Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 9


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Leng-ji, lupakah engkau dengan siapa kau berhadapan?"

   Terdengar laki-laki itu membentak marah, suaranya parau dan lantang.

   "Aku berhadapan dengan ayah,"

   Jawab dara itu, sikapnya tetap menentang.

   "Hemm, kau masih ingat aku ayahmu, dan bukan itu saja, bahkan aku juga gurumu! Dan sekarang kau berani menentangku?"

   "Ayah, ingatlah akan apa yang ayah katakan dan janjikan kepadaku! Ayah melakukan kekacauan di dusun itu, lalu menawan wanita-wanita itu hanya sebagai memenuhi tugas ayah sebagai anggauta Jeng-hwa-pang saja untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga. Bukankah begitu? Akan tetapi di dusun itu ayah telah melakukan pembunuhan-pembunuhan..."

   "Bukan aku yang melakukannya!"

   "Benar, anak buah ayah, akan tetapi mengapa ayah tidak melarang mereka? Kemudian penawanan lima orang wanita ini yang ayah katakan sebagai memancing pendekar itu keluar dari istananya, akan tetapi mengapa sekarang ayah... ayah hendak... melakukan kekejian...?"

   "Ah, kau anak kecil tahu apa! kau keluarlah dan tinggalkan aku bersama mereka!"

   Akan tetapi dara itu dengan sikap tegas menggeleng kepalanya dan matanya memancarkan sinar penuh kemarahan.

   "Tidak! Aku adalah seorang wanita, dan merekapun wanita! Kalau mereka dihina di depanku, sama saja dengan aku yang terhina. Aku akan melindungi mereka dari gangguan siapapun juga, ayah. Kalau perlu aku rela mengorbankan nyawaku. Yang kubela bukanlah perorangan, melainkan kehormatan wanita!"

   "Ehh...? kau berani...? Leng-ji, sudahlah. Aku tidak mau membiarkan hatiku marah kepadamu. Biarlah aku mengalah, kau berikan seorang saja di antara mereka kepadaku, yang mana saja."

   "Jangan, ayah. Pula, mengapa ayah menjadi begini? Mengapa Ayah mau melakukan hal yang jahat itu?"

   Di dalam suare dara itu terkandung isak dan kedukaan.

   "Hemm, kau anak tolol. Semenjak ibumu tiada, aku menderita. Berikanlah seorang saja di antara mereka untuk menghibur hati ayahmu yang kesepian ini."

   "Tidak akan kuberikan kepada siapapun juga selama aku masih hidup dan berada di sini!"

   "Apa? kau berani menentang ayahmu, gurumu?"

   "Apa boleh buat! Biar ayah, atau guru, kalau tidak benar, harus ditentang!"

   Ucapan ini terdengar gagah sekali dan membikin kagum dua orang muda yang berada di atas pondok sehingga mereka tertarik dan menjadi lengah. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di bawah pondok.

   "Mata-mata di atas pondok!"

   "Musuh datang...!"

   "Kepung! Tangkap!"

   Han Tiong dan Thian Sin terkejut sekali dan ketika mereka memutar tubuh dan memandang, ternyata pondok itu telah terkepung oleh kurang lebih dua puluh orang, bahkan tak lama kemudian kepala perampok yang tadinya ribut-ribut mulut dengan gadisnya itupun sudah berada di luar pondok dan memandang ke atas.

   "Sin-te, kita ketahuan. Mari hajar mereka, akan tetapi jangan kau menurunkan tangan kejam, jangan membunuh orang."

   "Baik, Tiong-ko!"

   Baru saja menjawab demikian, tubuh Thian Sin sudah melayang turun ke bawah, tepat di tengah-tengah gerombolan itu dan pemuda inipun mulai mengamuk dengan hebatnya.

   Han Tiong juga cepat meloncat turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut. Thian Sin mengamuk seperti seekor naga, gerakannya cepat dan kuat dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk dan yang seorang lagi dengan tulang lutut hancur! Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini dan wajahnya kelihatan beringas dengan sinar mata berkilat sungguhpun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan.

   "Sin-te, jangan bunuh orang...!"

   Han Tiong merobohkan seorang perampok dan pemuda ini membatasi tenaganya sehingga orang yang dirobohkannya itu tidak sampai terluka parah, mendekati adiknya. Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka dan menggeroyok lebih ketat,

   Kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Hen Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri sendiri. Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali tidak membuat mereka repot karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya mengandalkan kekuatan tenaga kasar dan keras atau tajamnya senjata di tangen saja, biarpun mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar muda itu. Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya dan kini sudah keluar dari pondok, ketika melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah sekali. Dia mencabut golok besarnya dan membentak nyaring.

   "Dua bocah setan dari mana berani mengacau di sini?"

   "Tiong-ko, biar kuhadapi dia!"

   Kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan itu. Melihat seorang di antara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu menyambut dengan bacokan golok yang menyambar ke arah leher Thian Sin dengan cepat sekali, membentuk sinar dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Namun dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala dan berbareng kakinya menyambar ke bawah mengarah pusar lawan.

   "Ehhh...!"

   Kepala gerombolan itu terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar biasa cepat datangnya.

   "Siapa kau ?"

   Bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, matanya menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi pengeroyokan banyak orang.

   "Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar? Nah, kami sudah datang!"

   Kata Thian Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menerjang dengan pukulan-pukulan yang amat kuat dan cepat, membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas menyerang.

   "Tangkap mereka, hidup atau mati!"

   Bentak kepala gerombolan dan kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok, sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han Tiong. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah memiliki ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan orang-orang kasar itu, biar ditambah dua kali lipat lagipun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini. Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja.

   Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi menjaga jangan sampai membunuh. Sebenarnya Han Tiong sajalah yang sungguh melakukan ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biarpun tidak tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah. Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan goloknya itu cukup tangguh dibandingkan dengan anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada pangkal lengan kirinya, Thian Sin menjadi penasaran. Dia merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke depan, ke arah kepala gerombolan itu. Si kepala gerombolan ini menyambut dengan goloknya, membacok kepala. Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuh, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya.

   "Mampuslah!"

   Bentak Kepala Gerombolan itu.

   "Hemmm...!"

   Thian Sin mendengus dan cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak dan golok yang ditusukkan dengan kuat-kuat itu meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok. Thian Sin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar di siku membuat lengan itu seperti lumpuh dan secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri! Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi.

   "Crokkkk! Aughhhh...!"

   Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di bawah sikunya! Melihat ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apalagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka. Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring dan menginjakkan kakinya ke dada orang itu sambil membentak.

   "Hayo katakan siapa yang menyuruhmu!"

   Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi yang keluar hanya,

   "Ti... tidak, tidak...!"

   "Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?"

   Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya.

   "Aughhh... aduhh... ampun... kami disuruh... Jeng-hwa-pang..."

   "Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita? Kaki layak mampus!"

   "Sin-te, jangan!"

   Tiba-tiba Han Tiong telah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri.

   "Lepaskan dia!"

   Thian Sin memandang kakaknya, lalu mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang ditinggal pergi sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun, terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan kiri yang buntung.

   "Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah Naga bukanlah orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Pergilah!"

   Bentak Han Tiong dan kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung. Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk lebih dulu itu disambut dengan sambaran pedang.

   "Singgg...!"

   "Hemm...!"

   Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia telah menampar lengan kecil itu.

   "Plak...! Aihh...!"

   Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu disambar oleh tangan Thian Sin. Sambil menatap wajah yang manis dan yang terbelalak keheranan itu, Thian Sin memegang pedang dengan dua tangan, kemudian dengan gerakan enak saja dia mematahkan pedang itu seperti mematah-matahkan ranting yang kecil saja.

   "Krekkk!"

   Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai.

   "Ohhh...!"

   Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu. Tadi dia sudah mengintai melalui celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggauta gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi ketika dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan.

   "Nona, kami bukan musuhmu, biarpun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami melihat betapa dengan gagah engkau melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan,"

   Kata Han Tiong dengan suara halus.

   "Hemm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat..."

   Kata Thian Sin.

   "Dia bukan ayahku!"

   Dara itu berkata dengan suara lantang.

   "Eh, bukan? Bagus sekali kalau begitu!"

   Kata Thian Sin tersenyum.

   "Akan tetapi kami mendengar nona menyebutnya ayah."

   Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bengku dengan tubuh lemas.

   "Memang dia bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia... ketika aku berusia sepuluh tahun, dia membunuh ayah dan melarikan ibu dan aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang kini telah meninggal dunia pula. Dan tadi, melihat dia hendak memperkosa tawanan ini, aku semakin benci padanya!"

   Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa kasihan kepada dara ini. Apalagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim piatu, sama dengan dia! Hal ini saja sudah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu.

   "Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah Naga... bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?"

   "Ayah tiriku itu adalah seorang anggauta Jeng-hwa-pang dan dia diperintahkan oleh Jeng-hwa-pang untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga dengan jalan mengganggu dusun itu. Ayah mengumpulkan kawan-kawannya dan akupun ikut serta, bukan untuk ikut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sesungguhnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan, melainkan dengan penuh nafsu dan memang pekerjaan itu agaknya merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku menawarkan diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku menentangnya. Ayah sedang mabuk, kalau tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya... agaknya dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah macam dia! Aku tidak akan kembali kepadanya..."

   Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah. Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia lalu bertanya,

   "Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya, nona?"

   Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang di pelupuk matanya.

   "Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka..."

   "Sesudah itu...?"

   Thian Sin mendesak.

   "Sesudah itu... aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!"

   "Apakah... apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?"

   Gadis itu menggeleng kepala.

   "Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini..."

   Tiba-tiba seorang diantara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya.

   "Adik yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai penolong, dan pelindung kami..."

   Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu.

   "Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku mendukungnya! Ketahuilah, nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di dusun itu... kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat."

   Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Adiknya ini benar-benar agaknya sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing. Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah dua orang pemuda gagah perkasa itu.

   "Ah, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aih, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang tidur! Ji-wi amat gagah perkasa dan baik, dan saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggauta gerombolan pengacau."

   Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan menganggapnya sebagai pelindung dusun mulai saat itu. Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira dan bangga mendengar penuturan dua orang muda itu tentang hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu putus sebelah lengannya.

   "Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau agak keterlaluan kalau membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja."

   "Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, dan mengingat betapa dia telah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka..."

   "Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Dan yang amat menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan denganku?"

   "Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?"

   Tanya Han Tiong.

   "Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang ikut membunuh ayah bundaku!"

   Tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak angkatnya itu. Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian Sin.

   "Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka sampai sekarang mereka masih menaruh dendam. Betapapun juga, mudah-mudahan setelah menerima hajaran kalian, mereka tidak berani lagi mengacau."

   Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itupun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng kepada Thian Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong! Dia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin karena dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang mengandung kelemasan dan ilmu itu diharapkannya akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras. Maka, berlatihlah dua orang muda itu dengan amat tekunnya, dan sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

   Akan tetapi di samping menurunkan dua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi-i-beng kepade Han Tiong. Hal ini dilakukan bukan karena die pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa Thi-khi-i-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti).

   Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama makin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Lengpun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga diapun jatuh cinta! Dan karena dia tidak bertepuk tangan sebelah, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan kadang-kadang ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat yang sunyi itu, keduanya dengan leluasa saling menumpahkan rindu hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, namun selalu Thian Sin dapat mempertahankan nafsu berahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas kepada cumbu-cumbuan dan peluk cium belaka, tidak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinaan hubungan kelamin.

   Terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan kini seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok. Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapapun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai! Han Tiong juga melihat perkembangan ini dan Han Tiong inilah yang membisikkan nasihat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya.

   "Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu dan melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kau cinta. Hati-hatilah engkau."

   Thian Sin
(Lanjut ke Jilid 09)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
tersenyum dan mukanya berubah merah.

   "Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu berahi."

   Hemm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya.

   "Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?"

   Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut dan sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-geleng kepala seperti orang bingung dan berkata,

   "Menikah? Ah, itu... itu... entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku."

   "Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?"

   Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya,

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?"

   "Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah berpacaran, apalagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?"

   "Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?"

   "Ah, pertanyaanmu aneh sekali, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?"

   "Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko."

   "Hemm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu bisa terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!"

   Semenjak percakapan itu, Thian Sin nampak sering kali termenung dan menarik napas panjang dan dia mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan selalu muncul dan menghantuinya. Dia tidak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi diapun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng.

   Petani tua itu datang dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu sedang duduk di serambi depan, lengkap Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh! Perayaan keluarga yang sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan inipun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apapun untuk peringatan genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Bi Cu sejak pagi sekali telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu mereka sudah menghadapi sarapan besar dengan gembira. Kedatangan petani tua itu tentu saja mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia lalu mempersilakan orang itu duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu.

   "Celaka, Taihiap... dusun kami semalam didatangi lagi penjahat-penjahat!"

   Kata petani itu dengan suara gemetar. Keluarga itu terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak.

   "Ah, mereka masih berani datang lagi?"

   Seru Han Tiong.

   "Jahanam-jahanam itu menjemukan!"

   Thian Sin juga berseru.

   "Lalu apa yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?"

   Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran.

   "Hanya satu pembunuhan, Taihiap... Nona Hwi Leng mereka bunuh..."

   "Ahhh...!"

   Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia telah meloncat dan lari dari situ.

   "Sin-te...!"

   Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata.

   "Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang tidak semestinya."

   "Baik, ayah."

   Dan pemuda inipun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun di mana tinggal Loa Hwi Leng itu.

   "Sekarang harap kau ceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman,"

   Kata Sin Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu. Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki yang banyak. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing.

   "Saya memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah di mana Nona Hwi Leng tinggal."

   Kata kakek itu melanjutkan.

   "Saya melihat Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan dan dengan berani dia menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu."

   Dia berhenti dan kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri seolah-olah dia takut kalau-kalau di tempat itu sewaktu-waktu akan muncul perampok-perampok.

   "Lalu bagaimana, paman? Jangan takut, di sini aman,"

   Kata Sin Liong.

   "Terjadi pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan oleh mereka. Kemudian... kemudian..."

   Kakek itu tak dapat melanjutkan ceritanya dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, seolah-olah hendak menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya. Sir, Liong dan Bi Cu sudah dapat menduga.

   "Mereka itu membunuhnya?"

   Tanya Sin Liong kepada petani itu.

   "Bukan hanya dibunuh. Dia disiksa... saya tidak berani lagi melihatnya... dan kami semua tidak berani keluar biarpun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada keesokan harinya kami berani keluar dan melihat... mayat Nona Leng tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat..."

   "Keparat jahanam!"

   Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal karena nyonya ini sudah menjadi marah bukan main. Sin Liong memegang lengan isterinya dan dengan pandang matanya dia menenangkan isterinya. Bi Cu yang mukanya menjadi merah sekali itu menarik napas panjang menenangkan diri lalu duduk kembali.

   "Paman, apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?"

   "Mereka itu orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya mendengar suara Nona Leng merintih, akan tetapi ada yang bersuara, besar dan berkata : Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang? Hanya itulah yang saya dengar..."

   "Hemm, Jeng-hwa-pang lagi...!"

   Sin Liong berkata.

   "terima kasih atas laporanmu, paman."

   Setelah petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya,

   "Jeng-hwa-pang tak boleh dipandang ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak kita."

   Bi Cu mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut untuk dapat mengamuk dan memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang, akan tetapi karena kedua orang puteranya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi, lebih lihai daripada dia sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya bagi dia untuk menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan cepat untuk menyusul dua orang puteranya. Ketika Thian Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya dan melihat peti mati dengan hio mengepul di depan pintu bagaikan orang gila dia segera menjerit.

   "Hwi Leng...!"

   Dan dia segera menghampiri peti mati. Semua orang terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah.

   "Brakkk!"

   Sekali renggut, tutup peti mati itupun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan putih, namun masih nampak cantik biarpun muka itu penuh luka tersayat-sayat kulitnya. Dari pipi sampai ke dagu dan leher pehuh dengan goresan senjata tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin dapat menduga bahwa seluruh tubuh itu tentu penuh dengan luka-luka goresan pedang.

   "Hwi Leng...!"

   Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, kemudian dia memekik mengerikan.

   "Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang Jeng-hwa-pang!"

   Dan dia pun melesat dan lari cepat sekali dari tempat itu. Kurang lebih setengah jam kemudian Han Tiong tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa adiknya telah tiba di situ dan sudah pergi dalam keadaan marah mengejar orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali, diapun tidak lama berada di situ dan cepat dia pergi mengejar adiknya.

   Sekali ini Han Tiong berlari cepat sekali, mengikuti jejak rombongan kuda orang Jeng-hwa-pang yang menuju ke selatan keluar dari daerah itu. Dia merasa yakin bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu. Menjelang tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput itu dia melihat bahwa kekhawatirannya berbukti. Sampai di situlah jejak rombongan berkuda itu dan tak lama kemudian dia berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, di mana terdapat mayat-mayat dua belas orang berserakan. Dua belas orang itu tewas semua, dalam keadaan mengerikan dan kepala mereka pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya dan wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan perutnya terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya itu!

   "Thian Sin...!"

   Dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang basah. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat sehingga dia dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Thian Sin. Han Tiong lalu menggali lubang besar, hanya mempergunakan golok yang banyak terdapat di tempat itu. Golok, pedang dan tombak malang melintang dan patah-patah. Dapat dibayangkannya betapa adiknya telah mengamuk bagaikan seekor naga di tempat itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih basah. Ingin dia cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu. Tidak mungkin dia membiarkan saja mayat-mayat itu, apalagi mayat-mayat yang terbunuh di tangan adiknya. Dengan khidmat dia lalu mengangkat semua mayat dan memasukkannya ke dalam lubang besar yang dibuatnya,

   Di lubuk hatinya dia menganggap bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan adiknya. Kemudian dia menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan pengejarannya. Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia telah membunuh semua anggauta Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada dua tiga orang yang melakukan perlawanan agak keras karena kepandaian mereka yang lumayan. Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak,

   "Siapa yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?"

   Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku dan satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata.

   "Ini untuk Hwi Leng!"

   Dan....

   "prak!"

   Sekali tampar saja kepala itu tentu pecah! Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanyalah utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang!

   Dan kini dia harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga untuk ayah bundanya! Mengingat ini, membayangkan betapa dia akan menghancurleburkan Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini! Tiba-tiba muncul dalam benaknya wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasihat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang menasihatkan betapa buruknya dendam disimpan di hati.

   "Tidak, aku tidak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!"

   Demikian bibirnya bergerak dan dia mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya.

   "Aku adalah anak pendekar, sejak kecil dididik menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka."

   Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali, teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini. Menurut penuturan ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat, dan para anggautanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang ditakuti dan disegani. Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi.

   Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar. Ketuanya, belasan tahun yang lalu adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sian-jin yang saking lihainya dan pandainya tentang racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan kini diapun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka terhadap Cia Sin Liong. Maka sekali ini tugasnya selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng.

   juga untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu. Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa sudah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sian-jin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya. Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sian-jin yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa diapun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya. Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang,

   Juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Seng-cui dan Gin Thian Seng-cu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki kepandaian yang hanya sedikit selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam sendiri! Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.

   Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam gua sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu. Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam gua.

   Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah. Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka. Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang amat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga sudah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.

   "Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?"

   Tanya kepala jaga sambil memandang heran. Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi. Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum dan Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen.

   "Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini merupakan markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?"

   "Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?"

   Kepala jaga dan kawan-kawannya mulai memandang dengan sinar mata curiga..

   "Nama saya Thian Sin dan saya perlu bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang amat penting itu."

   Para penjaga itu berkurang kecurigaan mereka dan kepala jaga memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum.

   "Orang muda, memang Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Kalau ada urusan, sampaikan kepada kami dan kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, katakanlah, urusan apa yang ingin kau sampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?"

   Thian Sin menggeleng kepala.

   "Maaf, twako. Urusan ini menyangkut dia pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali."

   Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, apalagi karena pemuda remaja ini mengaku datang membawa berita yang amat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka kalau mereka mengganggu pemuda ini.

   "Baiklah,"

   Akhirnya kepala jaga berkata.

   "Kau tunggulah di sini dulu, biar kami melaporkannya kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?"

   "Nama saya Thian Sin..."

   Thian Sin tidak mau memperkenalkan she-nya yang sesungguhnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang amat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya. Dia harus hati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, tipis harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah.

   Sementara itu, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, tengah duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang diandalkan, yaitu Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu. Mereka sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng. Ketika ketua Jeng-hwa-pang ini mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng, dia menjadi marah sekali.

   Pasukan itu, ditambah oleh beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman, juga dengan perbuatan itu pasukan itu diharapkan akan memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang. Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali. Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda "pelajar"

   Yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu saling pandang dengan dua orang pembantunya.

   Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah kepada laporan adanya "pemuda pelajar"

   Itu dan mereka merasa curiga. Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam lalu memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan daripada menemui tamu di luar. Apalagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar. Tak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

   "Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan kalau saya datang mengganggu sam-wi,"

   Katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang. Diam-diam Thian Sin menyapu tiga orang kakek itu dengan pandang matanya.

   Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Seng-cu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, kurus dan mukanya hitam, sedangkan Gin Thian Seng-cu, sutenya, berusia dua tiga tahun lebih muda, gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri. Karena tamunya hanya seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sian-jin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum dan berkata,

   "Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang ingin bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kau sampaikan kepada kami?"

   Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, akan tetapi wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya.

   "Apakah saya berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang terhormat?"

   Karena pemuda itu memiliki wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sian-jin mengelus jenggotnya dan menjawab sambil tersenyum.

   "Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku."

   "Pinto adalah Kim Thian Seng-cu."

   "Pinto Gin Thian Seng-cu."

   Dua orang tosu itu juga amat tertarik dan suka kepada Thian Sin maka merekapun masing-masing memperkenalkan diri.

   "Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin bertemu dengan kami,"

   Tok-ciang Sian-jin bertanya mendesak.

   "Sam-wi Locianpwe, sudah lama sekali saya mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!"

   "Ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?"

   Gin Thian Seng-cu bertanya sambil tertawa.

   "Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera... wah, siapa bisa mengajarmu?"

   "Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?"

   Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali kalau dapat mempunyai murid setampan ini.

   "Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang adalah gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini."

   "Ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Seng-cu tadi, engkau boleh menjadi anggauta Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang akan melatihmu,"

   Kata Tok-ciang Sian-jin sambil mengelus jenggotnya. Bagi seorang kakek seperti dia kini sudah agak jauh dari wanita dan dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.

   "Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan untuk berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat."

   Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.

   "Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?"

   Tanya Tok-ciang Sian-jin atau Dewa Bertangan Racun itu.

   "Saya sudah belajar dari banyak guru silat, akan tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya ingin mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya."

   Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk.

   "Bagus, memang engkau cerdik sekali. Biarlah kami juga ingin melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu kalau ergkau belajar di sini."

   Tok-ciang itu lalu bertepuk tangan memanggil.

   Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pengawal-pengawal datang dan dia lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, makin tidak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memperlihatkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, maupun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.

   "Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini,"

   Kata Tok-ciang sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seolah-olah dia memanggil seorang murid saja. Diam-diam Thian Sin girang karena dia ternyata telah dapat memperoleh kepercayaan ketua Jeng-hwa-pang ini sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu lawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan tiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.

   "Baik, locianpwe,"

   Katanya dan diapun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.

   "Kau boleh robohkan dia, akan tetapi jangan menggunakan pukulan maut,"

   Pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Thian Sin.

   "Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!"

   Murid Jeng-hwa-pang itu telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah sekali, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kanan di depan pusar dan tangan kiri di depan dada. Otot-otot lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan. Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, akan tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat. Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring.

   "Haiiiiittt...!"

   Dan tubuhnya sudah menyerang seperti seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin dan pemuda remaja ini pura-pura kewalahan dan terdesak, namun dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau dan terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan dapat mengenainya.

   Diapun sambil mengelak balas memukul sembarangan saja dan tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya. Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat. Ketika ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu sanggup menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biarpun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya. Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin merasa cukup. Apalagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tidak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, ketika lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 1 Pendekar Lembah Naga Eps 40 Pendekar Lembah Naga Eps 59

Cari Blog Ini