yang ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan. Hadirnya Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan dan merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis mulai menaruh perhatian akan kedudukan dan pengaruh dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang terjadi di kota raja sebagai akibat dari penggantian Kaisar. Setelah Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua, banyak tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan diri.

   Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-ong maju, siapakah yang akan berani menandingi mereka? Daripada kalah dan mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Maka, kini yang berani muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima orang saja! Pertama adalah Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi tuan rumah. Calon ke dua adalah Lam-thian Kai-ong yang mewakili golongan pengemis dan gelandangan. Ke tiga adalah seorang tosu tua bermuka putih yang bermata tajam dan bersikap angkuh. Tosu ini bernama Kim Lok Cin-jin, wakil ketua Pek-lian-kauw bersama belasan orang tokoh perkumpulan itu. Calon ke empat adalah seorang guru silat yang terkenal sekali dari kota Amoi, berkepandaian tinggi dan menerima murid-murid dengan bayaran mahal.

   Guru silat ini dipilih oleh golongan tukang pukul, guru silat, dan para piauwsu. Dia bernama Ouw Bian, dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, berusia lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar. Adapun calon ke lima yang dicalonkan oleh para maling tunggal dan dunia pelacuran, adalah seorang maling tunggal yang amat terkenal di dunia selatan. Dia seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berwajah tampan, tubuhnya sedang saja akan tetapi pakaiannya selalu indah seperti pakaian seorang hartawan. Namanya adalah Bouw Song Khi dan orang ini selain terkenal sebagai seorang maling tunggal yang lihai dan ditakuti, juga dia terkenal sebagai seorang hidung belang yang biasa keluyuran di tempat-tempat pelacuran dan selain itu juga dia dikenal sebagai seorang yang suka mengganggu wanita,

   Seorang jai-hwat-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang cabul, sungguhpun dia tidak pernah mau melakukan kejahatan-kejahatan itu di daerahnya sendiri, melainkan memilih daerah di luar kekuasaannya sehingga namanya disegani dan dihormati. Itulah sebabnya mengapa dia sampai dapat terpilih menjadi seorang calon bengcu. Lima calon ini saja sudah terhitung banyak, karena andaikata pada saat itu muncul orang-orang seperti Lam-hai Sam-lo, kiranya beberapa orang di antara mereka akan mundur lagi! Para gerombolan yang termasuk golongan bajak sudah merasa tidak puas dan heran mengapa datuk-datuk mereka itu tidak muncul. Melihat tidak ada orang lagi yang maju sebagai calon, Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua penyelenggara pemilihan bengcu lalu berseru nyaring kepada semua yang hadir.

   "Apakah tidak ada lagi saudara-saudara yang mengajukan calon bengcu kecuali lima orang ini saja?"

   Memang pemilihan kali ini agak sepi. Pilihan bengcu pada beberapa tahun yang lalu diikuti oleh belasan orang calon! Hal ini adalah karena yang maju adalah orang-orang yang amat terkenal sehingga para calon yang merasa tidak mungkin dapat menandingi calon-calon yang terkenal ini sudah lebih dulu mundur untuk menghindarkan diri mendapat malu, kalah dalam perebutan itu. Lima orang yang tinggal ini adalah tokoh-tokoh yang biarpun sudah saling mengenal namun belum pernah menguji kepandaian masing-masing, maka mereka berani untuk maju. Tiba-tiba semua orang
(Lanjut ke Jilid 22)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22
dikejutkan oleh suara yang nyaring.

   "Aku maju sebagai seorang calon!"

   Yang membuat semua orang terkejut dan memandang heran adalah karena mereka melihat bahwa yang berseru nyaring itu adalah seorang pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai utusan atau wakil dari Cin-ling-pai! Kini semua mata memandang kepada Kwee Siang Lee dengan penuh perhatian. Pemuda itu memang gagah dan tampan, sepasang matanya yang lebar dan bukan seperti kebanyakan orang itu amat tajam, menentang semua orang dengan penuh keberanian. Memang pemuda ini memiliki mata seperti mata ibunya, wanita Tibet itu.

   Memang pemuda ini mengesankan sekali. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya bersih tampan dengan rambut hitam lebat disisir rapi dan digelung ke atas dibungkus dengan kain berwarna merah. Bajunya berwarna biru, diikat dengan sabuk sutera kuning, dan celananya berwarna putih bersih. Biarpun pakaiannya tidak dapat disebut mewah, bahkan terbuat dari bahan sederhana, namun karena bersih dan yang memakainya seorang pemuda remaja yang tampan, maka kelihatan pantas dan rapi. Tubuhnya sedang saja, namun padat dan membayangkan tenaga muda yang kuat. Semua orang yang hadir merasa terkejut dan heran karena mereka semua mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah partai yang besar dan termasuk partai dari golongan pendekar, partai bersih yang biasanya menjadi lawan dari golongan sesat atau golongan hitam.

   Kalau Cin-ling-pai hanya mengirim utusan sebagai peninjau saja, seperti partai-partai lain yang juga mengirim utusan seperti partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain itu, maka hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagaimana Cin-ling-pai mengirim seorang wakil yang mencalonkan diri menjadi bengcu? Akan tetapi karena pemuda yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai itu sudah mengajukan diri sebagai calon bengcu, maka ketua Sin-ciang Toat-thouw-pang menjadi bingung juga. Dia tentu saja tidak berani menolak, apalagi ketika para wakil golongan bersih yang lain bertepuk tangan dan mengangguk-angguk tanda setuju. Tentu saja mereka ini merasa suka kalau bengcu terjatuh ke tangan seorang Cin-ling-pai yang terkenal menjadi pusat para pendekar.

   Sejak tadi, Sin Liong memang sudah memperhatikan Kwee Siang Lee yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai. Kini, melihat pemuda tampan itu bahkan mengajukan diri sebagai wakil yang mencalonkan diri sebagai bengcu, tentu saja Sin Liong makin terheran-heran. Kehadirannya di tempat itu hanyalah karena dorongan suhengnya Ouwyang Bu Sek menyuruh dia menghadiri pemilihan bengcu hanya untuk meninjau dan mencari pengalaman saja. Kini, mendengar pemuda tampan itu mewakili Cin-ling-pai mengajukan diri sebagai calon bengcu, tentu saja dia amat tertarik karena dia menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai sebagai partai dari kong-kongnya (kakeknya). Selagi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu meragu dan tidak berani menolak, akan tetapi juga belum menerima Kwee Siang Lee sebagai calon bengcu yang ke enam, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

   "Tidak pantas...!"

   Dan nampak bayangan orang meloncat ke atas panggung, langsung berdiri menghadapi Sin-ciang Gu Kok Ban ketua perkumpulan tuan rumah.

   Semua orang memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi sudah diangkat menjadi seorang di antara calon-calon bengcu. Kim Lok Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan sejak dahulu, Pek-lian-kauw memang membenci Cin-ling-pai yang dianggap menjadi musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin juga membenci Cin-ling-pai sehingga begitu melihat Cin-ling-pai diwakili seorang pemuda remaja yang mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa panas dan dia cepat meloncat ke atas panggung sambil mencela. Melihat tosu ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura dan bertanya,

   "Apakah yang dimaksudkan oleh totiang?"

   "Pangcu, kami menolak kalau bocah itu menjadi calon bengcu mewakili Cin-ling-pai!"

   Bentaknya dengan nada keras dan menghina.

   "Semua calon bengcu yang berada di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon karena diangkat oleh golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi, siapakah yang mengangkat wakil Cin-ling-pai ini? Huh, siapakah yang tidak mendengar Cin-ling-pai itu perkumpulan macam apa? Mana mungkin ada kerja sama antara Cin-ling-pai dengan kita? Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim wakilnya yang hanya seorang, itupun masih seorang bocah ingusan pula, dan kini bocah itu malah mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan seperti itu menjadi bengcu? Ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita! Coba cu-wi (anda sekalian) pikir baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu berarti memandang rendah dan menghina jagoan-jagoan selatan? Apa Cin-ling-pai mengira bahwa pemilihan bengcu di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak belaka yang boleh dimasuki oleh bocah ingusan itu?"

   "Tosu sombong...!"

   Terdengar teriakan nyaring dan semua orang melihat pemuda Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba meloncat tinggi sekali dan tubuhnya lalu membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali dengan gaya yang indah sekali, baru dia turun ke atas panggung tanpa menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini memiliki gin-kang yang sudah lumayan tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat, banyak orang bertepuk tangan memuji.

   Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya jungkir balik seperti itu membutuhkan latihan dan juga membutuhkan tenaga gin-kang yang lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di hadapan demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu sungguh-sungguh berwatak angkuh, sombong dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh perhatian untuk melihat perkembangannya. Kwee Siang Lee sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya dengan mulut bercibir, sedangkan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah turun dari atas panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga. Dia tahu siapa adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi sutenya yang dia calonkan menjadi bengcu.

   Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw ini ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki gin-kang yang boleh juga itu, hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dua orang calon bengcu yang datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan bermusuhan sebelum pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya, setidaknya akan mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah. Maka diapun diam saja bahkan lalu menyingkir untuk memberi "kesempatan"

   Kepada kedua fihak agar keributan itu makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ adalah kaum sesat yang paling suka menyaksikan perkelahian dan pertumpahan darah, maka kini terdengar suara-suara yang memihak keduanya, seperti para penonton adu ayam yang hendak bertaruhan!

   "Tosu bau, siapakah tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi diperkenalkan sebagai wakil ketuanya? Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang biasa menipu rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat perempuan-perempuan untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai? Jangan kira bahwa aku, biarpun hanya seorang anggauta muda Cin-ling-pai, takut menghadapimu!"

   Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara lantang itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini. Kim Lok Cinjin tertawa mengejek.

   "Heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki kepandaian gin-kang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai memuakkan perutku! Padahal gin-kang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang agar menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan diri belaka. Kalau engkau ingin menjadi calon bengcu, siapakah yang mencalonkanmu? Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini orang Cin-ling-pai? Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil Cin-ling-pai?"

   Tiba-tiba terdengar suara melengking,

   "Aku yang mencalonkan dia!"

   Tentu saja semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya. Bahkan wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung juga menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja yang berpakaian sederhana itu.

   "Aku mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai menjadi calon bengcu! Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan mengutus anggauta mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai calon, maka sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang calon bengcu!"

   Kata Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa sin-kang yang luar biasa kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak suaranya melengking nyaring sekali. Mereka yang berfihak kepada Kwee Siang Lee menyambut dengan sorakan gembira. Akan tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya terdengar melengking tinggi mengatasi sorakan itu,

   "Kesaksian itu lebih tidak pantas lagi! Lihat siapa yang mengangkat bocah ini sebagai calon bengcu? Benar-benar kita semua dihina orang! Yang diajukan adalah bocah ingusan, akan tetapi yang mengajukan malah bocah yang masih menetek!"

   Mereka yang pro kakek ini tertawa dan bersorak mengejek.

   "Pendeknya, bocah ingusan ini harus lebih dulu membuktikan bahwa dia adalah benar-benar wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah apabila dia memperlihatkan ilmu-ilmu aseli dari Cin-ling-pai. Mellhat usianya, andaikata benar dia murid Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih rendah dan mentah, maka biarlah kami akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita semua dapat melihat apakah benar-benar dia memiliki ilmu Cin-ling-pai dan mampu mengalahkan jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!"

   Mendengar ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi merah sekali dan dan sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu.

   Akan tetapi pada saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun den sebagai gantinya dari tempat kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani, kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit, sepasang matanya liar. Memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari banyak macam orang, terutama sekali para petani dan penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) adalah perkumpulan yang selain menyebarluaskan agama campuran dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik den sihir, juga mengandung cita-cita untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya agama mereka. Untuk maksud itu, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan mempengaruhi rakyat kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke empat ini berpakaian sebagai seorang petani.

   "Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku,"

   Kata kakek petani itu. Tubuhnya yang kurus sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggauta muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw. Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia membentak nyaring dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras. Cin-ling-pai bukanlah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong.

   Seperti dapat kita ketahui dari cerita seri Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat den sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Setelah dia mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini telah menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, diambilnya dari ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling-kun-hoat dan ilmu ini terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja. Hanya para anggauta Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian dari Thai-kek-sin-kun,

   Akan tetapi murid-murid lain hanya digembleng dengan Cin-ling-kun-hoat saja yang sudah mcrupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh. Siang Lee juga telah mempelajari Cin-ling-kun-hoat sampai tingkat yang cukup tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang maupun dengan tangan kosong. Maka, begitu menyerang, dia sudah menggunakan jurus Cin-ling-kun-hoat yang ampuh, tangan kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati. Sebenarnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan biarpun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu.

   "Dukk...!"

   Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.

   "Plakkk!"

   Kembali dia berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak.

   "Hehh...!"

   Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan jurus Singa Mengejar Mustika. Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek itu mempergunakan kedua tangan dan kedua kaki untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga. Namun, Siang Lee mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran. Para penonton tertarik sekali dan suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan suara penonton. Tentu saja hanya fihak anak buah Pek-lian-kauw saja yang menjagoi kakek petani itu, sedangkan selebihnya dari para penonton tidak berfihak,

   

Dewi Maut Eps 12 Dewi Maut Eps 16 Dewi Maut Eps 45

Cari Blog Ini