Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 49


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 49



Dan menangislah Sun Eng. Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Di dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya,

   Yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhunya sendiri? Akan tetapi, kalau mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini terhadap sutenya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya. Tentu saja kalau menurut suara hatinya sendiri, diapun akan merasa kecewa melihat sutenya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sutenya. Maka dia menarik napas panjang.

   "Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah suteku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicara lebih lanjut.

   Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama sucinya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Maka dia segera menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seolah-olah dia telah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi. Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sutenya dan dia setuju sepenuhnya kalau suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sutenya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.

   "Hal itu tidak mungkin dapat kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku berani bersama suamiku bertindak sedemikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain kalau andaikata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus kau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah kepadaku kalau aku sampai berani selancang itu. Maka, kau maafkanlah kami berdua, sute."

   Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng.

   Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, juga suami isteri yang kaya ini menyediakan sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng. Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Makin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarganya, makin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng!

   Oleh karena itu, biarpun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, namun di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri! Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang sudah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah ini? Beharkah bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?

   Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalanpun akan makin lama makin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Kemudian, se-telah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali. Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tiada putus-putusnya! Seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut namun sesungguhnya tidak baik bagi perut. Ketika makan amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri.

   Baru setelah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Namun, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah! Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda sehingga senang dan susah tak terpisahkan, lalu timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan kesenangan itu!

   Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran inilah pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran. Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!

   Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua kewaspadaan dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.

   Yap Mei Lan dan suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, maka banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang nampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, sedangkan bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan. Sejak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampah dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.

   "Waspadalah, orang itu mencurigakan sikapnya,"

   Bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biarpun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya.

   Pemuda itu agaknya bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengah langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk. Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki halaman rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya. Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang memiliki hubungan luas sekali, bahkan dengan luar negeri, maka tidaklah mengherankan andaikata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidaklah curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.

   "Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara, datang dari mana dan hendak mencari siapa?"

   Tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah. Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya.

   Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Sepasang mata yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, akan tetapi pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya! Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, lalu terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikitpun tidak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang tidak pernah dikenalnya,

   "Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?"

   Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, melainkan merah karena marah.

   "Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!"

   Akan tetapi pemuda itu sudah menggerakkan tangannya dengan kesal.

   "Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?"

   Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegab isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.

   "Kami tidak mengerti mengapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang benar bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?"

   Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya. Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan.

   "Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku."

   Makin kaget kedua orang suami isteri itu.

   "Siapakah engkau manusia sombong?"

   Yap Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

   "Ha-ha, ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan lebih dulu sebagai sandera dan baru setelah keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau akan kubebaskan lagi."

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia sudah mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.

   "Siapa sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apapun terhadap pemerintah. Ke dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Ke tiga, andaikata benar engkau pangeran, akupun tidak akan sudi menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak!"

   "Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apalagi terhadap wanita secantik engkau..."

   "Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!"

   Yap Mei Lan sudah membentak dan diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang kecil namun yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

   "Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan semua kepandaianmu!"

   Kata Han Houw yang memang gembira melihat betapa pukulan wanita ini hebat sekali, hal yang memang sudah disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, melainkan puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat membalas Mei Lan stidah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu bergerak amat cepatnya, kadang-kadang berputar seperti gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seolah-olah telah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!

   "Bagus sekali...!"

   Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis. Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu,

   Dan dia mengisi kedua lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok Beng Lama! Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan memiliki dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Dan di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, diapun mewarisi khi-kang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan. Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran ini memiliki tenaga yang amat kuat!

   Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggauta keluarga Cin-ling-pai, atau golongan mereka, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, maka biarpun kini yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut, dia sama sekali tidak berani memandang ringan. Maka diapun bersilat dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya. Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan diapun lebih banyak bertahan daripada menyerang, karena dia ingin sekali melihat lawannya ini mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera.

   Melihat betapa isterinya agaknya belum juga mampu mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pangeran itu, akan tetapi sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya berkelahi dengan orang lain. Maka dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga Im-yang-sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan kadang-kadang menyelingi dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu totokan satu jari yang ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.

   "Hemm, bagus!"

   Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira. Dia melihat bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan maupun tenaganya, namun memiliki ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw memang telah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main.

   Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia tahu bahwa pangeran ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya. Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang menggetarkan keadaan sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai terhuyung dan meloncat ke belakang tergetar oleh suara isterinya itu. Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu dipergunakan oleh Mei Lan untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

   "Plak-plak-plakkk!"

   Han Houw terhuyung dan biarpun dia berhasil menangkis, namun serangan itu amat hebatnya, membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit dan cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.

   "Ha-ha-ha!"

   Han Houw tertawa dan diapun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi. Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya. Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia terkejut dan terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu.

   "Lebih baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikkanmu tentu aku akan bersikap manis kepadamu."

   Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah.

   "Manusia busuk!"

   Bentaknya dan diapun sudah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring,

   "Manusia dari mana berani mengacau di sini?"

   Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada Han Houw.

   "Ehh!"

   Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat dan menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan
(Lanjut ke Jilid 46)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 46
kirinya menyapok dan ketika kaki Kwi Beng tertangkis, tubuhnya terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau tidak segera disambar lengannya oleh Mei Lan. Lie Seng terkejut sekali melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari pukulan-pukulannya yang hebat tadi dan betapa mudahnya pula dia membuat tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apalagi dia melihat sendiri betapi sucinya dan suami sucinya tidak mampu mengalahkannya.

   "Pengacau, siapakah engkau?"

   Bentaknya.

   "Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk menangkap aku katanya!"

   Kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi, hatinya besar dengan munculnya sutenya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Kalau sutenya ikut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini. Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si pernah menyebut-nyebut pangeran ini, bahkan menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu mampu mengundurkan pasukan pemerintah!

   "Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?"

   Tanyanya meragu.

   "Benar, dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."

   Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, sebaliknya dia malah menegur,

   "Kalau begitu, mengapa engkau hendak menangkap suciku ini? Apa salahnya?"

   "Ha-ha, agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah."

   "Hemm, mana aturan demikian? Kalau memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menangkapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andaikata benar mereka melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Kalau hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap!"

   Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum dan meragu.

   "Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"

   "Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw itu seorang yang baik dan gagah, akan tetapi kalau benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"

   Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

   "Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tidak akan membangkang lagi karena akupun tidak ingin menggunakan kekerasan!"

   Setelah berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu. Para tetangga yang berkerumun di depan, melihat perkelahian itupun lalu bubar karena mereka tidak berani mencampuri.

   "Mari kita bicara di dalam!"

   Kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan diliputi kegelisahan. Setelah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan.

   "Pangeran itu benar-benar memiliki kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!"

   Ucapan yang sejujurnya dari suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Sucinya itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, dan kini sucinya mengatakan bahwa dia tidak mampu mengalahkan pangeran ini!

   "Bagaimanapun juga, kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan dapat banyak berlagak!"

   Kata Lie Seng, masih merasa terkejut. Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukanlah seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah."

   Melihat wajah suaminya penuh kegelisahan itu, Mei Lan jadi ikut khawatir.

   "Jadi, bagaimana sekarang baiknya?"

   Tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri. Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan melihat Lie Seng berada di situ bersama sucinya dan suami sucinya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada.

   "Ahhhh... syukurlah kalian tidak apa-apa..."

   Katanya terengah.

   "Aku... aku mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."

   Lie Seng sudah merangkul kekasihnya dan membawanya duduk menghadapi meja.

   "Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah."

   Lalu dengan singkat dia menceritakan tentang munculnya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak. Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata,

   "Kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?"

   "Ah, tidak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkaupun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah. dituduh pemberontak. Kalau kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya."

   "Ohhh...?"

   Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu.

   "Habis, bagaimana baiknya?"

   "Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi,"

   Jawab Lie Seng. Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan karena mereka merasa tegang dan khawatir.

   "Melawan tidak boleh, jadi... apakah kita harus melarikan diri?"

   Akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.

   "Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain..."

   Kata suaminya.

   "Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh dibilang semua pejabat dari yang rendah sampai yang tinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kauberikan kepada mereka bahkan lebih besar daripada gaji yang mereka terima!"

   Isterinya mencela. Souw Kwi Beng menarik napas panjang.

   "Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah amat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya jauh lebih besar dan para pejabat di sini tentu tidak dapat menentangnya. Betapapun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."

   Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu dan cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebgai seorang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai.

   "Saya tidak dapat bicara banyak dan lama,"

   Kata orang itu setelah dipersilakan duduk.

   "Saya diutus oleh taijin untuk menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari Kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota untuk mengerahkan pasukan dan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu, dan taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, kalau mungkin menyeberang lautan!"

   Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itupun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang.

   "Nah, tidak urung begini jadinya,"

   Kata Souw Kwi Beng.

   "itulah jalan satu-satunya. Isteriku, cepatlah berkemas. Kita membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan kepada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan."

   Yap Mei Lan nampak gelisah.

   "Ah, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?"

   "Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu mempunyai banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku..."

   "Mari kalian ikut saja bersama kami!"

   Kata Souw Kwi Beng. Lie Seng menggeleng kepala.

   "Terima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, dan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kitapun akan segera pergi hari ini juga."

   Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biarpun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, namun menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan dan keduanya berpelukan dan menangis.

   "Enci, hati-hatilah di jalan..."

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sun Eng berkata.

   "Engkaupun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal..."

   Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamamya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan terharu hatinya.

   Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Sedangkan Lie Seng sibuk membantu sucinya dan cihunya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya dan menunjuk beberapa orang untuk mengatur perusahaannya. Persiapan itu dilakukan secepatnya dan lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh sucinya dan cihunya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam. Teringatlah dia kepada Sun Eng dan cepat dia berjalan pulang.

   Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya. Akan tetapi, ketika tiba di rumah, dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng di dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja. Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!

   Kanda Lie Seng tercinta.

   Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu dan keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber malapetaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali inipun karena cintaku kepadamu.

   Yang mencinta selamanya,
Sun Eng

   "Eng-moi...!"

   Lie Seng mengeluh. Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu? Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu.

   Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti. Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apalagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Kini, mendadak muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang sudah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik. Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ah, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?

   "Sun Eng...! Eng-moi...!"

   Lie Seng mengeluh dan tanpa memperdulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya! Akan tetapi, dalam penyelidikannya, dia mendengar bahwa pangeran itu kini menjadi tamu agung di gedung Ciong-taijin, kepala daerah kota Yen-tai! Dan menurut hasil penyelidikannya, dia mendengar Sun Eng tidak berada di tempat itu. Hatinya merasa lega, akan tetapi segera dia merasa bingung kembali karena dia tidak tahu ke mana dia harus menyusul dan mencari Sun Eng. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, karena menurut suratnya, Sun Eng hendak berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai.

   Ini berarti bahwa tentu kekasihnya itu akan pergi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah atas nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja? Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya. Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi malapetaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tidak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus memperlihatkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng.

   Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya dengan penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tidak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan menbperlihatkan kepada mereka bahwa biarpun dia pernah menyeleweng, namun dia masih memiliki kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa! Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan amat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng.

   Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selatu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri! Demikianlah, dia mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng sehingga pria inipun sampai tidak memperdulikan lagi semua benda itu, bahkan pergi tanpa membawa apapun! Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudah dapat melakukan penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan.

   Dia melihat betapa pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu saja suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan. Pangeran Ceng Han Houw menjadi kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tidak membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin agar terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk para pegawai, dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana diapun mendapatkan rumah kosong belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.

   Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke utara karena dia hendak kembali ke kota raja. Akan tetapi dua hari kemudian, ketika kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Kusir kereta tentu saja menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apalagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek sehingga nampaklah kulit paha yang putih mulus!

   Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu dan dia sudah meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup akan tetapi keadaannya memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan. Han Houw membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Ketika tubuh itu membalik, dia terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus sekali dan agaknya tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang menggairahkan, dengan bibir penuh lembut dan lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah.

   Usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakaian yang robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai masak! Cepat Han Houw meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari pengetahuannya yang cukup tentang keadaan tubuh manusia, dia mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya amat lelah dan mungkin sekali kelaparan! Wanita itupun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan mata dan mulut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw terpesona. Mata itupun amat indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya terselimut duka yang mendalam. Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik,

   "Biarkan aku mati... ah, biarkan aku mati..."

   "Hemm, engkau masih muda dan cantik, kenapa ingin mati, nona?"

   Wanita muda itu menangis sesenggukkan.

   "...lebih baik mati daripada hidup merana... aku akan tersiksa..."

   "Hemm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekalipun takkan berani mengganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut bersamaku, nona."

   Wanita itu bangkit duduk dengan lemah, matanya yang seperti hendak terpejam saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang tampan itu.

   "Kau... kau... siapakah...?"

   Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya.

   "Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!"

   "Aduhh...! Ampunkan hamba...!"

   Wanita itu cepat berlutut dan memberi hormat, akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau tidak cepat dirangkul Han Houw.

   "Siapa namamu?"

   "Hamba... hamba she Sun bernama Eng..."

   Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat hatinya makin berdebar penuh gairah.

   "Maukah engkau ikut bersamaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?"

   Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.

   "Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba..."

   Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik oleh kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya.

   "Suamimu...?"

   "Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu... hamba tentu akan dibunuhnya..."

   Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum.

   "Engkau lari darinya? Mengapa engkau lari dari suamimu?"

   "Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biarpun dia kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak dapat menahan lagi dan hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga malam hamba lari... hamba tidak makan dan..."

   Semakin girang hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu dengan ujung hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya dan membuat suara dengan napasnya seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria lain!

   "Pangeran...! Jangan..."

   Tentu saja sikap ini amat menyenangkan bagi Han Houw dan dia tersenyum.

   "Kalau begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja. Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujebloskan ke dalam penjara!"

   Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng dan dibawanya ke dalam kereta. Tirai kereta ditutup dan dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!

   Dapat dibayangkan betapa senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu. Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang diciuminya itu adalah Lie Seng, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan diri kepada seorang pria lain, betapapun tampan, gagah dan tingginya kedudukan pria yang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan perasaan hancur. Inilah satu-satunya jalan, pikirnya.

   Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai dengan menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia dapat memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie Seng. Diam-diam Sun Eng merasa heran betapa cintanya terhadap Lie Seng telah merubah dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu bahwa dulu, sebelum dia bertemu dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa girang bukan main bertemu dengan se-orang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, dan berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya?

   "Eh, kenapa engkau menangis?"

   Bisik pangeran itu di dekat telinganya setelah puas menciuminya dan melihat ada beberapa butir air mata menuruni kedua pipi yang halus dan kemerahan itu.

   "Hamba... hamba takut..."

   Bisik Sun Eng.

   "Takut? Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan melindungimu dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, berhenti di kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!"

   Kata Pangeran Ceng Han Houw ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota. Sun Eng digandeng turun setelah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah dan pangeran itu bersama Sun Eng disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan! Han Houw diberi kamar terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw,

   Kepala daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berduapun dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa seolah-olah dia hidup dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pesta untuk menghormati dan menyenangkan dia! Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika malam itu dia terpaksa harus melayani sang pangeran bermain cinta. Dia hanya dapat menyerah, bahkan demi untuk tercapainya rencana yang dijalankannya, dia tidak hanya melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya daripada itu, dia mempergunakan kepandaian dan pengala-mannya untuk menyenangkan pangeran itu. Pangeran Ceng Han Houw semakin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini merangkul dan bertanya,

   "Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua kelihaianmu yang penuh gairah ini?"

   Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.

   "Ah, pangeran... saya yang setiap hari menderita... merasa tersiksa dalam pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang mengangkat tubuhnya sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... maka, tentu saja saya merasa amat berterima kasih dan girang..."

   Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu, Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang lain. Selir-selir seorang bangsawan atau hartawan pada waktu itu tidak ada yang berani menentang kalau suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil selir baru. Apalagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk dan takut sekali kepada sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.

   Sun Eng memang mengalami kehidupan yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para pelayan, hidup serba mewah dan satu-satunya pekerjaan hanyalah bersama para selir lain melayani sang pangeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran sehingga sampai beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling dipercaya oleh Han Houw. Mempergunakan saat-saat sang pangeran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, sewaktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi sedikit Sun Eng dapat memperkuat kepercayaan pangeran itu kepadanya sehingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran!

   "Aku adalah putera tiri Raja Sabutai yang besar!"

   Demikian dalam "mabuknya"

   Sambil membelai Sun Eng penuh gairah berahi Han Houw berbisik.

   "Dan aku menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago Nomor Satu di dunia ini!"

   Perlahan-lahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng dapat "menuntun"

   Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya. Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, setelah menjadi jago nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan diapun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar merekapun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.

   "Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi Kaisar, bukan?"

   Sun Eng merangkul manja.

   "Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain manapun yang lebih pantas menjadi Kaisar selain paduka."

   Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu.

   "Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!"

   "Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu..."

   "Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih."

   "Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba..."

   Demikianlah, dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja. Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya mcrupakan kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih. Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu.

   Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lain membawa buah-buahan segar, dan ada pula selir yang sedang melakukan tari sutera indah yang diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu. Sun Eng nampak diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali setelah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang lelah dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tidak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung.

   Pangeran itu terlampau lelah karena setelah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu berahinya dengan para selir lain. Di dalam hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil daripada semua pengorbanannya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah Kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal. Pertama karena keluarga itu adalah musuh besar subonya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justeru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai! Kalau demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini!

   Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, mempergunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada Kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri daripada seorang selir pangeran! Pada saat itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Mendengar tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan dan penuh semangat, dan dengan berseri dia berkata,

   

Dewi Maut Eps 12 Petualang Asmara Eps 38 Dewi Maut Eps 35

Cari Blog Ini