Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 32


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 32



"Plakk!"

   Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lalu menangkap pergelangan tangan Han Houw.

   "Ihhhhh...!"

   Han Houw berseru dan kaget bukan main karena merasa betapa tenaga sin-kangnya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu. Tahulah dia bahwa Sin Liong telah mempergunakan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tidak kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri. Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kagetnya karena tenaga sin-kangnya tersedot keluar, tangan kirinya bergerak dan jari-jari tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, melangkah mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.

   Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tangan sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam. Itulah pukulan beracun semacam Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam. Bau uapnya itu saja sudah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan, apalagi pukulannya sendiri! Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, kedua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.

   "Eihhh... brukkkk!"

   Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.

   "Houw-ko, maafkan aku...!"

   Sin Liong cepat menghampiri. Han Houw mengangkat muka memandang dan menarik napas panjang. Dia tidak membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum,

   "Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan jurus dari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?"

   Sin Liong mengangguk.

   "Dari kitabnya karena aku belum diajar secara langsung."

   Sin Liong mengingatkan.

   "Ah, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apalagi kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali."

   "Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?"

   Sin Liong bertanya, nadanya menegur. Han Houw memandangnya lalu tersenyum.

   "Aku ingin mengujimu, adikku. Dan pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan? Kau menuduhku hendak memaksa dan memperkosa wanita!"

   Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, mata terbelalak dan kelihatan takut sekali. Sejak tadi dia tidak berani bergerak, hanya duduk dan melihat perkelahian itu.

   "Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?"

   Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar.

   "Kau kira aku ini orang apa? Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku? Memperkosa wanita? Ah, apa perlunya? Semua wanita akan suka sekali melayaniku, mengapa harus memperkosa? Betapa hina dan rendahnya!"

   "Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak..."

   Sin Liong berkata bingung.

   "Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kau lihat saja, adikku, dan coba buktikan apakah aku memperkosa wanita atau bukan?"

   Setelah berkata demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia menghampiri gadis yang masih duduk di atas rumput. Melihat pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian tampan dan gagahnya! Sama sekali tidak disangkanya hal ini maka dia terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut. Han Houw tersenyum manis dan memang wajah pangeran ini amat tampan dan sikapnya halus serta gagah. Dia meng gunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata kepada gadis dusun itu.

   "Nona, aku telah menolongmu dari rumah terbakar, membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menangis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan?"

   Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.

   "Maafkan saya... saya tidak tahu dan mengira... kawanan penjahat yang melarikan saya..."

   "Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat? Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau tidak pernah mendengar tentang Pangeran Oguthai?"

   Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub.

   "Pangeran... pangeran..."

   "Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!"

   "Ahhh... ampunkan hamba, pangeran..."

   Dan gadis dusun itu segera menjatuhkan diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu. Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh perhatian.

   "Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu."

   Gadis itu bangun dan masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah manis.

   "Ah, terima kasih, pangeran..."

   Sikapnya berubah sama sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!

   "Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?"

   Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggeleng kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.

   "Bagus!"

   Kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu. Ketika berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis.

   "Sekarang, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu..."

   Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik. Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong! Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya makin kenas ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.

   "Ha-ha, adikku yang baik, kau tunggulah di situ sebentar!"

   Kata Han Houw yang masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari tempat itu!

   Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi dan dia lalu menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu dan dia menggigit bibirnya. Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau dibandingkan dengan bujukan? Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan yang akhirnya toh sama juga!

   Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu berahinya sendiri! Betapapun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadipun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu? Ataukah seharusnya dia cepat meninggalkannya? Kesenangan atau kenikmatan, yaitu perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang dimiliki setiap manusia.

   Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apapun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga. Akan tetapi kalau pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan. Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia merasa benar dalam pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan akan mendatangkan kebahagiaan hidup.

   Seorang saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam kehidupan. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi. Semua pengejaran itu, biar diselimuti dengan nama apapun, yang rendah atau yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja!

   Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang dianggap akan mendatangkan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar! Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung dari keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanyalah merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap! Si pengejar uang, biarpun berhasil menumpuk uang banyak,

   Namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Demikianlah, pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain dan tidak akan ada habisnya sebelum kita mati! Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang takkan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidakpuasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apapun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

   Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang amat penting bagi kita semua, yaitu : Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apapun? Bukan berarti kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak perdulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya! Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita benar-benar hidup! Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayal dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada! Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini,

   Tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan. Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apapun? Kalau sudah begitu, mungkin akan nampak oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyum seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam sinar matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!

   "Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?"

   Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang berdiri dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh kegembiraan. Sin Liong sebentar memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa jijik terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka, mencari kudanya.

   "Manis, kau pulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu,"

   Terdengar Han Houw berkata. Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu diam. Dari sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian gadis itu pergi dengan muka tunduk. Dan tak lama kemudian Han Houw juga sudah meloncat ke atas kudanya.

   "Ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!"

   "Aku juga akan kembali ke selatan!"

   Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.

   "Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita akan mencari suhu Bu Beng Hud-couw bersama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, di sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita telah selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi."

   Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tidak enak. Dia masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira,

   Menceritakan tentang daerah yang mereka lewati. Sebagai putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar dan dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai sudah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar. Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik dan sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya. Pangeran ini memang mata keranjang dan suka bermain gila dengan wanita, pikirnya, akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa biarpun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, namun si wanita sendirilah yang salah.

   Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia bertemu dengan wanita seperti itu, dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang kakak angkatnya! Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan begitu baik, begitu ramah, dan seolah-olah pengalaman dengan wanita tadi, perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam sekejap mata saja!

   "Houw-ko..."

   "Ada apakah, Liong-te?"

   Han Houw menoleh dan tersenyum.

   "Siapakah nama perempuan tadi?"

   Han Houw terbelalak, senyumnya melebar.

   "Ahhh...? Mana aku tahu?"

   Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar.

   "Tidak tahu namanya?"

   Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum diketahui namanya!

   "Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya? Di dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena bangga melayani kita. Kalau kita memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat."

   "Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kau janjikan dia suruh menanti di dusunnya..."

   Kembali pangeran itu tertawa bergelak.

   "Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku. Eh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita?"

   Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita sedemikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya dan kembali wajahnya menjadi merah.

   "Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tidak akan melakukan perbuatan seperti yang kau lakukan itu, Houw-ko!"

   Katanya tegas dan dia menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar. Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di tepi Sungai Luan yang berada di sebelah utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan kota ini pernah diduduki pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biarpun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi suku bangsa inipun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang amat kuat dan yang merupakan bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu daripada bahaya yang datang dari tembok besar.

   Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong tiba di kota Ceng-lun, dan para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apalagi ketika Ceng Han Houw membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat memperlihatkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru, maka semua orang makin menyembah-nyembahnya! Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah kelihatan senang dan menjilat-jilat!

   Lebih lagi ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak. Sejak kecil dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana namun kebebasannya mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka kini, keadaan yang mewah dan dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang. Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, kebebasan yang diperolehnya karena keadaan hidupnya di waktu kecil, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan merepotkan malah, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu. Memang, kalau kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan!

   Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu "demi kesopanan". Sopankah sikap yang dibuat-buat itu? Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu "disesuaikan"

   Dalam pertemuan itu dan kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, dengan keluarga kita dan sebagainya! Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan kalau kita namakan kebudayaan, peradaban itu hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya,

   Pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu! Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai seorang sopan, sebagai seorang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka! Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu,

   Segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali! Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah akan benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan. Ketika Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi tergopoh-gopoh dia lalu mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara.

   Barulah para pembesar itu tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu? Malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Biarpun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.

   "Houw-ko, akupun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kaulanjutkan sendiri pesta ini,"

   Katanya sambil bangkit sendiri. Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak.

   "Ha-ha-ha, engkau sudah ingin tidur? Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!"

   Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka diapun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk. Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan
(Lanjut ke Jilid 30)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
untuknya.

   Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau, saling pandang, tersenyum lalu merekapun membayanginya dari jauh. Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biarpun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali dan sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh. Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap amat genit.

   "Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?"

   Sin Liong sudah bangkit duduk dan menegur dengan gugup. Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu amat genit dan tadi ketika melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak. Empat orang itu tertawa cekikikan mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Seorang di antara mereka berkata dengan sikap genit.

   "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apapun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu..."

   Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.

   "Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."

   "Ahhh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."

   "Eh, mengapa?"

   Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya daripada melayani Han Houw.

   "Hik-hik, karena... semua orangpun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen..."

   Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar keras ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.

   "Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."

   "Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."

   "Kongcu hendak minum apa?"

   "Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."

   Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka.

   "Aku... aku... mau mencari hawa sejuk..."

   Katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu. Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini amat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlumba untuk mencari pemuda itu. Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.

   Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi tegang sekali, Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian telaga kecil itu amat indahnya. Bulan malam itu bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan seperti tenggelam di dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya. Dia bergidik, biarpun tubuhnya terasa gerah.

   Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu samadhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu. Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu "menyedot dan menghimpun hawa Im"

   Dengan sebaiknya. Apalagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!

   Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorangpun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya dan dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya dan ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher. Mulailah Sin Liong bersamadhi dan mengatur napas menurut pelajaran dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu! Dia segera merasa betapa hawa yang amat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya siap menolak hawa Im yang amat kuat itu.

   Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima. Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu makin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke tepi telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi telah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pula pakaian dalam sehingga mereka itu semua berbugil!

   "Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"

   "Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."

   "Kongcu, kau ajari aku renang, hi-hik!"

   Tiga orang sudah terjun dan sambil tertawa-tawa, menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula. Empat orang wanita itu makin geli tertawa ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tidak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.

   "Jangan... pergilah kalian... pergilah..."

   Dia berkata gagap, akan tetapi empat orang itu makin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka dan melakukan gerakan-gerakan memikat di depan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.

   "Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Malu-malu kucing, hi-hik..."

   "Kongcu, berilah cium padaku..."

   Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka kedua matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.

   "Aduhhh...!"

   "Ah, mataku..."

   Empat orang wanita itu menjerit dan menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu seperti jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat kemudian sunyi. Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula! Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata,

   "Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya? Tolol!"

   Dan dengan gemas pangeran inipun pergi dari situ, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa "kalah"

   Dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apapun juga. Dan kalau dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, diapun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya.

   Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa. Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarikan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran sekali karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu! Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya kalau dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidakcocokan dalam banyak hal di antara mereka, biarpun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu.

   Karena dia merasa marah oleh perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu. Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja! Sin Liong melakukan perjalanan jauh yang susah payah menuju ke selatan. Alangkah jauh bedanya dengan ketika dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di kota-kota besar,

   Disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah. Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang melelahkan, bahkan sering kali kurang makan dan terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin! Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya. Akan tetapi, setelah dia tiba di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini?

   Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan! Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah? Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh amat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi. Sin Liong adalah seorang pemuda yang berwajah tampan.

   Pakaiannyapun adalah pakaian yang tadinya amat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biarpun sudah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal. Oleh karena itu, melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan pesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.

   "Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?"

   Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya. Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya,

   "Ah, aku... lapar sekali..."

   Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu sudah minta-minta.

   "Kalau lapar, boleh membeli makanan,"

   Pancingnya. Sin Liong makin gelisah.

   "Aku... aku tidak punya uang..."

   Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah.

   "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang?"

   Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong.

   "Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!"

   Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.

   "Kau mau menjadi pelayan?"

   "Aku mau!"

   "Apakah engkau bisa?"

   "Aku dapat mempelajarinya."

   "Siapa narnamu, orang muda?"

   "Namaku... panggil saja A-sin!"

   "Di mana rumahmu?"

   "Lopek, harap percaya kepadaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tidak punya rumah, dan akupun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan."

   Sikap tegas dan gagah ini menarik hati majikan rumah makan itu.

   "Sudah berapa hari engkau tidak makan?"

   "Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."

   "Masuklah!"

   Sin Liong masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Setelah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang,

   "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!"

   Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula, dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan. Wajahnya yang tampan dan usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu,

   Dan pekerjaan ini memang menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang dan dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan luar dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak tentang dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya. Sampai berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran. Selama itu, dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorangpun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu dan dia selalu menjauhkan diri dari urusan yang menimbulkan pertentangan atau keributan.

   Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya. Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, biarpun yang dilakukan tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekalipun. Dengan jalan inilah dia mendengar pula tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah!

   Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapapun juga, seorang diantara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu memasuki benaknya sungguhpun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah seorang yang tidak baik, yang menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya! Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pik-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada hari tanggal itu orang-orang melakukan sembahyang Tiong-ciu. Seperti biasa, banyak penduduk di luar kota raja pada hari besar itu berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar,

   Akan tetapi sebagian besar untuk membeli kuih-kuih tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri ikut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu meramaikan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tidak sedikit. Empat orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.

   "Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Kau sambutlah tamu-tamu kita ini!"

   Teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya. Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya dan dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya. Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andaikata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan seorang diantara pemudanya, akan tetapi tidak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu. Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin!

   Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya? Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Dan pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis. Jantung di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!

   "Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?"

   Dia bertanya dengan sikap hormat dan biasa seperti kalau dia melayani para tamu lainnya. Empat pasang mata memandangnya dan Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.

   "Eh, aku pernah melihatmu!"

   Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong. Sin Liong terkejut dan cepat memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya.

   "Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barangkali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya."

   "Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini,"

   Kata Beng Sin.

   "Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"

   "Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas,"

   Kata Lan Lan.

   "Aku juga,"

   Sambung Lin Lin.

   "Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!"

   Siong Bu mencela sambil tertawa.

   "Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat akan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, sedangkan berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, baru belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?"

   Lan Lan dan Lin Lin tertawa.

   "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau takkan menang!"

   Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masak anak-kanak, ketika dia masih berada disamping empat orang ini.

   Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira! Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur dan diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan sejak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara. Akan tetapi, setelah empat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh dan terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.

   "Eh, kau kenapa, A-sin?"

   Tanyanya, akan tetapi melihat A-sin menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya. A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak suruhan orang memanggil tabib, Sin Liong "siuman"

   Kembali dan berkata lemah.

   "Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin... asal saya diperbolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."

   Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya mempergunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapapun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja.

   Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak. Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itupun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka inipun "berpesta"

   Karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang. Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, diapun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan.

   Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan betas kasihan orang. Dia kadang-kadang bergidik membayangkan dirinya sampai terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang. Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet!

   Dan dia melihat betapa para pengemis yang menjadi "langganan"

   Restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu! Biarpun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat dan tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk "mengerjakan"

   Beng Sin dan tiga orang temannya! Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba di rombongan Beng Sin, tiba-tiba saja gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!

   "Eh, eh... hati-hatilah, nona..."

   Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguhpun keranjang sayurannya terlempar dan sayurnya berantakan.

   Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang. Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar telah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin! Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya dan dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya!

   Sin Liong dapat melihat hal ini dengan jelas, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu. Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seolah-olah sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak. Apalagi karena diapun tidak ingin memperkenaikan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak dalam pasar bersama teman-temannya dan tak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.

   

Dewi Maut Eps 28 Dewi Maut Eps 45 Dewi Maut Eps 40

Cari Blog Ini