Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 4


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Leng Ci dan Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran kenikmatan melalui pelampiasan nafsu berahi, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya. Kini mereka seperti orang-orang yang kelaparan, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan. Kini mereka mulai berani saling bertemu di waktu malam, di waktu Bhe Coan tidur mendengkur dan diam-diam Leng Ci menyelinap meninggalkan kamarnya untuk menikmati kepuasan sejenak dengan kekasihnya di dalam kamar tamu itu, kemudian menyelinap kembali ke dalam kamar suaminya sambil mencebirkan bibirnya kepada tubuh suaminya yang tidur mendengkur! Beberapa hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di kamar saja!

   Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam, isterinya selalu menolak dia melakukan pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena di situ terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan isterinya. Sementara itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, sepanjang lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang diperhitungkan dengan tepat waktu pembakarannya dan pembenamannya di dalam air. Dengan hati puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya dan terdengar suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu memang hebat! Bentuknya sudah sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memperindah gagangnya saja.

   Dengan senyum di mulut Bhe Coan dengan girang membawa pedang itu ke kamar tamunya. Sekali ini, karena kegirangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat memamerkan hasil karyanya kepada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas sepatu karena memang dia masih bekerja. Tiba-tiba, dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau di dalam kamar dengan dia! Akan tetapi ketika dia tiba di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih rebah terlentang, dan Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat, meninggalkan kamar. Wajah isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat keluar lagi dan mengejar isterinya.

   "Leng Ci...!"

   Panggilnya perlahan. Isterinya berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran.

   "Ada apakah?"

   "Tadi aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar?"

   Isterinya tersenyum.

   "Hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok. aku melihat Kwi-kongcu mengigau dan bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku, geli melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku."

   "Ahh..."

   Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar tamunya

   "Nah, kau dengar...?"

   Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari situ untuk mencuci mangkok.

   Berindap-indap Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian sumbang. Peristiwa itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum ketika menghentikan Leng Ci dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian. Padahal, biasanya di waktu pagi isterinya tidak pernah merias diri seperti itu apalagi memakai wangi-wangian. Dan anehnya pula, biarpun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa aneh dan heran saja.

   Sore hari itu Bhe Coan berpamit dari isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang atau senjata lain. Setelah pandai besi itu pergi, biarpun kepergiannya itu tidak akan lama, tetap saja merupakan peluang yang tidak disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu. Di kota kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang sudah lama dikenalnya. Melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil berkata,

   "Hemm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu, ya."

   Bhe Coan memandang tukang obat itu dengan alis berkerut,

   "Eh, Lao Tung, apa maksudmu berkata demikian? Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa kau mengatakan demikian. Apa maksudmu?"

   "Ha-ha-ha, pura-pura tidak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih untuk mengobati orang sakit demam. Sakit demam? Ha-ha-ha, memang demam, demamnya orang yang berhati muda!"

   Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran.

   "Lao Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu? Isteriku memang membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu? Kalau begitu mengapa?"

   "Memang dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali bukan obat untuk penyakit demam!"

   Bhe Coan teringat akan kata-kata isterinya ketika pulang dari membeli obat. Isterinya menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa.

   "Lao Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah?"

   Dengan mulut masih menyeringai Lao Tung menjawab,

   "Benar-benar kau tidak tahu? Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu berahi, obat untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!"

   Bhe Coan menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan biarpun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang namun hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang? Untuk apa? Kui Hok Boan membeli obat perangsang? Akan tetapi, dia melihat sendiri betapa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya. Dia tidak tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan menggerogoti hati dan pikirannya.

   Wajah isterinya kini selalu gembira, sepasang matanya bersinar-sinar. Anehnya, semenjak ada Kui Hok Boan, telah enam malam ini isterinya tidak pernah mau didekatinya di waktu malam. Seperti orang murung dan lelah, akan tetapi kalau siang kelihatan demikian penuh semangat dan kegembiraan. Ada apakah yang terjadi dengan isterinya? Dan isterinya demikian tekun merawat Hok Boan, sampai-sampai pernah heberapa kali isterinya terlupa mengirim minuman kepadanya! Ketika tiba kembali ke rumahnya, Bhe Coan datang bersama seorang anak laki-laki tanggung berusia tiga belas tahun. Dia mendapatkan Hok Boan dan isterinya duduk di serambi depan. Melihat tamunya itu kini sudah keluar dari kamar dan kelihatan wajahnya kemerahan dan sehat, Bhe Coan tersenyum girang.

   "Ah, kiranya engkau sudah sembuh, Kui-siauwte!"

   Katanya dan dia mengerling ke arah isterinya yang juga kelihatan berseri gembira wajahnya, dengan riasan muka yang baru sehingga wajah yang manis itu kelihatan makin cantik karena makin putih oleh bedak, rambutnya licin sekali, tentu baru saja disisir rapi, pakaiannya juga baru dan berbeda dengan malam tadi, agaknya isterinya baru saja berganti pakaian. Hal ini saja sudah aneh. Biasanya tidak demikian. Isterinya biasanya baru berganti pakaian di sore hari.

   "Terima kasih, twako. Sudah banyak baik, hanya masih tinggal lemas dan masih perlu minum obat untuk beberapa hari ini. Apakah pedang itu sudah selesai, twako?"

   "Sudah, tinggal memperhalus saja yang akan makan waktu dua hari sambil membuatkan hiasan sarung pedang yang kubeli ini. Mudah-mudahan dalam dua hari ini akan selesailah pesananmu, siauwte."

   "Terima kasih, twako. Engkau baik sekali, dan twaso juga..."

   "Eh, siapakah anak ini dan mengapa kauajak ke sini?"

   Tiba-tiba Leng Ci bertanya sambil menuding kepada anak laki-laki itu.

   "Dia adalah anak tetangga di sudut dusun, kumintai bantuan untuk mendorong puputan api agar pekerjaan lebih lancar,"

   Jawab Bhe Coan singkat dan dia lalu mengajak anak itu masuk ke dalam bengkelnya. Tak lama kemudian terdengarlah dua orang itu sibuk bekerja di bengkel. Mengingat bahwa waktu berada di rumah itu tinggal dua hari, Hok Boan dan Leng Ci makin menggila dalam hubungan perjinaan mereka.

   Agaknya mereka bersepakat untuk mempergunakan sisa waktu dua hari itu untuk menikmati hubungan mereka sekenyang-kenyangnya dan sepuas-puasnya. Mereka seperti tidak mengenal lelah dan karena mereka mengandalkan pendengaran mereka untuk merasa yakin bahwa Bhe Coan selalu sibuk dalam bengkeinya, maka mereka menjadi lengah dan lalai, kini mereka berdua bermain cinta di dalam kamar tanpa mengunci daun pintu! Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Bhe Coan telah bekerja di bengkelnya, dibantu oleh anak itu dan terdengarlah suara berdencingnya palu baja menghantam pedang di landasan, nyaring dan tinggi rendah berirama. Sementara itu, di dalam kamamya, Hok Boan juga menyambut kedatangan Leng Ci yang kelihatan segar sehabis mandi. Begitu memasuki kamar pemuda itu, Leng Ci lari menghampiri dan menubruk pemuda itu, merangkul dan menangis!

   "Heh, mengapa menangis, sayang?"

   Hok Boan memeluk dan membelai rambut halus itu, mencium air mata yang membasahi pipi.

   "Tiada pertemuan tanpa perpisahan, dan kita masih mempunyai waktu sehari ini."

   "Kongcu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu. Besok... besok kau bawalah aku besertamu, kongcu..."

   "Hemm, mana mungkin begitu, manis? Engkau adalah isteri Bhe-twako dan..."

   "Aku tidak sudi lagi menjadi isterinya! Setelah aku menjadi milikmu, setelah aku menyerahkan diri lahir batin kepadamu, bagaimana aku dapat didekatinya, kongcu?"

   "Kau memang manis! Aku sungguh sayang padamu, Leng Ci."

   "Kongcu... kau kasihanilah aku, bawalah aku besok..."

   "Ssstt... bagaimana besok sajalah."

   Leng Ci memang tidak dapat banyak cakap lagi karena dia sudah terbuai oleh belaian pemuda itu yang menariknya ke bawah selimut. Di luar terdengar suara berdencing yang berirama dan dua orang ini, yang sudah lupa segala, membiarkan saja pintu setengah terbuka. Yang berada dalam kamar sudah tenggelam lagi dalam lautan nafsu yang bergelora. Bunyi suara berdencing yang berirama masih terdengar di luar kamar ketika Leng Ci rebah terlentang, kepalanya berbantalkan lengan kekasihnya yang membelai-belai rambutnya yang sudah terlepas dari sanggulnya.

   "Kongcu..."

   "Hemm..."

   "Kalau kau tidak mau membawaku, aku ikan hidup seperti dalam neraka...!"

   "Ah, jangan kau berkata demikian. Suamimu amat mencintaimu, Leng Ci."

   "Akan tetapi aku tidak cinta padanya."

   "Bukankah engkau sudah setahun lebih menjadi isterinya dan bukankah engkau menjadi isterinya secara sukarela?"

   "Ya... akan tetapi setelah bertemu denganmu..."

   "Kau memang manis!"

   Hok Boan membalikkan tubuh wanita itu dan menarik mukanya, lalu mencium mukanya. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Bhe Coan telah berdiri di pintu dengan pedang di tangan! Memang pandai besi ini sengaja menyuruh anak yang membantunya untuk membuat tapal kaki kuda dan karena itulah maka suara berdencing berirama itu masih terdengar terus. Akan tetapi dia sendiri meninggalkan bengkel, membawa pedang yang sudah jadi itu untuk diperlihatkan kepada Kui Hok Boan, juga sekalian ingin melihat apakah isterinya tidak melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya ketika dia melihat isterinya sedang berciuman dengan pemuda itu dalam keadaan setengah telanjang!

   "Jahanam busuk kau orang she Kui!"

   Bentaknya dengan kemarahan yang berkobar-kobar! Leng Ci dan Hok Boan terkejut setengah mati dan mereka sudah bangkit duduk. Leng Ci menjadi pucat sekali wajahnya dan dia menggigil, lalu mencoba untuk menyembunyikan tubuhnya di balik punggung kekasihnya yang duduk dengan mata terbelalak memandang pandai besi yang telah berdiri di depan pembaringan itu. Telinganya masih jelas mendengar suara dencing berirama di luar kamar dan tahulah pemuda ini bahwa yang memukul-mukulkan palunya itu adalah anak yang membantu pandai besi itu!

   Betapa bodohnya! Mengapa dia tidak membedakan suara pukulan yang jauh lebih lemah itu! Sejenak Bhe Coan terheran-heran melihat sikap sasterawan muda itu. Demikian tenangnya! Sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan kini tersenyum! Kemarahannya memuncak karena kini terbayanglah olehnya betapa sasterawan muda ini sejak datangnya, sejak "sakit"

   Itu tentu telah berjina dan bermain gila dengan isterinya! Pantas saja sejak pemuda ini menginap di rumahnya, isterinya tidak pernah mau melayaninya! Kiranya di waktu siangnya, dari pagi sampai petang, selagi dia bekerja setengah mati mengerjakan pedang pesanan sasterawan ini, isterinya berjina di dalam kamar ini dengan tamunya itu. Dan dia sudah menganggap tamunya sebagai keluarga sendiri!

   "Bedebah, engkau layak mampus!"

   Bentaknya dan tiba-tiba Bhe Coan menubruk ke depan menusukkan pedang yang selama sepekan ini digemblengnya itu ke arah dada Hok Boan. Akan tetapi, gerakan yang amat cepat dan kuat itu dihadapi oleh Hok Boan seolah-olah tidak pernah ada bahaya yang mengancam dirinya. Setelah ujung pedang meluncur dekat, tiba-tiba dia meloncat turun dari atas pembaringan seperti seekor burung terbang saja ringannya.

   "Creppppp... aiiiihhhh...!"

   "Ohh, tidak...!"

   Bhe Coan berseru kaget, matanya terbelalak memandang kepada isterinya yang menjerit. Pedangnya yang tadi ditusukkan ke arah dada Hok Boan, kini amblas menusuk dada isterinya sendiri, tepat di ulu hati, di antara dua buah bukit dada membusung itu. Kemarahannya makin meluap terhadap Hok Boan. Dia mencabut pedangnya, darah muncrat dari dada Leng Ci dan nyonya muda ini terjengkangg terlentang di atas pembaringan, darahnya muncrat-muncrat menodai tilam kasur yang selama beberapa hari ini telah dinodai oleh perjinaannya dan kaki tangannya berkelojotan, matanya terbelalak seperti orang kaget dan takut.

   "Keparat kau! Jahanam kau!"

   Bhe Coan memaki-maki dan membalik, menghadapi Hok Boan yang sudah membereskan pakaiannya dengan sikap tenang saja.

   "Sudahlah, Bhe-twako, engkau telah membunuh isterimu. Sudah saja dan serahkan pedang itu kepadaku. Aku akan pergi dari sini sekarang juga."

   Sikap tenang dan kata-kata Hok Boan membuat Bhe Coan makin memuncak kemarahannya. Dia masih belum menduga bahwa tamunya ini memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.

   "Bangsat hina Kui Hok Boan! Aku telah menerimamu sebagai keluarga sendiri, aku telah bersusah payah membuatkan pedang pesananmu, akan tetapi engkau menggoda isteriku. Nah, pedang ini akan merobek-robek perutmu, dan aku akan mencincang hancur lebur tubuhmu yang kotor dan hina!"

   Bhe Coan kini menerjang dan pedang itu menyambar-nyambar. Namun, dengan tenang Hok Boan mengelak ke kanan kiri, kemudian selimut yang tadi dibawanya ketika dia meloncat itu menyambar ke depan, menutupi kepala tuan rumah.

   "Wuuuttt... prakkk!"

   Tubuh Bhe Coan terpelanting dan pedang itu sudah dirampas oleh tangan Hok Boan. Sasterawan muda ini lalu meninggalkan kamar itu, tidak memperdulikan lagi tubuh Bhe Coan yang kepalanya tertutup selimut dan perlahan-lahan selimut itu menjadi merah oleh darah dari kepala pandai besi itu yang retak-retak oleh pukulan tangan Hok Boan yang ampuh. Tanpa melihatpun sasterawan muda ini maklum bahwa tamparannya tadi telah merenggut nyawa orang!
(Lanjut ke Jilid 04)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
Dengan tenang, Hok Boan mengumpulkan pakaiannya dan tak lama kemudian sudah membalapkan kudanya keluar dari dusun itu. Anak kecil pembantu Bhe Coan yang menanti kembalinya majikannya, kini menjadi tidak sabar karena dia harus menanyakan sesuatu mengenai tapal kaki kuda yang dibuatnya. Dia memasuki rumah dan mencari-cari Bhe Coan.

   Ketika dia menjenguk ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu, dia terbelalak, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Nyonya majikannya menggeletak terlentang dengan tubuh bagian atas telanjang sama sekali, mandi darah dan tak bergerak lagi dengan mata terbelalak menakutkan, sedangkan majikannya terbujur di atas lantai, kepalanya tertutup selimut dan selimut itu penuh darah pula. Anak itu menjerit dan lari keluar, jatuh bangun dan sebentar saja, dusun Pek-hwa-cung menjadi gempar! Semua orang menduga bahwa Bhe Coan dan isterinya tentu terbunuh oleh tamunya seperti yang dituturkan oleh anak pembantu pandai besi itu, akan tetapi karena sejak datang ke dusun itu Hok Boan tidak pernah keluar pintu dan selalu mengeram diri saja di kamarnya bersama Leng Ci, maka tidak ada orang yang pernah melihatnya atau mengenalnya.

   Sesungguhnyag munculnya Kui Hok Boan di Pegunungan Khing-an-san bukanlah semata-mata karena dia ingin memesan pedang, melainkan ada hal lain yang lebih penting baginya. Dia telah mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa di utara, di kaki Pegunungan Khing-an-san, terdapat dua tempat yang amat terkenal dan amat menyeramkan. Dua tempat itu adalah Padang Bangkai dan Lembah Naga. Menurut berita yang seperti dongeng itu, di kedua tempat ini tersimpan harta pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan kabarnya, di dalam sebuah istana kuno di Lembah Naga, terdapat barang-barang berharga peninggalan Raja Sabutai. Berita inilah yang menarik hati Kui Hok Boan dan ketika dia tiba di dusun Pek-hwa-cung, dia teringat akan nama Bhe Coan ahli pembuat pedang, maka dia singgah di situ dan memesan pedang sebelum dia mencari dua tempat yang amat menari hatinya itu.

   Berita itu datang dari para perajurit yang pernah menyerbu Lembah Naga bersama para pendekar sakti (baca cerita Dewi Maut). Akan tetapi tidak ada orang kang-ouw yang berani mencoba untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Pertama karena memang tempat itu berada amat jauh dari tembok besar, ke dua karena mereka tidak percaya akan berita itu dan ke tiga karena mereka tahu bahwa tempat-tempat itu amat berbahaya sehingga tidak sepadanlah menempuh bahaya yang amat besar itu untuk mencari sesuatu yang masih belum tentu kebenarannya. Akan tetapi Kui Hok Boan adalah seorang petualang yang hidup malang-melintang seorang diri saja di dunia ini. Dan terutama sekali kesenangannya akan wanita membuat dia senang saja berada di manapun, karena di manapun dia mengharapkan untuk bertemu dengan wanita yang berkenan di hatinya.

   Dan ternyata benar, di Pek-hwa-cung dia bertemu dengan Leng Ci yang membuatnya cukup merasa senang dan puas. Istana Lembah Naga sesungguhnya adalah bekas markas besar yang dijadikan tempat tinggal oleh Raja Sabutai pada belasan atau puluhan tahun yang lalu. Kemudian markas atau benteng itu oleh Raja Sabutai dirombak menjadi istana dan diberikan kepada dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek iblis yang berjuluk Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Lembah itu berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, tepat di tepi Sungai Loan-ho yang menikung di situ kemudian diikuti oleh tikungan-tikungan kecil. Dilihat dari atas, Bukit Khing-an-san, lembah itu kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku. Karena inilah maka lembah itu dinamakan orang Lembah Naga.

   Karena lembah ini berada di luar Tembok Besar, di daerah Mongol yang berbahaya, penuh dengan pegunungan tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tidak bertepi, diselingi gurun-gurun pasir yang tandus, maka daerah ini merupakan daerah terasing karena jarang ada orang berani mengunjunginya, bahkan mendekatinya. Jalan menuju ke Lembah Naga hanya ada satu, yaitu dari selatan, karena mendatanginya melalui arah lain tidaklah mungkin mengingat bahwa lembah itu terkurung oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya. Dari selatan inipun bukanlah merupakan jalan yang mudah. Sama sekali tidak! Hanya jalan dari selatan ini saja kelihatannya mungkin dilalui manusia, sungguhpun dalam kenyataannya, jalan yang kelihatan mudah ini penuh dengan ancaman bahaya maut yang mengerikan.

   Mengapa demikian? Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Padang Bangkai. Dari namanya yang menyeramkan itu saja sudah dapat diduga bahwa daerah itu amat berbahaya. Dan memang benarlah. Padang rumput yang luas itu demikian aneh keadaannya, sehingga banyak binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat kemudian menjadi korban pula, bangkai-bangkai dan mayat berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai. Memang berbahaya sekali daerah Padang Bangkai ini.

   Banyak sekali tempat-tempat yang kelihatan indah menyenangkan, kiranya menyembunyikan tangan maut yang amat kejam. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa saja, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah ini, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik musim panas maupun di musim semi tetap hijau segar itu merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjeblos, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tidak terukur besarnya.

   Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun mereka itu tetap dapat mempertahankan sehingga tubuh atas mereka berada di luar, tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Apa yang terjadi? Tubuh bawah yang terhisap lumpur itu sebentar saja akan habis dihisap darahnya dan digerogoti dagingnya oleh binatang-binatang kecil semacam lintah dan lain-lain binatang yang hidup di dalam lumpur itu! Ada pula terdapat bagian yang rumputnya berwarna aneh, berwarna kebiruan dan ternyata bahwa rumput di bagian ini mengandung racun yang amat berbahaya.

   Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan ilalang setinggi orang dewasa dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara ilalang tinggi ini berliku-liku, bercabang-cabang dan bentuknya sama semua, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit-apit oleh ilalang tinggi. Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini. Tentu saja tempat ini amat berbahaya, belum lagi diingat akan banyaknya binatang-binatang buas yang menghuni tempat ini, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu. Dan di tengah-tengah perjalanan antara tempat-tempat berbahaya itu dengan Lembah Naga, terdapat sebuah dusun kecil yang dikelilingi air sungai.

   Air yang mengelilingi dusun ini sengaja dibuat Raja Sabutai dahulu, karena tempat ini merupakan semacam pintu gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Air yang mengelilingi dusun itu dialirkan dari Sungai Luan-ho sehingga siapapun juga yang hendak pergi ke Lembah Naga tentu akan terhalang dan harus lebih dulu menyeberangi sungai itu dengan jembatan yang terdapat di situ, jembatan satu-satunya yang menghubungkan orang ke dusun kecil itu, kemudian menyeberangi lagi melalui jembatan kecil di belakang dusun. Jalan lain menuju ke Lembah Naga tidak ada lagi, karena kalau orang tidak mau melewati dusun itu, dia harus mengambil jalan melalui padang rumput hijau berlumpur di bawahnya yang berada di sebelah kiri dusun, atau melalui padang rumput beracun yang berada di sebelah kanan dusun.

   Melanjutkan perjalanan dengan perahupun tidak mungkin, karena selain tidak nampak sebuahpun perahu di situ, juga andaikata ada orang membuat perahu dan menggunakannya untuk mengelilingi dusun, sebelum tiba di tempat tujuan tentu perahunya sudah akan digulingkan oleh mereka yang menjadi penghuni dusun itu. Beberapa tahun yang lalu, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih tinggal di Istana Lembah Naga, Padang Bangkai menjadi tempat tinggal suami isteri golongan sesat yang terkenal dan berilmu tinggi, yaitu Ang-bin Siu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li. Akan tetapi, kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika rombongan pendekar sakti menyerbu Lembah Naga, suami isteri ini bersama semua anak buah mereka telah terbasmi habis, dan seperti juga Lembah Naga, maka Padang Bangkai juga menjadi tempat kosong yang menyeramkan sekali.

   Akan tetapi, semenjak kepala perampok Coa Lok yang berjuluk Sin-jio (Tumbak Sakti) dan anak buahnya menjadi penghuni Padang Bangkai, tempat itu mulai terawat lagi, akan tetapi kini menjadi makin menyeramkan karena selain keadaan yang berbahaya dari tempat itu masih ditambah lagi ancaman bahaya yang datang dari para perampok itu sendiri. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ada anak buah perampok yang berani mencoba untuk menyerbu Istana Lembah Naga dengan akibat yang mencelakakan mereka karena lima orang telah tewas di tangan Liong Si Kwi, penghuni dan juga majikan yang baru dari Istana Lembah Naga. Kemudian Sin-jio Coa Lok sendiri yang memimpin anak buahnya menyerbu, akan tetapi diapun ditundukkan oleh Liong Si Kwi sehingga dia takluk dan menganggap wanita itu sebagai seorang yang patut dihormati. Demikianlah, Coa Lok hidup di Padang Bangkai bersama anak buahnya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang.

   Tentu saja mereka tidak dapat mengharapkan hasil di tempat seperti itu, dan mereka tidak pula mau mengganggu para penduduk Khing-an-san, karena selain hal ini amat berbahaya, juga penduduk dusun-dusun itu adalah petani-petani yang miskin. Bahkan mereka tidak berani mengganggu penduduk dusun-dusun yang lebih makmur seperti dusun Pek-hwa-cung dan lain-lain, karena mereka tahu bahwa di tempat-tempat itu terdapat banyak orang pandai, dan mereka tidak mau memancing kemarahan Raja Sabutai yang mempunyai pengaruh besar di sekitar tempat itu. Maka, para perampok ini hanya "mencari nafkah"

   Dengan cara merampok para pedagang yang lewat di dekat tembok besar di perbatasan, atau di hutan-hutan yang dilewati oleh para pedagang yang keluar masuk daerah Propinsi Liao-ning.

   Jadi, Padang Bangkai itu hanya dijadikan sarang atau tempat sembunyi mereka saja. Selama tinggal di Padang Bangkai, para perampok itu belum pernah melihat ada orang berani mendatangi sarang mereka. Apalagi mendatangi dusun yang mereka jadikan sarang itu, bahkan di sekitar daerah Padang Bangkai itu tidak pernah nampak seorangpun manusia kecuali mereka sendiri. Daerah itu memang merupakan daerah seram yang ditakuti, dan hal ini membuakt para perampok itu merasa aman. Akan tetapi pada suatu hari, pagi-pagi ketika matahari mulai menyinari bumi dengan cahaya keemasan, nampak seorang penunggang kuda datahg dari selatan. Ketika tiba di depan padang rumput yang luas itu, si penunggang kuda menghentikan kudanya dan memandang ke depan dengan penuh perhatian.

   "Hemm, inilah agaknya yang dinamakan Padang Bangkai..."

   Katanya seorang diri dan dia lalu turun dari atas kuda. Dibiarkan kudanya itu makan rumput di bawah pohon dan dia sendiri lalu meloncat naik ke atas pohon itu, mengintai jauh ke depan.

   "Bukan main luasnya,"

   Kata orang itu dan dia meloncat turun lagi, mengambil tempat air dari sela kuda dan sambil duduk di atas rumput, dia minum beberapa teguk air, menyimpan kembali tempat air dan mengusap peluhnya di leher dan dahi dengan ujung lengan bajunya yang lebar. Orang ini bukan lain Kui Hok Boan. Setelah dia melarikan diri dari dusun Pek-hwa-cung di mana dia meninggalkan mayat Bhe Coan dan isterinya di kamar rumah mereka, pemuda sasterawan ini membalapkan kudanya, meninggalkan dusun itu dan langsung dia menuju ke Lembah Naga di kaki Pegunungan Khing-an-san.

   Sebelum dia menuju ke utara, dia memang telah menyelidiki dan mempelajari keadaan Lembah Naga yang didengarnya dari penuturan beberapa orang anggauta pasukan tentara kerajaan yahg pernah melakukan penyerbuan ke Lembah Naga (baca cerita Dewi Maut). Dari para anggauta pasukan ini dia mendengar gambaran yang cukup jelas tentang Padang Bangkai dan Lembah Naga serta tempat-tempat yang berbahaya di sekitar Padang Bangkai. Dia tidak mau tergesa-gesa dan tidak mau bertindak ceroboh. Hok Boan adalah seorang yang selalu berhati-hati dan cerdik sekali. Dari atas pohon tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia telah melalui jalan yang benar seperti yang digambarkan oleh anggauta pasukan yang pernah datang ke tempat ini. Memang mengerikan keadaannya. Dari atas pohon nampak sinar matahari menimpa padang rumput yang luas dan terdapat bermacam-macam warna di sepanjang padang yang luas itu.

   "Ada lorong kecil menujd ke selatan. Lorong itu tidak berbahaya. Akan tetapi setelah lorong itu berhenti dan habis, tempat itu disambung dengan padang-padang rumput yang hanya mempunyai lorong-lorong setapak. Itulah tempat-tempat yang berbahaya dan jangan sembarangan memasuki lorong setapak ini tanpa lebih dulu mengetahui keadaannya."

   Demikian antara lain penuturan anggauta pasukan kerajaan itu. Setelah membiarkan kudanya makan rumput dan beristirahat, Hok Boan lalu meloncat naik lagi ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya melewati lorong kecil yang menuju ke selatan itu. Matanya selalu awas memandang ke kanan kiri yang mulai penuh dengan rumpun ilalang, juga dia awas melihat ke depan, siap menghadapi bahaya yang mungkin datang dari manapun,

   Sungguhpun tempat itu amat sunyi dan agaknya merupakan tempat yang aman. Ketika matahari telah naik tinggi, tibalah dia ujung jalan kecil itu. Di depannya kini terbentang luas rumput hijau, diselang-seling dengan rumput-rumput yang lain warnanya, ada yang merah, ada yang kebiruan dengan bentuk yang aneh-aneh. Hok Boan tidak turun dari kudanya, akan tetapi dengan hati ngeri dia memandang ke arah rumput-rumput hijau segar itu. Dia mendengar penuturan anggauta pasukan itu bahwa di bawah rumput hijau segar ini bersembunyi tangan maut berupa lumpur yang dapat menghisap dan yang di dalamnya menanti binatang-binatang kecil yang suka menghisap darah dan menggerogoti daging! Mengerikan! Akan tetapi, melihat rumput-rumput hijau segar itu, sukar untuk dapat mempercaya cerita itu.

   "Lebih baik menempuh bahaya diserang ular dan binatang buas,"

   Pikirnya. Dia mendengar bahwa ilalang kuning di sebelah kiri, di mana terdapat pula jalan setapak, akan membawa orang ke padang ilaiang yang tingginya seperti manusia dewasa di mana terdapat banyak ular dan binatang lain. Tadi Hok Boan telah mematahkan cabang pohon dan kini tangannya sudah memegang sebatang tongkat panjang seperti toya, kemudian dia menggerakkan kudanya memasuki lorong setapak di antara rumput-rumput kuning itu.

   Kudanya bergerak perlahan memasuki lorong itu dan benar saja, makin lama lorong itu makin menurun agaknya karena rumput-rumput itu menjadi makin tinggi, ataukah rumput ilalang yang tumbuh di kanan kiri sudah setinggi paha kudanya. Kuda yang ditunggangi Hok Boan maju terus. Tiba-tiba kuda itu berhenti melangkah, lalu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, terdengar bunyi berkerosakan disusul oleh suara salak anjing dari jauh. Hok Boan terkejut, akan tetapi dia sudah siap dengan tongkatnya. Tak lama kemudian, muncullah delapan ekor anjing liar yang menyerang dari depan, kanan dan kiri. Akan tetapi, Hok Boan sudah siap dengan tongkatnya dan beberapa kali tongkatnya bergerak memukul. Setiap gerakannya tentu meremukkan kepala seekor anjing sehingga tak lama kemudian, bangkai delapan anjing liar itu berserakan di tempat itu.

   Akan tetapi kuda itu menggigil, agaknya ketakutan. Ketika Hok Boan memaksanya untuk maju, kuda itu meringkik dan maju perlahan-lahan. Kini mereka tiba di lorong setapak yang memisahkan antara rumput ilalang tinggi dan rumput hijau segar yang berada sebelah kiri. Hok Boan menjaga benar-benar agar kudanya tidak makan rumput itu atau menginjak bagian kiri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan berkerosakan. Ilalang itu bergoyang-goyang dan kudanya kini makin ketakutan, meringkik-ringkik ganas, mendengus-dengus. Kembali Hok Boan mempersiapkan tongkatnya dan ketika dia melihat muncuinya ular-ular yang datang menyerang, dia memutar tongkatnya itu, memukul remuk kepala beberapa ekor ular yang datang dekat. Akan tetapi, kuda itu menjadi ketakutan, tiba-tiba meringkik dan meloncat ke kiri, jauh sekali, ke arah padang rumput hijau.

   "Blessss...!"

   Begitu empat buah kaki kuda itu tiba di atas tanah berumput hijau, seketika kaki itu amblas ke bawah sampai seperut kuda!

   Hok Boan terkejut bukan main, namun dia memang cerdik. Dia tidak menjadi gugup dan masih ingat untuk tidak meloncat turun. Tahulah dia bahwa kudanya telah terperosok ke dalam lumpur maut yang menghisap dari bawah. Kuda itu tidak akan dapat tertolong lagi. Maka dia lalu menggunakan kuda itu sebagai batu loncatan, meloncat ke kanan dan tiba di lorong setapak tadi. Dia mendengar kudanya meringkik-ringkik dan mendengus-dengus. Ketika dia menoleh dan memandang, bulu tengkuknya meremang. Mengerikan sekali memang. Kuda itu tenggelam makin dalam, kini tubuhnya sudah tenggelam semua, tinggal leher dan kepalanya, matanya terbelalak, hidungnya mendengus-dengus, mulutnya berbusa. Bagian tubuh yang tinggal inipun tidak lama karena leher dan kepalanya segera terbenam pula dan tidak nampak lagi bekas-bekasnya.

   Rumput hijau itu sudah menjadi rata kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Hok Boan menjadi marah sekali. Dengan menggunakan pedangnya dan batu yang terdapat di situ, dia membuat api dan membakar padang ilalang yang penuh dengan ular-ular tadi. Api berkobar dan menjalar, membakar seluruh padang ilalang itu! Hok Boan sendiri menjauh, kembali ke tempat tadi karena dia merasa terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Biar tempat berbahaya itu habis terbakar lebih dulu sebelum dia melanjutkan perjalanan, pikirnya. Untung ketika dia meloncat dari atas kudanya tadi, dia tidak lupa untuk menyambar bungkusannya yang terisi pakaian dan bekal makanan. Kini, dia duduk memandang padang ilalang yang terbakar itu sambil menggerogoti roti kering. Benar juga penuturan anggauta pasukan kerajaan itu.

   Melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga akan melalui tempat-tempat berbahaya dan sampai berhari-hari tidak akan bertemu dengan dusun, maka sebaiknya membawa bekal makanan. Kalau dia tidak membawa bekal roti kering, dia bisa kelaparan. Kebakaran di Padang Bangkai itu hebat sekali. Padang ilalang itu penuh dengan ilalang kering dan sudah berbulan-bulan ini tidak turun hujan, maka tentu saja api yang mengamuk itu memperoleh bahan bakar secukupnya sehingga api berkobar-kobar membasmi seluruh padang ilalang itu selama sehari semalam! Pada hari ke dua, setelah api kehabisan makanan dan mulai padam, meninggalkan puing, abu dan asap, muncullah serombongan orang dari Padang Bangkai, memeriksa keluar dan sampai di tempat yang kebakaran itu. Mereka ini adalah Sin-jio Coa Lok bersama tiga puluh orang anak buahnya. Ketika api sedang mengamuk,

   Mereka ini tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menonton saja ketika api mengamuk hebat, merobah padang ilalang itu menjadi lautan api. Akan tetapi setelah api mulai padam, mereka lalu keluar dari sarang mereka untuk mengadakan pemeriksaan dan untuk menyelidiki apa yang menyebabkan kebakaran itu karena sepanjang pengetahuan mereka, tidak pernah ada orang berani mendekati daerah Padang Bangkai, apalagi melakukan pembakaran. Akan tetapi sekali ini mereka keliru dan memandang dengan penuh keheranan ketika mereka melihat seorang laki-laki muda berpakaian sasterawan duduk melenggut di bawah pohon. Melihat ada seorang asing di daerah ini, mereka bukan hanya merasa heran, akan tetapi juga curiga sekali. Andaikata bukan orang ini yang melakukan pembakaran, tentu orang ini melihat siapa yang melakukannya,

   Maka atas isyarat tangan kepala perampok itu, gerombolan ini lalu menghampiri pohon di mana laki-laki itu duduk di bawahnya dan mengurung pohon itu. Laki-laki itu adalah Kui Hok Boan. Tentu saja dia tahu ketika ada segerombolan orang kasar itu muncul dari Padang Bangkai. Mula-mula dia merasa heran bukan main, juga terkejut karena menurut keterangan yang diperolehnya dari angauta pasukan kota raja itu, bahwa Padang Bangkai maupun Lembah Naga kini merupakan tempat berbahaya yang kosong karena penghuninya telah dibasmi oleh para pendekar yang memimpin pasukan kerajaan. Bagaimana kini tahu-tahu muncul segerombolan orang itu? Dari gerak-gerik mereka, Kui Hok Boan, yang sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw itu sudah dapat menduga bahwa mereka adalah gerombolan penjahat,

   Setidaknya orang-orang yang kasar, yang hanya mengandalkan tenaga dan kekerasan untuk memaksakan kemauan dan keinginan mereka kepada orang-orang lain. Dan melihat laki-laki berusia empat puluhan tahun yang memegang sebatang tombak panjang itu, yang berjalan di muka dan memberi isyarat dengan tangan, dia dapat menduga pula bahwa laki-laki itu tentulah yang menjadi kepala dari gerombolan itu. Hok Boan bersikap tenang saja, malah ketika mereka melihatnya dan menghampiri dari jauh, dia sudah duduk melenggut di bawah pohon, seolah-olah tidak melihat kedatangan mereka. Akan tetapi tentu saja seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga. Pedangnya dia sembunyikan di bawah buntalan pakaian sedangkan tongkat ranting pohon itu menggeletak di dekatnya.

   "Hemm, sungguh aneh, di tempat seperti ini ada seorang sasterawan kesasar!"

   Kata Coa Lok sambil meraba dagunya.

   "Hai, kutu buku, bangunlah!"

   Akan tetapi Hok Boan masih pura-pura tidur. Dia ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh orang-orang ini sehingga dari perbuatan mereka, dia sudah dapat menilai orang-orang macam apa adanya mereka. Ketika melihat bahwa sasterawan muda itu masih enak saja melenggut, seorang anak buah perampok menjadi penasaran dan menghampiri, memegang pundak Hok Boan dan meng-guncangnya dengan kasar dan kuat-kuat. Tubuh Hok Boan tergoncang-goncang keras.

   "Heh, babi malas! Tai-ong kami menegurmu! Bangun!"

   Kui Hok Boan gelagapan, menggosok-gosok matanya, lalu bangkit duduk. Di depannya berdiri Coa Lok yang bermuka kekuning-kuningan dan yang memegang tombak panjang. Tombak itu dipegang dengan tangan dan berdiri di depannya. Sikap kepala perampok ini tidaklah begitu kasar dan buas, tidak seperti tiga puluh orang anak buahnya yang memandang dengan mulut menyeringai dan sinar mata buas.

   "Ah, siapakah kalian? Dari mana kalian datang?"

   Hok Boan bertanya dan bangkit berdiri tanpa mengambil buntalan, pedangnya maupun kayu ranting itu. Melihat sikap orang muda itu, Sin-jio Coa Lok yang mengira bahwa pemuda itu tentu seorang sasterawan yang suka melancong dan kesasar di tempat itu, bersikap lunak dan berkata,

   "Orang muda, apakah engkau tidak tahu bahwa engkau berada di daerah Padang Bangkai?"

   Hok Boan pura-pura terkejut.

   "Padang Bangkai? Betapa menyeramkan nama itu!"

   "Ha-ha-ha, dan engkau akan menjadi bangkai pula di sini, kutu busuk!"

   Terdengar seorang anak buah perampok mengejek dan terdengar suara ketawa di sana-sini.

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Orang muda, ketahuilah bahwa kami adalah penghuni-penghuni Padang Bangkai. Engkau telah memasuki wilayah kekuasaan kami. Siapakah engkau?"

   Coa Lok bertanya.

   "Namaku adalah Kui Hok Boan."

   "Bagaimana engkau bisa datang ke tempat ini?"

   "Bagaimana? Dengan berkuda, melalui padang ilalang itu. Akan tetapi segerombolan anjing liar menyerangku dan untung aku dapat mengusir mereka. Ketika segerombolan ular datang menyerang, kudaku terkejut dan meloncat ke padang rumput hijau, terbenam dan tewas. Aku mendongkol sekali dan kubakar padang ilalang itu."

   "Setan alas!"

   "Keparat jahanam!"

   "Jadi kutu buku ini yang membakarnya!"

   Tiga puluh orang itu sudah mengepung dengan sikap mengancam, akan tetapi Coa Lok mengangkat tangan kiri ke atas dan mengisyaratkan anak buahnya untuk mundur. Dia melihat sesuatu yang aneh dan mengherankan. Bagaimana sasterawan muda yang kelihatan lemah ini mampu mengusir gerombolan anjing liar yang amat galak dan buas itu? Dan setelah kudanya terbenam ke dalam lumpur maut, bagaimana sasterawan ini masih mampu menyelamatkan diri? Tentu orang ini bukanlah seorang sasterawan biasa yang lemah!

   "Kui Hok Boan, engkau telah lancang tangan membakar padang ilalang. Apa maksudmu datang ke sini?"

   Coa Lok membentak lagi.

   "Aku membakar padang ilalang itu karena padang itu membikin buruk tempat ini, membuat tempat ini merupakan tempat yang tersembunyi dan terputus dari dunia luar. Dan maksud kedatanganku ke sini? Aku hendak pergi ke Padang Bangkai dan Lembah Naga."

   Sejenak suasana menjadi sunyi ketika pemuda ini menjawab seperti itu, lalu menjadi berisik karena anak buah perampok saling bicara sendiri. Akhirnya Coa Lok mengangkat tangan menyuruh mereka diam. Dia, memandang kepada pemuda sasterawan itu penuh perhatian, lalu berkata, suaranya mengandung kemarahan.

   "Orang muda she Kui, jangan kau main-main! Padang Bangkai adalah daerah kekuasaan kami, seorangpun tidak boleh memasukinya, dan Lembah Naga adalah daerah terlarang bagi siapapun juga. Katakan, apa sebetulnya kehendakmu?"

   Kini Hok Boan tersenyum lebar dan memandang kepala perampok itu.

   "Engkau masih belum tahu? Aku datang untuk menaklukkan Padang Bangkai dan Lembah Naga!"

   Terdengar suara ketawa bergelak ketika para perampok mendengar jawaban ini. Bahkan Coa Lok sendiri tersenyum masam.

   "Orang muda, agaknya engkau telah menjadi gila!"

   Katanya.

   "Tai-ong, serahkan kepadaku untuk menyembelih anjing ini yang telah berani membakar padang ilalang!"

   Kata seorang anggauta perampok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok sehingga nampaknya menyeramkan sekali. Orang ini terkenal dengan tenaganya yang besar dan disegani di antara kawan-kawannya.

   Karena merasa bahwa orang muda berpakaian sasterawan ini memang keterlaluan, apalagi telah bersalah membakar padang ilalang yang merupakan pelindung bagi Padang Bangkai, Coa Lok mengangguk memberi ijin. Semua orang mundur untuk memberi ruang kepada si brewok yang hendak menyembelih sasterawan itu. Si brewok tinggi besar kini melangkah maju sambil menyeringai. Tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang tajam mengkilap. Matanya yang lebar itu terbelalak penuh ancaman, dan hidungnya mendengus-dengus, dia seperti seekor harimau kelaparan haus darah dan agaknya tugas membunuh orang ini mendatangkan ketegangan yang menggembirakan hatinya! Tentu saja Kui Hok Boan tidak merasa takut sama sekali. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan berkata mengejek,

   "Heh, babi gemuk, bukan aku yang akan menjadi korban golok pemotong babimu itu, melainkan engkau sendiri!"

   Dimaki babi gemuk, si brewok itu menjadi marah, apalagi karena beberapa orang kawan-kawannya tertawa mendengar ini.

   "Anjing kurus! Kau berani memaki aku? Huh, terlalu enak kalau kau disembelih begitu saja! Aku akan merobek-robek seluruh tubuhmu dengan kedua tanganku ini saja!"

   "Cappp!"

   Dia membanting goloknya ke bawah dan golok itu menancap di atas tanah sampai setengahnya, gagangnya bergoyang-goyang saking kerasnya bantingan itu.

   "Bagus! Dengan melepaskan golok, berarti engkau menyelamatkan nyawamu sendiri, babi gemuk,"

   Hok Boan berkata dan ketika si brewok itu menerjangnya dengan kedua lengan dikembangkan seperti biruang besar, tiba-tiba pemuda sasterawan itu menggerakkan kedua kakinya dan si brewok menjadi bingung karena pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya! Akan tetapi para anak buah perampok terkejut karena mereka melihat betapa tubuh sasterawan muda itu seperti seekor burung saja tadi telah melayang melalui atas kepala si brewok dan kini telah hinggap dengan kaki kirinya di atas gagang golok yang menancap di atas tanah itu! Gagang golok itu masih bergoyang-goyang dan tubuh si sasterawan juga ikut bergoyang-goyang, akan tetapi dia masih bertolak pinggang dengan kedua tangannya sedangkan kaki kanannya diangkat ke lututnya!

   "Dengarlah kalian semua! Aku datang untuk memimpin kalian dan hanya kalau pemimpin lama kalian itu mau berlutut dan minta ampun, maka aku suka mengampuninya!"

   Terdengar suara menggereng dan si brewok tadi sudah menubruk ke depan dengan kemarahan meluap. Karena Hok Boan yang berdiri di atas gagang golok itu menghadapi kepala perampok, maka si brewok menyerangnya dari belakang. Kedua tangan yang besar itu terbuka dan seperti cakar harimau hendak mencengkeramnya. Tanpa menoleh, Hok Boan mengayun kaki kanan yang tadi ditekuk ke lutut kaki kiri, dengan gerakan yang cepat sekali.

   "Wuuuuttt... desss...!"

   Tubuh si brewok terpelanting ketika perutnya bertemu dengan tendangan yang tiba-tiba ini. Kaki sasterawan itu telah lebih dulu mengenai perutnya sebelum kedua tangannya dapat menjamah tubuh lawan dan tendangan itu sedemikian kuatnya sehingga dia terpelanting dan terguling-guling.

   Coa Lok sejak ditantang tadi sudah merah mukanya. Kini matanya terbelalak dan tahulah dia bahwa sasterawan itu memang sengaja datang untuk mencari perkara, untuk memusuhinya dan ternyata bahwa sasterawan itu memang bukan orang biasa, melainkan seorang yang lihai. Dipegangnya tombaknya erat-erat akan tetapi pada saat itu, si brewok yang merasa penasaran telah bangkit berdiri dan lari menerjang lawan yang masih berdiri di atas gagang golok. Coa Lok mendiamkannya saja karena dia ingin melihat sampai di mana kelihaian lawan itu. Para anggauta perampok yang lain kini juga memandang dengan penuh perhatian tidak lagi mentertawakan si pemuda sasterawan yang ternyata adalah seorang pandai itu.

   "Haiiiitttt...!"

   Si brewok itu mengeluarkan bentakan nyaring. Sekali ini dia tidak lagi mau bertindak sembrono. Dia sudah tahu bahwa lawannya memang amat pandai, maka dia tidak lagi menubruk secara membabi-buta seperti tadi, melainkan menyerang dengan gerakan ilmu silat, memukul bertubi-tubi dengan kedua tangannya yang berlengan panjang. Pukulannya keras sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan.

   "Plak-plak-plakk!"

   Semua pukulan dapat ditangkis dengan tenang saja oleh Hok Boan dan setiap kali tertangkis, lengan ii brewok yang amat kuat dan besar itu terpental dan mulutnya meringis karena tangkisan itu membuat lengannya terasa nyeri, tulangnya seperti akan pecah rasanya.

   "Babi gendut, engkau masih juga belum jera? Nah, robohlah!"

   Tiba-tiba Hok Boan meloncat turun dan sekali kakinya bergerak, kaki kiri itu melayang ke arah muka si brewok. Tentu saja si brewok terkejut bukan main dan cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis dan menangkap kaki lawan, akan tetapi tiba-tiba dia morata kakinya lumpuh dan dia terguling roboh. Kiranya tendangan kaki ke arah muka itu hanya pancingan belaka dan yang sungguh-sungguh menyerang adalah kaki yang sobelah lagi sambil melompat, kaki ini menendang lututnya sehingga dia roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas! Dia hanya dapat rebah memegangi lututnya sambil mengeluh panjang pendek. Hok Boan membungkuk dan sekali cabut, golok itu telah berada di tangannya.

   Dia memandang kepada si brewok dan berkata.

   "Kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu, babi! Akan tetapi sudah kukatakan, aku membutuhkan kalian untuk menjadi anak buahku, maka aku tidak akan membunuhmu!"

   Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya, dia menekuk-nekuk golok itu. Terdengar suara nyaring dan golok itu patah-patah menjadi beberapa potong yang kemudian dilemparkannya ke atas tanah. Potongan-potongan golok itu menancap dan lenyap amblas ke dalam tanah, hanya tinggal gagangnya saja yang dibuangnya dengan sikap tidak perduli. Semua anak buah perampok terkejut setengah mati. Si brewok memandang pucat, lalu dia merangkak menjauhkan diri. Coa Lok yang menyaksikan ini makin kaget dan tahu bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah kecurangannya dan dia lalu membentak,

   "Hayo maju semua, keroyok dan bunuh pengacau ini!"

   Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok. Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon di mana dia, menyimpan pedang dan buntalannya. Sekali sambar dia telah mengambil pedangnya dan menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Hok Boan membentak dengan suara yang menggetarkan jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khi-kang dari pusar,

   "Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku menjanjikan penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur daripada sekarang kepada kalian! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus susah payah mengumpulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkan aku berhadapan dengan kepala kalian dan kita lihat, siapa di antara kami berdua yang lebih patut menjadi pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!"

   Ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang menguntungkan.

   "Hai, kau si muka berpenyakitan yang berlagak jagoan dengan tombakmu dan hendak memimpin sekelompok orang gagah ini! Dengar baik-baik! Kalau benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu itu dengan ranting ini saja. Pedangku tidak akan kupergunakan. Ha-ha, mukamu makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut yang beraninya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak patut menjadi pemimpin!"

   Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang, bahkan dia telah dijuluki, Si Tombak Sakti. Kalau tadi dia hendak menggunakan pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini. Sekarang, ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan sikap takut.

   "Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semua!"

   Bentaknya marah kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengejeknya.

   "Mundur dan lihat tombakku akan mengeluarkan ususnya yang busuk!"

   Perintah ini tidak perlu diulang dua kali karena semua anak buah perampok sudah melangkah mundur. Mereka ingin sekali melihat apakah kepala mereka itu benar-benar akan mampu membunuh pemuda sasterawan yang amat berani itu. Janji yang diucapkan oleh pemuda sasterawan itu menarik hati mereka.

   Juga mereka telah terkesan ketika melihat betapa pemuda itu tadi tidak membunuh si brewok tinggi besar yang menjadi teman mereka, padahal kalau pemuda itu mau, tentu si brewok itu telah tewas. Pemuda itu tidaklah sekejam dan seganas Si Tombak Sakti, maka hal ini saja sudah menimbulkan kesan baik di hati mereka. Sin-jio Coa Lok yang sudah marah sekali itu maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa takut. Dia terlalu percaya kepada tombaknya, maka dia sudah menubruk dengan kecepatan kilat, tombaknya digerakkan dan nampaklah sinar terang menyambar-nyambar ketika tombak itu membuat gerakan bergulung-gulung seperti ombak dahsyat menerjang ke arah Kui Hok Boan. Orang she Kui ini tidak melanggar janjinya, dia sudah menyambar ranting yang tadi berada di bawah pohon.

   Melihat gerakan lawan yang amat hebat itu, diam-diam dia terkejut dan cepat dia menggerakkan rantingnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia maklum bahwa senjata rantingnya tidak mungkin dapat dipergunakan untuk menangkis tombak lawan yang terbuat dari baja kuat itu, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya, mengelak dari sambaran tombak dan menggerakkan ranting untuk menotok jalan darah lawan di beberapa bagian dengan kecepatan kilat yang bertubi-tubi. Serangannya itu sudah merupakan penghambat bagi terjangan Coa Lok karena Si Tombak Sakti itu tentu saja maklum akan bahayanya totokan-totokan yang biarpun hanya dilakukan dengan sebatang ranting, namun didorong oleh tenaga sakti yang kuat. Ilmu tombak yang dimainkan oleh Coa Lok adalah ilmu tombak keturunan yang amat hebat. Semenjak nenek besarnya,

   

Dewi Maut Eps 2 Dewi Maut Eps 5 Dewi Maut Eps 33

Cari Blog Ini