Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 58


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 58



Kemudian, totokan ujung sabuk merah ke arah kedua matanya itu hanya dielakkan dengan miringkan kepala, kemudian tusukan pedang ke arah lambungnya itu cepat ditangkapnya dengan tangan dan sekali dia mengerahkan tenaga mencengkeram, pedang ltu dapat dicengkeramnya sampai patah-patah! Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main, hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri! Betapa mungkin pedangnya yang terbuat dari baja murni itu, yang takkan patah oleh senjata apapun, kini menjadi patah-patah oleh cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu? Dalam gugupnya, dia menggerakkan tangan kanannya itu memukul setelah membuang gagang pedang, memukul dengan kerasnya ke arah dada Sin Liong.

   "Bukk!"

   Pukulan itu tepat mengenai sasaran karena memang Sin Liong tidak mengelak, akan tetapi telapak tangan wanita itu melekat dan seketika tenaga sin-kang dari telapak tangan itu membanjir tersedot oleh tubuh Sin Liong!

   "Aihhh...!"

   Kim Hong Liu-nio sudah diberi tahu subonya bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng, maka dia cepat menggunakan ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kanannya sendiri sehingga tangan itu lumpuh, kehilangan tenaga dan dengan sendirinya terlepas dari sedotan karena sudah tidak mengandung tenaga sin-kang, dan wanita ini lalu melempar diri ke belakang,

   Menggelinding dan pada saat dia menggelinding itu, nampak sinar api meluncur ke arah perut, leher dan mata Sin Liong! Itulah tiga batang hio menyala dan yang dilontarkan secara tepat oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat ini, Sin Liong menjadi marah sekali. Dia teringat akan kematian ibu kandungnya di tangan wanita ini, maka cepat kedua tangannya menangkap-nangkapi tiga batang hio itu dan secepat kilat dia melemparkan hio-hio itu ke arah pemiliknya. Betapapun wanita itu berusaha mengelak, namun dia kalah cepat oleh luncuran hio yang dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang luar biasa itu. Terdengar jerit menyayat hati ketika dua di antara tiga batang hio itu mengenai sasarannya dengan tepat, yaitu, yang pertama menancap di antara kedua mata wanita itu sedangkan yang ke dua memasuki dada lewat ulu hatinya.

   Wanita itu roboh terjengkang dan agaknya hio yang menembus batok kepalanya itu langsung mengenai pusat otak yang membuat dia tak mampu bergerak lagi dan tak lama kemudain tewaslah Kim Hong Liu-nio dalam keadaan yang hampir sama namun lebih mengerikan daripada kematian mendiang Liong Si Kwi, ibu kandung Sin Liong! Hek-hiat Mo-li mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang marah dan dia sudah menubruk dari samping, menghantamkan tongkat butut ke arah belakang kepala Sin Liong sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Sin Liong yang sejenak tertegun melihat betapa dia telah berhasil membunuh wanita yang menjadi musuh besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya itu, cepat berbalik ketika merasa ada sambaran angin serangan dahsyat itu. Dari angin pukulan itu tahulah Sin Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia karena marah melihat muridnya yang terkasih itu tewas.

   "Hemm, engkaupun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kong-kong!"

   Bentaknya dan diapun cepat menangkis dan balas menyerang. Karena sekali ini Sin Liong tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang diapun sudah memilih jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu simpanan dan yang belum dikenal oleh orang lain sehingga betapapun nenek itu hendak mengelak dan menangkis, tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya.

   "Desss...!"

   Tubuh nenek itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding, gudang itu seperti tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding. Akan tetapi, biarpun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap merangkak bangung maju lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil menyerang dengan tongkatnya, agaknya sedikitpun tidak merasakan pukulan dahsyat itu! Sip Liong merasa terkejut bukan main. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek tua itu memiliki kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang sedemikian ampuhnyapun tidak dapat melukai luar maupun dalam!

   Ketika tadi Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio setelah melakukan serangan hebat yang membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In Hong memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum bukan main. Dia sudah mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa lihainya nenek iblis itu, dan diapun tahu bahwa murid nenek itupun lihai bukan main. Akan tetapi, dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali tidak kelihatan repot, bahkan dalam waktu singkat saja telah berhasil menewaskan Kim Hong Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting) yang bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu.

   Kini tubuh Kim Hong Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang menancap di dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat betapa dalam gebrakan selanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian kerasnya, benar-benar membuat Yap In Hong kagum bukan main! Dia sendiri pernah melawan nenek ini dan biarpun akhirnya dia bethasil menang, namun harus melalui pertandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan kini, nenek ini dan biarpun akhirnya dia berpada dahulu, namun dalam perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh nenek itu terlempar dua kali! Akan tetapi, melihat wajah pemuda itu terkejut dia mengerti sebabnya. Dia sudah mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung juga, maka diapun lalu cepat berkata,

   "Sin Liong, kau hantam kedua telapak kakinya!"

   Mendengar ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada telapak kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut, pendekar wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka rahasia kelemahan itu kepada Sin Liong.

   Mendengar ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan kehebatan ilmu kekebalan nenek ini dan sungguhpun hal itu tidak membuat dia merasa gentar, namun setidaknya dia menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana dia akan dapat mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini, mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan tenaga sin-kangnya. Akan tetapi, betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri ketika nenek itu hanya mengelakkan sebelah kaki saja, dan sambil terkekeh-kekeh dia menyambut hantaman Sin Liong dengan kakinya! Justeru dengan telapak kakinya yang dianggap tempat lemah itu.

   "Dukkk!"

   Kembali tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong terkejut sekali karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang agaknya tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Kiranya, nenek itu telah melindungi bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan logam, mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak kaki itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat tebal!

   "Heh-heh-heh, Yap In Hong, kau kira masih akan dapat mengalahkan aku dengan memukul telapak kakiku? Heh-heh!"

   Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah menerjang lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dabsyat! Sin Liong menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua tangannya, tangan kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu, tangan kanan menangkis pukulan tangan kiri lawan dan terus dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat.

   "Heh-heh, siapa takut Thi-khi-i-beng?"

   Nenek itu berseru sambil menggerakkan tubuhnya meliuk seperti ular dan tiba-tiba tongkat dan tangannya dapat terlepas dari sedotan karena nenek itu menarik kembali sin-kangnya, dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang sedemikian dekatnya untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah telinga kiri!

   "Tok! Prakk!"

   Nenek itu terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat mengenai sasaran. Biasanya, totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh kekebalan, maka dia sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu akan merobohkan pemuda itu. Dia tidak tahu bahwa dengan latihannya menurut kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang aneh,

   Pemuda itu telah dapat membalikkan jalan darahnya sehingga ketika ujung tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya hanyalah urat yang pada saat itu berhenti tidak mengalirkan darah karena darahnya berpindah mengalir melalui tempat lain! Dan pada saat itu juga, dengan tangannya, Sin Liong menampar ke arah tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tongkat itu patah-patah. Kini Sin Liong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mainkan San-in-kun-hoat dengan kedua tangannya, gerakannya lembut seperti awan gunung, namun ilmu silat yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai ini hebat sekali sehingga biarpun lembut, jari-jari tangannya mengancam ke arah mata nenek itu, bagian yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh kekebalannya yang amat kuat itu.

   "Ihhh...!"

   Nenek itu mengelak dan menggunakan kedua tangan untuk melindungi mukanya. Inilah yang dikehendaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu bergerak melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi kewaspadaan nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu mengandalkan kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan kedua tangannya, menangkap leher dan baju di bagian dada nenek itu dan sebelum Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar!

   "Hiaaattt...!"

   Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu melayang cepat ke arah api!

   "Brakkk!"

   Pilar kayu di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-kobar itu patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat nenek itu karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang mulai bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini, akhirnya bergulingan dan menjerit-jerit. Namun api makin membesar dan akhirnya dia berkelojotan dan Sin Liong membuang muka. Setelah nenek itu tidak bersuara lagi, Sin Liong lalu menghampiri Bi Cu,

   "Sin Liong...!"

   Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya. Sin Liong lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di depan pendekar wanita itu.

   "Yap-lihiap telah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua berterima kasih sekali dan kami takkan melupakan budi kebaikan lihiap,"

   Kata Sin Liong dengan suara terharu. Yap In Hong tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang berlutut di depannya itu. Baru sekarang dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini dahulu mencegah dia dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio. Kiranya pemuda ini hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada alasannya yang amat kuat.

   "Sudahlah, Sin Liong, dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan. Engkau terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?"

   Sin Liong mengangkat muka memandang dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan sinar mata yang mencorong seperti mata naga itu!

   "Tidak, lihiap. Bahkan aku akan membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk itu!"

   "Bagus, kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak tahu bagaimana jadinya dengan pertandingan di luar."

   Yap In Hong lalu cepat meloncat keluar. Sin Liong yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu, mereka saling pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi makin hitam karena terbakar, dia mengeluh dan merangkul Sin Liong, menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula.

   "Semua sudah berlalu... tenanglah,"

   Sin Liong berkata sambil mendekap dan mengelus rambut kekasihnya, kemudian mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju keluar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar,

   Tidak lewat dalam istana, melainkan lewat taman bunga di samping istana. Mereka melihat betapa Yap In Hong sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan menuju keluar di mana agaknya masih terjadi keributan-keributan. Ternyata bahwa pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-matian. Ketika Yap In Hong meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke belakang istana, dia melihat bahwa suaminya telah mendesak dua orang lawan itu, maka setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang dan di gudang itu dia sempai menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio.

   Bahkan dia sempat pula menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut. Karena ternyata di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena girang bahwa Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran, maka wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata, sungguhpun dia tidak mempergunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat itu, setelah kini dia kembali, pertandingan itu telah berubah lebih menegangkan dan mati-matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu setelah terdesak hebat lalu mengeluarkan senjata masing-masing. Phang Tek sudah mempergunakan senjata tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang dan mainkan tongkat itu seperti sebatang pedang dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw-kiam yang ganas.

   Juga adiknya, Phang Sun, telah mempergunakan sebatang pisau belati berwarna hitam yang mengetuarkan bau amis. Memang belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini mengandung racun yang amat jahat, sekali gores pada kulit saja sudah cukup untuk mengirim lawan ke lubang kubur! Akan tetapi melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang lawan itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan kalau mungkin akan membunuhnya, maka diapun lalu mencabut sebatang pedang. Semua orang menjadi silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung. Kiranya itu adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau dipakai sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan pendekar ini.

   Dengan pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh sayap. Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain senjata, melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya. Belum sampai lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah kehilangan tongkatnya yang patah menjadi dua dan Kim-liong-ong Phang Sun terobek kulit lengan kirinya sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh gulungan sinar pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu mereka dalam saat-saat berikutnya akan roboh! Pada saat itu, Pangeran Ceng Han Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru,

   "Tahan senjata...!"

   Mendengar ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya dan lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya, dililitkan seperti sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu yang menunjukkan bahwa dia telah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua orang lawan tangguh tadi, sedangkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu berdiri di pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju mereka basah oleh keringat! Pangeran Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan ramah kepada Cia Bun Houw.

   "Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat mengagumkan..."

   "Maaf, pangeran, saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran. Bicaralah yang benar!"

   Cia Bun Houw memotong dengan suara ketus penuh teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat, namun Ceng Han Houw masih tersenyum dengan ramahnya.

   "Mungkin saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tidak menganggap saya sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri saya, Lie Ciauw Si, adalah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat secukupnya untuk menjadi jago nomer satu di dunia, kecuali kalau ada yang akan menandingi taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami mengharapkan agar taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan menentang kelaliman Kaisar..."

   "Cukup, pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!"

   "Justeru itulah, Cia-taihiap. Taihiap dan semua anggauta keluarga Cin-ling-pai bukan pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah terjadi? Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa telah dituduh pemberontak oleh Kaisar yang tak mengenal budi, bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal itu amat membikin orang menjadi penasaran?"

   "Kami sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!"

   Cia Bun Houw berkata dengan ketus. Pada saat itu Lie Ciauw Si juga sudah bangkit dan berkata,

   "Paman Cia Bun Houw, hendaknya paman mengetahui bahwa yang membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi suamiku inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang gagah, kaum patriot untuk menentang penindasan..."

   "Lie Ciauw Si!"

   Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat semua orang menengok ke belakang.

   "Aku malu melihat engkau menjadi kaki tangan gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang membelanya! Aku malu melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!"

   Seketika wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang sudah bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih.

   "Ibu... dia... dia seorang suami yang baik..."

   Cia Giok Keng yang marah sekali itu hendak meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap Kun Liong dan suaminya ini membujuknya sehingga akirnya dia duduk kembali, menutupi mukanya dan menangis! Sementara itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw,

   "Pangeran kita bicara seperti laki-laki, ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk membelamu?"

   Han Houw tersenyum, memengang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya sehingga akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan mukanya, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar.

   Kemudian pangeran itu kembali menghampiri Bun Houw dan mereka berdiri berhadapan dan saling memandang. Pangeran itu tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil, maka kini dia hendak mengambil jalan lain yang menguntungkan dia, yaitu hendak merobohkan orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka semua tahu bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas diri pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lain menjadi tunduk dan pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga mudah baginya untuk menguasai mereka. Setelah dua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang mendengarnya,

   "Cia-taihiap, kami bermaksud baik dan mengingat akan pertalian kekeluargaan, akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar sakti Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua orang yang menjadi penguji. Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di dunia."

   "Aku tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian orang yang berani mengaku sebagai jago nomor satu di dunia, tidak peduli siapa adanya dia itu!"

   Ceng Han Houw tersenyum dan dia memandang ke sekeliling.

   "Cu-wi tentu telah mendengarnya. Pendekar Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang amat lihai pada waktu ini, dan aku mendengar kabar bahwa ilmu kepandaiannya bahkan telah melampaui tingkat mendiang ayahnya, yaitu ketua dan pendiri dari Cin-ling-pai! Oleh karena itu, kemunculannya ini dapat diartikan mewakili seluruh Cin-ling-pai dan dia telah lulus ujian dan mengalahkan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo. Oleh karena itu, kalau ada di antara para locianpwe dan enghiong yang merasa pantas untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia, harap suka maju untuk menghadapi Cia-taihiap!"

   Memang pangeran ini cerdik sekali. Dia ingin mengadukan semua orang gagah di situ, dan nanti pemenang terakhir barulah akan dihadapinya. Hal ini selain tidak terlalu melelahkan baginya, juga dia dapat sekali pukul merobohkan orang terpandai dan otomatis menjadi jagoan nomor satu di dunia!

   Diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada semua tamunya bahkan berhak untuk mengeluarkan peraturan. Maka diapun diam saja. Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih tidak akan ada seorangpun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang sombong itu dan tidak akan ada yang mau menentangnya karena mereka semua melihat bahwa dia maju untuk menentang pangeran pemberontak itu. Maka, dia hanya ingin tahu tokoh golongan hitam yang mana yang akan maju. Dia akan menghadapi mereka semua, karena memang tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai ini membantu Pangeran Hung Chih untuk menumpas persekutuan hitam yang akan memberontak terhadap pemerintah di bawah pimpinan pangeran muda ini. Akan tetapi, ternyata dari golongan hitampun tidak ada yang berani maju!

   Setelah mereka semua tadi menyaksikan betapa Cia Bun Houw mampu merobohkan dua orang dari Lam-hai Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada seorangpun yang berani lancang, maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang selain sudah terkenal sekali, kelihai-annya itupun bahkan sudah mereka saksikan sendiri betapa hebat sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong tadi. Maka mereka ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang menghadapi pendekar Cia Bun Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan telah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan, telah berani menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai malah! Maka, menurut pendapat mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-ling-pai itu.

   "Pangeran saja yang maju!"

   Tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka. Seruan ini seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka bisinglah tempat itu dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau menandingi pendekar Cin-ling-pai itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu akan berlangsung amat hebatnya itu. Diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Kenapa tidak ada jagoan lagi yang berani maju? Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut? Melihat ini, Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata,

   "Harap paduka pangeran sendiri yang maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang sanggup."

   Memang kakek inipun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar yang telah membikin dia dan adiknya kewalahan dan mendapatkan malu itu dan dia yang telah tahu akan kelihaian pangeran, merasa yakin bahwa pangeran muda itu akan sanggup merobohkan lawan tangguh ini. Ceng Han Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara bising itupun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus,

   "Pendekar Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimanapun juga kami masih terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai mantu keponakan maju melawannya. Akan tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu silat tidak harus memandang hubungan apapun, dan untuk menentukan siapa yang lebih lihai tidak ada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah jelas bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan melayaninya untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja saya mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!"

   Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw. Bun Houw memandang tajam, lalu berkata,

   "Kalau engkau berhasrat untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!"

   Dua orang itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang.

   Semua mata tertuju ke arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum bahwa sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan Yap In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang dengan jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun Liong untuk mengatur siasat yang memang sudah diperslapkan sebelumnya. Bagaimanapun juga, Yap In Hong tidak menganggap pertandingan itu sebagai pibu, maka diapun siap membantu suaminya andaikata suaminya terancam bahaya. Juga Sin Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di antara penonton, di bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari dalam, sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua nonton dengan hati tegang pula.

   Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini, karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga. Pangeran yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel dan topi bulu itu nampak gagah dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru dan kuning emas. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikitpun tidak memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa dia percaya penuh akan keunggulannya. Pendekar Cia Bun Houw yang berdiri di depannya merupakan seorang laki-laki gagah yang berpakaian dan bersikap sederhana dan keren, sepasang matanya tajam penuh wibawa dan dia menanti serangan lawan dengan tenang.

   "Pangeran...!"

   Ketegangan itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada isterinya yang tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya wanita cantik itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak kemerahan dan basah.

   "Pangeran, ingatlah bahwa dia adalah pamanku..."

   Kata Ciauw Si, hatinya merasa bingung dan tegang sekali. Wanita ini tahu benar betapa lihainya suaminya.

   Dia telah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan mempunyai keyakinan bahwa pamannya itu sekalipun tidak akan dapat mengalahkan Pangeran Ceng Han Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga dia merasa perlu untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya agar jangan menurunkan tangan keras kepada adik ibunya itu. Ceng Han Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walaupun diucapkan perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan amat sunyi, ucapan itu terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya minta agar dia berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya menyatakan kepada semua orang bahwa dia lebih unggul daripada pendekar Cin-ling-pai itu!

   "Jangan khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja aku tidak akan berani kurang ajar dan menyakiti paman sendiri!"

   Jawab Ceng Han Houw sambil tersenyum lebar. Bukan main panas rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa direndahkan, dipandang ringan sekali di depan para tokoh kang-ouw.

   "Pangeran, luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kausambutlah ini!"

   Karena tidak ingin membiarkan pangeran itu berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah mengirim serangan dengan pukulan tangan kiri yang ditamparkan ke arah leher lawan, tamparan yang kelihatannya sembarangan dan ringan saja akan tetapi sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh.

   "Harap Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi,"

   Kata sang pangeran yang menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai itu bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan!

   Tentu saja Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini dan diapun lalu mulai menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sin-kang di kedua tangannya dan pendekar inipun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan sungguh-sungguh memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw sudah menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu, dan kedua lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat dan kuat. Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantep sehingga setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar ketika pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja!

   Gembira sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dinanti-nantikannya. Yaitu menandingi seorang pendekar yang sudah mencapai puncak ketenarannya, dan kemudian mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan nikmat daripada melawan tokoh-tokoh biasa saja. Dan kalau saja dia dapat mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian demikian banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat tinggi dan dia selain berhak memakai gelar Thian-he Te-it Tai-hiap (Pendekar Sakti Nomor Satu di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan menduduki kursi Bengcu (Pemimpin Rakyat) dan akan mudah menghimpun dan mengerahkan tenaga orang-orang dunia kang-ouw untuk niatnya menentang Kaisar! Dialah yang patut menjadi Kaisar, bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang, bukan pula Pangeran Hung Chih. Dialah yang paling tepat menjedi Kaisar!

   Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan pendekar Cin-ling-pai ini, sungguhpun dia maklum bahwa untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dua orang pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan seru. Mata semua tamu ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan seksama. Memang hebat sekali mereka itu. Setiap pukulan mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Namun, setiap serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan indah pula, kalau tidak mengelak dengan gerakan cepat dan tepat,

   Tentu ditangkisnya dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Suara "dukk!"

   Yang keras dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan sekeliling tempat itu, dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga makin lama suasana menjadi semakin menegangkan, apalagi karena nampaknya kedua fihak sama kuatnya dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar namun dapat saling mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung. Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu yang amat tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh Bun Houw tanpa kesalahan sedikitpun dan didorong pula oleh tenaga sin-kang dari Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti itu.

   Ceng Han Houw, biarpun masih muda, maklum akan lihainya lawan, maka biarpun sikapnya seperti memandang ringan, dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, akan tetapi sebetulnya dia berhati-hati sekali dan dia menggerakkan tubuhnya dan bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menaklukkan Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Akan tetapi, untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang amat indah dan ampuh itu, diapun harus mempergunakan langkah-langkah Pat-kwa-po yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan diri dari setiap kurungan yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Bahkan pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka berdua bertanding dengan amat rapi dan serunya,

   Masing-masing tidak mau mengalah. Biarpun mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan seruan-seruan yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tidak lagi melakukan pibu biasa sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan berkelahi dengan amat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus darah, dan setiap jurus yang dipergunakan telah diperhitungkan masak-masak sehingga merupakan jurus yang ampuh. Diam-diam Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali, tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Cia Bun Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian pangeran itu.

   Beberapa kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya melihat betapa pangeran itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya dari adik iparnya itu. Apalagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh pangeran itu, sehingga langkah-langkah kakinya teratur rapi dan dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia akan ilmunya sendiri, yaitu Pat-hong Sin-kun yang langkah-lang-kahnya juga berdasarkan rahasia Pat-kwa (Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa menghadapi pangeran itu bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tidak berani memastikan bahwa dia akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang telah menjadi suami dari anak tirinya itu. Yap In Hong juga merasa khawatir, karena diapun dapat merasakan bahwa menghadapi pangeran itu, dia sendiri tidak akan mampu menang,

   Dan suaminya agaknya tentu harus menggunakan seluruh kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengatasi pangeran yang biarpun masih muda namun sudah amat hebat itu. Teringatlah dia akan Sin Liong dan dia membandingkan pangeran ini dengan Sin Liong. Diam-diam dia merasa heran dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka sudah saling serang selama seratus jurus dan belum ada seorangpun di antara mereka yang menang atau kalah, bahkan belum ada yang nampak terdesak. Diam-diam Yap In Hong mengerutkan alisnya. Ilmu silat tangan kosong dari pangeran itu memang kuat bukan main. Kenapa suaminya tidak mengajakanya bertanding menggunakan senjata saja? Mungkin kalau bersenjata, suaminya akan dapat lebih unggul, karena ilmu pedang suaminya amat hebat.

   Dan memang demikian pula pendapat Bun Houw. Akan tetapi, lawannya hanyalah seorang pemuda, dan tuan rumah pula dan dia seorang tokoh Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia sudi menggunakan senjata kalau lawannya itu hanya bertangan kosong saja? Dan sebelum bertanding tangan kosong selesai lalu menantang mengadu senjata, hal itu sama artinya dengan merasa kewalahan dalam pertandingan tangan kosong itu! Dia merasa serba salah dan diam-diam diapun kagum bukan main karena mengertilah pendekar ini bahwa tingkat kepandaian pangeran muda itu sungguh-sungguh luar biasa, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sendiri. Selama hidupnya, baru sekarang inilah Cia Bun Houw merasa bertemu tanding yang amat kuatnya.

   "Hehhh!"

   Cia Bun Houw membentak dan dia mengirim tamparan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang sambil mengerahkan seluruh tenaga. Kedua tangannya menyambar dari kanan dan kiri, mengirim tamparan-tamparan yang sampai mengeluarkan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya. Melihat ini, Ceng Han Houw melangkah mundur dua tindak, ketika lawannya mengejar dengan langkah ke depan sambil melanjutkan tamparan-tamparan itu, dia sudah menangkis dengan membuang lengan dari dalam keluar, ke kanan kiri.

   "Dukk! Dukk!"

   Untuk ke sekian kalinya, keduanya tergetar hebat karena sekali ini masing-masing mengerahkan seluruh tenaga mereka sehingga getaran itu terasa sekali sampai ke jantung mereka. Keduanya terkejut karena keadaan mereka sungguh amat berbahaya. Kurang kuat sedikit saja tentu jantung mereka akan terguncang dan setidaknya mereka akan mengalami luka dalam yang hebat. Baiknya bagi mereka bahwa tingkat kekuatan sin-kang mereka berimbang sehingga keduanya mengalami getaran seperti itu.

   Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut bukan main. Sekarang dia baru percaya bahwa tokoh Cin-ling-pai ini memang hebat sekali. Pantas saja dahulu Pek-hiat Mo-ko, suami Hek-hiat Mo-li, sampai tewas di tangan pendekar ini. Mulailah dia merasa khawatir. Baru pendekar ini saja, sudah begini lihainya, apalagi kalau sampai semua keluarga Cin-ling-pai maju! Padahal, menurut pendengarannya, isteri pendekar ini, Yap In Hong, memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan suaminya, dan bahwa Yap Kun Liong, ayah tiri dari Ciauw Si, juga memiliki ilmu yang malah lebih matang dan lebih banyak macam ragamnya dibandingkan dengan pendekar Cia Bun Houw ini. Semua itu telah didengarnya dari penuturan isterinya. Dia harus dapat mengalahkan pendekar ini lebih dulu sebelum menghadapi yang lain-lain, kalau memang mereka itu nanti akan maju pula.

   Tiba-tiba pangeran muda itu mengeluarkan teriakan lantang dan terkejutlah Bun Houw ketika melihat betapa lawannya itu mendadak berjungkir balik, dengan kepala di bawah menjadi kaki dan kedua kakinya di atas, kemudian kaki dan tangan itu melakukan serangan-serangan dari atas dan bawah secara tangkas sekali dan yang lebih hebat daripada itu, serangan-serangan dari kaki dan tangan itu mengandung tenaga yang lebih dahsyat daripada tadi ketika pemuda bangsawan itu masih berdiri di atas kedua kakinya! Memang itulah hebatnya ilmu simpanan dari Pangeran Ceng Han Houw. Ilmu inilah yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yang bernama Hok-mo Sin-kun dan memang dia telah melatih diri dengan samadhi atau siulian yang juga dilakukan dengan berjungkir balik sehingga dia memperoleh sin-kang yang lebih kuat daripada kalau dia berdiri di atas kedua kakinya!

   Bun Houw cepat menangkis dan mengelak dan kembali dia terkejut bukan main karena selain tangkisan itu membuat lengannya terpental ketika bertemu dengan kaki lawan, juga dari bawah kedua tangan lawannya mengirim pukulan-pukulan dahsyat yang amat berbahaya sehingga dia terpaksa melompat dan berjungkir balik ke belakang! Kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Han Houw untuk membentak nyaring sekali dan tubuhnya sudah melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah membalikkan tubuhnya lagi dan dia mendesak Bun Houw yang masih belum hilang kagetnya. Kini dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, pangeran itu menusuk ke arah kedua mata lawan, sedangkan kaki kanannya diangkat, menggunakan lutut untuk menghantam perut. Ketika Bun Houw yang terdesak itu mengelak ke belakang, tangan kiri pangeran itu menghantam ke arah muka.

   "Hiaaattt...!"

   Pangeran itu mendesak dan bermaksud merobohkan Cia Bun Houw.

   "Ehhh...!"

   Bun Houw cepat melempar tubuh ke belakang dan kembali dia berjungkir balik sampai berturut-turut tiga kali. Gerakannya ini hebat sekali dan dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut. Para tokoh kang-ouw yang menonton pertandingan itu juga ikut merasa terkejut. Biarpun gerakan pendekar Cin-ling-pai itu amat indah dan cepat, Dan sudah membuat pendekar itu berhasil menghindarkan diri, namun harus diakui bahwa pendekar itu tadi terdesak hebat dan nyaris celaka! Sebelum Ceng Han Houw yang merasa penasaran karena serangannya yang hampir berhasil tadi pada saat terakhir gagal dapat menggunakan ilmunya yang aneh lagi, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

   "Ceng Han Houw, akulah lawanmu!"

   Nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan pangeran itu telah berdiri seorang pemuda remaja yang bukan lain adalah Sin Liong! Semua orang terkejut, baik dari golongan hitam maupun golongan bersih memandang heran. Bukankah Sin Liong ini adalah pemuda yang tadi diperkenalkan oleh pangeran itu sebagai adik angkatnya, bahkan diakui sebagai pembantu utamanya? Kenapa sekarang pemuda itu malah muncul dan menantang pangeran itu?

   Peristiwa ini memang amat mengejutkan dan mengherankan. Bun Houw sendiri sampai terkejut dan terheran, sehingga diapun hanya berdiri di pinggir dan tidak dapat berkata apapun. Dia masih terkejut oleh serangan-serangan aneh dan hebat dari pangeran itu tadi, dan kini melihat munculnya Sin Liong secara tiba-tiba yang menantang pangeran itu, sungguh membuat dia termangu dan tidak mengerti harus berbuat atau berkata apa. Semua tamu yang menjadi bengong memandang dengan hati semakin tegang. Lie Ciaw Si sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang khawatir, akan tetapi dia bertemu dengan sinar mata ibunya dan kembali dia duduk serba salah. Yap In Hong tersenyum dan Yap Kun Liong juga tersenyum. Pendekar ini sudah mendengar penuturan singkat dari adiknya tentang sepak-terjang Sin Liong di belakang istana,

   Dan diam-diam dia merasa kagum sekali. Tadi ketika dia menyaksikan serangan pangeran itu yang aneh, dengan cara membalik tubuh, dia tidak merasa heran. Memang dia tahu bahwa di antara kaum sesat banyak terdapat ilmu-ilmu yang aneh dan sifatnya sesat pula, akan tetapi sebagian besar dari ilmu-ilmu hitam itu hanya kelihatannya saja menggiriskan, akan tetapi sebetulnya tidak mengandung dasar yang kuat. Maka terkejutlah dia ketika ilmu yang dipergunakan oleh pangeran itu tadi telah membuat Bun Houw terdesak hebat dan nyaris kena dipukul. Maka legalah hatinya melihat adik iparnya itu mampu membebaskan diri. Dia tadi melihat betapa adik kandungnya sudah bangkit dari tempat duduknya, siap untuk menolong suaminya yang terdesak, bahkan dia sendiripun sudah siap untuk turun tangan.

   Kini, melihat munculnya Sin Liong, dia menjadi ingin sekali melihat apakah pemuda yang telah dipilih oleh ketua Cin-ling-pai sebagai pewaris Thi-khi-i-beng ini benar-benar sehebat seperti yang tadi dia dengar dari adiknya. Diam-diam dia menyangsikan cerita adiknya. Dia membandingkan keadaan Sin Liong dengan keadaannya sendiri. Mungkinkah bocah itu dapat mengumpulkan ilmu-ilmu sehebat itu, melebihi In Hong, dia sendiri, atau Bun Houw? Rasanya tidak mungkin! Bukankah bocah itu hanya mewarisi ilmu-ilmu yang sesungguhnya merupakan ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai dan dari Kok Beng Lama? Jadi, tiada bedanya dengan kepandaian Bun Houw? Dan tidak mungkin pemuda ini dapat memainkan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai atau pemberian mendiang Kok Beng Lama lebih baik daripada permainan Bun Houw.

   Andaikata ada perbedaannya karena bocah itu kabarnya diwarisi Ilmu Thi-khi-i-beng oleh mendiang Cia Keng Hong kelebihan itupun sebetulnya tidak banyak artinya. Dia sendiripun ahli Thi-khi-i-beng, akan tetapi dia tidak berani menyatakan bahwa dia lebih lihai daripada Bun Houw dan dia sendiri masih sangsi apakah dapat mengalahkan pangeran itu. Dan latihan dari Sin Liong tentu sekali belum matang. Biarpun demikian, ada harapan dalam hati pendekar Yap Kun Liong ini bahwa siapa tahu, mungkin saja Sin Liong menemukan sesuatu yang hebat, yang melebihi dia atau Bun Houw. Buktinya, bukankah pemuda itu dapat merobohkan dan mengalahkan pengeroyokan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio? Dan bukankah pangeran itupun seorang yang masih amat muda namun telah menemukan ilmu yang aneh dan amat hebat?

   Orang yang paling terkejut dan merasa penasaran adalah pangeran itu sendiri. Melihat munculnya Sin Liong yang datang-datang menantangnya, dia terkejut bukan main. Cepat matanya mencari-cari keluar dan dia dapat melihat Bi Cu berdiri di luar dalam keadaan sehat dan selamat. Seketika jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa tidak enak. Apa yang telah terjadi dengan suci dan subonya? Mereka itu bertugas menjaga Bi Cu, akan tetapi mengapa kini Bi Cu telah keluar dan muncul pula Sin Liong? Jantungnya makin berdebar khawatir ketika dia menduga bahwa jangan-jangan sucinya dan subonya telah dirobohkan oleh Sin Liong! Melihat pangeran itu memandang ke arah Bi Cu, kemudian seperti orang mencari-cari dengan matanya, Sin Liong berkata.

   "Tidak perlu kau cari lagi dua iblis betina itu, mereka sudah melayang ke neraka!"

   Wajah Han Houw berubah agak pucat, akan tetapi dia lalu menatap wajah Sin Liong dengan kebencian yang besar.

   Memang sejak dahulu dia membenci pemuda ini, membencinya karena timbul dari perasaan iri hati! Sejak Sin Liong masih kecil, ketika menjadi tawanan kim Hong Liu-nio, dia melihat pemuda yang masih anak-anak itu demikian berani dan amat gagahnya, hal ini membuat dia kagum sekaki, akan tetapi juga mendatangkan rasa iri yang pertama kalinya. Kemudian, ketika dia mendengar bahwa bocah yang berwatak gagah itu adalah putera seorang pendekar besar, cucu ketua Cin-ling-pai, irinya menjadi makin besar. Di samping rasa iri ini memang ada rasa suka sehingga dia mengambil Sin Liong sebagai saudara angkat. Akan tetapi semua sifat-sifat baik dari Sin Liong merupakan siksaan baginya dan membuat perasaan iri hati itu makin menjadi-jadi. Melihat Sin Liong begitu kuat terhadap wanita,

   Tidak mudah tunduk kepada nafsu, membuat dia melihat betapa dia sendiri amat lemah terhadap wanita dan hal inipun menimbulkan iri pula. Kemudian, melihat kepandaian Sin Liong yang melebihi dia, iri hatinya makin memuncak sehingga beberapa kali dia sudah hendak membunuh pemuda itu. Kebenciannya amat mendalam, dan sekarang, melihat Sin Liong membangkang terhadap dia, tidak mau menjadi pembantunya, bahkan menentang dan membunuh sucinya dan subonya, kebencian yang meracuni hati Ceng Han Houw membuat dia memandang dengan muka beringas. Akan tetapi, dasar dia amat cerdik, maka dia dapat menekan perasaannya itu dan tiba-tiba saja pangeran itu tertawa. Semua orang terkejut melihat wajah beringas itu, dan terheran-heran mendengar betapa pangeran yang nampak marah itu tiba-tiba malah tertawa.

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha-ha, Cia Sin Liong! Akhirnya, engkau sendiri yang membuka rahasiamu! Jadi engkau hendak membela ayahmu yang sudah hampir kalah?"

   Ucapan ini tentu saja mengejutkan hati semua keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali Cia Bun Houw. Sedangkan Ciauw Si mengerutkan alisnya dan dia merasa heran menyaksikan perubahan sikap suaminya seperti itu.

   "Pangeran Ceng Han Houw! Tak perlu banyak cakap lagi, marilah kau mulai. Akulah lawanmu, bukan untuk memperebutkan sebutan jagoan atau apa, melainkan untuk memperebutkan kebenaran, untuk membereskan semua perhitungan antara kita yang sudah bertumpuk-tumpuk selama ini! Hayo, kalau memang engkau seorang jantan dan jangan selalu menggunakan kecurangan yang licik!"

   "Hei, Liong-te, lupakah engkau bahwa engkau telah mengangkat sumpah menjadi adik angkatku?"

   "Cukup! Sumpah itu berkali-kali kau langgar sendiri dan beberapa kali engkau hendak mencelakakan aku, dan berkali-kali mengganggu Bi Cu. Kita bukan saudara angkat lagi, melainkan musuh-musuh besar!"

   "Hemm, bukankah engkau masih saudara misan langsung dari isteriku? Isteriku adalah puteri pendekar wanita Cia Giok Keng keturunan langsung dari locianpwe Cia Keng Hong, sedangkan engkau juga keturunan langsung dari beliau karena engkau putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw...?"

   "Tutup mulutmu yang kotor!"

   Tiba-tiba terdengar pendekar sakti Cia Bun Houw membentak dari pinggiran karena pendekar ini marah sekali mendengar ucapan terakhir yang mengatakan bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya itu. Pangeran itu tertawa.

   "Ha-ha, memang dirahasiakan. Hemm, seluruh dunia kang-ouw mengira bahwa para pendekar Cin-ling-pai adalah orang-orang gagah sejati yang suci murni. Akan tetapi..."

   "Pangeran...!"

   Tiba-tiba Lie Ciauw Si berseru dan pangeran itu menoleh kepada isterinya.

   "Si-moi, aku tidak berdaya. Lihat, mereka semua memusuhi aku, aku maka terpaksa aku harus membela diri dan membalas. Aku dikeroyok oleh mereka semua, keluarga Cin-ling-pai yang gagah dan suci ini, apakah engkau tidak hendak membelaku dan juga hendak berfihak dengan mereka mengeroyokku sekalian?"

   Melihat sinar mata penuh duka dan marah dari suaminya, Ciauw Si menunduk, baru sekarang dia melihat betapa suaminya memang memiliki watak yang curang dan licik,

   Apalagi ketika dia melihat betapa Bi Cu ditawan untuk memaksa Sin Liong dan kini betapa suaminya itu hendak membongkar rahasia pamannya. Akan tetapi, betapapun juga, dia mencinta suaminya itu! Baik atau buruk pria itu adalah suaminya, satu-satunya pria di dunia ini yang telah memilikinya lahir batin, memiliki tubuhnya, cintanya. Mana mungkin dia akan menentang orang yang dicintainya? Tentu saja kalau suaminya itu hendak memberontak, hendak melakukan hal-hal yang jahat, dia tidak akan mau membantunya. Namun, apapun yang dilakukan oleh suaminya itu, dia menilainya bukan sebagai kejahatan, melainkan hanya sebagai kelemahan batin suaminya yang ingin mencapai kedudukan tertinggi. Maka kini, melihat betapa suaminya menentang keluarganya sendiri, diapun diam saja, hanya merasa betapa hatinya tertekan dan terasa sengsara sekali.

   "Ceng Han How, manusia pengecut, hayo majulah untuk menentukan siapa di antara kita yang akan mati dan siapa yang boleh hidup terus!"

   Sin Liong sudah menantang lagi. Han Houw tersenyum.

   "Sin Liong, aku sudah cukup mengenalmu lahir batin. Aku tahu bahwa engkau tidak akan menyerang seorang yang tidak mau melawan, dan sebelum aku habis bicara, aku tidak akan melawanmu dan boleh engkau memukul mampus padaku!"

   Kemudian pangeran ini memandang ke sekeliling dan suaranya meninggi sehingga terdengar oleh semua orang.

   "Cu-wi, cu-wi telah menyaksikan sendiri bagaimana sifat dan watak orang-orang Cin-ling-pai. Sudah jelas bahwa cucu wanita ketua Cin-ling-pai telah dengan suka rela menjadi isteriku yang tercinta, namun keluarga yang agung itu tidak mau menerima kenyataan ini, seolah-olah mereka merasa sebagai keluarga yang terlalu bersih, terlalu tinggi dan terlalu agung untuk menerima aku sebagai anggauta keluarga mereka! Padahal, siapakah yang tidak tahu akan segala rahasia busuk mereka? Tentang petualangan-petualangan cinta keturunan mereka? Dan yang terakhir, mereka malah merahasiakan adanya seorang keturunan gelap, seorang anak haram yang terlahir di antara mereka. Inilah anak itu, Cia Sin Liong, yang terlahir dari seorang ibu yang sengsara karena setelah mengandung dia, wanita itu tidak dinikah dan ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang mengaku sebagai pendekar gagah perkasa dan suci, Cia Bun Houw!"

   "Keparat jahanam!"

   Cia Bun Houw tak dapat menahan kemarahannya.

   "Buktikan tuduhanmu itu, kalau tidak... aku bersumpah untuk menghancurkan mulut busukmu!"

   Kini Pangeran Ceng Han Houw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang ke arah Cia Bun Houw dengan sinar mata menantang.

   "Cia Bun Houw, engkau masih hendak berlagak sebagai seorang yang bersih dan gagah? Tidak perlu aku banyak bicara, kalau engkau hendak melihat bukti dari perbuatanmu yang rendah dan hina itu, tanyalah Cia Sin Liong ini sendiri! Tanyakan apakah dia bukan anak kandungmu!"

   Karena dia masih merasa bersih dan melihat tidak mungkinnya dia mempunyai seorang anak seperti pemuda ini, Cia Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan pemuda itu juga sedang memandang kepadanya, hendak melihat apa yang menjadi reaksi dari ayah kandungnya itu mendengar kata-kata serangan Han Houw. Mereka saling berpandangan dengan tajam dan penuh selidik, dan akhirnya, dengan suara penuh penasaran Bun Houw bertanya, suaranya seperti membentak nyaring,

   "Sin Liong, benarkah bahwa engkau adalah anak kandungku?"

   Sin Liong menelan ludahnya. Sebetulnya, tidak ada keinginan di dalam hatinya untuk mengakui pendekar ini sebagai ayahnya, dia tidak sudi untuk ikut membonceng ketenaran nama keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, kekerasan hatinya itu sebagian besar terdorong oleh kenyataan betapa ayah kandungnya itu telah meninggalkan ibunya dan telah menikah dengan seorang wanita lain.

   

Dewi Maut Eps 5 Dewi Maut Eps 23 Dewi Maut Eps 45

Cari Blog Ini