Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 53


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 53



"Sin Liong, hati-hatilah...!"

   In Liong tersenyum.

   "Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku."

   Setelah berkata demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke kanan, perlahan saja agar tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun dan tergantung kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi juga dipegangnya dengan kedua tangan itu. Dari bawah batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong untuk memanjat naik melalui tali dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat tubuhnya naik ke atas batu. Dia berhasil! Dan dengan mudah! Cepat Sin Liong melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang mengikat batu, lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan demikian dia merasa lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi Cu sambil berkata,

   "Tangkaplah!"

   Bi Cu menangkap ujung tali dan mengikatnya ke pinggangnya. Melihal dara itu nampak ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata,

   "Bi Cu, jangan takut. Mudah saja, dan kaulihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku, berarti kalau engkau jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah bersama-sama lagi bukan?"

   Ucapan itu menolong banyak, karena, kini Bi Cu mendaki naik ke tempat Sin Liong berayun tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan, memejamkan matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan memegangi tali di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya terayun-ayun di udara!

   "Nah, memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu,"

   Terdengar suara Sin Liong di atasnya dan tanpa membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan akhirnya dia ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh menggigil! Sin Liong membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi Cu menjadi tenang kembali, tiada hentinya berbisik membesarkan hati,

   "Kita berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di atas!"

   Setelah Bi Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka mendaki seperti tadi, dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian yang sama sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan kedua telapak tangan lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas, di daratan yang aman, di "dunia"

   Yang lama. Keduanya menggulingkan diri di atas tanah di tepi jurang, terengah-engah dengan mulut terbuka tertawa, akan tetapi dengan mata basah air mata.

   "Kita selamat!"

   Sin Liong berkata.

   "Terima kasih kepada hujan!"

   Bi Cu berseru lalu dara itu berlutut dan menyembah-nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya hujan kemarin!

   "Kepada hujan? Kepada Thian (Tuhan) maksudmu...?"

   "Tidak, kepada hujan!"

   Bi Cu membantah.

   "Bukankah hujan yang menyelamatkan kita? Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak ada huian yang membuka jalan mana mungkin kita naik ke sini?

   "Tapi Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga kita tertolong."

   "Aku tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak tahu siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu memungkinkan kita masih dapat hidup sekarang ini, maka akuu berterima kasih kepada hujan kemarin!"

   Sin Liong tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang mengatur air hujan? Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa Naga Pengatur Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat itu, yang mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para malaikat untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini. Jadi siapa yang berjasa menyelamatkan mereka? Tidak ada artinya untuk bercekcok tentang teori itu karena bagaimanapun juga, tidak ada seorangpun manusia yang mengetahui dengan sesungguhnya tentang siapa yang mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi Cu, air hujan kemarin itulah yang menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat dibantah lagi, karena merupakan kenyataan sesungguhnya.

   Apa yang terjadi di balik kenyataan itu adalah rahasia, dan memperbantahkan sesuatu yang rahasia, yang tidak diketahui, hanya merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan pertentangan saja. Dan dia jelas tidak ingin bertentangan dengan Bi Cu. Akan tetapi, tiba-tiba Bi Cu mengeluh dan terguling roboh! Sin Liong terkejut sekali, menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas sekali, akan tetapi ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu tersereg demam! Inilah akibat perut kosong, tekanan batin yang amat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, kemudian kehujanan dan kedinginan semalam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang amat luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi.

   "Bi Cu...! Bi Cu...!"

   Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan, memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tak jauh dari tepi jurang itu. Dia harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin Liong tidak merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang.

   Kita tinggalkan dulu dengan dada lapang Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil lolos dari bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng Han Houw di istananya di kota raja. Biarpun pangeran ini melihat kegiatan-kegiatan dilakukan oleh istana, bahkan dia mendengar pula bahwa istana mengumumkan pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak ada tindakan atau perintah sesuatu dari istana yang ditujukan kepada dirinya. Oleh karena itu dia merasa agak lega, sungguhpun semenjak peristiwa kehilangan surat Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara maupun dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati. Ada dua kemungkinan, pikirnya.

   Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu. Atau, sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga tidak mau menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar memerintahkan tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dan dia tahu siapa yang ditunjuk oleh kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih! Malam itu sunyi sekali di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik ini sudah lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan diapun sudah menyuruh Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Akan tetapi para pengawalnya yang merupakan orang-orang kepercayaannya,

   Telah dipesan agar berjaga dengan hati-hati sekali jangan sampai kebobolan seperti ketika Sun Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti para pengawalnya dengan orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup boleh diandalkan. Dan pada malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di pintu gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga. Ketika menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal oleh para pengawal sebagai cincin sang pangeran,

   Cincin tanda bahwa wanita ini adalah kepercayaan sang pangeran! Tentu saja para pengawal bersikap hormat, lalu mempersilakan wanita itu menanti di dalam ruangan tamu sedangkan kepala pengawal tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana. Ketika Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk hatinya. Pertama tentu saja perasaan girang karena dia sudah dapat menduga siapa adanya wanita itu. Hanya ada satu wanita di dunia ini yang pernah diberinya cincin kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si! Dan kedua dia merasa curiga dan juga tegang. Dara perkasa itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan biarpun saling mencinta dengan dia, Akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa dia dimusuhi pula oleh keluarga Cin-ling-pai,

   Apakah dara itu akan tetap mencintanya dan apakah tidak akan memusuhinya pula? Diam-diam dia lalu mengatur sikap dan secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik yang telah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu. Setelah merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke ruangan tamu untuk menyambut. Ketika dia membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie Ciauw Si. Nampak makin cantik dan makin gagah saja. Sebaliknya, Ciauw Si juga memandang kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian yang gemerlapan dan indah!

   "Nona Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!"

   Akhirnya Han Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan dara itu. Ciauw Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa rindu kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan pertemuan ini.

   "Pangeran, engkau baik-baik selama ini, bukan?"

   "Tentu saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!"

   Dan pangeran itu merangkul, terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan dirinya dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan.

   "Cukup pangeran..."

   Katanya sambil melangkah mundur.

   "Tapi, Si-moi..."

   "Pangeran, akupun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi suami isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri..."

   Pangeran itu maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Pula, dia memang sungguh mencinta dara ini dan tidak ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya karena dorongan nafsu berahi semata. Terhadap Ciauw Si dia mempunyai perasaan lain. Bukan semata-mata nafsu berahi, melailnkan dia memang kagum dan suka sekali kepada wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan selir, agaknya inilah pilihannya.

   "Si-moi, mari masuk. Ahh, engkau malam-malam begini datang? Tentu belum makan malam."

   Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya.

   "Saya tidak akan lama, pangeran, hanya akan membicarakan sesuatu yang penting, yaitu hendak mohon bantuanmu..."

   "Aih, Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling berpisah. Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi? Itu namanya menyiksa perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi."

   Ciauw Si memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu demikian ramah dan diapun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini. Pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan kamar sendiri? Tidur di rumah penginapanpun sama saja, tidur bersanding kamar dengan orang lain, malah orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah. Bagi seorang gadis kang-ouw, tidur di manapun tidak ada halangannya. Apalagi tidur di dalam sebuah kamar tersendiri dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi keindahan istana itu yang dengan perabot-perabot indah dan mewah, lukisan-lukisan yang amat indah.

   "Silakan, inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan?"

   "Tidak, tidak... aku tidak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air hangat saja... dan..."

   Seorang pelayan wanita yang muda dan cantik menghampiri,

   "Perintahkan segalanya kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona."

   Pangeran Ceng Han Houw tersenymm.

   "Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti, Si-moi."

   Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri. Diam-diam Ciauw Si girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian tinggi, juga amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan. Ciauw Si mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya dalam buntalan. Tak lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemputnya untuk diajak makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Akan tetapi pangeran itu memandangnya penuh kagum.

   "Engkau nampak makin cantik dan gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!"

   Memang dia seorang pria yang pandai merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa girang sekali. Wanita mana yang tidak akan merasa girang kalau dipuji? Apalagi yang memuji adalah pria yang dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak pernah berpisah dari tubuhnya, terselip di punggungnya.

   Ketika mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana terdapat pot-pot bunga, di situ telah menanti enam orang wanita muda yang berpakaian mewah dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut pangeran dan Ciauw Si. Hidangan telah diatur di atas meja, masih mengepulkan uap karena masih panas. Para wanita itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan pangeran dan Ciauw Si duduk. Sementara itu, di luar ruangan itu terdengar suara musik dan nyanyian yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik pula. Seluruh ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari pakaian para wanita itu. Ciauw Si tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan alis berkerut, kemudian dia bertanya kepada Han Houw,

   "Pangeran, siapakah mereka ini? Pelayan-pelayan?"

   Tanyanya meragu karena tidak mungkin pelayan berpakaian begini indah, apalagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukan seperti pelayan yang menghormat, melainkan sikap yang merayu! Pangeran Ceng Han Houw tersenyum bangga.

   "Mereka ini? Ah, mereka ini adalah selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan itu..."

   "Pangeran, suruh mereka pergi!"

   Tiba-tiba Ciauw Si berkata dengan suara dingin dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut, juga Han Houw terkejut dan bingung.

   "Eh... ini..."

   Dia tergagap.

   "Cukup, suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!"

   Melihat sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw lalu melambaikan tangan menyuruh para selir itu meninggalkan ruangan makan. Para selir itu cemberut dan mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah.

   "Yang main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin bicara denganmu, pangeran!"

   Kata Ciauw Si tegas.

   "Baiklah... baiklah...!"

   Pangeran Ceng Han Houw lalu memberi isyarat kepada para pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Sebentar saja mereka sudah pergi semua dan mereka kini hanya berdua saja, Ciauw Si masih berdiri, belum mau duduk.

   "Nah, mereka telah pergi, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum bicara, Si-moi."

   Ciauw Si duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan pandang matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan tajam dan pertanyaannya mengejutkan pangeran itu,

   "Pangeran, aku minta ketegasan. Apakah engkau cinta sungguh-sungguh kepadaku?"

   Pangeran Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula.

   "Tentu saja, Si-moi. Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku."

   "Pangeran, aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku tahu bahwa memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak selir, baik sebelum maupun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang wanita yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku hanya mau satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita makin akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah selir-selirmu!"

   "Tapi... tapi... apa artinya ini...?"

   Pangeran berkata tergagap karena kata-kata yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya.

   "Artinya sudah jelas, pangeran. Kalau engkau mencintaku, itu berarti bahwa aku akan menjadi isterimu, dan kalau aku menjadi isterimu, aku tidak ingin melihat engkau mempunyai selir seorangpun. Inilah syaratku, tinggal terserah kepadamu sekarang, pangeran."

   Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw sudah dapat menenangkan dirinya kembali. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

   "Baiklah, Si-moi. Tentu saja permintaanmu itu amat pantas den aku setuju sekali. Sekarang juga aku akan perintahkan agar mereka itu dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing!"

   Ciauw Si sendiri kaget mendengar keputusan mendadak itu, akan tetapi sebelum dia sempat berkata-kata, pangeran itu telah memberi tanda tepukan tangan den muncullah seorang pengawal dari pintu belakang. Biarpun seorang pengawal tadi sudah disuruh pergi meninggalkan ruangan itu, namun mereka itu siap siaga di luar ruangan, menjaga kalau-kalau sang pangeran memanggil mereka.

   "Laporkan kepada kepala pengawal bahwa malam ini juga semua selirku harus disuruh pergi dari istana, dan boleh antarkan mereka pulang ke rumah orang tua masing-masing. Hadiah dan kerugian untuk mereka semua akan kukirim kemudian. Laksanakan perintah ini sekarang juga. Mengerti?"

   Pengawal itu membelalakkan mata seolah-olah tidak mendengar dengan baik atau merasa ragu akan perintah yang dianggapnya aneh itu. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kekeliruan salah dengar yang mengakibatkan dirinya celaka, dia berdiri tegak dan mengulang,

   "Paduka memerintahkan agar semua selir paduka malam ini juga dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing, dan bahwa hadiah untuk mereka akan paduka kirimkan kemudian?"

   "Benar. Lekas laksanakan sekarang juga!"

   "Baik, pangeran!"

   Pengawal itu lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat dan Ceng Hen Houw menoleh dengan senyum kepada kekasihnya, lalu memegang tangan kekasihnya dan digandengnya ke meja makan dan dipersilakannya dengan halus nona itu duduk.

   "Sudah puaskah engkau sekarang?"

   Ciauw Si tersenyum manis dan wajahnya berseri.

   "Sungguh tak kuduga bahwa pangeran akan memenuhi permintaanku seketika. Aku girang dan berterima kasih sekali, pangeran. Kini aku tidak ragu-ragu lagi akan cinta kasihmu kepadaku."

   Mereka lalu makan minum sambil kadang-kadang saling berpandangan mesra. Ceng Han Houw berani mengambil keputusan demikian cepat tentang selir-selirnya bukan karena dia tidak sayang kepada selir-selirnya itu, sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa keadaannya pada waktu itu terancam, rahasianya mungkin sudah diketahui oleh kaisar. Dalam keadaan terjepit ini dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, kalau sewaktu-waktu dia akan turun tangan atau harus membela diri.

   Dan Ciauw Si dalam hal ini jauh lebih berharga daripada para selirnya itu. Apalagi kalau diingat bahwa di belakang Ciauw Si ini berdiri keluarga Cin-ling-pai yang memiliki banyak orang sakti. Kalau dia dapat memperisteri Ciauw Si dan menarik keluarga Cin-ling-pai menjadi pembantu-pembantunya atau setidaknya menjadi sahabat-sahabat atau keluarga, tentu kedudukannya akan menjadi lebih kuat. Dibandingkan dengan kemungkinan yang amat baik ini, apa artinya beberapa orang selir itu? Tentu saja dia merelakan selir-selirnya untuk kemungkinan yang jauh lebih menguntungkan itu. Setelah mereka selesai makan dan sang pangeran memanggil pelayan membersihkan meja, dia mengajak Ciauw Si duduk di dalam taman yang penuh bunga dan diterangi lampu merah, di dekat kolam ikan. Hawanya sejuk sekali di situ, dan sunyi.

   "Nah, sekarang katakanlah, keperluan apakah yang hendak kausampaikan kepadaku, Si-moi?"

   "Pangeran, kedatanganku ini selain hendak mengunjungimu seperti yang pernah kita janjikan ketika kita saling jumpa dahulu, juga untuk minta pertolonganmu. Engkau tentu telah mengetahui, pangeran, bahwa ibu kandungku, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan juga bibi Yap In Hong, pendeknya semua keluarga Cin-ling-pai, oleh pemerintah dianggap sehagai pemberontak dan buruan."

   Pangeran Ceng Han Houw memang sudah menduga akan hal ini, maka dia tidak terkejut dan mengangguk sambil tersenyum, matanya penuh kagum memandang bibir yang sedang bicara tadi.

   "Maka, aku mohon bantuanmu agar fitnah yang dijatuhkan atas diri keluarga kami itu dapat dicabut, agar keluarga kami yang semenjak dahulu tidak pernah memberontak itu dibebaskan dari tuduhan. Harap engkau suka membujuk kepada sri baginda kaisar agar bersikap dan bertindak bijaksana..."

   Ciauw Si menghentikan kata-katanya karena dia melihat pangeran itu menarik napas dan menggeleng-geleng kepala. Jantungnya berdebar dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya.

   "Bagaimana, pangeran?"

   Dia mendesak.

   "Ciauw Si moi-moi, agaknya engkau belum tahu akan kedudukanku. Dengarlah, aku hanyalah adik tiri dari kaisar, dan sejak kecil aku ikut ibu kandungku yang menjadi permaisuri Raja Sabutai. Biarpun aku diterima oleh mendiang ayah kandungku dan sampai sekarang aku dianggap pangeran di sini, namun diam-diam kaisar membenciku. Oleh karena itu, kalau aku menghadap kaisar dan mengusulkan agar keluarga Cin-ling-pai dibebaskan, bukan saja hal itu akan sia-sia, bahkan tentu kaisar akan memperoleh alasan untuk menangkap aku yang akan dituduhnya bersekongkol dengan pemberontak dan buruan. Kalau engkau menghadap, tentu engkau akan ditangkap pula. Tidak mungkinlah untuk mengharapkan aku dapat membujuk kaisar sampai berhasil."

   Mendengar penuturan ini, tentu saja Ciauw Si menjadi terkejut dan kecewa sekali. Seketika lenyap harapannya untuk dapat menyelamatkan keluarganya dengan perantaraan pangeran ini.

   "Ah, lalu bagaimana baiknya...?"

   Dia berkata lirih. Ceng Han Houw memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya.

   "Si-moi, jangan khawatir. Aku masih mempunyai pengaruh besar di antara para pembesar di seluruh daerah. Akan dapat kuusahakan agar para pembesar daerah tidak lagi mengejar-ngejar keluargamu sebagai keluarga pemberontak. Akan tetapi, kita tidak mungkin dapat mengharapkan pengampunan dari kaisar lalim!"

   "Pangeran...!"

   Ciauw Si terkejut mendengar kekasihnya itu menyebut kaisar lalim.

   "Apalagi dia kalau bukan kaisar lalim? Ingat, selamanya keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah perkasa yang tidak pernah memberontak, bukan? Akan tetapi, kaisar lalim ini menuduh mereka sebagai pemberontak! Oleh karena itu, kita harus menentang dia, Si-moi! Jalan satu-satunya untuk menolong keluargamu, juga untuk menolong rakyat dari kelalimannya hanyalah dengan jalan menentangnya!"

   "Tapi... tapi, pangeran... maaf, bukankah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai justeru adalah sucimu yang bernama Kim Hong Liu-nio dan gurumu yang bernama Hek-hiat Mo-li?"

   Pangeran Ceng Han Houw menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.

   "Engkau salah mengerti, Si-moi. Memang tentu saja bekas guruku itu, aku telah menjadi murid orang sakti lain sekarang. Hek-hiat Mo-li merupakan musuh dari keluarga Cin-ling-pai akan tetapi ia merupakan urusan pribadi antara Hek-hiat Mo-li dan keluarga Cin-ling-pai. Dan kurasa suci Kim Hong Liu-nio hanyalah menjalankan tugas sebagai murid saja. Akan tetapi, kaisar lalim mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng dan dengan pengerahan pasukan menyuruh suci dan subo itu untuk menyerang keluargamu! Tentu saja suci tidak berani membantah kehendak kaisar yang merupakan perintah. Jadi, yang menjadi biang keladi adalah kaisar lalim. Oleh karena itu harus kita tumpas dia!"

   Dengan pandainya Ceng Han Houw memutarbalikkan kenyataan sehingga Ciauw Si yang merupakan seorang gadis kang-ouw yang jujur itu terpikat juga akhirnya. Hatinya mulai menjadi panas kepada kaisar yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai, yang menurut pangeran kekasihnya, merupakan golongan yang berbahaya bagi kerajaan!

   "Bagi kaisar lalim, golongan-golongan yang tinggi ilmunya merupakan ancaman bahaya bagi keselamatan kerajaan, oleh karena itu dilakukan pembasmian besar-besaran. Dan semua ini adalah siasat yang diatur oleh Pangeran Hung Chih yang menjilat-jilat kepada kaisar. Bahkan aku mendengar kabar bahwa Pangeran Hung Chih sedang mengumpulkan orang-orang pandai yang dapat dibelinya untuk menghadapi aku."

   "Ahh...?"

   "Akan tetapi jangan khawatir, Si-moi. Aku bukanlah Ceng Han Houw seperti yang kaujumpai beberapa bulan yang lalu. Aku telah mewarisi ilmu yang amat tinggi dan aku tidak akan mudah dikalahkan oleh siapapun juga di dunia ini. Maka, aku hendak mengadakan pertemuan besar dengan seluruh jagoan di dunia kang-ouw, untuk memilih jago nomor satu di dunia ini. Kalau aku bisa memenangkan kedudukan itu, tentu semua tokoh kang-ouw di dunia ini akan berpihak kepadaku dan kekuatanku menjadi makin besar. Setelah itu, barulah kita akan menghadapi kaisar lalim. Engkau tentu akan berpihak kepadaku, bukan?"

   "Tentu saja, pangeran."

   Lalu gadis itu mendesak.

   "Tentang keluargaku, bagaimana caramu untuk dapat menolong mereka?"

   "Jangan khawatir, untuk sementara ini tidak akan ada pembesar yang berani mengusik mereka. Akan kutulis surat perintah kepada seluruh pembesar agar jangan ada yang mengganggu keluargamu. Surat itu boleh kau berikan kepada ibu kandungmu, dan memperlihatkan kepada setiap pembesar yang hendak mengganggu. Akan kubuat beberapa buah agar dapat kau bagi-bagi kepada mereka, dan percayalah, suratku itu akan merupakan jimat penyelamat yang ampuh. Ingat bahwa saat ini aku masih memegang kekuasaan tinggi sebagai orang kepercayaan kaisar!"

   Bukan main lega dan
(Lanjut ke Jilid 50)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 50
girangnya rasa hati Ciauw Si mendengar ini. Juga ada rasa bangga bahwa pangeran itu, pria yang dikasihinya itu, ternyata mampu untuk menolong keluarganya,

   "Ah, terima kasih, pangeran. Engkau sungguh baik hati sekali..."

   Ceng Han Houw bangkit berdiri, pindah duduk di dekat gadis itu dan merangkulnya mesra,

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Si-moi, tentu saja aku baik kepadamu karena aku cinta padamu, Si-moi. Aku sudah membuktikan cinta kasihku kepadamu, akan tetapi apakah buktinya bahwa engkau cinta padaku?"

   "Pangeran, bukti apakah yang kaukehendaki lagi? Aku sekarang berada dalam pelukanmu, maukah aku kalau aku tidak cinta padamu?"

   Ceng Han Houw menciumnya dan untuk beberapa lama mereka berpelukan dan berciuman dengan curahan hati penuh kasih sayang.

   "Si-moi..,"

   Han Houw berbisik dengan napas agak memburu di dekat telinga kiri gadis itu.

   "Kalau engkau benar mencintaku... marilah engkau bermalam di dalam kamarku malam ini, sayang..."

   Iba-tiba tubuh yang tadinya lemas menyerah itu menegang dan Ciauw Si melepaskan pelukan pangeran itu, menatap tajam di bawah sinar lampu merah. Sejenak mereka berpandangan dan terdengar pangeran itu berbisik,

   "Maaf Si-moi, bukan maksudku untuk merendahkanmu, akan tetapi sungguh... aku cinta padamu, aku membutuhkanmu, dan dalam keadaan aku dimusuhi oleh kaisar seperti sekarang ini, kalau engkau pergi besok... entah kapan kita bertemu kembali, Si-moi... maka sebelum berpisah, aku ingin memiliki dirimu dulu... aku ingin engkau menjadi isteriku..."

   "Pangeran, engkau tahu bahwa hal itu tidak boleh kita lakukan sebelum kita menikah. Aku harus memberitahukan ibuku, dan engkau harus mengajukan pinangan dulu. Baru kalau kita sudah menikah, aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, pangeran. Engkau tahu bahwa aku mencintamu dan akan berbahagia sekali menjadi isterimu..."

   "Akan tetapi, moi-moi, mana mungkin kita dapat melaksanakan pernikahan dalam waktu dekat-dekat ini, setelah engkau mengetahui keadaanku? Pernikahan antara kita tentu akan membuat kaisar menjadi semakin curiga dan tidak senang, karena engkau adalah puteri dari keluarga yang memusuhinya. Dan menghadapi perjuangan ini, belum tentu kalau aku akan keluar dengan selamat. Maka... tidak kasihankah engkau kepadaku? Tegakah engkau membiarkan aku setiap hari merindukanmu, Si moi?"

   Ceng Han Houw merayu dan kembali dia sudah memeluk gadis itu. Belaian, pelukan dan ciuman-ciuman pangeran itu memang sudah membuat Ciauw Si seperti mabuk, maka kini rayuan-rayuan pangeran itu membuat dia semakin bimbang. Dia hampir tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali menciuminya, karena dia sendiri merasa seperti dibuai oleh keadaan yang amat membahagiakan perasaannya. Akan tetapi ketika pangeran itu semakin berani dalam belaiannya, dia tersentak dan berbisik.

   "Kita harus menikah dulu... harus menikah dulu..."

   Dan Ciauw Si pun menangis! Pangeran Ceng Han Houw tidak berani memaksa. Dia mendekap kepala yang menangis di atas dadanya itu, mengelus rambut yang halus itu dan berbisik,

   "Moi-moi, engkau tahu betapa besar cintaku kepadamu. Aku menghormati pendirianmu. Akan tetapi karena aku tidak ingin menderita sengsara dalam kerinduan, maka kuharap engkau akan setuju kalau kita lebih dulu melakukan upacara pernikahan sekarang juga..."

   Ciauw Si mengangkat muka dan memandang heran melalui matanya yang basah.

   "Apa...? Bagaimana...?"

   "Dengar, sayang. Kita dapat menikah sekarang juga di dalam kuil. Kalau kita sudah bersumpah di depan Tuhan, disaksikan Langit dan Bumi, upacaranya dilakukan oleh hwesio dalam kuil, bukankah pernikahan itu sudah sah pula namanya? Hanya belum dirayakan dan disaksikan keluarga dan manusia lain? Akan tetapi setelah disaksikan Tuhan, bukankah itu sudah lebih dari sah?"

   Ciauw Si yang sudah bimbang itu dan sudah siap melakukan apa saja dengan kekasihnya, dan hanya melihat pernikahan sebagai hal satu-satunya yang menjadi penghalang, kini melihat jalan keluar ini, menjadi girang sekali.

   "Tapi... tapi... dapatkah hal itu dilakukan, pangeran?"

   "Tentu saja. Ketua Kuil Hok-te Seng-kun di kota raja adalah seorang sahabatku, dan kita malam ini juga dapat melakukan upacara pernikahan dan sembahyang itu di dalam kuilnya. Dengan demikian kita akan sah menjadi suami isteri."
"Ohhh..."

   "Dan engkau akan menjadi isteriku, calon permaisuriku..."

   Pangeran itu mencium dan Ciauw Si lalu pasrah. Pergilah mereka keluar dari taman dan tak lama kemudian, mereka sudah mengendarai sebuah kereta pergi ke Kuil Hok-te Seng-kun di sebelah barat dalam kota raja itu. Para hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima dua orang tamu agungnya di dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang aneh sekali dari pangeran itu untuk menikah saat itu juga, tanpa perayaan tanpa saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.

   "Dapatkah losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini?"

   Tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak.

   "Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati dan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!"

   Serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia? Tiba-tiba Ciauw Si yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya ketika menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini,

   "Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?"

   Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, diapun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.

   "Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah daripada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat, dengan sumpah di meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!"

   Lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata,

   "Terima kasih, losuhu."

   Mereka tidak usah menanti lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tak lama kemudian dua orang muda itu telah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat. Ketika mereka bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tak dapat ditahannya lagi menangislah pengantin wanita ini! Betapapun juga, ia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorangpun kerabat. Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biarpun bangkitnya gairah nafsu karena dirayu dan dibelai oleh kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lain yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu.

   Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya dan keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan. Sejak semula dia membela kakaknya dan diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya dalam pernikahannya sekarang inipun hanya merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran! Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjina, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian!

   Maka, halangan bahwa dia belum memberitahukan ibunya dan para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu! Apalagi karena diapun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andaikata keluarganya tidak setuju, seperti juga tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu! Karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya kembali ke istana.

   Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah. Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka dan membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu menjadi berlarut-larut dan, sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah meninggalkan kamar! Barulah pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seolah-olah pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya.

   Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, diantar oleh pandangan mata mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja. Sedikitpun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, di mana dia menikmati bulan madu selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang amat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, telah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana. Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya bimbang.

   Dia merasa girang bahwa dia telah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya. Akan tetapi, disamping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia betul-betul jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggapnya sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka. Maka timbullah kekhawatiran di dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia telah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.

   "Bi Cu...! Bi Cu, apamu yang sakit...?"

   Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu dan Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta.

   "Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!"

   Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air. Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun sampai sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir.

   Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada gua atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci dan dia memanggang dagingnya, diberikan kepada Bi Cu. Akan tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, diajak bicarapun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiripun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap matapun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air. Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguhpun tubuhnya masih panas sekali.

   "Sin Liong...!"

   Rintihnya. Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.

   "Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau akan sembuh kembali."

   Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu berkata lemah,

   "Aku... aku haus..."

   Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya dan memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuk seperti cawan. Setelah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.

   "Berapa lama aku sakit...?"

   Bisiknya.

   "Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu."

   Bi Cu mengangguk. Pikirannya sudah terang sekarang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa pemuda itu lelah sekali. Biarpun Bi Cu sudah sadar kini, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit,

   Kepalanya terasa pening sekali den pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat! Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan. Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong.

   Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup! Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang ditutupinya dengan daun-daun sedapat mungkin. Tubuh Bi Cu menggigil dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin-kangnya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Ini banyak menolong walaupun pakaian mereka basah semua. Melihat kedua sepatu Bi Cu yang sudah pecah-pecah dan rusak-rusak ketika dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan malah menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong berkata,

   "Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja."

   Bi Cu yang menyembunyikan mukanya dia dada Sin Liong hanya mengangguk dan Sin Liong lalu melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin erat dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang. Hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong cepat membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu yang kering di tumpukan bawah. Maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun itu makin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.

   "Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu..."

   Katanya penuh iba sambil merangkul dara itu. Bi Cu menyandarkan kepalanya di pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah pundak dan lengan pemuda itu, lalu berkata lemah, dengan suara gemetar kedinginan,

   "Engkaupun basah kuyup dan kedinginan..."

   "Tidak, aku sehat, engkaulah yang sedang sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit lagi. Ah, baru saja engkau hampir sembuh, disiram hujan lebat..."

   Sin Liong berkata khawatir. Melihat kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apalagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing ketika mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan dan berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar!

   "Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar..."

   Suaranya mengandung isak. Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes di atas wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.

   
"Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."

   "Dan aku... akupun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi selamanya, Sin Liong..."

   Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lalu berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu.

   "Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang kau katakan itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku selalu membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu..."

   Mereka tidak berkata-kata lagi. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan memang. Dengan berdiam diri, terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, melainkan di dalam batin masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua itu telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan membutuhkan anggauta tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu. Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong,

   "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?"

   "Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ah, khawatir sekali aku."

   "Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong."

   Tanpa diucapkan sekalipun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia mencium mata kiri dara itu.

   "Akupun cinta padamu, Bi Cu."

   Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan setelah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan! Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, sudah melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri! Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tidak ada lagi baik buruk,

   Susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cinta, yang berbeda dengan kesenangan. Kesenangan mempunyai sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita penuh dengan sinar cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan prikemanusiaan. Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sesungguhnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.

   Sayang, biarpun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu. Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sesungguhnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini. Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanyalah semacam pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk mendapatkan kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri.

   Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja. Cinta seperti ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang. Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukan menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya masih agak lemah tubuhnya, akan tetapi dia sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi. Hujankah yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.

   "Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."

   "Hari ini agaknya akan panas, Sin Liong. Aku dapat melepaskan pakaian dan menjemurnya. Tapi..."

   Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar.

   "engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!"

   Sin Liong tertawa. Benar-benar sudah sembuh Bi Cu sekarang. Sudah mulai lagi dia bertingkah bengal! Sudah bersinar-sinar kembali kedua mata yang indah itu, kini penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.

   "Ha-ha, kaukira aku ini tukang intip? Akupun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."

   "Kalau ada dusun kau mau apa?"

   "Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."

   "Kau ada uang?"

   Sin Liong menggeleng kepala.

   "Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?"

   Muka Sin Liong menjadi merah. Dara ini baru saja sembuh sudah pandai mendesaknya dengan omongan dan membuatnya tersudut!

   "Aku... aku akan minta!"

   "Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?"

   "Barangkali ada yang kaya di dusun, ada tuan tanahnya..."

   "Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau akan mencuri pakaian dan sepatu untukku!"

   Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk.

   "Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun?"

   "Tidak, kau beli saja, atau... tukar dengan ini!"

   Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong. Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas itu.

   "Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"

   Bi Cu tersenyum.

   "Justeru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."

   "Ah, kukira julukan itu karena, matamu..."

   "Mataku bagaimana?"

   "Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..."

   Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu.

   "Ihh, engkau perayu!"

   Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya. Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang sekali. Kemudian pergilah dara ini ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian dan menjemur pakaian.

   Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semua itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, sedangkan mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu. Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci den sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.

   "Ah, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan untuk kita?

   "Biar aku yang..."

   "Hemm, biarpun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!"

   Bi Cu girang sekali dan mematut-matut diri dengan pakaian itu setelah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas besarnya.

   "Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaianpun aku tidak rela!"

   Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak.

   "Kau simpan sajalah, Sin Liong."

   Wajah pemuda itu berseri.

   "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!"

   Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong.

   "Aku akan mencoba pakaian ini!"

   Kata Bi Cu sambil berlari kecil menghilang ke balik semak-semak. Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkannya ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering ketika dibawanya berlari cepat tadi.

   "Wah, engkau memang hebat! Pas sekali pakaian ini, seperti juga sepatunya!"

   Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok. Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.

   

Dewi Maut Eps 2 Dewi Maut Eps 28 Petualang Asmara Eps 40

Cari Blog Ini