Pendekar Sadis 11
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Kata Bi Cu khawatir.
"Ah, justeru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka perlu mereka untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukan anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kau ingat ini. Mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan."
Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja malah! Mereka menerima benyak nasihat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan.
"Ingat baik-baik,"
Demikian antara lain pendekar itu memberi nasihat.
"sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, di mana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah tertindas. Akan tetapi, kalian tidak boleh mempergunakan ilmu untuk membunuh orang, betapapun jahat orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan para penjahat itu sendiri. Kalian tentu saja dalam membela orang-orang lemah harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar maupun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apalagi membunuhnya. Mengertikah kailan?"
Biarpun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk.
Setelah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan. Mereka berangkat dengan hati lapang, seperti dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandang mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan. Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali Han Tiong ikut merasa gembira. Ketika mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.
"Engkau senangkah melakukan perjalanan ini, Sin-te?"
"Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa seperti seekor burung keluar dari sarang terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?"
Han Tiong tersenyum. Kalau pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu.
"Selama beberapa pekan ini engkau di rumah nampak berduka dan kecewa. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?"
Thian Sin menggeleng kepala, membuat kakaknya terheran.
"Hwi Leng sudah mati, hal itu tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekalipun. Aku hanya merasa menyesal melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan, yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio maupun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali."
"Eh? Apa maksudmu?"
Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu.
"Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka."
"Hemm, aku masih belum mengerti."
"Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andaikata aku tidak mentaati semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andaikata dahulu aku tidak bersikap alim, andaikata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Demikian pula dengan Hwi Leng, andaikata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!"
"Ah, omongan apa yang kau keluarkan ini, Sin-te?"
Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk.
"Maafkan aku, Tiong-ko."
Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus,
"Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanya didasarkan rugi untung, susah senang bagi dirimu sendiri belaka. Engkau kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal karena dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sesungguhnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal." Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu.
"Apa... maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku benar-benar mencinta mereka!"
Han Tiong menggeleng kepala.
"Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan tentang Hwi Leng, dia matipun hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggauta Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka."
Thian Sin mengangguk-angguk.
"Aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlalu mementingkan diri sendiri saja."
"Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Engkau agaknya terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena seorang pendekar tidak semestinya sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung lebih banyak seginya yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahitpun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang selama ini kita terima?"
Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri.
"Jangan khawatir, adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tidak akan mengulang kebodohannya lagi."
Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu terdengarlah alunan suara tiupan suling yang merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu sehingga akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun. Karena perjalanan itu melalui perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga puluh orang anggauta Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggauta Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.
"Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!"
Han Tiong berseru nyaring dan mereka yang mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat dan sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu. Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka.
"Kami bukan datang sebagai musuh,"
Kata Thian Sin.
"Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan di sini."
Tiba-tiba seorang di antara para anggauta Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut.
"Ji-wi Taihiap harap sudi memaafkan kami semua..."
Kata orang itu. Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin, dan tersenyum,
"Bangkitlah, kalian tidak perlu berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?"
"Tidak, tidak, Taihiap. Para pimpinan telah meninggalkan kami. Kami adalah anggauta-anggauta yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini."
Jawab orang pertama. Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka.
Kemudian orang itu menceritakan bahwa semenjak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh dua orapg pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka mereka itu berturut-turut kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang mempunyai keluarga saja tidak berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan. Setelah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meningalkan banyak juga harta benda untuk mereka.
"Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga memiliki anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian, menjauhi pekerjaan yang jahat dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain. Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau kalian kembali kepada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apabila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini."
Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda itu. Kemudian dua orang pemuda itu lalu meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi mempergunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan mereka menyeberangi Tembok Besar. Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya,
"Ada apakah, Sin-te?"
"Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, dan di depan kita karena mereka merasa takut, tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu. Akan tetapi kelak, aku yakin bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apalagi kalau ada yang memimpin mereka."
"Hemm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?"
"Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok mereka itu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat seperti mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!"
Han Tiong tersenyum,
"Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Lupakah engkau akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah seorang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, kalau kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita beri obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Betapapun juga, manusia adalah mahluk yang amat lemah, baik badan maupun batinnya. Itulah sebabnya kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan membenci mereka."
"Mengasihani orang jahat?"
"Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit..."
"Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, harus pula kita kasihani penjahat itu?"
Dibantah seperti ini, Han Tiong tidak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya. Tentu saja dia tidak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat daripada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.
"Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, maupun Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tidak ada yang harus menjadi penasaran. Andaikata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?"
"Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat."
Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka diapun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tidak menyenangkan itu dan melanjutkan perjalanan dengan gembira karena pemandangan di sepanjang perjalanan, melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan. Biarpun mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja, pada tujuh tahun yang lalu bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain telah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Dan Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah ketika dia baru berusia sebelas tabun.
Oleh karena perjalanan itu amat jauh, dan dia sama sekali sudah tidak lagi ingat jalannya, sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui. Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong agar di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.
"Kalian boleh pergi merantau sampai satu tahun,"
Demikianlah pesan Cia Sin Liong.
"Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian untuk mengunjungi tiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama."
Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena sejak dahulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar.
Dan tidaklah aneh karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri. Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lalu agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang dapat diperbesar, baik dengan negara-negara barat sampai ke India dan Arabia, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampni ke Kepulauan Indoesia, yaitu Sumatera dan Jawa.
Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran dan kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw menarik pula minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah sejak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang. Biarpun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, namun dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah. Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga,
Julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dlhadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak. Hanya karena pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andaikata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Biarpun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apalagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan memperkenalkan diri sembarangan dan agar jangan sampai berhubungan dengan kerajaan. Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiripun adalah seorang pemuda yang sederhana batinnya,
Tidak suka akan nama besar dan kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati. Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapapun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biarpun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapapun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama! Akan tetapi, di samping ini, diapun tahu bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini pula, mengirim pasukan untuk "menghukum"
Ayahnya sebagai pemberontak.
Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya. Biarpun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, namun keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar dan indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan pakaian-pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali.
"Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu,"
Kata Han Tiong kepada adiknya.
"Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok,"
Kata Thian Sin.
"Tidak, adikku. Justeru kalau bermalam di kuil tua atau sebagainya, lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena pakaian kita seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar, menyimpan buntalan pakaian, baru kita jalan-jalan,"
Jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat kepada Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu benar dan tepat. Di dalam hatinya, Thian Sin amat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dia yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama mempergunakan ilmu simpanan mereka,
Dia tidak akan menang melawan kakaknya. Biarpun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara dua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi-i-beng dan Cap-sha-ciang atau lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja. Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa diapun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi-i-beng itu kepada adiknya. Hal inipun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.
Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan setelah mandi dan berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian karena mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu. Setelah berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap. Ketika mereka memasuki rumah makan itu, ternyata restoran itu mempunyai ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin mengajak kakaknya naik ke loteng.
Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan, sedangkan beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu diarahkan kepada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat jalan itu. Dua orang muda itu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk di sudut ruangan seorang diri, menghadapi seguci arak dan sebuah cawan dan beberapa piring gorengan dan dan kacang. Pemuda itu memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya,
Dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal. Wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi. Ketika dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seerang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim, maka kini melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia tertarik sekali. Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali!
Pemuda tampan yang berpakaian mewah itupun melirik ke arah dua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin dan keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah. Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka, akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat menghampiri meja pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk.
"Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagikah?"
Tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah dan penuh hormat. Pemuda tampan itu sudah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas bertulis itu kepada pelayan sambil berkata, nada suaranya halus seperti cara bicara seorang terpelajar.
"Sampaikan ini kepada pengurus restoran!"
Pelayan itu melirik ke atas kertas, kedua alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan datangnya dua orang tamu baru ini.
"Hei, pelayan!"
Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum. Pelayan itu cepat menghampiri dan membungkuk-bungkuk, sikapnya hormat.
"Kongcu memanggil saya?"
Tanyanya.
(Lanjut ke Jilid 11)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
"Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman."
Kata Thian Sin dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi dan air teh. Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng. Karena maklum bahwa pemuda mewah yang mempunyai yang-kim itu biarpun tidak langsung memandang kepada mereka akan tetapi memperhatikan, Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti datangnya pesanan makanan. Pada saat itu, semua tamu yang berada di loteng itu, tidak kurang dari sepuluh orang banyaknya, semua pria, menoleh dan memandang ke arah tangga yang menghubungkan loteng itu dengan tingkat bawah. Karena tertarik,
Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah pula memasuki loteng itu dengan mulut tersenyum-senyum simpul amat manisnya. Wanita itu masih muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, selain cantik manis, juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang terbuat dari sutera halus yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan, dihias dengan pengikat rambut emas permata berkilauan. Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan rambutnya. Semua pria yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya mereka semua mengenal wanita ini. Akan tetapi wanita itu menoleh ke arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lalu berlari kecil menghampiri lalu menjura dengan lemah lembut dan manis gayanya.
"Ah, maafkan kalau saya terlambat, kongcu."
Katanya dan dua orang wanita cantik berpakaian pelayan juga sudah naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu.
"Kalian tunggu saja di bawah,"
Kata wanita cantik itu kepada dua orang pelayannya.
"Siang Hwa, kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, wajar bagi seorahg wanita cantik, tentu membutuhkan banyak waktu untuk berhias."
"Bukan begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa saya, padahal sudah diberi tahu bahwa saya tidak sempat menerima tamu dan ada keperluan penting. Eh, mungkin dia mengikuti aku ke sini, wah berabe orang itu...!"
Pemuda itu hanya tersenyum.
"Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk menenangkan hatimu."
Wanita muda itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian tersenyum dan memandang kepada pemuda itu dengan manis.
"Kongcu aneh, kenapa tidak datang ke sana, melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?"
"Aku ingin engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini..."
Mereka lalu bicara lirih-lirih sambil kadang-kadang tersenyum. Semua orang kini tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa wanita itu menjadi "tamu"
Atau sahabat dari pemuda yang mewah itu.
Thian Sin dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada saat menghampiri meja pemuda tampan. Thian Sin memandang kagum. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik ini! Dan dia kagum pula menyaksikan sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi juga halus dan manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen! Han Tiong sudah tidak melihat lagi, akan tetapi Thian Sin masih terus memandang ke arah meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat dia memandang, pemuda itu tersenyum lebar dan mengangguk sedikit. Menyaksikan keramahan ini, mau tidak mau Thian Sin juga menggerakkan sedikit kepalanya sebagai balasan, lalu diapun memutar leher dan menghadapi kakaknya.
Pada saat itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari situ muncul serombongan pelayan memanggul baki-baki terisi masakan-masakan. Ada empat orang pelayan membawa makanan dan diiringkan oleh pengurus restoran itu sendiri, seorang laki-laki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar seolah-olah mukanya pecah menjadi dua. Tadinya Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan oleh pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik. Akan tetapi betapa heran rasa hati mereka ketika para pelayan itu, dipimpin oleh pengurus restoran, langsung menghampiri meja mereka dan mengatur semua hidangan itu, lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan mereka.
"Hei, apa artinya ini?"
Thian Sin berseru.
"Maaf, kalian tentu telah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan kami, tentu pesanan orang lain."
Kata Han Tiong sambil bangkit berdiri. Pengurus restoran itu menjura dan mulutnya menjadi semakin lebar seperti robek.
"Memang benar makanan ini dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!"
"Tapi... tapi... kami tidak mengenal dia,"
Kata Han Tiong. Pengurus restoran itu masih tetap tersenyum.
"Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi dan mengajak ji-wi untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan terkenal amat royal, membagi uang seperti pasir saja."
Setelah mengangguk dan membungkuk, pengurus restoran itupun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan. Han Tiong dan Thian Sin saling pandang, kemudian keduanya bangkit dan menghampiri meja pemuda mewah yang masih nampak mengobrol dengan wanita cantik tadi, seolah-olah tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi ketika dua orang muda itu menghampiri mejanya, diapun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap hormat, tersenyum ramah.
"Kami tidak mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!"
Kata Han Tiong, sikapnya halus dan sopan, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah orang. Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu kelihatan agak gugup, akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar.
"Ah, saya tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa ji-wi bukan penduduk sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan sekedarnya."
"Tapi... tapi kami tidak mengenal Anda..."
"Perkenalkanlah, saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang diri dan kesepian, akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini dan akan menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan ji-wi."
Melihat sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat menolak lagi. Thian Sin yang sejak tadi mendengarkan saja kini berkata.
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua. Maka silakan Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada nona..."
Orang yang bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum dan mengangguk-angguk, memuji sikap Thian Sin yang ramah dan juga tidak pemalu seperti Han Tiong.
"Terima kasih kalau memang ji-wi menghendaki, kami akan suka sekali. Bukankah demikian, Nona Siang Hwa?"
Dia menoleh kepada wanita itu yang juga sudah bangkit berdiri. Nona itu menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai ketika membungkuk.
"Ahhh, saya merasa amat terhormat sekali..."
Katanya, suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam. Di dalam hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan penawaran adiknya, akan tetapi karena sudah terlanjur, tentu saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap wanita cantik itu yang begitu memikat sikapnya,
Sikap genit sungguhpun kegenitan ith halus sekali dan nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga seorang yang sopan terpelajar. Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan yang segera disuruhnya memindahkan bangku-bangkunya ke meja dua orang pemuda itu. Kini mereka berempat duduk menghadapi meja penuh hidangan dan dengan cekatan Wi Hong menuangkan arak ke dalam cawan wanita itu dan dua orang pemuda yang menerimanya dengan sungkan. Baik Han Tiong maupun Thian Sin bukan peminum arak dan biarpun mereka biasa minum arak akan tetapi tidak begitu suka. Akan tetapi, karena orang itu sebagai fihak tuan rumah sudah menuangkan arak, terpaksa mereka mengangkat cawan dan meminumnya ketika Wi Hong berkata.
"Silakan minum demi persahabatan kita!"
"Saya telah memperkenalkan nama saya, yaitu Siangkoan Wi Hong, dan dia ini adalah Siang Hwa, kembang di antara kembangnya daerah hiburan di kota raja. Maka saya harap ji-wi sudi memperkenalkan nama agar lebih leluasa kita bercakap-cakap."
Biarpun mereka belum berpengalaman, namun istilah "kembang daerah hiburan"
Itu mengejutkan Han Tiong dan Thian Sin. Jadi wanita cantik ini adalah seorang pelacur? Ah, mereka berkenalan dengan seorang pelacur dan tentu pemuda itu merupakan seorang pemuda hidung belang, dan duduk semeja dengan seorang pelacur!
"Nama saya Thian Sin,"
Kata Thian Sin dengan cepat.
"Aih she Thian? Jarang saya bertemu dengan orang she Thian!"
Kata Wi Hong memuji, kemudian memandang kepada Han Tiong.
"Dan Anda?"
"Saya bernama Cia Han Tiong,"
Jawabnya sederhana.
"She Cia? Ah, kalau Cia cukup banyak, bahkan terkenal karena bukankah keluarga Cin-ling-pai juga she Cia? Wah, jangan-jangan Saudara Cia Han Tiong ini keluarga Cin-ling-pai? Aha, tentu saja bukan, karena kalau keluarga Cin-ling-pai tentu langsung saja ke istana, bukan?"
"Kami berdua adalah kakak dan adik angkat."
Kata Han Tiong cepat, hanya asal dapat mengatakan sesuatu saja dan dia tidak perlu menjawab benar atau tidaknya ucapan Wi Hong tadi. Wi Hong kembali hendak mengisi cawan arak, akan tetapi Han Tiong menolaknya dan berkata,
"Terima kasih... tapi kami berdua jarang minum arak, bagi kami cukup teh saja."
"Aihhh, pemuda-pemuda yang terpelajar dan hidup bersih menjauhi arak, ya? Bagus, mari silakan makan."
Wi Hong ternyata pandai sekali bicara dan sikapnya amat ramah sehingga mereka mulai makan minum sambil bercakap-cakap, atau lebih tepat lagi Wi Hong yang bercakap-cakap sedangkan dua orang muda itu hanya lebih banyak mendengarkan saja.
"Saya sendiri bukan orang kota raja,"
Antara lain Wi Hong bercerita memperkenalkan dirinya.
"saya tinggal di Tai-goan, akan tetapi saya sering pesiar di kota raja, di mana ayah mempunyai sebuah rumah, juga mempunyai sebuah cabang toko di kota raja ini. Apakah ji-wi datang dari utara? Logat bicara ji-wi seperti orang utara..."
"Kami datang dari dusun, di utara kota raja..."
"Ah, agaknya pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian tahun ini, ya? Jangan khawatir kalau memang demikian, saya mempunyai kenalan baik yang duduk sebagai anggauta panitia ujian..."
"Ah, sama sekali bukan!"
Kata Han Tiong dan mukanya menjadi agak merah. Dia dan Thian Sin disangka pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian siucai (sasterawan)! "Kami hanya melancong saja, hendak pergi ke rumah bibi kami di Lok-yang dan hanya singgah untuk melihat-lihat di kota raja ini."
"Ji-wi kongcu, harap jangan sungkan, makanlah daging dan sayurnya. Mari, jangan malu-malu!"
Wanita itu dengan gaya memikat lalu menggunakan sumpitnya untuk mengambilkan daging dan sayur dan diletakkan ke dalam mangkok Thian Sin dan Han Tiong. Dua orang muda itu tersipu-sipu, akan tetapi tidak mampu menolak dan mengucapkan terima kasih. Melihat sikap dua orang muda itu demikian malu-malu, Siangkoan Wi Hong tertawa.
"Ha-ha-ha, Thian-lote dan Cia-lote, harap jangan malu-malu. Dia ini adalah kembangnya daerah hiburan di kota raja. Bahkan pembesar-pembesar tinggi, para pangeranpun merindukannya dan sering kali dia dipanggil ke istana untuk memberi hiburan. Suara nyanyiannya seperti burung hong dan kalau dia menari, wah, seperti bidadari baru turun dari sorga!"
"Ih, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku, kongcu, kalau terlepas dan jatuh, bisa remuk aku!"
Kata wanita itu sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang putih indah dan sekilas nampak ujung lidah yang merah. Thian Sin ikut tertawa. Senang hatinya karena wanita itu ternyata selain ramah, juga pandai bicara. Akan tetapi Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri, memandang ke arah para tamu lain dengan hati kurang enak. Dia merasa yakin bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan pemuda kaya dan royal ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan, mengandung iri hati! Tiba-tiba semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar menaiki tangga yang menuju ke loteng.
"Tidak peduli dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!"
Terdengar suara seorang laki-laki, suara yang kasar dan mengandung kemarahan. Mendengar suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu berubah pucat.
"Celaka, Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!"
Katanya kepada Siangkoan Wi Hong.
"Tenanglah, biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa,"
Kata Siangkoan Wi Hong dan melihat sikap pemuda hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga. Mereka menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya pandai pula ilmu silat, maka menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang saja. Apalagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya seperti senjata, maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka ingin sekali melihat apa yang akan terjadi. Mereka tidak merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan adalah pemuda she Siangkoan itu, bukan mereka.
Mereka sama sekali tidak mencari perkara, bahkan untuk menjaga agar jangan sampai membikin orang lain merasa tidak senang, mereka telah menerima undangan makan dan suguhan orang she Siangkoan itu, walaupun mereka merasa tidak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang pelacur. Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut betapa akan sikap ayah dan ibu mereka kalau melihat mereka duduk mengobrol dan makan semeja dengan seorang pelacur, pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja! Muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya, dan rambutnya mengkilap licin terlalu banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru,
Tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak. Di belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan hati. Semua tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentu akan terjadi keributan, apalagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini. Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin marah dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil menonton.
"Heh, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah menghinaku, keparat!"
Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak dan telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan.
"Sudah... sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat..."
Wanita itu coba untuk memberi alasan.
"Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah! Tidak tahukah engkau siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamupun sanggup aku membelinya! Coba katakan, berapa engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!"
"Siauwya, harap maafkan aku..."
Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis.
"Biarlah besok saya menerima kunjungan siauwya..."
"Apa! kau kira hanya uang saja yang dapat kuberikan? kau kira aku tidak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan ikut bersamaku. Sekarang juga, mengerti? Kalau tidak..."
Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya dan tangan kanannya yang besar itu diangkat lalu ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu.
"Brakkki!"
Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat dan mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong. Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkan karena agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dia dapat membuka mata, dia melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong.
"Bocah keparat! kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!"
Bentak pemuda muka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu.
"Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, aku mengundang Siang Hwapun tidak dengan paksa, mana bisa aku disuroh keluar dengaw paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong? Tringgg...!"
Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan itulah bunyi "tring"
Sebagai penutup kata-katanya tadi. Si Muka Bopeng menjadi semakin marah.
"Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu...?"
"Tringg...!"
Yang-kim itu disentil kembali.
"Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu..."
"Tranggg..."
"Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!"
"Cringgg...!"
Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti bicara diselingi dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tidak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda she Siangkoan itu.
"Bocah kepar... anghhh...!"
Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, bakso yang dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu sudah memasuki mulut Ji Lou Mu yang sedang terbuka. Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya.
"Aahhh... aukkk... kekkk...!"
Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat.
"Blukk!"
Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar dari mengelinding di atas lantai.
"Hajar dia! Hantam dia...!"
Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan. Akan tetapi baru saja dua orang jagoan silat itu maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat dan dua potong daging basah menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu.
"Plok! Plok!"
Begitu cepatnya daging ini menyambar sehingga dua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka, maka potongan daging itu tiduk masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan kuah kecap!
"Ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?"
Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil tertawa, kemudian melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu.
"Plak-plak-plak...! Aduhhh... auuw... aduhh...!"
Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya. Dia berjingkrak-jingkrak dan menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu. Marahlah dua orang jagoan tukang pukul itu ketika mereka diserang dengan sepotong daging dan mereka merasa terhina dan malu sekali. Sing! Sing! Mereka mencabut pedang mereka. Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya.
Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin bersikap enak-enak saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka. Dua orang kakak beradik ini tadi telah melihat gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa biarpun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, tak perlu dikhawatirkan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir pingsan. Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa terus merangkul dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan dan pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul seperti itu!
"Ha-ha-ha!"
Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi pada saat itu, Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya, pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan mayat!
Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong dan diam-diam diapun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu. Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang merdu sekali, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu! Dan tiga orang kasar itu juga tiba-tiba menghentikan gerakan mereka,
Wajah mereka pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, menotok ke arah tangan yang memegang pedang. Terdengar suara berkerontangan ketika tiga batang pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya masing-masing dan jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah tiga batang pedang itu satu demi satu dan terdengarlah suara "krek-krek-krek!"
Dan tiga batang pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Ji Lou Mu dan dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan tandingan mereka! Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di situ terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja.
"Kau tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera datang!"
"Tring! Trang!"
Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan. Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada dua orang pembantunya.
"Mari pergi!"
Akan tetapi baru saja dia dan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong sudah menghadang di depan mereka sambil tersenyum.
"Mengapa kalian tergesa-gesa amat? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat kepergian kalian."
Tangannya bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara ketawa para tamu yang berada di atas loteng. Sambil merangkak, tiga orang itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur segera pergi dari restoran itu. Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng dan menangis menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya.
"Ah, Siangkoan-kongcu bagaimana ini... ah selamatkan kami dan restoran kami..."
"Aih, engkau ini kenapa sih?"
Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya.
"Kongcu tidak tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar"
"Hemmm, aku tidak takut."
"Benar, kongcu tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh... ah, tolonglah, kongcu!"
"Hemm, dia putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?"
"Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar."
"Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?"
"Benar, kongcu."
"Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menanti di sini sampai ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak dan daging kepada semua tamu yang berada di loteng ini, atas namaku yang akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral saudara-saudara!"
Dewi Maut Eps 40 Pendekar Lembah Naga Eps 8 Pendekar Lembah Naga Eps 24