Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 31


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun. Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan diapun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam dalam lautan yang tak berdasar ketika merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.

   "Sun Eng... aku cinta padamu... apapun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."

   Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Namun, sekali ini, dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa! Terasa olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar di antara mereka, perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.

   "Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!"

   Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.

   "Aku cinta padamu, enci Eng..."

   "Demi Tuhan, terkutuklah aku kalau tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau telah mengangkatku dari jurang maut, engkau telah mendatangkan cahaya terang dalam hidupku yahg gelap gulita. Dan demi Langit dan Bumi, akupun cinta padamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu berahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni dan hanya mendapatkan cinta nafsu. Sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu berahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi akupun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau telah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan jangan memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir sampai masak benar untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati daripada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita akan sama-sama melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan bantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..."

   Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!

   Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati di saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng. Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi diapun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tidak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?

   "Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!"

   Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang sudah pergi jauh itu. Dia tidak mendengar jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya. Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia menghampiri sebatang pohon besar dan menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.

   Bertemu dan berpisah bagai mimpi
Lie dan Sun membuat janji suci
akan bertemu di awal musim semi!

   Setelah puas dengan coret-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi biarpun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat. Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biarpun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula mengapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan,

   Namun pembunuhan terhadap panglima itu dan perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal, cukup menggegerkan. Apalagi Kim Hong Liu-nio yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dipercaya oleh Kaisar yang segera memerintahkan agar empat "pemberontak"

   Yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan dan pengejaran pemerintah! Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok yang memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Tembok itu merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang,

   Dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu. Daerah seperti itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Dan di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besarg adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani menggunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal.

   Akan tetapi semenjak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya dan perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Akan tetapi semenjak itu, Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan kini dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga. Bouw Song Khi ini berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, dan seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang keji.

   Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, sungguhpun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suhengnya itu. Karena Jeng-hwa-pang merupakan perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk. Kini, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan "pajak jalan"

   Dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup,

   Belum lagi sumbangan-sumbangan paksa dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat. Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suhengnya itu, karena suhengnya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak untuk dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu menjaga keamanan Jeng-hwa-pang dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya. Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dahulu.

   Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga kini persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa! Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejat moralnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan dan kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suhengnya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah dan pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini sudah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di situ, setelah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis.

   Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikitpun karena telah ditotoknya, kemudian gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang. Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sutenya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanya merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh. Demikianlah, tanpa ada gangguan apapun Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lalu membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira.

   Biarpun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya. Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya diapun akan merasa jemu karena biarpun gadis itu manis, namun dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suhengnya di tempat itu untuknya wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh.

   Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya! Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya. Pada saat Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, dua orang muda nampak memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang!

   Sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu. Dua orang pemuda yang berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka itu tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How, dan Sin Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang yang telah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringkan seorangpun pengawal.

   Setelah di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki dan akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang. Tentu saja kedatangan dua orang muda ini segera ketahuan dan gegerlah Jeng-hwa-pang. Dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggauta Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka meliwati pintu gerbang. Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang. Namun, para anggauta Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanya dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walaupun mereka telah dikurung banyak orang.

   "Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?"

   Bentak seorang di antara mereka. Marahlah Han Houw mendengar ini. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, diapun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa Kaisar dan di mana-manapun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia berkata.

   "Huh, kalian ini tikus-tikus busuk kecil tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"

   Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anggauta Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal, yang terkenal pemarah dan terkenal pula memiliki tenaga besar seperti kerbau, melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak.

   "Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!"

   Dia sudah mengulurkan tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw! Pemuda ini berdiri tegak, sedikitpun tidak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba si kumis tebal itu memekik keras dan roboh terjengkang.

   Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah. Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerangnya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang amat berbahaya, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian. Semua anggauta Jeng-hwa-pang terbelalak, apalagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah Jeng-hwa-pang yang hanya dipergunakan oleh orang-orang yang sudah memiliki kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini mempergunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!

   "Siapa dia...?"

   "Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!"

   Ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang turun tangan karena selain kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.

   "Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak panah ini!"

   Han Houw kembali membentak, suaranya nyaring sekali dan penuh wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini nampak jerih menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu lemah lembut!

   "Pemuda sombong, aku telah berada di sini!"

   Tiba-tiba terdengar suara keren dan semua anggauta Jeng-hwa-pang merasa lega, lalu bersibak dan memberi jalan masuk kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh seorang anggauta Jeng-hwa-pang. Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu karena dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suhengnya untuk diajak menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang.

   Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apalagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas. Han Houw dan Sin Liong cepat membalikkan tubuh memandang. Sin Liong segera mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dia pernah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini, ketika dia dilempar ke dalam lubang ular! Akan tetapi begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu dia terkejut dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan!
(Lanjut ke Jilid 29)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali. Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apalagi diapun mengenal Ceng Han Houw, utusan Kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu, namun diapun sudah merasa jerih. Tidak demikian halnya dengan suhengnya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biarpun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggautanya tewas, dia sudah marah sekali.

   "Siapakah kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggauta kami?"

   Bentaknya sambil melangkah maju. Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu.

   "Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus dan ini, anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, harus kau tukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?"

   Han Houw menoleh kepada Sin Liong.

   "Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!"

   Kata Sin Liong. Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu makin merah. Kini Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak.

   "Pasukan Api, maju!"

   Teriaknya. Tiba-tiba nampak sinar terang dan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, namun bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat dipergunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek. Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama makin menyempit dan mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur pula dan berbareng sehingga nampak indah karena mereka itu seolah-olah sedang mainkan tari obor.

   "Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!"

   Kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.

   Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka diapun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur dan berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bilamana keadaan memerlukannya. Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membuat pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya dua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.

   "Sam-kak-tin...!"

   Terdengar seorang di antara mereka membentak.

   Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak dan terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi! Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu amat teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah ada lautan api bergelombang hendak menelan Sin Liong! Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi bagaikan seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya dan pengalamannya bertanding masih sempit sekali.

   Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali. Dengan penuh kewaspadaan dia menghadapi semua serangan itu dan cepat mempergunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran sinar api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuahpun obor mengenai tubuhnya! Gak Song Kam dan sutenya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam merasa panasaran sekali.

   "Ngo-heng-tin...!"

   Dia berseru nyaring dan dua belas orang itu bergerak otomatis, empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung dan membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang berjumlah sepuluh orang dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan. Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng dan merupakan kerja sama yang amat baik dan rapi.

   "Ehhh...?"

   Sin Liong terkejut sekali karena biarpun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang.

   Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Di antara kepungan obor-obor itu yang menyambar-nyambar, dia berloncatan dan kini mengerahkan gin-kang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang mainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat. Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Biarpun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.

   "Pat-kwa-tin...!"

   Gak Song Kam berteriak marah. Kini pasukan itu membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) dan menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya siap menggantikan anggauta pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai daripada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!

   "Celaka...!"

   Pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar. Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik,

   Yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena dia amat terdesak tadi. Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka kembali dia lalu menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong dapat merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya dua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!

   "Ha-ha-ha, hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu sudah berani menentang kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, mundurlah!"

   Kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.

   Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jerih terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, dan yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi. Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Lebih baik melawan pangeran ini daripada menghadapi pemuda perkasa yang luar biasa itu. Memang sesungguhnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suhengnya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.

   "Wuuuut, ting-tinggg...!"

   Senjata rantainya bergerak mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini, Ceng Han Houw tersenyum dan dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.

   "Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga anggauta Jeng-hwa-pang?"

   Tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggauta Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu. Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong segera berkata,

   "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!"

   "Pemuda sombong, lihat senjata!"

   Bouw Song Khi membentak karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat daripada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.

   "Wuuuttt!"

   Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah dan sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan. Bouw Song Khi menyondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan sudah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu. Gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan. Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka diapun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

   "Cring...!"

   Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu seperti ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju dan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai. Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya dan keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.

   Namun Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai daripada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat. Kini, Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, sudah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantainya berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya. Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak karena dia hanya berloncatan ke sana-sini dan menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. Kakak angkatnya itu kembali telah memperilhatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh.

   Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, namun semua sambaran rantai itu luput dan mengenai tempat kosong selalu. Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah berhasil, juga mulai dia merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini benar-benar amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Dengan tangan kosong dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong den menggirangkan hati Bouw Song Khi. Rantai itu terbuat daripada baja murni den digerakkan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Batu karangpun akan hancur terkena hantaman ujung rantai, apalagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!

   "Plakk!"

   Tangan itu menangkis ujung rantai dan rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikitpun tidak! Bouw Song Khi menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu telah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li! Nenek iblis ini, bersama mendiang Pek-hiat Mo-ko, telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya, bahkan kedua tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka.

   Dalam cerita Dewi Maut, para pendekarpun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu dari Raja Sabutai, yaitu kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada telapak kaki mereka den akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan Pek-hiat Mo-ko dan melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa itu telah diturunkan pula kepada Ceng Han Houw den hanya pangeran ini sendiri yang tahu rahasia kelemahannya sendiri! Setelah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia menghadapi scrangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan rantai itu dengan tubuhnya!

   Makin pucat wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya. Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan malapetaka baginya. Kalau tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggap tidak ada sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan racun, pangeran muda ini menjadi marah. Dia meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga biarpun Bouw Song Khi berusaha menghindar, tetap saja mata kirinya menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu.

   Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya mendekap matanya karena terasa kenyerian yang sampai menyusup ke dalam jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang sejak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi. Melihat ini, Gak Song Kam menjadi kaget bukan main, juga amat marah. Dia berteriak mengeluarkan aba-aba bagi semua anak buahnya untuk maju mengeroyok, sedangkan dia sendiri lalu mengerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan, disambut oleh Sin Liong! Han Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini lalu menggerakkan pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.

   "Ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang sungguh tak tahu diri dan sudah selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar Lembah Naga! Kami adalah Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan hari ini Jeng-hwa-pang akan terbasmi habis oleh kami!"

   Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang amat congkak ini, dan dia merasa ngeri melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para anggauta Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para anggauta Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susul-menyusul.

   Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia makin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya. Ketua Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dahulupun ketika Jeng-hwa-pang diserbu oleh Kim Hong Liu-nio dan dia tahu bahwa baginya tidak ada harapan untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini, ternyata dua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan wanita iblis itu, bahkan sutenya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas dan kini sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!

   "Heiiiiikkkkk!"

   Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku dan jarum-jarum itu semua mengandung racun yang amat ampuh dan menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!

   Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek, sehingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu amat tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan cukup membahayakan karena senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat jahat. Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka diapun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat peledak yang mengeluarkan asap hitam tebal.

   Sambil tersenyum lega dia lalu meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya, menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong mempergunakan gin-kangnya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, kemudian dia berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.

   "Jangan harap akan dapat lari lagi seperti dulu, pangcu!"

   Sin Liong berkata dan dia merasa muak akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apabila keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua yang tidak memperdulikan keadaan anak buahnya. Akan tetapi melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang semakin panik itu menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia menyelamatkan diri.

   Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya dan dari samping lengannya mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu. Gak Song Kam mengeluh, pedangnya terlepas dan dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya Sin Liong telah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan telah terpelanting dan roboh pingsan. Memang sama sekali tidak terkandung niat di hati Sin Liong untuk membunuh orang, maka diapun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.

   "Ha-ha, bagus. Liong-te, engkau telah berhasil merobohkannya!"

   Terdengar suara Han Houw bersorak dan Sin Liong melibat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu sinar pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.

   "Houw-ko, jangan...!"

   Teriaknya, akan tetapi dia memejamkan mata melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu telah memegang kepala yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!

   Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat betapa pasukan obor roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute dari ketua mereka oleh Han Houw yang kemudian mengamuk dan merobohkan banyak kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu. Akan tetapi, begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kepalanya dijambak dan diangkat oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu! Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak buah yang melarikan diri.

   "Trakkkk!"

   Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak! Ceng Han Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para anak buah Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ. Dalam waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita yang tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan panik, ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan yang lucu.

   "Tolooooonggg...! Ayah... ibu... tolonggg...!"

   Suara jerit wanita yang keluar dari sebuah diantara bangunan itu menarik perhatian Sin Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dati mana terdengar jerit wanita itu.

   Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan kiranya dia telah didahului oleh Han Houw yang sudah menerjang daun pintu rumah itu dan melompat ke sebelah dalam. Hati Sin Liong merasa kagum dan girang. Betapapun garang dan ganasnya sikap pangeran itu terhadap musuh-musuhnya, namum di dalam dadanya terdapat watak pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang menjerit-jerit itu. Tak lama kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah itu, nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda yang manis dan kelihatan ketakutan. Sambil tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan kiri mencolek dagu gadis manis itu sambil borkata,

   "Dia ini perawan dusun yang diculik Bouw Song Khi dan belum sempat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian di sana, kau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini, ha-ha!"

   Pangeran itu lalu lari sambil memondong gadis itu. Sin Liong bardiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta, menangis dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tidak berdaya dalam pondongan lengan pangeran yang kuat itu.

   "Houw-ko..., lepaskan dia...!"

   Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar. Dia tidak ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau gadis itu mau melayani kakak angkatnya,

   Dia tidak perduli, seperti yang dilihatnya ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam rumah-rumah pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu meronta dan menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi seorang penjahat yang memaksa wanita. Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus memasuki hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar terus, dan ketika dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda sambil memeluk tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas punggung kuda, diapun lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar. Terjadilah kejar-kejaran di malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil membalapkan kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.

   "Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu, mengapa engkau memaksa seorang gadis yang tidak mau?"

   Berkali-kali Sin Liong berteriak dan membujuk. Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis, itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa.

   Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik daripada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya. Kejar-kejaran itu berlangsung sampai pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw dan terguncang-guncang. Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi. Dan kini timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap adik angkatnya itu main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong mengejar terus, dia mulai merasa terganggu dan marah. Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah megap-megap kelelahan itu.

   "Houw-ko, berhentilah dulu, aku mau bicara...!"

   Terdengar teriakan Sin Liong di belakangnya, Han Houw menoleh dan melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit. Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.

   "Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kau ambillah dia! Kau minta baik-baikpun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam suntuk!"

   Sin Liong menarik napas panjang.

   "Houw-ko, maafkanlah aku kalau aku mengganggu kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu."

   "Melakukan perbuatan jahat? Apa maksudmu?"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku den sinar matanya memancarkan kemarahan. Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkannya dan masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya?

   "Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu dan hendak memperkosanya, memaksanya, dan engkau masih bertanya apa maksudku?"

   Dia berkata dengan suara bernada teguran. Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang.

   "Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku demikian? Kau kira aku ini laki-laki macam apa? Sungguh engkau menghinaku dan tak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!"

   Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!

   "Ehhh...!"

   Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, Han Houw yang sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.

   "Plak-plakk!"

   Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis karena mengelak terus akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena dia tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini.

   "Houw-ko, jangan...!"

   "Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut? Sudah berani menghina tidak berani menanggung akibatnya?"

   Bentak Han Houw dan dia terus menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin "menguji"

   Adik angkatnya ini. Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga mengerahkan sin-kangnya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Ketika dia mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.

   "Desss...!"

   Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras. Dalam keadaan bergulingan itu, Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.

   "Dukkk...!"

   Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh sucinya dan juga oleh subonya, akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti sucinya, yaitu waspada dan mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing. Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh sucinya pula, dia ingin "mencuri"

   Ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia kecele. Ketika dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja,

   Sama sekali tidak membalas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apalagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya. Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya bertugas sebagai hiasan belaka. Sin Liong yang digembleng orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekalipun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia sudah bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan.

   Setiap jurus yang dimainkannya hanya "keluar"

   Intinya belaka, yang disesuaikan dan dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya. Oleh karena itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan hendak mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han Houw yang amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in-kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang. Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw dapat dihindarkan oleh Sin Liong karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang amat tinggi itu. Akan tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.

   "Sin Liong, coba kau sambut serangan pedangku!"

   Dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang.

   "Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku?"

   Sin Liong berseru kaget, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya. Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini? Sudah gilakah? Karena serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, Sin Liong secara otomatis menggerakkan tangan kanan dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu mencengkeramnya.

   

Dewi Maut Eps 34 Dewi Maut Eps 13 Dewi Maut Eps 23

Cari Blog Ini